Hanya di Era Roformasi, Suami Bupati & Isteri Ketua DPRD
by Gde Siriana Yusuf
Jakarta FNN – Sabtu (04/07). Kita tak pernah sungguh-sungguh dengan reformasi. Faktanya ada suami yang menjabat sebagai Bupati, dan istrinya malah menjadi Ketua DPRD di Kabupaten yang sama. Fakta seperti ini bukan menjijikan, tetapi menghina para mahasiswa yang menjadi Pahlawan Reformasi.
Publik negeri ini dibuat kaget sejati-jadinya setelah ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Bupati dan Ketua DPRD Kutai Timur ditangkap KPK. Keduanya adalah suami-isteri yang menjadi pejabat tertinggi eksekutif dan legislatif di kabupaten ini. Bukti bahwa KKN di era reformasi ini justru makin berkarat.
Semua politisi selalu berdalih tidak bahwa ada aturan yg melarang. Makanya satu keluarga bisa masuk ke dalam pemerintahan dan parlemen bersama-sama. Upaya ini membentuk dinasti yang berkuasa turun-temurun. Ujung-ujungnya korupsi dan abuse of power terjadi tanpa kontrol dari legislatif.
Politik itu beda dengan hukum positif. Politik itu berbasis gentlemen, goodwill, trust. Punya etika dan moral. Meski tidak ada aturan yang melarang. Makanya moral dan etika yngg bekerja untuk mengontrol syahwat dan kekuasaan diri sendiri. Maksudnya agar tidak terjadi abuse of power dan conflict of interest.
Dengan sistem politik dan kontestasi yngg didrive oleh uang yang marak saat ini, uang menjadi penentu. Hanya pengusaha kaya, dan kepala daerah yang punya kuasa beserta keluarganya yang boleh ikut dalam kontestasi politik. Jika tidak, pasti dibelakangnya ada pemodal pengusaha kaya.
Nikmat berkuasa itu memang memabukkan. Hanya orang ikhlaslah, yang mau mengabdi untuk rakyat dan orang banyak. Yang merasakan bahwa berkuasa itu berat dan penuh dengan ujian. Tetapi karena adanya godaan selama menjabat itu merasakan nikmatnya harta dan kekuasaan. Jadinya ketika menjabat seperti orang yang kalap. Berlaku serba aji mumpung. Mendorong keluarga untuk kejar jabatan politik, meski tadak punya kemampuan dan kapasitas.
Perilaku politik tanpa moral dan etika ini terjadi pada semua level kekuasaan. Dara pusat hingga daerah. Tidak aneh, jaka terjadi pembiaran-pembiaran di sana-sani. Karena semua serba heppi. Kecuali rakyat, daerah dan negara yang menjada korban. Semua serba diam, karena ikut menikmati sistem politik dan kontestasi yang berbasis uang.
Tak pernah terjadi Parpol atau kandidat didiskualifikasi atau dipidana karena money politic. Tetapa semua menyaksikan wanipiro ini benar-benar terjadi di depan mata kita. Tak heran outputnya adalah konflik kebijakan dan korupsi. Yang belom ditangkap, hanya karena lihai dengan pengaruh dan uangnya.
Kini setelah orang tuanya berkuasa. Juga terkumpul uang banyak, maka uang dan pengaruh itu digunakan untuk menjadikan anak-istrinya duduki jabatan kekuasaan. Supaya nikmatnya kekuasan ini bisa dirasakan secara turun-temurun sekeluarga. Tidsk ada lagi rasa malu. Apalagi takut kapada Allah SWT bahwa kekuasaan itu adalah amanat untuk sejahterakan rakyat.
Tak pernah ada yang mau buktikan soal money politic. Berapa uang untuk menang dalam kontes politik. Padahal ini sebagai dasar kuat bahwa kandidat terpilih karena KKN. Sebab tadak masuk akal, jika gaji Gubernur yang hanya Rp 8 jutaan, sedangkan untuk menang kontestasi sponsornya perlu keluarkan uang antara Rp. 300-500 miliar.
Jika kondisi ini terus terjadi, maka Indonesia tidak kan pernah berhasil untuk membangun mensejahterakan rakyatnya. Karena anggarn sebenarnya sudah dirampok sejak kontestasi politik. Berapa banyak uang untuk memenangkan kontestasi? Termasuk mahar untuk parpol? Itulah yang akan ditanggung oleh rakyat dari inefisiensi pembangunan.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS).