OPINI

Bunuh Diri Massal Anggota DPR RI

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - DPR RI baru saja mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020. Di media sosial (Medsos) bergema tagar #dprbunuhdiri, #dprkartumati, #dprbudakistana. Seruan netizen itu tidak salah. Dengan mengesahkan Perppu Covid —begitu media menyebutnya— DPR mengamputasi dirinya sendiri secara sukarela. Tiga fungsi utama DPR sebagai lembaga negara dibabat habis. Fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan. Secara formal DPR tetap ada. Tapi tanpa tiga fungsi tersebut, secara kelembagaan DPR sesungguhnya antara ada dan tiada. Sepertinya hidup, tapi sesungguhnya sudah mati. Mereka melakukan harakiri. Bunuh diri dengan sukarela dan gembira ria. Langkah distruktif DPR tidak hanya sampai disitu. Mereka juga mengesahkan dan memberi legitimasi langkah pemerintah menabrak berbagai peraturan, terutama yang sangat fundamental, melanggar konstitusi negara. Fungsi berbagai lembaga negara lainnya ikut diamputasi. Fungsi pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), fungsi lembaga penegak hukum, dan kekuasaan kehakiman yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) juga ikut dipangkas. Melalui pengesahan Perppu Covid, bencana kesehatan Corona diubah menjadi berkah bagi pemerintahan Jokowi. Para pejabat negara, bebas menentukan anggaran dan menggunakannya sesuka hati, tanpa persetujuan dan pengawasan. Mereka juga tidak perlu khawatir terhadap konskuensi hukum secara pidana, perdata, maupun tata negara. Semua bebas merdeka! Tidak berlebihan bila ada penilaian, pengesahan itu juga menunjukkan fungsi DPR sebagai budak kekuasaan. #budakistana. Sebuah stigma yang jauh lebih keras ketimbang anggapan yang selama ini berkembang, DPR tak lebih hanya stempel penguasa. Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli sampai kehabisan kata. “Mohon maaf teman-teman DPR, Anda memalukan!” ujarnya menahan geram. Langkah DPR ini sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Sudah bisa diduga. Konstelasi politik pasca pemilu dan pilpres membuat pemerintahan Jokowi sangat perkasa. Tanpa kontrol. Baik partai pendukung, maupun lawan politik dalam pilpres berbondong-bondong masuk dalam kubu pemerintah. Tidak perlu kaget bila kemudian dari 9 fraksi DPR, hanya PKS yang konsisten menolak Perppu. Fraksi Demokrat yang tidak ikut kebagian kursi di pemerintahan, secara mengherankan juga ikut-ikutan mendukung. Tampaknya mereka tersandera masa lalu, ketika masih menjadi penguasa. Melampaui UUD 45 Ada beberapa UU yang ditabrak oleh Perppu yang sudah disahkan tersebut. Dalam pasal 23 UUD ayat 1, 2 dan 3 dinyatakan APBN dibahas setiap tahun dan harus mendapat persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Apabila tidak disetujui maka Presiden menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Dengan UU Covid (Pasal 12 ayat 2) APBN cukup diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Pemerintah juga sudah langsung menyusunnya selama 3 tahun ke depan. Hal itu juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 dan 3 UU No 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara. Selain mereduksi kewenangan DPR, UU Covid berpotensi melanggar konstitusi terkait pengawasan dan imunitas pengambil kebijakan. Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Dengan pasal tersebut fungsi dan peran BPK sebagai badan pengawas keuangan negara ditiadakan. Pada Pasal 27 ayat 2, mengatur anggota KSSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 27 ayat 3 juga menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal ini bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum. UUD 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. Pasal 1 ayat 3 UUD dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D. Bisa dibayangkan betapa luar biasanya kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah dengan pengesahan UU Covid. Mereka bebas mengatur keuangan negara tanpa kontrol lembaga lain seperti DPR dan BPK. Mereka juga tidak akan terjamah oleh hukum, karena diberi kewenangan UU mengesampingkan peran lembaga kekuasaan lembaga penegak hukum dan kekuasaan kehakiman. Bila UU Covid diundangkan dan dibiarkan tanpa perlawanan publik, yang terjadi bukan hanya anggota DPR bunuh diri massal. Eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi juga terancam mati. End Penulis Wartawan Senior

Rakyat Menaruh Harapan ke Sembilan Tokoh Oposisi

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (14/04). DPR sepakat terima Perppu Corona. Kompak dan Gotong-Royong. Seluruh fraksi menerima, kecuali PKS. PKS nampaknya masih konsisten menolak Perppu. Meski banyak pihak terus melakukan kritik dan penolakan terhadap Perppu corona yang dianggap sangat berbahaya ini, DPR nggak peduli. Fakta gugatan sejumlah tokoh terhadap Perppu corona ke Mahkamah Konstitusi, sama sekali tak menjadi pertimbangan DPR. Tetap mengambil keputusan "menerima" sepenuhnya. Tok. Sikap DPR ini seperti anti klimaks. Nggak mau dengar dan nggak peduli pada suara rakyat. Tidak hanya kali ini saja. Soal Jiwasraya, Asabri, Carut marut BUMN lain, Omnibus law, ibu kota baru, kereta cepat, dan terbaru soal BPJS, DPR dianggap nggak ada greget. Seperti beda kepentingan dengan rakyat. Wajar jika kemudian muncul banyak pertanyaan. DPR ini mewakili suara siapa ya? Jika begitu, lalu apa yang bisa diharapkan dari DPR sebagai lembaga kontrol terhadap pemerintah? Keadaan ini membuat rakyat semakin "marah" dan "frustrasi" . Sebenarnya, jangan juga salahkan DPR. Suara rakyat kan sudah "dibeli putus" saat pemilu lalu. Untuk di daerah pesisir dan pegunungan satu suara Rp. 50 ribu. Sementara di perkotaan, harganya Rp. 100 Ribu. Kenapa masih nuntut? Kan sudah jual putus? Yang boleh nuntut itu investor. Mereka investasi dana di bursa pemilu. Cukup besar angkanya. Selesai pemilu, tinggal panen. Sementara rakyat sudah terima pembayaran di awal. Kenapa menuntut lagi? Pemilu tak ubahnya seperti bursa saham. Berlaku hukum investasi. Rakyat curiga, banyak oknum di senayan yang telah bekerja untuk kepentingan para investor semata. Kalau begitu, apa bedanya dengan direksi perusahaan? Satu harapan yang tersisa dari rakyat yaitu peran civil society. Masyarakat mesti hadir dan melakukan kontrol sendiri terhadap pemerintah. Dalam konteks ini, rakyat harus berperan sebagai oposisi. Ingat. Oposisi dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Agar pemerintah nggak semakin jauh tersesat. Ini bukan makar. Ketika lembaga yang punya otoritas dan diberi wewenang untuk melakukan peran kontrol ini tidak sepenuhnya berfungsi, maka rakyatlah yang turun tangan. Peran rakyat ini diperlukan agar kekuasaan tidak melampaui batas undang-undang dan sewenang-wenang. Memang, ada semacam "lingkaran setan" di dalam pengambilan keputusan di DPR. Pemerintah kasih jatah kabinet ke sejumlah partai. Partai-partai itu tunjuk orang-orang kepercayaannya di fraksi. Fraksi itu dikendalikan oleh ketum partai. Logikanya, mana mungkin fraksi melawan pemerintah yang kasih jatah kabinet untuk partainya? Ini PR buat bangsa ini. Dalam situasi seperti ini, munculnya para tokoh oposisi bukan saja kebutuhan, tapi keniscayaan politik. Rakyat butuh saluran kritik ketika Bapak-Ibu Yang Terhormat di parlemen dianggap tak lagi bisa mendengarkan hati dan harapan mereka. Memalukan, kata Rizal Ramli. Perppu, terutama terkait hak budget, kekebalan hukum dan cetak uang, kok bisa diterima oleh DPR. Padahal Gubernur BI dan Menteri Keuangan menolak. Gelo, kata Rizal Ramli dalam sebuah video yang viral di medsos. Tak bisa berharap ke DPR. Rakyat menyerahkan harapannya kepada sembilan tokoh oposisi yang dianggap selama ini mewakili suara rakyat. Mereka adalah Abdullah Hehamahua, Emha Ainun Najib, Habib Rizieq, Din Syamsudin, Rizal Ramli, Refly Harun, K.H Najih Maemoen, Rocky Gerung dan Muhammad Said Didu. Sembilan tokoh ini dianggap konsisten menyambung lidah rakyat. Menyuarakan hati dan harapan rakyat yang seringkali gagal dipahami oleh wakil mereka di gedung parlemen sono. Sembilan tokoh ini konsisten. Mereka nggak pernah kendor, tegas suaranya, dan punya kapasitas, baik intelektual maupun moral. Kritiknya terukur dan tidak ngawur. Yang pasti, mereka bukan tokoh partisan dan suaranya bukan hasil pesanan. Sangat layak jadi sparing partner ide, gagasan dan lawan argumentasi bagi kekuasaan. Kepada sembilan tokoh ini, rakyat masih punya harapan di tengah hilangnya kepercayaan terhadap para elit politik yang "ngakunya" mewakili mereka. Di luar para tokoh itu, banyak tokoh lain, ormas dan LSM yang juga tak kalah kritis dan nyaringnya dalam menyuarakan nurani rakyat. Satu dengan yang lain saling melengkapi dan menguatkan. Kehadiran para tokoh oposisi ini setidaknya dapat menjaga harapan rakyat agar masih ada rasa optimis untuk masa depan bangsa ini. Selama masih ada orang-orang yang berani menyuarakan nurani dan kepentingan rakyat, berarti Indonesia masih ada. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Jenderal Djoko Santoso Tentang “Trisula TNI AD” Dulu dan Sekarang

By Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Pada era milenium ketiga, perang memang bertujuan untuk menghancurkan bangsa dan negara. Namun dengan menggunakan kekuatan senjata sebagai mesin perangnya, bukan lagi satu-satunya pilihan. Penghancuran moral dan budaya bangsa, sangat menarik dan menguntungkan bagi mereka yang menggunakan. Melumpuhkan moral dan budaya bangsa sebagai pilihan yang cerdas”. Jakarta FNN – Rabu (131/05). Wafatnya Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, 10/5/2020, membuat penulis merasakan kehilangan. Tidak saja sebagai sahabat seangkatan, lulusan Akabri Darat tahun 1975. Tetapi juga sebagai atasan, komandan dan guru. Ketika penulis menjadi Kepala Staf Pribadi (Kaspri) Pangdam Jaya, almarhum menjabat Assospol Kodam Jaya. Ketika beliau menjabat Waas Sospol di Mabes ABRI, penulis adalah Koordinator Staf Pribadi Menhankam /Panglima ABRI. Tampak almarhum memiliki karakter dan kapasistas sebagai prajurot yang unggul. Pangkat Kolonelnya di pundaknya, mendahului temen-teman seangkatannya. Pernah menjadi anggota anggota DPR RI, sebelum menjadi Assospol Kodam Jaya. Sosok Prajurit Yang Konsisten Keterdekatan penulis dengan almarhum tidak saja dalam dua jabatan di atas. Tetapi ketika almarhum sebagai Pangdam Jaya dan Kepala Staf TNI AD, penulis sebagai Kepala Staf Garnisun I Jakarta, Kasdam Jaya, dan Aster Kasad. Bahkan, ketika penulis Aster Kasad, perintah sebagai Cawagub mendampingi Cagub Dr. Ing. Fauzi Bowo dalam Pilkada DKI 2007, juga atas perintah almarhum selaku Kasad. Cerita jabatan di atas, bertujuan untuk menguatkan, jika penulis memberikan kesan terhadap almarhum, karena cukup lama bersama-sama. Almarhum sosok prajurit yang konsisten terhadap apa yang pernah disampaikan. Baik itu sewaktu dinas aktif maupun setelah pensiun. Ini terbukti ketika penulis bicara per telepon pada 1 Mei 2020, pukul 11.03 WIB. Satu hari sebelum almarhum sakit mendadak pada 2 Mei 2020, saat berbuka puasa dan berkelanjutan.Waktu penulis menelepon, almarhum sedang ditemani Ajudan dan Sekretaris Pribadi di kediaman Bambu Apus. Bicara dan ketawanya lewat telepon sangat jelas, tidak ada tanda-tanda sakit. Ada tiga hal yang disampaikan oleh almarhum. Pertama, almarhum bercerita memiliki data tentang wabah Covid 19, baik di Indonesia maupun Luar Negeri. Kedua, bercerita tentang perkembangan penanganan Covid 19 di Indonesia. Baik yang menyangkut kebijakan, keuangan, ketersediaan pangan dan kondisi rakyat. Ketiga, berpesan agar Sekretariat Bersama Alpajuli (Alumni Perwira Akabri Tujuh Lima) Angkatan Darat, sifatnya kekeluargaan dan koordinatif. Sehingga Sekber Alpajuli Darat yang di daerah, dapat dengan bebas menyelenggarakan kegiatan secara independen dan mandiri. Apa yang disampaikan di atas, menguatkan kesan penulis terhadap almarhum sebagai sosok prajurit yang konsisten terhadap apa yang disampaikan. Bahwasanya, di berbagai acara (walau sudah pensiun) beliau sering mengulang-ulang pesannya. Pesan alharhum adalah “bahwa pengabdian seorang prajurit itu, walau sudah pensiun, harus sampai akhir hayatnya”. Sikap militansi, rela berkorban, tidak kenal menyerah dan berpikir untuk rakyat, harus selalu melekat pada setiap prajurit. Terbukti, almarhum selalu konsisten dengan pesan-pesannya. Sehari sebelum jatuh sakit yang berkelanjutan, beliau masih berpikir dan bicara untuk bangsa dan negaranya secara jelas. Juga masih berpikir untuk organisasi temen-temen seangkatannya. Trisula AD Kekuatan Bermata Tiga Pernyataan di awal artikel ini, bahwa penghancuran moral dan budaya bangsa sebagai satu pilihan yang cerdas dan menguntungkan, penulis kutip dari beliau sewaktu almarhum menjabat KASAD tahun 2007. Karena itu, beliau menekankan, untuk menghadapi ancaman tersebut, TNI AD harus memiliki “kekuatan bermata tiga, yaitu TNI AD sebagai Kekuatan Moral, Kekuatan Kultural dan Kekuatan Pertahanan”. Ketiga kekuatan ini dinamakan almarhum sebagai “Trisula TNI AD”. TNI AD sebagai Kekuatan Moral. Artinya, sebagai kekuatan yang selalu mengedepankan nilai-nilai moral. Selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Serta berpikir, berbuat dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. TNI AD sebagai Kekuatan Kultural. Artinya, sebagai kekuatan yang selalu mempertahankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Memiliki wawasan tentang kemajemukan, sebagai modal kekuatan bangsa. Memandang kemajemukan bangsa, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam bingkai NKRI, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. TNI AD sebagai Kekuatan Pertahanan. Artinya, sebagai kekuatan yang siap menghadapi segala bentuk ancaman militer secara terorganisir, yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa Indonesia. Dalam konteks konsepsi Trisula TNI AD itu, setelah pensiun dari Panglima TNI, lagi-lagi almarhum tetap menunjukkan sikapnya yang konsisten untuk membumikan nilai-nilai Pancasila sebagai kekuatan moral bangsa. Ajakan almarhum bersama kawan-kawan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli, pada hakikatnya agar pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar tetap dijiwai dengan nilai-nilai Pancasila. Sehingga aturan turunannya dapat membentuk kekuatan moral bangsa. Ajakan almarhum bersama kawan-kawan untuk bangkit, bersatu, bergerak dan berubah. Tujuannya agar tidak punah, yang didasarkan pada nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Ajakan tersebut, pada hakikatnya untuk membangun kekuatan kultural bangsa. Dalam upaya membangun kekuatan moral dan kultural bangsa itulah, almarhum melakukannya bersama para tokoh masyarakat, pakar intelektual, aktivis pejuang dan masyarakat. Wadahnya adalah Gerakan Selamatkan NKRI (GSNKRI), Rumah Amanah Rakyat (RAR) dan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI). Apel Persada Kawan-kawan pergerakan mencatat isi hati, pikiran dan cita-cita almarhum yang masih belum tercapai. Misalnya, perbaikan nasib Boemipoetra, Kembali ke UUD 1945 yang asli. Almarhum juga berharap, kelak akan lahir Pemimpin Bangsa yang Pancasilais. Namun takdir telah menentukan lain. Almarhum harus menghadap Tuhan Yang Maha Esa mendahului kita. Walau ada yang tidak tahu atau tahu, tetapi lidah kelu atas kepergiannya, tidak menjadi masalah. Wafatnya almarhum sudah dengan jelas disampaikan oleh Panglima TNI selaku Inspektur Upacara saat pemakaman hari Minggu lalu. Panglima TNI menyatakan, “atas nama Bangsa, Negara dan Tentara Nasional Indoesia, dengan ini mempersembahkan ke Persada Ibu Pertiwi jiwa raga dan jasa-jasa almarhum Djoko Santoso, Jenderal TNI (Purn), mantan Panglima TNI, Kesatuan Mabes TNI. Putra almarhum bapak H. Djoko Soedjono, yang telah meninggal dunia demi kepentingan serta keluhuran Negara dan Bangsa, pada hari Minggu tanggal 10 Mei 2020 pukul 06.30 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto karena sakit. Semoga jalan Dharma Bhakti yang ditempuhnya dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua, dan arwahnya dapat tempat yang semestinya di alam baka”. Selamat jalan Jenderal Djoko Santoso saahabatku, atasanku, komandanku dan guruku. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan tempat yang paling mulia untuk Jenderal. Amin. Penulis adalah Aster KASAD Tahun 2006-2007

