OPINI

Pejabat Pemulihan Ekonomi Diburu Risiko Hukum

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Janganlah engkau menjadi lampu yang membakar diri lalu menerangi orang lain. Keluarkan kecintaanmu terhadap dunia karena aku tak akan menyatukan antara cinta dunia dan cinta pada-Ku pada hati yang sama (Al-Ghazali). Jakarta FNN- Rabu (08/07). Pandemi corona masih terus menggerogoti daya tahan Indonesia. Orang sakit dan mati terus saja terjadi dari hari ke hari, sejauh ini. Akibat non klinis, terutama bidang ekonomi yang di bawanya pun luar biasa mengerikan. Sejumlah ekonom kredibel telah menemukan kenyataan bahwa perekonomian nasional terus memburuk. Orang kehilangan pekerjaan dan susah cari makan terus saja muncul. Hukum dan politik juga sama. Berantakan di sana-sini. Hukum menjadi andalan terhebat untuk mengepung orang-orang kritis. Kritik terhadap Presiden, disambut aparatur hukum dengan penangkapan dan penahanan. Hebatkah ini? Mungkin iya. Tetapi di dalamnya juga menyemburkan sisi lain yang mengerikan. Sisi itu adalah keangkuhan politik. Jebakan Perpu Administrasi negara, semenjak krisis ekonomi tahun 1929, dikenal sebagai unit terkompleks dalam organisasi negara. Dan administrasi keuangan negara, muncul sebagai sub-unit dalam administrasi pemerintahan terkompleks. Kompleksitas itu, mungkin ada yang tidak menyukainya. Itu merupakan konsekuensi langsung dari keharusan politik. Uang yang dikelola oleh kementerian dan lembaga misalnya, jelas. Uang itu bukan milik pribadi Presiden, Menteri, Sekjen, Dirjen, Direktur, dan Deputi dan lainnya. Bukan. Ini uang negara. Setidaknya bukan uang pribadi semua aparatur di dalam kementerian itu. Konsekuensinya pengeloaan dan tanggung jawab harus jelas pada semua aspeknya. Kejelasan tanggung jawab, tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Memang tatanegara dan administrasi negara kuno dan konyol, menyodorkan jalan keluar dalam mengatasi soal ini. Jalan keluarnya adalah mengaitkan tindakan yang melampaui batas hukum dengan tujuan dan manfaat besar tindakan itu. Esensi doktrin kuno itu adalah dalam keadaan darurat, aparatur negara bisa mengambil tindakan administrasi melampaui batasan hukum yang tersedia. Untuk mencapai tujuan dan manfaat yang lebih besar. Sesederhana itukah? Tidak juga. Mengapa? Manfaat itu harus dipertalikan secara ketat dengan keadaan yang nyata, dan obyektif. Keadaan nyata itu tidak bisa diperoleh dengan cara dibayangkan atau dirancang secara hipotetik. Apalagi dikarang-karang. Keadaan nyata itu harus memiliki bentuk obyektif –terlihat secara nyata. Dapat diukur dan dicek - oleh semua pihak. Pembaca FNN yang budiman, administrasi negara, setidaknya administrasi pemerintahan, dilaksanakan berdasarkan hokum. Bukan berdasarkan perasaan. Mengapa pakai hukum, bukan perasaan? Hukum dapat dicek. Sedangkan perasaan tidak bisa dicek. Hukum mengandalkan obyektifitas. Sementara perasaan mengandalkan subyektifitas. Obyektifitas disajikan oleh pikiran rasional untuk menghadirkan patokan bersama. Patokan bersama menjadi cara orang-orang rasional menyerukan agar orang memiliki harapan, atau berpengharapan. Karena hukum bekerja berdasarkan norma, yang semua orang dapat mengenal dan membacanya. Perasaan tidak dapat dikenal. Tidak menghadikan obyektifitas. Tuga tidak menghadirkan patokan bersama. Tidak. Perasaan seseorang berbeda dengan perasaan orang lain. Disebabkan tidak dapat dijadikan patokan bersama, maka orang tidak memiliki alasan untuk berpengharapan. Suka atau tidak, perasaan dapat berubah-ubah. Tergantung pada suasana hati dan keadaan. Perasaan justru menjadi pangkal lahirnya kolusi, nepotisme yang menjadi terdekat ke korupsi. Perpu No.1/2020 Jebakan Berbahaya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang judulnya panjang sekali itu, pantas dibicarakan dalam konteks di atas. Perpu ini, sepintas terlihat hebat. Tetapi sejatinya justru menyediakan begitu banyak jebakan berbahaya. Tidak tersedia kepastian yang diperlukan menurut prinsi-prinsip hukum untuk dijadikan dasar yang kokoh dan tak meragukan tindakan administrasi negara, merupakan salah satu jebakan itu. Pasal 11 ayat (3) Perpu misalnya, layak disodorkan sebagai ilustrasi adanya ketidakmemadaian kepastian hukum. Dua soal hukum muncul dari pasal ini. Pertama, apa parameter hukum untuk; a penempatan dana. b. investasi atau c. penjaminan? Kedua, siapa yang menentukan, dalam makna memutus satu di antara tiga tindakan yang dimungkinkan itu? Ketiga, sahkah satu diantara tiga hal dalam pasal di atas dilakukan oleh, misalnya Menteri Keuangan atau Menteri BUMN? Bila satu di antara dua menteri ini melakukan tindakan itu dianggap sah, apa dasarnya? Perpu ini sebagai dasarnya? Tidak. Mengapa? Terminologi pemerintah dalam pasal ini (pasdal 11) Perpu tidak menunjuk menteri. Terminologi ini menujuk Presiden. Dapatkah Menteri melakukan tindakan itu? Bisa, tetapi bersyarat. Syaratnya harus dibuat peraturan tertentu. Peraturan itu harus secara spesifik menguasakan kewenangan Presiden kepada Menteri untuk melakukan tindakan dalam pasal 11 itu. Ini menarik. Ini hanya bisa dilakukan dengan satu bentuk hukum spesifik yang menjabarkan atau mengatur kewenangan, lengkap dengan ruang lingkupnya. Sayangnya PP Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Perekonomian Nasional, sebut saja begitu mengingat judul PP kelewat panjang, juga tidak menunjuk mengatur menteri siapa yang bertanggung jawab atau diberi kuasa oleh Presiden melakukan tindakan itu. Persis Perpu, PP ini juga menggunakan terminologi umum, yakni pemerintah. Seharusnya PP ini berisi pengaturan kuasa kewenangan itu secara spesifik kepada satu atau dua menteri. Bila diberi kuasa kepada dua menteri, maka harus diatur batas kewenangan kedua menteri itu, serta hubungan kewenangan kedua menteri itu. Ini telah tidak dilakukan. Takut itu Bagus Takut atas konsekuensi hukum yang muncul dikemudian hari setelah program pemulihan ekonomi nasional dilaksanakan, hemat saya itu bagus. Bagus, karena dua hal; Pertama, tanggung