OPINI
Mengukur Kemampuan Pemimpin Di Tengah Covid-19
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (17/04). Thomas Carlyle membuat teori herois. Dia bilang, “di tangan pemimpin perubahan bangsa itu terjadi. Betapa besar pengaruh seorang pemimpin sehingga takdir bangsa ada di genggaman tangannya”. Pesan moral dari teori Thomas Carlyle adalah, “jangan salah memilih pemimpin. Jika salah, maka perubahan itu akan menuju ke arah yang salah. Pilihlah pemimpin yang benar, agar sebuah bangsa menuju ke arah yang benar”. Bicara soal ini ada tiga kelompok manusia. Pertama, ordinary people. Masyarakat biasa. Orang awam. Kelas rakyat. Di semua negara, kelompok ini paling banyak jumlahnya. "sak karepmu dewe urus negoro, sing penting kerjoku lancar, anak bojoku isih iso mangan sego". Nah, inilah ordinary people. Kedua, eksepsional person. Manusia istimewa. Beda dari yang lain. Kompetensi dan literasinya membuat ia layak menempati posisi sebagai pemimpin. Ia memengaruhi, bukan dipengaruhi. Ia leader, bukan boneka. Dari kata "lead" yang artinya memimpin. Berada di depan. Jadi imam. Ketiga, holder of eksepsional position. Manusia biasa. Tapi karena faktor "x" ia terpilih jadi pemimpin. Mewarisi atau mengambil secara "tidak etis" dari posisi orang-orang yang lebih layak dan memenuhi persyaratan sebagai pemimpin. Anak raja dalam sistem monarki, misalnya. Atau ia pandai bersolek di era demokrasi. "petruk dadi ratu", begitu kata dunia pewayangan. Saat pandemi covid-19 melanda duniasekarang, saecara alami para pemimpin akan terseleksi. Dari yang pemimpin kecil, sampai pemimpin dengan wilayah dan otoritas yang luas. Termasuk pemimpin bangsa dan pemimpin daerah. Dalam situasi normal, seorang pemimpin biasanya baru akan terkoreksi setelah berhenti berkuasa. Saat berkuasa, durasi waktu yang panjang (5-10 tahun), para pemimpin masih bisa menggunakan fasilitas dan kekuasaannya untuk menutup-nutupi karakter dan kapasitas asli dirinya. Mereka bisa saja menekan dan mengancam orang yang kritis, yang ingin membongkar kebobrokan dirinya. Mereka juga bisa sewa buzzer untuk membuat opini yang "selalu baik" tentangnya. Setelah pemimpin itu turun, dan tak berkuasa lagi, fasilitas otomatis berhenti. Semua akan terlihat "apa adanya". Termasuk hasil kerjanya terkoreksi secara terbuka. Akan terlihat ia pahlawan, atau pecundang. Ia pemimpin, atau maling. Para buzzer juga pensiun, karena tak ada lagi yang bisa dipoles. Masa pandemi covid-19, durasi waktunya pendek. Mendadak dan tiba-tiba. Semua orang gagap dan panik. Di sinilah seorang pemimpin akan diuji. Sejauh mana ia punya kompetensi dan narasi dalam menghadapi situasi seperti ini. "Ini dadaku, mana dadamu”? Begitu kata Soekarno. Yang seperti ini namanya pemimpin asli. Bukan pemimpin rakitan. Paling tidak "berjiwa pemimpin". Dengan segala kekurangannya, Soekarno adalah seorang pemimpin yang berkarakter. Selain karakter, pemimpin juga harus berkompeten. Karakter dan kompetensi adalah dua hal yang saling memengaruhi. Saling menopang dan melengkapi. Karakter seorang pemimpin dipengaruhi oleh kempetensinya. Anehnya, nggak kompeten kok jadi pemimpin, berarti nggak berkarakter. Kalau lu punya pemimpin yang "sudah tak berkarakter, tak ada kemampuan lagi", maka kelar hidup lu. Karakter dan kompetensi seorang pemimpin akan terlihat secara terang-benderang ketika ia dihadapkan pada masalah. Covid-19 adalah masalah yang sangat serius. Penyebarannya luar biasa cepat. Tingkat kematiannya tinggi. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan sangat terbatas. Masalah lainnya, keuangan negara jugas terancam. APBN-APBD megap-megap. Padahal dampak sosial-ekonominya sangat dahsyat. Kondisi ini akan dapat mengukur karakter dan kompetensi seorang pemimpin. Bagaimana cara mengukurnya? Lihat saja cara ia menghadapi dan menanganinya. Lihat juga keputusan dan kebijakan yang dibuat. Pagi tempe, sore dele nggak? Waktunya teramat singkat. Tak sempat lagi pemimpin bersolek. Buzzer terbatas ruang geraknya. Isu covid-19 begitu cepat dan masif. Second to second. Tak akan tertandingi oleh isu lain. Semua akan fokus melihat isu ini. Juga melihat bagaimana pemimpin mereka menyelesaikannya. Dari kasus covid-19, akan terlihat dengan nyata dan jelas. Mana pemimpin yang berkompeten, dan mana yang tak berkompeten? Ia eksepsional person, atau holder of eksepsional position? Ia pemimpin asli, atau hanya bonek?. Kompetensi pemimpin seperti ini berlaku di semua negara. Dari mana melihatnya? Pertama, sejauhmana seorang pemimpin memahami masalah. Ini hal yang paling mendasar dan prinsip. Kalau nggak tahu masalah, bagaimana mungkin ia bisa menyelesaikan? Salah satunya bisa dilihat dari informasi dan narasinya. Sesuai fakta, atau bertentangan? Kedua, bagaimana perencanaan dan langkah antisipasi yang disiapkan pemimpin tersebut? Cenderung cepat atau lambat? Serius, atau sekedarnya saja? Ini soal komitmen. Rakyat pasti membacanya. Ketiga, terukur tidak program dan tindakan yang dilakukan pemimpin tersebut. Baik pada saat proses maupun hasilnya. Berapa perhari bisa menekan angka terinveksi? menambah angka orang yang sembuh dan memperkecil tingkat kematian. Semua mesti terkalkulasi. Dengan upaya mitigasi, kapan pandemi ini akan berakhir. Ini juga mesti terprediksi. Sehingga ada kepastian terhadap masa depan. Keempat, bagaimana kemampuan pemimpin menggerakkan dan mengkonsolidasikan semua kekuatan dan potensi di bawah otoritasnya. Sinergi bawahan ada di tangan pemimpin. Kalau bawahan jalan sendiri-sendiri, bahkan malah bertabrakan, ini indikator bahwa kepemimpinannya nggak jalan. Kelima, bagaimana seorang pemimpin itu bisa ikut merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Ada empati yang bisa dirasakan oleh mereka yang kehilangan keluarganya nggak? Ada emosi yang menyentuh perasaan para dokter yang koleganya berguguran nggak? Lima hal ini akan menjadi seleksi alam. Apakah para pemimpin itu eksepsional person, sungguh-sungguh seorang pemimpin, atau holder of eksepsional position, para pemimpin pajangan semata? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Luhut Panjaitan Sama dengan Trump, "Tidak Punya Empati"
Oleh : Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Rabu (15/04). Seru juga menyaksikan perdebatan seru antara wartawan yang ngepos di White House dengan Presiden AS Donald Trump dalam tayangan di CNN Internasional, belum lama ini. Di tengah wabah Covid19, wartawan tetap datang ke Gedung Putih menunaikan tugasnya mengabarkan informasi kepada khalayak luas. Saat ini orang yang paling dibenci rakyat Amerika adalah Presidennya sendiri. Betapa tidak, Trump tetap memaksakan keinginannya untuk membuka kembali semua kegiatan ekonomi dan bisnis sebelum 1 Mei 2020. Suara Trump ini berseberangan dengan aspirasi dan suara para gubernur negara bagian di AS yg menghendaki agar status keadaan darurat atau pembatasan kegiatan masyarakat masih tetap diberlakukan untuk mengurangi dampak penularan Covid19. Jumlah warga AS yang meninggal akibat Covid19 terus bertambah. Menurut data CNN Internasional, Rabu malam waktu Jakarta (pagi hari waktu AS), warga AS yg meninggal berjumlah 26.119 orang. Penduduk New York paling banyak yang meninggal akibat Virus Corona. Oleh karena itu Gubernur New York Andrew M. Cuomo selalu memberikan update info yang disiarkan secara langsung di CNN Internasional dan FOX News. Kata Cuomo, dalam 24 jam sebanyak 752 orang NY mati akibat Covid19. Berbeda dengan keprihatinan warga dan sejumlah gubernur negara bagian, Donald Trump justru mengutamakan bisnis, bisnis dan bisnis dan cenderung mengabaikan dan menganggap enteng terhadap ancaman kesehatan dan ancaman kematian massal rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia ? Berdasarkan data yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid19, Rabu (15/4), kasus pasien positif Covid-19 bertambah 297 kasus, total menjadi 5.136 kasus. Sebanyak 20 pasien dinyatakan sembuh dan 9 orang meninggal dunia, total 446 pasien sembuh dan 468 orang meninggal dunia. Dari 33.001 spesimen diterima, tercatat 27.865 kasus negatif corona. Jumlah ODP tercatat sebanyak 165.549 orang dan jumlah PDP tercatat sebanyak 11.165 orang. Di tengah peningkatan jumlah korban Covid19, masih ada pejabat pemerintah yang mengeluarkan kontraproduktif bahkan menyakiti hati dan perasaan masyarakat. Seperti diberitakan berbagai media, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menganggap masih kecil jumlah orang Indonesia yang meninggal akibat Convid19. "Buat saya tanda tanya jumlah meninggal itu gak sampai 500 (orang). Padahal jumlah penduduk 270 juta. Infected 4.000-an lebih. Katakan itu kali 10 itu 50 ribu," ujar Luhut sebagaimana dikutip Detik.com. Ucapan Luhut ini juga diberitakan media mainstream lainnya karena dia sengaja mengadakan jumpa pers melalui video conference. Di tengah wabah pendemi global ini, Luhut berulang kali membuat pernyataan yang menyakitkan masyarakat. Seharusnya dalam situasi seperti sekarang para pejabat negara mengeluarkan kata dan pernyataan yang menyejukkan dan menenangkan. Serta memberikan rasa aman dan kepastian untuk rakyat Indonesia. Saat ini rakyat butuh kerja sama untuk menangani wabah Virus Corona. Pejabat negara sebaiknya menghentikan pernyataan yang tidak etis dan akhirnya bisa memicu perdebatan maupun pertentangan publik. Alih-alih negara melindungi rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi, ini pejabat negara seperti Luhut Binsar Panjaitan menebarkan pernyataan provokatif yang menyakiti perasaan masyarakat. "Pernyataan itu seakan tidak menyisakan empati dan simpati kepada keluarga korban. Belum lagi, ada puluhan dokter dan tenaga medis yang juga meninggal. Kasihan keluarganya jika mendengar pernyataan seperti ini," kata Saleh Partaonan Daulay, anggota DPR RI Fraksi PAN, sebagaimana dikutip portal berita Liputan6. Kritik serupa disampaikan politikus PKS yang juga mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring. Menurut Tifatul, tidak selayaknya Luhut menyampaikan pernyataan seperti itu sebab yang diucapkannya itu menyangkut nyawa manusia. "Tapi ini kan nyawa manusia, bang. Manusia Indonesia. Abang nggak bisa lihat dari sisi statistiknya saja. Ini bukan bisnis bang," kata Tifatul dalam akun Twitternya, Rabu (15/4). Jika diamati sepintas, ada kemiripan pernyataan antara Luhut Binsar Panjaitan dengan Donald Trump. Keduanya sama sekali tidak mempunyai empati. Selama wabah global ini berlangsung, keduanya cenderung mengabaikan faktor nyawa manusia dan lebih mengedepankan urusan bisnis dan ekonomi. Trump ngotot untuk menghidupkan kembali semua kegiatan bisnis dan usaha, demikian juga Luhut sangat permisif dengan kedatangan ratusan TKA dari China yang mengerjakan proyek di Sulawesi. Padahal, sumber penyebaran virus Covid19 berasal dari China. Seandainya Luhut mau diajak berdebat seperti Presiden AS, Donald Trump, saya sangat berminat untuk mendaftar sebagai mantan wartawan Istana Kepresidenan di era Presiden Gus Dur. Jika menyaksikan perdebatan dengan Donald Trump, wartawan Gedung Putih dengan sengit mengritik dan mengajukan pertanyaan kritis dan tajam kepada Trump. Dan Sang Presiden pun melayani pertanyaan kritis dengan ucapan-ucapan yang juga tidak kalah seru. Editor BBC untuk Amerika Utara, Jon Sopel melukiskan Presiden Donald Trump membuat konferensi pers yang "paling membuat mulut menganga, mata terbelalak dan kepala pusing" pada Senin petang waktu setempat. Dalam jumpa pers ini, Trump mengklaim memiliki kewenangan "penuh" untuk mencabut kebijakan karantina wilayah atau lockdown tingkat nasional, yang bertentangan dengan sikap para gubernur dan pakar hukum. "Presiden AS memiliki kekuatan penuh untuk melakukannya," kata Trump dalam jumpa pers di Gedung Putih, yang diwarnai perdebatan dengan para jurnalis. Namun demikian menurut Konstitusi AS, negara bagian memiliki hak untuk menjaga ketertiban dan keamanan publik. Trump kerap memanfaatkan konferensi pers harian di Gedung Putih untuk menyerang media. Sebuah jaringan televisi menyebut konferensi pers pada Senin petang tersebut sebagai reaksi paling berlebihan yang pernah ditujukan oleh seorang Presiden AS. Donald Trump masuk ke ruangan dengan sejumlah isu yang perlu dia selesaikan dengan media, kata wartawan BBC Jon Sopel yang meliput di Gedung Putih. "Bukan tentang jumlah yang meninggal, yang sakit parah, orang yang takut tertular virus. Tapi (jumpa pers ini) tentang dia. Khususnya terkait kekesalannya terhadap media yang kritis atas penanganan pemerintahan AS terkait Covid-19," tulis Sopel. Di Indonesia , jika saya kilas balik ke era Presiden Gus Dur, ketika itu Presiden secara rutin juga mengadakan press meeting. Gus Dur sengaja membuat forum tanya jawab langsung antara dirinya dengan para wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan. Ketika itu sekitar tahun 2001, Gus Dur pernah marah dengan pertanyaan seorang wartawan yang menanyakan aksi Pro Gus Dur yang melakukan sejumlah demo bahkan sebagian melakukan perusakan di Kota Surabaya, Jawa Timur. Di era Gus Dur, media massa memang banyak menyerang dan mengritik pemerintahan Gus Dur karena dinilai banyak membuat pernyataan kontroversial serta pemecatan terhadap sejumlah menteri. Diantara menteri yang pernah dipecat Gus Dur adalah Menperindag Jusuf Kalla dan Menhakam/Pangab Wiranto. Setelah memecat JK, Gus Dur kemudian mengangkat Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Dulu di era Gus Dur, Menperindag Luhut Panjaitan lebih banyak "diam" dan tidak banyak berperan seperti sekarang. Sebelum jadi Menperindag, posisi Luhut sebagai Dubes RI di Singapura. Kembali kepada usulan adu debat antara wartawan dengan Luhut Panjaitan menyangkut percepatan penanganan Covid19, kemungkinan akan banyak media yang berminat mengirimkan wartawannya. Kok bukan dengan Presiden Joko Widodo seperti debat di AS dengan Presiden Donald Trump? Bukankah The Real Presiden' Indonesia Luhut Binsar Panjaitan? Wallohu a'lam bhisawab. Penulis Wartawan Senior
Presiden Disandra Korporasi Besar?
Kita banyak sekali berhutang budi pada hari-hari awal itu kepada keberanian dan inspirasi Winston Churcill. Yang tanpa rasa gentar menghadapi kesulitan dan kerugian, memberikan contoh yang menular kepada rekan-rekannya, yang tidak seperti dia banyak memikirkan, kalau memang memikirkan masalah perang (Maurice Hankee, Sekertaris Kabinet Churchill). By Margarito Kamis Jakarta FNN – Rabu (15/04). Presiden beberapa hari lalu, mengirim orang-orangnya. Yang dikirim menteri, untuk bersama-sama DPR membahas Rancangan-Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja. Kecuali Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra. Partai-partai yang lain terlihat lebih dari jelas, menari dalam gairah yang sama dengan Presiden. RUU ini, tidak jatuh dari langit. RUU ini datang dari Presiden. Sangat hebat RUU ini. Aransemennya asyik bangat. Itu mengakibatkan RUU ini menyuguhkan efek musikalitas reage yang mengasyikan. Yang memungkinkan DPR menari sepanjang waktu. Lirik dan nadanya (pasal-pasal) begitu tepat dilantunkan dalam suasana sekarang. Tidakkah sekarang sedang krisis corona yang memerlukan penanganan? Bisa apa rakyat terhadap korporasi? Mau apa bangsa besar ini terhadap politik? Kedaulatan rakyat? Pemilu telah megalihkan sebagian besar kekuasaan itu kepada Presiden dan DPR. Rakyat tak lagi mempunyai kekuasaan apapun setelah pemilu usai. Presiden dan DPR yang paling berkuasa. Mereka yang paling benar mendefenisikan hitam-putih bangsa ini. Politik tak selalu tahu tentang hal jorok, jijik dan sejenisnya. Tidak. Jorok, jijik dan sejenisnya itu, terlalu rumit untuk dibincangkan dalam politik. Itu hanya indah dan manis, semanis madu dalam filsafat. Politik harian hanya berputar di sekitar siapa dapat apa? Kini atau esok? Di sini atau di sana? Omnibus Law Dibahas Selalu begitu dalam politik liberal kapitalistik. Politik ini teranyam rumit dalam urusan siapa dapat apa? Bagaimana dan seterusnya? Agar semua yang diperoleh mengandung elemen legitim, maka harus diberi bentuk hukum. Diatur dalam produk bernama undang-undang (UU). Begitu politik bekerja melahirkan hukum-hukum baru, untuk kepentingan-kepentingan praktis, yang satu dan lainnya saling terkait. Postur kerja politik yang menghasilkan UU. Apapun sifat dan substansinya, kelak dikenal dengan politik hukum. Ilmu ini bukan hukum. Ilmu ini bekerja dengan lensa diskriptif. Dengan lensa ini, hukum tidak akan terlihat sebagai cara terbaik. Namun tercanggih menyembunyikan pernak-pernik kepentingan partisan. Lensa diskriptif dapat keluar dengan segala macam gambar. Itulah kehebatan lensa diskriptif ini. Begitulah bawaan alamiah politik dan hukum liberal kapitalistik. Kritikan beralasan berbagai kalangan atas pasal-pasal RUU paling binasa ini, namun akan dilihat hanya sebagai salah satu gambar. Gambar yang lainnya bisa lebih indah, sesuai ritme musikalitasnya. Politik tidak menyediakan politisi yang dapat dengan cepat mengenal kesahalan. Cukup hanya dengan politisi yang sedang-sedang saja. Yang sering terperangkap dalam banyak urusan, baik maupun buruk. Bagi politisi sedang-sedang saja, dunia terlalu luas untuk cepat mengenal kelemahan, apalagi kesalahan. Apa yang dilihat salah pada hari ini, kata mereka, bisa jadi akan menjadi hal benar pada saat lain. Politisi sedang-sedang saja selalu merupakan gudang terbesar dari sikap yang mencla-mencle. Tapi pesan saya jangan pernah bilang Pak Presiden, Pak Jokowi, dalam sejumlah aspek politik RUU ini sebagai yang mencla-mencle itu. Sejauh ini tidak terlihat pernyataan darinya yang satu dan lainnya saling menyangkal. Yang terlihat malah konsisten dan konsisten. Kalau tak salah, Pak Presiden bahkan menghendaki agar RUU ini bisa cepat selesai pembahasannya di DPR. Konsistensi Pak Presiden itu kini sedang bekerja. Saat ini, di tengah gempuran Corona, RUU yang dalam analisis berbagai kalangan lebih mewakili, bahkan menguntungkan korporasi itu, sedang dibahas. Boleh jadi pembahasannya akan sangat produktif. Bisa cepat selesai dalam wektu dekat. Bisa segera menjadi UU. Menjadi hukum positif yang berlaku bagi semua warga untuk patuh dan tunduk kepadanya. Bagaimana dengan Demokrat, Gerindra dan PKS yang pada hari-hari ini terlihat mengambil jalan berbeda? Yang terlihat jinak atas pembahasan RUU ini? Sejinak apapun sikap mereka saat ini, Demokrat, PKS dan Gerindra telah muncul menjadi bukan hanya penyeimbang. Namun hanya menyuguhkan “sisi manis” dalam kehidupan bernegara kita. Mereka, paling tidak telah “mengintrupsi” potensi besar DPR telah beralih fungsi menjadi, (meminjam diskripsi Kisman Latumakulita, jurnalis senior asal Ambon Manise itu) “Kantor Cabang Presiden”. Dalam perspektif saya, sikap tiga partai ini sama dengan “menginterupsi” menginjak pedal rem untuk memperlambat pontensi laju Presiden muncul menjadi “center of legislative policy”. Sikap ini bagus. Juga sehat. Soalnya, apakah tiga partai ini memiliki kemampuan untuk nyaman dengan sikapnya itu? Konsisten selalu menjadi perkara yang paling sulit diminta kepada partai politik. Itu persoalan paling besarnya. Tetapi harus diakui juga, dimana-mana politik selalu menyediaan kemungkinan untuk berpindah dari satu sikap ke sikap lain, yang bisa saja berbeda. Mungkin bisa konsisten pada satu hal. Namun bisa berubah sikap pada hal lain. Sikap seperti ini telah menjadi panorama kehidupan politik yang menarik dan wajar. Winston Churcill menunjukan dengan sangat jelas sebagai politisi yang paling cepat berubah di tengah konsistensinya. Churcill hanya konsisten pada tujuan. Bila terjadi perubahan fakta, dan perubahan itu teridentifikasi mengacaukan tujuannya, maka Churclill akan mengubah keputusannya. Berubah untuk mendekatkan dirinya pada tujuan awal. RUU Cipta Kerja, yang terlalu sulit dimengerti dengan akal sehat itu, sedari awal tidak dikreasikan sebagai bagian dari skenario penanganan corona. Benar-benar tidak. Skenarionya adalah “menggairahkan iklim investasi.” Ini skenario untuk keadaan yang normal. Investasi adalah pekerjaan para investor dan korporasi. Stimulus Terbesar Untuk Korporasi Impian itu terlihat tak mau dibiarkan jadi kenangan yang disesali, hanya karena corona menggempur Indonesia. Malah terlihat corona justru menjadi amunisi baru untuk mempercepat RUU ini. Hipotesisnya begini, ekonomi ambruk, dan harus diperbaiki. Dalam rangka memperbaikinya, diperlukan berbagai kebijakan. Kelak RUU yang cilaka ini bakal tersaji sebagai salah satu insentif terhebat. Terkesan sepertinya diperlukan mengobati dampak corona buruk itu. Kebijakan itu boleh sangat diperlukan krisis berakhir. Entah kapan? Seperti krisis hebat di Amerika tahun 1933. Saat ini pemerintah telah membuat Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Judulnya panjang sekali. Perpu ini menjadi fundasi terkuat atas kebijakan penambahan anggaran untuk stimulus sebesar Rp. 405,1 trilyun. Dari jumlah itu, sekitar Rp. 110 triliun dialokasikan untuk yang disebut Social Safety Net. Dalam sejarahnya kebijakan dengan nama yang sama, dipraktikan pertama kali di Amerika pada tahun 1933 oleh Franklin Delano Rosevelt. Presiden Rosevelt mengambi sikap ini diambil atas nasihat John Meynard Keynes. Sekitar Rp. 75 triliun lagi dialokasikan untuk belanja alat-alat kesehatan. Bagaimana dengan sisa yang Rp 220 triliun lagi itu? Kalau tak salah, dialokasikan untuk membiayai relaksasi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Terus yang lain lagi? Digunakan sebagai untuk biaya berbagai bunga dari kredit berbagai entitas usaha. Termasuk UMKM? Siapa tukang kredit ini? Tepatkah kebijakan itu? Dalam sejarahnya, krisis akan semakin buruk bila tidak tepat menanganinya. Sejarah menunjukan dengan jelas bahwa krisis selalu menyediakan momentum percepatan melipagndakan kekayaan dari korporasi besar dalam sejumlah aspek. Berapa sih jumlah mereka korporasi besar itu dibadingkan yang UMKM? Pasti mereka korporasi besar hanya segelintir saja. Masih yang itu-itu juga. Penanganan krisis tahun 1998 dapat dijadikan sebagai ilustrasi kecil dan pembelajaran. Bahwa usai krisis itu, Indonesia menemukan kenyataan korporasi besar yang dinilai terpukul, sekaligus menjadi bagian dari sebab utama krisis 1998 itu, ternyata tetap saja besar. Semantara yang kecil tetap saja kecil. Cara penanganan ini, khas Amerika. Dipraktikan pertama kali pada krisis keuangan tahun 1907. Krisis ini mengonsolidasi korporasi besar di satu sisi, dan tetap besar. Sementara di sisi lain, yang kecil tetap saja kecil. Cara ini digunakan lagi, dengan sedikit modifikasi pada krisis tahun 1933. Kali ini master mind pemecahannya adalah John Meynard Keynes. Cara yang sama digunakan lagi di Indonesia pada krisis keuangan tahun 2008. Instrumen politik dan hukum bekerja dengan nada yang sama. Politik bekerja melipatgandakan propaganda efek negatif dari krisis, dan keperluan untuk memecahkannya. Supaya legitim dan aman dari segala bencana hukum kelak, maka dibuatlah berbagai UU. Pola ini telah mendunia di berbagai negara. Rantai pengikatnya adalah World Bank dan IMF. Itu sebabnya, sulit untuk tak menandai ilmu tata negara dan administrasi negara, yang diandalkan mengatasi krisis, sebagai fotocopyan ilmu tata negara dan administrasi negara Amerika. Ini ilmu tradisional. Paling tidak konvensional. Ini bukan ilmu canggih. Ilmu ini biasa-biasa saja. Skandal TKA China & Staf Khusus Terlepas dari itu semua, menarik melihat sikap diam Presiden atas sejumlah soal belakangan ini dalam penanganan efek ekonomi corona. Presiden diam terhadap masuknya tenaga kerja China yang heboh beberapa waktu lalu. Apakah tanpa tenaga kerja China ini, korporasi-korporasi yang sedang menambang di Weda Halmahera Tengah dan Obi, Halmahera Selatan di Maluku Utara bangkrut? Entahlah. Belangan muncul kebijkakan lain. Kebijakan realisasi kartu prakerja. Tetapi penerima harus mengikuti pelatihan online. Itu menarik. Sama menariknya dengan diskount Pertamina kepada Ojek Online. Kebijakan ini menarik pertanyaan kritis Pak Dipo Alam, Sekertaris Kabinet pada Pak Susilo Bambang Yudhoyono, periode kedua. Mengapa ojek non online? Mengapa juga angkot-angkot, tak masuk skema itu? Begitu kurang lebih pertanyaan Pak Dipo Alam? Apakah ojek biasa dan angkot tidak terkena dampak buruk ekonomi corona? Apakah mereka sedang berkibar dengan keuntungan melimpah di tengah merebaknya virus corona? Apa hanya karena mereka tidak terikat dengan satu korporasi besar? Sehingga mereka tidak dilibatkan? Belum terlihat sikap Pak Presiden megenai soal itu. Pak Presiden juga tampak diam dalam kasus Surat Staf Khususnya yang ditujukan kepada para Camat di seluruh Indonesia. Dalam esensinya, surat itu meminta Camat menyertakan relawan-relawan sebuah perusahaan. Entah punya siapa perusahaan itu, diminta Staf Khusus Presiden untuk ikut dalam menangani corona. Akankah sikap Presiden itu, yang pada setiap aspeknya mengundang tanya. Mengeras menjadi sikap pemerintahannya dalam menangani keadaan ekonomi corona lebih lanjut? Krisis, kapan dan dimanapun selalu menyediakan momentum menginjeksi ide-ide segar. Beralasankah bangsa Indonesia menunggu kemungkinan muncul ide segar dari Presiden menangani krisis ini? Dikenang Sebagai Bapak UMKM Korporasi besarkah, yang sering ditandai membiayai sebagian operasinya, produksinya atau apapun namanya dengan hutang, kredit bank, yang akan muncul menjadi center of presidential mind and policy? Beranikah Presiden mengubah paradigma klasik itu, dan menggantikannya dengan, kalau bukan paradigma baru, ya setidaknya ide baru? Cukup bernyalikah Presiden menempatkan, menjadikan dan melambungkan UMKM sebagai master ekonomi baru menggantikan korporasi besar? Toh korporasi-korporasi besar itu, tidak sepenuhnya hebat karena kecanggihan inovasi semata. Mereka hebat dan besar, setelah berkah kebijakan-kebijakan pemerintah yang bekerja untuk mereka. Kebijakan melambungkan UMKM tidak dapat dinilai diskriminatif, dalam semua skala pemikiran konstitusi. Mengapa? Bukankah mengutamakan korporasi besar di satu sisi, dan membantu UMKM apa adanya atau sekadarnya saja di sisi lain, dalam sifat dan bentuknya adalah diskriminatif? Mengutamakan atau mengistimewakan korporasi besar, yang telah menjadi trade mark kebijakan pemerintah dimanapun, terutama Amerika, ternyata hanya mempertahankan, malah memperparah ketimpangan struktural usaha. Praktis kebijakan khas Wall Street itu tidak lebih dari metode “pendalaman ketimpangan” struktur usaha. Akankah Presiden bisa diharapkan memunculkan kebijakan berbeda dalam menangani kelompok-kelompok usaha terdampak corona ini? Akankah keberanian tertanam dalam benaknya, sehingga Presiden berpihak secara istimewa pada UMKM? Ini bukan soal pilihan paradigma. Ini soal keberanian yang dibalut kecerdasan berkadar tinggi. Sehingga akan dikenang sebagai “Bapak UMKM”? Hentikan proyek ibu kota baru, bisa menjadi awal yang menjanjikan. Sikap ini pasti dikeroyok oleh korporasi besar. Mereka tak tinggal diam menghadapi sikap itu. Tetapi sejarah akan lahir dengan catatan atas sikap itu selamanya sebagai sikap hebat, bermartabat dan berkelas, sehingga yang pantas dikenang sebagai kenangan terindah.* Penulis adalaha Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Opung dan Vivere Pericoloso
Oleh Smith Alhadar (Direktur Eksekutif The Institute for Democracy Education-IDe) Jakarta, FNN - Orang Indonesia paling berani, sekaligus paling berkuasa, hari ini adalah Opung. Bayangkan, dia menakhodai sendiri bahtera Indonesia secara amatiran, menempatkan seluruh penumpang dalam keadaan bahaya. Manuver Opung yang lancang ini disebut orang sebagai vivere pericoloso: nyerempet-nyerempet bahaya. Penumpang cemas karena Opung bukan nakhoda yang resmi. Dia tak punya sertifikat ilmu pelayaran. Nakhoda yang resmi, Jae namanya, disuruh tidur. Jae pun senang disuruh tidur karena, meskipun memiliki sertifikat, ia tak tahu apa-apa tentang kapal, badai, dan samudera. Sertifikatnya juga abal-abal, diperolehnya secara tipu-tipu atas sokongan Opung dan bajak laut. Hanya sesekali Jae kaget, mengigau, lalu tenggelam kembali dalam mimpi-mimpi indah. Sudah sejak awal, ketika kapal berlayar lebih dari lima tahun lalu, Opung mengambil alih kemudi. Bahkan, amat sering ia mengerjakan tugas-tugas awak kapal juga. Pokoknya, semua urusan kapal ditanganinya sendirian sehingga seluruh awak dan nakhoda terlihat menganggur. Tapi realitas inilah yang membuat penumpang khawatir akan nasib kapal dan nasib mereka sendiri. Masalahnya, makin hari kapal makin oleng. Badai dan gelombang makin menjadi-jadi. Sementara pulau tujuan belum juga nampak. Melihat keadaan samudera dan kondisi kapal, sebagian penumpang tak yakin kapal akan sampai di tujuan dengan selamat. Ada juga satu-dua penumpang yang akal sehatnya masih tersisa, yang sejak awal mendukung Jae sebagai nakhoda resmi, mulai ragu. Mungkin juga siuman. Sisanya berlagak seperti bangau, yang ketika melihat bahaya, memasukkan kepalanya ke dalam pasir, lupa bahwa badannya masih nongol di permukaan. Sekarang terjadi kebingungan hebat di atas kapal sejak covid-19 menyerang. Satu demi satu penumpang yang terpapar virus jatuh sakit atau malah mati dan jenazahnya dibuang begitu saja ke laut. Ajaibnya, Opung -- yang sama sekali tidak pernah sekolah kedokteran -- malah maju memimpin penanggulangan wabah. Ia mengatur semaunya dengan mengabaikan nasihat ilmuan. Kapal mulai heboh. Yang sakit dan mati meningkat secara eksponensial. Sementara kebutuhan penumpang di kapal mulai berkurang. Mulai terbayang di benak mereka kisah tenggelamnya kapal Titanic. Kapal yang naas itu tenggelam secara tragis di Samudera Atlantik, membunuh semua awaknya yang merupakan orang kebanyakan, kecuali orang-orang kaya dan bangsawan. Bahtera Indonesia saat ini menyerupai Titanic. Segelintir awak kapal yang kompeten ingin membantu menyelamatkan kapal, namun kebijakan mereka dianulir Opung. Mengapa dalam situasi genting ini -- di saat semua awak perlu bersinergi untuk menyelamatkan seluruh penumpang tanpa kecuali -- Opung masih ngotot bereksperimen dengan ide-idenya yang sulit difahami orang. Bukan karena ide-ide itu begitu canggihnya sehingga tak mampu dicerna penumpang, tapi karena bertentangan dengan akal sehat dan sains. Sains mengatakan harus ada lockdown untuk memutus rantai penularan wabah sebagaimana dilakukan banyak negara dengan berhasil atau memperlihatkan gejala akan berhasil, seperti dialami Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Amerika, yang penanganannya menyerupai Indonesia, kini tampil sebagai negara dengan korban covid-19 tertinggi di dunia, dan belum ada tanda-tanda akan segera mereda. Karena tak yakin dengan cara Opung menangani wabah berbahaya ini, penumpang berspekulasi, jangan-jangan Opung memilih kebijakan herd immunity (kekebalan kelompok), ketimbang mengorbankan ekonomi. Dengan kata lain, biarkan 2-4% penumpang mati demi stabilitas ekonomi agar kapal tidak karam. Ini ide gila, kata para cerdik pandai di kapal. Menyelamatkan seluruh penumpang dengan menjaga kebutuhan dasar mereka merupakan hukum tertinggi di kapal. Bahkan, kalau perlu, nakhoda harus ikut mati bersama penumpang sesuai etika pelayaran sebagaimana matinya kapten Titanic. Yang membuat para cerdik pandai di kapal marah karena ide-ide Opung itu tidak sesuai dengan kapasitas kapal untuk mendukungnya. Juga tidak sesuai dengan keadaan samudera yang siap mengaramkan kapal reot ini. Tapi, Opung tidak peduli. Ia bahkan mengancam menghukum penumpang cerewet yang memprotes ide-idenya. Dengan kekuasaan besar di atas kapal, yang dilimpahkan Jae yang tak punya ide dan lebih memilih tidur, Opung menyetir kapal tanpa kompas dengan prinsip vivere pericoloso. Kekuasaannya begitu besar yang tak ada presedennya dalam sejarah modern negara Indonesia. Tak ada menteri yang menguasai mutlak presiden, kecuali pada rezim Jae. Bahkan kekuasaan Opung melebihi Perdana Menteri Gajah Mada. Ia tak perlu berkonsultasi dengan Jae dalam mengambil keputusan. Bahkan kebijakan awak yang brilian, seperti Wan Abood, sesuai wewenang dan keahliannya berkali-kali dianulir Opung. Bukan karena kebijakannya tak sesuai Pembatasan Sosial Berskala Besar, tapi Wan Abood terlalu hebat. Ide-ide cemerlangnya membuat Opung dan Jae sebagai nakhoda resmi terlihat kerdil terkait dengan penanggulangan wabah. Langkah Wan Abood selalu lebih cepat, terukur, dan akurat, serta menabrak kebijakan Opung yang sesat. Contohnya, Opung membatalkan kebijakan Wan Abood membatasi operasi transportasi sebagai konsekuensi dari kebijakan social distancing dari pemerintah. Contoh lain, Opung menganulir kebijakan Wan Abood melarang ojol mengangkut penumpang sejalan dengan PSBB. Opung membolehkan ojol mengangkut penumpang. Padahal itu menyalahi kebijakan physical distancing. Orang pun melihat kelakuan Opung ini bertujuan mengerdilkan awak yang terlalu pandai dan mewujudkan ide gilanya menyelamatkan ekonomi. Melihat kelakuan Opung yang overconfident dalam menguasai kapal, penumpang pun bertanya: apakah kita akan sampai di tujuan dengan selamat sentosa tanpa kekurangan suatu apa pun? Suara terpecah. Ada yang yakin, ragu, dan sama sekali tak yakin. Penumpang pun teringat pada Soekarno, orang cerdas yang populis, yang memperkenalkan prinsip vivere pericoloso. Pada era itu, Soekarno menakhodai Indonesia mengarungi samudera luas yang penuh bahaya. Dan dia gagal. Badai politik yang menerpa kapal tak sanggup ia kendalikan. Para penumpang yang dikendalikan seorang awak akhirnya mengambil alih kemudi kapal. Soekarno terhempas, dikarantinakan, kemudian hilang. Jasa besarnya redup dan baru dikenang kembali secara sayup-sayup di kemudian hari. Soekarno memang berhasil memerdekakan Indonesia. Namun, ia gagal memajukan dan menyejahterakan Indonesia. Lalu, bagaimana dengan nasib bahtera Indonesia di bawah Opung? Juga, bagaimana Opung sendiri? Entahlah. Tapi jelas kapal sedang tersesat di tengah badai di samudera luas tak bertepi. Di sana-sini mulai terjadi kebocoran. Ide-ide Opung dalam mengendalikan kapal banyak diprotes penumpang yang cerdas karena tidak berbasis ilmu dan tak sejalan dengan harapan penumpang. Maka kita melihat terjadi kekacauan di kapal, perbenturan antara Opung dengan awak, Opung dengan penumpang, dan antara awak dengan awak. Jae sempat terbangun oleh riuh-rendah di kapal, tapi kemudian tertidur lagi karena toh dia tak tahu apa yang mesti dilakukan. Apakah kemudian awak dan penumpang akan mengambil alih kapal sebagaimana yang terjadi pada rezim Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur? Itu bisa saja, mengingat Opung nampak bakal tak sanggup mengendalikan kapal, sementara penumpang makin kritis dalam menanggapi manuver Opung. Kalau pada akhirnya penumpang melihat kapal akan segera karam, tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali menyingkirkan Opung, juga Jae. Sebenarnya Jae tak salah karena tidak melakukan apa-apa selama ini, kecuali tidur. Bukankah kita tak adil meminta pertanggungjawaban pada orang yang tidak melakukan apa-apa? Yang melakukan semuanya kan Opung! Jadi, mintalah pertanggungjawban pada Opung, bukan aku. Tapi di situlah kesalahanJae karena tidak berbuat apa-apa di saat dia harus melakukannya sesuai konstitusi dan sesuai sertifikat yang dimilikinya sebagai kapten kapal. Kekacauan di atas kapal ini tidak direspons secara memadai oleh Opung atas nama Jae. Sebagian penumpang melihat Opung telah kelelahan dan tak bertenaga lagi, karena itu kemudi kapal harus segera diambil dari tangan Opung sebelum kapal benar-benar karam. Tapi sebagian lain berharap ada mukjizat dari Opung untuk menyelamatkan kapal. Apapun, banyak penumpang mulai menangis menghadapi situasi yang menyeramkan ini dan tak tahu harus berbuat apa. Nasib bahtera Indonesia kini terletak pada kaum cerdik pandai dengan dukungan mayoritas penumpang kapal. Dan sayup-sayup terdengar suara Tuhan: Aku tak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah nasib mereka sendiri! *****
Dunia dalam Rekayasa Kehidupan
Oleh Tony Hasyim Jakarta, FNN - Sengaja judul tulisan ini saya sadur dari sebuah buku berjudul “Indonesia Dalam Rekayasa Kehidupan” tulisan Komisaris Jenderal Polisi Drs. Dharma Pongrekun , M.M., M.H., yang terbit pada Oktober tahun lalu. Setelah mengamati perkembangan wabah Covid-19 sebulan terakhir, apa yang digambarkan dalam buku tersebut ternyata persis dengan keadaan dunia termasuk Indonesia hari ini yang dipenuhi rasa ketakutan. Kemarin, seorang kawan di sebuah BUMN mengirim link berita online berjudul “Petinggi WHO: Virus Corona 10 Kali Lebih Berbahaya dari Flu Babi.” Lalu si kawan memberi komentar di bawahnya, “Orang ini diberi tugas nakut-nakutin seluruh manusia di dunia”. Lalu saya jawab, “Ini namanya fear engineering, bro !!!”. Berita tersebut berisi penyataan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom bahwa Covid-19 sepuluh kali lebih mematikan dibanding flu babi (H1N1) yang mewabah tahun 2009. Korban yang meninggal karena flu babi mencapai 18.500 orang, sedangkan virus Corona diperkirakan hampir 115.000 orang. "Langkah-langkah pengendalian harus mulai dilakukan dan dikontrol. Pada akhirnya, kita memerlukan vaksin yang aman dan efektif agar bisa menghentikan transmisi ini sepenuhnya," katanya. Siapa yang tidak takut membaca penyataan dari organisasi yang menangani kesehatan dunia tersebut? Saya juga merinding. Tapi setelah baca keterangannya di ujungnya bahwa dunia butuh “vaksin yang aman dan efektif” untuk mengatasi virus tersebut, saya langsung menebak, pernyataan dia pasti pesanan dari elite industri farmasi dunia. Lain ceritanya kalau dia menghimbau masyarakat dunia supaya berjemur matahari atau mengasup rempah-rempah atau obat-obatan alami yang banyak tumbuh di berbagai belahan bumi. Dia jelas-jelas menyebut vaksin. Artinya, wabah ini hanya bisa diatasi dengan obat yang dibuat oleh industrialis obat-obatan kimia. Padahal, sudah banyak ahli kesehatan independen menyatakan virus Corona ini tidak terlalu berbahaya seperti yang digambar-gemborkan WHO. Asal manusia punya imunitas tubuh uang kuat, mereka akan terproteksi dengan sendirinya. Tapi lewat pemberitaan dan informasi lewat internet (medsos dan sejenisnya) yang sudah mewabah sejak satu dekade terakhir imunitas manusia dilemahkan secara sistematis dengan propaganda-propaganda ketakutan melalui media massa dan media sosial. Anehnya WHO juga tidak menyebut fakta yang sebenarnya bahwa wabah penyebaran virus ini terjadi massive di negara-negara yang bersuhu dingin. Coba lihat peta negara-negara yang mengalami serangan terparah virus ini, Eropa, Asia belahan utara, Amerika belahan utara, semuanya berada berada di atas sub tropis yang suhunya sejak desember hingga sekarang masih dingin. Mereka itulah yang berada di ‘’Covid-19 Belt”. Indonesia harusnya relatif aman karena rata-rata temperature di atas 30 celsius. Sementara banyak ahli independen mengatakan virus tersebut akan mati dengan sendirinya pada suhu di atas 23 celsius. Bahwa argumen ini belakangan dibantah oleh WHO, seharusnya tugas pemerintah Indonesia mendiagnosis pola penyebaran virus ini secara mandiri dan mencari tahu cara penangkalnya. Virus ini kalau berdasarkan angka-angka yang tiap hari di rilis oleh pemerintah memang penyebarannya nampak cepat sekali di Indonesia. Tetapi apakah kita juga mau membantah virus ini dapat ditangkal dengan imunitas tubuh yang kuat? Benar sudah banyak korban yang berjatuhan di Indonesia, termasuk para dokter dan perawat yang menanganinya. Tapi apakah sudah ada hasil penelitian independen yang dilakukan pemerintah kita? Karena yang saya lihat mereka yang terpapar Covid-19 malah diisolasi diruang ber-AC. Bukankah tempat dingin seperti ini malah membuat virus tersebut berkembang biak dan menyerang siapa pun yang ada di dalamnya? Covid-19 menurut versi WHO mulai mewabah di negeri Tiongkok pada akhir 2019, kemudian menyebar ke seluruh dunia dan di Indonesia sendiri baru heboh sejak awal Maret ketika Presiden Jokowi sendiri mengumumkan adanya dua warga negara Indonesia yang sudah positif terpapar (Alhamdulillah ternyata kedua orang yang dimaksud bisa sembuh). Dua pekan sebelumnya Menteri Kesehatan Letjen TNI Terawan Agus Putranto sudah meminta rakyat Indonesia tidak panik menghadapi virus ini dan menghimbau agar rakyat Indonesia terus berdoa agar diberi perlindungan, sambil tetap bekerja secara normal. Terawan menggunakan istilah ora et labora (bekerja sambil berdoa). Tapi Terawan justru dibully oleh pengamat-pengamat yang kemudian di-follow oleh netizer. Pernyataan Terawan dianggap tidak sinkron dengan rilis WHO yang terus mendengungkan betapa bahayanya virus ini. Saya dengar Terawan diminta tidak bicara lagi ke publik soal virus ini. Sejak itu peran Kemenkes yang seharusnya menjadi leading sector dalam penanganan wabah penyakit diserahkan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Bahkan dalam perkembangan terakhir “Kementerian Desa” diserahi tugas memberikan edukasi kepada warga pedesaan tentan tahapan, gejala, cara penularan dan pencegahan Covid-19 sesuai protokol kesehatan dan standar WHO. Catat, semua harus pakai standar WHO. Penggunaan ruang isolasi ber-AC dan perlengkapan pelindung diri para tenaga medis yang menurut saya sangat menyesakkan tubuh itu, sepertinya sesuai protokol WHO. Apa tidak ada metode lain? Padahal dua orang yang disebut sebagai korban pertama oleh Jokowi sudah membuat video viral bahwa mereka sudah sembuh dan berterimakasih kepada Jokowi karena dikirimi jamu temulawak. Artinya tim Indonesia sudah bisa dong menyembuhkan pasien Covid-19 secara mandiri jauh sebelum WHO mengintervensi melalui protokol-protokolnya. Serangan Virus dan Cengkraman Hutang “Fear Engineering” adalah dua kata yang dipakai Dharma dalam bukunya untuk memformulasikan metode yang dipakai sebuah “sistem global” untuk mengontrol seluruh umat manusia. Caranya manusia dibikin takut melalui terror attack, cyber attack, fear engineering (rekayasa ketakutan). Manusia yang mengalami ketakutan akan mencari pertolongan. Lalu datanglah dewa penolong, menawari bantuan, dalam bentuk apa saja, termasuk pinjaman uang, hibah dan sebagainya. Selanjutanya si manusia ini akan dikuasai seumur hidup oleh di dewa penolong tadi, sampai utang budinya lunas. Tidak usah jauh-jauh. Pemerintah Indonesia yang ketakutan “setengah mati” dalam menghadapi virus ini baru saja menerbitkan obligasi global atau surat utang global dengan nilai US$ 4,3 miliar atau Rp 68,8 triliun. Surat utang ini merupakan surat utang denominasi dolar AS terbesar sepanjang sejarah yang diterbitkan pemerintah Indonesia. "Ini penerbitan terbesar di dalam sejarah penerbitan US dolar bond oleh pemerintah Republik Indonesia," katanya Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam teleconference, Selasa (7/4/2020). Berdasarkan per Februari 2020, utang pemerintah Indonesia sudah mencapai 4.817,5 triliun rupiah. Lalu ditambah dengan surat utang global senilai 68,8 triliun rupiah baru-baru ini, maka total utang pemerintah Indonesia saat ini lebih kurang 4.886,3 triliun rupiah. Lalu saya bandingkan dengan total asset negara Indonesia yang diumumkan Kementerian Keuangan pada Desember 2019, yang hanya 6000 triliun. Selisih utang pemerintah dengan asset negara tinggal 1.114 triliun rupiah saja. Belum lagi bila dikurangi dengan total utang luar negeri sektor swasta yang jumlahnya lebih kurang sama dengan utang pemerintah. Dalam hati saya berpikir, kalau begini jadinya bagaimana kita bisa merdeka dari cengkraman pengutang. Siapa itu? Rezim Global!!! Siapa itu rezim global? Jawabanya ada di buku Dharma yang saat membacanya membuat saya mulai paham semua permainan misterius yang terjadi selama ini. Menurut Dharma, rezim global adalah mereka yang menggerakan globalisasi menuju satu tatanan baru dunia. Globalisasi, katanya, bukan fenomema dunia yang bebas nilai, melainkan sebuah program yang dijalankan secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Laju globalisasi menjadi sangat dahsyat setelah teknologi informasi dan komunikasi dipertemukan oleh internet tahun 1991, maka sejak itu lahirlah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai sarana pendukung globalisasi untuk menguasai dunia. TIK tak lain adalah mesin Artificial Intelligence (AI) yang diprogram untuk berpikir dan bertingkah layak manusia. Tapi dibalik itu tujuannya adalah untuk mengendalikan mindset (pola pikir) manusia maupun memata-matai aktivitas hidup manusia sehari-hari. Apa yang kita googling, kita baca dan kita tulis di smartphone (perangkat TIK sudah dipakai oleh lebih kurang 60% pupulasi dunia) dipantau dan dianaliasi oleh elite global yang disebut “shadow”. Mereka ini sesungguhnya sudah me-melockdown populasi dunia agar tidak keluar dari aturan main mereka. Globalisasi menurut Dharma adalah sebuah sistem yang ingin mengusasi dunia dengan tiga program, yaitu Money, Power, dan Control Population (MPC). Sekarang Money dan Power sudah dikuasai oleh sistem globalisasi, melalui lembaga bernama IMF, World Bank dan kaki tangan mereka di semua pemerintahan di dunia. Tinggal program control population yang belum tuntas, tapi sekarang semakin mendekat paripurna dengan terus di dorongnya penggunaan TIK. Sekarang, jangkauan internet melewati satelit dan fiber optic bawah laut sudah menyebar ke 95% permukaan bumi. Maka tidak mengherankan ketakutan akan Covid-19 ini sudah menyebar di semua negara, kecuali