Menghancurkan Indonesia Secara Konstitusional

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Banyak orang yang bersepakat bahwa revisi UU KPK adalah langkah yang menghancurkan lembaga antikorupsi itu. Tetapi, apakah penghancuran KPK itu konstitusional atau tidak? Pastilah konstitusional. Legal, 100 persen. Penghancuran KPK itu sah. Presiden tidak melanggar UU dengan revisi itu. Kemudian, banyak pula orang yang menilai pemilihan pimpinan KPK berlangsung dengan cara akal-akalan. Nah, konstitusional atau tidak? Sangat konstitusional. Siapa bilang tidak? Semua prosedur penyeleksian calon pimpinan mengikuti aturan yang berlaku. Tidak ada yang dilanggar. Tetapi, hebatnya, bisa terbukti prediksi banyak orang bahwa Firli Bahuri pasti terpilih sebagai ketua KPK. Meskipun banyak pihak yang berkeberatan terhadap rekam jejak beliau ini. Pokoknya, semua dibuat konstitusional. Semua dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum. Sekarang, apa akibatnya? Anda semua pahamlah. Lembaga antikorupsi ini menjadi mandul. Tidak ada lagi OTT. Korps para koruptor dan veteran korupsi bisa tidur nyenyak. Tidak ada lagi yang mereka takuti. Seterusnya, penerbitan Perppu 1/2020 (Perppu Corona). Konstitusional atau tidak? Jawabannya, mana ada orang yang mengatakan tidak? Semua fraksi di DPR menerima Perppu itu, kecuali fraksi PKS. Jadi, seribu persen konstitusional. Tapi, apa yang digariskan oleh Perppu Corona itu? Perppu ini menetapkan bahwa semua pemegang otoritas yang terkait dengan penggunaan dana sebesar 405 triliun yang disediakan untuk mengatasi dampak Covid-19, tidak dapat dituntut pidana atau perdata jika mereka melakukan kesalahan. Begitulah bunyi Pasal 27 Perppu Corona. Mantap apa tidak tidak? Tentu sangat menyenangkan. Khususnya bagi orang-orang yang telah menyiapkan ‘road map’ penilapan dana besar itu. Mereka akan menyiapkan langkah-langkah pencolengan yang tak terasa sebagai pencurian. Semuanya ‘masuk akal’. Kalau pun nanti ada yang berbau koruptif, kembali saja ke pasal 27 Perppu Corona. Pasal inilah yang membuat para koruptor menjadi ‘orang keramat’. Tak bisa disentuh hukum. Kita lanjutkan lagi. Memberikan kekuasaan besar dan luas kepada Menko Luhut Pandjaitan, konstitusional atau tidak? Jawaban singkatnya, murni konstitusional. Tidak ada yang ditabrak. Dan ini hak prerogatif presiden. Tidak ada yang bisa mempersoalkannya. Karena itu, apa saja yang dicampuri oleh Luhut, tidak menyalahi aturan. Nah, mengapa begitu banyak orang yang terganggu oleh kekuasaan superior itu? Karena cara ini tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance). Tetapi, semua ini konstitusional. Anda merasa terganggu, itu urusan Anda. Lalu, Presiden Jokowi mengangkat staf khusus (stafsus) milenial. Konstitusional atau tidak? Tentu saja tidak ada pasal UU atau UUD yang dilanggar. Tetapi, bagaimana dengan segala macam kontroversi yang melibatkan para stafsus milenial itu? Bahkan ada yang mundur karena konflik kepentingan? Tidak ada masalah. Begitu mereka mundur, semua selesai. Semua konstitusional. Bagaimana dengan proyek Kartu Prakerja 5.6 triliun yang melibatkan salah seorang stafsus yang mundur? Juga tidak ada persoalan. Sudah sesuai konstitusi, kok. Mau apa lagi? Terus lagi, Presiden Jokowi memberikan keistimewaan kepada China untuk banyak hal. Apakah langkah ini bertentangan dengan konstitusi? Tentu tidak. Mau seratus persen perdagangan dan investasi asing itu dikuasai China, tidak ada masalah. Semuanya sesuai dengan aturan. Cuma, dengan nalar yang sehat, pastilah Anda merasa heran. Anda khawatir pengistimewaan terhadap China bisa membahayakan Indonesia karena bisa saja negara komunis itu membawa masuk komunisme. Baik secara terang-terangan maupun secara halus. Anda mencemaskan hegemoni China. Hegemoni ekonomi, ideologi dan kebudayaan. Bagi para penguasa, silakan saja Anda merasa waswas atau cemas. Tetapi, semua yang mereka lakukan dalam kaitan dengan kehadiran China di Indonesia tidak melanggar konstitusi. Semua konstitusional. Sekarang, kita ringkaskan. Revisi UU KPK menyakitkan hati tetapi konstitusional. Penerbitan Perppu Corona penuh dengan kontroversi tetapi konstitusional. Pemberian kekuasaan masif kepada Luhut tak sesuai dengan prinsip ‘good governance’ tetapi konstitusional. Pengangkatan stafsus, konstitusional. Pengistimewaan China yang sangat mencemaskan tetapi juga konstitusional. Kalau begini hancurlah bangsa dan negara Indonesia? Sebentar! Memangnya Indonesia tidak bisa dihancurkan secara konstitusional? Bukankah ini yang sedang Anda saksikan? Agak sok-sok filosofis sedikit, dalam hidup ini ada bab tentang baik dan buruk. Gembira dan sedih. Membangun dan menghancurkan. Nah, saat ini kita sedang berpangku tangan melihat orang-orang yang menghancurkan Indonesia secara konstitusional.[] 12 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

Inikah Strategi Jokowi Berdamai Dengan Virus Corona?

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Beberapa hari lalu, Presiden Jokowi mengajak rakyat untuk berdamai dengan virus Corona. Sambil menunggu vaksin ditemukan. Nah, bagaimana strategi yang ampuh untuk berdamai dengan virus Corona? Mana mungkin virus ganas bisa diajak hidup damai? Tunggu dulu. Anda jangan buru-buru membuat kesimpulan yang gegabah. Sebab, kita tidak pernah tahu kehebatan Jokowi. Beliau sudah menujukkan kemampuan dalam menaklukkan musuh. Tanpa harus berperang. Justru dengan cara berdamai. Itulah yang dikatakan oleh Denny Siregar –buzzer dan pendukung setia Jokowi. Menurut Denny, putra Solo itu bukan orang sembarangan. Dia bukan orang lemah seperti dipersepsikan banyak orang. Jokowi, menurut Denny, adalah orang yang hebat. Itulah yang dia tunjukkan ketika ‘membawa masuk’ Prabowo Subianto (PS) ke dalam kabinet. Dengan membawa musuh utama ke dalam Istana, maka si musuh bisa dipantau. Bisa dikendalikan. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Tidak lagi bisa mengganggu Jokowi. Dan benar juga, ternyata. Prabowo bisa jinak. Jokowi pun tenang. Bagaimana dengan virus Corona? Anda lihat saja. Jangan berkomentar macam-macam dulu. Siapa tahu strategi membawa Corona ‘masuk ke dalam’, juga bisa membuat si musuh berbahaya ini menjadi diam. Tak berkutik. Nanti kalau sudah ada vaksinnya, barulah dilepas kembali. Begitukah kira-kira?[] 10 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

