OPINI
Jokowi dan Megawati Dendam Ideologis Terhadap Katolik
by Natalius Pigai Jakarta FNN – Ahad (05/07). Pada 21 Februari 1957, Sukarno memanggil semua pimpinan partai politik ke Istana. Sukarno melontarkan gagasan yang kemudian dikenal dengan nama “empat kaki”. Terdiri dari PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Cikal Bakal Nasakom. Namun Masyumi dan Partai Katolik dengan tegas menyatakan penolakan terhadap gagasan “empat kaki” Soekarno. Sukarno ketika itu tersingung berat. I.J Kasimo sebagai Ketua Partai Katolik dengan tegas mengayatakan mundur. I.J Kasimo adalah salah satu motor utama menjatuhkan Sukarno. Akibatnya, tahun 1965 di Floress, ribuan pengikut komunis dibantai. Gereja Katolik seolah-olah diam membiarkan pembantian terhadap pengikut PKI oleh para algojo di Floress. Tidaklah mengherankan, bila tidak ada tempat bagi orang Katolik di eranya Jokowi dan PDIP sekarang. Jika mereka adalah pengikut Tri Sila, Eka Sila, dan anti terhadap individualism, karena itu adalah filosofi dasar dari faham komunis. Mungkin saja karena mereka dendam. Tahun 1991 L.B Mardani yang beragama Katolik menjaga Ibu Megawati di tengah tekanan Orde Baru yang sangat kuat dan keras. Tahun 1998 L.B Mardani juga berada dibalik kejatuhan Suharto. Ibu Megawati menjadi Presiden tahun 2001. Yacob Nuwa Wea ketika itu bisa menjadi menteri karena main keras. Yacob menggerakan buruh untuk menekan Ibu Megawati. Pada tahun 2014 PDIP berkuasa. Orang Katolik tidak dipakai. Andaikan Jonan bisa menjadi Menteri Perhubungan, karena diduga Jonan didukung asing (pengusaha yang berbasis di Singapura). Selain itu, tuntutan dari rakyat yang kuat karena Jonan dinilai sukses membenahi moda transportasi Kereta Api Indonesia (KAI). Pada tahun 2019, Jhoni Plate menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika. Keberadaan Jhoni Plate di kabinet bukan karena wakil dari Katolik. Namun karena diusulkan oleh Surya Paloh sebagai wakil dari Partai Nasdem. Hari ini orang-orang NTT disingkirkan semua dari Pengurus DPP PDIP. Sama sekali tidak ada satu orangpun masuk di struktur inti partai. Keberadaan Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP hanya sebagai simbol tipu-tipu muslihat PDIP. Dipastikan Jokowi dan Megawati tidak akan memberikan Hasto menduduki jabatan menteri. Andre Parera untuk menjadi Dubes saja sulitnya bukan kepalang. Padahal dulu Andre Parera adalah Ketua Departemen Luar Negeri PDIP sebagai partai penguasa. Hari ini, ada sekitar 2.200 jabatan yang bisa ditunjuk dengan tangannya Jokowi. Namun orang Katolik kurang lebih hanya dua atau tiga orang saja yang menjadi komisaris di BUMN. Itupun karena usaha dan kerja keras mereka. Kemampuan dan profesionalisme yang dipunyai mereka. Tokoh Katolik yang hebat hari ini adalah Frans Leburaya, Mantan Gubernur NTT dua periode. Frans sekarang mengangur. Diabaikan begitu saja di struktur PDIP. Untuk jabatan Menteri atau Dubes juga sulit. Begitu juga dengan Cornelius, mantan Gubernur Kalbar. Jika tidak terpilih menjadi anggota DPR RI, Cornelius sudah yakin bakal diacuhkan. Sepertinya Katolik bagi PDIP, Megawati dan Jokowi ada persoalan prinsipil masa lalu yang mengganjal . Mungkinkah itu soal “ideologi”? Orang Katolik dan minoritas, sebaiknya jangan selalu girang dan Gede Rasa (GR) karena PDIP mendukung Kepala Daerah atau anggota legislatif yang berasal dari Katolik. Karena untuk partai politik, langkah itu sebagai hal biasa untuk mencari dukungan massa (vote getters). Lihat saja ukuranya itu adalah berapa jabatan yang diakasih melalui penunjukkan. Catatan ini bukan soal jabatan, tetapi persoalan ideologis. Ini soal prinsip dasar bernegara Pancasila dan ideologi yang dijiwai oleh spirit sosialisme, leninisme, komunisme dan marxisme, Eka Sila, Tri Sila. Juga anti individualisme atau anti penghargaan terhadap kreatifitas manusia. Kesimpulannya sepanjang PDIP, Jokowi, Megawati masih memilih visi, misi Sosio demokrasi, Ketuhanan yang Berkebudayaan, mungkin “Gujarat” (sansekerta) hinduisme Jawa, Tri Sila, Eka Sila dan Mematikan Individualisme (membunuh kreatifitas individu). Maka jangan pernah bermimpi PDIP menjadi rumah bagi Katolik dan kaum minoritas. Penulis adalah Aktivis (PMKRI) Kelompok Cipayung, Aktif di Pergerakan dan Diskusi di PRD 1997-1999.
Umat Islam Jangan Terjebak Dengan Isu Reshuffle
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (05/07). Dari adegan marah-marah di rapat dengan para menteri, dengan ujungnya adalah ancaman reshuffle. Maka ceritra menjadi berlanjut. Reshuffle dimainkan menjadi isu baru untuk mengalihkan pehatian umat Islam dari masalah vital dan serius Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Rapat yang sudah dilaksanakan tanggal 18 Juni 2020 itu sengaja dimunculkan lagi satu minggu kemudian. Maka mulia muncul isu reshuffle. Mulai dari susunan nama-nama hoaks di medsos soal si anu menjadi menteri, si anu akan dicopot. Masyarakat dicoba dibuat "tertarik" untuk urusan ganti-ganti menteri, agar ada mainan baru yang bisa menggeser RUU HIP. RUU HIP ini dapat membuat keguncangan politik yang keras. Rakyat kemungkinan akan berhadap-hadapan secara nyata. Satu kelompok menolak dengan keras RUU HIP. Kelompok ini pendukung Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945, yang dimotori oleh umat Islam. Imamnya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), NU, Muhammadiyah dan dua ratus lebih ormas Islam. Kelompok lainnya, yang disebut Ustadz Edy Mulyadi, wartawan senior FNN.co.id yang juga Sekjen GNPF Ulama adalah “Gerombolan Trisila dan Ekasila”. Kelompok ini pendukung setia Pancasila 1 Juni 1945. Gerombolan Trisila dan Ekasila didukung penuh oleh PDIP sebagai partai pengusul utama RUU HIP. Tentu saja PDIP partai pemenang Pemilu sekaligus menjadi partai Pemerintah menjadi sorotan. Komandan koalisi partai pendukung Presiden ini dibongkar bongkar "borok-boroknya”. Tidak tanggung-tanggung yang dibuka. Soal neo PKI dan Komunisme. Hanya gara-gara ngotot menolak Tap MPRS XXV tahun 1966 dan keberanian memuat pasal Trisila dan Ekasila pada RUU HIP. Gelombang aksi belum reda. Bahkan cenderung bereskalasi ke seluruh daerah di Indonesia. Rakyat, khusunya umat Islam tidak tertarik dengan "penundaan" atau ganti nama jadi “RUU PIP atau RUU BIP” atau apapun namanya. Seruan masih tetap saja sama. Hentikan atau cabut. Tidak berlaku ganti nama Pemerintah dan beberapa Fraksi DPR terlihat masih mencoba bermain-main dengan rakyat, khususnya umat Islam. Tidak mau dicabutnya RUU HIP dari Prolegnas. Padahal sudah sepakat untuk mencabut 16 pasal dai RUU HIP. Ini membuktikan masih bermain-mainnya pihak-pihak yang berkepentingan. Reshuffle hanyalah "olah geser" perhatian rakyat, khususnya umat Islam. Istana mulai mencoba ikut meramaikan. Entah siapa yang mulai melontarkan, seolah-olah manusia super kontroversial Ahok nanti menjadi Menteri BUMN. Ahok diisukan akan menggantikan Erick Thohir. Soal Ahok akan menggantikan Erick ini pun bagian dari olahan pengalihan isu saja. Agar publik, khususnya umat Islam masuk ke dalam ruang pro kontra soal Ahok sebagai si penista agama. Jabatan lain seolah-oleh ditawarkan juga ke berbagai kader partai. Mainan dagang sapi menjelang Iedul Adha. Jika rakyat, khususnya umat Islam tetap fokus pada pembelaan terhadap ideology Pancasila 18 Agustus 1945, maka isu reshuffle akan hilang dengan sendirinya. Realitanya reshuffle kabinet tersebut bukan masalah yang penting sekarang ini. Mau reshuffle atau tidak sama saja. Begitu juga dengan isu tentang Ahok. Mau si mulut penista agama ini masuk atau tidak sebagai menteri, juga tidak ada pengaruhnya. Malah lebih bagus kalau Ahok masuk sebagai menteri. Sebab masalah utama bangsa bukan pada Ahok. Ada empat masalah utama bangsa hari ini. Pertama, kebangkrutan ekonomi nasional. Kebangkrutan ini sudah terjadi jauh sebelum datangnya pendemi covid 19. Kedua, penjajahan oleh asing dan aseng, khususnya China komunis. Ketiga, adanya rongrongan terhadap keberadaan dan eksistensi ideologi Pancasila konsesnus 18 Agustus 1945. Rongrongan itu dating dari gerombolan Trisila dan Ekasila, yang menjadi pendukung setia Pancasila 1 Juni 1945. Keempat, masalah pada Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. “Jokowi tidak mampu menempatkan dirinya sebagai Presiden yang patuh dan taat kepada panduan-panduan bernegara yang tertera dan tersaji dengan sangat jelas di konstitusi UUD 1945, kata Ahli Hukm Tata Negara Dr. Margarito Kamis, “Mengurus Republik, Presiden Dilarang Ngawur (FNN.co.id, Kamis 02/07/2020) Khusus soal Ahok tidak perlu untuk diributkan. Biarkan saja Ahok ikut dalam barisan Kabinet hasil reshuffle nanti. Mau urus Kementerian BUMN atau Menteri tanpa urusan pun tidak apa-apa. Kehadirannya justru akan menjadi "boomerang" bagi Pemerintah Jokowi nantinya. Toh sudah terbukti ketika jadi Komisaris Utama Pertamina. Ahok tidak becus juga mendongkrak Pertamina. Malah mesti diusut penyelewengan dana yang ada di Pertamina selama "seumur jagung" dirinya menjabat. Pertamina sekarang malah jadi tukang peras rakyat sebesar Rp. 7 triliun lebih setiap bulan dari penjualan BBM di dalam negeri. Lebih parah dari penjajah VOC Balanda. Isu reshuffle pun menjadi cermin dari keputusasaan Jokowi sendiri "tidak ada progress" serunya. Bukti akan ketidakmampuan menjadi dirigen yang memacu semangat kerja tim dalam orkestra. Marah-marah tentu bukan solusi. Orang bisa membaca bahwa kapal akan segera karam. Makanya nakhoda sedang panik. Rakyat tidak perlu terjebak dengan isu reshuffle. Tetap saja fokus pada bagaimana menyelamatkan ideologi Pancasila dari penggerogotan atau pembusukan kelompok yang bertarget pada penggantian. Lalu berjuang keras agar Indonesia tidak terjajah oleh negara China komunis yang mencoba menanamkan kuku melalui investasi dan hutang luar negeri. Jikapun terpaksa harus ikut berfikir soal reshuffle, maka ditimbang dalam-dalam tentang efektivitas dan efisiensi. Apalagi yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi dan politik ini. Apakah perlu untuk reshuffle Menteri atau reshuffle Presiden ? Bila pilihannya adalah "reshuffle" Presiden, kenapa tidak? Toh konstitusi bernera kita UUD 1945 mengatur pilihan atas kedua-duanya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Hanya di Era Roformasi, Suami Bupati & Isteri Ketua DPRD
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Sabtu (04/07). Kita tak pernah sungguh-sungguh dengan reformasi. Faktanya ada suami yang menjabat sebagai Bupati, dan istrinya malah menjadi Ketua DPRD di Kabupaten yang sama. Fakta seperti ini bukan menjijikan, tetapi menghina para mahasiswa yang menjadi Pahlawan Reformasi. Publik negeri ini dibuat kaget sejati-jadinya setelah ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Bupati dan Ketua DPRD Kutai Timur ditangkap KPK. Keduanya adalah suami-isteri yang menjadi pejabat tertinggi eksekutif dan legislatif di kabupaten ini. Bukti bahwa KKN di era reformasi ini justru makin berkarat. Semua politisi selalu berdalih tidak bahwa ada aturan yg melarang. Makanya satu keluarga bisa masuk ke dalam pemerintahan dan parlemen bersama-sama. Upaya ini membentuk dinasti yang berkuasa turun-temurun. Ujung-ujungnya korupsi dan abuse of power terjadi tanpa kontrol dari legislatif. Politik itu beda dengan hukum positif. Politik itu berbasis gentlemen, goodwill, trust. Punya etika dan moral. Meski tidak ada aturan yang melarang. Makanya moral dan etika yngg bekerja untuk mengontrol syahwat dan kekuasaan diri sendiri. Maksudnya agar tidak terjadi abuse of power dan conflict of interest. Dengan sistem politik dan kontestasi yngg didrive oleh uang yang marak saat ini, uang menjadi penentu. Hanya pengusaha kaya, dan kepala daerah yang punya kuasa beserta keluarganya yang boleh ikut dalam kontestasi politik. Jika tidak, pasti dibelakangnya ada pemodal pengusaha kaya. Nikmat berkuasa itu memang memabukkan. Hanya orang ikhlaslah, yang mau mengabdi untuk rakyat dan orang banyak. Yang merasakan bahwa berkuasa itu berat dan penuh dengan ujian. Tetapi karena adanya godaan selama menjabat itu merasakan nikmatnya harta dan kekuasaan. Jadinya ketika menjabat seperti orang yang kalap. Berlaku serba aji mumpung. Mendorong keluarga untuk kejar jabatan politik, meski tadak punya kemampuan dan kapasitas. Perilaku politik tanpa moral dan etika ini terjadi pada semua level kekuasaan. Dara pusat hingga daerah. Tidak aneh, jaka terjadi pembiaran-pembiaran di sana-sani. Karena semua serba heppi. Kecuali rakyat, daerah dan negara yang menjada korban. Semua serba diam, karena ikut menikmati sistem politik dan kontestasi yang berbasis uang. Tak pernah terjadi Parpol atau kandidat didiskualifikasi atau dipidana karena money politic. Tetapa semua menyaksikan wanipiro ini benar-benar terjadi di depan mata kita. Tak heran outputnya adalah konflik kebijakan dan korupsi. Yang belom ditangkap, hanya karena lihai dengan pengaruh dan uangnya. Kini setelah orang tuanya berkuasa. Juga terkumpul uang banyak, maka uang dan pengaruh itu digunakan untuk menjadikan anak-istrinya duduki jabatan kekuasaan. Supaya nikmatnya kekuasan ini bisa dirasakan secara turun-temurun sekeluarga. Tidsk ada lagi rasa malu. Apalagi takut kapada Allah SWT bahwa kekuasaan itu adalah amanat untuk sejahterakan rakyat. Tak pernah ada yang mau buktikan soal money politic. Berapa uang untuk menang dalam kontes politik. Padahal ini sebagai dasar kuat bahwa kandidat terpilih karena KKN. Sebab tadak masuk akal, jika gaji Gubernur yang hanya Rp 8 jutaan, sedangkan untuk menang kontestasi sponsornya perlu keluarkan uang antara Rp. 300-500 miliar. Jika kondisi ini terus terjadi, maka Indonesia tidak kan pernah berhasil untuk membangun mensejahterakan rakyatnya. Karena anggarn sebenarnya sudah dirampok sejak kontestasi politik. Berapa banyak uang untuk memenangkan kontestasi? Termasuk mahar untuk parpol? Itulah yang akan ditanggung oleh rakyat dari inefisiensi pembangunan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS).
RUU HIP Untuk Kontemplasi 61 Tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Baik penentang dan pengusul RUU HIP teriak : Pancasila Dasar Negara, Pancasila Ideologi Negara, Pancasila Sumber Segala Sumber Hukum Negara, Pancasila Alat Pemersatu, dan lain-lain. Kalau sudah paham Pancasila, lalu mau ngapain?” (Group WhatsApp). Jakarta FNN – Sabtu (04/07). Kesadaran rakyat tentang Pancasila di atas, pada hakikatnya karena adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Himpunan Ideologi Pancasila (HIP). RUU ini digugat oleh rakyat. Besok, Minggu 5 Juli 2020, genap 61 tahun Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Peristiwa Dekrit Presiden ini momentum untuk rakyat berkontemplasi. Apakah Pancasila sekarang sudah dijadikan norma fundamental untuk bernegara? Lalu apa kata para tokoh? Persatuan Bangsa Terbelah Pertama, Prof. Dr. Effendi Ghazali. “Bangsa ini terbelah gara-gara Presidential Threshold (PT)”. Pendapat ini digunakan sebagai alasan permohonan uji materiil UU No.17/2017 Tentang Pemilu. Namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Penolakan ini juga terasa aneh. Bagaimana mungkin ambang batas dari Pemilu sebelumnya 2014, digunakan sebagai dasar pelaksanaan Pilpres 2019? Kedua, “tidak mau bangsa terpecah lagi”. Prof. Dr. Jimly Assiddiqie mendukung Presidential Threshold ditiadakan” (12/6/2020). Artinya, Jimly sejalan dengan gugatan Effendi Gazali. Penyebab lainnya, karena liberalisme politik yang memaksa Presiden ke bawah bersikap pragmatis, jangka pendek dan transaksional. Budaya feodal, sikap Asal Bapak Senang (ABS) dan medsos tidak terkendali, lanjut Jimly Assiddiqie. (WhatsApp, 23/6/2020). Semua itu terkait dengan hasil amandemen UUD 1945. Tanpa maksud apa-apa, untuk membedakan dengan UUD 1945 asli. Hasil amandemen dalam artikel ini, kita sebut UUD 2002. Lalu bagaimana hubungan Dasar Negara dengan Undang-Undang Dasar dan pendapat tentang UUD 2002? Dasar Negara dan UUD 2002 Pertama, teori Hans Nawiasky, “die theorie vom stufenordung der rehtsnormen”. Bahwa Dasar Negara posisi teratas. Sebagai norma fundamental negara atau “Staatsfundamentalnorm”. Sedang Undang-undang Dasar atau Aturan Pokok Negara merupakan “Staatsgrundgesetz”. Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara di Pembukaan UUD 1945. Pendiri negara secara cerdas telah mentransformasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Sehingga isi Batang Tubuh koheren dengan Pembukaan. Pembukaan dan isi Batang Tubuh diberi penjelasan di bagian ‘Penjelasan’ UUD 1945. Kedua, Prof. Dr. Kaelan berpendapat, beberapa pasal dalam UUD 2002, tidak konsisten dan tidak koheren dengan Pancasila. Perubahan hampir 90 % tidak tepat disebut amandemen. Amandemen seharusnya hanya beberapa pasal dengan memberikan adendum pada Undang-Undang Dasar aslinya. Konstitusi kita saat ini, hakikatnya telah mengganti UUD 1945. Dengan demikian, itu berarti telah membubarkan Negara Proklamasi 17/8/1945. Sehingga tidak tepat jika disebut UUD 1945. Karena tidak lagi memiliki korelasi dengan Proklamasi, lanjut Prof. Kaelan. Ketiga, tahun 2002, MPR RI membentuk Komisi Konstitusi. Tugas komisi ini untuk mengkaji hasil amandemen. Prof. Dr. Dahlan Thaib menulis, “Nasib Kerja Komisi Konstitusi tentang Amandemen UUD 1945” dengan ringkasan antara lain : Pengaturan sistem Presidential, prinsip kedaulatan rakyat, konsep negara hukum dan “check and balance” tidak diterapkan secara konsisten. Amandemen UUD 1945 terkesan menciptakan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas. Rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik. Keempat, keprihatinan dan usulan para tokoh, terkait UUD 2002, terhimpun dalam beberapa buku, yaitu (1) “Bangkit, Bersatu, Bergerak, Berubah atau Punah” (2) “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945” (3) “Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Disertai Adendum” (4) “Pancasila Jati Diri Bangsa” (5) “Kaji Ulang Perubahan UUD 1945”. Analisis dan Rekomendasi Pilpres langsung melahirkan liberalisasi politik, akibat dari demokrasi liberal. Siapa kuat, siapa berduit, menang. Kenyataan ini bertentangan dengan Pancasila. Penikmat Pilpres langsung bilang, inilah kedaulatan rakyat yang benar. Benarkah? Tidak juga. Itu hanya demokrasi semu. Hanya kulitnya, sesaat saja. Hanya lima menit di bilik coblosan. Selanjutnya, kedaulatan milik rakyat musnah. Kedaulatan beralih milik Ketua Parpol dan pemilik modal. Bagaimana tidak, dia bisa mencopot wakil rakyat tanpa tanya kepada pemilihnya. Demokrasi liberal diramaikan oleh buzzer politik, guna memenangkan jagonya. Medsos sebagai wahana melahirkan adu domba, fitnah, ujaran kebencian, hujatan, dan kebohongan. Dampak buruk pemilihan langsung tidak hanya itu. Prof. Mahfud MD mengatakan, “sekarang KKN lebih banyak dari zaman pak Harto. Zaman reformasi itu lebih parah….” (ILC TV One). Sejumlah pengamat juga ikut membenarkan Mahfud MD yang menyebut, Pilkada saat ini seperti peternakan koruptor, (Harian Terbit, 20/4/2018). Jika konstitusi UUD 2002 memiliki berbagai kelemahan. Juga berdampak buruk dalam bernegara. Apalagi beberapa pasal bertentangan dengan Norma Fundamental Negara, maka tepatlah kita melakukan kontemplasi. Apakah UUD 2002 sudah sesuai dengan jiwa Pancasila? Jika Batang Tubuh UUD 2002 tidak koheren dengan Pancasila, tidaklah salah jika kita “Kembali ke UUD 1945”? Prinsip mengatasi ketersesatan di jalan adalah dengan kembali ke titik awal. Jangan lanjutkan berjalan dari posisi yang salah. Akibatnya akan akan lebih tersesat lagi. Jangan berkilah kita tidak bisa memutar balik arah jarum jam ke belakang. Siapa bilang? Kita punya banyak pengalaman. Dari UUD 1945, kita pernah berganti ke UUD RIS. Setelah itu kita berganti lagi ke UUDS ’50. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kita kembali lagi ke UUD 1945. Jangan bilang, kalau kembali lagi ke UUD 1945, akan menghidupkan lagi Dwi Fungsi ABRI. Tidaklah mungkin itu bisa terjadi lagi. Mengapa tidak terjadi lagi? Karena UUD 1945 tidak pernah dan tidak ada satu katapun yang berbicara tentang Dwi Fungsi ABRI. Takut Presiden bisa dipilih terus menerus? Kita sempurnakan dengan adendum pembatasaan masa jabatan Presiden. Takut kalau Polisi kembali digabung dengan TNI? Gampang, sempurnakan dengan memberikan tugas yang jelas dengan adendum. Adendum itu diijinkan, karena hakikat pasal 37 UUD 1945 memang untuk perubahan yang bersifat teknis saja. (Mr. Soepomo dalam Sidang BPUPKI). Melalui pemahaman posisi dan peran Pancasila, mari kita gunakan untuk mengkaji, apakah pasal-pasal dalam UUD 2002 sudah menjiwai Pancasila? Walaupun Dekrit Presiden 1959 sudah 61 tahun yang lalu, kiranya nafas dan tekad untuk kembali ke cita-cita Proklamasi waktu itu, masih relevan untuk saat ini. Tidak perlu mengakui salah. Amandemen yang lebih 20 tahun yang lalu, sudah kadaluarsa. Kita cukup menyadari bahwa saat ini kita sudah jauh tersesat. Jauh dari cita-cita proklamasi. Demi bangsa dan Negara, harus berani bertindak “Kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan adendum”. Amin. Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Tinjauan Yuridis (2): Polisi Tidak Boleh Hentikan LP TAKTIS
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Selanjutnya, Pasal 40 ayat 5 UU Parpol menunjuk pada keberadaan Parpol yang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme. Jadi, Pasal 40 ayat 5 UU Parpol terkait dengan Pasal 107e huruf a dan Pasal 107a UU Keamanan Negara sebagaimana disebutkan sebelumnya. Ketiga pasal itu tergolong delik formil, yakni perbuatan yang tidak mempersyaratkan/membutuhkan adanya suatu akibat tertentu. Kedua, Pasal 107d UU Keamanan Negara. Pasal ini merupakan delik pemberat atau delik spesialis dari Pasal 107a. Pada Pasal 107a atas perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tidaklah dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti Pancasila. Pelaku hanya melakukan menyebarkan atau mengembangkannya. Tidak demikian halnya dengan Pasal 107d, pelaku menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme -Leninisme ”dengan maksud” mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara. Sama halnya dengan Pasal 107a pembentuk UU menambahkan frasa ”dan atau melalui media apapun” mengandung pengertian yang luas. Menurut Abdul Chair Ramadhan termasuk dalam kaitan perumusan rancangan undang-undang (in casu RUU HIP). “Sepanjang dilakukan dengan maksud itu mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, maka Partai pengusul RUU HIP bisa dijerat dengan Pasal 107d,” ujar Abdul Chair Ramadhan. Pada tindakan mengubah atau mengganti Pancasila, maka kesengajaan sebagai maksud memang diarahkan guna mencapai tujuan yang dikehendaki. Perubahan dimaksud antara lain yang paling prinsip adalah perihal Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial. “Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila (Pasal 6 ayat 1 RUU HIP). Dengan demikian, posisinya menggantikan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya terjadi perubahan posisi (mutasi) sila,” tegasnya. Hal ini secara tidak langsung juga mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, tergantikannya dengan “Negara berdasar atas Keadilan Sosial”. Dalam kaitan ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, maka terjadinya perubahan demikian memberikan peluang masuknya konsep Keadilan Sosial versi Sosialisme -Komunisme. Kemudian perihal ketuhanan yang berkebudayaan dalam RUU-HIP (Pasal 7 ayat 2 RUU HIP) melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Walaupun pemahaman ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, namun itu tidak menjadi keputusan BPUPKI. Oleh karenanya, penggunaan istilah ketuhanan yang berkebudayaan adalah sama dengan merubah atau mengganti Pancasila (in casu Ketuhanan Yang Maha Esa). Pasal 107d juga tergolong delik formil. Ketiga, Pasal 107e huruf b UU Keamanan Negara menunjuk pada perbuatan mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri; Yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah. Sepanjang Parpol melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 107e huruf b, maka delik telah selesai. Delik ini tak memerlukan adanya suatu akibat atas hubungan dengan organisasi di luar negeri; “Yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dengan demikian tak perlu menunggu terjadinya perubahan atas Pancasila sebagai dasar negara (delik formil),” ungkap Abdul Chair Ramadhan. Empat, Pasal 156a huruf a KUHP menunjuk pada rumusan RUU HIP yang mengandung sifat penodaan suatu agama. Penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia adalah melakukan perbuatan yang oleh umat penganut agama yang bersangkutan dinilai sebagai menodai agama tersebut. Penodaan di sini mengadung sifat penghinaan, melecehkan atau meremehkan dari suatu agama (in casu Islam). Perbuatan konkrit dalam RUU HIP adalah mengganti kedudukan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sila Keadilan Sosial. Sebagaimana bunyi Pasal 6 ayat 1 RUU HIP yang menyatakan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Oleh karenanya, menempatkan sila Keadilan Sosial pada posisi sila pertama dan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada posisi yang paling bawah (sila ke-5). Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi melingkupi, mendasari dan menjiwai sila-sila lainnya. Kemudian, Ketuhanan Yang Maha Esa digantikan dengan ketuhanan yang berkebudayaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP. Rumusan demikian termasuk penodaan terhadap agama dalam hal ini terhadap Allah SWT. Selain itu, agama tidak termasuk dalam pembangunan nasional. Agama hanya menjadi sub-bidang dari pembangunan nasional disandingkan bersama rohani dan kebudayaan (Pasal 23 huruf a RUU HIP). Pembinaan agama sebagai pembentuk mental dan karakter bangsa dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material untuk kepentingan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia dan menolak pengaruh buruk kebudayaan asing (Pasal 23 huruf a RUU HIP). “Rumusan demikian terkait dengan paham ketuhanan yang berkebudayaan. Agama hanya menjadi alat pembentukan mental dan kebudayaan,” tegas Abdul Chair Ramadhan. Kedudukan agama semakin termarginalisasi, hanya untuk mental dan kebudayaan. Pasal 1 angka 10 RUU HIP menyebutkan, “tata Masyarakat Pancasila yang berketuhanan”, tanpa sebutan, “Yang Maha Esa”. Tata Masyarakat Pancasila bertujuan membentuk Manusia Pancasila (Pasal 12 ayat 1 RU HIP). Ciri Manusia Pancasila disebut, “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” Pasal 12 ayat 3 huruf a RUU HIP. Frasa “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” telah mengalahkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama Islam akan semakin termarginalkan, harus berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pasal 156a huruf a KUHP juga termasuk delik formil. Kelima, Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menunjuk pada adanya suatu perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Berita atau pemberitahuan bohong ini terkait dengan keberadaan Keadilan Sosial yang disebutkan dalam RUU HIP sebagai sendi pokok Pancasila. Padahal yang menjadi sendi pokok adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini memang termasuk delik materil yang mempersyaratkan harus adanya keonaran di kalangan masyarakat. Padahal faktanya, pengusulan RUU HIP sebagai hak inisiatif telah menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat secara meluas. Berbagai Ormas besar seperti MUI Pusat dengan MUI Daerah, PBNU, PP Muhammadiyah dan lain-lainnya telah menyatakan sikap penolakan dan meminta dihentikannya pembahasan RUU a quo. Kesemuanya itu telah menunjukkan fakta terjadinya kegaduhan/kegemparan yang demikian sangat. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai aksi demontrasi yang demikian meluas di berbagai wilayah dalam rentang waktu yang cukup lama. Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana menentukan perbuatan “dengan sengaja”. Hal ini bermakna terjadinya keonaran melingkupi tiga corak (gradasi) kesengajaan yakni “dengan maksud”, “sadar kepastian” atau “sadar kemungkinan”. Ketiga corak kesengajaan tersebut bersifat alternatif. Pada suatu kondisi, timbulnya akibat berupa keonaran walaupun tidak dikehendaki, namun menurut doktrin harus dipertanggung-jawabkan secara hukum pidana. Tidak dikehendakinya akibat yang berujung pertanggungjawaban pidana menunjuk pada corak kesengajaan sadar kepastian atau sadar kemungkinan. Perihal dengan sengaja ini juga berlaku pada Pasal 156a huruf a KUHP. Kesemua rumusan tindak pidana tersebut di atas berhubungan dengan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (delik penyertaan). Pada delik penyertaan, antara satu peserta dengan peserta yang lainnya adalah satu kesatuan. Jadi, trdapat dua bentuk kesengajaan dalam penyertaan. Pertama, elemen melawan hukum subjektif yakni sikap batin diantara para pelaku. Kesengajaan untuk mengadakan kerjasama dalam rangka mewujudkan suatu delik. Kedua, elemen melawan hukum objektif. Adanya kerjasama yang nyata dalam mewujudkan delik. Delik penyertaan tersebut bukanlah perluasan perbuatan pidana namun perluasan pertangungjawaban pidana. Jadi, “Kesemua pihak yang terlibat dalam pengusulan RUU HIP harus bertanggungjawab,” tegas Abdul Chair Ramadhan. Menurutnya, meski RUU HIP telah dihentikan/dibatalkan dari Prolegnas, namun hal tersebut tidaklah menghilangkan pertanggungjawaban pidana terhadap pihak-pihak terkait, terutama Partai pengusul dan aktor intelektualnya. Artinya, petugas Kepolisian harus tetap memproses LP dari TAKTIS. Bukan lagi Dumas! (Bersambung) Penulis Wartawan Senior
Tinjauan Yuridis (1): Membahas RUU HIP, Khianati Pancasila!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), apalagi sampai membahas dan menetapkannya menjadi sebuah Undang-Undang (UU), itu merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila! Mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah perbuatan makar terhadap negara. Karena jelas sekali tertera di dalam RUU HIP itu, inisiator RUU ini (baca: PDIP) tampak ingin mengubah Dasar Negara: Pancasila. Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto sendiri mengakui bahwa RUU HIP ini adalah inisiatif dari PDIP yang didukung parpol lainnya di DPR. Motif mereka tidak samar-samar. Mereka berencana untuk menghilangkan agama dari bumi Indonesia. Rencana itu tidak saja melawan pasal-pasal pidana, tetapi juga bertentangan frontal dengan UUD 1945. Di dalam RUU HIP tersirat keinginan untuk menghidupkan kembali komunisme dan marxisme-leninisme di Indonesia. Itu terlihat dari peniadaan Tap MPRS XXV/1966 tentang larangan komunisme (baca PKI) di deretan konsideran RUU HIP. Inilah salah satu fakta yang menyulut reaksi keras dari rakyat dan ormas lewat unjuk rasa 24 Juni 2020 di DPR. Sebagai parpol yang sedang memegang kekuasaan eksekutif maupun legislatif, melalui RUU HIP ini, selain ingin merebut kembali hegemoni tafsir Pancasila. PDIP ingin menghidupkan kembali gagasan Ir. Soekarno. Hal itu terlihat dalam rumusan memeras Pancasila menjadi Trisila. Kemudian diperas lagi menjadi Ekasila: Gotong Royong. Rumusan itu muncul dalam pidato Soekarno pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Padahal, soal rumusan Pancasila sudah selesai pada 18 Agustus 1945. Maka, dengan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia menjadi dasar atau landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut sistem ketatanegaraan. Makanya, RUU HIP ini ditolak oleh berbagai kalangan, termasuk MUI dan purnawirawan TNI. Satu hal lagi yang membuat berbagai kekuatan agama (ormas Islam) dan purnawirawan TNI itu meradang adalah penolakan PDIP mencantumkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam RUU HIP. Perlu dicatat dan diingat, dalam Ketetapan MPRS itu PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Maka, wajar jika langkah politik PDIP ini mengundang kecurigaan. Sikap politik PDIP terhadap TAP MPRS ini sesungguhnya cukup jelas. Sebuah kliping media yang belakangan beredar, menunjukkan pada Sidang Tahunan MPR (2003) PDIP mengagendakan dan akan memperjuangkan pencabutan TAP tersebut. Dasar pertimbangannya adalah HAM (Rakyat Merdeka, 29 Juli 2003). Kini manuver politik PDIP berubah menjadi prahara. Penolakan memasukkan TAP MPRS XXV Tahun 1966 dan memeras Pancasila menjadi Ekasila – meski katanya sudah dicabut – menghidupkan kembali isu lama: bangkitnya PKI. Jadi, wajar kalau kemudian ada desakan agar penggagas RUU HIP itu agar diproses hukum. Pada Rabu, 1 Juli 2020, sekitar pukul 10.30 WIB WNI bernama Rijal Kobar bersama tim pengacara TAKTIS (Tim Advokasi Anti Komunis) mendatangi SPKT Polda Metro Jaya. Mereka datang untuk melaporkan dugaan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 b dan 107 d Undang-Undang Nomor 27 THN 1999. Terlapor adalah Rieke Dyah Pitaloka yang memimpin rapat RUU HIP