negara yang memproteksi warganya dari “wabah internet”. Korea Utara, misalnya, kemarin mereka menyatakan negerinya adalah “Covid-19 Free”. Hari ini, setiap 15 April, rakyat Korea Utara dilaporkan melakukan perayaan besar-besaran dan menjadi hari libur nasional apa yang mereka namakan The Day of The Sun (Hari Matahari), yaitu hari kelahiran pendiri negara mereka Kim Il-sung. Rakyat di negeri tersebut memang tidak takut dengan Covid-19 karena internet memang disensor total bagi mereka. Kita belum tahu apa sebenarnya yang terjadi di Korea Utara. Yang jelas mereka tidak meminta pertolongan apa pun dan dari siapa pun di tengah ketakutan dunia akan virus ini. Manusia Digiring Menjadi ATHEIS Kembali ke buku Dharma, melalui sarana TIK itulah, sistem globalisasi melakukan rekayasa-rekayasa kehidupan (Life Engineering) untuk merubah pola kehidupan manusia. Rekayasa-rekaysasa tersebut berupa propaganda-propaganda melalui TIK yang menyebarkan rasa ketakutan kepada manusia. Manusia yang dipenuhi rasa takut - takut miskin, takut susah, takut tidak eksis - akan mencari perlindungan kepada manusia. Begitu juga negara yang diliputi rasa ketakutan karena terus mengalamiu krisis di dalam negerinya akan mencari perlindungan kepada IMF atau World Bank, dua lembaga motor penggerak globalisasi. Pada bagian ini, saya langsung membayangkan WHO, sebuah cabang United Nation (PBB) yang sekarang menakut-nakuti dunia dengan virus yang mereka namai Covid-19. Tiap hari WHO merilis angka-angka korban Covid-19 di seluruh dunia. Per hari ini WHO mengumumkan sudah 1,8 juta orang terpapar, dengan tingkat kematian mencapai 113 ribu orang dan penyebaran virus ini sudah mencapai 213 negara (termasuk wilayah dan teritorial). Padahal seingat saya tahun 2019 jumlah negara, area dan territorials yang terdaftar di PBB baru 196. Mengapa WHO sekarang menyebut jumlah 213. Nanti saya akan menelusurinya. Tapi yang pasti WHO cuma mau ngomong virus ini gawat sekali. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang aman penyakit mematikan ini. Itulah tujuannya. Menakuti-nakuti manusia. Tapi ujungnya, nanti belilah antivaksin yang kami rekomensasikan. Kita lihat Indonesia pasti ikut membeli. Duitnya dari mana? Ya dari penerbitan surat utang itu tadi. Pada bagian akhir bukunya Dharma menyimpulkan globalisasi hanyalah sebuah sebuah sistem dari supra sistem yang merekayasa kehidupan manusia agar menjauh dari rasa keimanan kepada Kemahakuasaan Tuhan. Supra sistem ini mendoronhg manusia menjadi ATHEIS. Proses ini sudah terjadi sejak Allah menciptakan dunia, persisnya sejak Iblis berhasil menggoga Hawa untuk membujuk Adam memetik buah terlarang di Surga. Proses penyesatan tersebut terjadi sampai sekarang. Dharma mengingatkan kepada kita, bahwa iblis adalah oknum yang nyata dan terus mempengaruhi manusia agar menjauh dari Tuhan dan akhirnya manusia menemani iblis di neraka. Buku ini sangat menarik dibaca. Saya sendiri membaca lagi kemarin, sambil terkejut-kejut, karena apa yang dipaparkan Dharma cocok sekali dengan keadaan dunia dan Indonesia sekarang. Banyak manusia sekarang terlihat seolah-olah ber-Tuhan tapi perilakunya sehari-hari dikuasasi oleh hawa nafsu duniawi, yaitu kemewahan, kekerasan dan pornografi (semuanya bisa kita lihat di internet). Banyak orang mengaku bertuhan, tapi begitu WHO mengumumkan virus covid-19 ini sangat mematikan, semuanya ketakutan. Kemarin kemarin mereka bilang hidup dan mati ada di tangan Tuhan, tapi sekarang tiarap di mana mereka? Bahkan rumah ibadah pun ditutup agar tidak menjadi tempat penyebaran virus. Saya sendiri sudah empat kali tidak sholat Jumat akibat masjid-masjid tidak menyelenggarakan sholat jumat. Padahal menurut keyakinan agama saya, seorang pria cukup umur yang tidak sholat tiga kali berturut-turut dihitung sebagai munafik atau kafir. Mau pakai dalil pengecualian apa pun tapi itulah keyakinan yang ditanamkan oleh orang orang tua saya. Seorang pria muslim harus disiplin menegakan sholat berjamaah. Toh selama ini jika hujan badai, kita bela-belain sholat jumat. Dalam keadaan perang sehebat apapun kaum muslimin tetap menyelenggarakan sholat Jumat. Sekarang sholat Jumat dilarang oleh MUI dan Pemerintah karena dikhawatikan menjadi tempat penularan virus. Rumah ibadah yang suci malah ditakuti. Saudara-saudara saya sebangsa pemeluk Kristen juga dilarang Kebaktian Minggu. Belum pernah rasanya umat manusia didunia didikte oleh ketakutan sehebat ini. Padahal, secara hakiki tidak mungkin manusia memiliki rasa keberanian dan ketakutan pada saat yang bersamaan ketika ia memiliki Tuhan yang ia yakini akan membawa keselamatan bagi kehidupannya di dunia dan akhirat. Sekarang saya dipaksa menjadi penakut karena virus yang tidak terlihat. Lalu di mana Tuhan saya yang juga tidak terlihat? Itulah dilema yang berkecamuk di benak saya. Buku tulisan Dharma tersebut ini bisa dijadikan pisau analisa yang sangat tajam bagi kita terutama bangsa Indonesia yang selama ini dirundung oleh krisis demi krisis. Kemarin kita dihajar krisis ekonomi, kemudian muncul krisis teroris, lalu muncul krisis politik, sekarang muncul krisis virus. Pemerintahnya ketakutan, cari pinjaman uang untuk merasa “safe”. Tapi akhirnya negara kita semakin dijerat oleh hutang. Begitulah keadaan negari kita yang sekarang sudah terjebak lingkaran setan. Namanya lingkaran setan, yang harus dipatahkan lingkarannya, supaya kehidupan anak cucu kita tidak terus menerus terjebak dalam ketakutan yang membawa kita pada kebinasaan. Dharma dalam buku itu memberi solusi, dengan mengajak seluruh masyarakat Indonesia kembali untuk menggali dan menanamkan nilai-nilai Pancasila. Secara khusus Dharma mengajak kita semua “mendeklarasikan” diri kita sebagai manusia Berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan begitu secara otomatis, lingkaran setan (baca, lingkaran ketakutan) tersebut akan terputus, sehingga kita kembali menjadi manusia yang Pancasilais yag dapat mewujudkan cita-cita proklamasi 1945 secara BERDIKARI seperti yang selalu didengungkan BUNG KARNO. Banyak pemikiran Dharma dalam buku ini yang melawan wacana atau opini mainstream tentang globalisasi. Apa yang direnungkan Dharma melalui buku itu sebenarnya banyak dipikirkan oleh rakyat Indonesia sekarang ini. Mengapa negeri kita yang besar, indah dan kaya raya keadaannya jadi begini. Kita terus berhutang dan dikontrol sebuah rezim global berwujud bayangan. [TH] Penulis Pemimpin Redaksi FNN
Pandemi Korona dan Ancaman Pengangguran
By MH. Said Abdullah Jakarta FNN – Selasa (14/04). Awal Maret 2020 lalu, untuk pertama kali Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien covid 19 di Indonesia. Secara perlahan, grafik penderita covid 19 beranjak naik. Kini telah lebih sebulan, sudah mencapai 4.500 orang lebih penderita covid 19 di seluruh Indonesia. Kita tidak mengetahui akan sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Pada skala global, angkanya menunjukkan tren kenaikan dengan cepat. Indonesia, oleh banyak ahli juga diyakini belum mencapai puncak grafik tertinggi jumlah penderita covid 19. Ketidakpastian waktu berakhirnya pandemi korona ini berkonsekuensi terhadap banyak hal pada kehidupan sosial ekonomi kita. Satu dari sekian deret masalah yang terprediksikan bakal menjadi urusan kita, terutama pemerintah adalah bertambahnya pengangguran dan kemiskinan. Itu pasti terjadi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28% atau mencapai 7,05 juta orang. Angka pengangguran tersebut naik secara jumlah dibandingkan Agustus 2018 sebesar 7 juta orang. Namun turun secara persentase dari sebesar 5,34%. Besar kemungkinan pada 2020 jumlah pengangguran naik akibat slowing downnya ekonomi kita. Data Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang telah dirilis per 7 April 2020 menunjukkan, sektor formal dari 74.430 perusahaan dengan total pekerja 1.200.031 telah terdampak pandemi ini. Rianciannya, sebanyak 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan pekerja formal dirumahkan. Selian itu, sebanyak 137.489 buruh dari 22.753 perusahaan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara di sektor informal, sebanyak 189.452 pekerja dari 34.453 perusahaan terkena dampak corona. Artinya, sebanyak 263.882 usaha telah terdampak pandemi korona. Dari data BPS, piramida usaha tahun 2019 menunjukkan, kelompok usaha besar sebanyak 5.460 unit. Sedangkan kelompok usaha menengah 58.627 unit. Kelompok usaha kecil 757.090 unit, dan kelompok usaha mikro sebanyak 62,1 juta unit. Dengan demikian, jumlah total usaha di Indonesia sebanyak 62,92 juta unit usaha. Jika mengacu data Kemenaker per 7 April 2020 di atas, maka diperkirakan sebanyak 0,4% unit usaha dengan berbagai skala telah terkena dampak dari pandemi korona. Perhitungan ini kemungkinan besar tak merangkum sektor sektor informal yang skala rumahan sebagai unit usaha. Selain itu, jasa mikro yang tidak terdata di kementrian maupun pemerintah daerah, seperti pedagang keliling dan tukang ojek. Juga buruh srabutan seiring dengan makin banyaknya daerah yang ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan program social distancing di seluruh Indonesia. Jika secara eksponensial penderita covid 19 terus bertambah. Grafiknya juga tidak menujukkan turun secara konstan, maka implikasi terhadap kelompok usaha dengan berbagai skala juga akan makin banyak terkena dampaknya. Mulai merumahkan karyawan hingga PHK. Dua-duanya secara ekonomi makin costly. Apalagi secara kemanusiaan. Membendung Pengangguran Di luar program penanganan langsung penderita covid 19, pemerintah telah menggulirkan berbagai program jaring pengaman social. Misalnya, stimulus ekonomi sebagai upaya maksimal untuk mengatasi dampak sosial-ekonomi pandemi covid 19. Setidaknya ada tujuh program yang digulirkan pemerintah untuk menambal dampak sosial akibat covid 19. Tujuh program pemerintajh itu diantaranya, Program Keluarga Harapan (PKH), Padat Karya Tunai (PKT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Subsidi Listrik Untuk Golongan Tertentu, dan Bantuan Sosial Khusus Wilayah Jabodetabek. Anggaran yang dialokasi pada APBN 2020 terhadap ketujuh program tersebut sebesar Rp. 110 triliun. Untuk kebijakan stimulus ekonomi, pemerintah telah menggulirkan bauran kebijakan fiskal, dan moneter. Mulai dari penurunan suku bunga BI Rate, menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah dan valuta asing di bank umum. Selain itu, memperluas underlying transaksi bagi investor asing untuk lindung nilai bagi kepemilikan rupiah mereka. Pada sisi fiskal, pemerintah telah memberikan pembebasan pajak restoran dan hotel di 10 destinasi wisata andalan. Pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 untuk pekerja. penundaan PPh pasal 22 untuk impor, pengurangan PPh pasal 25 untuk badan menjadi 22% pada tahun 2020 dan 2021 dan 20% pada tahun 2022. Juga restitusi PPN selama 6 bulan, dan stimulus kredit untuk plafon maksimal Rp. 10 miliar. Untuk menjalankan kebijakan dan program stimulus ekonomi di atas, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp. 70,1 triliun untuk kredit usaha rakyat, dan 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional. Apakah program ini akan efektif membendung pengangguran dan memulihkan ekonomi nasional? Saya berkeyakinan program ini akan menjadi obat bagi masalah-masalah sosial-ekonomi yang timbul akibat pandemi korona. Namun ada syarat untuk menjadikan program ini efektif. Pertama, dilandaskan pada data sosial yang akurat, tata kelola yang baik, dan monev yang memadai. Kedua, program ini ada daluarsanya. Estimasi saya, program ini akan efektif maksimal hanya 6 bulan. Itupun dengan asumsi grafik penderita covid 19 tidak makin menjulang tinggi. Bila syarat-syarat di atas obyektifnya tidak terpenuhi, maka program sosial dan stimulus ekonomi menjadi tidak optimal. Sebab itu, tiap bulan pemerintah harus memiliki hasil monitoring dan evaluasi (monev) atas pelaksanaan program program tersebut. Kita tidak sedang berfikir rutinitas. Dibutuhkan ekstra effort untuk menjalankan program tersebut. Oleh sebab itu, semua pihak yang gterlibat jangan main-main. Kita tidak punya banyak “amunuisi” anggaran. Apalagi bantalannya hanya bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN). Saya berharap, setidaknya awal Mei 2020 kita sudah memiliki hasil monev atas pelaksanaan program jaring pengaman sosial dan stimulus ekonomi. Bila kenyataanya tidak menjawab atas postur masalah yang ada, maka martabat pemerintah tidak akan turun. Malah akan dapat apresiasi publik bila bertindak cepat merevisi kebijakan tersebut. Saya yakinkan, Badan Anggaran DPR sepenuhnya akan memberi dukungan dalam upaya pemerintah memberikan yang terbaik untuk rakyat. Terakhir, bila memang pandemi ini berskala waktu lama. Artinya, kita semua, terutama pemerintah harus siap “main panjang”. Karenanya, pemerintah harus punya worst scenario soal ini dengan mempertimbangkan jumlah penderita covid 19 per periode waktu tertentu, dan strategi yang akurat untuk mengatasi dampak sosial-ekonominya. Jika menilik kebijakan ekonomi terutama pajak, dan postur APBN, sebenarnya pemerintah sudah mengarah pada pelambatan ekonomi hingga 2022. Tetapi saya tidak melihat desain program jaring pengaman sosialnya siap “main panjang”. Setidaknya jika dihadapkan potensi eskalasi kasusnya. Karenanya, libatkan banyak pihak yang kompeten untuk mendesain program program tersebut. Kita butuh strategi kreatif, partisipatif, breakthrough yang cepat serta antisipatif. Sebab bila kasus ini makin eskalatif, saya yakinkan, pemerintah sendirian saja tidak akan sanggup. Kita butuh melewati fase ini dengan kebersamaan yang total. Saling mempercayai dan gotong royong. Penulis adalah Ketua Badan Anggaran DPR RI
Krisis, Itu Cara Korporasi Culas Perluas Kewenangan Presiden
Jika seorang hakim tidak melaksanakan tugas-tugas dengan jujur dan tulus terhadap anak yatim, bagaimana dia bisa diharapkan melaksanakan keadilan secara baik terhadap orang lain? Lain halnya hakim-hakim yang jujur dan saleh. Yang dengan keputusan-keputusan mereka yang baik, menghibur orang-orang yang telah patah hati dan memberikan naungan kepada orang-orang miskin dan tertindas yang dicampakkan oleh ketidakadilan dan kejahatan pegawai-pegawai negara. (Isi Surat kedua Al-Gazali kepada Nizamudin Fakhrul Mulk). By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (14/04). Alhamdulillah naungan Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Rahman dan Maha Bijaksana masih tercurahkan kepada segelintir orang di tengah hidup bernegara. Yang semakin hari makin susah dimengerti ini. Alhamdulillah di tengah kekalutan Corona yang tak tahu kapan berakhir ini, yang telah menyebar hingga ke pelosok negeri, masih Engkau cerahkan akal dan hati mereka. Teguhkanlah Ya Allah akal dan pikiran mereka untuk bisa bekerja secara sungguh-sungguh. Sungguh kalam-Mu membebaskan hamba-hamba-Mu mengurus dan mengatur urusan mereka di dunia ini sesuai kadarnya. Dan Engkau, pemilik pengetahun yang tak terbanding. Lebih mengetahui semua alasan yang tidak diketahui hamba-hamba-Mu. Engkau lebih mengetahui semua alasan, sekecil biji zarrah sekalipun dibalik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020, yang panjang judulnya ini. Pelebaran celah defisit, uang negara yang dipakai telah dinyatakan tak bisa dikualifikasi kerugian keuangan negara, orang-orang yang melaksanakannya tak bisa dituntut di pengadilan perdata, pidana dan tata usaha negara. Semuanya diatur dengan sangat sempurna dalam Perpu ini. Asumsi “mens rea” entah bagaimana rumusnya perlahan-lahan muncul dan menunjukan eksistensinya sebagai benteng untuk semua itu. Begitulah alasan-alasan kecil yang sayup-sayup terdengar menyertai Perpu ini. Perpu ini, dengan demikian memandang orang-orang yang melaksanakannya, dilandasi dengan niat baik. Ini sungguh ilmu baru. Dengan ilmu ini, penyimpangan, andai terjadi, didorong atau disebabkan oleh apapun, tak bisa dibilang sebagai kejahatan. “Actus reus” tak lebih dari sekadar debu. Mungkin lebih kecil dari itu, bahkan mungkin lebih kecil dari Corona, yang tak terlihat oleh mata kasar itu. Itulah hasil dari akal hukum dalam politik baru berbaju darurat ini. Krisis adalah satu hal. Cara menangani, memecahkannya adalah hal lain. Menetapkan derajat krisis, juga adalah satu hal. Ketepatan dalam mendefenisikan derajat krisis itu adalah hal lain, yang menjadi alasan menemukan cara menangani krisis itu. Gegabah, tergesa-gesa, untuk alasan apapun, itu buruk. Darurat adalah sebab. Menjadi alasan lahirnya keabsahan atas hal-hal terlarang, “haram”. Alam mengaturnya begitu. Dikala sebab (alasan) itu hilang, tiada karena munculnya sebab lain yang menghilangkannya, maka darurat itupun hilang dengan sendirinya. Karena sebab yang memunculkan darurat itu telah hilang, maka hilang pulalah darurat itu. Kala darurat itu hilang, maka semua kembali kekeadaan bisa. Normal dengan semua hukum-hukumnya. Itulah yang disebut “Ratio est legis anima, mutate legis rasionale mutates et lex” dalam hukum tata negara dan administrasi negara, sejak dari zaman kuda gigi besi hingga sekarang. Apakah sebab sama dengan akibat? Jika sebab hilang, hilang pulakah akibat? Tidak selalu simetris seperti itu. Ini harus diperiksa secara jujur, berbudi luhur dan tulus. Hanya itu cara yang memungkinkan orang menemukan rinciannya. Sebab politik, tak pernah merupakan sebab alam, tetapi sebab alam selalu memiliki potensi berubah menjadi dan memiliki bobot politik. Dan politik, sedari dahulu kala selalu berasal-usul dari akal jahat manusia. Hanya mereka yang akal dan budi pekerti benar-benar bagus, yang tak mampu mengubah, bukan manipulasi, sebab alam itu menjadi sebab politik. Apakah Corona merupakan sebab alam? Sejauh ini para ahli masih menyelidiki. Ada yang mengaitkannya dengan niat negara tertentu menguasai dunia dengan senjata biologi. Ada pula yang menyangkalnya. Seperti biasa dalam dunia tipu-menipu global. Mereka menyatakan tesis itu terlalu konspiratif. Faktanya Corona ada. Ada ribuan orang diseluruh dunia mati. Perusahaan diseluruh dunia juga sempoyongan. Arsenal, klub sepak bola di Inggris, favorit saya itu pun kelimpungan. Setelah Coach Arteta, anak muda pintar ini disambar Corona, yang Alhamdulillah kini telah sembuh, menejemen sedang mencari cara tepat untuk mengurangi gaji pemainnya. Corona, mahluk kecil tak berbentuk yang Engkau, Ya Allah Ya Karim. Kiriman itu sesungguhnya ujian besar buat kami, hamba-hamba-Mu. Engkau Ya Allah Yang Maha Tahu, dengan semua pengetahuan yang tak satu mahluk-Mu mampu menjangkaunya. Tidak tahu awal dan akhirnya. Kau tahu berat-ringannya ujian ini buat hamba-hambu. Ya Allah Ya Karim, hanya kepada-Mu, kami berserah memohon keringanan-Mu. Ringankanlah pula Ya Allah ya Rahman, hamba-hamba-Mu ini dari ujian Perpu ini. Engkau lebih mengetahui tabiat pemerintahan kami daripada kami. Tebarkanlah ya Allah ya Rahman, Nur Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam ke negeri kami, agar kami dapat menemukan jalan keluar yang tidak membahayakan negeri ini. Bukalah akal dan fikiran Umara-Umara kami. Ya Allah gerakan hati mereka, dan bawalah mereka ke tahun-tahun yang sudah-sudah, untuk dapat dipetik hikmahnya. Godalah mereka dengan tindakan hebat Almarhum Pak Sjafrudin Prawiranegara. Almarhum melepaskan jabatan Presiden, yang dikuasakan Bung Karno kepadanya, sekalipun keadaan politik pada waktu itu masih jauh dari stabil. Momentum Marampok Uang Besar Ampunilah kami dengan ampunan-Mu yang tak terlukiskan itu, sehingga kami, hamba-hamba-Mu ini, yang umara dan ulama, tidak memperdebatkan Perpu ini berdasarkan ilmu Leviatannya Tohams Hobes. Singkapkanlah ya Allah ya Maha Bijak, krisis keuangan tahun 1907 di Amerika. Ya Allah Yang Maha Mengetahi. Bukalah kenyataan itu selebar-lebarnya. Semua peristiwa sebelumnya, yang satu dan lainnya teranyam sedemikian rapinya untuk satu tujuan. Beritahukanlah bahwa krisis keuangan tahun 1907 itu adalah mainan korporasi-korporasi keuangan. Hanya mainan korporasi yang diparaksai oleh J.P. Morgan, Frank Fanderliph, Rockeffeler dan lainnya. Tunjukanlah bahwa krisis itu tidak lebih dari sedekar siasat mereka. Siasat orang-orang rakus dan tamak itu untuk mewujudkan UU Bank Sentral mereka, The Fed’s tahun 1913. Bukalah bahwa ini bukan yang pertama. Bukan pula yang terakhir. Yang pertama sudah dialami oleh Andrew Jackson, Presiden mereka. Manusia ini, Alhamdulillah, Kau beri hikmah sehingga tahu bahwa anak kandung bank tidak pernah lain selain inflasi dan deflasi. Dengan itu dia tolak The Three American Bank, sebagai kelanjutan dari The Second American Bank. Semacam bank sentral kala itu. Engkau yang Pada-Mu semua jiwa hamba ini bergantung. Sudilah dengan kearifan-Mu bukan kenyataan tahun 1933-1945. Ya Allah Yang Maha Mulia, yang Kemuliaan-Mu tak terjangkau satu mahlukpun. Tunjukanlah bahwa krisis keuangan, bahkan ekonomi besar yang diawali dengan The Bank Crash tahun 1929 itu, tidak lebih dari siasat kelompok-kelompok di atas untuk meraup uang. Beritahukanlah Ya Allah Yang Maha Tahu, bahwa krisis itu juga siasat kapitalis culas dan tamak untuk memperbesar kekuasaan presiden. Lalu mereka benarkan dengan segala macam pendapat. Diantaranya argumen political progressive, implied power, inheren power, inherent or aggregate authorithy. Padahal konsep tersebut, tidak lebih dari sekadar siasat kelompok-kelompok kapitalis culas mendorong presiden bertindak di luar batas konstitusi. Presiden dapat bertindak tanpa batas. Tanpa ada halangan daro legislatif. Hanya untuk mewujudkan keuntungan mereka semata. Semangatnya adalah semangat kapitalis keparat. Mereka menggunakan presiden untuk kepentingan mereka. Dengan konsep itu pula, maka kekuasaan non konstitusi diberi kepada presiden. Presiden, dengan argument itu berhak bertindak di luar batas konstitusi. Praktis krisis keuangan telah menjadi modus vivendi kapitalis meraup uang. Itu juga yang terjadi pada negara kami tahun 2008 dulu. Dalam konteks yang lain, ini cara untuk memperluas kekuasaan yang mirip dan pernah terjadi di Indonesia di ujung tahun 1959. Negara dinyatakan dalam keadaan darurat, lalu lahirlah extra power presiden. Terpukullah DPR hasil pemilu 1955. Organisasinya ditata, juga formasi keanggotaannya. Presiden mengendalikan sebagian besar kehidupan bernegara, termasuk kehidupan legislatif. Pola ini seperti mempraktikan fikiran Woodroow Wilson, presiden Amerika pada awal perang dunia pertama itu. Fikirannya itu terkenal dalam ilmu administrasi negara Amerika dengan organic state theory. Keseimbangan adalah fitrah alam. Siapapun yang mengubah keseimbangan itu, ia akan terpukul oleh arus baliknya yang tak seimbang. Ada yang lolos dari putaran mematikan arus itu, ada yang tidak. Tetapi yang lolos dan yang tidak lolos sama-sama ditunggu diakhirat nanti. Kau sendiri di sana, di hadapan-Nya. Tidak ada satupun staf dan anak buah yang membantumu di akhirat nanti. Perpu Corona ke MK Alam akhirat menanti siapa saja. Yang kecil maupun besar. Yang berpangkat maupun tidak. Yang kaya maupun yang miskin. Yang rajin menjilat maupun rajin mengeritik. Semuanya ditunggu alam akhirat. Itu pasti. Tidak ada rahasia di sana. Namun sebelum ke alam itu, orang-orang ini akan memasuki alam Mahkamah Konstitusi. Macam apa alam ini? Wallahu a’lam. Karena tak bisa diraba, maka doa saja yang bisa sertakan kepada para pakar yang telah memilih meniti jalan terjal memasuki alam ini. Hanya dengan doa saja yang dihaturkan ke Allah Azza wa Jallah, pemilik ilmu pengetahuan ini semoga Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan setara kekuatan “hakim yang bernama Syuraih”. Syuraih tidak gentar Ummar Bin Khattab, yang bergelar Amirul Mukminin-nya. Gelar tidak Umar ia bikin sendiri, melainkan disematkan oleh rakyatnya. Syuraih adalah satu di antara tiga hakim yang diangkat oleh Amirulmukminin. Ditempatkan di Kuffah, Irak. Suatu hari Sayidina Umar punya kasus. Kasusnya adalah Umar membeli seekor kuda. Begitu kuda itu dinaiki Sayaidina Umar, kudanya kehabisan tenaga. Tak bisa jalan. Umar mau mengambalikan. Pemilik yang telah menjual kuda itu tidak mau terima. Tak seperti penguasa-penguasa lalim. Sayidina Umar tak menggunakan kekuasaannya mengakhiri kasus itu. Ia malah berkata “kalau begitu harus ada orang yang menengahi antara kita berdua”. Top solusi yang ditawarkan oleh Amirul Mukminin. Dan sipenjual kuda berkata, Syuraih orang Irak itu. Umar oke menyanggupi. Apa putusan Syuraih? Sesudah mendengarkan keterangan keduanya (ini prinsip audi et alteram partem – fair hearing), Syuraih berkata “Amirul Mukiminin ambillah yang sudah anda beli, atau kembalikan seperti waktu anda ambil”. Kata Umar seperti ditulis oleh Muhammad Husen Haikal, keputusannya hanya begini? Umar yang Amirul Mukminin menerimanya dengan ikhlas dan penuh keimanan. Seagung-agungnya Mahkamah. Tentu tidak lebih agung dari putusan hakim yang adil. Seadil-adilnya hakim adalah hakim yang tak tunduk dan berlutut, dengan semua argumentasinya pada penguasa. Sehebat-hebatnya penguasa tidak lebih hebat dari penguasa yang membiarkan. Bukan meminta dengan cara tak terlihat agar hakim berpihak padanya. Ya Allah Yang Maha Tahu, Engkau mengetahui jalan hukum dunia tidak pernah jauh dari yang terjal. Terangilah jiwa para pemutus ini, agar mereka tahu bahwa jalan menuju puncak hakikat, selalu terjal disepanjang mata hati memandang. Sungguh, Ya Rabb Al-Haq, engkau tahu di puncak jalan itu, pendaki yang konsisten akan menemukan saripati kehidupan. Kala saripati itu tersingkap dan memeluk pendaki, penguasa dunia serasa kecil, sekecil virus Corona. Pada-Mu Ya Allah urusan ini akan menemukan jalannya. Indah atau buram, itulah ketentuan-Mu. Inya Allah. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Anies Pakai "Social Distancing", Jokowi Pakai "Political Distancing"
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Sebetulnya, tidak perlu mempersoalkan pelanggaran ketentuan jaga jarak (social distancing) ketika Presiden Jokowi membagi-bagikan sembako di masa pandemi Covid-19 saat ini. Kenapa? Karena selain terminologi "social distancing" (jaga jarak sosial), ada pula "political distancing". Yang kedua ini lebih-kurang bermakna "jaga jarak politik". Sebelum dilanjutkan, apa itu "political distancing"? Saya memaknainya sebagai tindakan yang bertujuan untuk menjaga kedekatan politik dengan publik. Orang yang suka ceplas-ceplos menyebutnya "pencitraan". Itulah "political distancing". Berdasarkan ketentuan umum di masa pandemi ini, bagi-bagi sembako Pak Jokowi mau tak mau harus disebut "political distancing". Itulah yang mendorong beliau menebar sembako di Jakarta (9 April 2020) dan di Bogor pada Jumat malam (10 April 2020). Atas dasar apa kesimpulan bahwa bagi-bagi sembako Pak Jokowi adalah "political distancing"? Sederhana saja. bahwa proses bagi-bagi sembako yang mengundang kerumunan warga, bertentangan dengan definisi "social distancing". Bertolak belakang dengan anjuran "jaga jarak sosial". Nah, jika tidak bisa disebut "social distancing", apalagi kalau bukan "politcal distancing"? Terus, apakah ada komparasi penerapan kedua istilah itu? Ada. Cuma, balik lagi, kita terpaksa meyebut-nyebut nama Anies Baswedan. Suka tak suka. Begini. Gubernur DKI, dalam menjabarkan ketentuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sejauh ini tidak terlihat ingin memanfaatkan kekuasaan dan kedudukannya untuk "jaga jarak politik" (baca: bertemu muka atau berjumpa langsung) dengan warga yang berhak menerima bantuan Pemprov. Anies konsisten dengan "jaga jarak sosial" yang sering dia ucapkan. Anies tidak berusaha mencari-cari momen untuk bisa langsung menyerahkan bantuan apa pun kepada 1.25 juta rumah tangga di DKI. Kalau dia mau, tentu bisa dengan mudah dia lakukan tanpa risiko Covid-19. Tetapi, dia tidak lakukan itu. Anies mengerti bahaya medis dan juga bahaya politis yang bisa terpicu kalau dia ikut-ikutan membagikan sembako langsung kepada warga. Pak Gubernur malah menerapkan istilah yang ketiga, yakni "economic distancing". Dia ciptakan situasi agar para pengemudi ojek online (Ojol) bisa "jaga jarak ekonomi" di tengah kesulitan berat saat ini. Artinya, agar mereka tidak berjarak terlau jauh dari segi ekonomi rumah tangga. Anies mempekerjakan para pengemudi Ojol itu untuk mengantarkan keperluan warga DKI yang harus diam di rumah (stay at home). Sehingga, mereka tetap bisa mendapatkan penghasilan. Begitulah Anies. Dia memakai "social distancing" di Jakarta. Sambil berikhtiar supaya ada "economic distancing" juga. Sedangkan Pak Jokowi memakai "political distancing". Sah-sah saja, tentunya. Meskipun ‘moral value’ (nilai moral) keduanya jauh berbeda. Bagai siang dan malam. Penulis Wartawan Senior
Dendam Buya Hamka, Nelson Mandela dan Anies Baswedan
Saat AE Priyono sakit, Lukman Hakiem WA dan telepon Anies. Lukman minta kepada Anies untuk membantu AE Priyono. Mulai dari mencarikan rumah sakit, tes Swab dan pelayanan tim medis. Anies merespon dengan sangat cepat. Anies mengerahkan tim medis untuk segera urus AE Priyono. Alhamdulillaah, AE Priyono akhirnya mendapatkan pelayanan medis dengan patut dan semestinya. By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (13/04). Rakyat Indonesia tahu Buya Hamka pernah dipenjara. Soekarno, presiden Indonesia pertama yang memenjarakannya. Bukan kasus kriminal, tetapi ini soal politik. Penyebabnya Cuma karena Ketua MUI Pusat asal Sumatera Barat ini terlalu kritis terhadap Presiden Soekarno. Buya Hamka juga bersyukur. Dari dalam penjara, sebuah buku tafsir Al-Quran 30 juz rampung ditulis. “Nggak mungkin dikerjakan jika tak di penjara, “kata Buya Hamka. Inilah hikmahnya. Menjelang akhir hayat, Soekarno pesan kepada keluarganya, “nanti kalau meninggal, Soekarno ingin Buya Hamka yang jadi imam sholat jenazah”. Ketika Buya Hamka dikasih kabar bahwa Soekarno meninggal, dan diminta untuk jadi imam sholat, Buya Hamka merespon. Dengan senang hati. Buya Hamka pun mengimami shalat janazah Soekarno ketika itu. Selesai sholat, Buya Hamka melantunkan doa-doa terbaik untuk Soekarno. Harapannya semoga Soekarno husnul khotimah. semoga Allaah SWT mengampunya segala kesalahan Soekarno, dan menerima semua amal kebaikannya. Menempatkan Soekarno di syurganya Allaah bersama dengan para penghuni syurga yang lain. Padahal Soekarmo adalah Presiden yang pernah memenjarakan Buya Hamka selama 2,4 tahun. Sebelumnya Buya Hamka dijemput dengan paksa di rumahnya pada bulan suci Ramadhan. Selain Buya Hamka, ada Nelson Mandela. Tokoh politik dan presiden Afrika Selatan ini pernah dipenjara 27 tahun lamanya. Saat situasi politik berubah, ia keluar dari penjara, dan akhirnya terpilih jadi presiden. Saat itu, seorang wartawan bertanya kepada Nelson, anda sekarang sudah jadi penguasa. Kenapa orang-orang yang dulu berbuat dzalim dan memenjarakan tidak anda penjarakan? Apa jawab Nelson? "Selama 27 tahun saya dipenjara. Saya tak mau lagi terpenjara oleh dendam". Begitulah mestinya seorang pemimpin bersikap. Itulah pemimpin yang berkarakter, dan memiliki kelapangan jiwa yang tinggi. Pemimpin yang bermatabat dan berkelas. Mengukir kisah hidupnya untuk mewariskan sebuah keteladanan kepada generasi penerusnya. Dari Buya Hamka dan Nelson Mandela inilah, mungkin Anies Baswedan, gubernur DKI ini belajar membangun karakter dan jiwa kepemimpinannya. Anies belajar untuk sabar, teguh dan kuat