Corona, Perang dan Damai Presiden Jokowi

—If you can’t beat them, join them— Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Presiden Jokowi mengajak rakyat Indonesia hidup berdamai dengan Corona. Realitas itu harus kita terima sampai vaksin virus “Made in China” itu ditemukan. "Ada kemungkinan masih bisa naik lagi, atau turun lagi, naik sedikit lagi, dan turun lagi, dan seterusnya. Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid untuk beberapa waktu ke depan," ujar Jokowi lewat saluran YouTube Setpres, Minggu (7/5). Ajakan Jokowi membuat banyak orang terperangah. Apa maksudnya. Apakah pemerintah sudah mengibarkan bendera putih? Membuat deklarasi menyerah kalah dan menyadari tak akan mampu “mengalahkan” Corona? Pernyataan Jokowi ini jelas memberi pesan negatif. Sebagai presiden yang mengaku memimpin langsung perang melawan Corona, pernyataan itu bisa menimbulkan demoralisasi.Pasukan bisa kocar-kacir. Rakyat hanya bisa pasrah. Lha kalau panglima perangnya sudah mengajak damai, apalagi yang bisa dilakukan. Tinggal ramai-ramai kibarkan bendera putih. Pasrah pada nasib. Dunia juga menangkap pesan yang sama. Indonesia sudah menyerah. Padahal ketika bicara dalam KTT para pemimpin negara anggota G-20, Jokowi menyampaikan pidato yang sangat gagah perkasa. Dia mengajak para pemimpin negara G-20 memerangi Corona dan pelemahan ekonomi dunia. Rasa frustrasi Ajakan Jokowi berdamai itu sangat bertentangan dengan berbagai optimisme yang selama ini ditebar pemerintah. Akhir April lalu Kepala Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo menyampaikan kabar baik. Khusus wilayah Jakarta yang menjadi episentrum dan awal penyebaran Corona, kasus positif sudah menurun sangat pesat. Bahkan sudah flat. Doni menyebut pelaksanaan PSBB menjadi kunci keberhasilan menekan penyebaran Corona di Jakarta. Dengan data itu, kata Doni, Presiden Jokowi berharap rakyat lebih patuh. Sehingga pada awal Juli kehidupan sudah bisa normal lagi. Optimisme juga disampaikan sejumlah pejabat pemerintah. Menko Maritim Luhut Panjaitan berharap pada hari raya tempat hiburan seperti Ancol sudah dapat dibuka. Sejumlah langkah diambil pemerintah. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyarankan adanya pelonggaran aturan mudik lebaran. Menhub Budi Karya Sumadi kemudian mengumumkan pelonggaran berbagai moda transportasi publik. Pengumuman itu diartikan warga bisa menggunakan transportasi publik untuk mudik. Tapi pengumuman itu segera diluruskan oleh Doni Monardo. Staf Anggota KSP Donny Gahrial Adian juga ikut-ikutan meluruskan. Mudik tetap dilarang. Rupanya situasi sesungguhnya tidak seindah yang digambarkan. Signal itu dapat ditangkap dari permintaan Presiden kepada para pembantunya. Mulai bulan Mei kurva Corona harus diturunkan. "Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai sesuai dengan target yang kita berikan, yaitu kurvanya sudah harus turun. Dan masuk pada posisi sedang di Juni, di bulan Juli harus masuk posisi ringan. Dengan cara apa pun,” ujarnya dalam sidang kabinet. Dari cara Presiden menyampaikan, terkesan ada nada frustrasi. Kalimat “dengan cara apapun,” mengingatkan kita pada kosa kata yang sering digunakan Jokowi, “pokoknya!” Hanya saja nada dan maknanya berbeda. Kata “pokoknya” menunjukkan Jokowi punya power, dan perintahnya harus dilaksanakan. “Dengan cara apapun” menunjukkan dia frustrasi dan tidak tahu bagaimana caranya. Tak lama setelah itu muncul lah ajakan Jokowi untuk “Hidup berdamai dengan Corona.” Istana kemudian terburu-buru memberi penjelasan. "Artinya jangan kita menyerah. Hidup berdamai itu penyesuaian baru dalam kehidupan," kata Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin. Penjelasan istana tampaknya tak mampu mengubah kesan yang ditangkap publik. Persepsi telah terbentuk. Sejak awal rakyat sudah menyadari pemerintah kedodoran dan tak mampu menangani Covid-19. Mereka telah lebih dulu berdamai dengan realitas itu. Secara psikologis, berubahnya sikap Jokowi dari semula menantang perang dan kemudian berubah mengajak damai, bisa didekati dengan teori Five Stages of Grief yang dikembangkan Elisabeth Kubler-Ross. Dalam bukunya berjudul “On Death and Dying” (1969) Kubler-Ros ada lima tahapan ketika seseorang mengalami duka nestapa. Penolakan ( denial) dan menarik diri, marah ( anger ), penawaran ( bergaining ), depresi ( depression), dan penerimaan ( acceptance ). Coba perhatikan ketika wabah Corona merebak. Jokowi dan para pejabat tinggi lainnya mati-matian menolak dan meremehkan. Mereka yakin Indonesia tidak akan terjangkit. Tahap berikutnya marah, mengajak perang, minta kurva diturunkan apa pun caranya. Setelah itu menerima realita dan mengajak berdamai. Sebagai Presiden, Jokowi juga manusia biasa. Dia juga bisa mengalami tekanan psikologis seperti itu. Tapi karena Jokowi seorang Presiden dia tentu tetap punya strategi. Dia tampaknya mencoba menerapkan sebuah peribahasa yang sangat terkenal: If you can’t beat them, join them. Kalau kamu tidak bisa mengalahkannya, bergabunglah dengan musuhmu! Masalahnya kan, kita tidak mungkin bergabung dengan Corona? Satu-satunya cara ya berdamai. Bagaimana caranya? Pokoknya dengan cara apapun. Itu bukan urusan saya! End. Penulis Wartawan Senior.