jawabn administrasi negara itu bersifat individual. Kedua, baik Perpu maupun PP sama-sama punya kelemahan yang sangat fatal. Baik Perpu maupun PP sama-sama tidak menyediakan skema kewenangan dan syarat-syarat hukum yang bersifat teknis. Perpu dan PP berbicara dengan bahasa yang sangat umum. Bahasa yang umum justru menghasilkan ketidakpastian. Ketidakpastian inilah yang membahayakan setiap pejabat. Penggunaan bahasa yang umum, mungkin dipilih sebagai cara menyediakan ruang diskresi sebesar mungkin kepada menteri, dirjen, deputi dan direktur. Diskresi bukan barang terlarang dalam penyelenggaraan administrasi negara. UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan membenarkan aparatur administrasi negara mengambil diskresi. Tetapi UU ini mengatur secara spesifik syarat, tata cara dan tujuan diskresi. Disebabkan diskresi diikatkan pada syarat, tata cara dan tujuan, maka diskresi tidak bisa begitu saja digunakan. Syarat cukup jelas digariskan dalam UU, juga tujuannya. Syarat tidak menyediakan ruang tafsir. Tujuan memerlukan tafsir. Ketepatan tafsir tergantung pada ketepatan merumuskan tujuan. Ketepatan merumuskan tujuan bergantung pada ketepatan identifikasi terhadap keadaan nyata secara obyektif. Pasal 11 ayat (5) Perpu misalnya terlihat menyediakan ruang diskresi itu. Kata-kata penempatan dana dan/atau investasi dapat dilakukan langsung oleh pemerintah dan/atau lembaga keuangan, manajer investasi dan/atau lembaga lain yang ditunjuk. Soal hukum dibawah ini harus dibuat jelas. Soal-soal itu adalah: (a) bagaimana parameter untuik pemerintah memilih penempatan dana dan bagaimana parameneter pemerintah memilih investasi. (ii) Apa saja lembaga keuangan itu. Bank atau nion bank. Mengapa Bank dan mengapa non bank. (c) Apa parameter menunjuk menajer investasi. (d) Apa yang dimaksud dengan lembaga lain yang ditunjuk? Bisakah soal-sioal itu dipecahkan dengan diskresi? Bisa saja, sejauh pejabat itu tahu mendefenisikan, dalam arti memberi bentuk terhadap syarat diskresi. Juga tepat dalam mengidentifikasi keadaan, sehingga diskresi itu tidak mengaburkan tujuan diskresi. Rumit memang, dan jelas mengganggu kenyamanan kerja pejabat. Itu sebabnya logis pejabat merasa ketakutan dalam bertindak. Lain soalnya bila kriteria-kriteria atas soal-soal di atas diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2020. Sayangnya tidak. Itulah masalahnya. Suka atau tidak, soal-soal di atas itulah yang akan menajdi obyek pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab pejabat itu oleh BPK. BPK tidak mungkin tidak mempertanyakan, misalnya mengapa anda memilih bank, bukan non bank atau sebaliknya. Ini soal prosedur. Prosedur adalah cara memastikan kebenaran mengejar tujuan besar yang hebat itu telah dicapai dengan cara yang benar. Ini penting. Lebih dari segalanya. Prosedur juga menjadi pijakan utama, satu-satunya penegak hukum membangun konstruksi hukum tentang ada atau tidak niat melakukan perbuatan melawan hukum, sekaligus menyatakan ada atau tidaknya tindakan melawan hukum. Memeriksa dasar hukum atas tindakan itu, telah menjadi pekerjaan standar BPK dalam tindakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggu jawab atas keuangan negara. BPK akan selalu begitu. Itulah BPK. Hidung dan penciumannya akan diarahkan ke soal-soal itu. Penciuman profesionalnya akan menuntun BPK untuk terus bertanya mana dasar hukum untuk tindakan ini dan itu. Mereka, seperti biasa, akan meminta semua itu –dasar hukum dan data teknis- disediakan dan disajikan layaknya sajian makanan pembesar, selengkap mungkin diletakan di atas meja pemeriksaan. Prosedur-prosedur tindakan administrasi negara dalam merealisasikan program pemulihan perekonomian nasional, tidak bisa dikarang oleh pejabat. BPK akan selalu mau mendengar suara manis pejabat yang diperiksa. Tetapi semanis dan seindah apapun suara pejabat, tetap tak mengubah apapun. BPK tak usah dibuat tersipu dengan manisnya tujuan yang didendangkan pejabat. Tidak. BPK hanya perlu dibuat tersipu, riang dan gembira dengan meletakan Perpu, PP, Perpres, Kepres dan Kepmen di atas meja pemeriksaan. Pejabat, andai bisa, sajikan saja itu sebagai nanyian terindah di musim pemeriksaan BPK. Sekjen, Dirjen dan Irjen, juga Deputi dan Direktur, tak perlu mengarang indah lalu menulis karangan tentang tujuan, keadaan nyata dan dasar hukum. Sekjen, Dirjen dan Irjen, hanya perlu dan harus memeluk erat seerat pelukan Dia yang dicintai dengan dasar hukum yang kokoh, data yang valid dan obyektif. Itu saja. Hukum telah begitu terang melarang Sekjen, Dirjen, Irjen, Deputi dan Direktur menampilkan diri sebagai pahlawan. Hukum mengharus semua orang itu berpegang teguh pada hukum dan data obyektif. Hukum akan memburu siapapun pejabat, yang teridentifikasi mengabaikan hukum dan data obyektif dalam bertindak. Mengerikan. Sekarang BPK belum akan masuk. Tahun anggaran belum berakhir. Hukum belum memungkinkannya. Itu jelas. Tidak mungkin saat ini pemerintah membuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Tetapi semua akan berubah segera setelah tahun anggaran berakhir. Sesaat setelah itu barulah hukum memungkinkan BPK masuk memeriksa. Sekjen, Irjen, Dirjen, Deputi dan Direktur hanya perlu tahu bahwa hukum terlalu buta untuk bisa mengenal kata-kata pahlawan. Bertekadlah sekuat yang bisa, dan nyatakanlah sekuat orang beriman bahwa tuan-tuan tak sudi jadi pahlawan kesiangan. Pastikanlah bahwa yang tuan-tuan besar rindukan dan inginkan hanyalah patuh pada hukum. Hindarkanlah sekuat mungkin kekeliruan-kekeliruan kecil. Sadarilah sedini mungkin kekeliruan yang mungkin terjadi. Akhir yang indah, dihasilkan oleh kemauan mengenal kekeliruan disaat ini. Esok yang indah bersama anak istri dan cucu-cucu tersayang dihasilkan dari takut pada hukum disaat ini. Bathin tak boleh tersiksa dihari esok. Tak usahlah jadi pahlawan, bila hari-hari esok terus diintai kekeliruan kecil saat ini. Takut pada hukum, sejatinya bagus untuk semua aspek untuk tuan-tuian. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