dan Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP. Para terlapor telah menginisiasi dan memimpin serta mengorganisir usaha untuk mengubah Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi. “Para terlapor juga diduga menyusupkan, menyebarkan dan jargon dan paham serta ideologi komunis dalam usaha mengubah Pancasila tersebut,” kata Aziz Yanuar, dari Tim Pengacara TAKTIS, dalam rilisnya, Senin, 2 Juli 2020. Tapi, para petugas di SPKT menolak LP pengacara TAKTIS dengan berbagai alasan. Alasan pertama, mereka akan buat tim untuk membuat LP model A apabila polisi menemukan tindak pidana. “Kemudian setelah berargumen cukup panjang, sekitar pukul 14.00 WIB masuk pengaduan masyarakat saja dengan dasar dugaan kami adalah kami tidak diperkenankan buat LP terkait ini karena alasan mereka Pokoknya Harus Dumas,” ungkap Aziz Yanuar. Setelah itu sekitar jam 24.00, “Kami berargumen. Kali ini alasannya masih RUU salah satu objeknya dan belum disahkan. Kami bantah, bahwa jika sudah jadi Undang-Undang akan konyol jika kami buat laporan ke polisi,” lanjutnya. Namun polisi tetap bersikeras hanya mau menerima bentuk Dumas (Pengaduan Masyarakat) atas perkara penting yang mengancam keutuhan bangsa dan negara ini. Akhirnya, “Pada pukul 01.30 WIB kami terpaksa menerima bahwa pihak kepolisian/penegak hukum hanya mau menerima ini sebagai aduan masyarakat (Dumas) dengan Bukti Laporan Pengaduan yang Telah Resmi Kami Terima,” ujar Aziz Yanuar. Artinya, dalam hal ini, mereka menduga, ideologi komunis dan ancaman terhadap pihak yang ingin mengubah Pancasila menjadi komunis masih dianggap hal sepele oleh pemerintah dan penegak hukum. Tinjauan Yuridis Seharusnya petugas Kepolisian tidak serta merta langsung menolak LP Pengacara TAKTIS. DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, seorang pakar hukum pidana, memberikan tinjauan yuridisnya (Legal Opinion) terkait RUU HIP tersebut. Beberapa tindak pidana terkait menunjuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (UU Keamanan Negara); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Partai Politik), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (UU Peraturan Hukum Pidana) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan partai pengusul RUU dirumuskan sebagai berikut: Pasal 107a jo Pasal 107e huruf a UU Keamanan Negara jo Pasal 40 ayat 5 UU Partai Politik dan/atau Pasal 107d UU Keamanan Negara dan/atau Pasal 107e huruf b UU Keamanan Negara dan/atau Pasal 156a huruf a KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dengan demikian, susunan dugaan tindak pidana bersifat kumulatif dan/atau alternatif. Lebih lanjut dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Pertama, Pasal 107a jo Pasal 107e huruf a UU Kemanan Negara Jo Pasal 40 ayat 5 UU Partai Politik. Di dalam pasal 107a UU Keamanan Negara menunjuk pada perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya. Tindakan ini diketahui dari adanya rumusan RUU HIP yang mengandung ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme. Bisa dilihat dengan adanya penyebutan “sendi pokok Pancasila adalah Keadilan Sosial” (Pasal 6 ayat 1 RUU HIP). Keberadaannya terhubung dengan Pasal 7 RUU HIP yang menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Trisila sebagaimana dimaksud terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Perihal gotong-royong dapat mengandung makna penyatuan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang kemudian dikenal dengan Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM). Pasal ini tidak menyebutkan adanya suatu maksud untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara. Dengan demikian, delik dianggap selesai sepanjang telah terpenuhinya semua unsur yang disebutkan. Pasal 107e huruf a UU Kemanan Negara menunjuk pada perbuatan mendirikan organisasi (in casu Partai Politik) yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme -Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya. Hal ini dapat diketahui dari AD/ART Parpol, apakah ada mengandung paham/ajaran yang menyimpang dari Pancasila. Penyimpangan tersebut diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. (Bersambung) Penulis Wartawan Senior.
Denny Siregar Teror Santri Penghafal Alqur'an
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Jum'at (03/07). Bikin masalah lagi Denny Siregar ini. Setelah membully Almira Yudhoyono, kali ini Denny menyebut calon teroris kepada anak anak santri yang sedang berfoto bersama. Payah memang orang ini. Atas ungkapan berbau kebencian pada umat Islam ini, Denny dilaporkan ke Polisi. Tak urung Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhamul Ulum pun angkat bicara. Wagub Jabar ikut mendukung pelaporan atas Denny Siregar. Tidak boleh ada orang yang kebal terhadap hukum, jika menyerang atau menteror anak-anak yang masih polos dan lugu, termasuk Denny Siregar. Anak-anak belom dan tidak mengerti apa itu politik dan kepentingan politik. Makanya Denny harus diproses sampai ke pengadilan. Tulisan "calon teroris" yang diarahkan kepada anak santri adalah "teror" yang dilakukan Deni Siregar. Melukai hati umat Islam, dan melakukan serangan psikologis kepada anak-anak santri. Tak pantas dan sangat menistakan. Meski kalimatnya seperti lembut, tetapi hal itu adalah ujaran kebencian. Melanggar UU ITE. Juga melanggar KUHP tentang penodaan agama. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPI) juga bisa bertindak. Denny tidak membayangkan andai saja anaknya sendiri yang sedang berfoto bersama teman-temannya, lalu disebut sebagai calon provokator. Atau juga calon perampok dan calon koruptor. Bukan hanya orang tua yang tersinggung, tetapi juga bisa berpengaruh pada kejiwaan anak. Stigma buruk telah ditempelkan kepada anak-anak yang masih polos dan lugu. Terorisme adalah kejahatan khusus. UU No. 5 tahun 2018 membuat rumusan dengan formulasi yang sangat "keras". Ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, membuat teror atau rasa takut, korban massal, kerusakan obyek vital yang strategis, bermotif ideologi, politik, dan keamanan. Nah tuduhan calon teroris adalah calon pelaku perbuatan kekerasan di atas. Tuduhan yang sangat keji. Denny pernah menyatakan "ya benar, saya syi'ah, any problem with that?" Syi'ah berkarakter pembenci, pelaknat, bahkan penoda. Syiah melaknat shahabat dan istri Nabi Muhammad SAW. Syari'at dilecehkan. Orang yang bukan Syi'ah dikafirkan. Orang Syi'ah memendam dendam pada muslim Sunni. Peristiwa Karbala diungkit-ungkit sebagai spirit Syi'ah untuk menumpahkan darah. Syi'ah adalah teroris. Nah apakah kesyi'ahan Denny Siregar yang membuat pernyataan soal anak-anak santri pesantren Tahfidz Qur'an Darul Ilmi Tasikmalaya ini? Entahlah. Tapi yang jelas ungkapannya patut diduga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang layak untuk diproses secara hukum oleh pihak kepolisian. Uji kebenaran formil dan materielnya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi da'wah, pesantren, dan aktivis di Tasikmalaya yang keberatan atas postingan facebook Denny itu sudah tepat melangkah. Kini masyarakat melihat adakah hukum di negara kita masih tegak, adil, dan obyektif ? Denny selama ini sering disebut kebal hukum. Tapi kita yakin bahwa semua sama kedudukan di depan hukum. Yang salah patut dihukum. Semua bergerak sebelum hukum hakiki di hari nanti berlaku bagi para pendosa dan pendusta agama. Itulah mereka yang menyakiti hati umat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Dari New Normal ke New Indonesia
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (03/07). Pandemi covid-19 belum berakhir. Sampai kapan? Semua prediksi masih meleset. Semua survei belum ada yang tepat. Sementara, rakyat tak tahan lagi di rumah. Tabungan habis. Next, mau makan apa? Berbondong-bondong mereka keluar rumah. Jalankan aktivitas kembali. Kerja dan cari penghidupan. Di luar rumah, situasinya sudah mulai normal. Tapi, kali ini dengan protokol covid-19. Pakai masker dan sebagian masih mau cuci tangan. Tapi, physical and social distancing tak berlaku lagi. Kerumunan, bahkan joget dangdut bersama sudah dimulai. Nggak peduli yang terinveksi perharinya nambah kisaran 1500 orang. Cuek! Inilah New Normal. Hidup dipaksa untuk normal lagi. Mau tak mau. Faktor ekonomi jadi alasan utama. Soal ini, banyak pakar sudah bicara. Berbagai hasil analisis bertebaran di media. Cukup! Saya hanya merenung, kenapa New Normal tidak didorong untuk melahirkan spirit lahirnya New Indonesia? Apa New Indonesia itu? Keadilan sosial. Tentu saja, harus berbasis pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan Trisila dan Ekasila. Bagaimana memulainya? Keadilan sosial bisa diwujudkan jika hukum ditegakkan. Pangkal persoalan bangsa ini adalah masalah penegakkan hukum. Jika hukum bener, inysha Allah Indonesia juga bener. Nasib hukum sangat bergantung pada lembaga dan institusinya yang menegakkan hukum. DPR sebagai lembaga yang punya otoritas untuk membuat produk hukum atau konstitusi. Kalau banyak anggota Dewan titipan taipan, gimana mungkin produk hukum itu bisa bener? Aya aya wae. Saat pileg, para pemodal tabur uang. Kabarnya, ada kelompok korporasi dan taipan tententu yang punya anggota dewan di DPR lebih dari seratus orang. Lebih dari satu fraksi paling besar di DPR. Setara dengan fraksi PDIP yang punya anggota dewan lebih dari seratus orang. Ratusan anggota dewan terima jatah dana miliaran rupiah dari sang pemodal itu untuk membiayai kampanye. Dimulai dari biaya kegiatan survei, beli alat peraga, operasional kampanye, serangan fajar, sampai untuk menyuap petugas pemilu dan Bawaslu. Begitulah sistem kerjanya. Ada yang modal sendiri? Pasti ada. Secara jumlah, boleh jadi tak sebanyak yang pakai modal orang lain. Yang disumbangkan oleh korporasi licik, culas dan tamak. Ini hipotesis. Silahkan kesimpulan ini di-cross ceck benar-salahnya. Mahasiswa bisa jadikan ini sebagai obyek penelitian untuk skripsi, tesis atau disertasi. Wajar jika produk hukum itu seringkali terasa nggak rasional. Mereka itu titipan bro. Dari mana saja? Pemodal, taipan dan korporasi. Gimana nasib rakyat dan bangsa yang mau mereka perjuangkan? Sesekali anggota dewan perlu marah-marah ketika sidang. Biar dianggap mereka pro rakyat. Belum lagi faktor penegak hukum. Hulu sampai hilir suka nggak bebas dari transaksi. Markus namanya. Makelar kasus ada dimana-mana. Sudah jadi lahan bisnis mereka. Sudah dianggap sebagai pendapatan. Bahkan ada juga yang anggap itu reziki. Setiap pasal tentu ada harganya. Kenapa jadi begitu? Para pemodal ko cerdas ya? Bisnis dengan sistem ijon. Cari orang-orang yang berpotensi jadi pejabat di institusi hukum untuk 10-30 tahun ke depan. Beli integritas dan loyalitas mereka. Saat mereka menjabat, semua bisa diatur. Jangan harap anda menang perkara melawan para pemodal. Bisa, tetapi susah. Tidak mudah. Kecuali anda penguasa. Tak hanya parlemen dan lembaga hukum yang bermasalah. Eksekutif juga tak lepas dari masalah. Emang istana bisa bebas dari intervensi para pemodal? Kampanye di pilpres itu besar biayanya bro. Bisa puluhan triliun. Dari mana dana itu? Ya, dari pemodal. Emang gratis? Kagak. Jadi, kalau ada kementerian dijabat oleh seorang pemilik modal, ya jangan kaget. Itu sudah hal biasa saja. Belum lagi kepala daerah. Gubernur, bupati dan walikota juga butuh modal saat pilkada. Peluang para pemodal terbuka. Kesempatan mereka berternak uang di dunia politik. Hasilnya berlimpah. Jauh lebih besar dan lebih cepat dari bisnis biasa. Gak perlu kaget kalau ada hasil penelitian bahwa 60 persen kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia didapat melalui akses kekuasaan. Anda pasti tak keberatan untuk mengaminkan kesimpulan ini. Yang unik, banyak profesor dan kaum akademisi mendukung keadaan ini. Bahkan ikut numpang cari makan dengan menduduki suatu jabatan dan posisi. Terasa terhormat. Popularitas naik dan dapat menambah portofolio. Mereka tak sadar, bahwa posisi itu salah satu tugasnya adalah jadi tukang stempel kebobrokan negara. Jadi, New Normal dalam situasi pandemi, itu soal kecil. Tak perlu risau dan banyak dipersoalkan. Justru yang jadi persoalan, dan ini sangat serius adalah bagaimana membangun New Indonesia? Gimana caranya? Perbaiki tiga lembaga di atas. Eksekutif, legislatif dan lembaga hukum. Penyelenggara negara harus dijauhkan dari mafia pemodal jabatan, maka akan ada New Indonesia. Indonesia yang sumberdaya alamnya bisa dinikmati rakyat secara adil karena produk hukumnya dibuat dan ditegakkan untuk melindungi kepentingan rakyat. Bukan kepentingan pemodal. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Ayo Kita Tes, Trisila-Ekasila Itu Makar atau Bukan?
by Asyari Usman Jakarta FNN – Jum’at (03/07). Sejauh ini, kepolisian masih belum bertindak. Mereka belum turun tangan mengusut dugaan makar terkait keinginan PDIP untuk memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Pihak-pihak yang menentang Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) berkali-kali mendesak agar Polisi melakukan pengusutan. Baik. Boleh jadi kepolisian tidak bertindak, karena merasa gagasan Trisila-Ekasila itu bukan perbuatan makar. Atau, bisa juga karena terduga pelaku makar “terlalu besar” untuk diurus oleh Pak Polisi. Wallahu a’lam bishawab. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Sekarang, mari kita tes. Sekadar ujicoba untuk memastikan Trisila-Ekasila itu makar atau bukan. Caranya sangat mudah. Dan bisa dilakukan secara terbuka oleh siapa saja. Tidak perlu sembunyi-sembunyi. Begini. Kita minta salah satau “fraksi kanan” di DPR, apakah itu PKS, PKB, PAN, atau PPP, membuat dan mengajukan RUU untuk mengubah Pancasila. Khususnya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebut saja RUU itu berjudul “Solidasi Sila Ketuhanan” (SSK). Singkatnya, RUU SSK. Yang diubah tidak banyak-banyak. Dan tidak ruwet. Yaitu, mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa”. Ini diambil dari ayat pertama surah al-Ikhlas: “Qul Hua Allahu Ahad”. Itu saja yang diusulkan untuk diubah. Boleh dikatakan, tidak ada perubahan makna yang berarti dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam RUU SSK ini, partai pengusul (inisiator) tentunya membuat uraian tambahan sebanyak puluhan halaman. Yang menjelaskan perlunya penguatan atau solidasi dasar negara. Jelaskan di dalam RUU SSK bahwa usul mengubah redaksi Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa” (KAIME) akan meningkatkan kekuatan batin manusia Indonesia. Jelaskan bahwa KAIME akan menjadi sumber ketakwaan yang sesungguhnya. Sedangkan ketakwaan yang sesungguhnya akan menjadikan manusia Indonesia semakin sadar tentang perlunya kebersamaan. Pemahaman KAIME (Qul Hua Allahu Ahad) dengan baik akan menumbuhkan sifat dan watak sosial yang kuat. Yang akhirnya akan menumbuhkan keadilan sosial yang terbaik di dunia. Pokoknya, siapkan narasi yang penjang-lebar dan mendalam bahwa KAIME bukan gagasan manusia. Melainkan wahyu Tuhan. Kalau Trisila dan Ekasila ‘kan cuma pikiran manusia. Sebutlah pikiran Bung Karno. Sedangkan “Qual Hua Allahu Ahad” adalah firman Yang Maha Agung. Siapkan RUU SSK dengan 40 pasal, misalnya. Ajukan ke Badan Legislasi (Baleg) untuk dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas). Kemudian diusulkan pula pembentukan panitia kerja (panja) yang diketuai oleh salah seorang anggota DPR dari parpol pengusul. Setelah itu kita lihat ada atau tidak orang yang akan meneriakkan makar terhadap RUU SSK. Kalau ada yang mengatakan usul pengubahan KMYE menjadi KAIME sebagai perbuatan makar, berarti memeras Pancasila menjadi Trisila-Ekasila pun adalah perbuatan makar. Sebaliknya, kalau KAIME tidak diteriakkan sebagai perbuatan makar, berarti Trisila-Ekasila bukan rencana makar terhadap dasar negara. Dan dengan demikian RUU SSK dengan usul KAIME-nya bisa dilanjutkan juga. Persoalannya, apakah orang akan senyap saja kalau Ketuhanan Yang Maha Esa diubah menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa”? Kelihatannya tak mungkin itu bisa terjadi. Jadi, silakan salah satu parpol menyusun RUU SSK yang mengandung usul pengubahan KYME menjadi “Katakanlah, Allah Itu Maha Esa”. Apakah itu makar atau bukan? Penulis adalah Wartawan Senior
Pejabat Negara Yang Senang Dengan Lebay
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (02/07). Lebay asal makna lebih, adjektif menjadi berlebihan. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dicari sampai botak pun tidak akan ditemukan. Lebay adalah bahasa gaul. Suatu keadaan yang dibuat-buat oleh pelaku yang semestinya biasa saja. Contoh "dijitak" kepalanya dibilang "dipukul hingga lebam". Lebay dalam bahasa Inggrisnya disebut "over reacting". Negara lebay, tak lain adalah negara dimana para pemimpin atau penyelenggara negara melakukan tindakan yang berlebihan. Publik melihat tidak tersebut "over acting" atau "over reacting". Sesuatu yang sebetulnya tak perlu "begitu-begitu amat". Pemimpin negara yang bertingkah berlebihan itu, menandakan kalau ada kelemahan pada yang bersangkutan. Adanya kelemahan yang mesti ditutupi, atau mungkin cari perhatian yang "aneh-aneh" untuk meningkatkan popularitas diri. Pemimpin yang seperti ini biasanya ada mereka yang miskin narasi, miskin literasi dan miskin diksi. Kasus Walikota Surabaya yang gemar dengan"acting". Menyapu di jalan atau menyemprot desinfektan adalah contoh yang lebay. Lebih lebay kasus sujud Risma di depan dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Risma memosisikan diri sebagai "Lebay Mayor". Walikota yang lebay. Marah-marahnya pun menjadi "trade mark". Lebih awal "acting" Gubernur DKI Basuki atau Ahok. Dia yang marah-marah di depan ibu ibu dengan menunjuk-nunjuknya adalah mbahnya lebay pula. Soal komentar Ahok dalam hubungan dengan Puput pun warganet menyebutnya lebay. Ahok adalah "Lebay Governor". Kini sang mantan terpidana penista agama ini menjadi Komut Pertamina. Lebih lebay lagi. Lebay yang paling terakhir adalah adegan marah-marah Pak Jokowi pada sidang kabinet tertutup 18 Juni 2020. Video sidang itu dipublikasikan oleh Setneg tanggal 28 Juni 2020. Sepuluh hari setelah sidang cabinet. Tujuannya, agar seluruh rakyat Indonesia mengetahui bahwa Presiden Jokowi itu tegas dan bisa memarahi menteri-menteri. Adegan inipun dibaca publik sebagai lebay yang berlebihan. Soal marah-marah ini menjadi pertanyaan, apakah itu sebenarnya atau disain? Lalu jika sebenarnya pantaskah dilakukan oleh seorang Presiden ? Akhirnya seperti Risma dan Ahok, Jokowi bisa digelari dengan "Lebay President". Tentu bukan hanya tiga petinggi tersebut saja yang bersikap lebay. Megawati yang mengajar salam Pancasila, yang ditindaklanjuti oleh Yudian Wahyudi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) termasuk yang mengada-ada, alias alias lebay juga. Apalagi Mahfud MD yang mengatakan mudik dan tarawih berjamaah bisa dipidana. Mahfud rupanya suka dengan lebay. PDIP yang menggerakkan kader seluruh Indonesia melapor-lapor ke Polres Polres soal pembakaran bendera adalah lebay. Begitu juga dengan RUU HIP, yang dicoba diganti RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila), ya sangat lebay lagi. Rakyat meminta untuk dihentikan pembahasannya. Bukan malah "dilebay-lebaykan”. Bukan juga dengan mengganti nama dari RUU. Harun Masiku dihilangkan. Ini malah moyangnya lebay. Penyiram air keras ke Novel cuma dituntut satu tahun, karena dianggap "tak sengaja" lebay. Ketua KPK Firli Bahuri yang naik helikopter mewah pulang ke kampung halamannya, ya lebay bangat. Sepeda mau dipajakin, sementara yang mewah bebas dari pajak. Itu pasti lebay. Pimpinandari komplotan lebay itu adalah arahan Presiden agar menjual murah lahan negara untuk investor asing. Terlalu banyak lebay-lebay yang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Mungkin menjadi layak, jika negara kita saat ini disebut sebagai negara lebay (lebay state). Sungguh menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.