PKS Top, Tak Gotong-Royong Terima Perpu Corona

By Dr. Margarito Kamis Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu “perkataan “gotong-royong”. Negara Indoneaia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong (Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945) Jakarta FNN – Minggu (10/05). Bung Karno melanjutkan, gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntus-baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong (Lihat RM, AB Kusuma, 2004). Apakah mozaik pidato ini, kalau tidak memompa energy. Setidaknya menjadi lentera penerang dan pemandu sikap Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah? Ketua Banggar dari PDIP ini menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Untuk mudahnya Perpu, yang saya nilai “membinasakan bangsa” ini saya sebut Perpu Corona. Politik Indonesia memaksa siapapun untuk mengidentifikasi sikap Pak Said Abdullah sebagai pantulan asli sikap PDIP. Sikap itu jelas merupakan sikap resmi PDIP. Jabatan dan forum yang penyampaian sikap itu jelas bagi siapapun, bahwa itu sikap resmi PDIP. Siapapun boleh mengidentifikasi Perpu ini sangat pro kepada korporasi. Tetapi kata Said Abdullah Perpu akan segera dikirimkan ke Ketua DPR. Ibu Puan Maharani, juga orang PDIP. Lalu setelah diterima akan segera diparipurnakan pada tanggal 12 Mei mendatang (Lihat Kontan.Id. 8/5/2020). Tinggalkan Pidato Bung Karno Apakah PDIP terilhami, terpukau dan mengadaptasikan semangat gotong-royong dalam pidato Bung Karno, kakeknya Ibu Puan Maharani? Wallau a’alam. Tetapi Ibu Puan tercatat pernah bicara tentang gotong-royong. Nampaknya gotong-royong menajdi kunci, begitu esensi diskripsinya, memenangkan pertempuran melawan Covid. Tetapi bergotong-royong menerima Perpu, terlihat membawa gotong-royong itu ke padang tandus yang setandus-tandusnya. Juga terlihat konyol yang sekonyol-koyolnya. Mungkin itu energi terbesar PKS, sehingga tak ikut bergotong-royong dengan PDI dan partai lain menerima Perpu ini. Seperti mata elang, punya penciuman khas harimau, serta lincah selincah kera di ujung dahan. PKS berhasil mengidentiikasi tabiat dimensi busuk Perpu ini. Terlihat betul PKS mengenal Perpu tidak didekasikan untuk rakyat kecil. Terlihat samar-samar ini Perpu korporasi, yang membinasakan. Padahal, dan ini yang menarik, kata “kerakyatan” itu bukanlah sebagai merek politik dari PKS. Kata “kerakyatan” telah teridentifikasi dalam politik Indonesia sebagai pilihan pilitik khas PDIP. Tetapi sudahlah, mari mengenal lebih jau sikap PKS. Sikap PKS disampaikan Junaidi Auli. Katanya, terdapat pasal yang tidak sesuai semangat penanggulangan Covid-19. Program penanggulangan ekonomi, kata Junaidi lebih jauh, hanya akan berhasil bila “rakyat diselamatkan.” Persentase insentif pemulihan ekonomi, dalam identifikasinya, lebih tinggi dibandingkan kesehatan dan jaminan sosial (Lihat RMol.Id, 6/5/2020). Tak pernah mengaum dengan suara bela rakyat, bela orang kecil dan seterusnya. Tetapi dalam kesendirianya itu, PKS menolak kebijakan yang tidak selaras dengan semangat gotong royong. Semangat untuk menghidupkan rakyat kecil. Ini sikap hebat, berklas dan bermartabat untuk rakyat kecil. Gotong-royong untuk maju bersama, sejahtera bersama, dalam semua keadaan yang diperlukan, jelas sangat indah. Tetapi gotong-royong untuk pekerjaan, yang di dalamnya menyimpan, bahkan nyata-nyata mengandung sisi-sisi membesarkan secara diskriminatif kelompok pengusaha tertentu. Pengusaha yang tak semestinya, untuk apapun alasan yang mungkin, jelas terlihat konyol. Ini bukan gotong-royong. Disparitas insentif dalam Perpu antara urusan kehehatan dengan ekonomi, dan bantuan sosial, mustahil dapat dikompromikan dengan gotong-royong yang dibayangkan oleh Bung Karno. Tidak ada korporasi, satupun yang menjadi fundasi bangsa ini dibangun. Hanya rakyat lah fundasinya. Sisi hebat ini, hemat saya disadari atau tidak dikenali oleh PKS. Suka atau tidak, penilaian PKS memiliki basis historis konstitusi yang sangat valid. Mengapa? Pada tanggal 16 Juli 1945 itu, Rancangan UUD 1945 yang telah tersedia dibahas kembali. Terlihat gagasan tentang di mana, dan bagaimana pemerintah harus berfungsi? Pada pembahasan soal perekonomian Indonesia yang merdeka, muncul gagasan bahwa “perekonomian Indonesia merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong-menolong, dan usaha bersama”. Tentang korporasi, terlihat dalam gagasan berikutnya. Dinyatakan “pada dasarnya perusahaan yang besar-besar, yang menguasai hajat hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya mestilah dibawah pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan social, apabila buruk-baiknya perusahaan itu, serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan oleh beberapa orang pertikulir saja. Pemerintah, dalam gagasan ini harus menjadi pengawas dan pengatur. Diawasi dan juga disertai dengan kapital dari pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahaan yang besar-besar. Semakin besar perusahaan dan semakin banyak orang menggantungkan dasar hidup kesana. Semakin besar mestinya kepemilikan Pemerintah (Lihat RM. AB Kusuma, 2004). UMKM Tetap Saja Memble Pembaca FNN yang budiman. Gagasan ini, entah dibaca atau tidak oleh PKS. Tetapi sikap faktual dari PKS terhadap Perpu Corona ini, terjalin dengan histori hasrat untuk membela rakyat. Semangatnya, mirip seperti saat pembahasan UUD pada 16 Juli Tahun 1945 dulu. Tidak mesti mengatakan PKS mengerti dan memahami histori konstitusional tentang bagaimana perekonomian harus dibangun, dan di mana serta bagaimana pemerintah harus mengambil posisi. Tetapi PKS berada pada garis itu. PDIP dan kawan-kawannya mungkin memiliki konsep “kesamaan derajat” semua pelaku ekonomi, yang khas. Konsep itulah membawa mereka bergotong-royong menerima Perpu ini. Mungkin konsep “kesamaan derajat” itu bekerja secara kongrit “besar dan kecil” harus gotong-royong. Titik. Itu adil. Garis yang ditempuh PDIP dan kawan-kawan, jauh dari kehendak para pembentuk UUD 1945, yaitu “menjaga rakyat Indonesia”. Itu sebabnya ketimpangan, boleh jadi dianggap sebagai susuatu yang alamiah saja. Bisa dibenarkan dengan konsep keadilan alamiah. Padahal hasrat “keadilan” dari para pembentuk UUD 1945 untuk urusan perekonomian, tidak begitu. Keadilan adalah cara idiologis menghaluskan gap struktur usaha. Andai konsep “keadilan” untuk semua badan usaha dimengerti dan dimaknai oleh PDIP dan kawan-kawan koalisi. Misalnya, “yang besar diberi insentif besar” dan “yang kecil diberi insentif kecil”, maka konsep ini pasti menghasilkan “yang besar tetap besar” dan “yang kecil tetap kecil”. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tetap saja memble sepanjang sejarah Indonesia. Jika struktur usaha bakal selamanya seperti itu, maka mama nilainya dengan konsolidasi ketimpangan struktur usaha. Padahal, tak sedikit ekonom yang mengidentifikasi serapan tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh sektor UMKM. Diskripsi itu bermakna, yang kecil-kecil inilah memenuhi ekspektasi dan maunya konstitusi bangsa Indonesia. Selama ketimpangan struktural ini tak berubah, bagiamana mungkin bangsa ini bicara satu lompatan kecil ke depan? Faktanya struktur usaha sangat didominasi korporasi besar. Sama maknanya dengan uang terus terkonsentrasi pada mereka. Hasil akhirnya adalah ketimpangan yang berkelanjutan. Jurang besar ini, sejauh diperlihatkan oleh sejarah, tak pernah dapat ditutup dengan kebijakan jaring pengaman sosial. Apalagi jaminan sosial yang saat ini mirip asuransi sosial. Metode ini, untuk pertama kali diterapkan saat depresi ekonomi 1933. Dalam kenyataannya tidak mengubah ketimpangan. BI Menghindari Pidana Ketimpangan besar dalam Perpu Corona terlihat nyata. Tak usah memutar otak untuk mengenalnya. Kebijakan memberi kewenangan kepada BI dan OJK mengurus korporasi, jelas lucu. Ini hanya berputar pada urusan tambah, dan kasih uang. Ini khas liberal. Jauh dari semangat UUD 1945. Relasi fungsional antara BI dan OJK mengurus korporasi, sulit dibingkai dengan konstitusi. Ini relasi taktis. Relasi yang boleh jadi akan melahirkan kerangka kerja kongrit yang aneh-aneh. BI sepertinya terlihat boleh jadi mengambil posisi menyediakan uang saja. Uang ini akan diletakan di bank tertentu, entah apa sebutannya. Lalu penggunaannya menunggu otorisasi OJK. Kerangka kerja model ini, andai berjalan, mungkin tak menginjak-injak Perpu itu sendiri. Mengapa? Kedua organ ini bisa membuat aturan kerja, protokolnya. Tetapi karena sikap politik Banggar DPR yang telah jelas, sehingga saya kesampingkan isu ini. Yang mau saya uraikan adalah BI terlihat bergerak memutar. Tidak mau mengambil metode BLBI tahun 1999. Sikap ini dapat dimengerti. Bila BI mengambil metode 1999, maka BI akan terus seperti dulu. Berada begitu dekat dengan masalah hukum pidana. BI tentu tak mau jatuh di lubang yang sama. BI harus tahu, lebih dari siapapun, bahwa politik tidak selalu berada dalam kendali Presiden dan DPR. Juga parpol dan ketua umumnya. Selalu ada ruang gelap, dengan kekuatan khasnya, yang dalam sekejab dapat mengubah peta permainan. Permainan yang baru selalu tak dapat ditebak. Tak selamanya setelah musim berganti. Bagaimana bila PDIP berubah sikap dari menerima menjadi menolak? Sudahlah itu soal lain. Partai-partai terlihat selalu tak pernah bisa mengadaptasi ide-ide perekonomian yang bersemangat keadilan yang dikehendaki oleh pembentuk UUD 1945. Diseberang sisi itu, korporasi tahu begitu mereka terpukul krisis keuangan, pemerintah dan DPR segera datang sebagai “dewa penyelamat” paling produktif dan sangat cekatan. Asset korporasi mau trubel atau likuid, tidak lagi penting. Begitu krisis menerpa mereka, parpol akan bergotong-royong menggeluti tesis klasik. Selamatkan korporasi adalah cara terbaik menyelamatkan perekonomian nasional. Korporasi selamat, bangsa dan negara selamat. Kestabilan ketimpangan usaha yang terjadi sejauh ini, sialnya tak terpetakan sebagai buah kebijakan yang mirip di masa lalu, tahun 1998 dan 2008. Kerumitan-kerumitan pasti saat ini, sekali lagi, terlihat tak pernah dapat diprediksi sebagai bahaya pasti diujung kebijakan. Menyebalkan, begitu krisis datang politisi segera berada di sisi terdalam kebijakan klasik itu. Perpu ini, suka atau tidak berada dalam perspektif itu. Terus tertatih-tatihnya UMKM sejauh ini, untuk sebagian besar alas an, merupakan hasil kebijakan yang berinduk pada tesis klasik itu. Bangsa ini, tampaknya masih harus menyimpan optimisme dan keinginan untuk melihat perekonomian berjalan di garis hasrat para pendiri bangsa. Suka atau tidak, demokrasi telah bekerja dengan cara yang amat rumit. Menghasilkan kapitalisme terlihat indah dan manis disepanjang pembangunan nasional. Pesona demokrasi “liberal” itu, dalam semua spektrumnya selalu memanjakan secara tidak proporsional terhadap korporasi. Perspektif itu merasuk ke sumsum, dan telah menjadi nadi bangsa sejauh ini. Suka atau tidak, itu mengakibatkan hasrat negarawan-negarawan pembuat UUD 1945, dengan segala pemikiran tulus yang menyertainya, terlihat usang. Rakyat boleh dan akan terus menjadi fundasi kedaulatan bangsa ini. Tetapi fakta menunjuk, itu hanya sejauh di atas. Korporasilah yang dalam semua aspeknya, secara nyata-nyata muncul sebagai pemegang sejati kedaulatan rakyat. Gotong-royong, kerjasama, itu dikenali Belanda sebagai kekuataan terbesar. Berhasil diidentifikasi dan dieksekusi secara nyata oleh korporasi-korporasi modern. Didahului oleh korporasi, dieksekusi dalam bentuk “kartel minyak dunia.” Semoga pola itu tak menjadi model gotong-royong di Indonesia. Mengenal perintah konstitusi untuk membangun perekonomian nasional, menjadi hal mustahil untuk diminta kepada politisi. PKS, memang tak bakal mampu mengubah peta jalan itu. Tetapi sejauh yang bisa, PKS telah menempatkan bola konstitusi di tempat dan keadaan yang diperlukan. PKS top. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Presiden Minta Kita Berdamai dengan Virus Corona?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Update kasus Covid-19 di Indonesia hingga Sabtu (9/5/2020). Kasus pasien positif Covid-19 bertambah sebanyak 533 kasus, sehingga total menjadi 13.645 kasus. Pasien yang dinyatakan sembuh bertambah 113 pasien, sementara 16 pasien meninggal dunia. Total pasien sembuh hingga saat ini sudah mencapai 2.607 pasien, sedangkan 959 orang telah meninggal dunia akibat terjangkit virus covid-19. Sebanyak 108.699 spesimen diperiksa, ada 95.054 kasus corona. Sementara itu, jumlah ODP tercatat sebanyak 246.847 orang dan total PDP tercatat sebanyak 29.690 orang. Mungkinkah karena ada kecenderungan jumlah korbannya semakin meningkat sehingga harus hidup berdamai dengan Covid-19? Pernyataan mengejutkan datang dari Presiden Joko Widodo dalam video yang diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden pada Kamis (7/5/2020). Menurut Presiden, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan. Presiden mengatakan, pemerintah terus berupaya keras dan berharap puncak pandemi Covid-19 akan segera menurun. Selama wabah masih terus ada, Jokowi minta seluruh masyarakat untuk tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan. “Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan,” katanya di Istana Merdeka, Jakarta, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (07/05/2020, 10:43 WIB). Ia juga mengatakan, beberapa ahli menyebut ada kemungkinan kasus pasien positif Covid-19 menurun angkanya. Tetapi, ketika kasusnya sudah turun tidak berarti langsung landai atau langsung nol, melainkan masih bisa fluktuatif. “Ada kemungkinan masih bisa naik lagi atau turun lagi, naik sedikit lagi, dan turun lagi dan seterusnya,” kata Jokowi. Masyarakat dipersilakan beraktivitas secara terbatas, tetapi harus disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan. “Sekali lagi ingin saya tegaskan, yang utama adalah ikuti dengan disiplin protokol kesehatan. Silakan beraktivitas secara terbatas, tetapi sekali lagi ikuti protokol kesehatan,” tegas Jokowi. “Semua ini membutuhkan kedisiplinan kita semuanya, kedisiplinan warga, serta peran aparat yang bekerja secara tepat dan terukur,” tandasnya. Menyerahkah Presiden Jokowi hingga akhirnya meminta kita hidup berdamai dengan Covid-19? Padahal, slogan yang digaungkan selama ini selalu, “Lawan Corona”! Bahkan, sampai sekarang pun kampanyenya masih sama: Lawan Covid-19! Ataukah sebenarnya diam-diam Presiden Jokowi sudah sedikit mengenal karakter dan sifat Virus Corona yang “menyerang” Indonesia. Apalagi, konon, varian corona di Indonesia ini sudah mencapai sekitar 150 varian. Makanya, Jokowi sampai meminta jajarannya fokus terkait penanganan Covid-19, karena ingin pada Mei ini kurva kasus positif Corona di Indonesia sudah menurun. “Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai sesuai dengan target yang kita berikan,” tegasnya. Yaitu kurvanya sudah harus turun. Dan masuk pada posisi sedang di Juni, di bulan Juli harus masuk posisi ringan. “Dengan cara apa pun," kata Jokowi saat membuka rapat kabinet paripurna seperti disiarkan akun YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (6/5/2020). Melansir Detik.com, Rabu (06 Mei 2020 11:35 WIB), Jokowi mengatakan upaya tersebut harus dilakukan semua pihak. Tak hanya pemerintah, Jokowi juga ingin masyarakat ikut terlibat dalam penanganan corona. “Itu dilakukan tidak hanya oleh Gugus Tugas tapi juga melibatkan seluruh elemen bangsa. Jajaran pemerintahan, organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, relawan, parpol, dan sektor swasta. Ini yang harus betul-betul didirigeni dan diorkestrasi dengan baik,” ujarnya. “Saya yakin jika kita bersatu, jika kita disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan, semua rencana yang sudah kita siapkan yang lalu bisa mengatasi Covid secepat-cepatnya,” sambung Jokowi. Kenali Corona Virus corona itu basic-nya seperti virus influenza. Habitatnya juga ada di kulit sekitar hidung manusia. Seperti halnya virus atau bakteri yang ada di tubuh manusia itu, mereka hidup juga berpasangan. Sayangnya, ada “tangan jahat” yang memisahkan mereka. Padahal, mereka bertugas membersihkan zat-zat patogen yang menempel pada kulit sekitar hidung dan bibir atas. Juga membantu menjaga kelembaban kulit manusia. Sifat dasar virus atau bakteri itu serupa dengan antibodi, manusia, hewan, tanaman. Yaitu “kalau mereka tersakiti, mereka akan memperkuat dirinya, dan menggandakan dirinya beratus-ratus kali lipat, dibanding pada kondisi normal”. Hewan, akan beranak sebanyak mungkin. Tanaman, akan berbuah dan bertunas sebanyak mungkin. Manusia akan beranak pinak, mempunyai anak sebanyak mungkin. Terlepas dari siapa yang membawa virus corona ini ke Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, corona itu, begitu masuk ke dalam tubuh kelelawar, mereka meriplikasi dirinya sebanyak mungkin. Karena itu tempat asing bagi mereka, dan itu yang membuat mereka ketakutan, maka mereka menggandakan dirinya sebanyak mungkin. Begitu sang kelelawar ini dimakan manusia, maka corona ini beralih ke manusia, dan langsung menggandakan diri lebih hebat lagi. Mengapa kelelawar-kelelawar itu tidak sakit seperti manusia? Karena kelelawarnya ndablek, cuek, masa bodoh, dan tidak berpikir, sehingga antibodinya kuat, dan tidak tersakiti. Kalau manusia ingin sehat, walaupun sudah terpapar Covid-19, bersikaplah seperti kelelawar. Covid-19 yang tertuduh sebagai pembunuh massal sadis itu, berusaha dibunuh secara massal pula, dengan disemproti desinfektan secara massal. Ada sebagian yang mati, ada sebagian yang masih hidup. Barangkali yang masih hidup lebih banyak dibanding yang mati. Karena sudah menjadi sifat dari virus/bakteri itu, maka yang hidup ini menggandakan dirinya beratus-ratus atau beribu-ribu kali lebih banyak dan lebih kuat dibanding yang sebelumnya. Kalau sebelumnya kemampuan terbangnya hanya sekitar 1,8-2 m, menjadi lebih jauh lagi dibanding itu. Kemampuan terbang lebih jauh inilah yang menyebabkan mereka menjadi bersifat airborne infection. Lalu karena jumlah mereka sangat banyak, mereka juga menemukan bakteri-bakteri lain yang mempunyai daya terbang lebih jauh. Corona menumpang pada bakteri lainnya. Hal ini serupa dengan pesawat ulang alik yang numpang pada pesawat yang berbadan lebih besar. Akibat dari penyemprotan des infektan secara massal, menyebabkan mereka menjadi: Lebih banyak; Lebih kuat; Mampu terbang lebih jauh; Daya rusaknya lebih hebat. Maka, tidaklah mengherankan, kalau di Wuhan kala itu hanya ditemukan 3 varian corona, di Amerika Serikat sudah ditemukan 5 varian corona. Bahkan, terakhir China mengklain telah menemukan 30 varian, Indonesia malah menemukan 150 varian. Sehingga, menjadi mudah dimaklumi, kalau di AS, di Italia, di Indonesia, angka kematiannya lebih tinggi dibandingkan di Wuhan. Pada saat ditemukan di Timteng yang disebut dengan MERSCoV (middle east respirstory syndrome coronavirus) siapa kambing hitamnya? Hewan Unta. Karena hewan itulah yang ada di sana. Ketika di Wuhan, kelelawar yang ada di sana. Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang? Tidak panik, tidak khawatir. Akibat ketakutan, kepanikan, daya tahan tubuh kita turun drastis. Daya tahan tubuh yang turun itu, serupa dengan, kalau kita takut sama gendruwo, mak lampir, wewe gombel, dkknya itu. Begitu ketemu mereka, kita gak punya daya apapun, mau lari, hanya kosel-kosel di tempat, bahkan sampai terkencing-kencing di celana. Kematian itu tidak ada hubungannya dengan corona. Kalau waktunya mati, tidak ada corona pun, tetap mati. Andaikan didemo besar-besaran sama corona, kalau belum waktunya mati, ya tetap sehat. Corona itu sahabat kita, bukan musuh kita. Perbaiki ibadah kita: Wudhu yang baik dan benar; Shalat yang baik dan benar; Dzikir (membaca Al-Qur'an) yang baik dan benar. Basuhan air wudhu yang @3x, insya’ Allah mampu mendormenkan corona yang nempel, selanjutnya dijatuhkan ke tanah, dan mati. Shalat, dzikir, membaca Al-Qur'an yang baik dan benar, akan membuat kita tenang dan itu secara otomatis akan diikuti proses perbaikian sistem imunitas kita. Kalau imunitas baik, insya’ Allah, corona lewat. Bukankah corona itu masuk kategori self limiting disease? Semprotan. Semprotkan desinfektan yang sudah di-mixed dengan formula Probiotik Siklus. Supaya sifat aslinya yang bakterisid, menjadi lebih organik, tidak menyakiti dan membunuh mereka. Hand sanitizer ber-Probiotik Siklus. Semproti wajah, tangan dengan semua produk-produk yang sudah ber-Probiotik Siklus pula. Bisa membuat sendiri, atau apapun yang terlebih dulu di-mixed dengan Probiotik Siklus. Perbaiki asupan nutrisinya, dan perbanyak air minum. Makan makanan bergizi, sayuran, empon-empon, kunyit-kuyitan, pahit-pahitan, cukup membantu menstimulus antibodi kita. 5. Minum Probiotik Siklus. 6. Jangan terlalu terpengaruh postingan-postingan yang seringkali menakutkan. Harus bisa memilah dan memilih. Penulis Wartawan Senior.

