“Politik Dinasti”

by Zainal Bintang

Jakarta FNN- Ahad (09/08). Jagad politik di Indonesia saat ini kembali heboh di tengah kelamnya upaya mitigasi negara dari serangan wabah Covid 19. Menjelang pertarungan kontestasi pimpinan daerah dalam Pilkada pada Desember 2020 mendatang, isu “politik dinasti” atau “dinasti politik” kembali merebak dan memantik pro kontra di tengah masyarakat. Pilkada serentak 2020 bakal diikuti keluarga Presiden Jokowi. Gibran Rakabuming Raka (anak) di Solo dan Bobby Nasution (menantu) di Medan,

Di Banten, putri Wakil Presiden KH.Ma’ruf Amin, Siti Nur Azisah akan maju sebagai calon walikota Tangerang Selatan dan Hanindito Himawan Pramana putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung berkontestasi sebagai calon Bupati Kediri Timur. Tidak mau ketinggalan, keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo maju sebagai Calon Wali Kota Tangsel yang diusung PDI-P dan Partai Gerindra.

Apa yang salah? Secara undang-undang tidak ada pasal yang dilanggar. Apalagi ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus pasal “dinasti politik” dalam UU No 8 Tahun 2015, pada Pasal 7 huruf (r) tentang Pilkada. Putusan MK itu bernomor 33/PUU-2015 tanggal 8 Juli 2015. Dengan adanya legalisasi “politik dinasti” oleh MK , mau tidak mau masyarakat terpaksa akan berpaling kepada legislator yang ada di Senayan. Sebagai salah satu komponen pembetuk Undang-Undang.

Masyarakat berharap, lembaga DPR sejatinya sebagai salah satu komponen pembentuk Undang-Undang yang mengemban politik hukum, sebaiknya segera memperbaiki sistem pemilihan umum bagi pemegang kekuasaan di daerah. Membentengi celah penyimpangan, apapun itu, termasuk budaya “politik dinasti” melalui UU Pilkada yang ketat, sebagai political will untuk penyelenggaraanpilkada.

Namun demikian, maukah yang terhormat anggota DPR tersebut melakukannya? Disinilah letak persoalnnya. Politik “lari berputar” berlaku. Kebanyakan calon kepala daerah, terlebih petahana adalah representasi parpol tertentu. Praktik “politik dinasti” yang menguntungkan partai tertentu, akan menolak mendorong kader mereka yang ada di legislatif untuk membumihanguskan “jalan tol dan karpet merah” menuju pelanggengan kekuasaan.

Persoalannya tidak sekedar pada ketiadaan atau adanya bunyi pasal pada di regulasi yang harus diubah. Letaknya pada sikap mental yang berakar kepada cacat moralitas. Persoalannya ada pada rendahnya kualitas moralitas. Mengemukanya watak pragmatise, pemburu status sosial serta penggila kekuasaan. Inilah sumber dari segala sumber suburnya “politik dinasti”. Memburukkan proses demokratisasi yang terus menerus menjadi jargon politik menghipnotis masyarakat.

Kualitas mentalitas yang rendah yang diidap masyarakat negara berkembang patut digugat. Mereka begitu gampang meninggalkan janji, bahkan sumpah yang diucapkannya. Bersembunyi dibalik pasal-pasal regulasi hasil kolusi antara penguasa dengan korporasi.

Terkait dengan adanya indikasi kalangan elit politik yang sengaja merawat sikap dan mentalitas yang tidak terpuji, mengantar ingatan kepada apa yang pernah ditulis Gunnar Myrdal. Peraih nobel berkebangsaan Swedia itu menulis buku (1968) yang berjudul “Asian Drama” : An Inquiry Into The Poverty Of Nations (Sebuah Pertanyaan Menuju Kemiskinan Bangsa-Bangsa).

Bukunya memaparkan hasil penelitiannya di Asia. Khususnya di India dan Indonesia. Kata “drama” sengaja dipakainya sebagai resultansi kecemasannya menyaksikan tendensi kepura-puraan yang disaksikannya terjadi negara negara Asia. Myrdal menyebut kedua negara tersebut sebagai “soft state” atau “negara lemah”.

Ada juga yang menyebutnya “negara lunak”. Istilah “negara lunak” dilabelkan terhadap negara yang tidak memiliki tradisi administrasi. Karena itu mudah disantap oleh korupsi antara penguasa dengan korporasi, yang di Indonesia terkenal dengan sebutan “konglomerat”. Korupsi uang, korupsi hukum, dan korupsi politik.

Dr. Ismi Rajiani MM pernah menulis analisis mengenai buku “Asian Drama” tahun 2013. Rajiani yang bergelar Doctor of Philosophy dalam Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang mengutip Myrdal, menulis begini, diantara ciri ciri negara lemah adalah:

Pertama, golongan penguasa tidak menghormati, dan mentaati undang-undang. Sebaliknya, malah menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar besarnya demi kepentingan sendiri. Kedua, Semuanya diperdagangkan. Di Indonesia mulai dari sapi sampai keadilan.

Ketiga, peraturan sengaja dilanggar untuk memperkaya golongan berkuasa dan berpangkat. Keempat, meluluskan undang-undang, tetapi non sense dalam pelaksanaannya. Kelima, pembayaran pajak dipermainkan, dan kalau bisa tidak perlu dibayar.

Keenam, semua ngomong kalau dapat jabatan, ‘ini amanah”, tapi dalam prakteknya amanah untuk memperkaya diri. Ketujuh, “budi politik” ditabur atau dijual kepada siapa yang bisa mendukung menjadi kepala daerah, anggota DPR, lurah, dan lain lain.

Singkatnya, kata Dosen Senior, Universitas Teknik Malaysia Melaka (UTeM), Fakultas Manajemen Teknologi dan Technopreneurship itu, ciri utama negara lemah (soft state) ialah merajalelanya korupsi, kerakusan, keangkuhan dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan eksekutif (kepala daerah, bupati, gubernur, menteri dan semua pembuat kebijakan), merebak ke kalangan legislatif (DPR).

Akhirnya tidak mau kalah juga untuk berpartisipasi kalangan yudikatif (hakim dan jaksa). “Tangkapan besar terbaru KPK yang melibatkan eksekutif, legislatif dan yudikatif, menunjukkan pembuktian apa yang dikatakan oleh Mbah Gunnar Myrdal sejak puluhan tahun yang lalu masih tetap dipertahankan sampai sekarang ini”.

Bagaimana Solusi Untuk Indonesia?

Mungkin akan lebih banyak manfaatnya, jika elite politik bertekad membekali diri dan jiwa dengan semangat Idul Adha. Meneladani konsitensi Nabi Ibrahim atas komitmennya yang rela menyembelih putranya Ismail, yang kemudian tergantikan dengan domba, atas nama ketaatan tak bertepi kepada Tuhan.

Ritual penyembelihan hewan adalah refleksi dan simbolisasi “upacara” penyembelihan sifat “kebinatangan” yang ada dalam diri manusia. Sikap teguh Ibrahim harus dibaca sebagai pancaran ketinggian kadar moralitas yang harus dimiliki seorang yang bernama pemimpin. Menyatunya satu kata dengan perbuatan.

Saatnya elite politik bangsa segera membersihkan mentalitas praktik Machiavellisme yang menghamba pada nafsu “the end justifie the means” (tujuan menghalalkan segala cara). Hanya demi sepotong kekuasaan dunia yang tidak kekal. Praktik Machiavellisme dalam ukuran moral tertentu, sering lebih banyak dianalogikan sebagai “sifat kebinatangan” bagian tak terpisahkan dari nafsu kuasa yang liar.

Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.

517

Related Post