dalam menjaga prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan. Anies Perlakukan AE Priyono Sebuah kesaksian yang baru-baru ini ditulis oleh wartawan senior bernama Muhammad Subarkah viral. Subarkah menceritakan kisah Lukman Hakiem, mantan anggota DPR dari PPP, yang juga penasehat Wapres Hamzah Haz dan staf Perdana Menteri Muhammad Nasir. Saat AE Priyono sakit, Lukman Hakiem WA dan telp Anies. Lukman minta kepada Anies untuk membantu AE Priyono. Mulai dari mencarikan rumah sakit, tes Swab dan pelayanan tim medis. Anies merespon dengan sangat cepat. Anies mengerahkan tim medis untuk segera urus AE Priyono. Alhamdulillaah, AE Priyono akhirnya mendapatkan pelayanan medis dengan patut dan semestinya. Beberapa hari kemudian, Lukman Hakiem telepon Anies lagi. Apa yang bisa saya bantu? What can I help you? Itu kalimat yang sering kita dengar dari film-film Barat. Standar etika komunikasi dalam peradaban Barat. AE Priyono meninggal dunia, kata Lukman Hakiem. Mohon dibantu pemakamannya, lanjut Lukman. Anies menjawab Siap. Anies pun bergegas instruksikan kepada tim Satgas Covid-19 DKI Jakarta untuk mengurus pemakaman AE Priyono. AE Priyono adalah wartawan senior dan aktifis Jogja saat kuliah. Ia dikenal sebagai Ahokers tulun dan akut. Kritiknya kepada Anies, jangan lagi dibilang dan dijelaskan. Bisa dilihat pada jejak-jejak digitalnya. Layaknya Ahoker-Ahoker yang lain. Anda pasti bisa membayangkan bagaimana sikap Anies. Apakah Anies akan dendam? Subhanallaah, ternyata tidak. Anies justru memberikan AE Priyono pelayanan yang terbaik. Pada konteks ini, terlihat kalau Anies terus berupaya keras untuk mengakhiri keterbelahan politik di negeri ini. Mengakhiri identifikasi sosial-politik yang bernama Jokowers, Ahokers dan Aniesers. Nggak sehat dan kontra produktif terhadap peradaban dan masa depan bangsa. Caranya? Gampang saja. Pertama, semua warga DKI adalah rakyatnya Anies. Mau pendukung atau non pendukung. Ini hal yang prinsip. Kedua, mereka mendapatkan hak untuk diperlakukan secara sama dan dilayani secara adil. Tidak boleh ada pembedaan diantara Jokowers, Ahokers dan Aniessers. Ketiga, Anies merangkul dan mengayomi semua pihak layaknya "Bapak Ibu kota." Keempat, melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk para "haters" dalam pembangunan masa depan DKI. Kelima, tidak melayani, merespon, apalagi menuntut mereka yang membully, fitnah dan mencaci-maki Anies. Apalagi yang dilakukan oleh oknum-oknus "haters". Sabar dan selalu memaafkan mereka. Menjauh dari sifat-sifat sebagai pendendam. Tampaknya sikap inilah yang sedang diteladani Anies dari Buya Hamka dan Nelson Mandela. Dua tokoh besar lintas negara. Kisah AE Priyono hanyalah satu dari sekian kisah yang tak terekspos dan terbaca oleh publik. Begitulah seharusnya seorang pemimpin bersikap. Harus ada karakter yang bisa dijadikan rujukan dan panutan buat rakyatnya. Tidak saja rakyat hari ini, tetapi juga rakyat 100-1000 tahun yang akan datang. Kisah dan sikap seorang pemimpin akan ditulis dalam sejarah. Akan selalu diingat sepanjang sejarah ke depan. Generasi mendatang anak-anak bangsa ini akan membacanya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Ekonomi Indonesia Ambruk Bukan Karena Adanya Covid-19
Kalau mau, wabah Covid-19 yang tengah melanda dunia ini merupakan momentum untuk membenahi tata kelola ekonomi Indonesia yang sudah buruk sejak awal. Sebelum datangnya virus Covid-19 awal Januari 2020 lalu. Segera benahi tata kelola yang buruk selama ini. Kalau tidak sanggup untuk membenahi secara mendasar sistem ekonomi dan keuangan Indonesia, mendingan lempar handuk saja. Kasih kesempatan kepada anak-anak bangsa yang lain untuk melakukan pembenahan. Bagaimana caranya? Sangat mudah, dan gampang sekali. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (11/04). Banyak sekali sektor ekonomi yang diuntungkan akibat pelemahan ekonomi global sebagai implikasi dari wabah Covid-19 ini. Tidak seperti yang tergambar selama ini seolah-olah seluruh sektor ekonomi akan ambruk karena Covid-19. Padahal bukan itu penyebabnya. Bayangkan, saja akibat Covid-19 telah menimbulkan implikasi melemahnya harga barang-barang yang selama ini diimpor oleh Indonesia. Terutama sekali migas, bahan baku industri dan barang-barang konsumsi. Pelemahan ekonomi global telah berdampak pada penurunan harga-harga bahan mentah dan bahan baku secara drastis. Apalagi sekitar 70 % impor Indonesia adalah bahan baku. Sektor migas dan BUMN migas adalah sektor yang panen paling besar dalam keadaan Covid-19 sekarang ini. Bayangkan, harga minyak mentah telah jatuh lebih dari 50% dibandingkan asumsi APBN 2020. Harga minyak sekarang rata -rata U$ 20-25 dollar per barel. Jatuh paling bawah bila jauh dibandingkan dengan asumsi APBN U$ 62 dollar per barel. Dengan kondisi ini, biaya produksi perusahan migas seperti Pertamina akan turun sangat besar. Karena minyak mentah merupakan komponen biaya terbesar dalam struktur produksi migas. Sementara harga jual migas masih berada pada posisi yang menguntungkan. Belum ada perubahan harga sampai saat ini. Perusahan BUMN seperti Pertamina bisa menekan harga impor BBM yang sangat besar. Bayangkan saja, Ron 92 bisa dibeli dalam kontrak di Singapura dengan harga 22 dolar per barel, atau Rp 3.300 per liter. Sementara harga jual BBM dalam negeri berhasil dipertahankan atau tidak ada perubahan harga. Menurut salah satu sumber, di Malaysia harga BBM Ron 95 adalah Rp. 4500 per liter. Begitu juga harga beli bahan baku LPG di Saudi Aramco telah turun lebih dari 25% . Sementara harga jual gas LPG di dalam negeri sebelum penurunan harga bahan baku LPG sudah menguntungkan BUMN. Apalagi sekarang. Pihak lain yang sangat diuntungkan oleh pelemahan harga energi primer ini adalah PLN. Pelemahan ekonomi dunia telah berimplikasi pada pelemahan batubara, gas dan minyak. Dua jenis energi ini merupakan komponen energi primer yang selama ini menjadi pos terbesar dalam biaya produksi PLN. Harga batubara jauh sekali berada di bawah harga yang dipatok oleh pemerintah, yakni U$ 70 dollar per ton (harga batubara domestik market obligation/DMO). Sementara harga batubara di pasar tinggal U$ 30-35 dollar per ton. Demikian juga harga gas dan harga bahan bakar lainnya. Kesempatan ini merupakan momentum penting dan berharga bagi PLN dalam menekan harga energi primer. Segera melakukan renegosiasi harga dengan pembangkit independent power producer (IPP). Pada tingkat harga jual listrik sekarang ini akan menghasilkan keuntungan berkali kali lipat bagi BUMN jika tidak ada perubahan harga jual dalam negeri. Bagaimana dengan perusahaan swasta? Banyak yang diuntungkan oleh pelemahan harga minyak global. Perusahan swasta di Indonesia dapat melalukan impor solar dengan harga yang sangat murah untuk menunjang kegiatan produksi mereka. Mereka dapat memproduksi listrik untuk kebutuhan sendiri dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan sebelumnya. Demikian juga dengan harga bahan baku bagi industri lainnya, seperti bahan baku industri dasar besi, baja, plastik dan lain sebagainya, yang harganya juga jatuh. Terus bagaimana dengan nasib perbankkan dan sektor keuangan? Ini juga menjadi oportunity tersendiri yang baik. Sebab di saat masyarakat dalam keadaan kesulitan uang, maka bank bisa panen besar. Permintaan kredit konsumsi akan meningkat tajam dalam jangka pendek. Semua ini bisa terjadi, karena masyarakat kesulitan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Demikian juga dengan lembaga keuangan seperti asuransi yang juga akan makin rame peminat di tengah keresahan sosial yang luas akibat krisis dan wabah belakangan ini. Tata Kelola Pemerintah Buruk Jadi, tidak seperti asumsi dan prediksi pemerintah bahwa akibat pandemic wabah Covid-19 ini, akan terjadi krisis keuangan dan perbankan, sehingga perlu dikeluarkan Perpu No 1 Tahun 2020, yang berkaitan dengan darurat sektor keuangan dan perbankan. Perlu disiapkan skema dana talangan untuk bank dan sektor swasta yang akan kolaps nanti. Logika semacam itu sangat tidak berlandaskan pada fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Sampai hari belum ada Stress Test tentang bank. Belum juga ada bank yang menyatakan keadaan keuangannya memburuk akibat dari pandemic Covid-19, sehingga membutuhkan dana talangan. Keadaan sektor keuangan yang memburuk memang bukan karena pandemic Covid-19. Sama dengan kondisi APBN yang juga memburuk, bukan akibat Covid-19. Resesi sektor keuangan dan bangkrutnya APBN 2020 belakangan ini dikarena tata kelola yang sangat buruk dari pemerintah. Sebagai gambaran, beban utang yang ditumpuk sangat besar oleh APBN dan sektor keuangan. Begitu pula dengan penggunaan dana publik yang besar oleh pemerintah dalam mega proyek infrastruktur. Ada juga masalah lain seperti pengelolaan yang tidak akuntable, dan maraknya korupsi. Sehingga momentum wabah Covid-19, justru menjadi kesempatan emas bagi penyelenggara negara dan BUMN untuk introspeksi dan melakukan banyak pembenahan. Kalau mau, wabah Covid-19 yang tengah melanda dunia ini merupakan momentum untuk membenahi tata kelola ekonomi Indonesia. Segera membenahi tata kelola yang buruk selama ini. Kalau tidak sanggup untuk membenahi secara mendasar sistem ekonomi dan keuangan Indonesia, mendingan lempar handuk saja. Kasih kesempatan untuk anak-anak bangsa lain melakukan pembenahan. Bagaimana caranya? Sangat udah, dan gampang sekali. Tinggal mau atau tidak saja. Cara yang paling mudah dan gampang adalah dengan mengurangi ketergantungan pada impor. Segera bangkitkan dan hidupkan kemampuan industri nasional. Juga mengurangi ketergantungan pada utang. Sehingga momentum ini menjadi kesempatan emas untuk bangsa ini berdikari di bidang ekonomi. Kebetulan sekali pekan ini merupakan musim panen padi. Tugas pemerintah adalah bagaimana memastikan rakyat bisa berbelanja. Kalau lapangan kerja masih kurang, maka pemerintah bisa kasih uang ke rakyat agar bisa berbelanja. Bisa langsung, bisa juga tidak langsung. Karena 57-60 persen GDP Indonesia sumbangan atau kontribusi dari konsumsi. Pelemahan konsumsi masyarakat inilah yang sangat terasa dan makin memburuk dalam lima tahun terakhir. Jadi, ekonomi Indonesia memburuk bukan karena dampak dari pandemic virus Covid-19. Namun karena salah kelola dari pemerintah yang membuat ekonomi Indonesia sudah memburuk sejak awal. Buruk sebelum datangnya Covid-19 awal Januari 2020 lalu. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)