OPINI
Infonya Mahasiswa Geruduk DPR. Ah, Yang Bener?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (12/07). Beda mahasiswa sekarang (abad 21) dengan mahasiswa dulu (abad 20). Setidaknya ada dua factor yang membedakan mereka. Pertama, mahasiswa sekarang umumnya lebih berorientasi pada kerja. Cepat lulus, IP bagus, dapat pekerjaan, punya duit, lalu cari mertua. Gak sabar untuk segera hidup mapan. Para aktifis mahasiswa di abad 20, mental berbangsanya lebih kuat dibanding aktifis mahasiswa abad 21. Dulu saat ke Jakarta, para mahasiswa naik bus, kereta atau kapal. Bahkan ada yang numpang truk. Makannya nasi bungkus. Siap juga untuk drop out. Bagaimana dengan mahasiswa sekarang? Dari daerah naiknya pesawat bro! Rapatnya juga sukanya di resto dan Cafe. Mungkin saja karena para aktifis sekarang, mereka berasal dari para orang tua yang sudah kaya. Atau sudah pinter untuk mencari donatur. Joko Edi Abdurrahman, mantan anggota dewan yang sekarang aktif sebagai pengacara ini pernah melempar isu bahwa ada dana Rp. 200 juta yang mengucur setiap bulannya ke Ormas Mahasiswa. Sebanyak Rp. 20 juta untuk pimpinannya. Isu ini sempat ramai. Bahkan Joko Edi akan dilaporkan ke polisi. Ditunggu-tunggu, kok laporannya nggak jadi-jadi, kata Joko Edi. Benar atau tidak itu isu, proses hukum nggak berjalan atas sinyalemen dana Rp. 200 juta versi Djoko Edi yang biasa disapa para aktivis di Kawasan Menteng dengan Prof itu. Karena laporan nggak kunjung dibuat. Sehingga masyarakat gak tahu persisnya. Tapi, stigma terlanjur menyebar. Selain itu, posisi mahasiswa sekarang berada dalam tekanan kampus. Sejak rektor dipilih oleh menteri dan dekan dipilih oleh rektor, maka kampus berada dalam kontrol kekuasaan. Mahasiswa sulit untuk leluasa menjadi oposisi. Ancamannya dari pihak rektorat, bisa dikeluarkan dari kampus. Di zaman Orde Lama dan Orde Baru, kampus juga berada dalam kontrol. Ada juga mahasiswa, dosen dan rektor yang dipecat. Bahkan dipenjara. Tetapi sekarang, kontrolnya lebih terstruktur. Melalui semua pimpinan kampus. Jika mahasiswa macam-macam, sikaaaaaaaaat! Saat ini, nyaris rektor dan dekan menjadi alat kontrol kampus. Tidak saja terhadap mahasiswa. Dosen yang terlalu kritis terhadap penguasa akan dapat teguran. Bahkan sebagian dapat teror dan intimidasi. Kasus diskusi publik di Fakultas Hukum UGM yang sempat ramai beberapa bulan lalu, menjadi salah satu buktinya. Gimana nasib kasusnya? Gelap kan? Maka, ketika ada info kalau tanggal 16 Juli 2020 mahasiswa seluruh Indonesia akan geruduk DPR berkaitan dengan RUU HIP dan RUU Omnibus Law, masyarakat agak apatis. Yang bener aja bro? Paling-paling juga berapa jumlahnya. Begitu kira-kira keraguan masyarakat. Selain tidak kompak, juga pesertanya sedikit. Juga cepat sekali kendor. Bisa juga karena kemasukan angin Itu bisa dilihat dari sisi jumlah yang demo selama ini, sehingga perlu bantuan anak-anak STM. Demonya berhenti sebelum tuntutan dipenuhi. Layu sebelum berkembang. Memble! Jika demo zaman dulu, jika ada mahasiswa dianiaya dan mati, maka urusannya menjadi panjang. Perubahan punya harapan lagi. Sekarang ini, beberapa orang mati, termasuk mahasiswa saat berdemo. Namun mahasiswa yang hidup bersikap sepertinya biasa-biasa saja. Seperti tidak ada kematian Demo berhenti dan kematian para korban seolah-olah dilupakan begitu saja. Mungkin juga karena sudah diganti dengan santunan, atau dapat hadiah sepeda. Kasihan nasib orang-orang yang mati itu. Doaku, semoga perjuangan kalian tak sia-sia. Dan kalian sudah bersama bidadari di sana (syurga). Meskipun begitu, bangsa ini harus tetap optimis. Berikan kesempatan kepada siapapun, termasuk mahasiswa untuk berjuang. Selama tidak destruktif, berjalan sesuai dengan aturan hukum, rakyat akan selalu mendukung. Semoga kali ini, endingnya gak mengecewakan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Sekarang Waktu Yang Tepat Untuk Bubarkan OJK
by Ahmad Suryono SH.MH. Jakarta FNN – Ahad (12/07). Saat menginisiasi Permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tahun 2014 di Mahkamah konstitusi (MK), banyak pihak yang belum percaya dengan apa yang kami perjuangkan. Terutama yang terkait Supremasi Absolut OJK yang berpotensi disalahgunakan. Supremasi itu berupa kewenangan yang sangat mutlak di satu tangan. Dimulai dari Pengaturan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum di Industri Keuangan. Barulah enam tahun kemudian terbukti bahwa kewenangan sangat mutlak ini tidak dibarengi dengan protokol pengawasan internal yang memadai. Bagaimana mungkin praktik kotor, licik dan culas di asuransi yang jelas-jelas melanggar, dapat dengan mudah lolos dari pengawasan OJK? Boleh percaya, boleh juga tidak. Namun ini nyata terjadi. Bahkan andaikan OJK telah menilai praktik kotor asuransi tersebut bersalah dan melanggar hukum, mengapa OJK tidak berdaya mencegah? Apakah mungkin ada mekanisme hubungan kelembagaan di internal OJK yang memang bermasalah? Sehingga menjadi celah, serta luput untuk tidak diatur? Setidaknya ada tiga topik yang relevan untuk dibahas dan menjadi alasan mengapa pembubaran OJK menadji kebutuhan yang mendesak. Pertama, OJK secara konseptual gagal. Kasus Jiwasraya menunjukkan ada lubang terkait kewenangan pengawasan, dan atau mekanisme self control terhadap mekanisme pengawasan tersebut di internal OJK. Jadi, yang bermasalah atau sumber permasalahan itu adanya di OJK. Bukan di luar OJK. Jika memang pengawasan telah belangsung dengan baik dan proper, maka secara teori kasus Jiwasraya tidak mungkin terjadi. Jikapun terjadi, seharusnya terdapat pertanggungjawaban sistemik. Yang bertanggung jawab itu, bisa sampai kepada pengambil keputusan tertinggi, yaitu Dewan Komisioner. Faktanya, hingga detik ini hubungan koordinasi dan pengambilan keputusan tersebut menjadi putus. Keputusan itu seolah-olah terhenti hanya di tersangka Fahri Hilmy saja. Dewan Komisioner OJK sepertinya tidak punya kesalahan sedikitpun atas skandal perampokan ini. Yang lebih parah lagi. Jika memang secara konseptual, pengawasan terintegrasi yang selama ini menjadi senjata pamungkas OJK hanyalah omong kosong. Hanya utopia yang memang secara natural tidak mungkin diatur dan diawasi. Kalau seperti ini adanya untuk apa lagi kelembagaan OJK dipertahankan lagi? Kedua, terdapat celah protokol pengawasan internal yang tersumbat. Celah ini nampak nyata karena yang ditetapkan tersangka hanyalah bawahan. Berkaca dari kasus Bank Century, KPK setidaknya progresif dengan memanggil (berkali-kali) anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang terlibat dan ikut dalam pengambilan keputusan bailout Century. Jika memang kejahatan Jiwasraya hanya dilakukan oleh pejabat setingkat Kepala Departemen, maka patut dipertanyakan alarm system internal di OJK. Sejauh mana bisa alarm tersebut bisa mendeteksi potensi kejahatan pegawai internal mereka? Bukan tidak mungkin, di bagian lain dari OJK, juga terjadi hal serupa. Inilah waktunya untuk OJK dibubarkan. Ketiga, konsep independensi OJK yang salah kaprah. Filosofi independensi yang digaungkan oleh OJK akan sangat kontradiktif. Alasanya, karena OJK masih saja menjadi tukang pungut iuran. OJK masih mengambil kutipan dari pelaku usaha yg berpotensi mengurangi independensi. Lebih parah lagi, independensi yang dipraktekkan oleh OJK adalah independensi yang mau mengatur dirinya sendiri. OJK memang bebas, namun tidak mau diatur dan ditertibkan oleh pihak luar. Tidak mau diawasi. Tidak mau ada mekanisme self control yang transparan. Maunya berbuat sesuka hati. Organisasi sekelas OJK seharusnya dipatuhi dan disegani oleh para pelaku usaha. Tujuannya, agar OJK mampu menegakkan visinya untuk mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan industri keuangan di satu tangan. Kalau masih jadi tukang pungut iuran, bagaimana mungkin mau disegani? Jika integritas masih belum terbentuk karena waktu, maka harus dibangun dengan sistem dan mekanisme kontrol yang ketat. Mekanisme yang tidak memungkinkan pelanggaran dan kejahatan dilakukan oleh pengawas OJK. Jangan sampai pelaku malingnya adalah satpam penjaga rumah sendiri. Jika ini yang terjadi, maka sudah waktunya untuk OJK dibubarkan. Oleh karena itu pembubaran OJK menjadi sangat relevan dan menemukan momentumnya, maka sekarang adalah waktu yang paling tepat. Membubarkan OJK tidaklah membuat negeri ini kolaps kok. Mending sekarang dibubarkan, daripada OJK berubah menjadi serigala baru dalam rimba industri keuangan nasional kita. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember dan Pemohon Uji Materi UU OJK pada Tahun 2014.
