OPINI

Soal 500 TKA China, Mengapa Presiden Diam?

By Dr. Margarito Kamis Kekuatan uang memangsa negara pada masa damai, dan berkonspirasi melawan pemerintah pada masa sulit. Kekuatan ini lebih lalim dibandingkan monarki. Lebih biadab dibandingkan otokrasi. Lebih egois dibandingkan birokrasi. (Abraham Lincoln, Presiden Amerika 1861-1868). Jakarta FNN – Selasa (05/05). Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China datang. Meraka akan datang lagi, dengan berbagai alasan. Heboh dan heboh lagi. Dan Presiden Jokowi, seperi biasa, diam. Presiden memang boleh punya kalkulasi sendiri, tetapi Presiden dilarang membuat dunia sendiri. Presiden boleh mati-matian menggelorakan investasi, sehingga uang, uang dan uang mengalir masuk, tetapi Presiden tidak boleh terasing dari UUD 1945. Itu penting untuk dipahami. Tetapi entah mengapa sejauh ini Presiden, terus-terusan membisu. Diam sediam-diamnya. Presiden selaksa menghilang dari isu TKA asal China. Dalam isu ini, Presiden seolah berada di dunia lain. Dunia ciptaannya sendiri. Apa yang ditakutkankan oleh Presdien? Apakah Presiden tidak berdaya menghadapi Presiden Xi Jingpin, atau Thungsian, investor smelter asal China itu? Presiden dapat diduga tak diganggu ketaktuan hebat. Sungkan atau apapun yang sejenisnya pada Presiden Xi Jingpin. Juga tidak takut dan sungkan pada Tshinghan Group (investor China) atau PT Victoria Dragon Nickel Industri Park (VDNIP). Juga kepada PT. Osidian Stenless Steel di Kendari. Karena tak diganggu oleh ketakutan itu, maka Presiden hanya perlu jujur “sedikit saja”. Menjelaskan apa kehebatan mereka. Presiden jujur “sedikit saja” akan terasa lebih dari cukup. Sesedikit apapun itu, membuka masalah sebenarnya kepada rakyat. Akan ditandai bahwa Presiden memenuhi kewajiban transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dunia telah begitu terbuka. Informasi yang terkubur hari ini, akan terbuka pada hari lain. Selalu begitu. Dititk itu, terasa membuka informasi seterang mungkin mengenai korporasi-korporasi, termasuk yang kemungkinan mereka berhasil menempatkan orang penting mereka. Bukan sebagai jongos, tetapi penghubung di dalam pemerintahan. Bicaralah Pak Presiden. Dimanapun di dunia ini, Presiden harus terus bicara menghenai masalah bangsa. Presiden bicara itu menjadi pekerjaan. Hal yang biasa, sebiasa kerbau bernafas dilakukan Presiden. Jadi, Pak Presiden bicaralah. Ruang yang ada saat ini, sepenuhnya bersifat kebangsaan. Ruang ini dipenuhi kembang dan panorama bernapaskan transparansi, dengan akuntabilitas sebagai partner intinya. Ingat, Presiden dimanapun didunia ini tidak memiliki ruang privat. Sedang di tempat peristirahatan sekalipun, Presiden tetap bestatus officialy. Presiden harus diberi itu, agar tidak mengambil tindakan yang ngaco. Misalnya, memperkarakan orang yang mengolok-olok pemerintahannya. Beda dengan ruang privat. Ruang ini ditempati oleh orang non state. Ruang ini adalah ruang orang-orang privat. Orang-orang yang tidak menyelenggarakan kekuasaan yang bersumber dari UUD 1945 dan UU. Karena itu, makhluk privat bisa berbuat sesuka mereka. Mereka bisa terlihat sangar, sombong, berkata sesukanya. John D. Archol, Bos Exon di tahun 1960-an adalah salah satu tipikalnya. Tapi saya ingin mengajukan Rockefeller, pencipta Standaar Oil sebelum akhirnya berubah menjadi Exon, sebagai tipikal yang menarik. Rockefeller bisa diam seribu bahasa menghadapi kritik setajam dan sehina apapun. Itulah Dia. Tapi jangan salah, dalam diamnya Rockefeller terus melangkah ke depan memupuk untung demi untung. Dia akan bergerak dari satu ladang minyak ke ladang minyak lainnya. Exon, nama baru untuk Standard Oil yang terpukul oleh ketajaman kritik Ida Tarbel, Jurnalis Muckraker andal, dalam kenyataannya bergerak dari satu konsesi ke konsesi lainnya di dunia. Menggurita dengan sangat canggih. Besar melampaui sebagian negara-negara berdaulat. Mereka terlalu canggih bermain dengan semua tekniknya. Kandungan licinnya selicin minyak. Memukul pesaing dengan semua cara. Mengandalkan kekuatan jaringan dalam menekuk negara calon pemberi konseksi. Tetapi ketika semua taktik terlihat bagai macan ompong di depan pemerintahan, dengan kadar nasional 24 karat, seperti Libia di bawah Khadafi muda, pemerintah mereka dipanggil menanganinya. Bicaralah Pak Presiden. Bicaralah seterang dan sejelas dalam skala kapasitas Presiden. Jelaskanlah, semoga penjelasan itu bisa membantu menyehatkan bangsa ini dari lilitan Corona. Tidakkah sebegitu menakutkan Corona ini, sehingga Bapak Presiden harus mengambil kebijakan menyakitkan. Melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar? Lalu sebagai konsekuensinya orang-orang dilarang keluar rumah? Semua orang, dalam kebijakan ini, diminta dalam nada yang menekan, harus tinggal dirumah. Bukan itu saja. Mudik, tradisi menahun republik pun ikut dilarang. Semua kebijakan menyakitkan harus diambil dan diterima rakyat. Sepenuhnya demi menghasilkan sebesar mungkin ruang-ruang sehat. Orang tahu hanya itu cara terampuh sejauh ini dalam mencegah menggilanya corona. Efek langsung corona, sejauh ini telah sangat jelas. Orang tak bisa kerja. Kalaupun kerja, mereka tak bisa leluasa. Sebagian korporasi, sejauh ini mulai terkepung efek ekonomi dan keuangan corona. Korporasi pas-pasan telah terjepit rapat. UMKM, kabarnya sebagian telah terjungkal. Lalu sekali lagi, orang-orang kehilangan kerja. Tak punya duit. Mereka itu jutaan jumlahnya. Mungkin tak perlu bilang tragis, konyol, dan arogan. Tapi membiarkan kebijakan masuknya TKA asing asal China, tanpa relaksasi di tengah rakyat sesulit sekarang, jelas sangat mencabik-cabik jantung bangsa ini. Perasaan kebangsaan kita terusik, dan wajib harus terusik. Jantung itu ditulis pada alinea keempat pembukaan UUD. Itu adalah tuntunan untuk Presiden, siapapun figurnya. Alinea keempat pembukaan UUD 1945 itulah jantung bangsa dan negara. Itulah esensi politik bangsa ini dibuat. Tidak lain, kecuali melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan siapa? Bukan kesejahteraan TKA asal China itu Pak Presiden. Tetapi kesejahteraan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Apapun agama, warna kulit dan sukunya. TKA asal China berjumlah 500 orang itu, yang kabarnya akan memasuki Kendari, Sulawesi Tenggara, jelas menjungkir-balian perasaan kebangsaan orang-orang yang tinggal dirumah. Tanggung jawab mensejahterakan rakyat itu, sampai kapanpun bukan menjadi tanggung jawab korporasi. Ini tanggung jawab Presiden, juga tanggung jawab pemerintah pada level dibawahnya. Tanggung jawab ini didasarkan pada perintah kontitusi negara Pak Presiden. Pada titik ini, sikap Wali Kota, salah satu anggota DPRD Kota Kendari dan Forkopinda, patut disyukuri. Bukan karena sikap itu mencerminkan mereka mengenal suasana batin rakyatnya. Tetapi lebih dari itu. Hebat, mereka mengerti adab, tata karma dan etika berperintahan. Mereka, kabarnya hendak menyurati Presiden agar kedatangan orang-orang China ini dihentikan. Beruntung Pak Wali, Anggota DPRD dan Forkopinda, masih memiliki kepekaan kebangsaan. Hebat, figur-figur ini tidak termakan. Meraka tidak tenggelam bersama dengan gagasan kelancaran investasi, yang lebih merupakan mantra klasik kapitalis itu. Hebat, mereka juga tak tergoda, tidak tersipu mantra klasik lainnya, yakni tenaga kerja full skill. Sejarah dengan kebenaran yang telah tersaji, cara yang satu dan lainnya berbeda. Menunjukan lebih dari biasa. Sebab investor-investor dan pencinta palsu investasi, selalu menyodorkan tenaga kerja full skill. Biasanya alasan full skil ini sebagai kartu kuncinya. Itu adalah mantra klasik investor untuk menaklukan dan menyingkirkan setiap gagasan bersebarangan. Apalagi gagasan itu bermuatan nasionalisme. Sungguh sejarah menunjukan dengan jelas, tenaga kerja terdidik, terampil itu bukan elemen tak tergantikan. Itu dibuat mewah dan mengerikan oleh investor. Sekedar sebagai cara memutar kembali uang mereka ke kempung halamannya. Pak Wali dan jajarannya seolah, kalau tidak membunyikan loceng peringatan. Setidaknya mengingatkan bangsa ini untuk, pada setiap kesempatan meletakan “alinea keempat UUD 1945” dalam membuat kebijakan investasi. Kebijaan investasi, harus sedekat mungkin berada di jantung perintah UUD 1945. Caranya, salah satunya, memprioritaskan warga negara Indonesia pada situasi ini. UUD 1945 mengharuskan Presiden menempatkan warga negara memperoleh pekerjaan pada jantung kebijakan bernegara. Itu satu. Pak presiden harus disegarkan pengetahuannya bahwa tugasnya adalah memakmurkan rakyat. Bukan perkara jumlah rakyat yang telah diserap dalam pekerjaan korporasi itu. UUD tidak mengenal angka-angka itu. Konstitusi mengharuskan rakyat harus makmur. Dalam kerangka itu rakyat tidak dapat direduksi ke dalam angka-angka kerja dalam perusahaan itu. Orientasi investasi asing, suka atau tidak, senang atau tidak, harus dikerangkakan pada perintah UUD 1945. UUD memerintahkan secara imperatif “sumberdaya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Presiden, pantas diingatkan untuk tak terintimidasi. Setidaknya tak terpukau dengan tesis Rockefeller ketika menantang Ida Tarbel, jurnalis yang gigih menantang Standar Oil. Rockefeller terkenal dengan tesis khasnya. Minyak, katanya memang disediakan alam, tetapi alam tidak akan membuka pembuluh-pembuluhnya jika para produsen tidak memaksanya berbuat begitu. Dapat dikatakan, Rockefeller mengatakan “minyak sampai ke tangan anda karena ada sentuhan korporasi.” Seperti biasa dalam semua usaha yang mirip, uang, teknologi, termasuk pengoperasiannya dianggap sebagai kunci. Itu sebabnya, investor-investor lintas negara mengontrol teknologi dan semua yang terkait. Lalu mereka segera menemukan kenyataan mereka “dewa penyelamat” bagi negara-negara bodoh dan miskin atau miskin sekali. Selalu begitu. Akankah cerita 500 TKA asal China, akan berakhir dengan mereka tetap masuk Kendari? Itu soal besar. Mengapa? Siapa yang dapat memberi informasi bahwa di atas meja Presdien tersaji beberapa pilihan kebijakan? Bagaimana bila pilihan kebijakannya adalah Presiden tetap diam? Biarkan saja semua hiruk-pikuk saat ini berkembang. Karena hiruk-pikuk itu juga akan menemui akhirnya sendiri. Presiden punya hak eksklusif membiarkan semua rasa sendu saat ini berjalan sebagai adanya. Presiden mungkin telah tahu korporasi tidak pernah menempatkan dalam pemikiran dan tindakannya, hal-hal yang orang waras sebut kearifan. Pak Presiden, semoga saja tidak sedang suka dengan risiko-risiko kecil yang dibesar-besarkan investor, dan kaki tangannya. Korporasi, kapitalis dan kaki tangannya, berwajah apapun selalu sama dalam satu hal. Menganggap orang seperti Ida Tarbel sebagai ketinggalan zaman. Ini orang-orang berisik. Tak mengerti kerumitan investasi. Selalu begitulah tabiat mereka. Presiden, saya yakin tahu bahwa kearifan, tidak pernah ada dalam daftar hitungan investor. Investor tahu kearifan itu urusan pemerintah. Itu sebabnya Pak Presiden perlu maju, berdiri di podium kepresidenan. Lalu bicara kepada bangsa ini, apa sikap mutakhir Presiden soal TKA asal China itu? Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitras Khairun Ternate

