"Perang" Lobster Libatkan Wartawan TEMPO?
by Mochamad Toha
Jakarta FNN - Kamis (09/07). Beberapa nama wartawan media mainstream masuk dalam “Daftar Nama” penerima angpao dalam kunjungan ke luar negeri yang diduga diadakan oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) era Menteri Susi Pudjiastuti.
Ada nama Wahyu Muryadi-Tempo TV (Jepang) Rp 52.603.549; (Italia, Norwegia) Rp 158.704.237; (Amerika Serikat) Rp 161.852.947; (Monako, Polandia, Paris, Italia) Rp 197.837.588.
Ada juga nama Arif Zulkifli dari Majalah Tempo (Italia, Norwegia) Rp 110.273.536; (Uni Emirat Arab) Rp 93.563.098. Marvin Sulistio-Tempo TV (Norwegia) Rp 51332.011.
Rina Widiastuti-Majalah Tempo (Paris) Rp 55.611.952. Jajang Jamaludin-Majalah Tempo (Amerika Serikat) Rp 15.169.100.
Selain TEMPO, yang juga sempat mendapat akomodasi plesir ke luar negeri dari media arus utama lainnya: Kumparan, Metro TV, Detik.com, Kompas.com, Harian KOMPAS, CNN Indonesia, Jakarta Post, TV One, dan Kompas TV.
Dalam daftar penerima “akomodasi” itu, dari beberapa nama wartawan Tempo, nama Wahyu Muryadi memang lebih banyak muncul pada rombongan setiap kunjungan ke luar negeri itu. Sepertinya Wahyu Muryadi dapat perlakuan istimewa di KKP saat itu.
Nama Rosiana Magdalena Silalahi-Kompas TV (Polandia, Paris, Italia) juga muncul dengan akomodasi Rp 170.960.340. Juga Ecep S Yasa-TV One (Monako, Polandia, Paris, Italia) Rp 200.802.852. Anggi Firdaus-Detik.com (Monako, Polandia, Paris) Rp 180.756.363.
Mengapa sampai muncul Daftar Nama wartawan media mainstream yang “dibiayai” Menteri Susi Pudjiastuti justru setelah pimpinan KKP beralih ke Menteri Edhy Prabowo? Apakah ini memang sengaja dibocorin oleh KKP terkait tulisan Majalah TEMPO tersebut?
Cover Tempo
Pada cover TEMPO (Edisi 6-17 Juni 2020) ada gambar Menteri KKP Edhy Prabowo sedang memasukkan secara berlebihan benih lobster ke dalam mulutnya. Ini yang membuat seorang alumnus Tempo, Bunga Kejora (Bunga Surawijaya) marah.
Bunga Kejora yang kini bertugas di Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik (KP2) Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat tulisan berjudul “Kemarahan seorang alumnus Tempo pada jurnalis Tempo kini”.
“Saya syok ketika membuka pesan whatsapp dari seorang kawan tadi pagi. Ada sampul majalahTempo dengan gambar Menteri KKP Edhy Prabowo sedang memasukan secara berlebihan benih lobster ke dalam mulutnya (edisi 6-17Juni 2020),” tulisnya.
Disainer grafis pasti direkrut sebagai pekerja profesional di kantor Tempo. Tapi bagaimana dia membuat cover, pastilah atas arahan dari tim redaksi. Redaktur pelaksana yang kemudian memberi persetujuan atas hasil visualisasi disainer grafis itu untuk cover.
Mengapa Bunga Kejora dari awal harus menggambarkan proses ini, "Karena saya sering kesal mendengar jawaban “orang Tempo” saat ada kritik atau sikap keberatan atas cover-nya. Argumen mereka enteng, tanpa hati, dari tahun ke tahun."
“Ah itu kan soal intrepretasi saja. Tafsiran seni grafis, dan kesan pembaca bisa macam-macam”.
“Saya tidak sudi menerima alasan usang itu. Sebagai orang yang lahir dari keluarga seniman, dan mantan TEMPO, saya menyayangkan bahwa TEMPO telah membuat seorang disainer melacurkan diri untuk menggambar “sebuah vonis yang menghina lewat karikatur”,” tegasnya.
Jelas ini vonis. Terang benderang bahwa gambar dalam cover Tempo edisi itu adalah ilusi tentang keserakahan. “Saya alumni Tempo juga, tapi di era ketika para senior seperti Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, Toeti Kakiailatu dan lainnya masih aktif di meja redaksi,” tulisnya.
Bunga Kejora menceritakan, awal tahun-tahun pertama dari 11 tahun belajar di Tempo itu, keras betul GM mengajarkan perlunya skeptis terhadap info yang masuk, tidak memihak, tidak memonopoli kebenaran. “Biarkan pembaca menilai, dan untuk menguatkan independensi, jelas kami (juga) dilarang menerima amplop,” ungkapnya.
Itu nilai-nilai yang ditanamkan, selain ketrampilan menulis, tentu saja. Puluhan tahun berlalu, Bunga Kejora terhenyak (lagi) atas kenyataan nilai-nilai baik dari GM utamanya, tak menitis sampai ke redaktur Tempo tahun ini, 2020.
Menurutnya, membenci bukan pekerjaan jurnalis, bahkan di saat kita melihat masih banyak orang-orang kekurangan di sekitar kita. Menghasut, juga bukan tugas wartawan berintegritas. Apalagi, menghina seseorang hanya karena tak mampu melihat persoalan dari berbagai sudut, tidak mampu obyektif.
Kehormatan jurnalistik terabaikan dan tergadaikan. Tentu saya tidak bisa membandingkan situasi dulu dan sekarang, ketika di jagat media belum ada persaingan yang begitu ketat, termasuk dengan media sosial, yang membuat pimpinan Tempo kini seperti justifies the means hanya untuk memenangkan pasar.
“Belum ada model framing pada era 80-90an TEMPO,” tulis Bunga Kejora. Tapi pantaskah berdagang tanpa integritas-apa masih bisa menjadi pembeda dengan jurnalis bodrex, jurnalis pesanan, jurnalis malas, jurnalis diduitin, jurnalis antek pihak tertentu.
Yang membuat jurnalis masih bisa dihormati itu adalah ketika dia membaca dan memahami dengan integritas pribadi seluruh info dengan sikap tidak memihak.
“Dalam kasus menteri Kelautan dan Perikanan, sudah dapat infokah kalian bahwa Benih lobster bukan hewan langka seperti komodo atau badak bercula satu. Benih lobster ada 27,8 miliar di lautan kita,” ungkap Bunga Kejora.
Tahu kan benih lobster itu berasal dari telur lobster yang miliaran jumlahnya? “Dari setiap10 ribu benih loster, ulang ya 10 ribu, hanya 1 yang survive untuk membesar sebagai lobster. Sisanya, 9999 lainnya mati di alam,” jelasnya.
“Itulah yang dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan di bidang kelautan dan perikanan. Bukan hanya satu mulut. Mungkin karena kalian; reporter dan redaktur belum kenal ratusan ribu keluarga nelayan,” ungkap Bunga Kejota.
Bapak, ibunya, anak-anaknya pernah suatu masa berhutang budi pada benih lobster karena telah memanjangkan nafas ekonomi keluarganya. Saat pulang sekolah, anak-anak mengais benih lobster dengan alat tangkap berbentuk kipas.
Tentu saja ada eksportir gemuk yang diuntungkan, karena uangnya diperlukan untuk membeli ribuan benih lobster dari nelayan. Lalu apa?
“Tahukah juga bahwa di jaman menteri Susi – yang sudah kalian tempatkan lebih mulia daripada menteri penggantinya, nelayan yang berkulit gosong dan bersimbah peluh itu, Tidak Boleh mengambil benih lobster dan lobster muda untuk dikembang biakkan di kolam tambak mereka?”
Bunga Kejora meminta, coba pikir lagi, kalau boleh memanfaatkan, memperjual-belikan si bening dengan aturan ketat, benarkah semua keuntungan itu masuk ke mulut pimpinan yang oleh hukum tata negara ditempatkan sebagai pimpinan kementerian yang bertanggung jawab sebagai regulator dan fasilitator.
Jelaskan logikanya sebelum mempertontonkan pada publik prasangka tanpa hati. Bodoh itu tidak berdosa. Tapi, “Kalau ada wartawan Tempo malas berpikir, dan punya kepentingan tersembunyi di atas harga dirinya sebagai wartawan, saya merasa seperti ditelan bumi.”
“Mari, para alumni Tempo kita ajak anak-anak kita mengembalikan marwah rumah TEMPO, yang dulu disebut sekolah terbaik wartawan, agar kita bisa menegakkan kepala kita kembali sebagai alumni TEMPO,” pinta Bunga Kejora mengakhiri tulisannya, Minggu (5 Juli 2020).
Tempo Doeloe
“Saya sih oke-oke saja jika Tempo membuka soal pencabutan larangan eksport lobster dan menyorot kebijakan Menteri KKP Edhy Prabowo. Kita lihat saja gimana pendalaman dan pengembangan beritanya setelah laporan utamanya yang terkini,” kata Hendrajit.
Namun, Direktur Eksekutif Global Institute itu juga beralasan skeptis terhadap cara Tempo menginvestigasi suatu kasus maupun reputasi-kredibilitas narasumbernya sebagai sumber informasinya. Mengingat investigasinya terkait kasus-kasus sebelumnya.
Wartawan senior itu menilai, kelemahan mendasar Tempo dalam investigasi, mengandalkan akses informasi dari jaringan perkoncoan-nya yang memang solid meski sudah jadi alumni Tempo dan bekerja di tempat lain.
“Atau bisa juga karena kedekatannya yang sangat personal dengan beberapa pejabat tinggi pemerintahan,” ungkap Hendrajit.
Di era Soeharto, Fikri Jufri misalnya, karena alumni FE UI, sangat erat perkoncoan-nya dengan beberapa menteri “mafia” Berkeley seperti Wijoyo, Ali Wardahana, atau Radius Prawiro. Dengan kalangan militer, ia sangat kental perkoncoan-nya dengan LB Moerdani.
“Sampai di situ nggak soal sebenarnya, karena punya akses informasi bagi wartawan sangat berharga,” lanjut Hendrajit.
Tapi, kalau kemudian kedekatannya itu menjadi personal dan subyektif, maka dalam hasil liputannya yang mengandalkan sumber-sumber info dari para menteri ekonomi yang sangat pro pasar bebas macam Wijoyo atau Ali Wardahana, maka hasil investigasinya secara faktual memang nyata, tapi fakta yang diambil bersifat konfirmasi bias.
“Data atau fakta diambil sebagai dasar untuk mendukung asumsi atau pemihakannya pada kepentingan si narasumber. Bukan kepentingan publik secara umum,” tegas Hendrajit.
Masih ingat Laporan Utama Tempo waktu membongkar pembelian kapal-kapal rongsokan Eropa Timur oleh BJ Habibie? Secara faktual memang nyata, tapi sumber-sumber informasi yang diperoleh Tempo berdasarkan inside informasi yang diberikan baik dari jalur para teknokrat Berkeley Mafia, maupun dari sayap militer pro Benny Moerdani.
Yang mana keduanya punya satu kepentingan, untuk mendiskreditkan BJ Habibie sebagai teknokrat tehnologi yang bertentangan kepentingan dengan kubu teknokrat ekonomi Wijoyo dan kepentingan klik militer Benny Moerdani.
Sehingga, betapapun terkandung kebenaran dalam informasi yang diperoleh, namun fakta-faktanya digunakan sebagai konfirmasi bias.
Sehingga, dalam pemerintahan Soeharto yang serba terpusat dan kendali kekuasaan yang kuat terhadap jajaran birokrasi dan hirarki militer, maka ketika terjadi perang senyap antar faksi dalam pemerintahan Soeharto, masing-masing faksi yang sedang berseteru itu sama sama memanfaatkan media massa jaringan perkoncoannya masing-masing.
Tempo, oleh karena para pengelola medianya seperti Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, Bur Rasuanto, Salim Said, Christianto Wibosono, merupakan eksponen aktivis mahasiswa UI angkatan 1966.
Dan, beberapa di antaranya juga wartawan harian Mahasiswa Salemba, lantas menjelma menjadi jaringan perkoncoan yang solid bukan saja antar mereka sendiri, tapi juga dengan para senior dan mantan dosennya yang kelak jadi para menterinya Soeharto seperti nama-nama yang disebut Hendrajit itu.
Alhasil, dalam pertarungan senyap antara para punggawa dan hulubalang Istana, Tempo memang tetap kooperatif kepada pemerintahan Soeharto. Tapi, memihak pada salah satu faksi jaringan perkoncoan-nya.
“Yaitu, dengan para tehnokrat ekonomi pro pasar bebas Berkeley Mafia, dan para perwira militer pro Benny Moerdani,” ungkap Hendrajit.
Dan pola ini kemudian diteruskan oleh para pemred dan redpel Tempo generasi kedua seperti eranya Bambang Harymurti, Thoriq Hadad, maupun Wahyu Muryadi dan para junior-junior lainnya.
“Maka itu dalam menyingkap kasus Lobster maupun menteri KKP, buat saya fine-fine saja. Tapi, saya juga skeptis pada cara Tempo mengolah investigasinya, maupun merajut fakta-faktanya,” tegasnya.
Setidaknya kita berhak bertanya, ada apa dengan Tempo kok kali ini mengangkat isu ini? Dari skala prioritas maupun politik keredaksian Tempo, apakah memang penting banget angkat kasus ini dibanding mega kasus-mega kasus lainnya yang saat ini masih tetap misterius?
Penulis adalah Wartawan Senior