Gatot Nurmantyo dan Gerakan Anti RUU HIP. Catatan Atas Wawancaran Dengan Rosi

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Selasa (07/07). Kemarin berbagai orang saling memposting potongan wawancara Rosi Kompas TV dengan Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI. Wawancana terkait kebangkitan Komunisme di Indonesia. Video itu ternyata viral bersamaan dengan laporan gelombang aksi menolak RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang dipelopori FPI dan MUI di seluruh Indonesia. Saya tertarik atas video tersebut. Meski kemudian saya check ke YouTube, ternyata video itu telah di upload disana setahun lalu. Namun, setahunpun ternyata tidak lama untuk melihat bagimana ideologi Gatot Nurmantyo (GN), yang setahun ini belum muncul lagi ke permukaan politik. Terdapat beberapa informasi yang menarik dari video ini. Pertama, GN menyatakan yakin bahwa Komunisme akan bangkit di seluruh Indonesia. Kedua, pemerintahan Jokowi meminta agar penanganan terhadap Komunisme dan orang-orang yang menggerakkannya diperlakukan dengan lunak saja. Ketiga, korban terbesar dalam sejarah pemberontakan komunis di masa lalu adalah para ulama dan umat Islam. Sedangkan pertanyaan menarik yang diajukan Rosi ada tiga. Pertama,) apakah GN yakin dengan informasi bangkitnya Komunisme di Indonesia? Kedua, apakah GN bukan bermaksud memprovokasi rakyat Indonesia terkait isu komunisme ini? Ketiga, apakah GN tidk takut dengan resiko yang mungkin dia hadapi dengan statusnya sudah purnawirawan saat ini? GN menyatakan bahwa pernyataan Rifka Tjiptaning tentang kebangkitan anak-anak PKI, yang jumlahnya 20-an juta sebagai rujukan dasar. Rujukan lainnya tentang kebangkitan Komunisme ada beberapa. Pertama, adanya kaderisasi partai politik tertentu ke PKC (Partai Komunis Cina), RRC yang secara rutin dan berkala. Jedua, adanya pelemahan ajaran agama dan Pancasila dalam sistem resmi kurikulum belajar pendidikan saat ini. Ketiga, adanya pertemuan-pertemuan politik anak-anak eks Komunis. Keempat, adanya distribusi kaos-kaos lambang Komunis Palu Arit meluas di Indonesia. Kelima, adanya razia buku-buku Komunis yang dilakukan jajaran militer. Tafsir Sejarah Sejarah tentunya bukan sebuah jalan lurus. Bukan pula rangkaian informasi berbasis tahun dan tanggal. Bukan pula sebuah gelombang se arah. Namun, sejarah adalah sebuah rangkaian peristiwa di masa lalu yang memiliki hukum sebab akibat dan mempunyai gelombang dengan arus berlawanan serta memiliki berbagai aktor dalam menentukan arahnya. Sejak Amerika merelease keterlibatan CIA dalam peristiwa G30S PKI tahun 1965, sejarah kelam tahun 1965 yang selama ini dibebankan kepada Komunis atau PKI menjadi sebuah pertanyaan baru. Bukankah CIA yang membantu tentara saat itu untuk menggulingkan Sukarno dan membantai orang-orang Komunis di Indonesia? Hak kaum Komunis atau anak-anaknya tentu adalah hak historis yang sah untuk menuntut pembersihan nama baik mereka. Juga membenarkan tafsir sejarah di masa lalu. Namun, bagi ummat Islam, Komunisme sebagai ancaman tentu juga sebuh keniscayaan sejarah. Pertama, Komunisme telah terbukti sepanjang sejarah kehadirannya sebagai ideologi anti Tuhan. Kedua, Komunisme jika berkuasa akan melakukan pemerintahan diktator proletariat, yang menihilkan pemilikan individual, menihilkan demokrasi dan kebebasan individual. Ketiga, Komunis jika berkuasa akan menjadikan agama sebagai musuh, sehingga eksistensi agama hilang sebagai ajaran kehidupan. Pandangan umat Islam atas Komunisme ini dengan demikian bersifat laten dan tidak terikat pada perubahan tafsir yang mungkin terjadi pada peristiwa G30S PKI. Sehingga, kebangkitan Komunisme di Indonesia tetap dianggap ancaman bagi Islam dan ummat Islam yang mayoritas di Indonesia. Lalu bagaimana meletakkan kepentingan anak-anak eks PKI versus kepentingan ummat Islam atas isu ini? Dendam Sejarah Gatot Nurmantyo menjelaskan pada Rosi bahwa anak-anak PKI ini mempunyai dendam sejarah. Sebaliknya, ulama ulama dan umat Islam tidak. Ulama-ulama, bahkan menurut GN, lebih besar korbannya dibanding PKI. Umat Islam selama ini menjadi korban dalam berbagai peristiwa masa lalu. Sejarah yang berdarah tentunya melahirkan dendam. Namun, dendam dalam teori konflik dan resolusi konflik tidak memberikan peluang bagi perdamaian. Perdamaian justru muncul kalau pihak-pihak yang bertikai di masa lalu mempunyai ruang intropeksi dan ruang komunikasi. Beberapa tahun lalu, Taufik Kiemas, berusaha menjembatani berbagai kelompok-kelompok yang bertikai di masa lalu. Taufik Kiemas mengajak untuk melupakan sejarah kelam itu. Setidaknya mengurangi dendam. Pertemuan periodik antara anak-anak tokoh Darul Islam, anak-anak eks PKI dan anak-anak eks Jenderal difasilitasinya berdialog secara rutin. Namun, kelihatannya, upaya almarhum Taufik Kiemas itu sirna saat ini. Ruang politik kita ternyata dipenuhi keinginan kebangkitan politik anti Islam dan "ajaran Komunisme" ,versus tentunya keinginan Islam untuk mempertahankan ajaran Islam sebagai acuan resmi berkehidupan berbangsa dan bernegara. Setahun setelah wawancara GN dengan Rosi itu, fenomena terkini, pertikaian antara orang-orang yang mendorong adanya Haluan Ideologi Pancasila vs. Ulama-ulama yang menolak RUU HIP itu merupakan fakta pertarungan ideologis yang sesungguhnya. Dapat dirujuk pada pikiran dan informasi GN setahun lalu tersebut. Ideologi Gatot Nurmantyo Meskipun wawancara GN dan Rosi di Kompas TV yang viral itu sudah berlangsung setahun lalu, namun dapat ditafsirkan bahwa GN mempunyai ideologi anti Komunisme yang tidak bisa ditawar. GN menjelaskan bahwa TNI ketika dia berkuasa ingin menghapuskan gerakan-gerakan anak-anak eks PKI tersebut. Namun pemerintahan Jokowi melarangnya. Dan menurut GN itu lah yang bisa dilakukan TNI saat itu, yakni memberikan peringatan akan bangkitnya Komunisme. Dalam video versi yang lengkap "Siapa Mau Nonton Nobar?", yang dapat dilihat di YouTube, GN mendapat argumen tantangan dari dua nara sumber yang hadir. Mereka mengatakan bahwa GN terlalu cepat menyimpulkan adanya gerakan Komunisme itu. Seorang sejarawan pada acara itu mengatakan bahwa tidak benar ada gerakan Komunis dan eks PKI saat ini. Fenomena Ribka Tjiptaning, anak eks PKI di DPR, menurutnya adalah hak seseorang yang saat ini tidak bisa dihindari. Khususnya, karena anak eks PKI bukanlah seorang Komunis. Selanjutnya, penggiat hak asasi manusia, sebagai penantang lainnya berharap GN tidak seperti jenderal orde baru, yang suka menuduh Komunis atau PKI bersalah di masa lalu. Namun, GN dalam video itu tetap berpegang teguh pada pandangannya bahwa ada kebangkitan Komunisme di Indonesia dan menilai Komunisme adalah ajaran sesat yang berbahaya. Menurutnya, dia hanya ingin kaum milenial yang minim informasi dapat mempelajari sejarah secara lengkap. Pandangan GN ini telah nenempatkan dirinya dan ketokohannya sebagai kontra kebangkitan Komunisme di Indonesia. Berbagai pernyataannya secara bersamaan, GN mengatakan bahwa ulama adalah pendiri bangsa, yang paling utama. Kedua hal ini menunjukkan posisi ideologi GN yang berhimpitan dengan ajaran Islam. Atau sering diidentikkan sebagai Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari yang utama. Penutup Setahun setelah video resmi di upload di YouTube, wawancara Rosi dan GN, yang kemudian potongannya viral saat ini, menjelaskan posisi ideologi GN yang pro Islam dan sekaligus anti Komunisme. Hal ini tentunya memberikan resonansi pada pertarungan kelompok-kelompok Islam melawan pengusung RUU HIP. Berbagai demonstrasi massa ummat Islam telah terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Sehingga ditingkat pikiranpun telah terjadi resonansi. Yang dimaksud telah terjadi antara pikiran GN, pandangan HRS, pandangan ulama-ulama, dan khususnya pandangan dua ormas Islam besar, yakni NU dan Muhammadiyah. GN tentu bukan lagi tentara aktif. Namun, sebagai mantan Panglima TNI, pikiran ideologis yang viral tersebut memberi makna adanya konsistensi TNI. Setidaknya sampai beberapa tahun lalu, di mana GN berkuasa, menolak eksistensi Komunisme. Sehingga makna ini menambah moral gerakan umat dalam melawan kebangkitan Komunisme di Indonesia. Itulah makna sumbangan ideologis Gatot Nurmantyo. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.