Menenangkan Dengan Kepanikan

Oleh Kafil Yamin Jakarta, FNN - Data yang dilansir pemerintah Indonesia tentang jumlah pengidap dan korban meninggal akibat Covid-19 dengan yang dilansir media internasional terlalu jomplang. Angka resmi terakhir yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC) menyebutkan jumlah korban positif adalah 11.587 orang, sembuh 1.954 orang, meninggal 864 orang. Sementara, mengutip pusat pemantauan Covid-19 internasional, The Guardian menyebutkan angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia berjumlah 11.587 orang. Ini kelima terbesar di Asia setelah Hubei, China 68.120 orang, India 42.836 orang, Singapura 18.778 orang, Jepang 14.877 orang. Di bawah Indonesia adalah Korea Selatan 10.801 orang, Filipina 9.425 orang, Malaysia 6.353 orang, Thailand 2.987 orang, Hong Kong 1.040 orang, dan Vietnam 271 orang. Angka-angka ini masih akan berubah dengan pola dan kecenderungan yang tidak bisa dipastikan. Di belahan Eropa dan Amerika, dikabarkan Inggris akan segera menyusul Amerika Serikat sebagai negara dengan korban kematian tertinggi dengan 65 ribu lebih. Sementara Inggris 26 ribu. Ada 3,5 juta lebih pengidap Covid-19 di dunia sekarang. Dari jumlah itu, meninggal 248,025 orang. Belum jelas betul apakan jomplangnya data itu karena sistem pengumpulan data yang lemah atau Pemerintah sedang berusaha 'menenangkan' masyarakat. Namun, siapapun yang berfikir sehat akan bertanya-tanya, masak sih, dengan jumlah kematian 'hanya' 864 orang, dan pengidap 'hanya' 11.587 orang dari 280 juta lebih rakyat Indonesia, langkah-langkah yang diambil pemerintah begitu gentingnya: PSBB di seluruh wilayah Indonesia, masjid-masjid dan mall-mall diliburkan, sampai gang-gang kecil ditutup. Peringatan-peringatan yang dikeluarkan sangat keras: ancaman pidana untuk mudik. Lagi pula, reputasi Pemerintah dalam keterbukaan dan kejujuran masih rendah. Penulis Wartawan Senior.

