Melawan Rencana IPO Anak Perusahaan Pertamina (Bag. Kedua)
by Dr. Marwan Batubara
Jakarta FNN – Kamis (23/07). Menteri BUMN Erick Thohir telah meminta Dirut Pertamina Nicke Widyawati menawarkan saham perdana Initial Public Offering (IPO) anak usaha Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jangka waktunya dalam waktu 1-2 tahun ke depan (12/6/2020). Alasan terpenting IPO untuk mendapatkan dana (murah).
Alasan berikutnya untuk meningkatkan governance, transparansi dan akuntabilitas. Terlepas dari semua alasan dan ada manfaat lain, hal yang sering dipakai menjustifikasi IPO adalah memperoleh dana murah tanpa bunga dan perbaikan governance. Penerapan prinsip pengelolaan perusahaan berdasarkan Good Corporate Governance (GCG).
Seperti diuraikan pada tulisan sebelumnya, IPO dapat saja diterima jika Pertamina bukan BUMN. Sebab Pertamina harus mengemban amanat Pasal 33 UUD 1945. Jika pemegang kekuasaan mau memahami dan patuh terhadap konstitusi, maka alasan dan perdebatan untuk menjustifkasi rencana IPO menjadi tidak perlu.
Untuk memenuhi amanat konstitusi dan ketahanan nasional, negara memang harus siap berkorban dana tanpa perlu dana murah dari hasil IPO. Sedangkan untuk mencapai level GCG tertentu, tersedia cara lain yang lebih efektif selain melalui IPO. Semua pintu mentaapi konstitusi terbuka lebar.
Tegaknya kedaulatan, berjalannya konstitusi, terjaganya ketahanan energi dan meratanya pembangunan melalui cross-subsidy oleh BUMN yang dikelola tanpa IPO, sangat tidak layak diperbandingkan dengan keuntungan akses dana murah yang diperoleh dari melakukan IPO. Keuntungan nilai dana murah yang diperoleh dari IPO sangat minim. Apalagi dibandingkan dengan besarnya manfaat strategis yang diperoleh jika BUMN dikelola sesuai konstitusi tanpa IPO.
Salah faktor yang sangat merugikan adalah dengan IPO, profit yang dapat diraih akan berkurang. Hanya sesuai berapa persen besar saham yang dijual. Faktor lain, sebagai pelaksana tugas perintisan dan pembangunan daerah, lambat laun BUMN akan kehilangan kemampuan cross-subsidy.
Anak-anak usaha Pertamina yang menguntungkan (cream de la cream) akan segera dijual. Tinggal menyisakan anak-anak usaha yang kurang profitable. Seperti diketahui, pola pembentukan sub-holding bertujuan memilih anak usaha yang paling profitable dan kemudian menjual sahamnya, merupakan cara umum yang dipakai asing dan kapitalis-liberal untuk meraih untung maksimal dari berbagai korporasi.
Pola unbundling ini akan menjadikan BUMN semakin kerdil. Negara pun akan mangalami penerimaan yang semakin mengecil. Sementara pada sisi lain, pola unbundling juga akan membuat biaya penyediaan produk dan jasa semakin mahal. Kemahalan biaya ini menjadi dibebankan kepada konsumen atau masyarakat.
Ringkasnya, terlepas dari aspek strategis konstitusional, IPO anak usaha Pertamina melalui proses unbundling, sub-holding, menjual yang paling menguntungkan, akan membuat portfolio bisnis mengecil. Keuntungan akan menurun. Penerimaan negara juga menurun. Harga produk atau layanan yang dibayar konsumen naik.
Kemampuan Pertamina untuk melakukan cross-subsidy menurun dengan sendirnya. Sementara dominasi swasta dan asing terus meningkat. Karena lingkup bisnis mengecil dan tidak profitable, lambat laun Pertamina akan hidup dari APBN seperti halnya TVRI. Tak mampu membangun daerah-daerah yang tertinggal dan minim konsumen.
Kondisi ekstrim yang merugikan di atas, bisa saja berkurang jika ada batasan-batasan. Misalnya, anak usaha yang dijual adalah yang secara bisnis tidak mengurangi penerimaan negara. Tetapi siapa yang mau beli saham perusahaan yang kurang profitable? Atau penjualan saham dibatasi maksimum 25% atau hanya 49%. Makin besar saham yang dijual, maka makin besar kehilangan BUMN dan negara untuk memperoleh penerimaan. Kita pilih yang mana?
Argumentasi yang sering jadi alasan. IPO dengan penjualan saham maksimum hanya sampai 25% atau 30%. Sehingga kontrol masih ada di tangan negara. Padahal dengan jumlah saham yang berkurang, profit pun ikut berkurang. Apakah manfaat dana murah dari IPO 25% atau 30% itu lebih besar dibandingkan profit yang turun? Adakah jaminan kelak tidak akan terjadi penjualan saham lanjutan atau right issue?
Dengan IPO, terbuka jalan bagi oligarki penguasa dan pengusaha asing untuk menjual saham lebih lanjut. Kelak pemerintah bisa menjadi pemegang saham minoritas. Untuk itu, akan disediakan “ribuan alasan” manipulatif dan sarat kebohongan agar bisa IPO. Misalnya, saham negara perlu dijual untuk membantu orang miskin, membangun jalan desa, membangun sekolah dan lain-lain.
Ironi yang bernuansa moral hazard ini terjadi pada Indosat yang di “IPO” sebanyak 35% pada 1994. Saat itu dikatakan penjualan saham negara sudah maksimal. Ternyata pada 2002 saham kembali dijual, sehingga negara hanya menjadi pemegang saham minoritas (14%) pada sektor sangat strategis dan menguntungkan tersebut.
Selain memperoleh dana, IPO diperlukan untuk meraih governance yang lebih baik. Itu pula yang dinyatakan Erick Thohir selepas RUPS pelantikan Nicke Widyawati menjadi Dirut Pertamina pada 12 Juni 2020. Kata Erick, Pertamina perlu IPO-kan 1-2 sub-holding sebagai bagian dari transparansi dan kejelasan akuntabilitas. Apakah untuk meraih governance, IPO menjadi satu-satunya jalan?
Banyak cara meningkatkan GCG di Pertamina tanpa harus IPO. Salah satu terpenting menjadikan Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). Dengan pola NPLC, Pertamina menjadi perusahan terdaftar di bursa (BEI). Namun tidak ada (1% pun) saham yang dijual.
Dengan terdaftar di BEI, Pertamina menjadi perusahaan terbuka yang diawasi public. Namun kepemilikan negara di Pertamina tetap 100%. Sehingga, BUMN dikelola sesuai konstitusi. Saham 100% tetap milik Negara. Tanpa prospek negara menjadi minoritas seperti Indosat.
Salah satu aspek penting dalam GCG adalah mencegah intervensi pejabat pemerintah terhadap BUMN. Sebagaimana terjadi selama ini. Faktanya, Pertamina telah menjadi korban kebijakan pemerintah yang merugikan keuangan korporasi terkait crude domestic, signature bonus Blok Rokan, harga BBM, LPG 3kg, dan lain-lain.
Terkait crude domestik, signature bonus dan lapangan migas luar negeri, Pertamina harus mengeluarkan dana bernilai puluhan triliun rupiah. Semua itu sebagai beban biaya operasi “tambahan”. Sedangkan terkait harga BBM, sejak April 2017 hingga Desember 2019, Pertamina harus menanggung beban public service obligation (PSO) lebih dahulu sebesar Rp 95 triliun, yang hingga Mei 2020 belum dilunasi.
Akibat beban PSO, kondisi keuangan dan cash flow perusahaan terganggu, sehingga Pertamina harus menerbitkan obligasi. Ini akibat kebijakan pemerintah yang melanggar UU dan prinsip GCG di atas. Minimal Pertamina harus menanggung beban: (1) biaya “tambahan” puluhan triliun rupiah dan, (2) beban bunga obligasi akibat tugas PSO yang nilainya juga puluhan triliun rupiah. Beban kerugian tersebut bisa bertambah jika credit rating Pertamina yang juga turun.
Pertamina bisa mengalami gagal bayar atas utang jatuh tempo tahun ini, jika pemerintah tidak segera melunasi piutang Pertamina tersebut. Artinya, yang lebih mendesak dilakukan adalah penegakan GCG oleh pejabat pemerintah, dibanding IPO utk perbaikan GCG. Terbukti, karena pejabat pemerintah bermasalah, meskipun telah menjadi perusahaan terbuka IPO, prinsip GCG tetap dilanggar. Kasus ini pernah terjadi pada kasus Laporan Keuangan BUMN PT Garuda Indonesia
Pada RDPU dengan Komisi VII DPR (29/6/2020), Pertamina mengatakan, perlu melakukan IPO karena membutuhkan dana yang sangat besar. Namun di sisi lain, uraian di atas menunjukkan bahwa keuangan Pertamina bermasalah akibat kebijakan intervensi dan kesewenang-wenangan pemerintah.
Jika akhirnya IPO terlaksana, maka salah sebab tergadainya sebagian saham milik negara di Pertamina adalah sikap pemerintah yang selama ini menjadikan Pertamina sebagai sapi perah. Sekaligus melanggar UU dan prinsip GCG.
Kembali kepada pernyataan Erick Thohir, maka IPO bukan satu-satunya cara untuk meraih transparansi dan akuntabilitas. Tetapi yang paling relevan dan mendesak untuk perbaikan GCG adalah menertibkan dan mengendalikan pejabat tertinggi di istana Negara. Juga sejumlah menteri yang justru membuat kebijakan dan melanggar aturan, yang secara faktual telah merugikan negara dan korporasi. Sejalan dengan itu, Erick pun perlu segera menjadikan Pertamina (juga PLN) sebagai non-listed public company.
Dalam road map pengembangan bisnis Pertamina yang beredar pertengahan Juni 2020, tersusun rencana aksi korporasi untuk 2-3 tahun mendatang. Selain rencana IPO anak usaha, terdapat pula rencana-rencana merger, strategic partnership, sinergi, transfer, konsolidasi untuk sinergi BUMN dan divestasi saham.
Menyangkut rencana IPO, sepanjang anak-anak usaha atau sub-holding tersebut merupakan bagian dari rantai utama bisnis Pertamina, maka jelas langkah tersebut harus dibatalkan. Alasannya, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Terkait anak usaha yang bukan core business, maka berbagai aksi korporasi, termasuk penjualan saham atau divestasi, dapat saja diterima. Sepanjang pelaksanaannya dilakukan secara terbuka dan bebas moral hazard. Untuk memperoleh nilai tertinggi, penjualan saham non-core harus ditunda setelah pandemi korona.
Dikhawatirkan penjualan yang terburu-buru akan ditumpangi oleh para pemburu rente yang memanfaatkan pendemi. Mereka akan kolaborasi dengan pengambil keputusan untuk meraih untung besar. Disinilah kampanye governance yang diusung Erick akan butuh pembuktian!
Dalam road map tersebut juga tercantum rencana divestasi Saka Energi dan sejumlah anak usaha di lingkungan PHE. Dalam kondisi harga minyak dunia rendah, maka rencana divestasi Saka Senergi seharusnya ditunda. Begitu pula dengan rencana divestasi anak usaha di PHE. Rencana share-down saham Blok Mahakam dan Rokan juga perlu ditunda. Khusus divestasi Blok Rokan, beban signature bonus sekitar Rp 11,5 triliun harus diperhitungkan kembali.
Prinsipnya, karena telah dikuasai Pertamina 100% dan merupakan bagian dari core business, maka share-down Blok Mahakam dan Blok Rokan menjadi tidak relevan. Divestasi kedua blok akan bermasalah jika tetap diakukan dengan mengacu harga minyak yang rendah. Bisa terjadi tanpa adanya transparasi pula.
Moral hazard dalam divestasi saham pada kedua blok ini sangat potensial terjadi. Karena prosesnya berlangsung tanpa tender. Pada sisi lain, prosedur baku proses divestasi belum tersedia. Pengawasan dari lembaga lain tidak optimal. Sehingga, potensi kerugian negara pada Pertamina dari divestasi atau share-down kedua blok akan sangat besar.
Oleh sebab itu, IRESS mengajak publik dan menuntut DPR untuk mengawasi secara seksama rencana divestasi kedua blok migas dan juga keseluruhan aksi-aksi korporasi yang akan dijalankan Pertamina dan Kementrian BUMN sesuai road map. Rencana IPO dan seluruh rencana aksi korporasi dapat saja sarat kepentingan kapitalis-liberal. Kepentingan perburuan rente dan oligarki penguasa-pengusaha.
Rakyat butuh bukti dari Erick Thohir bahwa Pertamina adalah korporasi milik negara yang perlu dikelola secara konstitusional. Sesuai prinsip GCG dan bebas moral hazard. Rakyat tidak lagi butuh retorika hipokrit pembrantasan mafia minyak atau pengangkatan Komisaris Utama yang cacat hukum. Selain itu, kita menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan yang telah menjadikan Pertamina sebagai sapi perah.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).