OPINI

Reziki Wartawan Politik Meliput Olahraga (Bag. Kedua)

by Emron Pangkapi Jakarta FNN – Selasa (11/08). MNLF kemudian terbelah dengan berdirinya organisasi tandingan MILF (Front Pembebasan Islam Moro) pimpinan Hashim Salamat. Baik Nur Misuari maupun Hashim Salamat punya "panglima" sendiri-sendiri di Manila. Filipina masih rawan, di sana sini masih terjadi pertempuran. Nur Misuari memimpin perlawanan dari tempat pengasingannya di Libya. Sedangkan Hashim Salamat konon berada di Malaysia. Bahkan kedua tokoh itu secara rahasia dikabarkan berada di Filipina. Mereka berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan Negara Islam Filipina Selatan. Pasukan MNLF dan MILF tersebar di berbagai kawasan. Sebagian besar ada di pulau Zamboanga, Sulu, Tawi-tawi dan Pelelawan di Kepulauan Mindanao. Pemerintah Filipina memberlakukan Daerah Operasi Militer, semacam DOM di Aceh dulu. Pemerintah mengawasi dengan ketat Orang Selatan di seluruh negara, termasuk mereka yang tinggal di kota Manila. MNLF dan MILF punya jaringan bawah tanah. Termasuk ada anggota front yang beroperasi di Manila. Sebagai wartawan Polhukam, informasih mengenai keberadaan MNLF dan MILF inilah yang ingin saya cari. Saya lalu merayu Pak Ilyas Ismail, agar bisa wawancara mereka. Adapun para staf KBRI memberikan nasehat, agar saya jangan sekali sekali ke perkampungan muslim Filipina. “Sangat rawan kriminalitas, dan berbahaya. Nyawa taruhannya. Lagi pula tak elok mencampuri urusan dalam negeri Filipina", kata mereka. Di dalam Kota Metro Manila ada perkampungan orang-orang Mindanao atau orang Selatan. Mereka umumnya di Distrik Barangay San Miguel. Kebetulan keluarga besar istri Prof. Ilyas Ismail tinggal di sini. Karena itu beliau cukup dikenal dan bebas keluar masuk Barangay. Hampir 100% penduduknya muslim. Ada mesjid, madrasah dan pasar makanan halal. Sebagian mereka bisa bahasa Melayu dialek Mindanao. Mirip-mirip dengan bahasa orang Banjar, perpaduan melayu-tagalog. Saya berhasil membujuk Pak Ilyas Ismail untuk berkunjung ke Barangay. Usai dari mesjid kami menyusuri kawasan muslim ini. Sebuah perkampungan sempit, banyak gang dan terkesan kumuh. Distrik Barangay di bawah pengawasan tentara Filipina. Setiap orang seperti berpandangan curiga. Tidak tahu siapa kawan siapa kawan. Sering terjadi penangkapan "pemberontak" bahkan pernah terjadi kontak senjata. Kepada Pak Ilyas, saya minta dipertemukan dengan pejuang MNLF maupun organisasi tandingannya MILF. Saya ingin wawancara. Katakan kepada mereka, saya bekerja untuk Harian Pelita, suratkabar yang membawa aspirasi umat Islam di Indonesia. Tentu aspirasi muslim bangsa Moro juga. Setelah melewati proses yang berliku dan berjanji patuh aturan mereka, saya esoknya dibolehkan datang lagi ke Barangay. Saya ingat Pak Ilyas punya mobil Fiat 1000. Dengan mobil tua itu beliau menjemput saya dari KBRI di Makati. Di ujung distrik Barangay kami parkir di depan sebuah restoran. Tapi kami kemudian masih lanjut nyambung dengan naik Jeepney (angkot). Tidak jauh, hanya sekitar 5-6 menit saja dari tempat mobil di parkir. Kami masuk gang lagi, tapi bukan lokasi yang kemarin. Kemudian kami bertamu pada sebuah rumah sederhana di deretan rumah rumah dalam gang. Rencanya di rumah inilah saya akan dipertemukan dengan orang MILF, kepervayaan Amir/Imam Syekh Hashim Salamat. Karena itu kami harus bersabar menunggu. Ada aturan khususuntuk bertemu tokoh MILF. Lebih kurang setengah jam di situ orang yang dinanti-nantikan tiba. Ternyata dia dari belakang rumah atau mungkin dia sudah sejak lama ada di rumah itu. Tokoh ini keluar ditemani seorang pengawal. Tapi wajah pengawal tidak beringas. Saya memberi salam. Dan mencoba akrab sebagai saudara muslim. Sang tokoh diperkenalkan "sebagai Hashim Salamat". Hampir saya oleng. Saya tidak punya foto pembanding. Tubuhnya sedang sedang saja. Malah agak kurusan berpenampilan orang staf. Bukan postur militer. Hashim Salamat, namanya waktu itu belum dikenal. Baru sepuluh tahun kemudiam nama Hashim Salamat meroket.... Sayang sesuai perjanjian tidak boleh ada foto dan rekaman. Kecuali pembicaraan sebagai saudara muslim. Saya bertanya tentang tuntutan dan latar belakang gerakan MNLF. Mereka menuntut Mindanao Merdeka, sebagai negara Islam lepas dari kontrol Manila . Dia juga menjelaskan mengerahkan kekuatan militer berjihad adalah pilihan. MILF didukung rakyat Filipina Selatan dari Cebu hingga Sabah. MILF ingin Negara Islam Moro Merdeka. Karena itu mereka menentang konsep MNLF Nur Misuari yang berunding untuk Otonomi Khusus Filipina Selatan. Kembali dari Manila, hampir semua wartawan membuat laporan pernik-pernik dari Sea Games. Saya membawa laporan khusus Perjuangan Bangsa Moro untuk Mindanao Merdeka. (habis). Penulis adalah Wartawan Senior dan Politisi PPP.