Jika Kritik Dipidana, Demokrasi Akan Tumbang

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (04/05). Diantara ciri negara demokrasi itu adalah adanya kebebasan berpendapat. Tanpa kebebasan berpendapat, negara tak lagi layak disebut sebagai penganut demokrasi. Entah apalah namanya. Yang pasti bukan negara demokrasi. Bukan kebebasan tanpa batas. Ada undang-undang sebagai dasar aturan. Siapa yang buat undang-undang? Tentu saja anggota DPR yang terhormat. Soal ini, di buku SD sudah dipelajari. Hanya saja, anak-anak SD nggak pernah tahu kelau "banyak oknum" anggota DPR suka terima order ketika lagi buat undang-undang. Dari mana? Banyak pengusaha berseliweran di sana. Anak SD belum sampai kesitu otaknya. Yang mereka tahu semua anggota DPR adalah orang-orang terhormat. Baru sadar ketika anak-anak SD itu sudah berada di kampus. Kuliah maksudnya. Tapi, ketika sudah jadi mahasiswa, mereka harus berhadapan dengan rektor. Saat ini, rektor sudah "semacam" jadi titipan dan tangan panjang pemerintah. Kampus juga sepertinya palan tapi pasti sudah memastikan posisinya menjadi Kantong Cabang Pemerintah. Ini karena para rektor dipilih oleh menteri. Dan menteri adalah pembantu presiden. Berani macam-macam, rektor bisa ambil tindakan terhadap mahasiswa. Bisa keluarkan dari kampus. Demokrasi di kampus juga akhirnya terkubur. Sejauh menteri pilih rektor, rektor pilih dekan, dan dekan bersama rektor awasi mahasiswa, maka demokrasi out dari kampus. Yang tersisa tinggal pers. Tapi, media milik para pengusaha. Soal pajak, banyak juga yang bermasalah. Berani macam-macam kepada pemerintah, pasal tentang manipulasi dan tunggakan pajak bisa jadi malapetaka. Nurut pasti lebih selamat. Sekarang tampil rakyat yang tanpa identitas. Mereka lebih berani melakukan kritik. Tapi ingat, ada banyak pasal yang juga mengintai mereka. Kepeleset dikit saja, anda akan bernasib seperti Jonru dan Ahmad Dani cs. Bisa masuk sel. Makanya Jangan ceroboh! Tidak mudah hidup dalam situasi dimana demokrasi sedang banyak masalah. Silahkan kritik, tapi harus waspada. Anda pasti paham maksud saya? Jangan asal menyerang tanpa menghitung pertahanan. Jangan pakai emosi, tapi gunakan akal sehat. Dan tetap mengutamakan obyektifitas. Lihat saja kasus Said Didu. Minta maaf, atau proses hukum? Said Didu yang berdah Bugis-Maksar ini pilih menghadapi proses hukum. Wajah tegak berdiri karena merasa benar. Gentel sekali Said Didu! Hukum harus ditegakkan. Sepakat itu. Tetapi, jangan sampai atas nama penegakan hukum, martabat dan keadilan diabaikan. Atas nama hukum atau kekuasaan? Tanya saja publik. Soal martabat? Itu harus. Seorang pejabat, tidak boleh tidak bermartabat. Diantara ciri pejabat yang bermartabat adalah tahan banting terhadap kritik. Anies Baswedan adalah contoh pejabat bermartabat itu. Kritik, fitnah, bullyan dan caci maki, semua dilewati Anies dengan senyum. Semua itu diterima Anies sebagai vitamin yang menyegarkan imun tubuh. Anies menghadipinya dengan terus bekerja dan menatap masa depan. Jika di otak seorang pemimpin berisi tentang nasib rakyat, maka dipastikan tak ada tempat yang tersisa di kepala untuk mengurusi cacian dan hinaan terhadap dirinya. Begitu kata pepatah. “Saya tidak khawatir dibully, dikritik, diftinah dan dicaci maki. Medsos itu umurnya pendek. Hari ini dicaci, besok sudah berganti lagi. Tapi saya takut kalau berbuat salah, karena akan dicatat oleh sejarah dan dibaca oleh generasi bangsa. Begitu kata Anies”. Sebagai pejabat publik, bersiaplah-siaplah anda untuk setiap saat dikritik. Bahkan siap pula untuk difitnah dan dicaci-maki. Fitnah tak akan menjatuhkan anda jika anda punya data untuk klarifikasi. Beres itu. Publik akan menaruh simpati dan mengapresiasi anda. Reaksi berlebihan terhadap kritik hanya akan menghancurkan martabat anda sebagai seorang pejabat. Anda kehilangan martabat bukan karena kritik dan fitnah. Tapi anda akan kehilangan martabat jika anda berlebihan merespon kritik dan fitnah itu. Sekali anda laporkan pengkritik itu, rakyat akan berada di belakang dan membela sang pengkritik. Saat itulah anda akan kehilangan martabat dan simpati dari rakyat. Ketika Walikota Surabaya, Risma melalui Biro Hukumnya melaporkan seorang ibu dari Bogor yang "diduga" menghinanya, saat itu pula nama Risma tenggelam. Rakyat yang balik menghukumnya. Begitulah kalau pejabat yang resiten terhadap kritik dan hinaan. Nama yang baik dan harum saja bisa hancur jika anda rapuh terhadap kritik. Apalagi mereka yang dikenal tak punya nama baik di mata rakyat. Pasti akan makin berantakan. Saya tidak kasihan sama Said Didu. Mantan sekmen BUMN ini. Ia sadar risiko perkataan dan sikapnya. Apalagi rakyat memberinya dukungan. Jalani saja... Rasa kasihan justru layak ditujukan kepada pihak pelapor. Di mata publik, pasti martabatnya sebagai pejabat akan dipertaruhkan. Lebih kasihan lagi jika pelapor pun tak peduli soal martabat itu. Ada cara yang lebih bijak dan bermartabat. Pertama, klarifikasi. Kalau anda punya data, cukup klarifikasi. Clear. Masalah selesai, dan anda bisa tersenyum karena dapat simpati. Dan ini yang terus berulang dilakukan Anies Baswedan. Hasilnya, Anies dibanjiri simpati. Kepada para pejabat, belajarlah menghadapi kriti, fitnah, bullyan dan caci-maki kepada Anies jika ingin punya karir yang lebih baik ke depan. Jika ingin bermartabat dan harum di mata rakyat. Bagi seorang pejabat, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan dalam bersikap. Kedua, memaafkan. Ini cara yang paling diapresiasi oleh publik. Siapapun senang melihat seorang tokoh punya kematangan seperti ini. Lapang dada untuk setiap kritik terhadapnya. Itulah ciri dari pejabat yang bermartabat, berkelas, bernilai dan mengagumkan. Jangan hanya karena ada undang-undang, kita bisa tuntut "siapa saja yang lemah" tanpa memikirkan bagaimana nasib demokrasi di negeri ini. Kalau semua pejabat terlalu tipis telinga, maka satu persatu orang-orang yang kritis akan tumbang. Rakyat tidak hanya takut, tapi akan kehilangan simpati dan kepercayaan. Saat itu, demokrasi mati dan negara akan semakin rapuh. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Perbankan Nasional Sangat Tidak Ramah Kepada UMKM