Denny Siregar Tak Perlu Minta Maaf ke Umat Islam

by Asyari Usman Jakarta FNN – Selasa (07/07). Pegiat medsos pro-penguasa, Denny Siregar (DS), didesak untuk meminta maaf kepada seluruh santri dan kiyai. Dia dituduh menghina dan melecehkan seluruh santri dengan postingan di akun Facebook-nya. Denny membuat judul “Adek2ku Calon Teroris yg Abang Sayang”, sewaktu dia menuliskan ‘nasihat’ kepada anak-anak yang memakai ikat kepala dengan kalimat syahadat. Warga Tasikmalaya, Jawa Barat, merasa terhina oleh postingan DS. Forum Mujahid Tasikmalaya (FMT) melaporkan Denny ke Polres setempat. Nah, perlukan DS meminta maaf? Menurut hemat saya, tidak perlu. Sebab, sedramatis apapun permintaan maaf dia, DS tidak akan berubah dari watak dan sifat aslinya. Sikap asli DS adalah membenci umat Islam garis lurus. Jadi, permintaan maaf DS, kalau jadi dia sampaikan, hanya sekadar basa-basi saja. Dia akan tetap Denny Siregar yang senantiasa berpikir, berbicara, dan bertindak membenci umat Islam. Karena itu, tidak ada gunanya dia meminta maaf. DS tidak akan beranjak dari ‘stand point’ kebenciannya terhadap umat Islam yang berakidah dan bermuamalah berdasarkan Alqur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw. Saya malah menyarankan agar DS melanjutkan saja misi anti-Islamnya. Melanjutkan terus saja aktivitas pelecehannya kepada umat Islam. Mungkin itu lebih baik bagi DS yang telah terbentuk sebagai orang yang tidak suka dengan Islam. Dan juga lebih baik bagi umat Islam. Mengapa? Karena umat bisa tetap terang melihat siapa DS yang sebenarnya. Lagi pula, apakah Anda berharap polisi akan berlaku adil dalam menindaklanjuti pengaduan FMT? Kalau saya tidak. Polisi dan instansi-instansi penegak hukum lainnya tidak akan pernah menegakkan keadilan selagi Denny Siregar sebagai subjeknya. Sudah berkali-kali dia dilaporkan dengan bukti-bukti yang jelas. Tidak ada hasil apa-apa. Dia malah semakin menjadi-jadi. DS adalah orang yang sangat diperlukan oleh para penguasa. Diperlukan dalam misi menghina-hina dan melecehkan umat Islam. Dia juga diperlukan untuk menjilat-jilat penguasa. Diperlukan dalam tugas untuk memancing-mancing emosi umat Islam. DS sangat berguna untuk membalik-balikkan akal sehat menjadi akal sakit. Dia juga diperlukan dalam misi penyebaran kesesatan berpikir dan kesesatan dalam berakidah. Toh, tugas itu telah dilaksanakan dengan sangat baik dan sempurna oleh DS. Telah sukses besar. Jadi, sekali lagi, umat Islam tidak usah mendorong DS meminta maaf. Dan juga tidak usah menerima pemintaan maaf dari dia kalau itu diucapkannya. Toh, dia telah bertekad akan melaporkan balik pelapor kalau tuduhan kepada dia tidak bisa dibuktikan. Artinya, DS tidak akan pernah punya itikad baik terhadap umat yang dilecehkannya. Tidak usah lagi suruh dia meminta maaf. Yang perlu dilakukan oleh umat adalah mencarikan solusi untuk Denny agar dia berhenti menjadi penghina dan pencerca Islam dan umat Islam. Solusi yang siftanya permanen. Yaitu, solusi dekonstruktif yang memerlukan kreativitas umat. Umat harus melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran-pemikiran DS. Langkah dekonstruksi itu dapat saja dilakukan melalui dialog langsung dengan beliau dalam bahasa yang abstrak. Langkah itu jauh lebih penting, darpada mendorongnya untuk meminta maaf kepada umat Islam. Saya menduga, Denny lebih cepat memahami bahasa abstrak yang tak beraturan itu. Yang lazim disajikan tanpa kaedah atau norma yang jelas. Hanya dengan cara ini Denny Siregar akan senyap. Semoga berhasil. Penulis adalah Penulis Wartawan Senior

Skandal Politik Pilpres 2019 Dibuka Mahkamah Agung

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (07/07). Tayangan video youtube dari konsultan media dan politik, yang juga penulis wartawan senior dari Forum News Network (FNN.co.id) Hersubeno Arief, cukup mengejutkan. Bahwa pada tanggal 28 Oktober 2019, Majelis Hakim Mahkamah Agung telah memutuskan, dengan mengabulkan permohonan uji materiel Bu Rachmawati Soekarnoputri cs. terhadap Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang penetapan pemenang Pilpres 2019. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 inilah yang digunakan oleh KPU sebagai alasan hukum untuk menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Anehnya, Putusan Mejelis Hakim Agung Nomor 44 P/HUM/2019 yang diputus tanggal 28 Oktober 2019 tersebut baru diumumkan ke publik Jum’at tanggal 3 Juli 2020. Bertindak sebagai Majelis Hakim Agung adalah Dr. H. Supandi SH. M.Hum sebagai Ketua Majelis, dan Dr. Irfan Fachruddin SH. CN. dan Is Sudaryono SH. MH. sebagai anggota majelis. Putusan ini baru diupload di website Mahkamah Agung pada Jum’at 3 Juli 2019. Dampaknya, selain mengakibatkan kejutan di masyarakat, termasuk luar negara, jugamembawa dampak politik dan hukum. Putusan ini menjadi dugaan telah terjadinya skandal besar, berupa penutupan informasi punlik yang sangat penting. Adapun diktum penting dari Putusan Majelis Hakim Agung tersebut, antara lain pada butir 2 dan 3, yaitu : “2. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No 5 tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum”. “3. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No 5 tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon dalam Pemilihan Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ". Nah sangat jelas bahwa Penetapan Pasangan Jokowi Ma'ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden itu ditetapkan KPU berdasarkan Pasal 3 ayat (7) yang telah dinyatakan Mahkamah Agung "bertentangan dengan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum" dan "tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat". Oleh karena itu status Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden tersebut menjadi "batal demi hukum" (nietigheid van rechtswege) atau sekurang-kurangnya "dapat dibatalkan" (vernietigbaar). Aada tiga skandal yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 ini, yaitu : Pertama, pengendapan sampai 9sembilan bulan putusan penting adalah suatu kejahatan yang sangat luar biasa. Diduga melibatkan banyak pihak. Mereka terdiri dari penyuruh (medeplichtige), pelaku (dader), dan turut serta (mededader). Mesti segera diusut oleh aparat hukum. Kedua, skandal korupsi. Bahwa iklim politik yang kapitalistik dan transaksional membuat dugaan kuat terjadinya korupsi suap atau gratifikasi pada pejabat di lingkungan Mahkamah Agung. KPK seharusnya mulai bergerak melacak skandal ini. Ketiga, ini adalah skandal politik. Presiden Jokowi bekerja dengan tingkat keabsahan yang diragukan. Paling kurang tanpa tanpa keabsahan hukum sebagai Presiden. Ini dapat "sudden death". Berhentikan dengan cepat. KPU mesti mencabut keputusan pemenang. Informasi penting yang nanti yang sangat signifikan juga bakal didapat dari pihak pemohon, yaitu Bu Rachmawati cs. Info penting itu untuk memulai pembongkaran skandal besar dalam proses politik di negeri ini. Keraguan sejak dini tentang kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin akan segera terjawab. Kebenaran akan terkuak. Putusan Mahkamah Agung menjadi sinyal bahwa kemenangan memang didapat dengan curang dan tidak legal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Pasar Modal Indonesia Diambang Kiamat

by Hersubeno Arief Jakarta FNN – Senin (06/07). Mantan Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio membuat postingan (unggahan) mengerikan. Ekonomi Indonesia sedang dalam bahaya besar. Pasar modal Indonesia terancam ambruk (crash). Postingan (feed) Tito di Akun instagramnya Ahad (5/7) langsung viral. Bagaimanapun Tito bukan orang sembarangan. Kelasnya bukan netizen alay yang sedang galau. Curcol (curhat colongan) di medsos. Dia pelaku sekaligus pernah menjadi pemegang otoritas tertinggi di PT BEI (2015-2018). Jauh sebelum menjadi Dirut PT BEI Tito adalah pelaku di pasar saham. Setelah lengser, dia kembali menjadi salah satu pemain besar. Boleh dibilang hidupnya dari pasar saham. Dia bahkan dikenal sebagai maestro pasar modal Indonesia. Tito juga punya program membantu para pebisnis pemula yang tengah membangun perusahaan rintisan (start-up). Melalui IDX Incubator dia membantu sejumlah start-up masuk ke bursa saham, dan mendapatkan permodalan. Jadi feed Tito di akun Instagramnya harus disikapi sangat serius. Bursa saham Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Bismilahirohmanirohim, tulis Tito memulai feed-nya.“Ya Allah, ya Tuhan kami. Saat ini pasar modal Indonesia sedang dalam cobaan berat. Engkau nyalakan api membara meluluh lantakan harga saham. Angin kencang Engkau tiupkan mengkocar-kacirkan para pemodal. Gempa menggoyang, menghancurkan dan menjatuhkan para pelaku. Bahkan hawa dingin Engkau hembuskan, membekukan langkah para regulator dan otoritas,” tulisnya. Dari unggahan itu kita dapat menangkap apa yang membuat risau Tito. Bursa saham sedang hancur-hancuran. Para pelakunya kocar-kacir. Sementara regulator dan otoritas (pemerintah) kebingungan. Tak melakukan apa-apa. Feed berikutnya memberi signal kondisi eknomi Indonesia yang menggiriskan (menakutkan). Orang Jawa menyebutnya nggegirisi! Menakutkan, mengerikan! “Ya Allah Yang Maha Kuasa. Industri pasar modal selalu menjadi signal perekonomian nasional. Saat ini panasnya api, dingin es, goyangnya gempa membuat industri pasar modal Indonesia penuh ketidak-pastian.” “Ya Allah ketidakpastian ini berdampak sistemik ke tata kelola Industri finansial lainnya, baik perbankan maupun asuransi, pada akhirnya bisa melemahkan daya beli masyarakat,” tulisnya. Bila kita cermati Tito menulis dengan penuh nada ketakutan. Harap-harap cemas, dan karena merasa mentok, akhirnya hanya bisa menyerahkan semuanya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Rontoknya bursa saham memang sudah terbukti bersifat sistemik. Tahun 1929 bursa saham Wall Street di New York rontok. Peristiwa yang dikenal sebagai Black Tuesday ini mendorong hancurnya perekonomian negeri Paman Sam. Krisis besar melanda. Amerika Serikat mengalami Great Depression (1930). Kemudian menyebar ke seluruh dunia. Hancurnya pasar saham Indonesia dampaknya pasti tidak sebesar kejatuhan bursa saham Wall Street. Namun dipastikan akan sangat serius bagi Indonesia. Ekonomi hancur-hancuran akibat salah kelola, dihajar lagi dengan pandemi Corona. Wabah global juga menghancurkan ekonomi semua negara. Dunia diambang Great Depression Part 2. Sulit bagi pemerintah untuk membayangkan akan mendapat bantuan dari negara-negara lain, atau otoritas perekonomian dunia. Semua negara sedang butuh bantuan. Wajar bila Tito terkesan ketakutan. Kalkulasi manusia sudah tak mampu lagi menjawabnya. Tidak ada jalan lain kecuali mengadu kepada Allah Yang Maha Kuasa. Bagi yang kenal Tito sikap ini mengejutkan. Seorang teman yang mengaku kenal dekat secara bercanda menyatakan “luar biasa kalau Tito sudah mengadu ke Tuhan.” Pasti sudah sangat-sangat serius. Dia bukan pribadi yang anti Tuhan. Bahkan ke media dia selalu mengaku kesuksesannya berkat doa Ibunya yang rajin salat tahajud. Tapi dia pribadi yang rasional dan tidak relijius-relijius amat. Dengan meminjam sudut pandang Tito, kita memahami apa yang tengah terjadi. Kegalauan dan ketakutannya memperkuat kekhawatiran sejumlah kalangan. Ekonomi Indonesia sedang dalam bahaya. Tidak seindah seperti digambarkan oleh Menko Marinvest Luhut Panjaitan. Bank Dunia status Indonesia dinaikan dari negara dengan penghasilan menengah ke bawah ( middle lower income), menjadi menengah atas (upper middle income). Apa artinya status itu, kalau masyarakat tak punya daya beli? Ya Allah Yang Maha Pengasih, ampunilah kami. Ampunilah para pemimpin kami. Selamatkan bangsa kami. Amin…end. Penulis adalah Wartawan Sernior.

RUU HIP Itu Bukti Menghianati Bung Karno

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (06/07). Bahwa Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 menawarkan rumusan ideologi negara apakah Pancasila, Trisila, atau Ekasila tak bisa dibantah sebagai fakta sejarah. Pidato "perasan" ini disampaikan di depan peserta sidang BPUPKI yang dipimpin dr. Radjiman Wedyodiningrat. Masalahnya adalah Ir. Soekarno sama sekali tidak menetapkan atau bersepakat dengan Pancasila rumusan 1 Juni tersebut. Masih mengambang, dan itu adalah sebatas tawaran pilihan dari Soekarno saja. Usulan dan pidato-pidato berikut dari para peserta sidang tidak menyepakati tawaran Bung Karno tersebut. Dalam rangka menggodok semua masukan peserta siding, maka dibentuklah Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno sendiri. Panitia Sembilan sepakat rumusan Pancasila sebagaimana yang dikenal dengan nama “Piagam Jakarta”. Sila pertama adalah "Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja". Bung Karno tentu menandatangani rumusan Pancasila 22 Juni 1945 tersebut. Maka lahirlah Pancasila. Inilah Pancasila yang dilahirkan oleh BPUPKI. Oleh Ir. Soekarno. Makanya keliru jika menyatakan 1 Juni 1945 sebagai kelahiran Pancasila. Belum ada kesepakatan apa-apa saat itu. Masih penggodokan, adu konsep atau adu tawaran gagasan. Soekarno sendiri masih ragu soal Pancasila, sehingga merasa perlu menawarkan untuk dipertimbangkan alternatif Trisila dan Ekasila. Tawaran ini pun tidak mendapat sambutan apa-apa. Apalagi sampai persetujuan. Sama sekali tidak ada. Soekarno telah men"drop" tawarannya, dan tidak lagi mencoba untuk memperjuangkan pasca pidato. Tidak ada lobi-lobi yang "ngotot" untuk menggoalkan Trisila dan Ekasila. Fakta terakhir yang disetujui oleh Soekarno adalah Pancasila dengan rumusan sebagaimana tercantum dalam "Piagam Jakarta". Soekarno tidak menyesal atas tidak diterima tawaran "peras perasan" sila-sila pada Trisila dan Ekasila. Rumusan"Piagam Jakarta" adalah keyakinan dan kebenaran ideologi yang diterima Ir. Soekarno. Ini adalah rumusan ideal ideology Soekarno. Sekurangnya untuk saat itu 22 Juni 1945. Kini Soekarnois mencoba memasukan Pancasila (1 Juni 1945), Trisila, dan Ekasila dalam Pasal RUU HIP. Tidak disadari bahwa perjuangan ini adalah penghianatan pada diri Soekarno sendiri. Presiden pertama ini sudah men"drop" gagasan itu. Bahkan secara formiel dan materiel Soekarno sudah menerima. Soekarno sudah sepakat pada rumusan Pancasila 22 Juni 1945. Kemudiannya menjadi Rumusan Pancasila 18 Agustus 1945. Saat Dekrit 5 Juli 1959 Soekarno menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, dan merupakan satu kesatuan dengan UUD tersebut. Tidak terlintas dalam fikiran Soekano bahwa ada Pancasila 1 Juni 1945 atau Trisila dan Ekasila itu menjadi jiwa dari UUD 1945. Menghidupkan sesuatu yang sudah dikubur oleh Soekarno sendiri merupakan upaya, yang bukan saja menghianati bangsa Indonesia. Tetapi juga menghianati pribadi proklamator bangsa Indonesia yang bernama Ir. Soekarno itu. Bilangnya sih menghormati Soekarno. Namun yang tidak disadari bahwa sebenarnya telah menghianati Soekarno. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Yang Bermasalah Itu Kalian, Bukan Pancasila

