Mainan Akhir Jokowi, Zugzwang Dan Kudeta Terselubung
by Gde Siriana Yusuf
Jakarta FNN – Ahad (26/07). Seperti dalam permainan catur, politik Jokowi sudah melewati permainan pembukan dan permainan tengah. Kini memasuki permainan akhir. Dalam permainan catur dikenal istilah "blunder" dan "zugzwang". Blunder apabila pemain melakukan kesalahan fatal. Sebab bisa merugikan posisinya.
Zugzwang dilakukan, jika pemain tidak memiliki pilihan langkah lain. Akibatnya, apapun langkah yang dijalankan adalah langkah keterpaksaan. Langkah yang membuat posisinya semakin lemah. Kini kita bisa melihat permainan akhir Jokowi yang penuh dengan blunder dan zugzwang tersebut.
Blunder dan fatal pertama, ketika Jokowi membuat Perppu Covid-19 yang sudah disahkan menjadi UU Nomor Tahun 2020. Dalam Perppu ini, untuk waktu tiga tahun ke depan (2020-2022), pemerintah Jokowi telah merampas hak budget rakyat yang diwakili DPR. Jadi, dapat dikatakan rezim Jokowi telah melakukan "kudeta terselubung".
Kudeta atas hak konstitusional rakyat untuk mengontrol pemerintah melalui hak budget di DPR. Mengapa DPR menerima saja? Jelas ini buah dari grand coalition di pemerintahan Jokowi saat ini. Tidak mungkin fraksi-fraksi di DPR menentang kebijakan strategis eksekutif, karena parpol induknya ada dalam sistem eksekutif.
Blunder dan fatal kedua, ketika Jokowi memaksakan syahwat politik “ajimumpung” untuk membangun dinasti kekuasaan di Solo. Langkah Jokowi ini tidak saja menampilkan, bahkan telah menelajangi diri dengan politik yang tidak bermoral dan tidak beretika. Meski tidak ada larangan dalam undang-undang untuk anaknya Gibran Rakabuming Raka ikut pilkada Walikota Solo.
Bahwa benar ini kontestasi politik. Bukan jabatan dengan pengangkatan oleh Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan. Tetapi semestinya seorang presiden paham akan situasi kebatinan pejabat struktural yang ada di bawah pemerintah pusat. Juga budaya ewuh pakewuh pejabat daerah di Solo yang masih kental dan selalu dijadikan pijakan oleh masyarakat Solo.
Saya yakin, tanpa diperintah langsung oleh Jokowi pun, semua struktur pemerintahan daerah di Solo akan memenangkan anaknya Jokowi. Apalagi kondisi masyarakat kita yang belum matang dalam berdemokrasi. Pada situasi normal saja, masih sarat dengan "wani piro". Apalagi saat Covid-19 yang telah menekan ekonomi rakyat sampai ke panci dan penggorengan di dapur.
Dengan guyuran uang yang melimpah, dan melebihi uang lawan (jika ada lawan) dipastikan siapun yang menantang Gibran pasti kalah. Apalagi jika melawan kotak kosong. Tidak ada persaingan dalam uang cendol saat pencoblosan. Memangnya siapa yang membiayai kampanye kotak kosong?
Jika Jokowi tidak memahami situasi ini, itu artinya Jokowi tidak mengenal dengan baik kondisi dan budaya masyarakatnya sendiri. Atau memang ini dimanfaatkan untuk membangun dinastinya sejak sekarang. Jika mengenal betul karakter masyarakatnya, tentu sebagai pemimpin, harusnya memberi contoh yang baik dalam berdemokrasi. Jokowi harus tetap mengedepankan moral dan etika. Bukan syahwat untuk membangun dinasti.
Dengan sistem threshold 20%, maka parpol-parpol menikmati previllege dengan mahar politik dari kontestan yang ingin diusung. Dengan grand coallition di pemerintahan, tentunya semua parpol yang pro pemerintah akan bergabung mengusung anaknya Jokowi. Sehingga yang tersisa hanya PKS. Namun sayangnya PKS tetap saja tidak bisa mengajukan calon lain akibat aturan threshold ini.
Apakah kenyataan ini layak untuk disebut sebagai perhelatan demokrasi yang sehat? Apakah sistem kontestasi seperti ini yang kita mau untuk dilembagakan? Untuk dicatata sebagai sejarah perjalanan demokrasi yang membanggakan? Atas dasar itulah, mengapa bung Rizal Ramli sangat menentang aturan threshold ini. Aturan yang hanya akan membodohi rakyat dan memasung kehendak rakyat.
Dalam prakteknya, calon-calon kontestasi politik dipilih oleh para cukong konglomerat. Setelah itu tawarkan kepada parpol. Jika uang kampanye yang dibutuhkan parpol deal, barulah sang calon ditawarkan oleh parpol kepada rakyat. Soal rating dan elektabilitas bukan soal yang sulit. Apalagi dengan uang yang melimpah. Inilah buah dari demokrasi populism.
Sebaiknya jika ada calon kontestasi politik melawan kotak kosong, sebaiknya diganti saja dengan sendal jepit. Toh, setidaknya sebelum memilih, telah lebih dulu memberikan kesempatankepada rakyat untuk berpikir. Mana yang lebih bermanfaat, si calon tunggal atau sandal jepit?
Kembali ke permainan catur dan langkah "zugzwang" Jokowi. Dalam situasi ekonomi negara yang sudah masuk dalam krisis ini, nampak sekali pemerintah dalam posisi terjepit. Langkah apapun yang diambil pemerintah sekarang, tidak lagi bisa meyakinkan rakyat bahwa itu adalah sebuah harapan.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali menambah utang dan jual aset negara. Bahkan publik sekarang melihat bahwa porsi anggaran yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19 ini, lebih besar pada sektor pemulihan ekonomi dari pada persoalan kesehatan rakyat.
Jokowi sekarang membentuk tim baru pemulihan ekonomi dan penanganan Covi-19. Ketuanya adalah Erick Tohir, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Langkah ini menunjukkan bahwa adanya pemikiran untuk melakukan langkah shortcut. Lambat atau cepat akan mengarah ke sana.
Idealnya itu, jika untuk pemulihan ekonomi, maka bidang ini dikendalikan langsung oleh Menko Perekonomian. Namun dari pembentukan tim penggulangan Covid-19 baru ini, sepertinya Presiden tidak yakin dapat memulihkan ekonomi. Akibatnya, pejabat yang ditunjuk adalah yang mengurusi ekonomi mikro (BUMN). Meneg BUMN ditugasi menyelesaikan persoalan makro ekonimi. Ya kacaulah.
Ekonomi nasional itu bukan hanya urusan BUMN Pak Presiden. Tetapi menyangkut juga ekonomi secara menyeluruh, yang terkait hajat hidup rakyat banyak. Ada usaha sektor swasta, korporasi, Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), nelayan, petani, dan lain-lain. Masa diajarin juga sih?
Selama ini yang sering dilakukan di BUMN hanya "operasi plastik". Dengan cara membagus-baguskan laporan keuangan tahunan. Hanya bermain di sekitar valuation, jualan aset, jualan saham, dimerger agar rasio hutang terhadap aset jadi kecil, main di bursa saham dan sejenisnya. Singkat cerita hanya permainan porto folio saja.
Tidak ada yang membangun fundamental ekonomi nasional. Padahal sejak sebelum Covid-19, bung Rizal Ramli yang sangat paham permainan-permainan di BUMN sudah mengingatkan bahwa “badai krisis ekonomi akan mudah menyerang Indonesia” karena tidak memiliki fundamental ekonomi yang kuat.
Jadi pertanyaan besar lahir dari dibentuknya tim Erick Thohir ini adalah aset negara yang mana akan dijual? Berapa banyak lagi utang baru yang akan diciptakan? Dari tim Erick Thohir ini, terlihat juga kalau semakin jauhnya jangkauan kementerian kesehatan dalam menangani Covid-19.
Pada banyak negara, yang menjadi leader dari penanganan Covid-19 adalah Menteri kesehatan langsung. Ini untuk menunjukkan tupoksi yang benar dan profesionalisme para pejabat kesehatan. Jadi, kesimpulannya sangat mungkin persoalan Covid tidak tertangani dengan baik. Juga untuk ekonomi, tidak pulih-pulih karena kebijakan yang tidak tepat dan hanya mengandalkan utang dan jual aset.
Dari pemaparan di atas, sekarang ini kita sedang menyaksikan permainan akhir Jokowi yang penuh dengan langkah “blunder dan zugzwang”. Cepat atau lambat kekalahan Jokowi sudah tak bisa dihindari. Hanya menunggu waktu saja. Entah besok, lusa, minggu depan atau beberapa bulan lagi. Kita tonton saja akhir dari permainan ini.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Future Studies (INFUS).