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Ahad (03/05). Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Gubernur BI menyampaikan pelaksanaan Quantitative Easing (QE) senilai Rp. 503,8 trilliun. Jumlah ini adalah akumulasi kebijakan moneter BI hingga bulan Mei 2020. Selama periode Januari hingga Mei tahun ini, BI telah menambah pasokan likuiditas ke dalam perekonomian melalui serangkaian kebijakan pelonggaran kuantitas (QE). Sepanjang periode Januari-April 2020, nilainya sebesar Rp. 386 triliun. Instrumennya berupa Pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sebesar Rp. 166,2 trilliun, Term Repo sebesar Rp. 137,1 triliun, Swap Foreign Exchange (FX Swap) Rp. 29,7 triliun dan Penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp 53 triliun. Sementara untuk periode Mei akan ditambahkan lagi sebesar Rp 117,8 triliun. Dalam bentuk penurunan GWM periode Mei sebesar Rp. 102 triliun, dan selebihnya berasal dari pengurangan kewajiban tambahan Giro sebesar Rp. 15,8 triliun. Karena periode tambahan itu dimulai dari Januari 2020, maka tambahan sebesar Rp. 503,8 triliun itu tidak seluruhnya dapat dikatakan sebagai bentuk QE di masa pandemi Covid 19. Yang dapat dikatakan adalah, dalam periode ini BI telah melakukan kebijakan dua tahap. Tahap pertama, sepanjang periode Januari –F ebruari, berupa relaksasi kebijakan moneter normal. Tahap kedua, berupa kebijakan Pelonggaran Kuantitas dalam rangka merespon krisis yang ditimbulkan oleh Pandemi Covid 19. Saya membaginya seperti itu untuk menunjukkan bahwa tren kebijakan moneter BI dalam merespon perkembangan makro perekonomian pada dasarnya adalah tren relaksasi. Namun kemudian, karena perkembangan tidak terduga dari krisis pandemi, kebijakan relaksasi itu berubah menjadi agresif dan membutuhkan kebijakan lebih dari sekedar relaksasi yang berbentuk pelonggaran kuantitas (QE), atau populernya “pencetakan uang” besar-besaran kedalam perekonomian. Untuk kepentingan tulisan ini, istilah “‘pencetakan uang” ini saya samakan dengan penciptaan uang (money creation). Sebab nampaknya, tren ini akan berkembang terus seiring dengan perkembangan perekonomian nasional. Terhadap suatu tambahan likuiditas sebesar ini, tentu menarik untuk kita ajukan pertanyaan, untuk apa dan kepada siapa likuiditas itu sesungguhnya ditujukan? Bersumber dari data BI, eksposure kredit UMKM di dalam sistem perbankan nasional sampai September 2018 berjumlah Rp. 1.037,6 trlin, dari Rp. 5.284,6 trliun, atau sekitar 19,6% dari total baki kredit perbankan. Selebihnya, 80,4% baki kredit dikuasi oleh sektor non UMKM, atau sekitar Rp. 4.247 triliun yang diperuntukkan untuk korporasi. Baki kredit untuk UMKM ini dialokasikan kepada 16.394.106 nasabah UMKM. Padahal di Indonesia, hingga tahun 2019 terdapat 59 juta UMKM. Dari jumlah baki kredit UMKM itu, Bank-bank BUMN, BPD dan BPR/BPRS menyalurkan sekitar Rp. 665,23 trliun atau 64% dari total baki kredit UMKM. Selebihnya, 36% disalurkan oleh perbankan swasta dan JV Bank. Dari data ini, kita memperoleh dua kesimpulan umum. Pertama, bahwa penetrasi sistem perbankan nasional kepada sektor UMKM sangat tidak proporsional. Itupun kalau tidak mau dikatakan “tidak-adil”. Tidak proporsionalannya bukan saja dari segi rendahnya alokasi kredit terhadap sektor ini, tetapi juga proporsi masih mayoritasnya sektor UMKM yang tidak memperoleh akses dan perhatian dari perbankan. Ini juga menunjukkan bahwa perbankan nasional sesungguhnya sangat tidak ramah terhadap UMKM. Dan cenderung eksklusif terhadap korporasi. Apapun alasannya, struktur ini mencerminkan ketidak-sehatan sistem keuangan nasional kita. Yang pada akhirnya, dimasa-masa krisis seperti ini menyebabkan UMKM kita menjadi rentan. Pada tingkat pengambilan kebijakan, menyulitkan otoritas melakukan penyesuain kebijakan (adjustment policy). Kedua, adalah rendahnya partisipasi perbankan swasta di sektor UMKM ini. Memang ada alasan yang mengatakan bahwa partisipasi rendah ini dikarenakan selama ini, pemerintah banyak menggunakan perbankan non swasta dalam menjalankan kebijakan pro UMKMnya. Argumen yang lebih sinis mengatakan bahwa semua ini dikarenakan perbankan swasta lebih memilih korporasi karena selain lebih mudah, volume kreditnya juga besar. Jumlah nasabah juga yang tidak besar, sehingga dapat menekan biaya pengelolaannya, alias lebih menguntungkan. Lantas, apakah kita bisa mengatakan bahwa membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dengan struktur yang tidak ramah terhadap UMKM, bisa memberi manfaat besar bagi UMKM kita, yang sedang sekarat ini?. Padahal dimasa krisis ini, UMKM sebagai penyumbang tenaga kerja terbesar dalam perekonomian kita sedang mengalami masa-masa sulit. Sudah jamak diketahui bahwa diantara efek QE dimasa sulit seperti ini adalah munculnya fenomena Cash Hoarding di perbankan. Suatu fenomena dimana perbankan memilih mengkonsolidasikan ekses likuiditasnya dalam memperkuat neracanya, Mereka lebih cenderung memilih untuk “bernegosiasi” dengan debitur korporasinya. Ditatar lebih lanjut, fenomena diatas menjadi sumber kritik banyak pihak terhadap permodelan QE yang tidak merumuskan kebijakan keberpihakannya secara tegas kepada UMKM. Kritiknya adalah, QE lebih memberi kesempatan kepada korporasi dan “orang-orang kaya” untuk berkonsolidasi di masa krisis. Karenanya semakin mempelebar jurang antara yang “kaya-miskin” dalam perekonomian. Sekali lagi, ini fenomena jamak yang bisa ditemukan dalam banyak sekali literatur dari ekonom-ekonom terkemuka yang mengkritik dampak QE saat memperluas “ineqaulity” dalam perekonomian. Tanggung jawab soal ini tentu bukan saja dibebankan kepada BI. Tetapi yang utama adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kerana OJK sebagai otoritas independen yang menaungi perbankan. Ini adalah tugas mulia dan suci buat OJK dalam melakukan penyesuian struktural terhadap sistem keuangan nasional kita yang tidak ramah UMKM. OJK jangan sia-siakan momentum ini. OJK mestinya berdiri di garis yang paling depan dalam soal permodalan UMKM ini. Penulis menekankan ini, sebagai wujud tanggung jawab moral. Karena penulis juga merupakan mantan Pimpinan Pansus Pembentukan UU OJK yang menjadi dasar berdirinya OJK sekarang. Tanpa suatu keberpihakan yang tegas dari otoritas, upaya membanjiri likuiditas ke sistem perbankan dan keuangan nasional kita melalui QE hanya akan meninggalkan UMKM dalam limbo ketidak berdayaan. Alih-alih, malah akan memperparah kesenjangan didalam perekonomian nasional kita. Kesuksesan kebijakan QE dalam mem”bail-out” sektor UMKM terletak pada perubahan proporsi baki kredit untuk UMKM dan bertambahnya jumlah UMKM secara signifikan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan QE. Untuk itu, OJK sudah selayaknya menerbitkan kebijakan yang “memaksa” perbankan untuk menyalurkan likuiditasnya kepada UMKM dalam proporsi yang lebih besar. Diantaranya dengan memberi bobot khusus dalam proporsi Loan to Deposit Ratio (LDR) kepada UMKM dalam neraca perbankan. Bentuknya dapat berupa pengaturan yang bersifat “mandatory loan” kepada UMKM oleh perbankan dalam proporsi baki kreditnya. Khusus untuk BI, perlu juga mempersyaratkan suatu mekanisme “‘mandatory” kepada perbankan dalam penggunaan fasilitas BI. Itu terutama pada perjanjian yang berhubungan dengan Repo SBN perbankan. Insya Allah, dalam kesempatan lain, kita bisa mendiskusikan (tulisan khusus) soal ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita memohon pertolongan dan berserah diri. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha, dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Bahaya, Ada Misi Orde Lama di RUU Ideologi Pancasila

