Presiden Jokowi Memang Harus Ngeri!

by Hersubeno Aief

Jakarta FNN – Jum’at (10/07). Presiden Jokowi kembali menyatakan betapa berbahayanya situasi dunia, khususnya Indonesia. Jokowi bahkan menggunakan kosa kata yang sesungguhnya tak lazim dan tak boleh diucapkan seorang Presiden. “Ngeri…..terus terang saya ngeri.”

Jokowi juga menggunakan kembali kosa “bahaya”, dan “krisis”. Yang kali ini tidak diucapkan adalah “extra ordinary”. Dia menyampaikan kegalauannya dalam sidang kabinet terbatas Selasa (07/07). Pernyataan itu kemudian didistribusikan ke media oleh Biro Pers Istana Rabu malam (08/07).

Lumayan, hanya berselang satu hari. Tidak harus dipendam dulu sampai 10 hari. Seperti ketika Jokowi marah-marah pada rapat paripurna kabinet (18/06). Mengancam akan membubarkan lembaga dan memecat menteri (reshufle).

Presiden sudah benar. Memang harus ngeri. Walaupun terlambat, tapi harus tetap kita syukurilah. Akhirnya ada kesadaran situasinya extra ordinary seperti ucapannya. Harusnya ngerinya sejak dulu. Tujuh bulan lalu ketika virus corona, muncul di Wuhan. Atau setidaknya ya tiga setengah bulan lalu lah. Ketika di Jakarta dipastikan ada yang positif tertular virus made in China itu.

Situasinya kini seperti nasi sudah menjadi bubur. Krisisnya bukan hanya berdampak terhadap kesehatan dan ekonomi. Tapi sudah merambah kemana-mana. Krisis sosial, krisis politik, krisis kepercayaan terhadap pemerintah, krisis legitimasi, dan yang lebih mengerikan —khususnya bagi Jokowi— adalah krisis kepemimpinan.

Para menteri tidak menjalankan perintah Jokowi, sehingga kemarahan itu harus diulang-ulang. Sampai harus memohon supaya para menteri punya “perasaan yang sama” dengannya. Dan kini nadanya dari marah berubah menjadi ngeri. Ucapan seseorang yang tidak lagi berdaya. Padahal dia seorang presiden yang masih berkuasa penuh.

Krisis saat ini ibarat penyakit kanker. Sudah metastase. Penyebaran sel kanker dari satu organ atau jaringan tubuh, merambah ke organ yang lainnya. Jauh dari tempat awal munculnya kanker. Sudah stadium IV, sudah terminal. Harus ada penanganan yang super serius, super fokus, tidak boleh lengah. Setelah itu tinggal menunggu keajaiban. Menunggu takdir!

Demoralisasi

Mengapa Jokowi sampai harus mengucapkan kata ngeri? Ucapan yang seharusnya tabu bagi seorang Presiden? Ucapan itu bisa menimbulkan demoralisasi. Bukan hanya untuk timnya, yang lebih utama bagi rakyat jelata. Kelompok yang paling menderita karena pandemi.

Meminjam ucapannya, situasi ekonomi dunia saat ini benar-benar parah. Pertumbuhan ekonomi terus anjlok. Dari semula 2,5 persen, turun menjadi 5 persen, dan sekarang menjadi 7,5 persen. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Menkeu Srimulyani pada pertengahan Juni lalu memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal kedua akan minus 3,1 persen. Kadin Indonesia punya perhitungan lebih parah. Minus 4-6 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi minus lebih dari 7%.

Pada kuartal III, Sri memperkirakan pertumbuhan ekonomi diprediksi minus 1 hingga 1,2% dan pada kuartal IV di kisaran 1,6% hingga 3%.

Pertumbuhan ekonomi yang membaik di kuartal III dan IV itu hanya bisa terwujud bila asumsi-asumsi stimulus ekonomi berjalan dengan baik. Dan yang paling penting, bila pengendalian pandemi bisa berjalan dengan baik pula.

Yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Ketika marah-marah dalam rapat paripurna, Jokowi mempersoalkan penyerapan anggaran pemerintah yang sangat rendah. Fokus yang dia soroti anggaran kesehatan, anggaran jaringan pengaman sosial, dan stimulus ekonomi.

Dalam rapat terbatas dengan departemen/lembaga yang memiliki anggaran terbesar (07/07), hal itu kembali dipersoalkan. Dia menyoroti anggaran di Dephan dan lembaga lainnya yang penyerapannya masih lamban.

Data terbaru ketika pemerintah menerapkan tahapan menuju new normal —dengan harapan ekonomi dapat kembali bergerak—tingkat positif corona malah melonjak drastis.

Kamis (09/07) jumlah positif Covid-19 mencapai rekor tertinggi 2.657 orang. Angkanya menyebar di berbagai provinsi, dan Jabar tiba-tiba menyalip Jatim dan DKI dengan angka positif tertinggi.

Di Bandung lebih dari seribu taruna sekolah calon perwira (Secapa) TNI AD kedapatan positif covid. Sejumlah kantor pemerintah kembali diliburkan karena pegawainya positif terjangkit. Mereka terpaksa diminta kembali bekerja dari rumah.

Sayangnya dari penilaian Jokowi, bekerja dari rumah, bagi ASN malah seperti cuti panjang. Padahal semua harus kerja keras dan kerja cepat.

Kemarahan, ancaman pembubaran lembaga, reshufle dan terakhir pernyataan “ngerinya” Jokowi menunjukkan situasi krisis di pemerintahan Jokowi. Data yang tidak sinkron. Instruksi Jokowi yang tidak dijalankan para menteri, menunjukkan dia tidak berdaya. Diabaikan.

Ketika Jokowi marah, dia menyebut anggaran Kemenkes sebesar Rp 75 triliun, baru terserap 1,53 persen. Data itu langsung dibantah Komisi IX DPR RI. Benar, anggaran Kemenkes sangat besar. Rp 87,5 triliun. Bukan Rp 75 triliun. Untuk anggaran Covid hanya Rp 25,75 triliun. Sisanya sebesar Rp 61,2 triliun dikelola Kementerian Keuangan.

Dari jumlah Rp 25,75 triliun tersebut, yang baru diserahkan ke Kemenkes sebesar Rp 1,96 triliun atau sekitar 17,6 persen. Jadi dari mana Jokowi mendapat data itu? Sudah marah, salah data pula.

Kemudian ancaman membubarkan lembaga dan reshufle kabinet. Juga dimentahkan oleh Mensesneg Pratikno. Menurutnya kalau kabinet bekerja baik, reshufle tidak relevan lagi.

WHAATTTTT?

Pernyataan Presiden dikoreksi oleh seorang menteri? Dunia sudah terbolak-balik. Harusnya pernyataan menteri kalau salah, dikoreksi oleh presiden. Tidak boleh terbalik.

Yang paling mutakhir adalah munculnya keputusan Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Rachmawati. Pembatalan Peraturan KPU yang menjadi dasar kemenangan Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 oleh MA, menimbulkan kehebohan yang luar biasa.

Kendati para pakar hukum tata negara sebagian besar sepakat, bahwa itu tak berpengaruh terhadap hasil Pilpres 2019, namun secara politik punya dampak yang berbeda. Semua itu menunjukkan lemahnya basis legitimasi dan kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi.

Andai saja semuanya baik-baik. Ekonomi tumbuh. Perut rakyat kenyang. Penanganan pandemi terkendali dan berjalan baik. Mau ada seribu keputusan baru dari MA, tidak akan berpengaruh. Apalagi sampai heboh.

Sampai bawa-bawa ganti pemerintah lah. Pemilu ulang lah. Ada pula yang minta Jokowi turun. Kalau sudah begini kondisinya, Presiden Jokowi memang harus ngeriiii! End

Penulis adalah Wartawan Senior

746

Related Post