OPINI
Siap-siap "Herd Immunity", Bawalah Probiotik Siklus sebagai Bekal!
Sebuah testimoni Probiotik Siklus disampaikan oleh seorang Kepala Puskesmas di salah satu wilayah zona merah Covid-19 di Jawa Timur. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ijin sedikit testimoni saya menyampaikan Biotoksi (titipan tim Biosyafa melalui dr FM) utk 3 orang paramedis dan 1 orang dokter yang terkonfirmasi swab positif covid dan menjalani karantina mandiri. Dosisnya adalah untuk DEWASA: Biotoksi: 3 x 1 sendok takar; Bioimune: 3 x 1 sendok takar; Biozime super: 3 x 10 tetes. NB: kalau saya suka cara minumnya begini. Ambil air setengah gelas tambahkan semua produk Probiotik di atas sesuai dosis, aduk, tambahkan madu 1 sendok takar. Untuk Anak-Anak < 13 tahun: Biotoksi: 2 x sepertiga sendok takar; Bioimun: 2 x sepertiga sendok takar;Biozime super: 3 x 3 tetes. Cari cara yang menyenangkn untuk diminum anak anak. Untuk keluarganya juga saya anjurkan minum untuk pencegahan. Untuk 2 kasus paramedis, (kebetulan bersamaan/cluster TKHI). Mulai konsumsi tgl 15 April 2020 Swab kedua tgl 13 April 2020, keluar hasil tgl 21 (hasil masih positif). Swab ketiga tgl 20 April 2020, keluar hasil tgl 30 April (negatif). Alhamdulillah biidznillah. Testimoni dari seorang dokter, apalagi dia menjabat Kepala Puskesmas itu tentu tidak main-main. Bahwa selama ini masih belum ada obat atau vaksin untuk menghadapi pandemi Covd-19 atau Virus Corona, adalah benar. Tapi, jika ada sebuah formula Probiotik Siklus dengan nama Biosyafa yang ternyata berhasil menyembuhkan pasien positif corona, tidak bisa diabaikan begitu saja. Apakah upaya untuk membantu pasien supaya sembuh tetap disalahkan? Hal serupa juga disampaikan guru besar Biologi Sel dan Molekuler Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU, D.Sc. Karena itu mulai disarankan untuk berdamai dengan si Covid-19. Dilihat dari ilmu biologi, katanya, penyebaran Covid-19 tidak bisa diputus. Sebab proses mutasinya yang begitu cepat dapat menimbulkan varian baru dari virus ini, sehingga menyebabkan manusia kesulitan membuat vaksin maupun obat anti virus. Dengan kondisi ini yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pencegahan agar tidak terlalu banyak orang masuk rumah sakit hingga melebihi kapasitas akibat Covid-19 ini. Virus ini akan selalu ada, sehingga banyak orang mengharapkan adanya Herd Imunity. Yakni kekebalan tubuh pada suatu populasi. Herd Imunity ini juga tidak bisa lagi diharapkan karena saat Covid-19 dibawa ke lokasi lain dan dibawa lagi bisa masuk ke tubuh orang yang sudah kebal sehingga timbul pandemi baru. “Melihat kondisi seperti ini, saya pikir masyarakat harus move on. Tidak perlu berharap hilangnya virus Corona dengan putusnya mata rantai penularan 100 persen. Kita tidak bisa lagi hidup normal kembali seperti semula,” ujar Prof. Sutiman. Menurutnya, berbagai program kebijakan yang dicanangkan pemerintah dalam menangani Covid-19 ini seperti social distancing, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maupun lockdown total sekalipun sepertinya sudah terlambat. Hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat saat ini adalah mempersiapkan diri atau memulai menyusun tatanan dunia baru bersama Covid-19. Dengan target bukan memberantas virus melainkan menekan jumlah orang yang terinfeksi bersamaan serendah mungkin. Persiapan yang bisa dilakukan, yakni untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun, tidak bersentuhan atau menjaga jarak dan mengenakan masker. Ia menjabarkan bahwa keadaan seperti ini sejatinya sudah pernah dialami yakni saat Demam Berdarah menyerang. Tidak bisa memberantas, yang bisa dilakukan adalah dengan pencegahan. Kenyataannya pun orang meninggal akibat demam berdarah atau malaria masih terus ada. “Korban meninggal akibat demam berdarah karena kedisiplinan menguras bak mandi, menghilangkan atau menutup rapat genangan air tidak bisa dijalani dengan 100 persen oleh penduduk,” terangnya. Sama halnya dengan Covid-19. Tidak bisa sepenuhnya hilang akan terus ada mutasi bahkan jenis baru. Sehingga, yang perlu dilakukan masyarakat adalah dengan hidup di lingkungan baru, tambahan perilaku serta sosialisasi luas tentang hidup bersih. Tata kehidupan baru tersebut misalnya, tetap menjalani keseharian normal namun ditambah empat perilaku yang telah dianjurkan. Yaitu dengan jaga jarak, pakai masker, cuci tangan dan bersihkan barang-barang yang dipegang banyak orang bergantian. Prof. Sutiman melanjutkan bahwa perilaku lainnya yakni masyarakat tidak boleh bersin dan meludah sembarangan agar tidak tertular Covid-19. Apabila sudah menerapkan hidup bersih dengan tambahan empat perilaku tersebut masker tidak harus dipakai apabila jaga jarak terpenuhi. Shaf salat berjamaah bisa tetap dirapatkan asal semua pakai masker. Sanitasi benda-benda tidak harus dilakukan terus menerus dalam jangka waktu yang pendek asal rajin cuci tangan. Cuci tangan tak harus terus menerus kalau benda-benda sekitar dijaga kebersihannya. “Untuk itu perlu program sosialisasi yang baru agar tidak banyak orang menganggap berat berubah ke perilaku baru ini. Perlu diingat bahwa perilaku baru ini juga berguna untuk mencegah penularan penyakit-penyakit lain,” tegas Prof. Sutiman. Perilaku baru ini hampir sama dengan aturan dalam berlalu lintas. Jumlah kecelakaan akan bisa ditekan apabila semua pengguna jalan mematuhi peraturan. Untuk itu, mulai sekarang mulai mempersiapkan hidup dengan Covid-19. Sebab selain perilaku baru, Indonesia juga diuntungkan dengan indeks Ultraviolet (UV) yang tinggi di atas 11. Artinya orang Indonesia telah terbiasa dengan dan mampu beradaptasi. “Berada di luar ruangan justru lebih aman dibandingkan dengan di dalam ruangan terus menerus. Kita lihat di Indonesia orang yang terinfeksi justru mereka yang bekerja di dalam ruangan. Ini menunjukkan bahwa udara luar lebih bersih dari Covid-19,” paparnya. Di dalam ruangan Covid-19 bisa berputar-putar di area tersebut dan mampu bertahan 8-10 jam sehingga kemungkinan menularkan ke orang lain lebih cepat. Namun perlu diingat pula meski indeks UV tinggi tapi bila di wilayah tersebut juga memiliki pencemaran tinggi maka kemampuan UV untuk menonaktifkan virus tidak berguna lagi. “Jangan berharap Covid-19 hilang dari Indonesia. Tapi mulailah mempersiapkan masyarakat untuk mengarah ke perilaku baru tersebut,” lanjut Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UB ini, seperti dilansir Edisi.co.id. Menurutnya, dunia ini tidak akan pernah bebas dari Covid-19 apalagi saat ini sangat sulit menyatukan negara untuk melawan virus ini. Sebab masing-masing negara memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri atau masyarakatnya. Untuk itu dibutuhkan peran pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menyosialisasikan perilaku dari tatanan baru ini. Yang jelas, dampak dari Covid-19 ini memang telah mengubah tatanan masyarakat. Seperti yang terjadi di Surabaya. Menyusul cluster Sampoerna, setidaknya 49 orang kini sedang dikarantina, setelah 74 rapid test reaktif, sedang dalam pengawasan. Kemudian, daerah Kedung Baruk, kabarnya 96 rapid test reaktif juga. Sedih dapat curhatan dari relawan. Ada anak-anak yang perlu perhatian karena bapak-ibunya harus dipindah-dikarantina di suatu tempat (tesnya positif, sementara anak-anaknya negatif). Siapa yang ngopeni…. ngasih makan sehari-hari selama 14 hari? Jika ingin berdamai dengan corona, seharusnya Presiden Jokowi segera mengambil langkah strategis seperti yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas di Jawa Timur tadi. Yang, mungkin juga telah pula dilakukan oleh dokter-dokter lain di Indonesia. Karena, kabarnya, sudah banyak dokter yang telah mengaplikasikan Probiotik Siklus untuk yang terpapar Covid-19 di kalangan dokter, paramedis, dan warga yang sembuh. Penulis Wartawan Senior.