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (03/05). Tidak lama lagi akan ada pembahasan di DPR RI mengenai draft Rncanagan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila. Disebut saja RUU HIP. Tentu saja bukan HIV sebagai virus yang juga berbahaya itu. Meski demikian, nampaknya ada virus juga yang berusaha masuk ke dalam dan menentukan RUU GIP, yaitu Virus Orde Lama (Orla). Ada misi dan narasi yang memang nyata-nyata mau diseludupkan ke dalam draft RUU HIP tersebut. Untuk itu, RUU HIP ini merlu mendapat perhatian, kewaspadaan pengawalan ketat dari seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Jangan sampai Pancasila justru diperalat dan dijadikan tunggangan untuk ideologi lain, termasuk ideologi Sosialis dan Komunis. Pertama, janggal karena dalam draft RUU HIP yang memfokuskan pada ideologi Pancasila. Namun di dalam konsiderans RUU HIP ini, sama sekali tidak memasukkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Organisasi Terlarang, dan Larangan Menyebarkan dan Mengembangkan Faham Komunisme, Marxisme-Leninisme. Ini berbahaya. Persoalan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 menjadi penting bagi semua anak bangsa. Tidak bisa dihapus atau ditiadakan begitu saja. Upaya penghapusan atau meniadakan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dari konsiderans draft RUU HIP justru menimbulkan kecurigaan. Patut diduga, akan misi-misi khsus yang mau diperjuangkan secara terselubung. Kedua, dubious kata "gotong royong" dalam makna kebersamaan atau ideologi ? Kata ini juga terkesan mau selundupan. Baik pada Ketentuan Umum maupun Pasal. Contoh saja pada kalimat, "kelima prinsip dasar merupakan jiwa dan penggerak perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia yang mencerminkan kepribadian bangsa lndonesia yaitu gotong royong". Kalimat ini adanya di Pasal 3 draft RUU HIP. Ketiga, menafikan peran Agama sebagaimana pengaturan bahwa sendi pokok Pancasila adalah "Keadilan Sosial" dan bidang-bidangnya adalah politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, hankam. Peran Agama terlihat diminimalisasi. Ketika konten agama itu ada, ternyata posisinya disejajarkan dengan rohani dan kebudayaan (Pasal 22). Bahkan pada Misi dari Masyarakat Pancasila butir a sampai terakhir f, sama sekali tidak tersentuh aspek Ketuhanan dan Keagamaan (Pasal 11). Keempat, ciri dari Manusia Pancasila yang dikaitkan dengan beriman bertakwa pun harus "menurut dasar" kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsepsi Ketuhanan yang berdasar kemanusiaan. Kekuasasn Tuhan Yang Maha Esa yang mau didegradasikan ke tingkat ukuran kemanusiaan. Ada ancaman pada otoritas hukum-hukum Tuhan (Pasal 12). Kelima, sinkretisme dan pencampur adukan entitas. Keadilan dan kesejahteraan yang merupakan "perpaduan prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik, dan ekonomi dalam kesatuan" (Pasal 7 ayat 1). Ada nuansa "pemerasan" dan keinginan untuk kembali kepada cara pandang masa lalu Orde Lama, ala Soekarnoisme. Keenam, ternyata eksplisit misi Soekarnoisme yang kemudian pernah bermetamorfosa menjadi "Nasakom" yang diawali dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Ini sangat terang-terangan pada Pasal 7 draft RUU HIP. Bunyinya begini, "(2) Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio nasionalisme, sosio demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong". Nah, tentu disini bukan porsi untuk mengurai rincian dari pasal-pasal Draft RUU HIP yang terdiri dari X Bab dan 60 Pasal ini. Yang menjadi Ketua Panja RUU HIP ini adalah Rieke Dyah Pitaloka (PDIP). Hanya nampaknya materi draft RUU ini berisi virus-virus politik yang pautu diduga sangat berbahaya. Apalagi untuk dijadikan pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Terhadap konsep RUU HIP seperti ini, rakyat dan bangsa Indonesia kelak harus menolaknya. Jangan sampai menjadi undang-undang. Sebab RUU HIP jika nanti digodok oleh DPR RI, patut untuk diduga ada "hidden agenda" terselubung di dalamnya. Bukan mustahil, akan ada kekuatan-kekuatan penunggang gelap yang akan memanfaatkan RUU ini. Siapa saja penunggang-penunggang gelap tersebut? Siapa lagi, kalau bukan paham Komunis dan teman-temannya? Semoga anggota DPR lebih mampu mengendus dan mewaspadai RUU HIP ini. Meski anehnya, draft RUU berasal dari penggunaan Hak Usul Inisiatif dari DPR sendiri. Semoga saja DPR secara kelembagaan, bahkan keseluruhan menolak draft RUU yang mau menghidupkan kembali cara pandang Orde Lama, ala Soekarnoisme ini. Bahaya berada di depan bangsa dan negara Indonesia. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Babi Ngepet dan Ayam Milenial

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Departemen Pertanian c/q Dirjen Peternakan “berhasil “ menernakkan babi dan ayam lokal varietas baru. Harga jualnya sangat fantastis! Ternak hewan super dan unggulan ini, bila benar terwujud, bisa membuat para peternak kaya mendadak! Bakal banyak milyader baru lahir di tengah pandemi. Sangat membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan. Bayangkan saja harga 1 ekor babi bisa mencapai Rp 9 juta. Sementara ayam lokal harganya jauh lebih fantastis. Rp 770 ribu/ekor. Sebagai bayangan saja. Agar kita mendapat gambaran betapa dahsyatnya ternak unggulan “ciptaan” Dirjen Peternakan itu, mari kita bandingkan dengan harga di pasaran. Menjelang Hari Raya Galungan pada pertengahan bulan Februari lalu, Dinas Pertanian Provinsi Bali menetapkan harga daging babi per kilo/Rp 26-30 ribu. Di pasaran harganya masih berkisar Rp 50-60 ribu. Katakanlah seekor babi paling gemuk, babi tambun dengan berat 50 kg. Maka harga per ekor maksimal Rp 3 juta. Harga ayam lokal di pasaran per ekor sekitar Rp 60-65 ribu. Itupun dalam kondisi sudah bersih. Ibu-ibu tinggal memasaknya. Jadi harga babi dan ayam itu benar-benar fantastis. Bakal membuat banyak orang berlomba-lomba mengubah profesinya menjadi peternak. Sayangnya untuk sementara waktu kita harus menahan diri dan bersabar. Harga hewan ternak yang tembus langit ketujuh itu baru ada dalam anggaran yang diajukan Deptan ke DPR. Kalau saja anggaran itu lolos dan disetujui oleh DPR, yang bakal kaya mendadak bukan para peternak. Tapi para pejabat di Dirjen Peternakan. Khususnya yang terlibat dalam pengadaan. Sayangnya pula usulan anggaran itu tidak bakal disetujui DPR. Mata Ketua Komisi IV DPR RI Sudin langsung terbelalak. Rambutnya berdiri. Dia sangat kaget ketika mendapati angka-angka tersebut. Dalam persentasi laporan refocusing anggaran APBN 2020, Kementan mengalokasikan dana sekitar Rp 26,2 miliar untuk pengadaan 35 ribu ekor ayam. "Kalau dihitung, satu ekor ayam itu jatuhnya Rp 770 ribu. Coba Anda hitung ulang sekarang. Apakah anggaran satu ekor ayam sebesar itu?" tanya Sudin dalam rapat dengar pendapat virtual yang digelar Komisi IV DPR bersama Eselon I Kementerian Pertanian, Selasa, (28/4). Sementara pengadaan babi mencapai Rp 5,03 miliar untuk 550 ekor. Total pengadaan babi ini, dihitung nilainya mencapai Rp 9 juta/ekor. Bagaimana bisa harga babi dan ayam itu melejit demikian tinggi? Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita hanya menjawab pendek. “Akan kami tinjau dan perbaiki kembali,” ujarnya sebagaimana dikutip tempo.co. Moral hazard Membengkaknya harga-harga yang tidak masuk akal itu tidak bisa hanya dijelaskan dengan jawaban pendek Pak Dirjen. Juga tidak bisa dijelaskan dengan kata” salah input, atau salah ketik.” Kalau ada kesalahan input atau ketik, paling banter hanya selisih satuan angka saja. Tidak mungkin sampai naik beribu kali lipat. Publik wajar dong berprasangka ada upaya perselingkuhan menilap anggaran negara. Apalagi sudah terbukti banyak aparat dan pejabat pemerintah yang memanfaatkan situasi di tengah pandemi. Mereka berpesta pora di tengah wabah Corona. Moral hazard dimana-mana. Contoh paling nyata dilakukan oleh lingkar dekat Presiden Jokowi. Para Stafsus Milenial. Mereka kini tengah jadi bulan-bulanan, karena terbukti terlibat dalam proyek akal-akalan Pra(nk) Kerja sebesar Rp 5.6 Triliun. Publik dan khususnya anggota DPR kudu ekstra waspada. Boleh jadi fenomena di Deptan merupakan puncak gunung es dari permainan anggaran. Coba bayangkan besarnya anggaran yang bisa dimainkan di berbagai kementerian, dan badan-badan pemerintah lainnya. Apa yang terjadi di Dirjen Peternakan bisa menjadi pintu masuk menyelidiki penyelewengan anggaran di semua instansi pemerintah. Fenomena ini juga merupakan sebuah ironi besar, di tengah situasi bencana. Pemerintah kalang kabut, cari utang kesana kemari. Mencoba menghemat dan menggeser anggaran mengatasi virus Corona, mereka malah berpesta pora. Ngomong-omong, apakah di dunia nyata memang benar ada harga babi dan ayam varietas unggul seperti harga yang dipatok Deptan? Kalau anda tanyakan pada filsuf kontemporer Rocky Gerung, jawabannya cukup mengejutkan. Secara tegas dia menjawab ada. “Itu harga babi ngepet dan ayam (stafsus) milenial.” Haduuuuhhhhh…….. End. Penulis Wartawan Senior.

Bank Indonesia, Mirip Dengan Negara Berdaulat

By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Sabtu (02/05). Demokrasi telah datang sekali lagi untuk Indonesia tercinta ini, setelah gelombang reformasi memukul banyak hal. Gembira ria orang menyambut dan merayakan datangnya alam demokrasi itu. Apalagi kedatangannya disokong kuat oleh negara-negara yang selama ini telah menjadikan demokrasi sebagai jimatnya. Ide-ide demokrasi pun segera diinstitusionalisasi. Lahirlah sejumlah lembaga baru. Bank Indonesia, yang semula sama dengan Amerika, tidak diatur dalam konstitusi, telah disokong secara unik oleh reformasi. Hasilnya, institusi ini dibawa masuk ke dalam konstitusi. Jadilah institusi ini sebagai organ konstitusi. Mahkotanya pun ditulis dalam konstitusi. Mahkota itu bernama “independensi”. Cara menulisnya, sebenarnya tidak unik untuk siapapun yang terlatih mengenal secara kritis penormaan sesuatu yang tidak selalu disukai oleh banyak orang, tetapi dibutuhkan. Tentu untuk kepentingan tertentu, entah apa dan siapa, dijadikan huruf-huruf hukum. Negara Sendiri Persis pola “politik pintu terbuka” yang menjadi tabiat teknis korporasi-korporasi minyak dan gas kelas dunia memasuki satu area baru. Setelah masuk, mereka lalu mengunci diri di dalamnya, sehingga pesaing lain tidak bisa lagi memasuki areal tersebut. Pasal 23D UUD 1945 tidak menyatakan secara rigid dalam satu kalimat terstruktur dengan rumusan begini “Bank Indonesia Bersifat Independen.” Itu tidak ada. Rumusan persis pasal 23D UUD 1945 adalah “Negara memiliki satu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan “independensinya” (tanda petik dari saya) diatur dengan undang-undang. Rumusan pasal 23D UUD 1945 itu sangat simple. Sederhana sekali. Tetapi jangan lupa ini merupakan taktik standar mengunci argumen lawan atau orang yang tidak berkenaan dengan hal itu. Tesisnya begini, bangun dulu legalitas atau fundasinya dalam UUD 1945. Perkara perluasan. Itu urusan nanti. Apa konsekuensi hukum rumusan pasal 23D UUD 1945 itu? Rumusan pasal ini dapat dianalogikan sebagai memberikan cek kosong. Isinya terserah saja. Berapapun angkanya yang mau ditulis dalam cek itu, terserah pada sipenerima cek. Sifat ini digunakan juga dalam UU Nomor 3 Tahun 2004. Itu terlihat pada rumusan pasal 3. Selengkapnya rumusan pasal ini berbunyi begini “BI adalah badan hukum menurut UU ini.” Simpel saja. Itulah nalar logis memahami rumusan tugas, wewenang serta independensi Bank Indonesia yang diatur, terutama dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999, dan UU Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2008, termasuk Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Rumusan pembukanya pendek. Tetapi yang penting itu pintu terbuka dulu, karena segera setelah itu pintu akan mengayun, dan terkunci rapat untuk siapapun. Terkuncinya pintu itu terlihat pada rumusan, misalnya pasal 54 yang esensinya “pemerintah wajib meminta pendapat BI ketika pemerintah membahas kebijakan ekonomi dalam rapat kabninet.” Sama dalam esensinya pada dengan ketentuan di atas. Terdapat ketentuan lain, misalnya yang mewajibkan pemerintah berkonsultasi terlebih dahulu dengan BI. Bahkan menyertakan BI dalam rapat kabinet yang membicarakan masalah-masalah ekonomi dan keuangan. Termasuk pemerintah wajib berkonsultasi dengan BI ketika pemerintah akan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Berseberangan dengan ketentuan itu, dan dititik ini terlihat samar-samar BI memiliki kemiripan dengan sebuah negara berdaulat. Mengapa? Orang pemerintah yang hadir, karena diundang BI dalam rapat dewan gubernurnya, hanya untuk memiliki hak bicara. Tidak lebih dari hanya bicara. Orang pemerintah yang hadir dalam rapat itu, tidak diberi hak suara. Semua eksklusifitas BI itu, untuk penalaran hukum konstitusi positif, memang harus diterima sebagai hal tak terhindarkan. Penalaran hukum konstitusi positif tentang “independensi” memang begitu adanya. Begitulah “independensi” bekerja dalam lintasan kerangka hubungan hukum antar lembaga atau cabang-cabang kekuasaan. Sedemikian manisnya ekslusifitas itu disematkan kepada BI, sehingga terasa agak konyol. Dimana letak kekonyolan itu? Presiden tidak bisa ikut campur dalam urusan BI, untuk alasan apapun, tetapi dapat menerima bantuan kerjamama dengan lembaga lain. Memang pintu itu tidak diatur secara tegas di UU, melainkan dalam penjelasannya. Tetapi telah cukup meratakan, merobohkan tembok “independensi.” Kerjasama, boleh jadi metode memasukan pikiran, untuk tak menyebut interfensi lembaga-lembaga keuangan asing ke dalam BI. Mengawalinya dengan gagasan dan ide, lalu berakhir dengan kebijakan. Toh kebijakan BI cukup diatur dengan Peraturan BI. IMF dan World Bank, yang terlihat sebagai rentenir kelas dunia, yang mematikan itu, memiliki kesempatan memasuki BI melalui pintu kerjasama itu. Punya Dua Bos Presiden, siapapun figurnya, suka atau tidak, menurut konstitusi adalah satu-satunya pemegang kekuasaan pemerintahan di negera ini. Dalam kedudukan konstitusional itu, presiden memimpin seluruh penyeleggaraan urusan pemerintahan di negara ini. Masalahnya sekarang, mengapa Presiden diisolasi dari urusan dengan keuangan? Apakah ada urusan perekonomian nasional yang tak terjalin dengan uang, mata uang, stabilitas keuangan, dan sejenisnya? Urusan uang itu mahluk apa? Mengapa Presiden diisolasi secara ekstrim, dengan hanya melalui UU, sehingga tak bisa terlibat merumuskan kebijakan terkait dengan kewajiban konstitusionalnya? Dua bos, itulah yang patut dikatakan dalam menggambarkan pemisahan ekstrim dua urusan ini. Presiden hanya mengurus ekonomi di luar keuangan. BI disisi terdekatnya memonopli urusan keuangam, dan dalam level yang cukup menentukan, juga ekonomi. Karakter ini terus dipertahankan. Juga terus diperlebar dari waktu ke waktu. Mengapa? Semua UU di atas memperlihatkan dengan sangat jelas, BI, persis seperti The Federal Reserve di Amerika. Terus diberi tambahan kewenangan. Persis Amerika, tambahan kewenangan BI juga dilakukan melalui UU. Pemerintah menerbitkan surat berharga dan dibeli oleh Bank Indonesia. Inilah soalnya, dilihat dari sudut cara kita bernegara. Apa soalnya? Bank ini memiliki terpisah dari pemerintah. Organ ini adalah organ tersendiri. Tetapi besar kemungkinan orang akan melihat keadaan itu sebagai konsekuensi logis dari sifat “independen” yang disematkan secara konstitusional padanya. Dalam konteks itu negara bisa saja tak punya uang atau kekurangan uang, tetapi Bank Indonesia punya. Masuk akalkah ini? Apa saja usaha bank ini menghasilkan uang sebanyak apapun, yang dibutuhkan pemerintah? Main SUN? jelas tidak. Iuran Bank? Lalu apa usahanya? Nalar yang disediakan pasal 20 UU Nomor 23 Tahun 1999, mungkin menjadi jawaban finalnya. Nalar pasal 20 itu adalah BI ini memiliki kewenangan “mencetak uang.” Bagaimana merealisasikannya? Cara manisnya berupa tarik saja uang yang telah kumal, lalu cetak uang melebihi jumlah uang yang ditarik. Inflasi dan hiperinflasi? Ah pengendalian inflasi dan hiperinflasi kan keterampilan terhebat Bank Sentral di dunia ini. Justru untuk mengelola inflasi itulah, salah satu di antara beberapa golden argument, sekaligus golden goal pembentukan bank sentral di dunia ini. Di dunia mana sekarang ini cetak uang menggunakan standar emas? Lyndon Johnson telah menyempurnakan pola ini semasa memerintah sebagai presiden menggantikan John F. Kennedy, presiden pintar yang sayangnya mati terbunuh, tanpa sebab jelas hingga hari ini. Tidak ada. Inflasi telah menjadi tabiat dasar sistem keuangan mutakhir. Tetapi mari mengenali kenyataan kecil yang disodorkan oleh Ralp Epperson. Menurut Epperson Abraham Lincoln, Presiden hebat, pencipta semboyan “government from people, by the peole dan for the people”, yang berhasil mempertahankan keutuhan Amerika serikat, terlilit utang dalam membiayai perang. Lalu dia dipaksa oleh bankir swasta internasional (Perancis dan Inggris) yang berkolarborasi dengan bankir dalam negeri meminjam dari Bank. Lincoln menolak. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang terlihat bekrja dalam kendali tak terlihat dengan bankir swasta, yang kelak namanya diabadikan pada Chase Manhatan Bank milik Rockefeller, mengancam bankir untuk menerima obligasi pemerintah. Bila mereka tidak menermia, maka pemerintah, katanya, akan membanjiri negara dengan uang kertas. Lincoln akhirnya memutuskan tidak meminjam uang dari bank, juga tak akan menciptakan uang berbunga, dengan mendirikan bank nasional. Bank ini akan meminjami pemerintah uang yang dibutuhkan, untuk mencetak banyak sekali uang kertas. Lalu segera mengeluarkan kertas pada Februari 1862. Uang ini tidak hanya tidak didukung oleh emas, tetapi juga bebas hutang. Sayangnya Lincol terjepit dalam permainan rumit para bankir swasta. Salmon P. Chase, menteri keuangan Lincoln, yang kelak menjadi hakim agung, dalam kenyataannya meloloskan bill of National Bank ke Kongres. Pada tahun 1863 Kongres setuju menjadi UU. Apa respon Lincoln atas UU ini? Dia memperingatkan rakyatnya dengan peringatan berikut. Lincoln, seperti ditulis Epperson, mengatakan “kekuatan uang memangsa negara pada masa damai, dan berkonspirasi melawan pemerintah pada masa sulit. Kekuatan ini lebih lalim dibandingkan monarki, lebih biadab dibandingkan dibandingkan otokrasi, lebih egois dibandingkan birokrasi. Saya melihat sebuah krisis akan terjadi dalam waktu dekat yang membuat saya gelisah, dan membuat saya berjuang demi keselamatan negara saya”. Perusahaan, katanya lebih jauh, telah berkuasa, dan zaman korupsi akan terjadi. Kekuatan uang negara akan berusaha memperpanjang kekuasaannya dengan memanfaatkan prasangka rakyat, sampai pada kekayaan hanya dimiliki oleh beberapa orang, dan republik hancur. Mau abaikan, dan tempatkan penilaian tajam Lincoln ini di bak sampah, ketika siapapun hendak membaca ketentuan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020? Perpu ini memberi kewenangan kepada BI memberi fasilitas darurat kepada korporasi? Mau ditempatkan di bak sampah juga perspektif hebat Lincoln di atas dalam membaca SUN pemerintah, yang akan dibeli BI? Apakah Presiden, juga DPR dapat mengontrol kebijakan fasilitas istimewa BI kepada Korporasi yang keuangannya, menurut defenisi Perpu Nomor 1 Tahun 2020, terpukul oleh corona? Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, tetapi kekuasaan pemerintahan itu tak termasuk bidang moneter. Logiskah? Presiden, siapapun figurnya, diserahi kewajiban konsitusional mengurus, mensejahterakan rakyat, tetapi Presiden diisolasi dalam urusan moneter. Presiden harus bergantung pada BI dalam kebijakan moneter. Pada titik ini Presiden dan BI terlihat sebagai dua Bos yang berbeda buat bangsa dan negara ini.* Penulis adalah Pangajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

PDIP Sedang Mengigau Tentang Jokowi

By Asyari Usman Jakarta, FNN - PDIP bergolak. Banyak yang membanting-bantingkan kepala. Marah besar terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020. Ditetapkan dan mulai berlaku 31 Maret 2020. Lengkapnya, Perppu itu adalah tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”. Supaya tidak pusing menghafal judul ini, banyak yang sepakat menyingkatnya dengan “Perppu Corona”. Setidaknya, ada dua kader cemerlang PDIP yang dibuat keder oleh Perppu Corona ini. Pertama, Masinton Pasaribu. Kedua, Arteria Dahlan. Mereka ini adalah ‘rising star’ PDIP. Masinton mengamuk karena, kata dia, Perppu Corona adalah rangkaian peraturan yang seluruhnya untuk kepentingan oligarki. Oligarkhi adalah sekelompok kecil orang –boleh disebut beberapa orang— yang memegang kekuasaan di sebuah negara. Politisi senior PDIP ini sangat galak. Dia sebut Perppu Corona sebagai bentuk sabotase terhadap UUD 1945. Arteria mengutuk Perppu ini sebagai isyarat adanya “kekuasaan baru di atas kekuasaan Presiden”. Dia khawatir, Perppu Corona memberikan kewenangan tak terbatas kepada pemerintah dalam mengelola dana penangangan wabah Covid-19. Jumlah dana itu sangat besar: 405 triliun rupiah. Mungkin yang membuat resah Arteria adalah pasal 27 Perppu Corona. Di situ lebih-kurang disebutkan bahwa siapa pun yang melakukan kesalahan dalam penggunaan dana Covid-19 tidak bisa dikenai tuntutan pidana atau perdata. Arteria meminta KPK agar mengawasi dana Covid-19 agar tidak disalahgunakan. Yang menarik dari politisi muda yang pernah galak dan melecehkan Prof Emil Salim dalam siaran live televisi itu, dia khawatir Presiden Jokowi akan tersandera. Nah, mari kita bahas ‘dobrakan dahsyat’ kedua politisi hebat Partai Banteng ini. Pertama, tentang kegelisahan Masinton Pasaribu. Dia katakan, Perppu Corona adalah aturan yang dibuat untuk oligarki. Pertanyaan kita: apakah selama ini Jokowi bukan duduk untuk oligarki? Ke mana saja Anda, Bung Masinton? Kok sekarang baru sadar bahwa Jokowi menjadi presiden untuk kepentingan oligarki? Bukankah sejak 2014 oligarki itulah yang menguasai pemerintah dan negara ini? Mungkin Anda terlalu nyenyak tidurnya, Bung! Tapi, lumayanlah masih sempat Anda mengigau tentang Jokowi. Hanya saja, igauan itu biasanya tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk mengambil tindakan. Artinya, Anda harus puas dengan igauan itu saja. Pak Jokowi tidak akan ‘online’ dengan igauan Anda itu. Dia akan melenggang sebagai “presiden pilihan rakyat” sampai akhir hayat periode keduanya. Begitu juga dengan Arteria. Anggota Dewan Yang Amat Berhormat ini pun juga sedang mengigau. Sama seperti koleganya, Masinton. Kata Arteria, Perppu Corona menunjukkan keberadaan “kekuasaan baru di atas kekuasaan Presiden”. Teman saya, Hersubeno Arief, menyebutnya “Presiden di atas Presiden”. Lagi-lagi, kenapa baru sekarang politisi ‘rising star’ PDIP ini sadar. Padahal, sejak 2014 di negara ini sudah ada “Presiden di atas Presiden”? Bukankah fenomema ini sudah berlangsung lama dan sekarang memasuki tahun ke-6? Sama halnya, igauan Arteria itu hanya bisa dijadikan kepala berita saja. Tidak bisa dipakai untuk mengurai kekacauan dalam tatakelola pemerintahan. Juga tidak akan bisa menghentikan oligarki yang dikeluhkan kolegamu, Masinton Pasaribu. Igauan Anda itu tak mungkin pula bisa menyingkirkan “Presiden di atas Presiden”. Dia akan tetap ada di sana sampai 2024. Saran saya kepada Anda berdua begini. Anda tenang saja. Anda pergi menghadap Bu Mega. Tanyakan ke beliau: oligarki dan “Presiden di atas Presiden” itu, mau diapakan? Saya menduga, jawaban Bu Mega akan mengutip pepatah Inggris: “if you can’t beat them, join them” (kalau tidak bisa mengalahkan mereka, ikut saja gabung ke mereka”.[] 1 Mei 2020(Penulis wartawan senior)

Kompetensi Pedagogik, Sebuah Keniscayaan

By Dr. Elli Widia S.Pd. MM.Pd.* Jakarta FNN – Jum’at (01/05). Orang-orang pandai dan sukses pasti sepakat bahwa tidak ada pahlawan yang lebih berjasa bagi mereka selain guru. Maka, tak heran ada adagium yang menyebutkan bahwa orang hebat bisa melahirkan beberapa karya bermutu. Tetapi guru yang bermutu dapat melahirkan ribuan orang-orang hebat. Mendidik, membimbing, dan menjadi orangtua pengganti. Begitulah sejatinya peran seorang guru bagi anak-anak didiknya. Sehingga wajar ada semboyan “Tut Wuri Handayani” (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan) atau “Digugu dan ditiru”. Semboyan itu mengandung makna bahwa guru bukan profesi yang sembarangan. Ia dijadikan model untuk ditiru. Oleh karena itu, para guru dituntut untuk selalu tampil prima. Tidak ada alasan bagi guru untuk menunjukkan suasana hati yang tidak menyenangkan (bad mood) di hadapan peserta didiknya. Lantas, apa yang melatarbelakangi seseorang untuk menekuni profesi sebagai guru? Ternyata jawabannya bervariasi. Seseorang tertarik menjadi guru, antara lain sekedar mengisi waktu luang karena suami atau istrinya pulang kerja di sore atau malam hari. Tipe guru seperti ini bisanya saat sedang mengajar selalu melihat jam untuk mengetahui kapan waktu istirahat dan kapan waktunya pulang. Karena kegiatan mengajarnya cenderung hanya betujuan untuk mengisi waktu luang. Ada pula motivasi seseorang menjadi guru karena faktor ekonomi. Tujuannya, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Sehingga bisa jadi setiap mengajar, guru dimaksud sering melihat tanggal kapan waktunya gajian. Tetapi ada pula alasan seseorang menjadi guru karena panggilan jiwa dan idealisme. Tipe guru seperti ini mendedikasikan dirinya untuk menjadi seorang pendidik yang kompeten dan professional. Bagian dari upayanya memajukan anak didik serta lembaga tempat dirinya bekerja sebagai pendidik. Pada sisi lain, saat ini kesejahteraan guru sudah relatif lebih baik. Beberapa insentif diberikan. Artinya, para guru menerima tambahan pendapatan, sehingga tidak sedikit orang kini mulai melirik profesi yang satu ini. Karena itu pula, apapun motivasi dan alasan menjadi guru, mereka dituntut untuk menjadi pengajar dan pendidik yang kompeten dan profesional. Dalam kaitan ini, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, setidaknya ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Guru idealnya memilki keempat kompetensi tersebut secara holisitik (menyeluruh). Kompetensi itu tercermin pada penampilan dan kinerjanya sebagai seorang pendidik, sehingga yang bersangkutan layak disebut sebagai guru yang kompeten dan profesional. Dengan kompetensi pedagogik dimaksud, bahwa seorang guru harus memiliki kecakapan. Juga ketrampilan dan seni, sehinggga tercipta suasana yang nyaman dan menyenangkan ketika proses pembelajaran berlangsung di dalam kelas. Kompetensi pedagogik inilah yang membedakan profesi guru dengan profesi lainnya. Tidak dapat dipungkiri, kompetensi ini mengharuskan seorang guru menguasai karateristik peserta didik. Menguasai prinsip dan teori dasar pembelajaran. Faham tentang pengembangan kurikulum, dan rapi dalam urusan administrasi kelas. Selain itu, seorang guru harus bisa melaksanakan kegiatan pembelajaran yang bervariasi, serta dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan. Harus mampu memanfaatkan teknologi informasi yang kini dipengaruhi oleh revolusi industri 4.0. Era revolusi industri 4.0 itu sendiri membutuhkan tenaga kerja, termasuk guru yang memiliki keterampilan dalam literasi digital dan literasi teknologi informasi. Ketrampilan itu dalam upaya meningkatkan efektivitas proses pembelajaran. