OPINI
Demi Gibran, Presiden Jokowi Tawari Purnomo Jabatan?
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Ahad (19 Juli 2020). Presiden Joko Widodo dan DPP PDIP akhirnya berhasil “mengalahkan” aspirasi DPC PDIP Kota Solo yang mengusung Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilkada Kota Solo 2020 mendatang. Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan rekomendasi kepada Gibran Rakabuming Raka – Teguh Prakosa untuk maju pada Pilwali Solo 2020. Menjelang pengumuman, ternyata Gibran sempat berkontak dengan ayahnya, Presiden Jokowi. “Bapak sudah (komunikasi), lewat telepon saja, mendoakan semuanya lancar,” kata Gibran kepada wartawan di kantor DPC PDIP Solo, Jumat (17/7/2020). Lewat sambungan telepon, Presiden Jokowi mendoakan agar proses pengumuman rekomendasi berjalan lancar. Sejumlah nama mengantungi rekomendasi PDIP untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang di wilayah masing-masing. Dari sejumlah nama itu tak pelak nama Gibran sebagai bakal calon Walikota Solo menjadi sorotan. Mulai dari drama “pertempuran” Gibran vs DPC PDIP Solo hingga penolakan para kader PDIP di Solo membuat nama putra sulung Presiden Jokowi itu sebagai pemicu polemik di Pilkada Solo. Hingga akhirnya muncul kesimpulan: Jokowi tengah melanggengkan “politik dinasti”, dan PDIP acuh terhadap aspirasi kader PDIP Solo. FX Hadi Rudyatmo selaku Ketua DPC PDIP Kota Solo pun hanya pasrah dan menerima keputusan PDIP itu. Padahal, sebelumnya Rudyatmo menyatakan, PDIP tetap solid mendukung pasangan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilkada Kota Solo 2020 mendatang. Walikota Solo itu menegaskan, pasangan Puguh ini merupakan bakal calon sah yang diusung oleh PDIP Solo. “Saya yakin pasangan pasangan bakal calon Puguh bisa memenangi Pilkada Solo,” ujar Rudyatmo, Minggu, 8 Maret 2020. Rudyatmo menegaskan, dirinya sudah menyampaikan agar kader PDIP Kota Solo tak takut untuk mendukung pasangan bakal calon Puguh saat Pilkada 2020 pada 9 Desember 2020. Karena Puguh merupakan pasangan yang diusung DPC PDIP Solo. DPC PDIP hanya mengajukan satu pasangan ke DPD yang dilanjutkan DPP PDIP. Sementara itu, Gibran Rakabuming Raka, maju melalui jalur DPD PDIP Jawa Tengah. Menurut Rudyatmo, semua Satgas dan pengurus partai di Solo tidak perlu khawatir. Ia yakin pasangan Puguh akan mendapat rekomendasi dari DPP PDIP. Meski demikian, dia meminta agar kader patuh dengan ketentuan partai. “Artinya, tegak lurus mengikuti apapun keputusan dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri tetap harus diutamakan,” kata Rudyatmo, seperti dilansir Tempo.co, Minggu (8 Maret 2020 15:32 WIB). Sebelumnya, Lembaga Survei Indo Barometer merilis hasil survei terbaru yang menunjukkan bahwa 67,5 persen masyarakat menerima Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Walikota Solo pada Pilkada 2020. Sementara 23,7 persen publik tidak mau menerima jika putra sulung Presiden Joko Widodo itu maju sebagai calon Walikota Solo. “Ada lima alasan publik tidak menerima. Paling besar karena menganggap Gibran belum berpengalaman dalam pemerintahan (37 persen),” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari di Jakarta, Minggu (16/2/2020). Empat alasan lain tidak menerima, yakni menciptakan dinasti politik (28,1 persen), masih banyak calon lain yang lebih kompeten (12,3 persen), masih terlalu muda (8,9 persen), dan dapat menimbulkan kontroversi publik (6,8 persen). Ada lima alasan publik dapat menerima, yakni semua warga negara berhak memilih dan dipilih (49,4 persen), hak ikut berdemokrasi (13,9 persen), dan tidak masalah jika memenuhi syarat pencalonan (13,9 persen). Mengutip GenPI.c, Minggu (16 Februari 2020 17:32), berikutnya, yaitu melanjutkan Jokowi yang pernah memimpin Solo (9,4 persen), Gibran mempunyai kepribadian dan kemampuan yang baik sebesar 7,7 persen. Hasil survei itu juga merilis, ternyata masih ada warga yang tidak mengetahui kalau Gibran akan mencalonkan pada Pilkada Kota Solo 2020. Warga Solo yang tergabung dalam Peduli Pemilu (PWSPP) menyatakan keberatan karena persoalan etika berpolitik. Mengutip HanTer.com, Rabu (11 Desember 2019 - 10:19 WIB), pada Pilkada Solo 2015, Gibran tidak memberikan hak suaranya alias Golput. Menurut Ketua PWSPP Johan Syafaat Mahanani, apabila orang yang tidak mau memilih (golput) diberikan kesempatan untuk memilih, maka bisa menjadi contoh generasi muda untuk bersikap egois hanya mementingkan kepentingan sendiri. “Sebaiknya Gibran maju Pilkada Kota Solo pada 2025, namun pada 2020 ini dia bersedia memilih,” kata Ketua PWSPP, Johan Syafaat Mahanani, di Solo, Selasa (10/12/2019). Menurut Johan, keberatan ini, sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat agar di kemudian hari orang yang tidak menggunakan hak memilih tidak menuntut haknya untuk dipilih. Syafaat, seperti dilansir Antara, mengakui pihaknya sudah mengajukan surat keberatan kepada partai politik atas pencalonan Gibran pada Pilkada Kota Solo 2020. Gibran diketahui sempat menampakkan sikap ngototnya yang tetap berusaha maju dengan melawan keputusan DPC PDIP Solo yang mantap mengusung pasangan Puguh. Padahal, keputusan DPC PDIP Solo tersebut berdasarkan aspirasi akar rumput. Namun, keinginan Gibran untuk maju pada Pilkada Solo 2020 terkesan bukan atas dasar kepentingan rakyat. “Itukan seperti arogansi, seolah-olah berkata yang bisa menyejahterakan rakyat itu saya dan kelompok saya,” ungkap analis politik UII Geradi Yudhistira. Dalam manuver yang dilakukan sosok yang baru mendaftar sebagai kader PDIP beberapa waktu lalu itu terkesan arogan. Bahkan dinilai jauh dari kepentingan rakyat. Alih-alih dia menghormati keputusan DPC, Gibran justru tetap berkeinginan untuk mencalonkan diri dengan menghadap ke Ketum PDIP beberapa waktu lalu. Pengamat politik Universitas Diponegoro M Yulianto menilai, rencana Gibran maju pada Pilkada Solo 2020 dalam konteks demokrasi sah-sah saja. Namun, menurutnya, asalkan telah memenuhi kualitas, kapasitas, intergritas. “Sebenarnya dalam konteks demokrasi (Gibran maju Pilkada, red) sah dan boleh. Tetapi kalau kualitas, kapasitas, intergritasnya memenuhi tidak masalah,” ungkap Yulianto di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Namun, di sisi lain, menurutnya, pencalonan Gibran itu akan memberikan tren dinasti politik di keluarga (oligarki) penguasaan kelompok tertentu berbasis pada dinasti keluarga. “Karena itu juga bisa, itu juga ada di Sumatera,” ungkapnya. “Kemudian di Solo dan nanti itu akan diikuti tokoh-tokoh politik dari PDIP yang membangun plan-plan keluarga di situ,” lanjut Yulianto. Menurutnya, hal ini merusak sistem yang sudah dibangun PDIP yang dipertahankan dengan loyal oleh pengurus kabupaten/kota dan povinsi. “Ini bagian dari manajemen partai yang harus dikritisi, jangan mentang-mentang atau jangan seolah-olah karena punya power yang besar kemudian merusak mekanisme sistem yang telah didesain oleh partai dengan baik,” tandasnya. Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan, publik akan kecewa kepada Presiden Jokowi ketika Gibran maju pada Pilkada 2020. Ia menilai, publik kecewa karena ternyata keluarga Jokowi tidak mengambil jarak dengan dunia politik praktis. “Ini akan menambah bobot makin jauhnya harapan agar Jokowi menjadi salah satu figur yang mempraktekkan politik dengan kultur baru,” ujar Ray, Selasa (10/12/2019). Terlebih, selama ini Jokowi dicitrakan sebagai pembawa pembaruan yang tidak mempraktekkan politik dinasti dan nepotisme ketika menjabat sebagai presiden. Majunya Gibran saat Jokowi masih menjabatmenjadi titik yang menghapus semua citra baik yang selama ada di mata publik. “Artinya, dalam hal ini, Pak Jokowi tak memberi tauladan yang berbeda dari kebanyakan politisi Indonesia,” tambah Ray. Apalagi, belakangan diketahui, Achmad Purnomo mengaku mendapat tawaran jabatan dari Presiden Jokowi sebagai timbal balik karena Gibran memperoleh rekomendasi PDIP untuk maju pada Pilkada Solo 2020. Namun Purnomo menyatakan menolaknya. Tawaran Jabatan “Ya ada (tawaran timbal balik), tapi bagi saya ndak perlu,” ungkap Purnomo, seperti dilansir Detikcom, Jumat (17/7/2020). Tawaran itu disampaikan ketika Purnomo dipanggil Presiden Jokowi ke Istana, Kamis (16/7/2020). Tapi Purnomo tak bersedia menjawab apa penawaran Jokowi. Ia hanya memastikan tawaran itu berupa jabatan, tapi bukan posisi menteri. “Ya rahasia no. Ada, tapi saya ndak bersedia. Iya (jabatan). Nggak (posisi menteri), nggak setinggi itu,” sebut Purnomo. Ditanya apakah legawa karena tak jadi maju sebagai calon Wali Kota Solo dari PDIP karena digantikan Gibran, Purnomo tak menjawab pasti. Ia menyatakan hal tersebut sebuah realitas yang harus diterima. “Ya kalau saya diberi tahu seperti itu saya terima apa adanya. Kenyataannya tidak bisa saya hindari. Ya nuwun sewu (mohon maaf), terus terang, kan semuanya terpengaruh dengan putra presiden, mana saya bisa menang,” jelas Purnomo. “Bukan soal legawa atau tidak, itu kenyataan, realita. Saya kan tidak mencalonkan diri tetapi dicalonkan, diberi tugas oleh PDIP Surakarta. Kemudian anak presiden masuk, he-he-he…. Itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Bukan soal legawa, realitanya begitu,” sambungnya. Purnomo saat ini masih menjabat Wakil Walikota Solo. Setelah purnatugas pada 2021 nanti, ia mengaku ingin berfokus kembali pada usaha bisnisnya saja. Ia juga menyatakan tak akan aktif di PDIP Solo. “Ndak, dari dulu saya ndak aktif di partai kok. Anggota (PDIP), tapi ndak aktif. Saya anggota kader biasa. Kembali lagi ke dunia swasta saya. Kegiatan sosial sama bisnis saya. Bisnis ada batik, macem-macem. Ada hotel, SPBU, kayak gitu,” jelas Purnomo. Pengamat Politik, Hendri Satrio mengatakan, jika Gibran terpilih menjadi walikota karena menggunakan fasilitas Jokowi, maka masuk ke dalam kategori dinasti politik. Dan, lanjut dia, hal itu tentunya merusak nama Jokowi sendiri. Menurutnya, langkah Gibran terjun ke dunia politik bisa menorehkan tinta negatif sejarah. Karena, Gibran maju saat ayahnya, Jokowi, masih memimpin Indonesia. “Sekarang terserah Gibran tetap mau menjaga tinta positif sejarah Indonesia dalam berpolitik bagi Jokowi tentunya, atau berkontribusi menorehkan tinta negatif untuk ayahnya,” katanya di Jakarta, Selasa (10/12/2019). Dia mengatakan, sejak Indonesia berdiri sampai saat ini belum ada anak presiden yang ikut dalam pesta demokrasi. Bahkan, pada era pemerintahan Presiden Soeharto tidak ada anaknya yang maju ke dalam kontestasi politik. “Karena akan dicatat sejarah sebagai presiden pertama yang anaknya maju ke perhelatan pilkada sebagai Walikota. Belum ada itu, Pak Harto saja 32 tahun nggak kayak gitu,” kata dia, seperti dilansir Harianterbit.com. Jika akhirnya hanya pasangan calon Gibran – Teguh yang maju, karena hampir semua parpol (kecuali PKS dan PAN) mendukungnya, dipastikan mereka akan melawan “kotak kosong”. Penulis adalah Wartawan Senior
Wakil Wali Kota Solo Melawan Presiden
by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN- Sabtu (18/7). Achmad Purnomo patut diacungi jempol. Patut untuk diteladani dan diberikan penghargaan. Sebab, pada saat banyak orang berlomba meminta jabatan. Sementara Wakil Wali Kota Solo, Jawa Tengah itu justru menolak tawaran jabatan dari Presiden Joko Widodo. Tawaran jabatan sebagai timbal balik putranya Gibran Rakabuming Raka yang direkomendasikan oleh DPP PDIP untuk maju pada Pemilihan WaliKota (Pilwakot) Solo 2020. Tawaran jabatan itu disampaikan sendiri oleh Joko Widodo saat kader PDIP ini dipanggil ke Istana Negara, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Barter jabatan kepada Purnomo disampaikan Joko Widodo sehari sebelum pengumuman rekomendasi yang jatuh ke Gibran itu keluar. Rekomendasi keluar pada pada Jumat (17/7/2020) yang disampaikan secara virtual oleh Puan Maharani. Bersamaan dengan pengumuman rekomendasi untuk calon pimpinan daerah PDIP lainnya di berbagai daerah yang ikut Pilkada Desember 2020. Menurut berita yang saya baca di sejumlah media daring, Purnomo tak menjelaskan jabatan apa yang ditawarkan Joko Widodo kepadanya. Akan tetapi, bukan jabatan menteri. Namun yang selevel dengan menteri. "Ya ada (tawaran timbal balik). Tapi bagi saya ndak perlu," kata Purnomo dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (17/7/2020). Purnomo hanya memastikan tawaran tersebut berupa jabatan, tapi bukan posisi menteri. "Ya rahasia dong. Ada, tapi saya ndak bersedia. Iya tawaran jabatan. Nggak posisi menteri, nggak setinggi itu," kata Purnomo. Purnomo tidak menjawab secara tegas apakah legawa atau tidak sebagai calon Walikota Solo. Tak jadi maju sebagai calon Wali Kota Solo dari PDIP, karena digantikan oleh Gibran. Ia menyatakan hal tersebut sebuah realitas yang harus diterima. "Ya kalau saya diberi tahu seperti itu saya terima apa adanya. Kenyataannya tidak bisa saya dihindari. Ya nuwun sewu (mohon maaf), terus terang, kan semuanya terpengaruh dengan putra presiden. Mana saya bisa menang," jelas Purnomo. "Bukan soal legawa atau tidak. Itu kenyataan dan realita. Saya kan tidak mencalonkan diri. Tetapi dicalonkan sebagai bakal Wawalkot Solo. Diberi tugas oleh PDIP Surakarta. Kemudian anak presiden masuk, he-he-he.... Itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Bukan soal legawa. Realitanya begitu," ujarnya. Betul apa yang dikatakan Purnomo itu. Realita politik jelas seperti itu. Akan tetapi, ini realita politik yang sangat buruk. Karena semakin menumbuh-suburkan nepotisme. Siapa yang bisa melawan Presiden yang anaknya menjadi calon Walikota? Apalagi, pencalonan itu adalah rekomendasi partai yang tidak mungkin dibantah atau dilawan oleh kader, apalagi pengurus partai. Jika melawan titah induk partai sudah dipastikan, karier politik seseorang akan tamat. Ya, cukup banyak kasus yang terjadi. Saya ambil contoh di Banten saja. Ketika Marissa