by Asyari Usman Jakarta FNN – Senin (06/07). Setelah gagal dengan RUU HIP yang bertujuan untuk memeras (ekstraksi) Pancasila menjadi Trisila-Ekasila, PDIP masih ingin ‘melanjutkan’ konstroversi soal Pancasila. Mereka mencoba mengajukan revisi. Sekarang, Banteng maju dengan perubahan judul RUU. Bukan lagi Haluan Ideologi Pancasila (HIP), tetapi Penguatan Ideologi Pancasila (PIP). Yang menjadi pertanyaan, apakah memang perlu ada UU untuk melindungi Pancasila sebagaimana diinginkan oleh PDIP? Mengapa partai ini bingung sekali menjaga agar Pancasila kuat dan menjadi ‘manual’ setiap manusia Indonesia? Sangat mengherankan. Untuk apa PDIP bingung? Untuk apa Bu Mega dan para elit politik, elit eksekutif, merasa resah? Mengapa Anda cemas, seakan rakyat tidak akan berpancasila? Sehingga, harus ada UU PIP atau sejenisnya? Bu Mega dan bapak-ibu sekalian yang sedang berkuasa, baik yang memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif, dan kekuasaan ekonomi-keuangan! Yang harus Anda lakukan itu adalah melihat diri Anda sendiri. Berkaca, kata orang. Bapak-Ibu sekalian. Ada tiga kelompok manusia yang paling banyak merusak negara ini. Mereka merusak keadilan politik dan ekonomi. Merusak tatanan dan keadilan sosial. Merusak nilai-nilai moralitas. Dan juga merusak alam lingkungan hidup. Semua itu terjadi karena kerakusan. Rakus kekuasaan. Rakus kekayaan. Rakus syahwat hedonisme dan birahi. Siapakah ketiga kelompok yang merusak itu? Yang pertama, politisi. Yang kedua, penguasa eksekutif. Yang ketiga penguasa ekonomi-bisnis. Hebatnya, ada sekian banyak orang yang sekaligus memiliki ketiga macam kerakusan itu. Jadi, kalau Anda masuk ke dalam salah satu kategori di atas, itu berarti Anda berpotensi menjadi orang yang merusak negara ini. Atau, Anda malah sudah menjadi pelaku kerusakan itu. Hari ini, kalianlah yang sibuk dengan Pancasila. Sibuk mau memperkuat Pancasila. Seolah-olah kalianlah yang pantas menyandang predikat pancasilais sejati. Orang lain tidak. Seolah-olah kalianlah yang telah menerapkan nilai-nilai Pancasila itu. Orang lain tidak. Tapi, cobalah Anda berkaca. Lihatlah diri Anda sendiri. Bercerminlah. Apakah Anda sudah berpancasila? Apakah Anda tidak korupsi? Apakah Anda tidak menipu rakyat? Apakah Anda menang tanpa kecurangan dalam pemilihan umum? Apakah Anda tidak menggunakan cara sogok-menyogok untuk mendapatkan kekuasaan? Apakah Anda tidak menyalahgunakan kekuasaan? Apakah Anda tidak menumpuk kekayaan? Apakah Anda memperoleh kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi-keuangan, dengan cara yang jujur? Apakah Anda memberikan atau mendapatkan hak pengelolaan sumber alam dengan cara yang jujur, tanpa sogok-menyogok? Apakah Anda tidak pernah menerima upeti (sogok) dari para penghisap kekayaan negara ini? Apakah Anda tidak ikut berlomba-lomba mengoleksi rumah mewah, mobil mewah, barang-barang mewah? Apakah rekening bank Anda isinya pernah tak sampai satu juta rupiah? Wahai para politisi, para penguasa ekeskutif, dan penguasa ekonomi-bisnis yang rakus-rakus! Banyak lagi pertanyaan yang perlu kalian jawab. Banyak lagi cermin yang harus kalian tatap. Dan banyak introspeksi yang harus kalian lakukan. Kalian perlu duduk tenang sambil merenungkan perilaku kalian. Kalian perlu mewaraskan diri agar bisa melihat apa yang kalian kerjakan, dan apa yang dikerjakan oleh rakyat. Supaya kalian sadar bahwa yang bermasalah itu kalian, bukan rakyat. Yang bermasalah itu kalian, bukan Pancasila. Pancasila tidak perlu diutak-atik. Pancasila tidak perlu diperkuat dengan undang-undang. Yang perlu direhabilitasi itu adalah isi kepala kalian. Yang harus disempurnakan adalah otak-otak kalian. Bukan Pancasila. Jadi, berhentilah mencari kesalahan di luar diri kalian. Sebab, semua persoalan bangsa dan negara ini ada di dalam diri Anda. Penulis adalah Penulis Wartawan Senior.

Mengapa Anies Keluarkan Pergub Baru Reklamasi?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (06/07). Kok ada reklamasi baru? Bukannya Anies menentang reklamasi? Bahkan menghentikan reklamasi yang menjadi salah satu janji politiknya? Mengapa sekarang justru keluarin Pergub untuk reklamasi? Publik pun ramai menanggapi keluarnya Pergub tentang reklamasi tersebut. Publik tentu saja mempertanyakan kebijakan Anies yang tidak lagi konsisten dengan janji-janji kampanye. Sebab waktu kampanye, Anies berjanji menentang reklamasi, jika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Masyarakat bahkan telah siap untuk menggelar demo. Sebab Anies dianggap nggak lagi konsisten. Tidak seiya sekata antara janji kampanye dengan kebijakan di lapangan. Janjinya menentang. Eh, setelah terpilih malah melakukan rekalamasi. Keluarlah Pergub tentang reklamasi di Ancol. Cerita awalnya begini. Pada tahun 2009, ada keputusan untuk mengeruk 5 waduk dan 13 sungai di Jakarta. Kenapa harus dikeruk? Alasannya untuk mengurangi banjir di Jakarta. Sudah sebelas tahun kegiatan tersebut berjalan. Kemana saja tanah hasil kerukan 5 waduk dan 13 sungai tersebut dibuang? Ternyata ke pantai utara Jakarta. Tepatnya di wilayah Ancol Timur dan Ancol Barat. Menempel langsung dengan area yang dikelola oleh Taman Impian Jaya Ancol. Saat ini, kurang lebih ada 20 hektare "Tanah Timbul" di Ancol Timur. Itu hasil dari pembuangan lumpur sungai yang sudah bertahan-tahun dikeruk. Dari pada tanah lumpur itu bercecer kemana-mana, dan justru merusak ekosistem laut secara masif, maka perlu ada penertiban. Tentu harus dengan mempertimbangkan hasil kajian dampak dan manfaatnya. Setelah dilakukan kajian. Diantaranya yang terkait dengan penanggulangan dampak banjir, pemanasan global, pengambilan material perluasan kawasan, prasarana dasar, dampak lingkungan dan sejenisnya, maka diputuskan untuk memanfaatkan timbunan lumpur yang sudah ada itu. Dimanfaatkan sebagai lokasi perluasan Taman Impian Jaya Ancol. Jika semula "Tanah Timbul" yang sudah mencapai 20 hektare itu dibiarkan begitu saja. Padahal tenah itu akan terus bertambah seiring dengan proses terus-menerus pembuangan hasil kerukan lumpur di 5 danau dan 13 sungai sebagai pengendalian banjir di Jakarta. Maka akan jauh lebih teratur, rapi dan bermanfaat jika ditertibkan. Cara menertibkannya dengan merapikan tumpukan "Tanah Timbul" tersebut menjadi daratan yang rapi. Yang bisa dimanfaatkan untuk bangunan maupun wisata. Untuk melakukan penertiban ini, tentu perlu legalitas. Untuk itu, ditertibkanlah Pergub untuk mengelolanya. Penetapan lokasi ini berpegang pada PKS antara Pemprov DKI Jakarta dan PT. Pembangunan Jaya Ancol pada tahun 2009 untuk perluasan lahan Ancol Timur seluas 120 hektare. Ingat, suah dari tahun 2009. Sudah sejak sebelas tahun yang lalu. Akan digunakan untuk apa saja? Salah satunya adalah untuk lahan museum Rasulullah. Yang peletakan batu pertamanya sudah dilakukan di bulan Februari lalu. Jadi, perluasan Taman Impian Jaya Ancol ini terkait dengan pengendalian banjir di Jakarta. Bukan asal reklamasi. Reklamasi ini sifatnya lebih menertibkan, merapikan, memanfaatkan dan memberi dasar hukum. Ada tidaknya perluasan Ancol, pembuangan lumpur hasil kerukan 5 waduk dan 13 sungai di Jakarta, akan terus berjalan dan memadati laut sebelah Timur dan Barat Ancol. Tahun demi tahun. Jika "Tanah Timbul" tak dirapikan, maka akan terjadi reklamasi alami tanpa memberi manfaat apapun, kecuali hanya mengganggu ekosistem. Juga akan menggangu pemandangan mata para nelayah dan kenyamanan wisatawan. Jadi, kalau ada yang berimajinasi bahwa penertiban "Tanah Timbul" yang nempel dengan pesisir Timur dan Barat Ancol ini sama dengan reklamasi 13 pulau yang dihentikan gubernur DKI, ya itu sih lebay saja. Mari buka dan lihat data baik-baik. Supaya lebih detil dan lengkap. Biar tak masuk dalam barisan salah paham. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Ingat, DPR Itu Bukanlah Dewan Perwakilan Rezim