Mahkamah Kontitusi Harusnya Bagian Dari Mahkamah Agung (Bag-1)
by Prihandoyo Kuswanto Jakarta FNN – Ahad (12/07). Bagi pemerhati ketatanegaraan dan hukum, memang ada yang ganjil sejak UUD 1945 diamandemen trahun 2002. Kemudian lahir Makamah Konstitusi (MK). Padahal di dalam UUD 1945 yang asli, pemegang kedaulatan hukum tertinggi adalah Makamah Agung (MA). Sejak itulah, terjadi dua matahari di dalam kekuasaan hukum. Kenyataan ini tentu saja menjadikan hukum tidak lagi memberi kepastian hukum kepada para pencari keadilan . Setelah diamandemennya UUD 1945, memang terjadi karut-marut di dalam ketatanegaraan kita. Belum selesai polemik terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasil (RUU HIP) yang dengan sengaja terjadi jungkir-balik Tata Urutan Hukum, Pancasila yang menjadi sumber dari segala sumber hukum dibalik menjadi hanya UU Haluan Ideologi Pancasila. Peraturan perundang-undangan, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) adalah “peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”. Pada Jum’at 3 Juli 2020 lalu, Mahkamah Agung (MA) mengunggah hasil putusannya yang bisa menimbulkan kembali perdebatan dan polemik tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu. Keputusan tersebut sesungguhnya bukan keputusan yang baru kemarin. Namum baru dipublikasikan dalam website resmi MA pada 3 Juli lalu. Putusan Mahkamah Agung No 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober 2019 tersebut, tentu saja berpotensi menimbulkan polemik mengenai keabsahan hasil Pilpres 2019. Intinya putusan itu menganggap Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pangkal persoalannya mengenai pasangan capres-cawapres yang hanya dua orang. Peraturan KPU mengisi celah ruang kosong yang tidak diatur oleh UU Pemilu. Sehingga tanpa perlu ada putaran kedua dan tanpa mempertimbangkan syarat kemenangan suara dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, KPU menetapkan pasangan capres-cawapres dengan suara terbanyak sebagai pemenangnya. Aturan ini ternyata dibatalkan oleh MA. Polemik tidak bisa dilantiknya Jokowi sebagai yang dimenangkan pilpres oleh KPU. Ternyata tidak serta merta bisa dilantik sebab telah berhadapan dengan UUD 1945. Mau direkayasa bagaimanapun jelas tidak mungkin. Kecuali dengan mengganti negara hukum menjadi negara kekuasaan. Apakah itu dimungkinkan? Ternyata UUD 1945 ditabrak dan ditafsir lain oleh KPU sesuka hatinya. Padahal Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 berbunyi: (i) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum; dan (ii) dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ini adalah hasil dari amandamen UUD 1945, khususnya pasal tentang pemilihan presiden/wakil presiden. Melihat butir 2, secara implisit dapat dikatakan Jokowi belum bisa dinyatakan sebagai pemenang. Karena tidak suara terbanyak 17 propinsi, dan di beberapa propinsi perolehan suara kurang dari 20%. Ada yang berpendapat kalau sudah diputuskan MK melalui gugatan seseorang. Bahwa butir dua pasal 6A ayat 3 tidak berlaku jika paslon cuma dua. Kalau betul MK telah memutus sesuai paragraf di atas, maka keputusan MK adalah sah. Tanpa merubah isi dan norma dari pasal-pasal tersebut? Kalau sah, berarti kedudukan MK di atas UUD 1945. Padahal yang berhak merubah UUD 1945 adalah MPR. Kalau begitu, kedudukan MK di atas UUD 1945. Berikut petikan berita, bahwa MK tidak berhak merubah UUD 1945. Catat itu baik-baik. Merubah UUD 1945. Bukanmerubah undang-undang. Berita Detik.com 5 Maret 2014 berjudul “Bisakah UUD 1945 Diubah oleh MK? Ini Jawaban Calon Hakim Konstitusi” Calon hakim konstitusi Yohannes Usfunan yang mendapat giliran terakhir dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR. Yohannes mendapat pertanyaan tentang bisa atau tidaknya UUD 1945 diubah oleh hakim MK? “Bisa tidak hakim MK mengubah UUD 1945?” tanya anggota tim pakar Komisi II DPR Saldi Isra di Gedung DPR Senayan pada Rabu (5/3/2014). Yohannes lalu menjawab bahwa menurut pasal 37 UUD 1945, pengubahan bisa dilakukan, dan diserahkan kepada MPR. Bukan kepada MK. Saldi yang tak puas, kembali mencecar Yohannes. “Secara teoritis bagaimana? Bisa tidak MK mengubah UUD 1945?” tanya Saldi lagi. “Secara diam-diam bisa. Secara implisit bisa ada perubahan. Tetapi secara formal tidak bisa, karena itu wewenang dari MPR,” jawab Yohannes. Jawabannya itu memunculkan pertanyaan dari Saldi. “Bagaimana itu caranya diam-diam?” tanya Saldi sambil menahan tawa. “Maksudnya implisit. Suatu putusan mengubah UU,” jawab Yohannes yang langsung dipotong Saldi. “UUD lho, bukan UU,” katanya tegas. “Berarti tidak boleh. Saya tidak temukan teorinya,” jawab Yohannes yang kemudian kembali dicecar Saldi. “Bapak sudah baca buku Konstitusi-Konstitusi Modern dari K.C Wheare?” tanya Saldi. Ternyata Yohannes belum membacanya. “Lho, itu kitab yang harus dibaca!” kata Saldi mengeluhkan Yohannes. Komisi III melaksanakan fit and proper test untuk calon hakim MK sejak Senin (3/3/2014) hingga hari ini dengan didampingi 8 orang tim pakar. Sebanyak 11 orang calon hakim diseleksi untuk mencari pengganti Akil Mochtar yang ditangkap KPK dan Harjono yang akan pensiun. Semakin rumit pilpres kali ini. Mangkanya Jokowi berbalik arah untuk menggandeng Prabowo. Mengapa? memang disamping tidak mempunyai legitimasi, juga tidak bisa dilantik tanpa power sharing dengan Prabowo. Jika mengacu pada pilpres, harusnya Prabowo yang menang. Sebab persyaratan menang tercukupi tapi sayang di rekayasa untuk kalah oleh KPU. Tetapi ternyata ada persoalan yang lebih urgent dibanding dengan sekedar memenangkan angka dengan kecurangan Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM). Rupanya “becik ketitik oloh ketoro” berlaku dalam hukum pilpres. “Becik Ketitik Olo Ketoro“ berarti segala sesuatu perbuatan yang baik pasti akan menuai kebaikan. Sebaliknya, setiap perbuatan buruk dan jahat pastinya akan terkuak juga di kemudian hari. Sopo Sing Salah Bakal Saleh = orang yang berbuat salah akan memetik buah jeleknya. Lama kelamaan perbuatan itu akan ketahuan pula. Jadi, kecurang yang dilakukan secara terstruktur, tersistem dan masif akan terbuka walau ditutup-tutupi. “Gusti Alloh mboten sare”. Ungkapan nasehat yang sederhana ini adalah bentuk dan wujud dari ungkapan keikhlasan terhadap keadaan dan kondisi yang pasrah dengan ikhlas. Tentu saja tidak ada didunia ini tanpa sepengetahuan sang khaliq, termasuk sehelai daun kiring yang memang sudah waktunya jatuh. Bahwa benar putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober ini tidak berlaku surut (non-retroaktif). Keputusan KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang itu tanggal 21 Mei 2019. Lima bulan sebelum keluarnya putusan dari MA. Kalau kita mendalami persoalan ini, maka tentu saja semakin tidak adanya kepastian hokum. Apa sudah betul, bahwa keputusan KPU itu tidak bisa dianulir oleh MA .Kalau begitu apa KPU lebih tinggi dari pada MA? Semakin bertambah ruwet lagi masalahnya. Repotnya, Pasal 416 UU Nomor 7/2017 itu merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Artinya, ada kemungkinan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), selama Pasal 6A UUD 1945 tidak diamandemen untuk mengakomodasi Pilpres hanya diikuti dua pasangan. Sayangnya celah hokum itu sudah tertutup. Sebenarnya dengan adanya dua putusan MK masing-masing No. 50/PUU-XII/2014 dan No. 39/PUU-XVII/2019, apakah MK bisa merubah norma yang ada di UUD 1945? Disinilah terjadi dua Matahari Kembar persoalan hokum di negeri ini. Antara MA dan MK sering mempunyai keputusan hukum yang berbeda. Terlepas dari argumen hukum yang digunakan oleh berbagai pakar, tetapi terjadinya dua Matahari Hukum ini berpotensi menimbulkan keruwetan dan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan. Apakah Makamah Konstitusi lebih rendah dibanding Makamah Agung? atau sebaliknya, Makamah Konstitusi lebih tinggi dari Makamah Agung ? atau Makamah Konstitusi dan Makamah Agung sederajat? Maka potensi kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum pasti akan terjadi. Seharusnya Makamah Konstitusi itu bagian dari Makamah Agung. Bagian dari Kamar Konstitusi di Mahkamah Agung. Sama dengan Kamar Pidana, Kamar Perdata, Kamar Agama dan Kamar Militer. Praktek seperti ini yang berlaku hampir sebagian besar negara di dunia. Jadi tidak berdiri sendiri seperti Indonesia. Bersambung.
Siapa Yang Tonjok Jokowi?
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (10/07). Dipastikan ada kesengajaan "upload" Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 pada Jum’at 3 Juli 2020. Padahal Putusan tersebut sudah lama bersembunyi di meja Mahkamah Agung. Ada yang tidak tahan untuk terus menyembunyikan atau ada pengorder yang minta agar segera diupload Putusan tersebut. Situasi nampaknya semakin hangat. Setelah perseteruan antara Pimpinan Partai dengan Petugas Partai pada kasus korupsi Jiwasraya melawan suap KPU Harun Masiku, dimana enam tersangka kasus Jiwasraya disidang dan 13 manajer investasi ditetapkan sebagai tersangka baru. Bergerak menyertai audit atas keterlibatan OJK, bursa, Kementrian BUMN dan BUMN tertentu. Sementara di sisi lain Harun Masiku masih kuat untuk menghilang. Tiga tersangka sudah masuk tahap persidangan. Metreka adalah Wahyu Setiawan, Agustiani, dan Saeful Bahri. Kotak pandora Harun belum terkuak. Apakah pimpinan Partai terlibat suap ini atau Harun bermain sendiri. Harun belum juga muncul atau tertangkap. Nampaknya KPK masih takut berhadapan dengan "Harun". Kini nampaknya perseteruan makin menguat setelah masalah RUU HIP. Usulan PDIP digempur habis dengan mengangkat isu PKI dan Komunisme. Alih-alih Istana membela. Malah terkesan membiarkan atau membuang badan. Pernyataan Jokowi bahwa pemerintah tidak tahu-menahu proses RUU inisiatif DPR dinilai menyakitkan. Mustahil Jokowi tidak tahu, prolegnas saja dibahas bersama. Di tengah kencangnya serangan pada RUU HIP, usulan PDIP itu tiba-tiba muncul upload Putusan MA No 44 P/HUM/2019. Isinya menggugat dasar hukum yang dipakai KPU untuk memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (7) PKPU No 5 tahun 2019 bertentangan dengan UU No 7 tahun 2017. Mahkamah Agung selanjutnya juga menyatakan Pasal 3 ayat (7) PKPU tersebut "tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat". Dengan demikian, runtuhlah dasar hukum yang dipakai KPU untuk menetapkan kemenangan Pasangan Presiden/Wakil Presiden sekarang. Gonjang-ganjing terdengar keras. Pro dan kontra atas batalnya kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Bagi yang kotra, Putusan MA tersebut membatalkan. Bagi yang kontra tentu tidak membatalkan. Alasannya, Putusan MA tidak berlaku surut. Bagi penulis, tentu membatalkan karena menyangkut dasar hokum yang dipakai oleh KPU. Perumpamaan yang paling mudah adalah Sertifikat, yang kemudian dapat dibatalkan oleh temuan bahwa Sertifikat tersebut ternyata palsu. Sertifikat palsu tidak mungkin digunakan untuk membangun sebuah bangunan gedung atau rumah baru. Dalam hal ini KPU wajib untuk mencabut keputusan keliru yang telah dibuat. Nah heboh Putusan MA jadi skandal. Diduga ini adalah perbuatan politik yang disengaja. Tentu arahnya menggoyahkan legitimasi Jokowi. Disinilah pertanyaan muncul siapa yang menonjok Jokowi ? Skenario beragam bisa terjadi. PDIP yang "agak" berseteru. Bisa juga oknum MA yang mungkin bermotif pragmatik, atau di lingkaran Jokowi yang sakit hati. Semua kemungkinan bisa saja terjadi. Sebagian rakyat menyebut sebagai pengalihan isu atas gempuran RUU HIP. Sebagian menyatakan ini momentum pemakzulan Jokowi yang menumpuk kesalahannya. Teori konspirasi global menuduh Amerika terkait rezim Jokowi yang pro China. Atau mungkin juga ini mainan Jokowi sendiri untuk menguji para "dukun" pendukungnya. Yang jelas Putusan MA merupakan gelindingan politik berspektrum luas. Jawaban atas pertanyaan "Siapa yang tonjok Jokowi ?" Tentu menarik untuk dapat dibaca pada peta kekuatan yang ada dan berpengaruh. Apakah di tengah permasalahan berat ekonomi negara, pandemi covid 19, serta isu eskalasi gerakan komunisme ini, rezim Jokowi akan mampu membangun stabilitas? Atau sebaliknya, justru Pemerintahan ini akan berhenti di tengah jalan ? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Presiden Jokowi Memang Harus Ngeri!
by Hersubeno Aief Jakarta FNN – Jum’at (10/07). Presiden Jokowi kembali menyatakan betapa berbahayanya situasi dunia, khususnya Indonesia. Jokowi bahkan menggunakan kosa kata yang sesungguhnya tak lazim dan tak boleh diucapkan seorang Presiden. “Ngeri…..terus terang saya ngeri.” Jokowi juga menggunakan kembali kosa “bahaya”, dan “krisis”. Yang kali ini tidak diucapkan adalah “extra ordinary”. Dia menyampaikan kegalauannya dalam sidang kabinet terbatas Selasa (07/07). Pernyataan itu kemudian didistribusikan ke media oleh Biro Pers Istana Rabu malam (08/07). Lumayan, hanya berselang satu hari. Tidak harus dipendam dulu sampai 10 hari. Seperti ketika Jokowi marah-marah pada rapat paripurna kabinet (18/06). Mengancam akan membubarkan lembaga dan memecat menteri (reshufle). Presiden sudah benar. Memang harus ngeri. Walaupun terlambat, tapi harus tetap kita syukurilah. Akhirnya ada kesadaran situasinya extra ordinary seperti ucapannya. Harusnya ngerinya sejak dulu. Tujuh bulan lalu ketika virus corona, muncul di Wuhan. Atau setidaknya ya tiga setengah bulan lalu lah. Ketika di Jakarta dipastikan ada yang positif tertular virus made in China itu. Situasinya kini seperti nasi sudah menjadi bubur. Krisisnya bukan hanya berdampak terhadap kesehatan dan ekonomi. Tapi sudah merambah kemana-mana. Krisis sosial, krisis politik, krisis kepercayaan terhadap pemerintah, krisis legitimasi, dan yang lebih mengerikan —khususnya bagi Jokowi— adalah krisis kepemimpinan. Para menteri tidak menjalankan perintah Jokowi, sehingga kemarahan itu harus diulang-ulang. Sampai harus memohon supaya para menteri punya “perasaan yang sama” dengannya. Dan kini nadanya dari marah berubah menjadi ngeri. Ucapan seseorang yang tidak lagi berdaya. Padahal dia seorang presiden yang masih berkuasa penuh. Krisis saat ini ibarat penyakit kanker. Sudah metastase. Penyebaran sel kanker dari satu organ atau jaringan tubuh, merambah ke organ yang lainnya. Jauh dari tempat awal munculnya kanker. Sudah stadium IV, sudah terminal. Harus ada penanganan yang super serius, super fokus, tidak boleh lengah. Setelah itu tinggal menunggu keajaiban. Menunggu takdir! Demoralisasi Mengapa Jokowi sampai harus mengucapkan kata ngeri? Ucapan yang seharusnya tabu bagi seorang Presiden? Ucapan itu bisa menimbulkan demoralisasi. Bukan hanya untuk timnya, yang lebih utama bagi rakyat jelata. Kelompok yang paling menderita karena pandemi. Meminjam ucapannya, situasi ekonomi dunia saat ini benar-benar parah. Pertumbuhan ekonomi terus anjlok. Dari semula 2,5 persen, turun menjadi 5 persen, dan sekarang menjadi 7,5 persen. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Menkeu Srimulyani pada pertengahan Juni lalu memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal kedua akan minus 3,1 persen. Kadin Indonesia punya perhitungan lebih parah. Minus 4-6 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi minus lebih dari 7%. Pada kuartal III, Sri memperkirakan pertumbuhan ekonomi diprediksi minus 1 hingga 1,2% dan pada kuartal IV di kisaran 1,6% hingga 3%. Pertumbuhan ekonomi yang membaik di kuartal III dan IV itu hanya bisa terwujud bila asumsi-asumsi stimulus ekonomi berjalan dengan baik. Dan yang paling penting, bila pengendalian pandemi bisa berjalan dengan baik pula. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Ketika marah-marah dalam rapat paripurna, Jokowi mempersoalkan penyerapan anggaran pemerintah yang sangat rendah. Fokus yang dia soroti anggaran kesehatan, anggaran jaringan pengaman sosial, dan stimulus ekonomi. Dalam rapat terbatas dengan departemen/lembaga yang memiliki anggaran terbesar (07/07), hal itu kembali dipersoalkan. Dia menyoroti anggaran di Dephan dan lembaga lainnya yang penyerapannya masih lamban. Data terbaru ketika pemerintah menerapkan tahapan menuju new normal —dengan harapan ekonomi dapat kembali bergerak—tingkat positif corona malah melonjak drastis. Kamis (09/07) jumlah positif Covid-19 mencapai rekor tertinggi 2.657 orang. Angkanya menyebar di berbagai provinsi, dan Jabar tiba-tiba menyalip Jatim dan DKI dengan angka positif tertinggi. Di Bandung lebih dari seribu taruna sekolah calon perwira (Secapa) TNI AD kedapatan positif covid. Sejumlah kantor pemerintah kembali diliburkan karena pegawainya positif terjangkit. Mereka terpaksa diminta kembali bekerja dari rumah. Sayangnya dari penilaian Jokowi, bekerja dari rumah, bagi ASN malah seperti cuti panjang. Padahal semua harus kerja keras dan kerja cepat. Kemarahan, ancaman pembubaran lembaga, reshufle dan terakhir pernyataan “ngerinya” Jokowi menunjukkan situasi krisis di pemerintahan Jokowi. Data yang tidak sinkron. Instruksi Jokowi yang tidak dijalankan para menteri, menunjukkan dia tidak berdaya. Diabaikan. Ketika Jokowi marah, dia menyebut anggaran Kemenkes sebesar Rp 75 triliun, baru terserap 1,53 persen. Data itu langsung dibantah Komisi IX DPR RI. Benar, anggaran Kemenkes sangat besar. Rp 87,5 triliun. Bukan Rp 75 triliun. Untuk anggaran Covid hanya Rp 25,75 triliun. Sisanya sebesar Rp 61,2 triliun dikelola Kementerian Keuangan. Dari jumlah Rp 25,75 triliun tersebut, yang baru diserahkan ke Kemenkes sebesar Rp 1,96 triliun atau sekitar 17,6 persen. Jadi dari mana Jokowi mendapat data itu? Sudah marah, salah data pula. Kemudian ancaman membubarkan lembaga dan reshufle kabinet. Juga dimentahkan oleh Mensesneg Pratikno. Menurutnya kalau kabinet bekerja baik, reshufle tidak relevan lagi. WHAATTTTT? Pernyataan Presiden dikoreksi oleh seorang menteri? Dunia sudah terbolak-balik. Harusnya pernyataan menteri kalau salah, dikoreksi oleh presiden. Tidak boleh terbalik. Yang paling mutakhir adalah munculnya keputusan Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Rachmawati. Pembatalan Peraturan KPU yang menjadi dasar kemenangan Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 oleh MA, menimbulkan kehebohan yang luar biasa. Kendati para pakar hukum tata negara sebagian besar sepakat, bahwa itu tak berpengaruh terhadap hasil Pilpres 2019, namun secara politik punya dampak yang berbeda. Semua itu menunjukkan lemahnya basis legitimasi dan kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi. Andai saja semuanya baik-baik. Ekonomi tumbuh. Perut rakyat kenyang. Penanganan pandemi terkendali dan berjalan baik. Mau ada seribu keputusan baru dari MA, tidak akan berpengaruh. Apalagi sampai heboh. Sampai bawa-bawa ganti pemerintah lah. Pemilu ulang lah. Ada pula yang minta Jokowi turun. Kalau sudah begini kondisinya, Presiden Jokowi memang harus ngeriiii! End Penulis adalah Wartawan Senior
Jokowi Merasa Ngeri
by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (09/07). Presiden Jokowi mengatakan dia ngeri dengan situasi yang akan dihadapi. Pertumbuhan ekonomi bisa minus 8%. Pak Joko masih belum puas dengan cara kerja para menterinya. Harus bekerja lebih keras lagi. Lebih serius lagi. Harus ada perasaan krisis (sense of crisis). Begini Pak Joko. Yang lebih ‘horrific’, lebih seram, lagi nanti ialah ketika Anda ditanya di Akhirat tentang kekuasaan Anda, Pak. Bagaimana mendapatkannya; bagaimana menggunakannya dan untuk siapa. Perasaan ngeri Anda selagi Anda duduk di Istana, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan teror di Padang Mahsyar, kelak. Di Akhirat sana tidak ada lagi yang pasang badan untuk Anda. Tidak ada Pak Luhut. Tidak ada Pak Hendro. Tidak juga Pak Tito. Panjenengan akan berdiri sendirian menjawab interogasi Allah al-Aziz al-Hakim. Tidak bisa berkilah. Yang ada malahan saksi-saksi yang mungkin akan memberatkan. Ketua KPU akan dipanggil. Ketua MK akan dihadirkan. Ketua MA akan tampil. Semua mereka akan berbicara apa adanya. Semua mereka akan tertunduk jujur. Begitu pula orang-orang kuat Anda yang lainnya. Siapa pun dia. Para ketua parpol koalisi akan bersaksi juga. Mereka akan membeberkan semuanya. Sesuai dengan rekaman CCTV yang disimpan oleh malaikat Rakib dan Atid. Rekamannya lengkap. Kedua malaikat ini tidak akan pernah “salah input” seperti di KPU. Tak seorang pun yang berani membolak-balikkan fakta. Para buzzer Anda membisu ketakutan. Denny Zulfikar Siregar, Abu Janda, Ade Armando, dll, tidak lagi bisa kebal hukum. Di sana, mereka tak bisa lagi seenaknya. Tim hukum yang tempohari membela Anda di MK, juga akan diperiksa tuntas. Semua akan dibukakan secara transparan. Niat mereka pun akan ditunjukkan. Apalagi perbuatan mereka. Tapi, Pak Joko, semua informasi tentang kengerian dahsyat di Akhirat sebagaimana diuraikan di atas, hanya berlaku bagi orang-orang yang percaya pada Hari Kebangkitan. Bagi yang tidak mengimaninya, tentu cerita ini tak relevan. Artinya, semua ini seratus persen soal percaya atau tak percaya. Beriman atau tidak beriman. Banyak orang yang pura-pura percaya, padahal mereka tidak. Penulis adalah Wartawan Senior
"Perang" Lobster Libatkan Wartawan TEMPO?
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Kamis (09/07). Beberapa nama wartawan media mainstream masuk dalam “Daftar Nama” penerima angpao dalam kunjungan ke luar negeri yang diduga diadakan oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) era Menteri Susi Pudjiastuti. Ada nama Wahyu Muryadi-Tempo TV (Jepang) Rp 52.603.549; (Italia, Norwegia) Rp 158.704.237; (Amerika Serikat) Rp 161.852.947; (Monako, Polandia, Paris, Italia) Rp 197.837.588. Ada juga nama Arif Zulkifli dari Majalah Tempo (Italia, Norwegia) Rp 110.273.536; (Uni Emirat Arab) Rp 93.563.098. Marvin Sulistio-Tempo TV (Norwegia) Rp 51332.011. Rina Widiastuti-Majalah Tempo (Paris) Rp 55.611.952. Jajang Jamaludin-Majalah Tempo (Amerika Serikat) Rp 15.169.100. Selain TEMPO, yang juga sempat mendapat akomodasi plesir ke luar negeri dari media arus utama lainnya: Kumparan, Metro TV, Detik.com, Kompas.com, Harian KOMPAS, CNN Indonesia, Jakarta Post, TV One, dan Kompas TV. Dalam daftar penerima “akomodasi” itu, dari beberapa nama wartawan Tempo, nama Wahyu Muryadi memang lebih banyak muncul pada rombongan setiap kunjungan ke luar negeri itu. Sepertinya Wahyu Muryadi dapat perlakuan istimewa di KKP saat itu. Nama Rosiana Magdalena Silalahi-Kompas TV (Polandia, Paris, Italia) juga muncul dengan akomodasi Rp 170.960.340. Juga Ecep S Yasa-TV One (Monako, Polandia, Paris, Italia) Rp 200.802.852. Anggi Firdaus-Detik.com (Monako, Polandia, Paris) Rp 180.756.363. Mengapa sampai muncul Daftar Nama wartawan media mainstream yang “dibiayai” Menteri Susi Pudjiastuti justru setelah pimpinan KKP beralih ke Menteri Edhy Prabowo? Apakah ini memang sengaja dibocorin oleh KKP terkait tulisan Majalah TEMPO tersebut? Cover Tempo Pada cover TEMPO (Edisi 6-17 Juni 2020) ada gambar Menteri KKP Edhy Prabowo sedang memasukkan secara berlebihan benih lobster ke dalam mulutnya. Ini yang membuat seorang alumnus Tempo, Bunga Kejora (Bunga Surawijaya) marah. Bunga Kejora yang kini bertugas di Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik (KP2) Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat tulisan berjudul “Kemarahan seorang alumnus Tempo pada jurnalis Tempo kini”. “Saya syok ketika membuka pesan whatsapp dari seorang kawan tadi pagi. Ada sampul majalahTempo dengan gambar Menteri KKP Edhy Prabowo sedang memasukan secara berlebihan benih lobster ke dalam mulutnya (edisi 6-17Juni 2020),” tulisnya. Disainer grafis pasti direkrut sebagai pekerja profesional di kantor Tempo. Tapi bagaimana dia membuat cover, pastilah atas arahan dari tim redaksi. Redaktur pelaksana yang kemudian memberi persetujuan atas hasil visualisasi disainer grafis itu untuk cover. Mengapa Bunga Kejora dari awal harus menggambarkan proses ini, "Karena saya sering kesal mendengar jawaban “orang Tempo” saat ada kritik atau sikap keberatan atas cover-nya. Argumen mereka enteng, tanpa hati, dari tahun ke tahun." “Ah itu kan soal intrepretasi saja. Tafsiran seni grafis, dan kesan pembaca bisa macam-macam”. “Saya tidak sudi menerima alasan usang itu. Sebagai orang yang lahir dari keluarga seniman, dan mantan TEMPO, saya menyayangkan bahwa TEMPO telah membuat seorang disainer melacurkan diri untuk menggambar “sebuah vonis yang menghina lewat karikatur”,” tegasnya. Jelas ini vonis. Terang benderang bahwa gambar dalam cover Tempo edisi itu adalah ilusi tentang keserakahan. “Saya alumni Tempo juga, tapi di era ketika para senior seperti Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, Toeti Kakiailatu dan lainnya masih aktif di meja redaksi,” tulisnya. Bunga Kejora menceritakan, awal tahun-tahun pertama dari 11 tahun belajar di Tempo itu, keras betul GM mengajarkan perlunya skeptis terhadap info yang masuk, tidak memihak, tidak memonopoli kebenaran. “Biarkan pembaca menilai, dan untuk menguatkan independensi, jelas kami (juga) dilarang menerima amplop,” ungkapnya. Itu nilai-nilai yang ditanamkan, selain ketrampilan menulis, tentu saja. Puluhan tahun berlalu, Bunga Kejora terhenyak (lagi) atas kenyataan nilai-nilai baik dari GM utamanya, tak menitis sampai ke redaktur Tempo tahun ini, 2020. Menurutnya, membenci bukan pekerjaan jurnalis, bahkan di saat kita melihat masih banyak orang-orang kekurangan di sekitar kita. Menghasut, juga bukan tugas wartawan berintegritas. Apalagi, menghina seseorang hanya karena tak mampu melihat persoalan dari berbagai sudut, tidak mampu obyektif. Kehormatan jurnalistik terabaikan dan tergadaikan. Tentu saya tidak bisa membandingkan situasi dulu dan sekarang, ketika di jagat media belum ada persaingan yang begitu ketat, termasuk dengan media sosial, yang membuat pimpinan Tempo kini seperti justifies the means hanya untuk memenangkan pasar. “Belum ada model framing pada era 80-90an TEMPO,” tulis Bunga Kejora. Tapi pantaskah berdagang tanpa integritas-apa masih bisa menjadi pembeda dengan jurnalis bodrex, jurnalis pesanan, jurnalis malas, jurnalis diduitin, jurnalis antek pihak tertentu. Yang membuat jurnalis masih bisa dihormati itu adalah ketika dia membaca dan memahami dengan integritas pribadi seluruh info dengan sikap tidak memihak. “Dalam kasus menteri Kelautan dan Perikanan, sudah dapat infokah kalian bahwa Benih lobster bukan hewan langka seperti komodo atau badak bercula satu. Benih lobster ada 27,8 miliar di lautan kita,” ungkap Bunga Kejora. Tahu kan benih lobster itu berasal dari telur lobster yang miliaran jumlahnya? “Dari setiap10 ribu benih loster, ulang ya 10 ribu, hanya 1 yang survive untuk membesar sebagai lobster. Sisanya, 9999 lainnya mati di alam,” jelasnya. “Itulah yang dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan di bidang kelautan dan perikanan. Bukan hanya satu mulut. Mungkin karena kalian; reporter dan redaktur belum kenal ratusan ribu keluarga nelayan,” ungkap Bunga Kejota. Bapak, ibunya, anak-anaknya pernah suatu masa berhutang budi pada benih lobster karena telah memanjangkan nafas ekonomi keluarganya. Saat pulang sekolah, anak-anak mengais benih lobster dengan alat tangkap berbentuk kipas. Tentu saja ada eksportir gemuk yang diuntungkan, karena uangnya diperlukan untuk membeli ribuan benih lobster dari nelayan. Lalu apa? “Tahukah juga bahwa di jaman menteri Susi – yang sudah kalian tempatkan lebih mulia daripada menteri penggantinya, nelayan yang berkulit gosong dan bersimbah peluh itu, Tidak Boleh mengambil benih lobster dan lobster muda untuk dikembang biakkan di kolam tambak mereka?” Bunga Kejora meminta, coba pikir lagi, kalau boleh memanfaatkan, memperjual-belikan si bening dengan aturan ketat, benarkah semua keuntungan itu masuk ke mulut pimpinan yang oleh hukum tata negara ditempatkan sebagai pimpinan kementerian yang bertanggung jawab sebagai regulator dan fasilitator. Jelaskan logikanya sebelum mempertontonkan pada publik prasangka tanpa hati. Bodoh itu tidak berdosa. Tapi, “Kalau ada wartawan Tempo malas berpikir, dan punya kepentingan tersembunyi di atas harga dirinya sebagai wartawan, saya merasa seperti ditelan bumi.” “Mari, para alumni Tempo kita ajak anak-anak kita mengembalikan marwah rumah TEMPO, yang dulu disebut sekolah terbaik wartawan, agar kita bisa menegakkan kepala kita kembali sebagai alumni TEMPO,” pinta Bunga Kejora mengakhiri tulisannya, Minggu (5 Juli 2020). Tempo Doeloe “Saya sih oke-oke saja jika Tempo membuka soal pencabutan larangan eksport lobster dan menyorot kebijakan Menteri KKP Edhy Prabowo. Kita lihat saja gimana pendalaman dan pengembangan beritanya setelah laporan utamanya yang terkini,” kata Hendrajit. Namun, Direktur Eksekutif Global Institute itu juga beralasan skeptis terhadap cara Tempo menginvestigasi suatu kasus maupun reputasi-kredibilitas narasumbernya sebagai sumber informasinya. Mengingat investigasinya terkait kasus-kasus sebelumnya. Wartawan senior itu menilai, kelemahan mendasar Tempo dalam investigasi, mengandalkan akses informasi dari jaringan perkoncoan-nya yang memang solid meski sudah jadi alumni Tempo dan bekerja di tempat lain. “Atau bisa juga karena kedekatannya yang sangat personal dengan beberapa pejabat tinggi pemerintahan,” ungkap Hendrajit. Di era Soeharto, Fikri Jufri misalnya, karena alumni FE UI, sangat erat perkoncoan-nya dengan beberapa menteri “mafia” Berkeley seperti Wijoyo, Ali Wardahana, atau Radius Prawiro. Dengan kalangan militer, ia sangat kental perkoncoan-nya dengan LB Moerdani. “Sampai di situ nggak soal sebenarnya, karena punya akses informasi bagi wartawan sangat berharga,” lanjut Hendrajit. Tapi, kalau kemudian kedekatannya itu menjadi personal dan subyektif, maka dalam hasil liputannya yang mengandalkan sumber-sumber info dari para menteri ekonomi yang sangat pro pasar bebas macam Wijoyo atau Ali Wardahana, maka hasil investigasinya secara faktual memang nyata, tapi fakta yang diambil bersifat konfirmasi bias. “Data atau fakta diambil sebagai dasar untuk mendukung asumsi atau pemihakannya pada kepentingan si narasumber. Bukan kepentingan publik secara umum,” tegas Hendrajit. Masih ingat Laporan Utama Tempo waktu membongkar pembelian kapal-kapal rongsokan Eropa Timur oleh BJ Habibie? Secara faktual memang nyata, tapi sumber-sumber informasi yang diperoleh Tempo berdasarkan inside informasi yang diberikan baik dari jalur para teknokrat Berkeley Mafia, maupun dari sayap militer pro Benny Moerdani. Yang mana keduanya punya satu kepentingan, untuk mendiskreditkan BJ Habibie sebagai teknokrat tehnologi yang bertentangan kepentingan dengan kubu teknokrat ekonomi Wijoyo dan kepentingan klik militer Benny Moerdani. Sehingga, betapapun terkandung kebenaran dalam informasi yang diperoleh, namun fakta-faktanya digunakan sebagai konfirmasi bias. Sehingga, dalam pemerintahan Soeharto yang serba terpusat dan kendali kekuasaan yang kuat terhadap jajaran birokrasi dan hirarki militer, maka ketika terjadi perang senyap antar faksi dalam pemerintahan Soeharto, masing-masing faksi yang sedang berseteru itu sama sama memanfaatkan media massa jaringan perkoncoannya masing-masing. Tempo, oleh karena para pengelola medianya seperti Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, Bur Rasuanto, Salim Said, Christianto Wibosono, merupakan eksponen aktivis mahasiswa UI angkatan 1966. Dan, beberapa di antaranya juga wartawan harian Mahasiswa Salemba, lantas menjelma menjadi jaringan perkoncoan yang solid bukan saja antar mereka sendiri, tapi juga dengan para senior dan mantan dosennya yang kelak jadi para menterinya Soeharto seperti nama-nama yang disebut Hendrajit itu. Alhasil, dalam pertarungan senyap antara para punggawa dan hulubalang Istana, Tempo memang tetap kooperatif kepada pemerintahan Soeharto. Tapi, memihak pada salah satu faksi jaringan perkoncoan-nya. “Yaitu, dengan para tehnokrat ekonomi pro pasar bebas Berkeley Mafia, dan para perwira militer pro Benny Moerdani,” ungkap Hendrajit. Dan pola ini kemudian diteruskan oleh para pemred dan redpel Tempo generasi kedua seperti eranya Bambang Harymurti, Thoriq Hadad, maupun Wahyu Muryadi dan para junior-junior lainnya. “Maka itu dalam menyingkap kasus Lobster maupun menteri KKP, buat saya fine-fine saja. Tapi, saya juga skeptis pada cara Tempo mengolah investigasinya, maupun merajut fakta-faktanya,” tegasnya. Setidaknya kita berhak bertanya, ada apa dengan Tempo kok kali ini mengangkat isu ini? Dari skala prioritas maupun politik keredaksian Tempo, apakah memang penting banget angkat kasus ini dibanding mega kasus-mega kasus lainnya yang saat ini masih tetap misterius? Penulis adalah Wartawan Senior
Melawan Rencana IPO Anak Usaha Pertamina (Bagian-1)
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (09/07). Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir setelah Rapat Umum Pemegang Saham RUPS) Pertamina pada 12 Juni 2020 meminta Dirut Pertamina menyiapkan dua anak usaha Pertamina melantai di bursa. Menawarkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kata Erick Thohir, "jadi target dua tahun ke depan Ibu Nicke bisa go publickan satu sampai dua sub-holding Pertamina. Jadi bagian transparansi, akuntabilitas supaya jelas," usai RUPS Pertamina di Jakarta (12/6/2020). Pernyataan Erick tersebut merupakan perintah yang harus dijalankan manajemen Pertamina. Untuk maksud itu, tampaknya telah disiapkan berbagai alasan. Termasuk meminta pendapat sejumlah pakar, pengamat atau pesohor agar mendukung dan menjustifikasi. Dengan begitu, rencana tersebut dapat berjalan mulus dan sekaligus mendapat dukungan publik. Sikap IRESS terhadap rencana tersebut tetap konsisten sejak dulu, yakni menolak dengan tegas. Sebelumnya, pada Juli 2010, bersama angggota DPR Chandra Tirta Wijaya, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Sri Edi Swasono dan Jajaran Pimpinan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), IRESS telah membacakan sikap penolakan terhadap rencana Initial Public Offering (IPO) Sub Haloding Pertani. Sikap tersebut disampaikan kepada pemerintah (Kementrian BUMN) agar rencana IPO Pertamina Hulu Energy (PHE) segera dibatalkan. Rencana IPO 20% saham PHE yang saat itu dimintakan persetujuannya kepada DPR akhirnya dibatalkan pemerintah. Pada November 2019, IRESS kembali menolak rencana pemerintah melakukan “IPO terselubung” berupa akuisisi Pertagas oleh PGN. Penolakan IRESS ini hanya berbentuk tulisan terbuka. Semula sikap ini akan disampaikan pada satu seminar di Ruang GBHN Nusantara V DPR/MPR. Belakangan penyeampaian sikap tersebut batal karena wakil dari Serikat Pekerja Pertamina mengundurkan diri akibat tekanan dari manajemen. Salah seorang pengurusnya malah “dibuang” ke luar Jawa. Karena dianggap mencoba-coba mengganggu agenda “IPO terselubung” tersebut. Saat rencana IPO PHE terjadi pada 2010, sistem tata kelola pemerintahan masih berjalan normal dan konstitusional. Karena itu setiap langkah dan kebijakan strategis pemerintah dikonsultasikan dengan DPR. Namun untuk kasus akuisisi atau “IPO terselubung” Pertagas oleh PGN, situasi dan kondisi penyelenggaraan negara dan pemerintahan sudah berubah. Pemerintahan Jokowi yang telah berikrar ingin mem-buyback Indosat atau menjadikan Pertamina mengungguli Petronas ini telah berhasil “mengakali” rakyat sekaligus wakil rakyat. Akibatnya, persetujuan DPR atas akuisisi Pertagas oleh PGN berhasil di-bypass. Ini bisa saja terjadi, karena DPR tidak sadar atau sudah berubah sikap menjadi bagian dari pemerintah. Untuk rencana obral aset negara di Pertamina berikutnya, atau sebutlah itu IPO subholding seperti yang disampaikan oleh Erick dan Nicke, situasi dan kondisi tampaknya akan lancar. Berangkat dari kegagalan pelaksanaan IPO PHE 10 tahun lalu, tampaknya strategi dan peraturan untuk memuluskan rencana telah tersebut disiapkan komprehensif dan matang. Persetujuan DPR bisa saja tidak lagi dibutuhkan. Karena yang dijual hanya saham anak usaha. DPR pun bisa sengaja enggan untuk menggunakan hak pengawannya. Namun demikian, rakyat harus tetap melawan. Untuk itu perlu dipahami kenapa melawan. Alasan terpenting adalah migas merupakan sektor strategis. Migas menyangkut hajat hidup rayat banyak yang harus dikuasai Negara. Tata kelola dan melalui BUMN sesuai dengan perintah Pasal 33 UUD 1945. Hal ini bukan saja telah menjadi tekad dan amanat pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/2012 dan No.85/2013. Alasan berikutnya, para investor asing dan pengusaha liberal-kapitalis sangat berminat memperoleh manfaat besar dari sejumlah mata rantai bisnis sektor migas yang sangat menguntungkan. Untuk itu, disiapkan dan direkayasa dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga sebagian saham dari mata rantai bisnis yang menguntungkan tersebut (cream the la cream) dapat dikuasai. Pintu masuk untuk mengusai itu, melalui skema IPO. Dimana saham sebuah perusahaan dilepas ke pasar saham (bursa efek) secara umum untuk pertama kalinya. Aktivitas menjual saham ke publik melalui bursa efek selaku pasar keuangan resmi di Indonesia dikenal dengan istilah Go Public. Dengan melakukan IPO, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah perusahaan. Misalnya, bisa mendapatkan pendanaan murah, akses dana jangka panjang, memperoleh citra yang baik, meningkatkan nilai perusahaan dan memperoleh insentif pajak. Namun untuk itu, mata rantai bisnis atau anak usaha yang harus dijual adalah yang terbaik dan menguntungkan (cream the la cream). Jika prospek bisnisnya tidak menguntungkan atau tidak jelas, siapa yang akan beli? Sebaliknya, dengan melepas atau “mempreteli” satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN seperti Pertamina, sesuai skenario dari kapitalis-liberal, atau dikenal juga dengan istilah unbundling, maka BUMN hanya akan “menikmati” bisnis ampas yang kurang menguntungkan. Lambat laun, semua lini bisnis yang menguntungkan akan terjual. Maka untung yang diperoleh akan lebih banyak dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal. Padahal jika semua lini bisnisnya berjalan utuh secara “bundled”, maka BUMN Pertamina dapat melakukan fungsi-fungsi strategis negara secara optimal. Pertamina bisa melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen yang hingga saat ini mengalami kesenjangan yang lebar. Selain itu, merujuk Pasal 2 Undang-Undang No.19/2003 tentang BUMN, maka tujuan pembentukan BUMN antara lain berkontribusi terhadap ekonomi nasional. Juga melakukan tugas-tugas perintisan. Tugas-tugas tersebut, tidak akan opitimal jika oleh anak-anak usaha yang telah Go Public. Sebaliknya, kemampuan Pertamina untuk cross-subsidy akan berkurang karena sebagian keuntungan telah beralih kepada perusahaan lain. Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro asing, pro kapitalis-liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU swasta asing berbisnis di kota-kota besar di Indonesia. Sementara Pertamina diwajibkan menyediakan BBM hingga pelosok negeri. Tentu saja dengan beban biaya sangat besar. Dengan bisnis Pertamina dibiarkan untuk digerogoti asing, maka kemampuan Pertamina melakukan cross subsidy juga semakin berkurang. Sebagian malah harus ditanggung oleh APBN. Kita tidak anti modal asing. Dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana atau modal. Namun jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi, mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai “kualitatif”, maka hal tersebut harus ditolak. Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan proses IPO patutu untuk ikut diperhitungkan. Sehingga keuntungan “kuantitatif” akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO justru jangan sampai sirna begitu saja. Dalam dunia akademis dikenal adanya tools yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan penting dan strategis. Tools tersebut antara lain adalah Cos-Benefit Analysis (CBA) dan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA). Pada CBA, keputusan diambil terutama pada kriteria ekonomi-keuangan. Begitu juga dengan MCDA. Keputusan yang daimbil harus mempertimbangkan berbagai kriteria. Milsanya, ekonomi-finansial, legal-konstitusional, sosial-politik, dan lain-lain. Kriteria-kriteria tersebut pun lumrah diberi bobot bebeda-beda sesuai urgensi dan prioritas. Dalam rencana IPO subholding Pertamina, tampaknya yang dipilih adalah metode CBA. Seperti disebut di atas. Metode inipun justru bisa tidak valid, jika prilaku moral hazard yang berperan dan dominan dalam proses IPO. Dari pengalaman yang sudah-sudah, moral hazard sangat dominan dalam IPO BUMN atau anak perusahaan BUMN. Padahal, karena Pasal 33 UUD 1945 masih berlaku, maka kondisi kesenjangan sosial antar wilayah yang harus diatasi dengan cross-subsidy yang saelama ini dilakukan Pertamina. Dengan ketahanan energi nasional yang masih sangat rendah, maka seharusnya yang dipilih dalam mengambil keputusan adalah metode MCDA. Sebenarnya, kebutuhan dana dapat diperoleh melalui penerbitan obligasi. Toh pola ini sudah lama dilakukan oleh Pertamina atau PLN. Kedua BUMN ini biasa menerbitkan obligasi dengan tingkat bunga atau kupon yang justru lebih rendah dibanding kupon obligasi terbitan pemerintah. Sebaiknya pemerintah, terutama Menteri BUMN Erick Thohir untuk membatalkan rencana IPO anak-anak perusahaan Pertamina. Perintah Erick kepada Dirut Nicke bukan sesuatu yang relevan dan legal harus dijalankan. Seperti yang mungkin dan umum berlaku pada perusahaan milik swasta atau pribadi. BUMN itu milik negara. Bukan milik “seseorang” seperti pernah diungkap Erick pada 26 Februari 2020 yang lalu di Jakarta. bersambung. Penulis adalah Managing Direktor Indonesian Resoeurces Studies (IRESS)
KPU Mutilasi UUD 1945 dan UU No. 7/2017
by Radhar Tribaskoro “UUD 1945 pasal 6A menyebutkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.” Jakarta FNN – Kamis (09/07). Ketentuan konstitusional Pasal 6A UUD 1945 ini dikutip dengan sangat lengkap dalam Pasal 416 ayat 1 Undang-Undang No.7/2017 Tentang Pemilihan Umum. Tidak ada penambahan maupun pengurangan satu kalimat, kata atau hurup dari redaksi Pasal 6A UUD 1945. Dengan demikian, maka menurut konstitusi dan perundang-undangan kita, terdapat dua norma untuk keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslonpres). Pertama, norma tentang representasi pemilih individual (suara terbanyak). Kedua, norma yang berkaitan dengan representasi masyarakat provinsial. Dipilih dengan suara minimum 20% di setiap provinsi, dan kemenangan yang tersebar di lebih dari 50% provinsi). Kedua norma tersebut normal dan umum dalam praktek ketatanegaraan dunia. Beberapa negara seperti India dan Amerika Serikat misalnya, menerapkan metode electoral college dalam pemilihan presidennya. Metode tersebut memberi kesempatan rakyat memilih langsung presidennya. Namun suara rakyat itu dihitung habis di tingkat negara bagian. Paslonpres yang memperoleh suara terbanyak memperoleh semua electoral college (hak suara) yang dimiliki oleh negara bagian itu. Selanjutnya paslonpres yang memiliki jumlah electoral college terbanyak akan dipilih menjadi presiden dan wakil presiden. Dalam metode electoral college ini jumlah electoral college yang dimiliki suatu negara bagian ditentukan oleh jumlah penduduknya. Dengan ketentuan ini, pada umumnya paslonpres yang memperoleh electoral college terbanyak juga memperoleh suara pemilih terbesar. Tetapi selalu ada perkecualian. Dalam sejarah pilpres di Amerika Serikat, ada lima paslonpres yang memenangkan popular votes tetapi kalah perolehan electoral college. Contoh terdekat adalah ketika Al Gore kalah dari George Bush dalam pilpres tahun 2000. Al Gore unggul 500.000 suara, tetapi kalah lima electoral college dari Bush. Prinsip dua norma ini, juga berlaku dalam pemilihan presiden secara tidak langsung di parlemen. Misalnya, yang terjadi di Jerman, Pakistan, Italia, dan lain-lain. Dalam sistem parlemen bikameral, wakil rakyat yang dipilih secara individual (lower house) mengadakan joint session dengan wakil daerah (senat) untuk memilih presiden. Pada beberapa Negara, parlemen-parlemen daerah menunjuk wakil untuk bergabung dalam pemilihan presiden itu. Tak Perlu Sewenang-Wenang Dengan argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan konstitusi yang menghendaki adanya keterwakilan individu dan keterwakilan masyarakat tidak mengada-ada (arbitrary). Ketentuan tersebut telah dipraktekan selama ratusan tahun oleh banyak negara di dunia. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 telah memutilasi prinsip keterpilihan yang diatur dengan tegas, jelas dan dinyatakan oleh UUD 1945 pasal 6A dan UU No.7/2017 pasal 461. Peraturan KPU tersebut telah mendrop norma keterwakilan masyarakat. Sebaliknya, menjadikan keterwakilan individu (suara terbanyak) sebagai satu-satunya norma keterpilihan paslonpres. Permasalahan inilah yang saya kira yang menjadi semangat dan spirit dari keluarnya Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019. Putusan yang menyatakan bahwa Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 nyata-nyata telah bertentangan dengan perundangan-undangan di atasnya, yaitu Pasal 6A UUD 1945 dan Pasal 461 UU No.7/2017 pasal 461 Apa kata KPU? KPU selalu berdalih bahwa situasi persaingan biner hanya bisa diputuskan melalui norma suara terbanyak. Itu alasan mereka membuat peraturan di atas. Namun cara berpikir itu berdampak KPU telah memutilasi keinginan luhur dan mulia dari pembuat konstitusi yang ingin mendrive perilaku paslonpres agar tidak memusatkan perhatian kepada provinsi yang kaya suara saja dengan mengabaikan provinsi sedikit suara. Para penulis dan pembuta konstitusi sangat menyadari bahwa, kalau hanya menerapkan norma suara terbanyak, maka paslonpres hanya memusatkan perhatian di Pulau Jawa saja, sudah lebih dari cukup untuk memenangkan pilpres. Karena di Pulau Jawa terdapat lebih dari 50% suara pemilih. Namun demikian, di tengah ketidak-seimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa itulah, keinginan dari konstitusi itu sangat luhur mulia. Sayangnya, KPU telah melangkah sangan jauh. Langkah KPU melampaui kewengan dari pembuat kontitusi dan pembuat undang-undang. KPU telah memutilasi keinginan luhur tersebut. KPU misalnya, beralasan dan mengatakan bahwa Peraturan KPU Nomor/2019 itu mesti dibuat karena undang-undang tidak menjelaskan situasi dimana paslonpres hanya ada dua (biner). Menurut saya keresahan ini tidak perlu ada. Membuat aturan sendiri untuk hal yang tidak diperlukan adalah perbuatan yang sewenang-wenang. Melampaui kewenangan dari para pembuat konstitusi dan undang-undang. Undang-Undang No.7/2017 Tentang Pemilu memang tidak secara implisit menjelaskan situasi paslonpres banyak dan paslonpres biner. Namun undang-undang itu dengan tegas mengatakan bahwa, bila dalam situasi paslonpres banyak, tidak ada paslonpres memperoleh suara lebih separuh, pilpres harus dilanjutkan ke tahap dua. Di tahap kedua ini dilombakan dua paslonpres dengan bersuara terbanyak itu. Komisioner KPU Mengundurkan Diri Saja Dengan menyatakan bahwa pilpres tahap dua, yang terdiri dari dua paslonpres, maka UU No.7/2017 secara implisit sudah mengafirmasi situasi kemungkina ada dua paslonpres. Ini berarti Peraturan KPU No.5/2019 tidak lagi diperlukan. Dengan kata lain, prinsip dua norma sebagaimana tercantum dalam pasal 461 ayat 1 UU No.7/2019 berlaku utuh dan tidak perlu ditafsirkan dan dipersoalkan oleh KPU yang posisi dan kedudukannya hanya sebagai penyelenggara. Peratanyaa, apakah bila norma keterwakilan suara di setiap provinsi minimal 20% tersebut diadopsi, berarti dimungkinkan pilpres bakal tiada akhir? Tidak akan ada pemenang? Karena norma tersebut sulit dipenuhi? Tentu saja tidak. Perolehan 20% suara bukan jumlah yang unattainable. Paslonpres akan dapat memenuhi ketentuan tersebut, asalkan ketentuan tersebut masuk ke dalam elemen strateginya. Kekhawatiran yang tidak perlu, telah membuat KPU secara sewenang-wenang melucuti norma tersebut dari pemilihan presiden. KPU telah berubah dari hanya pelaksana pemilu menjadi pembuat norma baru UUD 1945 dan undang-undang. KPU periode 2017-2022 terus dilanda masalah. Pilpres tahun lalu dipenuhi protes public. Dimulai dari orang gila ikut menjadi pemilih. Situng yang dirancang tidak bisa menjumlah dengan benar. Proses yang sangat lambat. Kematian 894 petugas KPPS yang tidak disidik secara wajar, sampai demo protes yang menelan puluhan jiwa meninggal dan hilang entah kemana. Inkompetensi KPU terbukti dan terkonfirmasi dengan tertangkapnya komisioner Wahyu Setiawan dalam kasus suap Harus Masiku. Begitu juga dengan dipecatnya komisioner Evi Novinda Ginting karena telibat dalam manipulasi suara. Satu demi satu kebobrokan KPU terbuka dengan sendirinya kepada publik. Bukan itu saja. Ketua KUP Arief Budiman dan tiga Komisoner lainnya Viryan Azis, Ilham Saputra dan Pramono Ubaid Tanthowi sudah diberikan sanksi, berupa peringatan keras dan terakhir oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Kompas.com 25 Juni 2020). Sekarang KPU terbukti sewenang-wenang dalam membuat peraturan tentang pemilu. Semau udelnya dewe. Tragisnya, peraturan yang dibuat oleh KPU tersebut nyata-nyata telah menabrak dua perundang-undangan di atasnya, yaitu UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dampaknya sangat besar dan luar biar terhadap legitimasi Presiden dan Wakil Presiden sekarang. Maka, kebijakan terbaik yang harus dilakukan KPU di bawah pimpinan Arief Budiman adalah mengundurkan diri. Itupun kalau masih paunya rasa malu dan bersalah. Penulis adalah Pengamat Politik
Presiden Gadungan?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (09/07). Presiden gadungan adalah terjemahan dari "Fake President". Bukan Presiden sebenarnya. Ini bisa berarti Presiden tidak kompeten, baik sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan. Bisa juga sebagai boneka yang dimainkan oleh orang, kelompok, atau kekuatan lain. "Fake President" dapat juga identik dengan Presiden abal-abal. Presiden gadungan juga disebabkan delegitimasi atas jabatan. Misalnya, hilangnya kepercayaan rakyat. Keberadaan Presiden dinilai hanya merepotkan dan menyusahkan rakyat. Rakyat menderita oleh perilaku dan kebijakan politik Presiden yang dianggap "tak berkualitas" dan "tak memiliki sensitivitas" terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat. Penilain yang seperti ini adalah efek dari orientasi dan kebijakan Presiden yang hanya menguntungkan dirinya dan kroninya. Lalu rakyat pun menjadi bulan- bulanan dari slogan yang hanya bernilai pencitraan. Akibatnya, penderitaan yang dialami rakyat menjadi permanenn dan tidak berkesuadahan. Presiden gadungan atau "Fake President" adalah pemimpin dari negara yang ilegal. Keabsahan statusnya goyah. Sebagai contoh adalah kejutan kasus yang terbuka setelah "disembunyikan" sembilan bulan lamanya di Mahkamah Agung (MA). Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 yang menyatakan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 tahun 2019 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Makan rontoklah dasar hukum yang dijadiklan KPU untuk menetapkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Beberapa ahli atau loyalis Presiden menyatakan Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 tersebut, tidak berlaku surut (retroaktif). Alasan mereka, karena tak berpengaruh terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menolak gugatan Prabowo-Sandi. Terhadap hal ini tentu harus diperdalam, dan masih bisa debat lanjutan. Indikatornya antara lain : Pertama, Permohonan Uji Materil oleh Bu Racmawati cs terregister di Mahkamah Agung pada tanggal 14 Mei 2019. Artinya, sebelum Putusan MK 27 Juni 2019. Maknanya adalah permohonan Uji Materil tersebut sangat berkaitan dengan Pilpres 2019. Bukan berdiri sendiri. Dalam permohonan Pemohon pun disinggung konteks Pilpres 2019. Kedua, Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan Uji Materil Pasal 3 ayat (7) PKPU tersebut patut mengetahui dan menyadari bahwa Uji Materiel ini berkaitan dengan proses Pilpres 2019. Sehingga jika asas retroaktif tak bisa diberlakukan, Putusan MH akan tegas menyatakan bahwa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 diberlakukan untuk Pilpres yang akan datang (penafsiran argumentum a contrario). Ketiga, tafsir bahwa MK telah memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, sehingga Putusan MA tidak berpengaruh pada hasil Pilpres, bisa keliru total. Masalah yang diputuskan MA Nomor 44 P/HUM/2019 adalah tidak memiliki kekuatan hukum mengikatnya Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 tahun 2019. Sedangkan Pasal tersebut justru menjadi dasar hukum dari penetapan Pasangan Jokowi-Ma'ruf. Keempat, "disembunyikan"nya Putusan MA ini selama semabilan bulan adalah bukti bahwa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 ini sangat berpengaruh pada keabsahan hasil Pilpres 2019. Jika tidak, maka MA serta-merta akan meng-upload atau mengumumkan kepada masyarakat beberapa setelah diputuskan tanggal28 Oktober 2019. Demi kepastian hukum. Pertanyaan, siapakah pihak-pihak yang terlibat dalam "penyembunyian" atau "penggelapan" Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 ini? Siapapun mereka, harus dituntut dan dipertanggungung jawabkan kepada rakyat. Kita semua berharap pimpinan Mahkamah Agung baru, Muhammad Syaarifuddin melakukan pengusutan internal. Hasilnya diumumkan kepada rakyat, mengapa dan apa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 disembunyikan sembilan lamanya dari rakyat? Kita berharap dan berdo'a semoga tidak ada jejak dan sidik jarinya mantan Ketua MA Hatta Ali dan mantan Sekjen MA Nurhadi di skandal penyembunyian Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 ini. Sebab bila ada sidik jari, bisa memperburuk wajah dan keagungan MA di mata masyarakat. Apalagi Nurhadi sedang ditahan oleh KPK untuk kasus korupsi dan penyuapan . Sedangkan Hatta Ali baru saja pensiun dari Hakim Agung dan Ketua MA pada akhir bulan April 2020 lalu. Jadi, di sini patut diduga kuat ada skandal politik dan hukum yang sangat memalukan. Ada "gaslighting" dan ada "corruption". Sinyal dari terkuaknya skandal hukum dan politik besar. Namun yang jelas adalah, dengan Putusan MA No 44 P/HUM/2019 yang diumpetin selama sembilan bulan tersebut, akan menjadi bukti bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sebenarnya sangat bermasalah. Cacat politik dan cacat hukum. Bila DPR menangkap aspirasi rakyat yang mempermasalahkan kualitas dan legitimasi Presiden, maka Putusan MA tersebut dapat dijadikan dasar bagi proses pemakzulan Presiden. Putusan MA No. 44 P/HUM/ 2019 itu dalam kaitan keabsahan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, bukanlah "plintiran" tetapi "suara hukum" dari keadilan dan kebenaran. Sebagai hiburan, khususnya kepada para penjilat politik dan hukum, dihimbau untuk membaca, untuk yang belom pernah membaca, dan membaca ulang bagi yang pernah membaca, bukunya Mark Green & Ralph Nader yang berjudul "Fake President: Decoding Trump's Gaslighting, Corruption, and General Bullsh*t". Semoga tidak gagal faham. Dengan alasan apapun "Fake President" tidak boleh dibiarkan terjadi. Dampaknya sangat tidak baik bagiu pejalanan bangsa untuk mencapai cita-cita dan tujuan bernegara. Siapapun, kapanpun dan dimanapun itu. Karenanya harus diakhiri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.