Haque menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan Zulkieflimansyah (kini Gubernur NTB), istri Ikang Fauzi itu ditendang dari PDIP. Maklum ketika Marisa adalah kader partai PDIP. Yang pada saat pencalonan Pilkada Gubernur Banrten masih menjadi anggota DPR RI dari PDIP. Banyak contoh lainnya. Pendepakan dari partai karena berseberangan dengan DPP maupun DPW/DPD hampir terjadi di semua partai yang ada di negeri. Kini praktek nepotisme semakin menjadi-jadi. Untungnya, Achamd Purnomo yang merasa kecewa karena "dibuang" dari pencalonan Walkot Solo 2020 adalah orang yang akhirnya legowo. Ditawari jabatan oleh Presiden Joko Widodo, namun ditolaknya. Ia lebih memilih kembali ke keluarga dan membesarkan bisnisnya. Maklum, sebelum menjadi Wakil Wali Kota Solo, Purnomo adalah pebisnis di bidang hotel, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), batik dan lainnya. Tidak Gila Jabatan Padahal, jika Purnomo menerima tawaran jabatan yang lebih cenderung dikatagorikan sebagai "sogokan" atau "suap" dari Joko Widodo itu, jelas akan semakin memudahkannya untuk memperluas dan memperkokoh cengkeraman bisnisnya. Akan tetapi, Purnomo ingin menunjukkan jati dirinya yang bukan orang yang gila jabatan. Purnomo bukan seperti Relawan dan Pendukung Jokowi yang kini bertebaran menjadi Wakil Menteri, Direksi dan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ada juga yang menjadi Duta Besar (Dubes) RI untuk beberapa negara sahabat. Tidak sampai di situ saja. Ada relawan yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden yang gajinya besar, tapi pekerjaannya tidak jelas. Meskipun jabatan yang ditawarkan kepada Purnomo itu tidak selevel menteri. Tetapi saya percaya posisinya bukan di sembarang tempat. Pasti ditempatkan pada posisi cukup bergengsi. Masak seorang Presiden hanya menawarkan jabatan ecek-ecek kepada Wakil Wali Kota. Apalagi, bentuk penawaran jabatan itu juga merupakan cara Jokowi mengobati kekecewaan hati Purnomo yang terluka. Sepantasnyalah kita memberikan simpati dan apresiasi kepada Purnomo yang tidak gila jabatan. Semoga, ke depan semakin banyak Purnomo Purnomo yang lain. Yang berani "melawan" Presiden, meskipun keduanya adalah kader dari partai yang sama. Penulis adalah Wartawan Senior
Barter Jabatan Walikota Solo Sebagai Upaya Penyogokan?
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Sabtu (18/07). Undang-Undang Nomor 23/2014 Tentang Pemerintahan daerah (Pemda) menjelaskan bahwa Presiden adalah penanggung jawab akhir atas penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dan Daerah. Penegasan ini terdapat di pasal 7 (ayat 2). Sementara itu, kekuasaan Pemerintahan Pusat di daerah dijalankan dengan asas desentralisasi, sesuai pasal 5 (ayat 4). Dengan demikian, posisi Pemerintahan Daerah adalah sebagai perpanjagan tangan kekuasaan Pemerintah Pusat (Presiden). Bagaima mungkin sistem dan tata kelola suatu pemerintahan ini dapat berjalan dengan baik? Apalabila bapaknya yang menjadi Presiden, sementara anaknya menjadi kepala atau pimpinan Pemerintahan di daerah? Bentukan dan konflik kepentingan tidak bisa dihindari. Saya tidak mempermasalahkan anaknya Jokowi, dalam hal bagaimana upayanya untuk menjadi calon Walikota Solo. Juga soal survei yang dibuat untuk memenangkannya, sebelum diumumkan sebaga calon Walikota Solo. Semua indikator seperti itu adalah hal sangat yang mudah untuk diatur. Yang jadi isu penting adalah sebuah system. Dimana sistem apapun itu, diharapkan bisa berjalan dengan benar. Untuk itu dibutuhkan moral dan etik sangat tinggi. Moral dan etik tingkat dewa. Tanpa moral dan etik, sistem dan tata kelola pemerintahan akan hancur dengan sendirinya, karena besarnya konflik kepentingan. Fakta tentang bentuk dan tata kelola keuasaan yang seperti ini hanya baru terjadi di eranya Jokowi sebagai Presiden. Di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Kutai Timur, ada suami yang menjadi Bupati, sementara istrinya menjadi Ketua DPRD. Bagaimana hasilnya? Ya dua-duanya dicokok sama KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kini yang terjadi, bapaknya sebagai Presiden, dan anaknya menjadi Walikota. Memang benar KKN masih marak terjadi di era Reformasi. tetapi ini hari ke hari semakin menggila saja. Praktek KKN oleh Dinasti yang Ajimumpung tidak perlu lagi disembunyikan. Perkmbangan terbaru, Jokowi sendiri yang mengumumkan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Walikota Solo di Istana Negara. Ini benar-benar gila, sableng dan ndableg. Masa fasiltas negara seperti Istana Negara dipakai untuk urusan dan kepentingan pribadi keluarga Presidan Jokowi? Bukan itu saja. Yang gila memprihatinkan adalah upaya Presiden untuk menyogok Achmad Purnomo yang menjadi calon pesaing terkuat Gibran Rakabuming Raka. Pramono mau disogok dengan jabatan di pemerintahan agar tidak maju sebagai calon Walikota Solo. Semacam barter jabatan (Tribun Kupang 18/07/2020). Purnomo sekarang wakil Walikota Solo dan Ketua DPD PDIP Kota Solo. Pemimpin seharusnya menjadi tauladan. Menjadi contoh yang baik dalam berpolitik. Termasuk untuk meraih kekuasaan. Bukan sebaliknya, kekuasaan didapat dengan menghalalkan segala cara. Termasuk juga melanggar moral dan etika. Apalagi sampai menyogok (barter) untuk pesaing dengan jabatan. Sangat memprihatinkan. Beberapa waktu silam publik dan media massa mencaci maki dinasti politik di keluarga Atut di Banten. Sekarang media massa dan publik terdiam kaku menyaksikan yang terjadi di Solo. Dengan demikian, kita tak perlu lagi diskusi-diskusi. Tutup saja buku-buku, dan gulung poster-poster tentang aksi-aksi yang mengkritisi dinasti politik. Ajimpumpung, KKN dan dinasti sudah menjadi barang yang sah untuk diterapkan di negara ini. Apalagi semua sembunyi dengan sangat rapi di balik alasan bahwa "tidak ada aturan yang melarang". Sehingga moral dan etika hanya ada di dalam buk-buku, kata mereka yang mendukung Gibran Rakabuming. Negara ini dibangun dengan sistem-sistem. Sekarang ini sistem-sistem tersebut, satu persatu hancur, karena rezim penguasa selingkuh atau mendua. Sebelum berkuasa media berteriak lantang menentang politik KKN dan dinasti. Kini setelah berkuasa diam dan mendukung. Rupiah dan iming-iming jabatanlah yang dicari. Tidak perlu paham lagi soal amanat rakyat dan sejenisnya. Jika pemimpin tertinggi negara saja sudah menunjukkan syahwat kekuasaan yang berlebihan, bagaimana dengan para pejabat yang bawahannya? Jika kitab suci bertanya "nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan"? Maka saya bertanya, “sistem negara manalagi yang akan engkau rusakkan? Kini perilaku ajimumpung akan dicontoh di banyak pejabat di daerah. Akan menjadi praktek yang lumrah di berbagai level kekuasaan. Tidak peduli soal kapasitas, kapabilitas, moral, etika, integritas. Sebab dengan uang, semua itu bisa diraih dengan sangat mudah. Jabatan Gubernur bisa diwariskan kepada istri dan anak. Kan rakyat yang milih? Ya, tetapi di kepala kalian sudah ada cara bagaiman agar rakyat memilih mau memilih anak dan istri kalian. Penilis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Future Studies (INFUS)
Ruhnya RUU BPIP Tetap Pancasila 1 Juni 1945
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (18/07). Lagi lagi penyelundupan ide penafsiran Pancasila ala Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang bersemangat dan berpegang pada Pancasila 1 Juni 1945. Pada RUU BPIP pun spirit dan semangat tersebut masih membekas. Meski tak berani terang-terangan.Akan tetapi RUU yang dinilai "asal asalan" namun memliki "hidden agenda" ini, nampaknya tak bisa juga melepaskan diri dari spirit rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Sebab Jika tujuan hanya untuk membuat payung hukum bagi Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), maka sebenarnya tidak harus ditetapkan dalam bentuk "Undang-Undang". BIPI cukup dengan "Perpres" saja. Faktanya status BPIP hanya merupakan badan "pembantu" Presiden. Tidak lain dan tidak bukan. Tidak lebih dari pembantu presiden. Terlalu tinggi untuk diatur dalam sebuah Undang-Undang. Terlalu berlebihan energi bangsa ini hanya dikuras membuat undang-undang sebagai paying hukum untuk BPIP. RUU BPIP yang diajukan Pemerintah dalam Konsideran "Menimbang" menempatkan Pancasila 1 Juni 1945 tetap menjadi sandaran utama menuju ke pembinaan Pancasila. Bahkan ditempatkan "sangat luhur" yakni pada butir a. yang berbunyi : "bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia yang hari lahirnya telah ditetapkan 1 Juni 1945 harus diketahui asal usul oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara" Sangat jelas ada nilai "lestari" dan "langgeng" serta "asal usul" Pancasila, yang tak lain adalah Pancasila 1 Juni 1945 yang harus diamalkan. Inilah penyelundupan pada tahap awal. Lalu lihat format selanjutnya RUU BPIP ini. Masih dalam hal "Menimbang" butir pada b, yang memformulasi narasi perkembangan Pancasila hingga 22 Juni 1945 dan finalnya pada 18 Agustus 1945 berujung pada kalimat : "..dan merupakan satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tersebut di dalam Keputusan Presiden No. 24 tahun 2016 tentang Lahirnya Pancasila". Kita telah mengetahui bahwa fokus dari Kepres di atas tak lain adalah Pancasila 1 Juni 1945. Dengan rumusan Pancasila, yaitu Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, serta Ketuhanan yang Berkebudayaan. Sangat jelas bahwa landasan filosofis dan yuridis dari RUU BPIP tetap Pancasila 1 Juni 1945. Meskipun untuk pengertian Pancasila tidak dapat menghindarkan diri dari rumusan sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. RUU BPIP disebut "asal-asalan" karena singkat sekali hanya VII Bab dan 17 Pasal. Yang betul betul berkaitan dengan BPIP sendiri hanya Bab IV, Bab V dan Bab VI. Sementara Bab VII Penutup dan Bab I tentang Ketentuan Umum. Bab II Asas dan Tujuan. Sedangkan Bab III dapat disebut "out of position" tidak relevan dengan BPIP. Mengingat bahwa RUU BPIP adalah "buntut" dari RUU HIP dan RUU HIP tersebut telah menggoncangkan bangsa dan negara dengan penyelundupan ide komunisme, maka sudah tepat dan layak jika masyarakat tetap keberatan akan keberadaan BPIP dan RUU BPIP nya. Oleh karena itu sangat beralasan pula jika seruan rakyat masih konsisten pada "Bubarkan BPIP" dan "Tolak RUU BPIP". Jika Pemerintah dan DPR masih juga memaksakan, maka patut disimpulkan bahwa "hidden agenda" memang terbukti, dan sedang dijalankan. Rakyat berhak bersikap. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pak Jokowi, Posko Pemenangan Gibran Bikin di Istana Saja
by Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (18/07). Preseden baru dari Presiden kalian. Mulai hari ini, seorang presiden boleh mengurus pilkada keluarganya di Istana Negara. Jokowi mendobrak taboo penggunaan fasilitas negara untuk membahas ambisi politik anak-menantu. Kemarin, 16 Juli 2020, Presiden Jokowi memanggil calon walikota yang didukung DPC PDIP Solo, Achmad Purnomo, ke Istana Negara. Kepada Purnomo, Jokowi mengatakan bahwa Gibran Rakabuming Raka adalah orang yang direkomendasikan oleh pimpinan PDIP untuk maju menjadi calon pilwalkot Solo. Pasanganya Teguh Prakoso. Beginilah seharus seorang presiden yang mengutamakan kepentingan rakyat. Dan begini inilah teladan yang diperlukan oleh para pemilih Jokowi. Presiden yang inspiratif. Presiden yang mengutamakan keluarga. Jokowi adalah presiden yang efisien. Penggunaan istana untuk urusan politik anak-menantu adalah tindakan yang menghemat waktu dan biaya. Sangat pantas diapresiasi. Istana Negara itu memang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kepentingan anggota keluarga yang bakal menjadi aset besar bangsa. Gibran adalah aset bangsa. Dia harus diberi peluang untuk menunjukkan bahwa dia adalah aset. Bibit-bibit pemimpin yang hebat dari keluarga Jokowi pantas difasilitasi. Gibran bisa meneruskan kiprah Jokowi. Ini perlu diusahakan oleh pemilih Jokowi. Sebab, sebuah negara yang terus-menerus dalam keadaan kacau yang berkesinambungan adalah proses yang diperlukan untuk menguji kesabaran suatu bangsa. Beruntungkah bangsa Indonesia. Anda, para pemilih Jokowi, memiliki kelestarian sistem pengujian kesabaran itu. Jokowi telah meletakkan dasar yang kuat untuk kontinuitas sistem uji kesabaran. Jadi, para pemilih Jokowi sangat memerlukan kelanjutan kepemimpinan mantan walikota Solo itu. Sekarang, Gibran akan berkesempatan untuk mengikuti jejak Jokowi. Yang juga akan dimulai dari Solo. Jika Gibran berhasil menjadi walikota, beberapa tahun kemudian bisa dibawa oleh PDIP ke Jakarta. Untuk menjadi gubernur DKI. Setelah itu, tentunya dikawal terus untuk dijadikan Presiden Gibran. Sehingga, kehebatan Jokowi memimpin negara ini bisa dilanjutkan anaknya. Pendapat atau aturan bahwa Istana Negara tidak boleh digunakan untuk urusan pilkada keluarga Presiden adalah pendapat dan ketentuan yang sudah usang. Jokowi melakukan terobosan dahsyat. Ini akan berdampak luar biasa. Tindakan yang dilakukan Jokowi adalah salah satu cara untuk menghemat biaya pilkada. Dalam rangka membantu realisasi ambisi anak-anaknya, Jokowi tidak perlu berpergian ke Solo atau ke tempat lain. Tidak usah keluar dari Istana. Semua dilakukan di Istana. Pada saatnya nanti, posko pemenangan Gibran dibikin di Istana saja. Pak Prabowo bisa itu diangkat menjadi ketua tim pemenangan. Soalnya beliau masih ada jugalah pendukungnya di sana-sini. Organ-organ pemerintah di Istana juga bisa dikerahkan untuk membantu Gibran. Tidak masalah. Sebab, ini soal aset bangsa. Pokoknya semua satu atap. Ada baiknya juga pelantikan Girban sudah mulai disiapkan dari sekarang. KPU pasti tahulah itu caranya. Selagi Om Arief Budiman masih di sana, Girban santai saja. Aman itu, Pak[] Penulis adalah Wartawan Senior
Skandal Djoko Tjandra Dan Integritas Penegak Hukum
by Dr. Abdullah Hehamahua Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Gubernur Hong Kong, Sir Murray Mac Lehose tahun 1974, membentuk KPK. Lembaga ini bernama Independent Agency Against Corruption (ICAC). Tugas pertama adalah membersihkan kepolisian dari korupsi. Sebab, waktu itu Jenderal Polisi, Peter Fitzroy Godber memiliki rekening gendut U$ 600.000. Uangnya disimpan di bank Kanada. Dia juga punya asset senilai senilai 4,3 juta dollar Hong Kong. ICAC berhasil menangkapnya. Namun, penangkapan Wakil Kepala Polisi Kowloon itu telah memicu bawahannya menggerebek kantor ICAC. Komisioner ICAC bergeming. ICAC dalam waktu relative singkat menangkap 247 koruptor. Sebanyak 143 orang adalah polisi. ICAC lalu menjadi ‘role model’ proses pemberantasan korupsi di dunia. Pejabat dan pegawai KPK biasa mengunjungi kantor ICAC. Pimpinan ICAC biasa juga bertandang ke kantor KPK. Drama Djoko Tjandra Publik dihebohkan dengan berita Djoko Tjandra. Buronan 11 tahun ini mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Tragisnya, Djoko Tjandra bisa menghadiri sidang PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 8 Juni 2020. Dahsyatnya lagi, Djoko bisa membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Barat pada tanggal 8 Juni pagi. Djoko Tjandra disambut langsung oleh Lurah Grogol Selatan di Kantor Kelurahan. KTP-nya selesai hanya dalam waktu dua jam. Tanggal 23 Juni 2020, Djoko membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Anehnya, Djoko sudah menjadi warga negara Papua Nugini, pada Juni 2009. Namun bisa mendapatkan e-KTP dan diberikan Paspor oleh Imigrasi Jakarta Utara. Bagaimana Djoko yang buron bisa masuk Indonesia tanpa ditangkap ? Apakah hal tersebut disebabkan ketidak-tertiban adminstrasi Imigrasi dan aparat penegak hukum.? Mungkin juga tidak ada kordinasi antar instansi terkait sehingga Djoko bisa leluasa memiliki e-KTP. Datang sendiri ke Pengadilan, dan membuat paspor tanpa ditangkap. Menurut Juru Bicara Ditjen Imigrasi, Arvin Gumilang, Djoko tidak pernah tercatat masuk ke Indonesia. Ada dua kemungkinan. Pertama, Djoko masuk Indonesia tanpa melalui imigrasi. Beliau bisa melalui jalan tikus di perbatasan Papua Nugini dan Papua. Kedua, Djoko masuk Indonesia dengan menggunakan nama lain sehingga tidak terditeksi di Imigrasi. Apalagi, imigrasi sudah menghapus nama Djoko dari daftar pengawasan pada 13 Mei lalu. Alasannya, interpol sudah menghapus status red notice untuk Djoko. Arvin Gumilang menyebut pihak Imigrasi baru menerbitkan status cekal untuk Djoko, 27 Juni lalu. Setelah kejaksaan memasukkan nama buron itu ke Daftar Pencarian Orang (DPO). Kesimpulan pertama, kelalaian Kejaksaan yang membiarkan nama Djoko terhapus dalam senarai DPO. Kemungkinan Ada KKN? Pejabat atau karyawan yang tidak berintegritas? Tanyakan sendiri ke rumput yang bergoyang. Bencana baru menimpa dunia penegakkan hukum Indonesia ketika terpublikasi berita, Djoko Tjandra mendapat surat tugas dari Bareskrim (18 Juni) untuk meninggalkan Jakarta menuju Pontianak. Aneh bin ajaib. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang pengadilan PK bagi seorang boron, 29 Juni 2020. Apakah pejabat Pengadilan tidak tau kalau Djoko seorang buron.? Ada KKN atau pegawai Pengadilan yang tidak berintegritas.? Tanyakan juga ke rumput yang bergoyang. Anehnya lagi, Jaksa Agung mendapat informasi kalau Djoko Tjandra sudah berada di Jakarta selama tigabulan. Lagi-lagi masalah integritas aparat penegak hukum menjadi taruhan. Terbayang kenangan, bagaimana SOP, Kode Etik, dan Peraturan Kegawaian KPK menjadi “malaikat” pengawas dalam balutan integritas setiap insan yang bekerja di KPK. Tangkap Jenderal Polisi Pertama kali mengikuti Rapim KPK (Maret 2005), saya mengusulkan agar ditangkap beberapa jenderal polisi, baik yang di Mabes maupun Polda. Sebab, KPK Hong Kong memulai debutnya dengan menangkap Jenderal Polisi Hongkong. Namun, sanggah seorang komisioner, “Jaksa Hong Kong relative baik, dan hakimnya diimpor dari Inggeris. Indonesia, ketiga lembaga tersebut bermasalah sehingga tidak bisa meniru pola KPK Hong Kong,” katanya. Saya terdiam. Kalau begitu, gaji kepolisian dinaikkan minimal 100%. Sebab, salah satu penyebab korupsi di kalangan PNS, termasuk instansi penegak hukum adalah gaji yang sangat rendah. Candaan saya ketika menjadi narasumber di Bimtek DPRD dan Kementerian tertentu: “PNS yang jujur akan mengalami ‘kematian’ tiga kali dalam sebulan. Sebab, gaji PNS hanya cukup untuk 10 hari.” (SBY setiap tahun menaikan gaji PNS secara gradual sebagai respons atas rekomendasi KPK). Kemenkeu dalam merespons sikap KPK menyatakan, keuangan negara tidak mampu untuk menaikan gaji kepolisian sebesar 100 persen. Sebab, jumlah mereka relative banyak. Hal yang sama juga berlaku terhadap Kejaksaan. Akhirnya, kebijakan Komisioner KPK (jilid 1), peningkatan gaji PNS dimulai dari para Hakim. Filosofinya, jika bola kejahatan dapat menembus pertahanan kepolisian dan kejaksaan, maka Hakim sebagai penjaga gawang keadilan terakhir, dapat menangkapnya. Apalagi, jumlah Hakim dan Panitera relative kecil sehingga bisa ditanggulangi APBN. KPK pun menetapkan tiga instansi sebagai pilot project: Kemenkeu, MA, dan BPK. Filosofinya, jika bendahara negara kelaparan, uang rakyat dapat dicuri. BPK sebagai eksternal auditor perlu diamankan ‘perut’ mereka. Sehingga bisa independen dalam mengaudit keuangan negara. KPK berdasarkan strategi itu memasuki kompleks MA (2005) melalui kasus Probosutejo. KPK lalu membantu membenahi manajemen MA. Hasilnya, kasus-kasus kasasi yang bertahun-tahun numpuk di meja Hakim Agung, dalam waktu relative singkat, dapat diselesaikan. Bahkan, putusan Pengadilan dapat dipantau di Web MA dalam waktu relative singkat. Sayang, ketika KPK jilid dua, Lembaga ini diobok-obok oleh kasus cicak-buaya, sehingga kelanjutan reformasi birokrasi di Kementerian dan Lembaga, termasuk MA, terabaikan. Wajar, muncul kembali kasus-kasus korupsi yang melibatkan apparat penegak hukum. Kasus terakhir, mantan Sekretaris MA yang ditangkap KPK. Integritas dan Keteladanan Hilang Gus Dur pernah bilang, di kepolisian hanya ada dua orang jujur. Jenderal Hoegeng dan polisi tidur. Candaan Gus Dur tersebut, berlebihan. Sebab, selama delapan tahun di KPK, saya temukan banyak anggota polisi yang hebat-hebat. Apakah mereka adalah anggota polisi terbaik yang direkomendasikan untuk berkiprah di KPK.? Bisa iya, dapat juga tidak. Saya mau berkongsi tentang beberapa anggota polisi yang “hebat” itu. Novel Baswedan dan beberapa Penyidik memasuki ruang kerja saya ketika terjadi kasus cicak-buaya (2007). “Bapak harus pertahankan KPK agar tidak sampai dibubarkan,”. Itu pernyataan Novel yang saya masih ingat. Mengapa? tanya saya. Kalau kami, ‘nothing to lose’, katanya. “Tapi, kami tidak mau jadi orang jahat lagi,” tambahnya. Mereka Tegas! Saya juga terkejut ! Setelah mereka meninggalkan ruanganku. Lalu saya merenung. Penyidik KPK berasal dari Kepolisian yang Mabesnya hanya beberapa kilometer dari Kuningan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung yang kantornya juga hampir sama jaraknya dari KPK. Kedua instansi tersebut dianggap bermasalah oleh masyarakat. Hal tersebut juga merupakan alasan, mengapa dibentuk KPK. Saya pun teringat akan tingkah-laku kedua adik ipar saya yang juga anggota polisi. Namun, Penyidik dan JPU yang di KPK, setidaknya pada edisi satu dan dua, hebat-hebat. Mengapa mereka hebat? Penyebabnya, sistem yang diterapkan di KPK berbeda dengan di instansi lain. Di KPK, SOP, Kode Etik, dan Peraturan Kepegawaian dilaksanakan tanpa toleransi. ‘Zero tolerance’. Itulah integritas mereka. Mereka para Penyidik dan JPU ini ketika kembali ke instansi asal, dimana sistem di sana, belum berubah, maka mereka akan kembali lagi ke tradisi lama. Saya lalu paham, apa yang dimaksud dengan pernyataan Novel tadi. Sejak itu, di pelbagai kesempatan, saya selalu sosialisasikan konsep Reformasi Birokrasi yang digaungkan oleh KPK sejak 2005. Saya ketika di ILC, sering dihubungi salah seorang Penyidik KPK. Beliau biasa menyampaikan informasi tentang alasan, bukti, dan dasar hukum, mengapa KPK melakukan begini dan begitu. Poinnya, beliau betul-betul memertahankan nama baik KPK ketika dihajar dari kanan dan kiri panggung pemberantasan korupsi. Seorang anggota polisi yang bertugas di Pengawasan Internal (PI), selantai dengan saya, tidak pernah absen shalat berjamaah. “Pak Abdullah,” sapanya pada suatu kesempatan di mushallah lantai enam. “Seumur hidup, baru di KPK, saya shalat berjamaah empat kali sehari.” Teringat, yang usul agar pengajian ba’da shalat dzuhur, dari dua kali menjadi tiga kali sepekan adalah pegawai dari Kepolisian dan Kejaksaan. Beberapa bulan setelah usul tersebut dilaksanakan, mereka usul agar “di setiap lantai, ba’da shalat ashar, kita baca kitab.” Saya terharu mendengar usul tersebut. Mulailah di lantai enam, setiap ba’da sahalat ashar berjamaah, saya membaca satu dua hadits dari Bhulughul Maraam. Tamat, saya teruskan dengan Nailul Authar. Kedua kitab ini diprioritaskan karena berhubungan dengan hukum. Terakhir, sebelum pensiun, saya membaca Riyadush Shalihin. Sewaktu sudah purna bakti, dan ada cara di KPK, saya diajak shalat ashar berjamaah di mushalla yang sama, lantai enam. Ternyata, tradisi yang saya tinggalkan, masih berlanjut. Mereka membaca kitab Sirah Nabi Muhammad. KPK sudah berumur enam belas tahun. Puluhan alumninya yang sudah kembali ke Kepolisian dan Kejaksaan. Mengapa masih ada kasus di Bareskrim seperti itu? Jawabannya, reformasi birokrasi belum berjalan dan keteladanan pimpinan yang hilang. Semuanya bermuara dari integritas. Apakah ada hubungan di antara Brigjen PU, pembuatan e-KTP, paspor, PK di PN Jaksel, dan pertemuan Presiden dengan adiknya Djoko Tjandra di Papua Nugini? Biarlah ssaja Kompolnas yang mengusutnya. Semoga Penulis adalah Mantan Penasehat KPK
Pemerintahan Kok Seperti Preman?
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Rakyat bereaksi terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Rakyat, khususnya umat Islam menilai RUU HIP berbau Komunis, dan membuka peluang bangkitnya neo PKI. Sikap Pemerintah maupun DPR ditunggu masyarakat. Apakah DPR yang akan mencabut RUU HIP melalui rapat Paripurna Dewan? Atau Pemerintah yang menyatakan tidak akan melakukan pembahasan? Masyarakat masih berunjuk rasa di depan Gedung DPR. Masyarakat masih menunggu. Alih-alih mengambil keputusan tentang RUU HIP. Malah seenaknya Pemerintah mengajukan RUU baru yang diberi nama RUU BPIP. Empat Menteri menyerahkan naskahnya kepada Ketua DPR Puan Maharani. Mereka adalah Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tito Karnavian, dan Menhan Prabowo Subianto. Penyampaian RUU BPIP dengan begitu saja, jelas merupakan pelecehan kepada rakyat oleh Pemerintah. Bahkan melecehkan DPR RI juga. RUU inisiatif Dewan belum tersikapi secara resmi. Namun usulan baru dari Pemerintah sudah masuk. Pembuldozeran halus. Lucunya Dewan melalui Ketua DPR Puan Maharani sangat bahagia. Anggap remeh aspirasi rakyat, khususnya umat Islam. Padahal sekurangnya ada empat hal yang menunjukkan adanya kesewenang-wenangan dan pengabaian hokum. Pertama, status RUU HIP harus terlebih dahulu jelas. Harus memiliki kepastian hokum. Mau diapakan kelanjutannya? Pemerintah menyatakan masih "menunda" dan DPR masih "menunggu". Ujungnya dibiarkan "mengambang". Penyelenggaraan negara model apa seperti ini? Kedua, RUU BPIP sebagai ajuan Pemerintah adalah RUU baru. Yang semestinya harus masuk dahulu dalam Prolegnas yang disepakati bersama untuk pembahasan yang terjadwal. Tidak boleh "menyalip" RUU yang sudah terlebih dahulu "antri". Ini adalah contoh buruk budaya "main labrak". Pemerintahan ko seperti preman? Ketiga, mengapa mesti empat Menteri mengantar RUU BPIP ini? Secara prosedural cukup diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM saja. Pola "unjuk kekuatan" atau "unjuk kekuasaan" dengan mengutus empat Menteri menggambarkan situasi "disorder" atau "tidak normal". Keempat, RUU BPIP tetap kontroversial. Sebab membalikkan prinsip hukum yang benar. Ironi sebuah Undang-Undang dibuat untuk mengatur "wadah" yang lebih dahulu ada. Semestinya Undang-Undang dahulu baru dibuat wadah untuk melaksanakan Undang Undang itu. Ada "pemaksaan" dan dipastikan berkonten "tidak aspiratif". Keberadaan BPIP masih dipertanyakan urgensinya. Desakan agar BPIP dibubarkan juga cukup keras terdengar. BPIP bukanlah kebutuhan "pokok" bagi rakyat saat ini. Lebih pada pemenuhan hasrat penguasa sendiri dan dapat menjadi "mainan ideologi" dalam menafsirkan Pancasila sesuai dengan kemauan Pemerintah. Harusnya Pemerintah dan DPR "colling down" dulu. Apalagi berkaitan dengan RUU HIP yang berbau komunisme tersebut. Sangat kuat tuntutan untuk melakukan pengusutan dugaan adanya penyusup "makar ideologis" pada RUU HIP. Lakukan segera proses politik dan hukum terhadap oknum yang "menunggangi" situasi ini. Pemerintahan Preman adalah Pemerintah yang abai pada prinsip-prinsip Pemerintahan yang baik. Pemerintah yang menganggap enteng aspirasi rakyat. Pemerintah yang mengacak -acak wibawa wakil rakyat. Pemerintah yang memerintah dengan kekuatan alat pemaksa. Memperalat ideologi, serta memanipulasi hukum. BPIP dan RUU BPIP adalah wujud pemaksaan dan keburukan dari rezim yang "false governance", "false public policy" dan "false authority". Itulah rezim Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Lima Rekomendaasi Untuk MPR Terkait Putusan MA NO 44 P/HUM/2019
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Amandemen UUD 1945 terkesan menciptakan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas, rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik”. (Prof. Dr. Dahlan Thaib, 2005, “Nasib kerja Komisi Konstitusi tentang amandemen UUD 1945”) Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Untuk memudahkan, maka pembatasan Undang-undang Dasar hasil amandemen dalam artikel ini kita sebut UUD 2002. Sedangkan Data dan Informasi UUD 1945 mengatakan, “Indonesia, ialah Negara yang berdasar atas Hukum (Rechsstaat)”. Pasal 6A (3) UUD 2002 : “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikit-sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”. (amandemen ke-3) Pasal 6A (4) UUD 2002 : “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. (amandemen ke-4) Putusan MA No. 44 P/HUM/2019, antara lain memutuskan Pasal 3 (7) PKPU 5/2019 bertentangan dengan UU No. 7/2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Komisi Konstitusi bentukan MPR RI tahun 2002 telah melakukan kajian terhadap UUD 2002. Ketua Komisi Konstitusi Prof. Dr. Sri Soemantri, pakar Hukum Tata Negara bersama 30 anggota komisi, telah merampungkan tugasnya, dan hasilnya sudah diserahkan ke MPR RI Baca : Pelantikan Presiden RI 2019 : “Semua bilang kawal konstitusi”. (google). Baca : “Buah RUU HIP Untuk Kontemplasi pada 61 Tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959”. (google) Diskusi dan Interpretasi “Founding fathers and mothers”, menegaskan Negara berdasar atas Hukum. Bukan berdasarkan pada kekuasaan. Artinya, siapapun tidak boleh memanipulasi, menekuk dan membelokan hukum. Pasal 6A (3) UUD 2002, bicara syarat ideal Paslon yang bisa dilantik MPR. Artinya mengikat MPR. Tidak bicara jumlah Paslon. Pasal 6A (3) UUD 2002 lahir di amandemen ke-3. Bagaimana jika syarat ideal tidak tercapai? Dalam amandemen ke-4, lahir ayat (4), memiliki korelasi dengan ayat (3), ayat ini sebagai solusi. Kasus ini, menguatkan dugaan bahwa amandemen UUD 1945 beberapa pasal muncul tanpa naskah akademi, termasuk Pasal 6A ayat (3) & (4) UUD 2002. Jika ada naskah akademinya, ayat (3) & (4) tentu lahir bersamaan. Pengakuan Prof. Dr. Sahetapy, sebagai pengusul tunggal hilangnya kata “asli” pada Pasal 6 UUD 1945 “Presiden ialah orang Indonesia asli”, juga menguatkan dugaan. Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan interpretasi Pasal 159 (1) UU 42/2008, yang substansinya seperti Pasal 6A (3) UUD 2002. MK menyatakan tidak berlaku jika Paslon dua pasang (Putusan MK 50/PUU-XII/2014). Putusan MK ini bukan segala-galanya, karena dikesampingkan dengan lahirnya UU 7/2017 Pasal 416 (1), yang mengatur Presiden dan Wapres terpilih sebagaimana Pasal 6A (3) UUD 2002. (Asas “Lex posterior derogat legi priori”) Celakanya, KPU membuat interpretasi lagi. Pasal 3 (7) PKPU Nomor 5/2019 menetapkan Paslon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Paslon terpilih, jika hanya ada 2 (dua) Paslon. Sehingga Putusan MA No. 44/HUM/2019 memutuskan peraturan KPU ini bertentangan dengan UU No. 7/2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MA No.44/HUM/2019 melahirkan perdebatan. Diskusi silang pendapat dan berbagai interpretasi terhadap pasal dan ayat dalam UUD 2002 dan peraturan lainnya. Sesungguhnya, jika ingin menegakkan aturan terkait Pilpres 2019, masih panjang dan berliku-liku. Penetapan KPU soal Presiden terpilih, sebagai norma khusus, apa perlu diuji legalitasnya di PTUN? Sebagian berpendapat untuk apa? Pemborosan saja. Toh norma umum sudah ada Putusan MA. Di akhir Pilpres, kedua Paslon juga tidak memenuhi Pasal 6A (3) UUD 2002. Apa perlu Pilpres tahap kedua? Tentu ini juga pemborosan. Inilah format dalam UUD 2002. Sukakah kita? Akankah UUD 2002 akan terua kita pertahankan ? Artikel ini tidak membahas penegakan hokum. Tetapi ingin menyampaikan bahwa, Putusan MA tersebut membuka cakrawala. Adanya interpretasi pasal dalam UUD 2002. Benar Prof. Dr. Dahlan Thaib di atas : “….. rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik”. Rekomendasi Untuk MPR Apabila rakyat Indonesia yakin Pancasila sebagai Dasar Negara, pasal-pasal UUD 2002 tidak koheren dengan nilai-nilai Pancasila dan multi interpretative, sehingga menimbulkan instabilitas hukum, politik dan robeknya persatuan. Maka demi bangsa dan negara, ada 5 (lima) rekomendasi untuk MPR RI, dengan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 2002 sebagai jisa kewenangannya : Pertama, hendaknya mempelajari hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR RI tahun 2002, dan dari elemen masyarakat, terkait UUD 2002. Menyerap pendapat para pakar Hukum Tata Negara dari kaum akademisi, terkait situasi negara saat ini. Setelah kita menggunakan UUD 2002. Kedua, hendaknya segera mengambil langkah konstruktif dan konstitusional. Apabila situasi negara buruk, itu diakibatkan UUD 2002. Tidak perlu ragu, merasa bersalah, dan ewuh pakewuh. Jika harus Kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan cara memberikan adendum, agar nilai-nilai, cita-cita dan tujuan ketika mendirikan “Indonesia Merdeka” tetap lestari. Ketiga, seyogyanya buku “Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar” MPR RI, tidak hanya buku seputar UUD 2002. Perlu buku pendamping, seperti kajian Komisi Konstitusi, kajian Foko Purnawirawan TNI-POLRI, pendapat para tokoh dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) yang sudah pernah disampaikan kepada MPR RI. Tujuannya, agar rakyat paham dan bisa melakukan penilaian. Keempat, membentuk Komisi Konstitusi dengan anggota non partisan dan tidak pernah terlibat amandemen. Tugasnya mengkaji lebih lanjut UUD 2002, dikaitkan dengan dampak setelah digunakan untuk bernegara. Penyempurnaan UUD 1945 dengan adendum dan menguji aturan perundang-undangan turunan dari UUD 2002. Kelima, menerima aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan konstitusi secara periodik. Acara ini bak “Tapa Pepe” kearifan lokal Raja Jawa dan menunjukkan masyarakat berhak bicara konstitusi. Semoga persoalan bangsa ini bisa dipahami semua pihak. Termasuk para Ketum Parpol, politisi, kaum intelektual dan masyarakat umumnya. Insya Allah, amin. Penulis adalah Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
RUU HIP Jadi RUU BPIP, Umat Minta BPIP Dibubarkan!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Baca pandangan dan sikap PBNU pada poin 8: "Bahwa obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat. Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru, yang prakteknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat. Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturannorma dalam masyarakat". Jelas, PBNU khawatir adanya BPIP justru menibulkan beberapa hal. Pertama, akan menjadi lembaga kontrol atas nama pancasila dan negara terhadap kehidupan masyarakat. Ini sangat berbahaya. Bisa menjadi "Orba Gaya Baru" (OGB). Kedua, BPIP berpotensi digunakan sebagai alat untuk menggebuk lawan-lawan politik pemerintah. Ketiga, hadirnya tafsir Pancasila ala BPIP bisa memicu kegaduhan dan konflik sosial baru. Keempat, nantinya BPIP merasa paling benar sendiri dalam menafsirkan Pansila. Dikhawatirkan nantinya Pancasila BPIP adalah yang tanggal 1 Juni 1945. Bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Ini bisa menimbulkan keributan antara masyarakat, khususnya umat Islam dengan BPIP. Tanpa adanya UU saja sudah bikin gaduh di masyarakat. Apalagi jika ada UU-nya. Bisa semakin gaduh. Inilah yang dikhawatirkan oleh masyarakat. Kekhawatiran ini masuk akal, melihat sejarah masa lalu, khususnya BP7. Kekhawatiran ini ditambah gaya BPIP sekarang yang merasa paling benar saja dalam segala urusan yang berkaitan dengan Pancasila. Poin No 8 dari pandangan dan sikap PBNU seolah menyuarakan pesan: “bubarkan saja BPIP. Nggak dibutuhkan itu BPIP”! Persoalan ini juga yang menjadi rekomendasi Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) V yang diselenggarakan MUI di Bangka Belitung. KUII ke V minta BPIP untuk dibubarkan. Eh, sekarang malah mau dibuat RUU untuk BPIP. Tambah ngaco lagi. Ketika RUU HIP ditolak, lalu ganti nama RUU BPIP, ini menimbulkan sejumlah analisis. Pertama, pemerintah dan DPR dianggap gagal paham. Kenapa? Yang ditolak umat Islam bukan "nama" atau "istilah" yang dipakai RUU. Bukan itu! Yang ditolak umat Islam adalah keseluruhan, yang meliputi proses, substansi, motif dan potensi konfliknya. Kedua, perubahan nama dari RUU HIP ke RUU BPIP sengaja dibuat untuk menggeser isu komunisme ke isu otoritarianisme. Melekat pada RUU HIP stigma komunisme. Sementara RUU BPIP lebih dipahami sebagai upaya pemerintah untuk memperkuat otoritarianismenya. Pemerintah mau menggunakan tafsir Pancasila versi BPIP untuk kepentingan kekuasaannya. Nantinya tafsir Pancasila yang benar hanyalah yang versi BPIP dan pemerintah. Yang di luar Pemerintah dan BPIP salah. Tambah ngawur lagi. Nampaknya, analisis yang kedua lebih pas. Ada upaya menggeser isu komunisme. Sebab, isu komunisme dianggap lebih sensitif dari isu otoritarianisme. Selama ini, isu komunisme yang melekat pada RUU HIP telah mendorong gelombang protes umat Islam di berbagai daerah. Apakah pergeseran isu ini akan berhasil? Bisa iya, bisa tidak. Bergantung konsistensi umat Islam pada tuntutannya, yaitu batalkan RUU HIP dan usut para inisiatornya? Tuntutan ini menjadi pokok utama dalam maklumat MUI. Yang pasti, seiring dengan pergantian nama dari RUU HIP ke RUU BPIP, akan muncul narasi dan diskursus baru. Tidak saja narasi dan diskursus baru, tetapi juga kekuatan lobi akan menjadi penentu. Apakah MUI, Ormas dan umat Islam konsisten pada tuntutannya? Atau sebaliknya, justru masuk angin. Kita lihat, apa yang akan terjadi. Jika umat Islam tetap menuntut "bubarkan BPIP" sebagaimana yang tersirat dalam sikap PBNU dan rekomendasi Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) V, maka isu RUU HIP atau RUU BPIP akan terus mendapatkan energinya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Jangan Alihkan Kesalahan Polri ke Surat Jalan Djoko Tjandra
by Asyari Usman Jakarta, FNN - Kamis (16/07). Sengaja atau tidak, pimpinan Polri berusaha mengalihkan fokus kesalahan Polri secara institusional menjadi kesalahan Brigjen Prasetijo Utomo (PU) yang mengeluarkan surat jalan (SJ) untuk Djoko Tjandra (DT). Cara pengalihan kesalahan ini sangat ‘high profile’. Tak kurang Kadiv Humas Irjen Argo Yuwono melakukan ‘spin doctoring’ (pengolahan opini) yang lumayan canggih. Tujuannya bisa ditebak. Yakni, supaya publik mengarahkan kritik atau celaan kepada Brigjen Prasetijo saja. Nah, publik harus disadarkan. Kesalahan terbesar dalam kasus Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra (JST) bisa keluar masuk Indonesia secara ilegal, dan melakukan berbagai kegiatan termasuk pembuatan e-KTP super cepat, bukanlah di tangan Brigjen PU. Kesalahan terbesar dalam drama ini ada di tangan Polri, khususnya jajaran intelijen dan Bareskrim. Mengapa? Karena alur utama drama DT (JST) adalah kegagalan Polisi menangkap buronan ‘most wanted’ korupsi itu. Jadi, yang harus dipersoalkan adalah mengapa DT tidak terdeteksi dan tidak bisa ditangkap? Ini yang teramat penting untuk dijawab. Apakah kesalahan Brigjen Prsetijo lebih fundamental atau kesalahan institusi Polri yang fatal? Ini yang harus diurai tuntas. Surat jalan atas nama DT yang dikeluarkan oleh mantan Karokorwas PPNS Bareskrim Polri, memang tindakan yang salah. Dan Brigjen PU wajar mendapatkan hukuman administratif. Sudah tepat dia dicopot dari jabatannya. Tapi, pembuatan surat jalan oleh Brigjen PU itu bukan kesalahan utama dalam drama yang berbau busuk ini. Surat jalan untuk DT hanya ‘satu adegan kecil’ diantara adegan-adegan yang mungkin melibatkan bintang-bintang besar di Polri dan juga di instusi-institusi lain. Surat jalan itu hanya digunakan dalam perjalanan Djoko dari Jakarta ke Pontianak dan balik ke Jakarta lagi. SJ itu hanya berlaku dari 19 Juni sampai 22 Juni. Padahal, DT berada di Indonesia selama tiga (3) bulan. Keberadaan DT yang cukup lama ini (yakni antara akhir Maret 2020 sampai akhir Juni 2020) diungkapkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin ketipa rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 29 Juni 2020. Jaksa Agung mengakui intelijen Kejakgung lemah. Gagal menangkap DT (JST). Tapi, Menkum HAM Yasonna Laoly mengatakan pihaknya tidak mempunyai data tentang keberadaan Djoko Tjandra selama tiga (3) bulan itu. Kalau Kejaksaaan berkilah intelijen mereka lemah, tentu tidak begitu halnya dengan intelijen Polri. Intel Polisi pasti sangat kuat. Dengan ribuan personel yang terlatih. Nah, mengapa kepolisian “tak tertarik” untuk menangkap Djoko. Padahal, polisi tahu si buronan ini pernah dalam status Red Notice (buronan) di Markas Interpol atas permintaan Kejaksaan Agung. Dari 2009 sampai 2015. Red Notice dihapus karena tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan. Ini pun cukup mengherankan. Mengapa tidak diperpanjang? Sangat menakjubkan! Patut diduga Red Notice itu dihapus atas permintaan dari pihak DT dengan imbalan yang cukup besar. Kepolisian perlu menjelaskan mengapa mereka “tak mendeteksi” keberadaan DT di Indonesia seperti disebut di atas. Sungguh sangat aneh kalau Polisi juga beralasan intelijen mereka lemah. Manko Polhukam Mahfud MD merasa kesal mengapa Polisi –dan juga Kejaksaan— tidak mau atau tidak bisa menangkap DT. Menurut Mahfud, Indonesia sangat malu dipermainkan oleh Djoko Tjandra. Padahal, kata Mahfud, Polisi itu hebat sekali. Dan juga Kejaksaan Agung. Karena itu, kesalahan Polri secara institusional tidak wajar kalau ditimpakan kepada Brigjen Prasetijo Utomo. Brigjen PU memang nyata melakukan kesalahan dengan penerbitan SJ untuk Djoko Tjandra. Untuk keselahan itu dia membayarnya dengan pencopotan yang mempermalukan dirinya. Bahkan, kalau ada celahnya, bagus juga perbuatan Prasetijo itu ditelusuri tuntas. Kalau ada unsur pidananya, tentu harus diproses. Bila perlu, Prasetijo dipecat saja sekalian dari Polri. Namun, jangan sampai ‘adegan kecil’ Brigjen itu diolah sedemikian rupah sehingga kesalahan Kepolisian menjadi tertutupi. Tidaklah adil mengalihkan kesalahan Polri ke surat jalan Djoko Tjandra. Penulis adalah Wartawan Senior