Jubir Presiden Fadjroel Kok Lama Tidak Muncul?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Ada yang sempat memperhatikan tidak? Lebih dari satu bulan terakhir Juru Bicara (Jubir) Presiden Fadjroel Rachman kok tidak ada kabar beritanya? Pernyataan, penjelasan dan wajahnya tak pernah nongol di media. Dia menghilang dari peredaran. Tidak muncul di publik. Ada apa?Negara tengah menghadapi situasi darurat. Bencana kesehatan, ekonomi, dan dikhawatirkan merambat ke politik. Komunikasi publik pemerintah juga sedang acakadut. Perlu penanganan serius. Antara satu pejabat dengan pejabat lainnya saling bantah. Berbalas pantun. Pernyataan dan aktivitas Presiden bahkan beberapa kali harus dijelaskan dan diluruskan. Dalam posisinya sebagai Jubir Presiden, Fadjroel harusnya selalu tampil. Memainkan peran penting. Menjelaskan, menafsirkan, dan kalau perlu meluruskan kebijakan pemerintah, khususnya Presiden. Biar publik tidak bingung. Biar kebijakan pemerintah dan pernyataan Presiden tidak disalahpahami publik. Bukankah itu tugas utamanya?Bumper utama Presiden. Harus pasang badan bila ada salah ucap, salah komunikasi. Turun tangan bila ada miss-interpretasi. Untuk itu lah dia diberi jabatan tinggi. Dibayar tinggi sebagai Staf Khusus Presiden dengan penugasan sebagai Jubir. Dia adalah kepanjangan lidah Presiden. Apa yang dia sampaikan akan dipahami publik sebagai sikap resmi Presiden. Silakan Googling deh. Bisa jadi salah. Yang sering muncul malah figur lain. Kalau tidak Bey Mahmudin, ya Donny Gahral Adian. Bey adalah Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden. Sementara Donny jabatannya adalah Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP). Jelas terlalu tinggi kalau harus menjelaskan, apalagi meluruskan pernyataan menteri dan Presiden. Pamali! Bisa kualat! Kayak buah jambu monyet yang bijinya di bawah. Dilihat dari tugas pokok dan fungsinya, Bey bertugas mengelola kegiatan keprotokolan, pers, media dan informasi. Sifatnya teknis dan administrasi. Tapi coba perhatikan. Belakangan ini semua kegiatan, maupun “pelurusan” informasi Presiden Jokowi semua datangnya dari Bey. Bukan Fadjroel. Yang paling aktual adalah soal pernyataan Jokowi mengajak warga berdamai dengan Corona. Ajakan ini banyak ditafsirkan sebagai pernyataan Jokowi menyerah kalah. Tak mampu lagi memimpin perang melawan Corona. Bey buru-buru menjelaskan, pernyataan Presiden itu menyiratkan pesan agar masyarakat bersabar dan tidak menyerah menghadapi pandemi Covid-19. "Covid-19 memang belum ada anti-virusnya, tapi kita bisa mencegah diri tertular darinya. Artinya, jangan kita menyerah, hidup berdamai itu penyesuaian baru dalam kehidupan," ujarnya. Bey pula yang menjelaskan kepada media ketika publik geger. Jokowi tampak membagi-bagikan sembako kepada warga di pinggir jalan. Peristiwa tersebut terjadi tanggal 9 April sehari sebelum (Pembatasan Sosial Berskala Besar) PSBB berlaku di wilayah DKI Jakarta. Dua hari kemudian, Sabtu (11/4) Bey kembali memberi pejelasan, tidak benar Jokowi membagikan-bagikan sembako di Istana Bogor. Malam itu warga tampak berbondong-bondong mendatangi Istana Bogor. Rupanya mereka berharap kebagian sembako karena sehari sebelumnya Jokowi kembali jadi Sinterklas di Bogor. Bey pula yang menjelaskan ke media ketika Jokowi malam-malam blusukan ke perkampungan di Bogor, Rabu (29/4). Jokowi tampaknya mendatangi rumah tiga warga, bagi sembako dan angpao. Beberapa kali blunder Sebelum “menghilang” Fadjroel tercatat beberapa kali melakukan blunder. Melalui keterangan tertulisnya Fadjroel, Kamis (2/4) menyatakan warga boleh mudik di tengah pandemi. Syaratnya wajib isolasi selama 14 hari dan statusnya Orang Dalam Pengawasan (ODP). Pengawasannya diserahkan ke pemerintah daerah masing-masing. Pernyataan Fadjroel segera dibantah Menteri Sekretaris Negara Pratikno. "Yang benar adalah, pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik,” ujarnya. Dua hari kemudian Fadjroel kembali melakukan blunder. Dia menyatakan Pemerintah memberikan relaksasi kredit. Fasilitas itu diutamakan bagi mereka yang positif COVID-19. Bukan semua debitur. Tak lama kemudian dia meralat pernyataannya. Relaksasi kredit diberikan untuk seluruh masyarakat yang ekonominya terdampak pandemi Corona. “Syaratnya kredit di bawah Rp 10 miliar,” ujarnya Sabtu (4/4). Fadjroel masih tampil di program ILC TV One, Selasa (7/4). Saat itu topik yang diangkat: Badai Corona. Namun setelah itu dia “menghilang.”Media tidak lagi mengutip pernyataan, maupun komentarnya. Wajahnya juga tidak terlihat wora-wiri di layar kaca. Kemana Fadjroel?Apakah dia dinonaktifkan karena beberapa blundernya, atau ada penyebab lain? Seorang teman di istana ketika dihubungi mengatakan Fadjroel sehat-sehat saja. Alhamdulillah. Cuma dia saat ini seperti yang lainnya, bekerja dari rumah (WFH). Jubir kok WFH? Bukannya dia harus selalu menempel dan ikut ke mana dan di mana saja Presiden berada? Penjelasan ini walau terdengar aneh --khusus untuk poin bahwa Fadjroel sehat-- kelihatannya benar adanya. Fadjroel masih eksis di medsos. Pada tanggal 12 Mei akun twitternya yang tervirifikasi @Fadjroel mencuit : Alhamdulilah, Rapat Paripurna DPR telah menyetujui dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Selamat Presiden @jokowi, Wapres @Kiyai_MarufAmin, Menkeu Sri Mulyani, @KemenkeuRI, #Jubir #BungJubir, @JubirPresidenRI. Dua hari kemudian akun Fadjroel meretweet akun @JubirPresidenRI. Hari berikutnya Fadjroel juga lebih banyak retweet. Kalau dilihat akun @JubirPresidenRI yang juga terverifikasi, menggunakan foto profil Fadjroel bersama Jokowi. Namun dalam keterangannya disebutkan akun yang mulai aktif Januari 2020 itu dikelola oleh Tim Juru Bicara. Terakhir akun @Fadjroel meretweet akun @JubirPresidenRI tanggal 15 Mei. Mudah-mudahan Bung Fadjroel tetap sehat. Bisa kembali aktif membantu Presiden. Di tengah pandemi, kalau ada yang menghilang, biasanya selalu dikait-kaitkan dengan kemungkinan terkena Covid. Seorang psikolog bahkan menyarankan supaya kita selalu eksis di medsos. Setidaknya sesekali memberi komen di WAG. Tujuannya selain menjadi katarsis, biar tidak stress. Teman dan kerabat juga tahu bahwa kita masih sehat. Masih hidup! Berhubung posisi Fadjroel yang cukup penting, kalau kelamaan tidak muncul hanya akan menimbulkan spekulasi. Rumor, gosip, desas-desus. Gosip, rumor, dan desas-desus seputar istana selalu menarik perhatian. Apalagi dalam situasi pandemi. End. Penulis Wartawan Senior
Front Anti Komunis, Mendesak Untuk Dibentuk Kembali
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (17/05). Bangkitnya komunisme setelah rontok dan gagal kudeta pada tahun 1965 kini mulai terasa. Kader-kader mudanya sudah berani tampil di keramaian dengan menunjukkan kepercayaan diri dalam beratribut PKI dan komunis. Gagasan dan pemikiran kebangkitan komunisme juga mulai mewabah di kalangan elit politik. Penyusupan ideologi komunisme dirasakan cukup masif. Setelah gagal mengupayakan pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 yang membubarkan PKI, dan menyatakan sebagai organisasi terlarang, serta larangan menyebarkan ajaran komunisme/marxisme leninisme, kini tampil dengan wajah, Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila. Top kan mereka? Bahaya bangkit komunisme tidak bisa dianggap angin lalu atau isapan jempol lalgi. Beberapa waktu yang lalu, disuarakan dengan berbagai "warning" akan adanya ancaman komunisme. Tetapi peringatan tersebut justru dinafikan. Kemudian mereka menantang dengan meminta pembuktian. Perlawanan mereka itu, dengan mengemukakan bahwa keberadaan PKI dan komunime itu hanya isapan jempol. Hanya sebagai isu yang mengada-ada. Mereka bersuara lantang mengatakan bahwa, mereka menjadi korban yang dikriminalisasi. Beberapa diantara tokoh masyarakat yang memberikan warning itu, bahkan telah divonis dengan hukuman penjara. Mereka mengatakan, kebangkitan komunisme itu hanya fitnah, membuat gaduh, bahkan menyebar hoax adalah tuduhannya. Saat ini, dengan fenomena politik, terlihat adanya kedekatan Pemerintah dengan Negara Komunis RRC. Kedekatan yang dibarengi oleh kerjasama Partai Politik tertentu dengan Partai Komunis Cina. Samar-samar mulai terasa adanya kebangkitan komunisme itu. Kenyataan ini dilengkapi dengan terus masuknya TKA Cina dengan jumlah mencolok. Padahal TKA Cina tersebut sebagian besar masuk secara illegal. Masuk ke Indonesia dengan menggunakan Visa kunjungan. Namun setelah di Indonesia, mereka bekerja di pabrik peleburan biji nikel. Wajar sajaj kalau rakyat dan bangsa Indonesia menjadi khawatir terhadap support dari kebangkitan komunisme. Ditambah pula dengan kondisi rakyat yang semakin miskin dan kesenjangan sosial yang tinggi, dapat menjadi lahan basah bagi propaganda penyebaran ideologi komunisme. Ada sinyal kuat telah terjadi penyusupan ideologi komunisme melalui RUU Haluan Ideologi Pancasila di DPR. Rupanya ruang parlemen tidak lagi steril dari kader-kader yang bersemangat untuk memberikan “karpet merah” berupa landasan hukum bagi pengembangan dan kebangkitan komunisme. Langkah awalnya itu dimulai dengan menolak dimasukkannya Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 sebagai konsiderans di RUU Haluan Ideologi Pancasila. Sampai di sini hebat kan tahap-tahapan mereka? Tentu aneh aneh, dan sangat aneh. Dasar hukum yang seharusnya bisa mengunci pengembangan ideologi komunis, dan mencegah terjadinya penafsiran keliru terhadap ideologi Pancasila kok bisa ditolak untuk dimasukan ke dalam konsiderans RUU Haluan Indeologi Pancasila? Sangat beralasan kalau rakyat patut untuk curiga, kalau ada agenda terselubung dibalik RUU tersebut. Rakyat juga patut curiga akan adanya permainan halus dalam perjuangan, agar RUU Haluan Ideologi Pancasila ini menjadi undang-undang. Bau komunisme mulai tercium, dan mulai menyengat. Bagaimana mungkin delapan Fraksi DPR berhasil "ditekan" untuk setuju tidak memasukkan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966. Luar biasa kan mereka? Oleh karena itu tak ada pilihan lain bagi rakyat dan wakil rakyat yang cinta akan NKRI dan anti faham komunisme. Harus bergerak dengan segala kekuatan untuk menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila untuk ditetapkan menjadi Undang Undang. Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila kelak hanya "touch stone" menuju target bagi eksistensi dan pengembangan PKI model baru. Rakyat harus bergerak. Sebagai wujud kewaspadaan dan antisipasi terhadap terjadinya penyelundupan ide komunisme melalui produk legislasi di DPR. Juga upaya penanaman dan cengkeraman langsung ideologi komunisme di masyarakat. Untuk itu, gerakan nyata harus dilakukan. “Front-front Anti Komunis harus segara dibentuk dan ditumbuhkembangkan kembali. Bangsa Indonesia tak boleh hancur oleh watak penyusup dan penghianat negara. Pura-pura menjadi pembela Pancasila, padahal mau menggerogoti Pancasila. Jadi teringat kembali pada tahun 1964, D.N Aidit tokoh sentral PKI membuat buku, judulnya "Membela Pancasila". Sangat sistematis kan mereka? Front Anti Komunis harus segera dibentuk. Sebagai keniscayaan gerakan riel untuk membela Pancasila. Mensosialisasikan Pancasila yang benar sesuai dengan yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bukan Pancasila 1 Juni 1945. Mengingatkan rakyat akan penghianatan dan kekejian PKI. Membentengi rakyat dengan nilai nilai agama untuk melawan faham komunisme, atheisme dan materialisme. Front Anti Komunis harus bahu-membahu. Harus bekerjasama antara kekuatan agama, aktivis buruh, pegiat sosial, aparat baik TNI maupun Polri serta seluruh elemen yang sadar akan bahaya gerakan komunis yang licik, jahat, dan tak bermoral. Kader-kade penyusup komunis sangat licin. Meraka juga sangat pandai untuk berlindung di aras kekuasaan. Mereka menggunakan dan menunggangi Pancasila sebagai topeng untuk menyembunyikan diri. Apalagi jika didukung oleh Partai Komunis Cina yang terus merambah di dunia. Pemerintahan Jokowi jangan mengulangi kesalahan Pemerintahan Soekarno dahulu, yang mencoba-coba untuk membuat kebersamaan antara Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Komunis itu, wataknya selalu berhianat dan berkhianat. Sangat mahir dan biasa untuk menggunting dalam lipatan. Selamat datang Front Anti Komunis. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Penempatan Dana Pemerintah di Perbankan, Jangan Ulangi Century
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Ahad (07/05). Selama ini, jika berhubungan dengan kesulitan likuiditas, perbankan akan memanfaatkan Pasar Uang Antar Bank( PUAB) untuk mengatasinya . Selain itu, perbankan akan bersandar kepada Bank Sentral (Baca Bank Indonesia) sebagai Lender of Last Resort (LLR) untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Namun dimasa pandemi ini, pemerintah menambahkan satu kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat sumber likuiditas bagi perbankan. Setelah keluarnya PP 23/ 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional, kita mengenal suatu mekanisme baru dalam menangani kesulitan likuiditas Perbankan. PP ini memperkenalkan model Anchor Bank atau Bank Jangkar dalam penanganan kesulitan likuiditas Perbankan. Untuk mendukung restrukturisasi debitur korporasi diperbankan, pemerintah mengalokasikan Rp 34 Triliun dalam bentuk penempatan dana pemerintah di perbankan. Uniknya, model ini tidak menghilangkan fungsi LLR Bank Indonesia. Model ini menambahkan varian sumber pembiayaan likuiditas bagi perbankan. Mekanisme kerjanya adalah dengan menempatkan dana pemerintah di sejumlah bank yang memenuhi persyaratan PP 23/2020, yang disebut Bank Peserta. Kemudian dapat pula dipinjamkan kepada bank-bank yang disebut Bank Pelaksana. Bank Pelaksana ini sendiri adalah bank-bank yang melakukan restrukturisasi dan mengalami kesulitan likuiditas. Penempatan dana ini tidak gratis. Melainkan diwajibkan bagi Bank Peserta untuk mengembalikan pokoknya berikut bunga yang telah ditetapkan. Beleid pemerintah ini rupanya direspon beragam oleh industri perbankan. Ada dua kritik yang dilontarkan. Pertama, mekanisme ini dianggap rumit dan membebani perbankan, khususnya yang menjadi Bank Peserta. Kerumitannya terletak pada mekanisme dua lapis, dimana bagi Bank Peserta, selain harus menangani problem internal mereka sendiri, masih juga dibebani untuk “ cawe-cawe” dengan persoalan bank lain, yaitu Bank Pelaksana. Bagi perbankan, fungsi “cawe-cawe “ ini seharusnya merupakan fungsi OJK. Kedua, bersumber pada kerumitan dan beban tambahan yang mesti ditanggung perbankan yang menyebabkan beleid ini menjadi sulit untuk diimplementasikan di tingkat teknis. Alasannya, karena hubungan antara Bank Peserta (Bank Jangkar) dengan Bank Pelaksana yang membutuhkan likuiditas bersifat “bisnis ke bisnis”. Akan sulit untuk memitigasi resiko masing-masing individu bank, berikut profile debiturnya. Selain itu, juga suku bunga yang kemungkinan mahal. Kondisi seperti ini semakin mempersulit bank yang sedang mengalami tekanan likuiditas. Penulis sendiri beranggapan bahwa Model Bank Jangkar (Anchor Bank) ini sebagai model optimal untuk menjaga sisi akuntabilitas dan aspek prudensial dari skema “bantuan likuiditas” pemerintah terhadap perbankan. Dengan beberapa alasan. Pertama, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Skema “ bantuan likuiditas” dalam bentuk penempatan dana pemerintah di perbankan justru menambah pilihan sumber likuiditas bagi perbankan. Selain yang sudah disediakan oleh BI sebagai LLR. Mau tidak mau perbankan akan berhadapan dengan peningkatan Non Performing Loans ( NPLs) di masa krisis ini. Restrukturisasi terhadap debitur sudah pasti akan dilakukan oleh perbankan untuk mengatasi situasi ini. Disinilah terletak arti penting dari keberadaan beleid ini. Proses restrukturisasi itu sendiri akan menimbulkan tekanan likuiditas bagi perbankan. Beleid ini menjamin ketersediaan sumber likuiditas yang diperlukan perbankan. Kedua, “ bantuan likuiditas” dalam bentuk penempatan dana pemerintah secara inheren mengandung potensi “moral hazard” dan resiko hukum yang tidak ringan. Sisi yang selama ini telah menjadi sumber persoalan berkepanjangan dalam setiap tindakan intervensi likuiditas kepada perbankan. Menempatkan dana pada bank yang berkualifikasi merupakan cara untuk memitigasi resikonya. Apalagi, bank- bank yang akan menggunakan fasilitas ini adalah bank-bank yang tidak lagi memiliki aset yang dapat direpokan ke Bank Indonesia dan hanya mengandalkan kualitas aset kreditnya sebagai jaminan. Bagaimana mitigasi resiko itu terjadi?. Resiko terberat dari bantuan likuiditas terletak pada kemampuan bank untuk mengembalikan dana pemerintah. Selain itu, juga untuk memastikan konsistensi pada tujuan pemberian bantuan itu sendiri. Yaitu, dukungan dalam pelaksanaan restrukturisasi terhadap debitur perbankan, dalam hal ini, debitur korporasi. Dapat dibayangkan, apabila pemerintah melakukan kebijakan intervensi langsung terhadap perbankan yang beragam dan berjumlah banyak itu tanpa memiliki mekanisme untuk memastikan tingkat kesehatan perbankan. Itu hanya akan mengulangi kekeliruan seperti yang terjadi pada Bank Century, suatu bank yang memang sangat tidak sehat jauh sebelum terjadinya krisis. Dengan menerapkan model Bank Jangkar, resiko- resiko diatas bisa diminimalisir. Bank Jangkar akan berfungsi sebagai palang pintu efektif bagi upaya tidak sehat dari bank-bank yang memanfaatkan fasilitas ini bukan pada tujuan yang seharusnya. Dalam hal ini, kita bisa memetik pelajaran pada apa yang terjadi di masa BLBI dulu. Ketiga, saya tidak yakin ada bank yang menolak menjadi bank Jangkar. Kalaupun ada, pasti bank-bank lain, terutama Bank BUMN, akan memilih menjadi Bank Peserta. Penempatan dana pemerintah ini merupakan berkah bagi bank-bank yang menjadi Bank Peserta. Selain memperkuat struktur neracanya, suku bunganya pun dipastikan tidak akan memberatkan perbankan. Apalagi dimasa sulit seperti ini. Baru-baru ini saja kita membaca kalau Bank Rakyat Indonesia (BRI) memperoleh pinjaman senilai US$1 Miliar dengan suku bunga 2% dari beberapa institusi keuangan asing. Tentunya, pinjaman ini adalah suntikan likuiditas baru bagi BRI dan akan memperkuat neraca BRI dimasa krisis ini. Keempat, beleid ini bukan merupakan beleid untuk menangani bank-bank yang mengalami insolvensi. Adapun bank yang mengalami insolvensi telah memiliki mekanisme penangan an tersendiri yang berada di luar kewenangan langsung pemerintah. Ringkasnya, penempatan dana pemerintah melalui mekanisme bank Jangkar, dalam hemat penulis, bukanlah pengambil alihan fungsi Lender of Last Resort BI, melainkan menjadi suplemen tambahan bagi ketahanan sistem perbankan. Dan bagi Bank Peserta, karena juga telah memperoleh manfaat besar, patutlah juga melakukan upaya tambahan untuk menjaga amanah publik yang terkandung di dalam dana yang ditempatkan itu. Karena itu, tidak akan “overlap” dengan fungsi pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan ( OJK). Tinggallah dua hal yang mesti ditindak lanjuti oleh pemerintah sebagai buah dari dua kritik sebelumnya. Pertama, 15 bank beraset paling besar itu tidak serta merta dapat dijadikan sebagai Bank Peserta. Sekalipun itu adalah salah satu syarat didalam PP 23/2020. Menteri Keuangan dan OJK hendaknya memastikan bahwa bank yang akan menjadi peserta itu memang sehat dan dapat melalui stress test dalam menghadapi krisis. Ini syarat yang tidak terdapat didalam PP 23/2020, tapi vital dalam memastikan kelaikan bank tersebut. Selain itu, karakteristik dan profile dari bank yang akan menjadi Bank Peserta, juga penting untuk diperhatikan. Bank itu selayaknya memiliki profile sebagai bank yang systemically important bank (bank yang memiliki karakteristik sistemik) dalam pengertian positif. Bank ini pada dasarnya sudah memiliki sifat sebagai “bank jangkar” dalam hubungan antar bank, seperti dalam pasar uang antar bank ( PUAB). Dan juga dalam profile debiturnya, mencerminkan keragaman yang menunjukkan bahwa bank itu memang merupakan bank Jangkar. Yang tidak kalah pentingnya. Penentuan bank menjadi Bank Peserta harus objektif dan menghindari preferensi politik. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan kemungkinan “conflict of interest” pemilik bank. Sedikit saja ini tercium oleh publik, akan merugikan tujuan baik dari kebijakan ini. Apa yang terjadi pada Program Kartu Prakerja yang bertujuan baik dan mulia itu. Namun terbebani oleh kontroversi program pelatihannya bisa jadi pelajaran berharga bagi pengambil kebijakan. Wallahu ‘alam... Penulis addalah Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Indonesia Dalam Genggaman Korporasi dan Konglomerat