Ditagih Rp 5,1 Trliun Ngga Bayar, Malah Cari Salahnya Anies

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (09/05). Bermula dari surat cinta Anies ke Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Isinya hanya soal nagih utang ke Pemerintah Pusat. Ada uang milik rakyat Jakarta sebesar Rp. 5,1 triliun, berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) penerimaan pajak Pememerintah Provinsi (Pemprov) DKI di Kementerian Keuangan yang belom dibayar. Nggak cair-cair juga, padahal sudah ditagih berkali-kali. Dalam kesempatan teleconference dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Anies menyinggung soal dana ini. Minta bantuan Wapres untuk dorong Menkeu agar uang haknya rakyat DKI tersebut segera bisa dicairkan. Pemprov DKI butuh dana tersebut untuk menanggulangi Covid-19 dan dampak ekonominya. Tolong karena sangat urgent. Esoknya, teleconference Anies dan wapres Viral. Kok bisa? Tak biasanya Anies buka perbincangan pribadi ke publik. Apalagi menyinggung soal dana, dimana Menkeu ikut disebut-sebut. Ini pembicaraan internal antar pemerintahan saja. Selama ini, Anies tak suka kegaduhan. Apalagi buka front di publik. Sama sekali, sejatinya ini bukan watak Anies. Dia tipe pemimpin yang lebih suka kerja silent. Senyap, tapi hasil kerja bisa dirasakan oleh rakyat. Itulah Anies yang selama ini dikenal publik. Cek sana-sini, akhirnya dapat informasi juga. Pertama, inisiatif teleconference itu berasal dari Wapres Ma’ruf Amin. Bukan dari Anies. Kedua, pihak yang mempublish video teleconference tersebut ke public adalah tim dari kantornya Wapres. Langkah yang dilakukan Wapres sudah sangat benar. Ini menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19 ini, Wapres terus saja bekerja. Melakukan koordinasi dengan sejumlah kepala daerah adalah bagian dari bukti kerja tersebut. Publik juga berhak tahu apa yang telah dikerjakan Wapres. Selain hak untuk dapat info terkait perkembangan penanganan Covid-19. Beberapa pekan kemudian Menke kebakaran alis mata. Sri Mulyani tampil bersuara ke publik. Mba Sri menyoal bansos di DKI. Katanya, Pemprov DKI nggak punya dana. Nggak sanggup berikan bantuan untuk 1,1 juta warga DKI terdampak Covid-19. Eh, Sri Mulyani ternyata tak sendirian. Menteri Sosial Juliari P Batubara ikut bicara. Begitu juga dengan Menteri Kordinator Pemberdayaan Masyarakat (PMK) Muhadjir Effendy, ikut-ikutan menyerang Anies. Obyeknya masih sama, soal penyaluran bansos. Kepada pihak lain Mensos bilang, “saya kira nggak usah ribut-ribut soal data, semuanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, secara gotong royong (Kompas 2/5). Tapi kepada Anies, Mensos justru mempersoalkan data itu. Kok beda antara penyataan dan perbuatan ya? Kenapa yang disoal hanya Anies? Nggak kepala daerah lainnya? Emang kepala daerah yang lain beres soal anggaran, data dan pembagian bansosnya? "Rasanya kental politis", kata Zita Anjani, Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi PAN. “Justru Pak Anies minta dicover dari pusat, karena ingin warganya sejahtera. Pakai saja uang rakyat Jakarta yang Rp. 5,1 triliun itu, “tegas anggota Fraksi PAN ini lagi. Ditagih ko nggak bayar. Malah balik cari-cari kesalahan. Kira-kira seperti itu logika yang ada di kepala rakyat, khususnya DKI Jakarta. Kalau nggak bisa lunasin hutang, ya minta maaf saja dong... Bukan malah cari-cari kesalahan. Rupanya, rakyat punya cara berpikirnya sendiri. Beda dengan cara berpikir para menteri itu. Dana DBH Pemprov DKI 2019 sebesar Rp. 5,1 triliun. Ditambah kuartal II tahun ini sebesar Rp. 2,4 triliun. Totalnya Rp. 7,5, triliun. Baru dicairkan oleh Kemenkeu Rp. 2,56 triliun. Sri Mulyani seharusnya tak sekedar mengkritik Pemprov DKI, tetapi segera membayar DBH penerimaan pajak yang merupakan bagian dari Pemprov DKI, kata Mujiyono, anggota DPRD DKI dari Fraksi Demokrat. Sri Mulyani sakiti hati kepada warga Ibu Kota. Begitu kata M.Taupik. “Sengak. "pernyataan Sri Mulyani tersebut 100 persen tidak sesuai fakta, alias hoaks", tegas M. Taupik. Wakil Ketua DPRD dari Gerindra ini menyayangkan pernyataan Menteri Keuangan ngawur tersebut. Tidak hanya M.Taupik. Arbi Sanit dan sejumlah tokoh juga menyesalkan sikap para menteri Jokowi itu. Dianggap tak punya anggaran, Pemprov DKI malah siapkan dana Rp. 5 triliun untuk menangani Covid-19 dan dampak ekonominya. Diantaranya, berupa bantuan yang "sudah dibagi" ke warga DKI sebelum PSBB diberlakukan. Jadi, sebelum ada PSBB, dan sebelum pemerintah pusat bergerak ngasih bansos, warga Jakarta sudah mendapat bantuan dari Pemprov DKI. Ada yang double penerimaan. Warga terima dari pemerintah daerah, terima juga dari pemerintah pusat. Harusnya tidak double, kata pihak Kementerian Sosial. Apa masalahnya kalau warga terima double? Tanya M.Taupik, wakil DPRD DKI. Toh tidak dalam waktu dan pekan yang sama, protesnya. Jadi, tidak hanya hotel bintang lima untuk tenaga medis saja yang disoal. Masyarakat Jakarta terima bantuan double juga ada pihak yang menyoal. Lepas siapa yang benar dan siapa yang salah? Mestinya urusan macam ini bisa dikomunikasikan dan didiskusikan secara internal. Kenapa tidak teleconference saja via zoom berempat. Tiga menterinya Jokowi ajak Anies diskusi. Tapi, kenapa justru dijadikan konsumsi publik? Wajar jika banyak pihak kemudian mengartikan, ini sebagai bentuk penjegalan terhadap Anies untuk menjadi Calon Presiden 2024. Rakyat kelaparan kok diseret-seret ke urusan politik 2024. Nggak elok, nggak dewasa dan nggak bermutu seru M. Taupik. “Jangan sampai perseteruan politik mengganggu perut rakyat rakyat Jakarta, “himbau M. Taupik. Rasionalitas ini otomatis muncul di benak rakyat, mengingat sering terjadinya serangan yang dianggap mendiskreditkan posisi Anies. Ini berlangsung sejak pidato pertama Anies pasca pelantikan 2017. Tak berhenti hingga sekarang. Sudah tiga tahun berjalan. Apalagi publik Jakarta membaca bahwa serangan kepada Anies ini sudah bersifat terstruktur, sistematis dan masif. Keadaan inilah yang justru membuat gelombang empati publik kepada Anies membesar. Celaknya lagi, empati itu terus membesar. Ketika semua bentuk serangan itu tak pernah direspon secara reaktif, Anies berhasil mengambil hati rakyat. Serangan akhirnya menjadi kredit poin buat Anies. Anies lebih memilih fokus kerja di tengah banjirnya serangan tersebut. Ini langkah yang sangat tepat. Meski tak perlu harus mendengungkan kata “kerja... kerja... dan kerja....” Selama hasil kerja bisa dirasakan oleh rakyat, maka akan jadi investasi sosial dan politik yang efektif buat Anies. Akhirnya, siapapun yang mencoba menyerang Anies akan berhadapan secara otomatis dengan para pendukung dan simpatisannya. Fakta ini bisa dilihat di media dan medsos. Anies punya relawan dan buzzer lepas yang berlimpah di setiap sudut kota di Indonesia. Mereka tak saling mengenal satu dengan yang lain. Sebab, mereka tak dibayar. Tiak ada kordinatornya. Tidak juga ada kaka pembina seperti buzzer yang di sebelah sono. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Tragedi Long Xin 629: Menlu Retno Marsudi Seperti Jurubicara China?

By Asyari Usman "Dari info yang diperoleh KBRI, pihak kapal telah memberitahu keluarga dan mendapat surat persetujuan pelarungan di laut tertanggal 30 maret 2020. Pihak keluarga sepakat untuk menerima kompensasi dari kapal Tian Yu 8," ujar Retno. Dua WNI lainnya meninggal saat berlayar di Samudera Pasifik dan dilarung pada Desember 2019. Kata Retno, berdasarkan informasi yang diterima pihaknya, keputusan pelarungan jenazah ini diambil kapten kapal karena kematian disebabkan penyakit menular berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya. Tiga paragraf di atas adalah kutipan langsung dari halaman Kompas-com, edisi 8 Mei 2020. Itulah yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Rento Marsudi, tentang kematian ABK (anak buah kapal) asal Indonesia yang bekerja penangkap ikan berbendera China. Di kapal Long Xin 629. Sayang sekali, penjelasan Menlu Rento itu mengesankan bahwa dia memfungsikan dirinya sebagai jurubicara China. Dia seolah punya misi untuk ‘meredam’ kemarahan orang Indonesia yang saat ini sedang viral. Itu terbaca dari kalimat Retno bahwa keluarga korban sudah diberitahu dan sudah mengizinkan jenazah ABK dibuang ke laut. Retno juga menonjolkan kompensasi yang telah diberikan kepada keluarga. Dia pun 'mewakili' China untuk mengatakan bahwa pelarungan (penguburan di laut) dilakukan karena ABK Indonesia yang meninggal itu menderita penyakit menular. Apakah bisa dipercaya alasan penyakit menular? Kenapa Menlu menerima begitu saja alasan itu? Kompensasi? Mengapa ini yang dikedepankan oleh Menlu Retno? Padahal, investigasi media yang terpercaya menguraikan tentang perlakuan buruk yang dialami para ABK Indonesia di kapal ikan Long Xin 629. Mereka mengaku disiksa. Bekerja rodi. Tidur cuma 3 jam. Makanan mereka berbeda dengan makanan ABK orang China. ABK Indonesia memakan ikan yang biasa digunakan untuk umpan. Sedangkan ABK China selalu menyantap ikan segar yang enak-enak. Ini pengakuan para ABK itu sendiri. Menlu mengirimkan nota diplomatik ke China. Ok-lah. Mungkin ini SOP biasa. Semoga saja ditanggapi. Tapi, sebagai Menlu, tidak seharusnya Retno mengutamakan poin-poin yang memang inginkan disebarluaskan oleh pemerintah China. Supaya mereka tampak telah melakukan cara-cara yang manusiawi. Padahal, kenyataannya orang-orang China di Long Xin 629 itu tidaklah seberadab yang digambarkan itu. Sebagai diplomat yang berpengalaman, seharusnya Retno paham bahwa di tingkat negara, pastilah China akan berusaha menutup-nutupi kekajaman dan kesadisan warga negaranya terhadap orang asing. Beijing tidak akan rela warganya diviralkan melakukan tindakan biadab terhadap ABK Indonesia. Jadi, Retno seharusnya mengeluarkan narasi yang lebih tajam lagi. Tidak perlu terlalu banyak berdiplolasi halus. Sebab, perlakuan kejam itu dialami oleh banyak ABK Indonesia. Selayaknya, Bu Retno mengangkat soal kondisi kerja yang tidak manusia di kapal-kapal China. Banyak ABK Indonesia yang mengaku bekerja 18 jam sehari. Ini ekploitasi sadis. Mereka hanya meminum air laut sulingan sedangkan ABK asal China selalu mendapat air mineral. Diskriminasi kejam. Anda, Bu Retno, di tempatkan di pos Kemenlu dengan gaji besar dan fasilitas luks untuk membela bangsamu yang diperlakukan kejam di luar sana. Bukan untuk membela China. Sejak kapan Anda ditunjuk menjadi jurubicara pemerintah China?[] 9 Mei 2020(Penulis wartawan senior)