Kebodohan Boedi Djarot dan Islamphobia

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (11/08). Dua kebodohan berlapis yang telah dilakukan Boedi Djarot. Pertama membakar baliho Habib Rizieq Shihab (HRS), dan yang kedua menyerang Khilafah. Kedua-duanya bersentuhan dengan aspek keumatan, baik ulama maupun ajaran. Kebodohan ini adalah wujud nyata dari apa yang disebut dengan Islamophobia. Boedi Djarot tentu saja mewakili banyak dari kaum Islamophobia di Indonesia. Sayangnya, kebodohan yang dipertonkan kelompok Boedi Djarot, bukannya menyurutkan simpati. Tetapi malah semakin meningkatkan seimpati terhadap HRS dan Khilafah. Seperti kejahatan pembakaran bendera tauhid di Garut dahulu. Ternyata dampaknya justru semakin banyak berkibar bendera tauhid diaman-mana, khususnya dalam aksi-aksi. Kinipun akibat perusakan dan penistaan baliho HRS, maka semakin bermunculan banyak baliho HRS di berbagai daerah. Sikpa ini sebagai wujud rasa respek dan cinta pada ulama pejuang tersebut. Demikian juga serangan pada Khilafah nyatanya berbalik hasilnya. Di samping ada pembelaan, juga Khilafah sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam, justru semakin tersosialisasi dan marak. Banyak yang tadinya tidak faham dan mengerti, sekarang mulai mempelajari dan memahami Khilafah lebih mendalam tentang makna dan sejarah kejayaannya. Khilafah sebagai bukti kekuatan umat. Kenyataan ini berbeda dengan pembakaran bendera PKI, yang justru menumbuhkan semangat anti PKI di kalangan rakyat khususnya umat Islam. Tidak mungkin bendera PKI akan muncul, apalagi marak diaman-mana. Hukum positif telah siap mengancam siapa saja yang menjadi penyebar bendera PKI. Sebaba PKI adalah organisasi terlarang. Konsekwensi, iapapun yang terindikasi mengibarkan bendera PKI, pasti akan diburu. Dan yang memburu, bukan saja aparat keamanan, baik itu Polisi maunpun TNI. Namun masyarakat, khususnya umat Islam siap setaip saat untuk memburu pengibar bendera PKI. Baik itu pengibar bendera PKI yang sembunyi-sembunyi mamupun terang-terangan. Bagaimana dengan kasus pembakaran bendera PDIP? Di samping tak jelas siapa oknum pembakarnya, apakah peserta aksi, pihak ketiga, atau kader PDIP sendiri yang ditugaskan untuk memancing di air keruh. Makanya sampai hari ini tidak berdampak. Bendera PDIP berkibar tak akan melebihi saat kampanye Pemilu. Sekarang ini sudah banyak kader atau simpatisan yang "keluar" karena kecewa atas kinerja Pemerintahan dimana PDIP sebagai "the rulling party". Belum lagi kecewa, karena baru tau kalau Visi dan Misi PDIP itu memperjuangkan Pancasila 1 Juni yang yang Trisila dan Ekasila. Bukan Pancasila konsesnus pendiri bangsa 18 Agutus 1945. So, ini hanya soal kebodohan Boedi Djarot yang menjadi komandan aksi perusakan baliho HRS dan berkoar-koar mengangkat isu murahan tentang Khalifah. Kaitan Khalifah itu kepekaan umat tidak terbatas pada organisasi HTI saja. Tetapi berhubungan dengan keyakinan dan fakta sejarah umat Islam secara keseluruhan. Kaum Islamophobia bakal gigit jari dan mengerutkan dahi. Juga bakal mengusap-usap dada untuk menenangkan hati melihat realita kelak, bahwa umat Islam akan semakin kuat. Semakin berani, dan tergalang saat ajaran dan ulamanya dipojokkan atau diserang oleh kaum sekularis, liberalis, komunis dan kaum sesat lainnya. Semakin bodoh dalam pemunculan dan mempertontonkan sikap seperti Bode Djarot atau siapapun itu, entah mau kadalin kek, abu sundal, desi sugar, adik balado atau lainnya justru akan membuat Islam semakin gagah. Islam yang semakin kuat dengan para pejuang-pejuang yang hebat dan istiqomah. Jumlahnya juga semakin bertambah dari waktu ke waktu. Percayalah bahwa mereka itu bukan ayam sayur. Tetapi petarung yang sesungguhnya. “Jika anda jual, maka mereka bukan saja siap membeli. Tetapi justru siap memborong habis dengan modal-modal anda”. Jangan ulangi dan mempertontonkan kebodohan yang tidak perlu. Penulis adalaj Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mungkinkah Prabowo Subianto Gantikan Ma'ruf Amin?

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN – Senin (10/08). Dalam dunia politik sesuatu yang tidak mungkin bisa saja terjadi. Demikian juga dengan pertanyaan dalam judul tulisan ini. Jadi sangat memungkinkan seorang Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Beberapa hari lalu, seorang kawan yang memiliki jaringan dengan para aktivis dan elite politik mengabarkan tentang adanya agenda politik seperti di atas. Anda boleh percaya boleh tidak. Yang jelas, kata Jakob Oetama , "politik itu tidak hitam putih bung "!. Dulu, Jakob Oetama selalu mengatakan hal itu dalam hampir setiap rapat redaksi Harian Kompas. Para editor yang hadir biasanya duduk manis mendengarkan dan mencermati visi dan analisa yang disampaikan Pa Jo---panggilan akrab Jakob Oetama atas setiap peristiwa yang terjadi di negeri ini. Kembali kepada skenario Prabowo yang hendak menggantikan Ma'ruf Amin. Kawan saya itu mengabarkan, "pernikahan" Prabowo-Megawati atau Bahasa Politiknya Koalisi PDIP dengan Partai Gerindra bersifat permanen. Sebagai bagian dari tokoh oligarki partai saat ini, kedua pimpinan parpol ini telah sepakat untuk membuat peta jalan dan skenario politik menjelang Pemilu Tàhun 2024. Lalu apakah pasangan Megawati-Prabowo akan maju pada Pilpres 2024, seperti yang dilakukan mereka berdua pada Pilpres Tàhun 2009? Dalam Pilpres nanti Megawati ternyata akan mengusung anaknya Puan Maharani, yang kini Ketua DPR-RI. Selanjutnya Puan akan dipasangkan dengan Prabowo Subianto. Apakah Prabowo tidak capek nyapres terus-menerus, sementara usianya sudah "bau tanah"? Sekali lagi dalam dunia politik, ambisi untuk meraih kekuasaan tidak mengenal umur. Buktinya, Mahathir Mohammad ikut dalam kontestasi Pemilu dan berhasil menjadi PM Malaysia, walaupun setelah itu beliau mengundurkan diri. Jika melihat portfolio Prabowo Subianto di dunia politik, sebenarnya modalnya sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup untuk bisa running kembali dalam Pilpres 2024. Kali ini dia akan berpasangan dengan Puan Maharani, cucu biologis Soekarno, Presiden pertama republik ini. Soal adanya lapisan masyarakat yang kecewa dengan sosok Prabowo Subianto yang telah berubah wujud, dari harimau menjadi meong, itu persoalan lain. Saol akankah nanti Prabowo akan kembali mengumandangkan kembali kalimat heroik, "saya akan timbul tenggelam bersama rakyat?". Kita lihat saja nanti. Yang jelas, saat ini posisi politik Prabowo Subianto semakin kuat. Bukan saja dia telah terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Dalam Kongres Luar Biasa (KLB). Tetapi di jajaran kabinet, Prabowo kini lebih berpengaruh daripada Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Betapa tidak, sekarang tugas Prabowo bukan hanya sebagai Menteri Pertahanan. Tetapi juga telah diberi mandat oleh Presiden Jokowi untuk mengurus masalah ketahanan pangan negara. Lebih tepatnya Prabowo telah diminta Jokowi untuk mengolah lahan gambut di Kalimantan yang luasnya lebih dari satu juta hektar. Tidak heran kalau kemudian ada wacana tentang rencana para anggota TNI diterjunkan ke sawah untuk mengelola lahan gambut tersebut. Tidak jelas alasan dibalik keputusan Presiden Jokowi mempercayakan pengelolaan masalah pangan/lahan gambut kepada Menhan Praboowo. Mengapa Presiden Jokowi tidak menunjuk Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo? Apakah karena Mentan Syahrul Yasin Limpo berasal dari Partai Nasdem? Yang saat ini posisi politik partainya cenderung untuk keluar dari kelompok partai koalisi penguasa. Mungkin demi mempersiapkan agenda politik sendiri menjelang Pemilu 2024 nanti. Sekali lagi, jika benar Prabowo Subianto hendak menggantikan Ma'ruf Amin, maka pertanyaannya adalah bagaimana cara dan mekanismenya? Bukankah Wapres Ma'ruf Amin satu paket dengan Presiden Jokowi? Dan keduanya telah dinyatakan "menang oleh KPU" dalam kontestasi Pilpres Tàhun 2019 lalu. Walaupun banyak kalangan masyarakat menuduh kemenangan tersebut diraih dengan cara curang. Pergantian penguasa seperti Wapres Ma'ruf Amin bisa dilakukan melalui proses politik yang "disepakati bersama" diantara para pimpinan parpol penguasa. Alasan rasional bisa dicari-cari. Misalnya, mengingat usia Ma'ruf Amin sudah tua dan sering sakit-sakitan, maka posisi dan jabatan Wapres perlu diganti. Bagi sementara kalangan bisa saja agenda politik untuk menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wapres dianggap sebagai skenario di luar nalar politik. Pikiran seperti ini juga sah-sah saja. Tapi kalau nanti skenario politik PDIP-Gerindra ini benar-benar menjadi kenyataan, maka realitas politik tersebut akan semakin mengukuhkan pendapat bahwa dalam dunia politik segala kemungkinan bisa terjadi. Sangat mungkin terjadi Jokowi bisa mundur atau bahasa halusnya diminta mundur sebelum masa tugasnya sebagai Presiden periode kedua berakhir tàhun 2024. Bisa di 2023 Jowi mudur, sehingga pada Pilres 2024 nanti, posisi Prabowo adalah Preiden. Loh kalau begitu, siapa nanti yang akan meminta mundur Jokowi? Ya penguasa parpol koalisilah terutama PDIP dan Partai Gerindra. Nah, kawan saya itu mengabarkan seperti itulah agenda dan skenario politik yang akan dijalankan Prabowo Subianto bersama PDIP. Jadi, langkah pertamanya adalah menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wapres. Kemudian setahun atau dua tàhun menjelang Pilpres 2024, Parbowo akan menggantikan Jokowi sebagai Presiden. Dengan begitu, nanti Prabowo akan maju sebagai Presiden incumbent dalam Pilpres 2024 tatkala berpasangan dengan Puan Maharani. Itulah agenda politik dari koalisi permanen PDIP-Partai Gerindra. Dengan demikian, lengkap sudah oligarki parpol dan dinasti politik di negeri ini. Mereka akan asyik sendiri dengan permainan kursi kekuasaan masing-masing. Sementara masyarakat dibiarkan mengurus dan mengatasi masalahnya sendiri. Melihat perilaku elite politik ini, semoga rakyat Indonesia bisa diberi kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi masalah yang dihadapi saat ini seperti penyebaran pandemi Covid19 dan resesi ekonomi yang sudah di depan mata. Masyarakat sekarang dihadapkan pada persoalan yang saling bertumpuk dan silih berganti. Sementara para penguasa asyik mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing. Di masa datang, generasi penerus bangsa akan membaca catatan sejarah yang berbunyi, “di zaman dulu, ada seorang politisi bernama Prabowo Subianto yang pernah maju dalam Pilpres sebanyak 3 kali. Bahkan mungkin nanti empat kali. Pada 2009, Prabowo menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri. Megawati-Prabowo dikalahkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Lalu pada Pilpres 2014, Prabowo maju sebagai capres berpasangan dengan Hatta Rajasa. Prabowo-Hatta kalah dari pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Kemudian di Pilpres 2019, Prabowo maju berpasangan dengan Sandiaga Uno. Prabowo kembali kalah dari Jokowi yang pada periode keduanya berpasangan KH Ma'ruf Amin. Prabowo akhirnya bergabung dengan Kabinet Jokowi. Setelah menjadi Menhan di Kabinet Jokowi, tiba-tiba Prabowo menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wapres. Tidak hanya itu, menjelang Pilpres 2024, Prabowo kemudian menggantikan Jokowi Yang mengundurkan diri sebagai Presiden pada periode kedua. Selanjutnya, Prabowo bersama Puan Maharani maju sebagai pasangan Capres dan Cawapres pada Pemilu Presiden 2024. Kalau seperti itu catatan sejarah politik Indonesia, apakah anak cucu generasi bangsa Indonesia akan menangis sambil mencaci maki para elite pilitik generasi sebelumnya? Atau mereka akan menerima dengan legowo catatan kelam perilaku elite kekuasaan saat ini? Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Wapres Makruf Amin Akan Diganti Budi Gunawan?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (10/08). Desas-desus, kalau Makruf Amin akan diganti. Maksudnya, akan dilengserkan dari kursi Wakil Presiden. Isunya makin santer. Bahkan kabarnya, sekenario ini sudah direncanakan sebelum pilpres 2019. Namanya juga kabar. Bisa benar, bisa juga tidak. Dari sisi politik, jika benar, kabar ini tak terlalu mengejutkan. Sebab, posisi Makruf Amin memang lemah. Tidak punya partai, dan dianggap tidak sepenuhnya merepresentasikan kepentingan kaum Nahdhiyin, organisasi asal Kiyai Makruf Amin ini. Menjadi wapres, tetapi Menteri Agama malah lepas dari tangan NU. Kerja dan dukungan PBNU untuk kemenangan Jokowi-Makruf telah diberikan total. Tapi, kompensasi yang diberikan kepada NU tak sebanding dengan dukungan yang diberikan. Sebagai vote getter, pilih Makruf Amin sebagai Cawapres cukup efektif. Pilihan politik yang cerdas. Dengan demikian, kantong suara Nahdhiyin bisa diambil. Terutama untuk mengimbangi suara umat Islam yang anti terhadap Jokowi. Khusunya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika Makruf Amin diganti, bagaimana dengan respon PKB dan PBNU? Yang pasti, Makruf Amin tidak mewakili PKB. Sebab PKB punya jatah sendiri di kabinet. Untuk PBNU, jika posisi Menteri Agama kembali diserahkan kepada kader NU, ini tentu akan melegakan. Proporsional! Sebab, banyak garapan Kemenag itu ada di wilayah garapan NU. Mungkinkah posisi wapres ditukargulingkan dengan Kementerian Agama? Kalaupun opsi yang terjadi, maka sepertinya PBNU tak keberatan. Sebab, pegang Kementerian Agama, bagi NU bisa jadi lebih banyak manfaatnya dari pada posisi Wakil Presiden. Lalu, apa alasan konstitusional untuk mengganti Makruf Amin? Mengundurkan diri dengan alasan udzur itu dapat dibenarkan oleh konstitusi. Simple saja kan! Lalu siapa yang menggantikanya? Yang pasti bukan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) atau Kiyai Said Aqil Siroj (SAS). Kabarnya, ada dua kandidat yang sekarang sedang bersaing untuk mengincar posisi itu. Siapa saja mereka? Budi Gunawan dan Prabowo Subianto. Budi Gunawan itu orang dekat Megawati, ketua umum PDIP. Bekas ajudannya Megawati ketika menjadi Presiden. PDIP cukup besar jumlah kursinya di DPR jika nanti terjadi pemilihan di parlemen. Tapi, Jokowi nampaknya lebih sreg ke Prabowo Subianto untuk mendampingi dirinya. Kenapa? Pertama, selama ini Jokowi selalu berhasil menghindari koptasi Megawati. Pilihan ke Luhut Binsar Panjaitan (LBP) selama dua periode kepemimpinannya adalah bentuk nyata dari upaya Jokowi menghindari koptasi Mega. Sementara Budi Gunanwan itu orangnya Megawati. Kedua, Prabowo tak diragukan loyalitasnya kepada atasan. Prabowo juga tipikal seorang pendendam. Bahkan sebaliknya, Prabowo itu terkenal sangat pemaaf. Jokowi tidak perlu risau dan merasa khawatir terhadap Prabowo. Dia nggak akan menelikung atasan. LBP adalah orang yang sangat kenal benar siapa Prabowo. Bagaimana dengan tuduhan bahwa Prabowo telah menelikung terhadap PKS dan umat Islam? Itu soal yang berbeda. Karena PKS dan umat Islam bukanlah atasannya Prabowo. Ini yang harus dipahami. Walapun demikian, Prabowo kabarnya belom lama ini telah menemui Ketua Dewan Syuro (Pimpinan Tertinggi) PKS, Habib Salim Segaf Al-Jufri. Prabowo datang minta dukungan, agar PKS mendukung Jokowi, walaupun di luar koalisi. Maksudnya, kader-kader PKS jangan terlalu galak-galak menghadapi situasi politik krisis nanti. Ketiga, Prabowo punya Partai Gerindra. Jumlah kursinya juga sangat signifikan. Nomor tiga terbanyak di DPR setelah PDIP dan Golkar. Soal ini juga yang menjadi alasan pembenar kenapa Prabowo cepat-cepat melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Gerindra? KLB yang dipercepat tersebut untuk mempertahankan posisi Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Tentu saja alasan lainnya untuk persiapan menuju pilpres 2024 nanti. Partai Gerindra dipastikan akan berada di garda terdepan untuk back up Prabowo. Pertimbangan ini sekaligus memberi pesan bahwa Jokowi akan merasa aman jika 2024 Prabowo yang menjadi presiden. Keempat, Prabowo itu dikagumi di militer. Keberadaan militer sebagai Wakil Presiden, akan menjadi perisai saat Indonesia dihantam krisis ekonomi nanti. Mesin militer bisa digunakan untuk menghadang, jika terjadi demo besar-besaran di masa krisis. Ingat, Indonesia sudah masuk masa resesi. Pertumbuhan ekonomi minus -5,32%. Kabarnya bahkan lebih dari itu. Akhir tahun ini negara kehabisan uang. Kondisi ini bisa menjadi gejolak ekonomi yang berefek pada gejolak sosial dan politik. Disitulah peran Prabowo yang berlatar belakang militer menjadi penting dan strategis. Siapa yang akan menggantikan posisi Makruf Amin akan bergantung kelihaian kedua partai besar itu bermanuver. Antara PDIP vs Gerindra. Tapi, ada pertanyaan mendasar yang tak boleh diabaikan, apakah Makruf Amin akan legowo untuk mundur? Atau sebaliknya, mantan kader PPP dan PKB ini justru bermanuver untuk mengganti presiden? Harap diingat juga, kalau politik itu tidak selalu linier. Apa yang tampak di permukaan dan perencanaan, tidak sepenuhnya akan menjadi kenyataan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Kasian, TNI Disuruh Urus Proyek Corona

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Senin (09/08). Sedih sekali melihat tentara kebanggaan rakyat negeri diberi bagian proyek corona. Tugas kepada TNI itu melalui Inpres Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Kedisiplinan dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid 19. Fungsi TNI mengalami "pergeseran" dari yang ditentukan oleh UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam Inpres Nomor 6 tahun 2020, TNI bertugas melakukan pengawasan, patroli, dan pembinaan. Hal ini bertentangan dengan peran TNI menurut UU Nomor 34 tahun 2004 Pasal 5, yaitu "TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara". Bukan cawe-cawe ikut urus corona. Dalam Pasal 7 memang TNI berfungsi untuk membantu Pemerintah Daerah dan Polri (ayat 2 butir 9 dan10). Namun perlu difahami bahwa posisi dan fungsi TNI tersebut hanya bersifat membantu saja. Cuma diperbantukan saja. Bukan menjadi palaksana utama. Masalah covid 19 ternyata erat dengan proyek penganggaran yang "bebas hukum" sebagaimana dimaksud oleh Perppu Corona Nomor 1 tahun 2020 yang telah menjadi UU Corona Nomor 2 tahun 2020. Covid ini bisa jadi lahan basah di tengah musibah. Inilah yang dikhawatirkan rakyat. Kita semua tahu kalau Ketetapan MPR Nomor VI tahun 2000 memisahkan TNI dengan Polri. Polri telah berlari dengan kencang, karena difasilitasi dengan kebijakan politik pemerintah (bukan politik negara), sehingga Polri menempati banyak posisi dan jabatan strategis di luar tugas utama Polisi. Pengamat menyebut "multi fungsi Polri". Sementara TNI masih terbatas dan tetap fokus pada masalah-masalah "pertahanan". Dalam konteks ini Inpres Nomor 6 tahun 2020 yang memberi porsi besar pada TNI atau sekurangnya sama dengan Polri untuk melakukan pengawasan, patroli, dan pembinaan berkaitan covid 19 harus tetap diwaspadai. Jangan sampai dijadikan sebagai pembagian lahan untuk "optimalisasi" dana covid 19 yang "bebas hukum" tersebut. Kasian TNI-nya. Semoga saja TNI tidak masuk dalam "budget trap" akibat dari keterlibatan penanganan covid 19 sebagaimana diatur dalam Inpres Nomor 6 tahun 2000 tersebut. Terlalu "merendahkan" institusi, jika ternyata Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) hanya menjadi wakil dari Erick Thohir. Disamping itu, ironi sekali, di tengah kebijakan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). justru terbangun kesan "militerisasi". Pada sisi lain, persoalan penegakkan hukum atas pelanggaran protokol corona tersebut adalah kompetensi Pemerintah Daerah atau Polri. Bukan kompetensi TNI. Karena itu TNI tetap harus hati-hati dalam menjaga marwah dan kedudukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU TNI. Jangan sampai muncul dugaan bahwa TNI sebenarnya sedang "dimanfaatkan" saja. Keterlibatan TNI aktif dalam peningkatan kedisiplinan dan penegakan hukum untuk terhadap pelaku pelanggaran protokol pandemi covid 19 sungguh sangat dipaksakan. Tidak pas. Ini bisa menjadi jebakan batmen buat TNI. Lagi-lagi kasian TNI, yang sekarang ini tidak punya cacat apapun di mata masyarakat Indonesia. TNI lagi bagus-bagusnya di hati rakyat. Jangan sampai dikotori dengan urusan remeh-temeh yang bukan tugas utama TNI. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik.

Merayakan Politik Baku Sayang

by Hariman A. Pattianakotta Jakarta FNN – Senin (10/08). Sebuah idiom manis digulirkan oleh saudara saya Ikhsan Tualeka. Namanya "politik baku sayang". Idiom ini selaras dengan spirit hidup orang basudara. Sesama saudara memang sudah seyogianya saling mencintai. Kami orang Maluku menyebutnya baku sayang. Ketika disandingkan dengan politik, kata baku sayang lalu memberikan spirit yang mencerahkan politik. Membawa pulang politik yang pada hakikatnya, yaitu politik sebagai usaha bersama menghadirkan kebaikan bagi warga polis. Sejak era Yunani kuno, kita memahami politik sebagai tindakan partisipatif warga demi mewujudkan keadilan sebagai virtu atau kebajikan yang diidealkan dan diperjuangkan. Jurgen Habermas dalam konteks demokrasi modern membayangkan politik sebagai proses deliberasi. Demokrasi yang sehat terbangun melalui diskursus yang komunikatif di ruang publik. Proses komunikatif itu mesti bebas dari monopoli kekuasaan politik dan ekonomi. Hal ini tentu mensyaratkan adanya subjek-subjek politik atau warga negara yang tercerahkan. Apabila subjek politik telah tercerahkan, maka sudah barang tentu sikap politiknya akan dituntun oleh virtu. Duntuntun dengan kebajikan untuk menghadirkan bonum commune atau kebaikan bersama. Sampai di situ, seperti yang dikatakan oleh Jong Ambon Johanes Leimena, politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani. Sesungguhnya hari ini, kita membutuhkan politik yang beretika. Politik yang dijiwai oleh spirit baku sayang. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin akan dipandang sloganistik, utopis, dan tidak membumi. Sebab, nyatanya politik itu penuh intrik, sarat fitnah, diwarnai tindakan saling sikut demi syahwat kekuasaan. Realitas buram dunia politik itu tentu tak bisa kita tutupi. banyak politisi yang suka mengumbar janji di saat Pilkada atau Pemilu, tetapi setelah berkuasa menjadi amnesia. Bukan mengusahakan kesejahteraan bersama, tetapi membangun dinasti politik dan empire ekonomi keluarga dan golongan. Dan justru karena realitas buram itulah, kita membutuhkan etika dan spirit baku sayang dalam berpolitik. Politik baku sayang tentu tidak buta terhadap ketidakbenaran dan ketidakadilan. Sebab, kasih sayang itu selalu terarah pada tindakan memanusiakan manusia. Politik baku sayang justru tergerak oleh cinta untuk memutus tali-temali oligarki dengan kejernihan hati. Juga ketajaman pikiran. Politik baku sayang didorong oleh cinta untuk mengatakan kebenaran dengan kelembutan. Politik baku sayang tidak bermaksud membuat keseragaman. Namun hendak membangun ruang bagi perbedaan. Telinga sungguh-sungguh dipakai untuk mendengarkan. Yang penting di sini adalah kesaling-pengertian. Sekalipun berbeda, tetapi kita tetap saudara. Karena itu kita tetap baku sayang. Sampai di sini, tentu kita sangat memerlukan yang namanya kedewasaan. Hari ini saya melihat kedewasaan itu mulai menguncup dalam dinamika diskusi politik Forum Maluku Raya. Diskusi dengan perbedaan pendapat yang tajam tersebut berlangsung selama kurang lebih empat jam pada hari ini (Minggu, 9 Agustus 2020). Namun tetap dalam semangat dan spirit baku sayang yang tinggi dinatara sesama orang basudara. Diskudi ini dihadiri anak-anak Maluku lintas generasi. Ada cendekiawan, jurnalis, politisi, mantan pejabat sampai mahasiswa. Diskusi ini digagas sebagai respons atas realitas ketertinggalan dan ketidakadilan yang terjadi di Maluku Raya, Propinsi Maluku dan Maluku Utara. Hampir 75 tahun hidup mengindonesia. Tetapi Maluku tak kunjung sejahtera. Padahal, alamnya melimpah dengan kekayaan. Tentu saja, realitas ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan hidup bersama. Kesalahan itu ada di Maluku, dan Jakarta. Sentralisme pemerintahan dengan jargon NKRI harga mati adalah salah satu biang keroknya. Ditambah dengan tata kelola pemerintahan yang masih sarat dengan korupsi baik di pusat dan daerah. Hasilnya, rakyat Maluku pada khususnya terus sengsara. Karena itulah maka Forum Maluku Raya angkat bicara. Tentu, kita harus jujur berkata bahwa Forum ini belum mewakili semua anak Maluku dari Utara, Tenggara, Tengah sampai dengan Selatan tanah air Maluku. Apalagi anak Maluku sedunia. Namun, forum diskusif kemarin sungguh sangat menggembirakan. Berjam-jam katorang bisa bicara begiliran dan saling mendengarkan. Pandangan dan sikap politik juga masih sangat beragam. Bahkan, ada yang terlihat saling berlawanan. Namun, karena katong samua punya spirit untuk salang baku sayang, maka semua dapat dijalani dengan indah dan manis. Akhir yang manis ini menjadi awal yang menggembirakan. Kebenaran tentang keadilan dan keterbelakangan menjadi soal harus dikatakan dan diperjuangkan. Apalagi kalau dijalani dengan sikap yang elegan. Biarlah nurani dan kasih sayang yang berbicara, supaya harapan itu boleh berbuah kenyataan. Apa yang terjadi hari ini tidak lain adalah perayaan politik kasih sayang antar-anak Maluku. Toma dengan kasih sayang, wahai para kapitan-kapitan muda. Medan perjuangan telah terbuka menanti anda. Penulis adalah Pendeta dan Pemerhati Sosial Maluku.

KAMI Menghadapi KODOK

by Asyari Usman Jakarta FNN - Ahad (09/08). Ada KAMI, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. Banyak yang gerah. Gelisah. Bermunculan reaksi yang sifatnya mengecilkan koalisi oposisi ini. Tapi, rakyat mendukung kehadirannya. Sebab, Koalisi tidak bertujuan untuk menggulingkan pemerintah. Melainkan sebagai wadah untuk menyiapkan langkah-langkah antisipatif untuk menghadapi situasi yang berat. Cara berpikir manusia KAMI bertolak belakang dengan cara berpikir dan bertindak para penguasa. Orang-orang Koalisi melihat kondisi yang ada sudah sangat parah. Compang-camping. Carut-marut. Baik itu kondisi ekonomi, sosial, maupun politik (ekosospol). Tapi, para penguasa merasa semua baik-baik saja. Kondisi ekonomi menyeramkan. Pertumbuhan negatif yang diprediksi tidak hanya bertengger di angka -2 atau -3. Bisa sampai -7 atau -8. Angka seperti ini mirip gempa 8 atau 9 skala Richter. Dengan episentrum darat di kedalaman hanya 5 km. Bisa dibayangkan kerusakan akibat gempat semisal ini. Celakanya lagi, prediksi pertumbuhan minus besar itu kemungkinan akan berlangsung lama. Runyamnya lagi, Indonesia masih harus menggeluti wabah Covid-19. Untuk saat ini, perkiraan puncak wabah itu sendiri menjadi ‘liar’. Ada yang mengatakan sudah lewat. Tapi, fakta yang ada menunjukkan pucak itu masih sedang didaki. Kondisi sosial juga mengerikan. Peredaran dan konsumsi narkoba boleh dikatakan stabil di angka-angka yang menakutkan. Tidak terjadi pengurangan. Berbagai sumber mengatakan bertambah parah. Ada indikasi perdagangan narkoba dijadikan peluang duit oleh begitu banyak oknum penegak hukum. Yang berposisi kuat melindungi para bandar. Yang berpangkat rendah ikut menjadi kurir atau ‘pedagang asongan’ bahan berbahaya itu. Moralitas juga semakin parah. Semakin sering terdengar pesta seks remaja. Tukar pasangan semakin disukai. Akhlak yang berbasis keagamaan dan kultur bangsa, memudar dari hari ke hari. Para penyandang amoral bertemu di titik “free for all” (bebas lepas). Saking parahnya kerusakan itu, orang-orang yang menolak hubungan sejenis dianggap sebagai musuh HAM. Dianggap anti-NKRI. Dianggap anti-sosial. Unbelievably upside-down! Terbalik-balik. Dan, jangan lupa, penyebaran gaya hidup sejenis itu berlangsung sangat masif tapi senyap. Mereka bergerak rapi. Merekrut mangsa secara sistematis. Komunitas mereka semakin besar. Misi mereka dibela oleh kalangan liberalis-sesatis. Dilindungi oleh para pemegang kekuasaan yang buta moral dan antimoral. Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan itu pun, pihak yang berkuasa malah ikut ‘nimbrung’. Pelajaran agama Islam dan bahasa Arab dipangkas. Alasannya, untuk menekan radikalisme. Untuk menumbuhkan toleransi. Senseless policy. Reckless act. Inilah formula kehancuran yang sedang dijejalkan kepada rakyat. Kondisi politik sangat parah. Yang terparah di antara yang pernah parah. Penipuan elektoral yang berkedok demokrasi, merajalela. Meluas. Penipuan itu berlangsung di mana-mana, di semua level pemilihan umum. Di pilpers, pileg, dan pilkada. Para pemilik kuasa eksekutif dan kuasa uang bisa menentukan kemenangan perolehan suara. Lembaga-lembaga pelaksana pemilu bisa diatur sesuai keinginan mereka. Tentunya dengan imbalan besar. Kondisi politik yang centang-prenang juga terpancar dari perseteruan kesumat antara kelompok penipu versus rakyat garis lurus. Permusuhan itu kelihatannya akan berlangsung permanen berkat pemupukan yang dilakukan oleh para penguasa. Permusuhan itu tidak main-main. Banyak yang membayangkan bahwa Indonesia, sewaktu-waktu, bisa dilanda konflik horizontal. Ini semua disebabkan oleh kecerobohan segelintir orang yang rakus kuasa dan rakus duit. Ada lagi masalah lain. Satu kelompok politik yang merasa kuat bercita-cita untuk menghilangkan Pancasila menjadi satu sila saja. Itulah tujuan yang tertulis di AD/ART kelompok antiketuhanan itu. Mereka jelas-jelas tidak senang dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Banyak yang percaya gerakan ini mewakili tekad kaum komunis-PKI. Pantas diduga pula agenda domestik untuk mengubah Pancasila menjadi Ekasila alias Gotong Royong ditunggangi oleh kekuatan komunisme China. Kondisi politik yang parah ini tidak hanya berpotensi menimbulkan perkelahian internal. Tetapi juga terbuka bagi kekuatan eksternal yang ditengarai memiliki agenda jahat. Banyak pemerhati politik yang melihat RRC (China) telah menyiapkan ‘blue print’ untuk menjadikan Indonesia sebagai koloni mereka. Kolini dalam arti jamak. Analisis ini tidak berlebihan. Ada proses yang sangat relevan ke arah itu. Misalnya, pengistimewaan China dalam hal investasi proyek-proyek besar. Menjadikan China sebagai kreditur utama Indonesia. Yang membuat Indonesia hari ini tersandera utang budi ke Beijing. Posisi ini sangat rentan. China telah menunjukkan bahwa mereka “berhak” atas Indonesia. Mereka mendikte syarat proyek-proyek besar. Tenaga kerja mereka harus diterima di Indonesia. Di atas kondisi ekosospol yang berantakan ini, ada pula kondisi pertahanan-keamanan (hankam) yang sangat rawan jika harus menghadapi keangkuhan China. Banyak orang yang mencandakan kebenaran bahwa China, kalau mereka mau, bisa “membereskan” Indonesia dalam beberapa hari saja. Semua inilah yang membuat KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) mendaklarasikan diri. Mereka melihat ada ancaman serius terhadap eksistensi Indonesia. Terhadap keutuhan NKRI. Tetapi, KAMI sendiri harus menghadapi kekuatan koalisi lain. Yaitu, Koalisi Orang Dungu Otak Kotor disingkat KODOK. Koalisi ini merasa tidak ada masalah dengan utang yang menumpuk. Tidak masalah proyek-proyek besar didikte oleh China. Tidak masalah naker China menyerbu Indonesia. KODOK merasa Indonesia baik-baik saja. Koalisi ini sangat kuat meskipun tanpa pikiran yang jernih. KODOK diramaikan oleh orang-orang yang berkuasa di semua lini. Sikap dan tabiat mereka dituntun oleh peluang untuk memperkaya diri. Plus, mereka memiliki kelebihan berupa ketotolan terbaik di dunia.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

“Politik Dinasti”

by Zainal Bintang Jakarta FNN- Ahad (09/08). Jagad politik di Indonesia saat ini kembali heboh di tengah kelamnya upaya mitigasi negara dari serangan wabah Covid 19. Menjelang pertarungan kontestasi pimpinan daerah dalam Pilkada pada Desember 2020 mendatang, isu “politik dinasti” atau “dinasti politik” kembali merebak dan memantik pro kontra di tengah masyarakat. Pilkada serentak 2020 bakal diikuti keluarga Presiden Jokowi. Gibran Rakabuming Raka (anak) di Solo dan Bobby Nasution (menantu) di Medan, Di Banten, putri Wakil Presiden KH.Ma’ruf Amin, Siti Nur Azisah akan maju sebagai calon walikota Tangerang Selatan dan Hanindito Himawan Pramana putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung berkontestasi sebagai calon Bupati Kediri Timur. Tidak mau ketinggalan, keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo maju sebagai Calon Wali Kota Tangsel yang diusung PDI-P dan Partai Gerindra. Apa yang salah? Secara undang-undang tidak ada pasal yang dilanggar. Apalagi ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus pasal “dinasti politik” dalam UU No 8 Tahun 2015, pada Pasal 7 huruf (r) tentang Pilkada. Putusan MK itu bernomor 33/PUU-2015 tanggal 8 Juli 2015. Dengan adanya legalisasi “politik dinasti” oleh MK , mau tidak mau masyarakat terpaksa akan berpaling kepada legislator yang ada di Senayan. Sebagai salah satu komponen pembetuk Undang-Undang. Masyarakat berharap, lembaga DPR sejatinya sebagai salah satu komponen pembentuk Undang-Undang yang mengemban politik hukum, sebaiknya segera memperbaiki sistem pemilihan umum bagi pemegang kekuasaan di daerah. Membentengi celah penyimpangan, apapun itu, termasuk budaya “politik dinasti” melalui UU Pilkada yang ketat, sebagai political will untuk penyelenggaraanpilkada. Namun demikian, maukah yang terhormat anggota DPR tersebut melakukannya? Disinilah letak persoalnnya. Politik “lari berputar” berlaku. Kebanyakan calon kepala daerah, terlebih petahana adalah representasi parpol tertentu. Praktik “politik dinasti” yang menguntungkan partai tertentu, akan menolak mendorong kader mereka yang ada di legislatif untuk membumihanguskan “jalan tol dan karpet merah” menuju pelanggengan kekuasaan. Persoalannya tidak sekedar pada ketiadaan atau adanya bunyi pasal pada di regulasi yang harus diubah. Letaknya pada sikap mental yang berakar kepada cacat moralitas. Persoalannya ada pada rendahnya kualitas moralitas. Mengemukanya watak pragmatise, pemburu status sosial serta penggila kekuasaan. Inilah sumber dari segala sumber suburnya “politik dinasti”. Memburukkan proses demokratisasi yang terus menerus menjadi jargon politik menghipnotis masyarakat. Kualitas mentalitas yang rendah yang diidap masyarakat negara berkembang patut digugat. Mereka begitu gampang meninggalkan janji, bahkan sumpah yang diucapkannya. Bersembunyi dibalik pasal-pasal regulasi hasil kolusi antara penguasa dengan korporasi. Terkait dengan adanya indikasi kalangan elit politik yang sengaja merawat sikap dan mentalitas yang tidak terpuji, mengantar ingatan kepada apa yang pernah ditulis Gunnar Myrdal. Peraih nobel berkebangsaan Swedia itu menulis buku (1968) yang berjudul “Asian Drama” : An Inquiry Into The Poverty Of Nations (Sebuah Pertanyaan Menuju Kemiskinan Bangsa-Bangsa). Bukunya memaparkan hasil penelitiannya di Asia. Khususnya di India dan Indonesia. Kata “drama” sengaja dipakainya sebagai resultansi kecemasannya menyaksikan tendensi kepura-puraan yang disaksikannya terjadi negara negara Asia. Myrdal menyebut kedua negara tersebut sebagai “soft state” atau “negara lemah”. Ada juga yang menyebutnya “negara lunak”. Istilah “negara lunak” dilabelkan terhadap negara yang tidak memiliki tradisi administrasi. Karena itu mudah disantap oleh korupsi antara penguasa dengan korporasi, yang di Indonesia terkenal dengan sebutan “konglomerat”. Korupsi uang, korupsi hukum, dan korupsi politik. Dr. Ismi Rajiani MM pernah menulis analisis mengenai buku “Asian Drama” tahun 2013. Rajiani yang bergelar Doctor of Philosophy dalam Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang mengutip Myrdal, menulis begini, diantara ciri ciri negara lemah adalah: Pertama, golongan penguasa tidak menghormati, dan mentaati undang-undang. Sebaliknya, malah menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar besarnya demi kepentingan sendiri. Kedua, Semuanya diperdagangkan. Di Indonesia mulai dari sapi sampai keadilan. Ketiga, peraturan sengaja dilanggar untuk memperkaya golongan berkuasa dan berpangkat. Keempat, meluluskan undang-undang, tetapi non sense dalam pelaksanaannya. Kelima, pembayaran pajak dipermainkan, dan kalau bisa tidak perlu dibayar. Keenam, semua ngomong kalau dapat jabatan, ‘ini amanah”, tapi dalam prakteknya amanah untuk memperkaya diri. Ketujuh, “budi politik” ditabur atau dijual kepada siapa yang bisa mendukung menjadi kepala daerah, anggota DPR, lurah, dan lain lain. Singkatnya, kata Dosen Senior, Universitas Teknik Malaysia Melaka (UTeM), Fakultas Manajemen Teknologi dan Technopreneurship itu, ciri utama negara lemah (soft state) ialah merajalelanya korupsi, kerakusan, keangkuhan dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan eksekutif (kepala daerah, bupati, gubernur, menteri dan semua pembuat kebijakan), merebak ke kalangan legislatif (DPR). Akhirnya tidak mau kalah juga untuk berpartisipasi kalangan yudikatif (hakim dan jaksa). “Tangkapan besar terbaru KPK yang melibatkan eksekutif, legislatif dan yudikatif, menunjukkan pembuktian apa yang dikatakan oleh Mbah Gunnar Myrdal sejak puluhan tahun yang lalu masih tetap dipertahankan sampai sekarang ini”. Bagaimana Solusi Untuk Indonesia? Mungkin akan lebih banyak manfaatnya, jika elite politik bertekad membekali diri dan jiwa dengan semangat Idul Adha. Meneladani konsitensi Nabi Ibrahim atas komitmennya yang rela menyembelih putranya Ismail, yang kemudian tergantikan dengan domba, atas nama ketaatan tak bertepi kepada Tuhan. Ritual penyembelihan hewan adalah refleksi dan simbolisasi “upacara” penyembelihan sifat “kebinatangan” yang ada dalam diri manusia. Sikap teguh Ibrahim harus dibaca sebagai pancaran ketinggian kadar moralitas yang harus dimiliki seorang yang bernama pemimpin. Menyatunya satu kata dengan perbuatan. Saatnya elite politik bangsa segera membersihkan mentalitas praktik Machiavellisme yang menghamba pada nafsu “the end justifie the means” (tujuan menghalalkan segala cara). Hanya demi sepotong kekuasaan dunia yang tidak kekal. Praktik Machiavellisme dalam ukuran moral tertentu, sering lebih banyak dianalogikan sebagai “sifat kebinatangan” bagian tak terpisahkan dari nafsu kuasa yang liar. Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.

Faktanya Pertumbuhan Ekonomi Terjun Bebas -10,34%

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (09/08). Pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke II ini diumumkan Presiden pada angka minus lima koma tiga puluh dua persen (-5,32%). Nah, tertunduk lesu Pak Presiden Jokowi yang awalnya pernah hingar-bingar mengkampanyekan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang segera "meroket" di atas 7%. Pengumuman saat rapat terbatas Kabinet Indonesia Maju tersebut dinilai sebagai kegagalan dan frustrasi Pemerintah. Namun fakta yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak Januari sampai dengan Agustus 2020 adalah minus sepuluh koma tiga puluh empat persen (-10,34%). Itu fakta yang sebenarnya. Begini perhitungannya. Pada akhir Desember 2019 seperti diberitakan CNBC Indonesia (05/02/2020), pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di angka lima koma nol dua persen (+5,02). Walaupun demikian, ketika itu semua neraca yang menajadi indikator ekonomi Indonesia sudah bermasalah. Neraca transaksi berjalan merah. Juga neraca penerimaan terjun bebas. Neraca pembayaran bermasalah. Neraca perdagangan juga merah. Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) soal pertumbuhan ekonomi Indonesia, tentu saja memukul Presiden dan jajaran kabinet. Pemerintah tidak bisa, bahkan gagal bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan tumpah ddarah Indonesia di bidang ekonomi. Menambah daftar pemerintah melakukan pelanggaran terhadap tujuan bernegara sesuai perintah konstitusi UUD 1945. Sebelumnya Presiden Jokowi nyata-nyata telah melanggar konstitusi dengan membuat Perppu Nomo 1 Tahun 2020 yang telah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, yang judulnya sangat panjang tersebut. Dalam membuat APBN selama tiga tahun ke depan, Presiden tidak perlu lagi melibatkan DPR yang memiliki hak budgeting. Presiden dalam membuat APBN, bisa sesuka hati saja. Jika Presiden Jokowi marah-marah lagi, maka itu tak lain adalah ia yang sedang memarahi dirinya sendiri. Rakyat juga sedang menanti waktu untuk memarahi Presiden yang tak becus mengurus negere ini. Presiden yang menggunakan fasilitas negara untuk memikirkan anaknya dan menantunya menjadi Walikota Solo dan Walikota Medan. Pandemi korona belom menunjukan tanda-tanda akan mereda atau berakhir. Sekarang saja sudah hampir 120.000 orang terpapar korona. Namun Presiden Jokowi perlu memaksakan pelaksanaan Pilkada pada Desember 2020 nanti. Pilkada yang hanya untuk menjadikan anaknya Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution menjadi Walikota. Entah berapa ratusan ribu lagi rakyat Indonesia yang baka terjangkit korona, akibat dari berkumpulnya rakyat pada Pilkadana nanti. Rakyat dipastikan akan berkumpul dalam jumlah besar tempat kampanye dan tempat pemilihan. Belom lagi besarnya dana dikeluarkan negara untuk pelaksanaan Pilkada serentak. Menteri Keuangan Sri Mulyani di depan anggota DPR memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal II ini adalah minus -3,5 hingga minus --5,1% dengan rentang tengah minus -4,3%. Nyatanya justru menjadi minus -5,32%. Rupanya ekonomi meroket yang dimaksudkan Jokowi adalah meroket ke bawah. Ekonomi Indonesia nyungsep itu meluncur tak tertahankan ke bawah. Terjun bebas. Bahkan diprediksi pada kuartal III dan IV nanti, ekonomi Indonesia masih terus minus. Akibat dari tata kelola pemerintahan yang ngawur, kacau-balau dan amburadul. Tidak sesuai prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Negara mengalami resesi ekonomi bukan semata akibat pandemo korona. Tetapi sebelumnya juga pergerakan ekonomi sudah mengarah pada resesi. Pelambatan ekonomi menyebabkan banyak perusahaan tutup. Kenyataan ini berakibat pada terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimana-mana. Kondisi ini juga berakibat pada penurunan daya beli yangmasyarakat. Investasi banyak yang bermasalah, terutama di pasar keuangan dan asuransi, berdampak pada penurun nilai suatu portofolio atau aset seperti saham. Kasus seperti PT Asuransi Jiwasraya, Asabri, Bank BTN, Bank Bukopin, Bank Mayapada dan skandal Koperasi Indo Surya adalah bagian kecil dari bocroknya tata kelola indurtri keuangan Indonesia di bawah Presiden Jokowi. Kurs dollar yang tidak akan stabil, tentu berpengaruh pada neraca ekspor-impor. Tingkat suku bunga tinggi yang dapat meningkatkan inflasi. Sebagaimana kekhawatiran para pengamat ekonomi, bahwa pertumbuhan yang terus menurun dapat berujung pada depresi ekonomi, kini menjadi kenyataan. Kepercayaan masyarakat terhadap masa depan menjadi hilang. Tertunduk lesunya bapak Jokowi saat sidang kabinet terbatas untuk membahas pertumbuhan ekonomi kuartal II yang minus -5,32% ini jangan-jangan menjadi tanda-tanda depresi. Publik masih akan menunggu pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2020 besok. Siap-siap saja untuk menilai "pertanggungjawaban" kenegaraan atas kondisi politik, ekonomi, hukum, dan lainnya. Resesi membuat depresikah? Jika rakyat telah melihat negara ini masuk fase depresi, maka tak ada harapan untuk masa depan. Pilihanpun untuk para penyelenggara negara kini hanya tinggal dua. Berbesar hati untuk mengakui tidak mampu dan gagal mengurus negara, sehingga mundur sendiri atau dimundurkan? Rakyat dan bangsa Indonesia tidak boleh tertekan dan putus asa akibat tata kelola negara yang ngawur, tidak becus dan amburadul. Tetapi harus terus hidup dan bergerak ke depan. Artinya, absolut harus berganti dengan suasana yang baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Makin Ngawur Soal Pilkada Gibran

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (08/08). Sudah berbau nepotisme yang merusak tatanan ketatanegaraan, kini pendukung nampak percaya diri seolah Gibran-Teguh bakal menjadi calon tunggal Wali dan Wakil Walikota Surakarta. Hampir semua partai politik telah berhasil "ditaklukkan" oleh pengaruh ayahanda sang Presiden. Dugaan ini sangat beralasan. Keyakinan demikian menyebabkan munculnya gagasan atau usul agar Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres soal Pilkada 2020 yang kontennya bahwa pasangan calon tunggal kepala daerah dan wakil kepala daerah di Pilkada 2020 ditetapkan saja secara langsung tanpa melalui pencoblosan. Tidak perlu hambur-hamburkan biaya lagi. Usul itu dikemukakan oleh BRM Kusumo Putro, inisiator Gerakan Relawan Rakyat untuk Kota Surakarta alias Garuda. Alasannya adalah adanya bahaya pandemi covid 19 serta untuk menghemat anggaran yang dapat dialihkan pada kebutuhan lain. Menurut pendukung Gibran-Teguh ini, Pilkada mendatang tidak menjamin terbebas dari munculnya klaster baru covid 19. "Saya juga menilai KPU Solo belum siap melaksanakan Pilkada dalam kondisi pandemi covid 19". Kusumo Putro menyebut bahwa belum ada sosialisasi tentang mekanisme dan tata cara pelaksanaan Pilkada Solo yang baik dan aman. Berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar pada hari pemilihan dan kempanye tidak dapat dihindarkan. Sesungguhnya soal alasan penghematan anggaran dan bahaya pandemi covid 19 cukup rasional. Hanya saja solusinya yang terlihat tak rasional. Proses pemilihan tetap dijalankan, tetapi tanpa pencoblosan. Aneh, semestinya jika bersikap konsisten, maka solusinya adalah penundaan Pilkada sampai pandemi reda. Bukan pemkasaan pelikada harus dipaksakan seperti sekarang. Usul agar pasangan calon tunggal untuk dapat dikeluarkan Keppres langsung ditetapkan sebagai kepala/wakil kepala daerah adalah usul yang, ngawur, lucu dan licik. Lucunya, bagaimana mungkin ada konsep "penetapan" pasangan kepala daerah tanpa ada pemilihan? Tanpa dilakukan pencoblosan. Liciknya, diduga kuat dasar usulan adalah kepentingan bahwa hanya akan ada satu pasangan saja yaitu Gibran-Teguh. Konfigurasi partai politik menunjukkan bahwa mayoritas partai mendukung atau mengusung pasangan putra Presiden Jokowi ini. Alasan ini juga merusak akal sehat dan tatanan demokrasi. Suasana yang "dipaksakan" harus terealisasi. Palaksanaan Pilkada pada bulan Desember 2020 pada situasi pandemi covid 19 ini dinilai sarat kepentingan. Seperti mnengejar jadwal tayang. Banyak keluarga atau kerabat dari pejabat negara yang maju untuk memperebutkan kursi Bupati atau Walikota. Akibatnya Pilkdada harus dipaksakan. Jika Pemerintah Pusat serius untuk mempertimbangkan aspek keamanan dan kesehatan. Bila pemerintah pusat berkeinginan untuk serius dan bersungguh-sungguh mencegah munculnya klaster baru covid 19, maka Pilkada 2020 sudah selayaknya ditunda. Pilkada secara akan sehat harus dimundurkan sampai pandemi covid 19 hilang. Kasus usulan Keppres "penetapan" tentu saja ngawur. Tidak beralasan hukum. Gibran yang digadang-gadang "harus" menjadi Walikota ternyata diperjuangkan dengan segala cara yang merusak demokrasi. Ini bagian dari politik nepotisme yaitu mendahulukan kekerabatan ketimbang kemampuan. "Nepos" itu artinya "cucu" atau "keponakan" yang menggambarkan keluarga dekat. Aspek kemampuan dikesampingkan. Aspek kapasitas dan kapabilitas tidak lagi diperlukan. Nepotisme secara hukum telah dilarang, dan harus diberantas. Bukan justru di "keppres" kan. Pilkada "Gibran" ini semakin ngawur saja. Pilkada yang hanya untuk memproduksi klaster baru penyebaran covid 19. Biaya yang dikelurkan untuk pengobatan penyebaran covid 19 juga semakin bertambah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.