By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Ahad (17/05). Presiden telah menggunakan kewenangan istimewanya. Menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020. Walau menuai kritik hampir sepanjang hari sebelum parpipurna DPR, tetapi DPR menyetujui. Perpu ini segera ditingkatkan statusnya menjadi UU. Entah dengan UU nomor berapa? Pasal 28 ayat (2) ini esensinya menangguhkan hak budget DPR. Aneh, lucu, dan entah apa lagi kata yang semakna, DPR terima. Masa Allah. Ini sama dengan mengubah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi organis. DPR secara organik menjadi pemegang absolut, kedaulatan rakyat. Bersamaan dengan pengambilan keputusan Perpu, DPR juga mengambil keputusan menyetujui RUU Perubahan UU Minerba menjadi UU. Ditengah hiruk pikuk itu, Presiden mengambil keputusan tentang Iuran PBJS. Kritik cukup menggema. Tapi seperti kebijakan membuka transportasi udara dan darat, Presiden terus tetap pada sikapnya. Konsisten dengan sikap itu, juga terlihat pada sikapnya tentang RUU Omnibus Cita Kerja. Semuanya sama, didukung, sebagian besar oleh DPR. Hebatnya DPR juga tak begitu bergairah merespons kebijakan harga minyak, yang tak kunjung turun. Harga beli Pertamax 92 di Indonesia masih di harga Rp. 9.000 per liter. Beberapa negara tetangga Asean, harga Partamax 92 sudah di bawah Rp 5.000 per liter. Premium apalagi. Bisa Rp. 3.000-an per liter. Konsistensi sikap Presiden ini terlihat juga pada kebijakan tentang TKA asal China, yang sejauh ini tak diikuti perubahan kebijakan yang fundamental untuk menghentikan. Kedaulatan Rakyat Berantakan DPR jelas sekali terlihat bahu-membahu dengan Presiden dalam sejumlah isu. Rakyat tidak lagi terlihat sepenuhnya penting didengar. Kedaulatan mereka berpindah mengikuti model teori organik ke DPR. Karena DPR telah berstatus begitu, maka DPR dapat sesukanya menentukan, dalam arti memutus apa yang bisa dan apa yang tidak bisa tanpa perlu mempertimbangkan kehendak rakyat. Bukankah DPR adalah orang yang dipilih oleh rakyat? Jadi secara organik, rakyat yang mana lagi yang perlu diperhatikan isi kepalanya? Berbahayakah pikiran ini? Mungkin. Tetapi sebaiknya tidak menyebut membahayakan demokrasi. Mengapa? Demokrasi mengandung begitu banyak sisi omong kosongnya. Juga kaya dengan gerak tipu-tipu muslihatnya. Demokrasi selalu begitu, sangat indah di alam fantasi. Di alam nyata, demokrasi bisa sangat ganas. Demokrasi didefenisikan oleh pemilk uang. Kapitalis, korporat dan demagagok inilah yang memegang kendali dalam mendefenisikannya. Orang miskin? Demokrasi menakdirkan yang miskin sebagai orang selamanya diatur. Suka atau tidak. Dalam pandangan para pendefenisi teknis demokrasi, orang miskin harus minggir dari urusan mengatur. Orang miskin, dan rakyat kebanyakan tak punya kemampuan itu. Kemampuan itu ditakdirkan hanya untuk para korporatis. Bagaimana dengan bandit? Lho memang ada kapitalis yang mengharamkan metode bandit? Bandit itu kalau main di jalanan. Kalau main di gedung yang tingginya mendekati langit, bukan bandit. Dalam dunia politik dan bisnis, mereka memiliki lebel khusus, “pebisnis top dan sejenisnya”. Orang-orang DPR pasti punya argumen juga. Berbeda dengan harapan rakyat? DPR bisa balik menantang rakyat yang mana? Kalau mereka berbeda dengan rakyat, bukankah demokrasi memuliakan perbedaan? Bukankah perbedaan pendapat merupakan takdir demokrasi? Akal sehat? Bagaimana mendefenisikan itu? Itu kehebatan konyol dari demokrasi. Semua bisa direlatifkan. Supaya relatifitas setiap argumentasi memiliki pijakan filosofis, korporat dan demagok, para pengendali demokrasi ini, melalui ilmuan-ilmuannya menciptakan filsafat “etika situasional”. Esensi filsafat ini adalah semua hal bersifat relatif. Tidak ada kebenaran, apalagi kebenaran mutlak. Tidak ada kesalahan, apalagi kesalahan mutlak. Semua bisa benar, dan semua bisa salah. Jadi apa rasio saling menyalahkan? Begitulah cara korporat mempertahankan posisi sentral mereka ditengah demokrasi. Siapapun tahu pemerintah selalu lambat, kaku, dan formalistis. Selalu begitu dalam banyak aspek. Pemerintah selalu tertinggal dalam balapan dibandingkan dengan institusi-instusi, terutama ekonomi. Politisi? Mereka tak bisa diandalkan sebagai penantang tangguh, dan briliyan terhadap korporasi. Korporasi Sembunyikan Jejak Selamanya begitu. Tidak peduli demokrasi atau otoritarian. Sejauh pemimpin tak memiliki pengetahuan hebat, dan keberanian yang berbeda, maka selama itu negara berada dalam genggaman korporasi. Korporasilah , suka atau tidak, senang atau tidak, menjadi entitas daulat rakyat sesungguhnya. Proteksi yang dilembagakan di Perpu Nomor 1 Tahun 2020 misalnya, cukup terang dan jelas. BI dan OJK diberi kewenangan istimewa merespon masalah, yang entah bagaimana level dan skala kerumitannya, terhadap korporasi. Untuk alasan skala, terasa sulit menyamakan levelnya dengan UMKM. Proteksi itu akan segera bekerja, terlepas dari terarah atau tidak. Presiden telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional. PP ini merupakan pelaksanaan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 itu. Tetapi seperti biasanya, dapat dipastikan PP ini mendelegasi serangkaian kewenangan kepada BI dan OJK. Bahkan termasuk Menteri Keuangan dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Memang tak digunakan terminologi “korporasi dan konglomerat” dalam PP ini. Tapi tak usah terkecoh. Sebab dengan atau tanpa menggunakan terminologi itu, tetap saja yang diurus adalah korporasi keuangan. Itu karena sistem hukum Indonesia mengatur bank bisa beroperasi dalam lalulintas ekonomi dan keuangan bila berbadan hukum. Badan hukum bank tidak pernah lain selain Perseroan Terbatas, PT. Ya korporasi. Rasanya skema kerja proteksi berlangsung seperti biasanya. Bantuan likuiditas, baik untuk bank-bank yang bermasalah dengan likuiditasnya atau tidak. Hampir bisa dipastikan uang tidak diletakan di BI. Tentu, sekali lagi, menghindari sindrom BLBI 1998 dulu. OJK, dan KSSK tak mungkin menjadi last resort dalam soal ini. Mereka bukan bank. Uang ditaruh dimana? Pasti di bank. Tapi bank apa? Bank penyanggah. Siapa mereka secara hukum? Itu soalnya. Mengapa? Bank-bank pemerintah yang terhimpun dalam HIMBARA? Apa HIMBARA itu badan hukum? Siapa yang memberi keputusan satu bank diberi batuan likuiditas dan bank lain tidak? Apa kriteria, baik secara hukum maupun secara ekonomi? Siapa yang menyatakan satu bank bermasalah, dan masalahnya sistemik dan tidak sistemik? Apakah OJK saja yang memutus? Bank yang akan diberikan uang tidak ikut memutus? Bila diikutkan, soalnya bagaimana demarkasi tanggung jawab masing-masing institusi ini? Taruh Orang di Pemerintahan Memang susah menghadapi korporasi. Kesulitan ini, dalam sejarahnya pernah dialami oleh pemerintah Amerika Serikat. Theodeore Rosevelt, penantang paling bergairah terhadap korporasi, dalam kenyataannya terhuyung-huyung menghadapi korporasi. Politik “Trust Buster” yang menandai kehebatan pemerintahnya, dalam kenyataanya tidak bergigi. Memang bukan pada masanya The Federal Reserve Act lahir. Betul itu. Tetapi tahukah bahwa pembentukan The Federal Reserve Act itu dilakukan secara merangkak? Dimulai dengan National Currency Commission 1907, diketuai oleh Nelson Alridge, senator Repubik. Dari komisi inilah semua pemikiran untuk The Federal Reserve, yang tidak lain merupakan American Central Bank itu, diawali secara sistimatis. Anda tahu? Bank ini tidak ada ketentuannya dalam UUD Amerika. Theodeore, dikenal sebagai presiden yang mengawali secara sistimatis “kebijakan progresif.” Esensi kebijakan ini adalah pemerintah ikut masuk sejauh mungkin mengurus urusan rakyat. Dalam gelora progresifitasnya dengan kebijakan “Trust Buster” dia didatangi J.P. Morgan. Apa katanya? Kata Paul kepada Theodore, bila ada yang kami lakukan salah, kirimlah orang anda bertemu orang kami. Mereka akan menyelesaikan semuanya. Hebat kan korporasi? Ini demokrasi atau korporatokrasi? Ilmuan boleh bilang ini korporatokrasi. Bukan demokrasi. Tetapi apakah sebutan itu mengubah tampilan negara? Tidak. Sama sekali tidak. Memang Standar Oil, pencetus korporasi berkarakter “trust” memang dibubarkan oleh pemiliknya, David Rockeffeler. Tetapi karena tekanan sistimatis dari pemerintah. Bubarnya Standard Oil karena tekanan konstan dan sistimatis Ida Tarbel, Jurnalis Muckraker top masa itu. Serangan habis-habisan Ida Tarbel itulah yang membuat Rockeffeler terpojok. Dalam kenyataannya Standar Oil telah memiliki saudari-saudarinya. Exxon dan Socal misalnya. Mereka menggurita di seluruh