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (05/07). Rezim atau regime adalah bentuk pemerintah. Bisa juga seperangkat aturan, norma budaya atau sosial yang mengatur operasi suatu pemerintah atau lembaga dalam interaksinya dengan masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rezim adalah tata pemerintah negara atau pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan DPR adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pasti bukanlah DewanPerwakilan Rezim. Karenanya meskipun DPR dan Pemerintah sama-sama menjadi institusi supra struktur politik, namun memiliki posisi yang berbeda. Pemerintah adalah pengelola negara dan "memerintah" rakyat. Sedangkan DPR mewakili rakyat dan atas nama rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam kaitan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), penyimpangan dilakukan sejak dini. Penyimpangan dilakukan oleh menggagas tanpa keterlibatan rakyat. Gagasannyamuncul diam-diam. Tanpas diketahui oleh rakyat. Baru ketahuan setelah adanya penetapan kontroversial menjadi RUU. Rakyat teriak setelah RUU inisiatif Dewan ini diserahkan kepada Pemerintah. Pemerintah bersikap mengambang dan "cari aman". Bahasa yang dipakai oleh pemerintah adalah "menunda" peembahasan RUU. Mungkin juga harapannya terganjal. Ungkapan ketidaktahuan 100 % Presiden dipastikan hoaks. Gelombang penolakan ternyata sangat masif dan dahsyat. Baik itu dalam bentuk deklarasi atau aksi. Hampir terjadi di seluruh Indonesia. Intinya mendesak RUU HIP agar dicabut atau dibatalkan pembahasannya lebih lanjut. Tidak ada negoisisasi untuk direvisi atau diganti namanya. Rakyat sebagai pemilik negara sudah punya penilaian sendiri. Rakyat sudah punya kesimpulan bahwa RUU HIP ini berbau neo Komunisme. RUU ini untuk membuka peluang bagi bangkitnya PKI. Misi terselubung dari konseptor atau pengusul terkuak oleh publik. Tuntutan pengusutan juga mengemuka. DPR anehnya belum mengambil sikap yang jelas juga. Bahkan ada yang mencoba untuk mengotak-atik. Misalnya, dengan mengubah judulnya, dari sebelumnya HIP menjadi Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Meski ada perbedaan isi dan arah, tetapi bahasan RUU ini sudah kehilangan ruh. Sudah kadaluarsa. Mengganti judul RUU, apapun namanya, apakah itu PIP, BIP, SIP, RIP atau lainnya sudah tidak berguna lagi. Suara rakyat sudah sangat jelas dan tegas. Rakyat hanya ingin menolak, hentikan atau batalkan. Lagi pula dengan mengganti nama dan isi RUU, seharusnya masuk dalam proglegnas baru. Dari awal lagi. Jika terus mengambang, apalagi hendak mengalihkan pembahasan RUU hanya sebagai bekal buat BPIP semata, maka DPR yang telah mengabaikan suara rakyat. DPR akan menghadapi teriakan rakyat yang lebih keras lagi. Terutama kepada partai-partai di DPR yang dianggap rakyat "tuli" dan "buta". Yang berani dan mencoba-coba mengabaikan aspirasi rakyatnya. Menipu rakyat dengan geseran bahasan, justru akan menggeserkan tekanan pula. Jika BPIP menjadi sentral, maka suara rakyat akan terarah kepada BPIP dan instansi yang berada di belakangnya. Seruan rakyat kelak bisa berubah drastic, menjadi "bubarkan BPIP". Bisa juga "turunkan penanggung jawab yang berada di belalang BPIP". Bukan mustahil Presiden akan menjadi sasaran berikutnya. Sekedar meningkatkan bahwa status dan dasar pengaturan BPIP dari "Perpres" menjadi "Undang-Undang" juga terlalu berlebihan. Hanya buang-buang enerji untuk hal yang tidak penting untuk rakyat. Sudah sangat jelas, kalau DPR dengan RUU inisiatifnya ini menjadi lembaga penyalur kepentingan Pemerintah. Padahal BPIP yang bentukan Presiden ini dinilai rakyat sudah tidak bermanfaat. Hanya buang-buang anggaran hampir satu triliun rupiah setiap tahun untuk hal yang sama-sekali tidak dirasakan manfaatnya oleh. Mendingan dana tersebut dipakai untuk membantu ekonomi yang lagi kekusahan. Lebih efektif. Ketika DPR diam atau "buta" dan "tuli" terhadap aspirasi rakyat, yang mendesak agar RUU HIP dibatalkan atau dihentikan, maka DPR telah menempatkan dirinya bukan lagi sebagai "Wakil Rakyat". Yang didengar dan diperjuangkan adalah kepentingan. Jika bukan karena kepentingan Pemerintah, maka itu adalah untuk dirinya sendiri. Juga kepentingan Partai Politiknya. RUU HIP menjadi bukti dan alat uji atas pertanyaan mendasar. Apakah saat ini DPR itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Partai? Jangan-jangan memang telah berubah menjadi Dewan Perwakikan Rezim? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

PTDI dan Bangkitnya Industri Pesawat Terbang Nusantara

by Delianur Jakarta FNN – Sabtu (04/07). Bagi masyarakat Indonesia, khususnya warga Bandung, yang hidup di era 80-an, pasti familiar dengan nama PT Nurtanio. Yang kemudian berubah menjadi PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara). Pada zaman ketika istilah BUMN belum dikenal publik, menjadi pegawai IPTN adalah angan-angan kebanyakan orang. Apalagi anak muda. IPTN sendiri memang memenuhi syarat menjadi idaman banyak orang dalam membangun karir. Perusahaan negara ini bukan hanya dipimpin oleh orang yang mempunyai kedekatan khusus dengan Presiden, tetapi juga menjadi salah satu perusahaan pijakan utama Presiden dalam membangun Indonesia masa depan. Tidak aneh bila pemerintah memberikan dukungan penuh. Pada masa Indonesia sedang menghadapi booming dengan harga minyak. Juga pada saa kekuasaan eksekutif yang begitu besar, pastinya sulit untuk membayangkan di kemudian hari perusahaan ini akan dinyatakan pailit. Apalagi Di luar sisi politis diatas, IPTN juga mempunyai brand image sangat positif di tengah masyarakat. Pekerjaan utamanya meneliti dan memproduksi pesawat terbang. Ini adalah kerja yang berkaitan dengan kecerdasan dan kepintaran. Di tengah masyarakat agraris, hanya segelintir orang yang bisa mengerti teknologi kedirgantaraan. Karenanya hanya orang pintar dan cerdaslah yang dianggap bisa menjadi bagian dari perusahaan ini. Terlebih Habibie yang menjadi penggagas dan pemimpin IPTN juga adalah figur yang jenius bidang teknologi. Karenanya, lengkaplah kelebihan IPTN dibanding perusahaan lain. Secara finansial terjamin karena menjadi perhatian negara yang sedang digdaya secara ekonomi dan politik. IMF Minta IPTN Dilepaskan Secara reputasi sangat meyakinkan. Karena berkaitan dengan kecerdasan dan teknologi masa depan. Terlebih ketika IPTN berhasil membuat pesawat rancangan dan produksi sendiri pertama pada 1995, jenis N250 Gatot Kaca. Namun sayang. Sebagaimana diketahui, keunggulan utama itu jatuh seketika. Keunggulan politis dan reputasi IPTN yang bergerak dalam teknologi terkini dan tercanggih, sirna. Awalnya adalah krisis moneter di beberapa kawasan pada tahun 1997, yang juga menyeret Indonesia. Krisis ini bukan hanya membuat harga-harga melambung tinggi, tetapi juga membuat keuangan negara terkuras. IPTN yang keberadaannya selama ini ditopang pemerintah, pastinya mengalami imbasnya. Namun itu ternyata baru awal. Ketika permohonan bantuan ke IMF menjadi solusi utama, IPTN menghadapi krisis yang lebih serius. Sebab IMF menyatakan bahwa untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia, maka proyek dirgantara berbiaya tinggi seperti IPTN harus segera dilepaskan dari tanggungan negara. Resep IMF ini mau tidak mau mesti diikuti. Permintaan dan ususl IMF merupakan bagian dari kesepakatan pinjaman yang akan diberikan IMF ke Indonesia. Puncaknya adalah ketika Presiden Soeharto mundur pada tahun 1998. Presiden yang selama ini membanggakan IPTN dan memberi banyak privillege ke IPTN, tidak berkuasa lagi. Namun kejatuhan IPTN bukan hanya berkaitan dengan dukungan politik dan ekonomi yang hilang seketika. Tetapi juga arah perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang bergerak di luar dugaan. Sebelumnya orang menganggap bahwa teknik dan mesin adalah masa depan. Karenanya IPTN yang bergerak di bidang ini, sangat strategis. Tetapi ternyata tidak seperti itu. Untung 2019 U$ 10,5 Juta Dollar Berawal dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, yang sejak tahun 1996 yang mengembangkan proyek Advanced Research Project Agency Network (ARPANET). Sebuah proyek pembuatan sistem jaringan komputer untuk menghubungkan daerah-daerah vital. Tujuannya untuk kelancaran distribusi informasi dan komunikasi. Proyek APRANET ini awalnya hanya menghubungkan empat situs saja, yaitu Stanford Research, University of California, Santa Barbara, dan University of Utah. Namun ternyata proyek ini berkembang sangat pesat. Semua universitas di Amerika ingin bergabung dengan proyek ini. Projek jarigan inipun dibagi dua. Milnet untuk keperluan militer, dan Arpanet untuk kepentingan universitas-universitas. Gabungan keduanya diberi nama Darpa Internet yang kemudian disederhanakan dengan sebutan internet. Sampai akhirnya internet diperkenalkan ke public. Maka internet bukan hanya menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, tetapi juga kehidupan masa depan. Dalam dunia internet, masa depan adalah informasi dan data. Algorithma, Big Data, Artificial Intellegence adalah harapan kehidupan masa depan. Akselerasi manufaktur ke depan, bukan hanya bertopang pada temuan bidang mesin.Tetapi pada pengelolaan data. Masa depan itu bukan Teknologi Dirgantara dengan mesin dan teknik sebagai instrumen utama. Tetapi teknologi informasi dengan Data Sciencenya. Bekerja di PT Telkom atau membuat start up, terdengar lebih seksi dan bereputasi ketimbang bekerja di PT Dirgantara Indonesia. Nama baru IPTN setelah krisis moneter. Namun entah bagaimana, bila kita melihat catatan keuangan yang tersebar di media, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) ini bisa pulih. Meski rugi hingga Rp. 3,92 triliun dengan ekuitas negatif Rp. 14,67 miliar pada 2007. Sejak tahun 2009 sampai 2014 PTDI memperoleh kontrak Rp. 18,95 Triliun dan penjualan Rp 13,97 triliun, yang terdiri dari kontrak dengan pemerintah, 70%, dan non-pemerintah luar negeri 30%. Karenanya di akhir tahun 2014, PTDI mendapat laba sebesar U$ 19,3 Juta dolla atau setara dengan Rp. 250 milyar. Meskipun perusahaan dirgantara global terus meningkat. Terakhir tahun 2019 dinyatakan bahwa pendapatan perseroan naik hingga U$ 259,7 juta dollar, sehingga bisa menghasilkan laba bersih U$ 10,5 juta dollar atau setara dengan Rp. 150 miliar. Bangkit dan Luncurkan N-219 Nurnatio Puncak kebangkitan PTDI sepertinya terlihat ketika perusahaan negara ini berhasil launching pesawat terbarunya “N-219 Nurtanio”. Sebuah pesawat komersial yang serbaguna. Bisa membawa 19 penumpang dan juga kargo serta terbang dan mendarat di landasan pendek. Sangat cocok beroperasi untuk negara seperti Indonesia yang memiliki banyak pulau dan daerah terpencil. N-219 Nurtanio sendiri bukan hanya sangat penting bagi PTDI. Tetapi juga bagi industri pesawat terbang nusantara. Karena industri dirgantara meyakini bahwa memproduksi pesawat komersil akan menjadikan perusahaan lebih stabil dan mendapat keuntungan yang lebih besar. Keuntungan besar untuk pesawat komersial, ketimbang hanya menerima dan mendapat kontrak kerja dengan militer atau sub kontraktor perusahaan dirgantara dunia. Seperti yang sudah ditunjukan oleh dua raksasa dirgantara dunia Airbus dan Boeing. Terlebih lagi design dan produksi N-219 Nurtanio semuanya dilakukan oleh orang Indonesia. Bila kita membaca catatan perjalanan PTDI setelah kebangkrutan, sepertinya kita memang harus memberikan kredit point kepada direksi dan pegawai PTDI hasil restruksasi pasca krisis moneter. Perusahaan ini sempat dicibir karena menerima kontrak pekerjaan pembuatan panci. Namun dibalik itu, sebetulnya terlihat ada semangat kebangkitan yang luar biasa besar dan membaja. Itikad untuk memulai kembali dari dasar, dengan mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Sampai-sampai harus mengerjakan sesuatu yang tak pernah terbayang sebelumnya, yaitu memproduksi panci. Semua menjadi tekad kuat untuk bangkit, bangkit dan bangkit. Hanya itu yang melekat pada seluruh personil PTDI ketika itu, sehingga bisa mencetak labah bersih 2019 lalu. Hal yang paling menarik adalah ketika PTDI launching N-219 Nurtanio pada tahun 2017 lalu. Sebagaimana disebut sebelumnya, bahwa memproduksi pesawat komersial adalah tujuan besar sebuah pabrik pesawat. Karena dengan memproduksi pesawat komersil, perusahaan akan lebih stabil dan maju. Tidak lagi mengandalkan pekerjaan sebagai sub kontraktor dari Kementerian Pertahann tertentu. Karenanya memproduksi pesawat berpenumpang kecil seperti N-219 Nurtanio, adalah langkah awal untuk masuk ke pembuatan perusahaan komersial yang berkapasitas lebih besar lagi. Namun dalam rancangan dan pembuatan pesawat baru bukanlah proses satu daua tahun, tetapi lebih dari lima tahun. Menurut wikipedia, ide N-219 dimulai pada tahun 2003. Bagian dari pembenahan yang berjalan sampai lima tahun ke depan. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi beberapa lini produk seperti CN-212, NAS-332 Super Puma, BO-105 dan Bell 412. Proyek ini juga diharapkan membuka kerjasama antar negara Asia Tenggara. Jadi, ketika orang mencibir PTDI karena sudah mendegradasi dirinya dari pabrik pesawat terbang yang bernuansa hi-tech dengan memproduksi panci yang tidak ada kandungan teknologinya. Pada saat yang bersamaan PTDI ternyata sedang merancang masa depan. Merencanakan untuk membuat pesawat baru dengan rancangan dan produksinya dilakukan sendiri. Jadi, bila PTDI sebelumnya lekat dengan figur Almarhum B.J Habibie yang ambisius dan suka bergerak cepat, sekarang PTDI seperti berjalan lambat, tapi pasti. Mungkin karena ini juga Almarhim B.J Habibie sempat gemas dan nyeletuk kalau N-219 itu pesawat maianan. Namun bila PTDI berhasil berbenah seperti sekarang, maka dia tidak hanya berhasil membangkitkan kembali industri dirgantara nasional. Namun juga menyambut ide Almarhum B.J Habibie tentang R-80. Sebuah pesawat baling-baling yang mampu membawa 80-90 penumpang untuk penerbangan dan landasan jarak pendek. Pesawat jenis R-80 bukan hanya dibutuhkan oleh negara seperti Indonesia. Tetapi juga negara-negara Arika dan Amerika Latin. Meskipun baru direncanakan mulai terbang pada tahun 2022, pesawat ini sudah dipesan sebanyak 155 unit, sehingga dianggap sebagai proyek yang sangat prospektif. Bila PTDI bisa sinergi dengan proyek R-80, maka industri dirgantara nasional kita akan terus melangkah lebih jauh ke depan. Masuk ke pembuatan pesawat komersil, dengan terus membuat pesawat komersil berspesifikasi lebih besar. Penulis adalah Pemerhati Sosial Kemasyarakatan, Tinggal di Bandung