aspek politik. Itu sebabnya Amerika harus bikin lagi Clayton Act 1914, melengkapi Sherman Anti Trus Act 1890. Melalui UU terakhir ini dilembagakan Federal Trade Commission. Tetapi seperti pendahulunya, UU terakhir hanya hebat dalam nama. Lumpuh dalam kenyataannya. Tahun 1949 pemerintahan Amerika dibawah Presiden Truman menggunakan UU Clayton Act 1914 menggempur sejumlah kartel minyak. Hasilnya? Kebijakan pemerintah berubah seiring naiknya Eishenhower. Jaksa Agung, James McGraney, yang menggebu-gebu pada awalnya, tidak berdaya. Korporasi kembali melenggang lagi seperti biasa. Korporasi, jadinya bukan sakadar state. Mereka dalam kenyataannya adalah super state. Mereka, dengan semua sumberdayanya, menempatkan orang-orangnya dalam pemerintahan. Bisakah, dalam kasus kita, dilakukan oleh UMKM? Mustahil, adalah jawaban yang tepat. Menempatkan orang-orangnya dalam pemerintah menjadi taktik canggih mereka. Mereka tak perlu menyuap atau mengeluarkan uang pelicin untuk membeli kebijakan. Arthur Slewyn Miller dalam Vilanova Law Review Volume 12 Nomor 1 tahun 1968, mengawali artikelnya dengan satu kutipan bagus. Miller mengutip pandangan Professor H.L. Nierburg, penulis buku In the Name of Science. Profesor ini menggambarkan, dalam kata-katanya on dust jacket as “chilling account of (the) growth of the scientific-military-industrial complex in America”. Diikuti pernyataan, dalam kata-katanya the statmen appears, “Instead of fighting “creeping socialism”. UMKM Hanya Bisa Meratap Industri swasta Amerika, katanya, dengan skala yang besar memasuki dan menjadi agen utama sistem ekonomi baru. Ketika itu mereka mengubah, merangcang ulang usaha swasta tradisional dan menciptakan korporasi negara yang bersifat fasis. Ini dilukiskan oleh Nieburg sebagai “contract state”. Bisakah Indonesia meminimalkan keganasan ini? Harus diakui, pembentuk UUD 1945, khususnya Bung Hatta mempertimbangkan skenario itu. Dilembagakan pada pasal 33 UUD 1945 tak cukup komprehensif. Pasal ini memang telah diubah.Walau bersifat general, tetapi terdapat sisi hebat di dalamnya. Sayangnya pembentuk UU, DPR dan Presiden, gagal mengerti dan memahami makna esensial pasal gagasan Bung Hatta ini. Kegagalan konstan dan sistimatis inilah, yang akan membawa negara ini memasuki apa yang diistilahkan oleh Arthur Selewyn Miller dengan Techno-corporate State. Negara dipandu oleh ilmu pengetahuan teknis, yang diprakarsai korporasi. Mereka tidak memerintah secara langsung. Tetapi siapapun yang memerintah, selalu diisi orang-orang mereka. Ini akan terus bergerak ke arah positif (aktif mengurus rakyat). Tetapi sifat dan urgensi urusan ini didekasikan untuk kepentingan akumulasi “kapital” mereka. Dapatkah ini dikendalikan? Setidaknya dijinakan? Terlihat tidak bisa. Sekelumit kenyataan yang dikemukakan pada awal artikel ini cukup dijadikan jawabannya. Disepelekannya semua pandangan tentang bahaya RUU Omnibus Cipta Kerja, sejauh ini, juga menandai spektrum itu. Tidak bagus mencurigai memang. Tetapi harus dipetakan kemungkinan cara kerja Wall Street dibalik usaha RUU yang sangat binasa ini. Bagaimana caranya? Menggerakan semua sumberdaya opponent RUU ini. Lalu memompa semua gagasan ke tengah masyarakat bahwa “RUU ini jimat” buat bangsa ini lincah selincah China dalam balapan mengejar keteringgalannya.” Pembaca FNN yang budiman, tahukah anda bahwa ketika pemerintahan China hendak memperbaiki keadaan upah buruhnya? Ditanggapi sinis, bahkan ditantang korporasi? Ben Chu, Jurnalis Harian Independen London memotretnya dengan apik. Pada tahun 2007, tulisnya, ketika pemerintahn China perkenalkan konsultasi mengenai peraturan baru yang mencakup sejumlah inisiatif untuk peningkatan hak-hak pekerja. Apa yang terjadi? Chu menulis selanjutnya, “korporasi keberatan. Keberatan itu disuarakan oleh perusahaan dan investor Barat. Mereka dipimpin oleh Kamar Dagang AS di China. Mereka berpendapat “kami yakin bahwa hal tersebut (peraturan baru) bisa berdampak buruk bagi lingkungan investasi China. Mereka bahkan memperingatkan dalam bentuk ancaman terselubung, bahwa peraturan tersebut bisa “mengurangi kesempatan kerja RRC.” Tidak saja di alam demokrasi, di alam komunis pun mereka sama. Begitulah mereka. Politisi Indoneaia bisa mengendalikan? Sulit, dan mustahil. Mereka terlalu jago dalam lobi. Juga terlalu cerdas merancang isu dan mengendalikan ruang politik. UMKM, jelas bukan tandingan mereka. Dan rakyat hanya bisa meratap nasib hak konstitusinya. Di lintasan inilah Indonesia berlari, kini dan akan datang. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Tana Mama di Tengah Penetrasi Kapital dan Hegemoni Kuasa di NTT
(Sebuah Catatan Perspectif Ekologis, Antitesa Teknologis) Oleh: Natalius Pigai Jakarta, FNN - Kehadiran Perusahaan di NTT telah menimbulkan berbagai soal. Kita juga mendengar riak-riak di rakyat kecil baik di Komodo, Manggarai Barat, Tengah dan Timur. Kehadiran Perusahan Listrik di Daratei di Ngada serta Pulau Timor dan berbagai kegiatan Proyek termasuk pembangunan Bendungan serta Perkebunan, Peternakan. Mendengarnya kisah derita, rintihan perlawanan orang-orang tidak berdaya akibat hadirnya usaha-usaha berskala besar di Nusa Tenggara Timur. Saya menyimak protes warga dengan berbagai reaksi spontanitas telah mencuri perhatian, dan sudah saatnya kita mesti menyelami nurani rakyat kecil. Orang Timur dari jaman negara ini, tidak pernah minta-minta dan tidak pernah mengeluh dengan keadaan yang mereka hadapi walau mereka miskin, makanan susah, kurang sehat, pendidikan rendah, rumah yg tidak layak. Rakyat tidak pernah mengeluh, minta-minta atau mengemis ke negara. Mereka makan ubi, singkong katela tetap saja mereka bahagia. Beda di Jawa kalau tidak ada beras, gula, daging, garam harus diimpor. pemerintah kerja keras memenuhi kebutuhan rakyatnya. Kalau wilayah Timur jalan yang rusak itu biasa, bahkan jalan kaki, naik kuda berkilo-kilo dan bahkan berhari-hari. Rakyat tidak pernah mengeluh dan tetap merasa nyawan dan bahagia. Namun kalau tanah sepetak yang merupakan warisan nenek moyang diambil untuk dibuat tambang atau pariwisata, bisnis hanya untuk memuaskan syahwat para pengusaha dan penguasa jelas rakyat jelata yang sudah miskin papa dan tidak berdaya pun tdk akan terima. mungkin nyawa pun mereka pertaruhkan untuk pertahankan hak tanah tempat kehidupan mereka. Dalam kaitan tersebut di ataskehadiran tambang mangan atau penambangan di NTT harus memperhatikan 9 aspek supaya tidak merugihkan Rakyat: Ijin atau perijinan harus transparan dan partisipasif jika ijin tanpa diketahui warga dan mendapat persetujuan warga pemilik tambang maka tentu harus diprotes.Perijinan jangan lupa melibatkan komunitas sosial atau tatanan adat dalam hal ini gendang one lingko pea. Perlu persatukan Tua Teno. Dalam hal ini harus perhatikan jangan sampai pemerintah membentuk gendang one dan lingko pea atau justru tua teno palsu, seakan akan hanya menjustifikasi persetujuan rakyat. Ini modus yang selalu ada. Dulu di Sirise pernah terjadi, semoga saja hari ini tidak ada manipulasi tatanan adat.Pengembangan pertambangan perlu memperhatikan soal legalitas dan aspek formal. Dalam hal ini menunjukkan lahan tersebut bersih dari perselisihan hak atas tanah, nilai kultur dan budaya (cear and clean).Perlunya keterlibatan warga sebagai bagian dari pemilk, tidak sekedar disebut sebagai warga berdampak tetapi juga sebagai pekerja-pekerja untuk membantun sense of belonging.Kehadiran perusahan perlu memberi nilai lebih dan keuntungan bagi masyarakat lokal pemilik tanah. Ingat mereka adalah pemilik ulayat atas tanah, warisan nenek moyang yang memberi kontribusi berubah tanah dan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks ini rakyat mesti disejajarkan dengan pemilik dana dan teknologi berada dihorison yang sama (egual).Pemerintah atau negara harus dapat keuntungan sebagai pemegang atau penguasa atas tanah. Perusahan hadir di suatu wilayah tanpa memberi kontribusi bagi daerah atau nilai kontribusinya tidak sesuai dengan keuntungan atau kerusakan. Kontribusi dari puluhan Perusahan Mangan di Manggarai tahun 2013 hanya 112 juta tumpah. Pembangun sejatinya juga adanya penetrasi kapital dalam hal ini korporasi sebagai mitra pembangunan.Karyawan mesti menjadi mitra yang simbiose in-terdependent, saling menguntungkan dimana pengusaha (owner) sebagai pencipta lapangan kerja (job creator) dan pekerja memberi produktivitas dan melipatgandakan keuntungan bagi pengusaha. Karena itu karyawan mesti sejahtera dan hak-haknya terpenuhi.Pengusaha harus mendapat keuntungan jika tidak dapat untung maka untuk apa perusahan hadir.Kelestarian lingkungan harus dijaga. Lingkungan penting bagi kehidupan makhluk hidup, kehadiran Perusahan tidak boleh merusak lingkungan. Perusahan harus memastikan ekosistem tidak dirusak, biota tetap terjaga. Usaha diatas ekologi yang baik akan bermanfat bagi kelangsungan hidup. Pembangunan usaha tidak berperspektif teknologis tetapi juga ekologis dan antropologis. Kita dapat membayangkan ketika “burung pipit yang kecil di atas pohon, tiba-tiba terjadi kebakaran, burung pipit tersebut terbang jauh mencari tempat yang aman dari kebakaran, namun karena kebakarannya meluas ribuan hektar maka burung pipit yang terbang bermil-mil tersebut juga mati karena tidak ada pohon yang hidup. Demikian cara memandang kehadiran sebuah Perusahan, bagaimana menerapkan nilai-nilai humanitarianisme. Jangan sampai rakyat korban dan miskin secara struktural akibat kelalaian pemerintah dan korban teknologis karena kejahatan usaha (bisnis) *) Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM 2012-2017, Menangani Kasus Kasus Besar di NTT, Perang Tanding di Adonara, 28 Tambang Mangan di Manggarai, Bendungan Kolhua di Kupang).
Sembilan Tokoh Oposisi dan Koalisi Kebangsaan
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (16/05) Prof. Dr. Din Syamsudin, salah satu dari sembilan orang yang didaulat sebagai tokoh oposisi menyerukan untuk dibentuk koalisi. Koalisi ini terdiri dari orang-orang bijak. Tidak sengsarakan rakyat Dua tugas koalisi ini. Pertama, sebagai gerakan moral. Mengingatkan dan melakukan kritik terhadap setiap kebijakan yang merugikan rakyat dan berpotensi menghancurkan masa depan bangsa. Kedua, untuk melakukan tekanan politik kepada tembok kekuasaan. Belum diketahui apa rumusan "tekanan politik" yang dimaksudkan dan dirancang oleh Din Syamsudin ini. Apakah dalam bentuk "social movement" yaitu demonstrasi? Din belum mengungkapkan secara transparan mengenai “tekanan politik itu”. Tokoh oposisi ini mengaku tidak hanya sebatas kata-kata. Tapi berbuat nyata. Mantan ketua MUI ini telah menggalang para tokoh untuk menyatakan keprihatinan atas kasus-kasus Mega Korupsi di yang mewabah di negeri ini. Upaya Din Syamsudin menggalang para tokoh merupakan bentuk nyata dari langkahnya melakukan pressure untuk menjebol tembok kekuasaan. Apakah ini yang disebut dengan koalisi kebangsaan? Berbagai pihak telah mendesak kepada sembilan tokoh oposisi untuk bersatu dan melakukan langkah-langkah yang lebih strategis dan taktis. Jika sembilan tokoh oposisi bersatu dan membuat pernyataan bersama, maka dampak moralnya akan sangat dahsyat. Selain sembilan tokoh oposisi ini, ada banyak tokoh-tokoh kaliber yang juga punya satu keprihatinan yang sama. Mereka juga keras bersuara, dan selama ini konsisten menyuarakan nurani rakyat. Ada Natalius Pigai, tokoh Papua yang tidak pernah berhenti mengkritis dan menyoroti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering terjadi setahun terakhir ini. Imam Prasojo, sosiolog Universitas Indonesia (UI) yang merasa miris dengan dampak sosial yang diakibatkan oleh pola komunikasi elit dan cara pengelola negara. Gatot Nurmantio, mantan Panglima TNI yang dicopot sebelum masa pensiun. Jenderal bintang empat ini selalu mengingatkan tentang bahaya kebangkitan PKI dan antek-anteknya. Juga tentang penyelundupan ribuan pucuk senjata dari luar negeri. Ada juga Anwar Abbas. Sekjen MUI ini nggak bisa tenang menyaksikan arus TKA China yang terus memasuki Indonesia. Padahal Gubernur, Bupati dan rakyat di Morowali Sulawesi Tengah, Konawe Sulawesi Tenggara dan Halamhera Tengah Maluku Utara menolaknya. Apalagi di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Gus Aam, cucu K. H. Hasbullah, pendiri NU ini juga aktif menyuarakan hak-hak umat yang selama ini merasa terpasung. Sekitar 100 tokoh Jawa Timur telah membuat petisi berisi tentang keprihatinan banyak kebijakan yang dibuat pemerintah. Mereka adalah para guru besar, akademisi dan aktifis. Para tokoh Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten kapan menyusul? Masih banyak tokoh-tokoh lain yang sementara ini bersuara sendiri-sendiri. Jika mereka bersatu dan menyatakan keprihatinan bersama, maka dampaknya akan jauh lebih efektif. Istana tak hanya mendengar, tapi akan menghitung kekuatan sosial ini. Jelang lebaran, suasana sepertinya sedikit agak menegang. Terutama setelah Perppu Corona diketok jadi undang-undang. Iuran BPJS dinaikkan. Relaksasi PSBB diterapkan, dan diajukannya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang mengabaikan TAP MPRS/25/1966 tentang haramnya PKI di Indonesia. Perlu diketahui, koalisi kebangsaan, jika betul akan dibentuk, mesti dikelola sebagai gerakan moral. Bukan gerakan politik. Mungkinkah akan berubah jadi gerakan politik? Tak ada yang tahu jawabannya. Tapi, hendaknya tidak memberi peluang terhadap penumpang gelap untuk memanfaatkan gerakan moral ini. Awas jangan ada penumpang gelap. Sebab, gerakan ini rentan dimanfaatkan oleh elit politik, atau parpol untuk melakukan manuver-manuver gerakan tanpa bola. Yang boleh jadi akan kontra-produktif dengan gerakan moral itu sendiri. Dai lagi... Dia lagi... Anda tahu, jika empat parpol besar ambil kesempatan dan sedikit bermanuver, maka sejarah bangsa ini bisa berubah. Untuk itu, waspadalah waspadalah waspadalah Empat parpol besar itu adalah... Ah, anda pasti sudah tahulah. Gagasan koalisi kebangsaan itu baik selama dijadikan sebagai gerakan moral. Apalagi jika istana mau menggandeng para tokoh oposisi ini untuk bersinergi dan bersama-bersama mengevaluasi dan mendesign ulang skema masa depan bangsa ini, maka akan jauh lebih bijak dan efektif. Jika tidak? Sejarah memiliki hukumnya sendiri. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
DPR Tak Bisa Diharapkan, Berarti Rakyat Langsung Ambil Alih?
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kecurangan pilpres berjalan sepurna, DPR diam. KPK dimandulkan, DPR malah setuju. Iuran BPJS dinaikkan, DPR diam juga. Malahan MA yang membatalkan. Sekarang dinaikkan lagi melawan pembatalan MA, DPR lagi-lagi tak perduli. Perppu Corona yang membuka peluang korupsi, disahkan oleh DPR. Hanya PKS yang menolak. Kemudian, UU Minerba yang diduga hanya akan menguntungkan para pengusaha tambang besar, disahkan oleh DPR. Tidak lagi istilah isi perut bumi untuk kemakmuran rakyat. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (OLCLK) yang, menurut para pakar hukum dan pemerhati bisnis, hanya akan menguntungkan para pemodal tampaknya juga akan disetujui oleh DPR. OLCLK ditentang oleh serikat-serikat pekerja. Semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, khususnya bumi NKRI, paham bahwa DPR itu dibentuk dengan tujuan untuk mewakili rakyat dalam mengawasi pemerintahan. DPR seharusnya berfungsi membela kepentingan rakyat. Seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat. Namanya pun Dewan Perwakilan Rakyat. Nah, mengapa sekarang DPR malah menjadi stempel penguasa? Mengapa semua yang diinginkan Presiden dan para menterinya langsung diiyakan oleh DPR? Apa gerangan yang membuat para anggota Dewan bisa didikte oleh pemerintah? Banyak sekali pertanyaan yang menunggu. Tetapi, tanpa tulisan ini pun, sebetulnya rakyat sudah hilang kepercayaan terhadap DPR. Bahayanya, kalau kepercayaan sebagai wakil untuk mengawasi jalannya pemerintahan telah sirna, dikhawatirkan rakyat akan mencari cara lain untuk menjalankan fungsi itu. Fungsi pengawasan langsung. Kalau rakyat langsung turun tangan, pasti semua pihak akan repot. Mislanya, di mana mereka akan bersidang? Terpaksa di jalanan, bukan? Karena mereka tak punya gedung. Dan tak cukup juga untuk ditampung di gedung. Maklum, ‘parlemen jalanan’. Para ‘anggota’-nya bisa 10 ribu, 100 ribu, atau bahkan sejuta orang. Kalau mereka bersidang di jalanan, berarti suasananya bisa riuh. Tidak ada pimpinan yang definitf. Tidak ada mikrofon yang tertata rapi. Semua orang bisa melakukan interupsi, dsb. Yang gawatnya, parlemen jalanan itu semuanya ingin cepat-cepat. Cepat diputuskan, cepat dieksekusi. Kalau ada rintangan cepat disingkirkan. Dengan cara jalanan juga. Sebab, mereka mungkin kena terik panas. Tak dapat makan dan minum. Berkeringat-keringat. Jalan kaki ke mana-mana. Dan lain-lain. Jadi, mereka ingin semuanya kontan. Karena itu, DPR sebaiknya tidak ‘mengembalikan’ fungsi pengawasan itu kepada rakyat. Bisa sangat memalukan semua pihak. Terutama Pak Presiden. Kalimat aktifnya: memalukan bagi Pak Presiden. Kalimat pasifnya: Presiden dipermalukan. Aktif atau pasif, sama-sama tak bagus. Pastilah Pak Presiden tidak mau dipermalukan. Iya ‘kan? Tapi, susah juga. DPR sendiri tak serius. Terkesan mempermainkan mandat rakyat. Mungkin mereka lebih nyaman membiarkan para penguasa sekehendak hati. Mungkin saja DPR pun sama seperti kita-kita ini. Tak berdaya mau melawan oligarki. Cuma, bedanya: kita tak berdaya karena memang tak punya otoritas. Sedang DPR tak berdaya karena otoritasnya hilang. Tercecer sewaktu jumpa dengan para oligarki itu.[] 15 Mei 2020(Penulis wartawan senior)
Hancur Indonesia, Bila MK Terima Perpu Corona
By Dr. Margarito Kamis Jangan lupa orang yang berlaku tidak adil, berarti dia tidak takwa. Selalu awaslah terhadap hal-hal yang perlu bagi pengurusan kerajaan. Setiap saat, tetaplah berpikir seperti mukmin yang sejati dalam menyelesaikan masalah-masalah yang anda hadapi, dengan keluhuran yang sempurna, dan sederhana serta perasaan kasih sayang dan keadilan. (Imam Al-Ghazali). Jakarta FNN – Rabu (14/03). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020. Judul Perpu ini begitu panjang. Susah untuk mengingat dan menuliskannya, sehingga saya hanya menyebutnya “Perpu Corona”. PKS hanya sendirian yang tidak setuju Perppu Corona menjadi undang-undang. Selebihnya itu setuju. Menyebut mereka yang menyetujui Perpu ini, tak mempertimbangkan bahaya besar yang dibawa oleh Perppu Corona. Boleh jadi akan diolok-olok. Menyebut persetujuan mereka sebagai kesediaan termurah mengebiri kewenangan mereka sendiri. Sekaligus memanipulasi kedaulatan rakyat. Boleh jadi akan ditandai sebagai orang-orang berakal pendek. Toh pengadilan, khususnya Mahkhmah Konstitusi (MK) masih ada. Pengadilan dapat mengesampingkan sebagian, bahkan seluruh pekerjaan bersama DPR dan Presiden. Bila anda tidak puas, gunakan hak konstitusi anda. Pergilah ke Mahkamah Konstitusi. Silahkan bertarunglah di MK sana. Sampai di sini terlihat sangat sederhana, dan sepintas selalu masuk akal. Terlalu banyak yang terkecoh dengan hukum. Akibatnya, hukum diterima begitu saja sebagai hal hebat dalam berbangsa dan bernegara. Hukum mewakili satu peradaban lain, yang berbeda dengan peradaban bar-barian. Gambaran ini jelas bersifat reduksionis. Masyarakat bar-barian sekalipun, juga hidup dan diatur dengan hukum. Hukum, memang tak selalu menipu layaknya demokrasi. Sekali lagi, tidak. Hukum justru menjadi permainan demokrasi paling canggih. Demokrasilah, yang menjadi induk kredo hukum harus diagungkan. Hukum supreme atau supremacy of law atau constitution as a law of the land. Hebatkah itu? Ya hebat. Karena kehebatannya itu, maka mafia kecil-kecilan, kartelis berskala korporasi, dengan otokrat pemula yang bodoh serta demagok tersamar, juga menyukainya. Itu soalnya. Dan ini yang soal besar. Bukankah hukum-hukum itu dibentuk oleh politisi? Hukum tidak pernah lebih dari endapan-endapan kepentingan yang saling menyanggah. Huruf-huruf hukum, anda tahu, tidak pernah lain selain kepentingan yang dikompromikan, diintegrasikan dan diadaptasikan. State of nature dari hukum negara dimanapun itu, tidak pernah lain selain kepentingan. Agenda Korporasi Busuk Merampok Jelas pada semua spektrumnya, hukum selalu mudah dimanipulasi. Dibelokan kearah apapun, sejauh kepentingan terkuat menjadi penyangganya. Itu sebabnya membicarakan hukum, sepenting apapun itu, tak pernah menjadi lebih penting dari bicara bagaimana hukum itu dirancang dan dibicarakan di ruang tersembunyi. Demokrasi selalu muncul sebagai sarana legitimasi paling tangguh, dan tergantikan. Demokrasi memoles semua mimpi otokrat, demagok, korporat oligarkis dengan polesan khasnya. Polesan itu adalah hukum merupakan endapan, cerminan dan pantulan kehendak rakyat. Begitulah kehebatan tipuan dari demokrasi. Meloloskan Perppu Corona, sejauh ini ditunjuk sebagai cara paling jitu bangsa ini mendemonstrasikan semangat kekelurgaan dan gotong-royong untuk menyerang seluruh akibat buruk Corona. Argumen sederhana khas politisi pemula itu, melambung tinggi di jagat politik mutakhir. Hanya itu saja. Tak lebih. Heroik dan patriotik kedengarannya. Heroisme dan patriotism itu mengunci semua hasrat, andai ada, dan kebutuhan mengenal bahaya Perppu Corona ini. Heroisme buta itu menutup pencarian sistimatik terhadap, misalnya cukupkah keadaan sekarang menjadi fundasi perluasan kewenangan presiden? Beralasankah keadaan sekarang, untuk kesekian kalinya saya ungkapkan, perluasan kewenangan BI, dan OJK? Beralasankah untuk terus-terus menjadikan krisis keuangan sebagai monster? Padahal krisis terlihat memiliki hukum khasnya. Datang dalam siklus yang acap dapat dikalkulasi sebelumnya. Dua kali krisis keuangan, dua kali pula bangsa ini berurusan dengan hukum. Bukan dalam arti membuat hukum. Tetapi setelah membuat hukum, penanganan terhadap krisis menghasilkan masalah hukum. Politisi memang sulit diminta belajar. Mengambil pelajaran dari sejarah krisis yang sebelumya. Sayang, politisi sedang tak tergoda dengannya. Pengalaman itu masih dianggap tak berguna oleh Senayan untuk diletakan di atas meja kalkulasi mereka. Tragis memang. Kenyataan yang begitu telanjang, tak mampu menggoda mereka menjadikannya guru yang mencerahkan. Pahit, politisi belum mau menjadikan diri menjadi yang mencerahkan. Mengenal masa lalu bangsa yang hitam. Yang pernah melilit bangsa yang besar ini. Masih begitu gampang untuk disepelekan oleh politisi. Padahal China yang hari-hari ini begitu menakutkan bagi Amerika, mencapai level itu, karena para politisinya mengenal masa lalu. Mereka punya yang hasrat besar mengubah dan menjadikan China yang menakutkan, bahkan kelak memimpin dunia. Pembaca FNN yang budiman, omong-kosong paling canggih saa ini adalah menyatakan korporasi-korporasi Indonesia babak belur. Bahkan akan gulung tikar sekarang dan setelah corona pergi. Entah kapan? Dan pembelaan terhadap korporasi yang paling membodohi rakyat adalah memberi kewenangan BI dan OJK untuk “mengistimewakan” korporasi, dan menyepelekan UMKM. Ini pembodohan sangat murah, menjijikan dan tidak bermutu. Mahkamah Konstitusi (MK), mungkin tak punya pengetahuan dan alat untuk memetakan dimensi kartel, oligarkis dan otokrat, dibalik Perpu Corona itu, bila kelak mereka ditantang melalui Judicial Review (JR). Mungkin. Tetapi andai MK tertatih-tatih pada wilayah ini, mungkinkah MK tak tertatih-tatih juga pada isu, sebut saja, “beginikah cara mengidentifikasi keadaan genting dan memaksa” itu? Andai, entah bagaimana formulanya, MK menghindar dari semua soal politik di atas. Mungkinkah MK menempuh jalan berputar pada secuil rumus dalam mengidentifikasi legalitas kemunculan keadaan kegentingan yang memaksa? Mungkin saja. Dan itulah jalan yang paling aman. Akankah MK di jalan itu mengambil dari gudang khasanahnya; (1) ketiadaan hukum, dan (2) hukum yang tersedia tidak memadai, serta (3) ada kebutuhan yang terasa mendesak untuk menangani keadaan, sebagai dasar legitimasi konstitusi adanya kegentingan yang memaksa? Itu pekerjaan kecil yang standar. MK tidak boleh terlalu naif dengan tak melampaui demarkasi kecil itu. MK harus memasuki wilayah yang lebih riskan. MK harus punya tesis, setidaknya mencurigai berdasarkan tuntunan sejarah, bahwa “krisis adalah cara kerja dari korporasi dan para oligarskis tamak dan busuk, yang secara samar-samar berusaha memanipulasi keadaan untuk memperbesar kekuasaan Presiden yang melebihi konstitusi. MK Yang Dibanggakan Sejarah Asyari Usman, jurnalis senior FNN, telah dengan sangat tepat mengidentifikasi “merusak negara” bisa dilakukan dengan menggunakan konstitusi. Asyari memang bukan jurnalis hukum dan politik. Tetapi tetap saja seorang jurnalis, yang sangat kredibel. Asyari mantan jurnalis BBC London, media massa nomor satu di Inggris. Pikirannya benar, sekalipun ditantang dengan argumen demokrasi. Pikiran Asyari Usman itu, hemat saya memaksa MK, tentu agar bisa terlihat sebagai orang-orang yang gagah, dan berwibawa. MK harus berani untuk tak hanya berputar-putar pada konsep tradisional semata. Konsep-konsep itu, misalnya “presidential discretion” atau “presidential power” atau “implied power” atau “emergency power” atau “executive privilege”. MK, mau tak mau harus menenggelamkan kepalanya ke dalam musabab konsep itu. Sebab di dalam musabab itulah dimensi busuknya dapat dikuak. MK dalam konteks impian itu, harus menyusuri dengan cermat, dimensi manipulatif khas politisi utilitarian, dan demagog terselubung. Kerena merekalah juga yang menggelindingkan konsep “presidential prerogative, dan “executive prerogative” mutakhir. Masalahnya, ini pekerjaan tidak mudah, kerna kelewat berat. Seberat itu sekalipun, MK patut menghindar sejauh mungkin dari hanya mengemukakan konsep-konsep di atas sebisa dan seadanya. Sebisa mungkin, MK tidak mengetengahkan konsep-konsep di atas sekadar karena konsep itu telah begitu mewarnai khasanah pikiran tata negara Indonesia. Mari mendambakannya. Percayakan sepenuhnya kepada Yang Mulia Hakim MK. Dengan perspektif itu, mereka pasti memiliki hasrat untuk dibanggakan oleh sejarah bangsa ini. Dibanggakan oleh anak-cucunya kelak. Mereka pasti ingin dikenang sebagaimana, mungkin diantara mereka, mengenang John Marshal, hakim pertama dalam sejarah Amerika yang menemukan Judicial Review. Memikirkan semuanya, dalam keyakinan saya, tidak serumit para kimiawan memikirkan formulasi kimia untuk obat penyembuh penyakit corona, apalagi penyakit berat. Tidak. Menemukan pikiran baru, yang berbeda dengan pikiran tiga abad lalu jelas tak serumit ahli pesawat merancang sayap pesawat. Perppu Yang Cocok di Abad 17 Tak taklid buta pada konsep constitutional dictathorship-nya Clinton Rositer, ilmuan politik ini, harus dipertimbangkan. Tak terjebak pada tesis ini, akan terlihat dalam sekejap sebagai sikap yang oke. Tetapi menjadikan pikiranh itu sebagai sampah. Bukan pilihan masuk akal. Soalnya, dimana MK harus mengambil posisi? Takutlah dan kenallah MK. Perpu Corona ini cukup terang menunjukan bahwa, hanya dengan satu pukulan, kekuasaan budgenting DPR yang disediakan oleh para pendiri bangsa rontok seketika. Sialnya, DPR menerima dengan lapang dada. Entah karena terhipnotis dengan semangat royong-royong salah kaprah, atau hal lain? Entah apa itu. Kecerdasan teruntun ketakutan akan diadili di hari penghitungan akhir yang pasti. Kecerdasan itui jelas harus dipunyai hakim-hakim MK. Itu dirindukan, karena tindakan pemerintahan berdasarkan Perpu Corona ini tak bisa dicek dan dikoreksi di pengadilan. Juga tidak bisa diawasi di DPR. MK, harus bilang bahwa gagasan Perpu Corona ini hanya cocok digunakan pada pertengahan abad ke-17 dulu. Membebek tidak bakal dikenal dalam semua tradisi besar sebagai sikap baik. Itu sebabnya MK tak usah membebek pada Sir Edward Coke. Tetapi harus diakui Coke adalah pemikir tata negara paling gemilang di Inggris pertengahan abad ke-17. Dialah penantang paling gigih terhadap klaim raja absolut, Charles I pada 1648 tentang “royal prerogative”. MK tak usah menelan mentah-mentah konsep “implied power”. Ini konsep Amerika, yang hanya untuk presiden mereka. Kewenangan dalam konsep ini tidak diatur dalam konstitusi. Ini konsep hasil penalaran Alexander Hamilton, Menteri Keuangan Pertama dalam Kabinet Presidensial George Washington. Konsep “implied power” ini disodorkan dalam rangka menyingkirkan pikiran oposisi Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton. Sebab keduanya menolak gagasan pembentukan First American Bank, yang akan didahului dengan pembentukan UU-nya. Begitu asal sebab lahirnya konsep itu. Konsep itu akhirnya memang lolos. Lolos bukan karena rasionalitasnya. Tetapi lebih karena Hamilton punya kedekatan spesial dengan George Washington. Kedekatan ini yang tidak dimiliki Thomas Jefferson dan Madison. MK Bukan Kaki Tangan Presiden Hukum tata negara, suka atau tidak, berasal dari pikiran liar politisi. Konsep “executive privilege” misalnya, muncul dalam kasus Watergate. “Executive privilege” ini adalah pikiran liar kelompok Richard Nixon, yang terus tersudut oleh skandal Watergate. Amerika diuntungkan oleh pengadilan Washington DC, yang memerintahkan Gedung Putih segera menyerahkan rekaman asli ke parlemen. Bila pengadilan Washington DC membebek, dan menjadi kaki tangan Gedung Putih, maka konsep liar “executive privilege” diformalkan sebagai hukum tata negara. Executive privilege, executive prerogative, executive discretion, semuanya merupakan pikiran liar. Semua punya sifat dictatorial. Pikiran itu menyembur diluar huruf-huruf UUD. Tak lebih. Pikiran itu memiliki bobot hukum, karena disahkan oleh pengadilan, dan politisi. Itu saja. Musabab dibalik semua konsep-konsep di atas, andai dapat dieksplor oleh MK, dan menjadikannya senjata baru dalam khasanah pikiran tata Negara Indonesia, maka MK menemukan jalan manis. MK bukan hanya as a guard of the constitution, tetapi guard of the people sovereignty. MK juga akan dikenang dalam sekeping sejarah tata negara sebagai bukan special board of Indonesian presidential. Buatlah pikiran baru, dengan argumen baru, khas Indonesia. Berilah warna Pancasila dalam semua dimensinya. Terangilah bangsa ini, dengan menemukan cara kerja demokrasi liberal UU ini. Pastikan liberalisme punya kaki tangan canggih memanipulasi hukum. Liberalisme selalu menadi induk korporasi, oligarks, otokrat, dan demagok memimpin menipu rakyat dan merampok uang negara. Hakim-hakim MK, semoga tak membebek. Tidak juga merendahkan diri dan martabat kepada presiden dan DPR. Tetapi bila pasal 27 dan 28 Perpu yang sudah disetujui DPR itu, juga diterima oleh MK, maka kepingan sejarah Indonesia punya cerita lain. Pasal 27 dan 28 Perpu Corona itu adalah cermin “otokrat, korporat oligarkis, demagok, dan democrat utilitarian”, suka atau tidak. Menyetujuinya sama dengan menulis sekeping sejarah negara Indonesia bahwa MK bisa menjadi kaki tangan Presiden dan DPR. Semoga tak secuilpun dalam kepingan sejarah republik ini, mencatat MK bisa berhianat pada bangsa dan negara dengan cara yang canggih. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Tidak Sah Pengesahan Perppu No. 1/2020 Menjadi Undang-Undang
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - DPR RI pada tanggal 12 Mei 2020, bertempat di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara DPR RI telah mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang. Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, dan didampingi Wakil Ketua Azis Syamsuddin, Rahmat Gobel, dan Sufmi Dasco Ahmad. Rapat dihadiri secara fisik dalam ruangan oleh 41 anggota DPR. Sedangkan 255 anggota lagi "hadir" secara virtual. Artinya, dari jumlah anggota DPR 575, yang hadir 296 orang, dan sisanya 279 orang lagi tidak hadir. Memprihatinkan sebenarnya. "Dengan demikian kuorum telah tercapai", kata Puan. Sesuai dengan berita media, bahwa awalnya Ketua Banggar DPR Said Abdullah memaparkan pandangan masing masing Fraksi. Hanya Fraksi PKS yang menyatakan tidak setuju Perppu Corona disahkan menjadi Undang Undang. Lalu Puan menanyakan , apakah RUU tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease atau Covid 19 dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan, dapat disetujui menjadi Undang Undang ? Tanya Puan. "Tadi sudah disampaikan dalam pandangan mini fraksi, bahwa ada delapan fraksi telah menyetujui, dan satu fraksi menolak. Apakah perlu saya ulangi pandangan mini fraksi menjadi suatu keputusan? Semua fraksi setuju, ya ? imbuhnya yang kemudian dijawab "setuju" oleh anggota DPR yang hadir. Bila memang kenyataannya seperti yang terberitakan di atas, maka sangat nyata-nyata Keputusan Pengesahan Perppu No 1 Tahun 2020 adalah “tidak sah” secara hukum. Ada tiga hal yang mendasari, keputusan yang dibuat oleh Puan tersebut menjadi “tidak sah” Pertama, bagaimana mungkin , ada fraksi yang menolak bisa dinyatakan oleh Puan menjadi “semua fraksi setuju"? Sementara kata “setuju” tersebut hanya dinyatakan dan diungkapkan oleh 41 anggota DPR yang hadir di ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara? Kedua, dengan adanya satu fraksi yang menolak, fraksi PKS, maka putusan tidak boleh bersifat aklamasi, dengan mendengar suara "setuju" saja. Tetapi harus dilakukan dengan penghitungan suara (voting). Apapun hasil yang didapat dari voting nanti. Ketiga, persetujuan pengesahan Perppu tersebut hanya disetujui oleh 41 anggota DPR yang hadir di ruangan rapat pula. Sedangkan 255 anggota yang "hadir" secara virtual, tidak memberikan kalimat persetujuan. Mereka tidak bisa berpendapat. Peluang Pejabat Masuk Perjara Adakah posisinya "diunmute" oleh host ? Sebab mereka itu "hadir". Semestinya mereka itu ikut berpendapat dan bersuara. Jika benar "diunmute", maka ini memperkuat bobot atas ketidakabsahan keputusan yang dibuat oleh Puan sebagai pimpinan Rapat Paripurna. Ada dua sebab yang mendasari. Pertama, meskipun fraksi setuju, tetapi dalam kapasitas sebagai anggota dewan di ruang Paripurna, bisa saja tidak setuju. Sidang Paripurna itu tidak bisa bersifat fraksional yang mereduksi hak anggota dewan. Persetujuan adalah hak anggota dewan secara perorangan. Kedua, meskipun seseorang itu menyatakan setuju, bukan berarti anggota dewan itu telah terhalang haknya untuk bisa membuat catatan "minderheidsnota" yang berguna baginya sebagai bentuk pertanggungjawaban dari sikap yang diambilnya. Contoh “minderheidsnota” ini telah dilakukan Pak Kwik Kian Gie ketika menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas di eranya Presiden Megawati Soekarnoputri. Saat rapat kabinet bidang ekonomi yang dipimpin Megawati menyertujui pemberian pengampuan kepada para obligor BLBI dalam bentuk Release and Discharge (R and D), Kwik Kian Gie menolaknya. Ketika itu Kwik Kian Gie lalu memberikan "minderheidsnota". Dengan demikian, maka Keputusan yang dibuat Puan sebagai pimpinan Rapat Paripurna menjadi "tidak sah". Tidak dapat dijadikan dasar hukum atas kebijakan yang diambil pemerintah. Semua produk hukum ikutan di bawahnya akan turut menjadi cacat hukum. Batal dengan sendirinya. Bila terjadi pergantian kekuasaan kelak, maka berpotensi menjadi masalah nantinya. Terbuka celah pelanggaran hukum yang lebar. Parapejabat Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Komersial yang hari ini membuat kebijakan dengan sandaran hukum pada Perppu No. 1/2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang, hari tunaya bisa berakhir di penjara. Bahkan bisa saja meninggal dunia masih di dalam penjara. Itu tragis jadinya. Model kehadiran virtual yang dipakai DPR, meski menjadi hal biasa dalam persidangan, akan tetapi untuk keputusan penting seperti pengesahan Perppu menjadi undang-undang seperti ini ,semestinya dilaksanakan dengan secermat. Sehingga tidak ada hak-hak anggota dewan yang terhalangi. Selian itu, kehadiran model virtual belom memiliki dasar hukum dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Apalagi untuk sidang atau rapat yang sangat luar biasa pentingnya, seperti Rapat Paripurna yang agendanya pengesahan Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Mengesahkan mulai berlakunya produk hukum positif negara. Pada Rapat Peripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani 12 Mei lalu, ada empat keputusan penting terkait produk hukum positif yang dibuat dengan waktu yang sangat “mepet”. Terkesan DPR seperti "kejar tayang". Semestinya ada prioritas dalam pengambilan keputusan atau pengesahan. DPR dinilai tidak menghargai aspirasi rakyat tentang begitu pedulinya rakyat terhadap Perppu yang "sarat kepentingan" Pemerintah ini. Betapa "enteng"nya Dewan mengetuk palu atas suatu undang-undang, yang akibat ikutannya sangat menentukan nasib rakyat banyak. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan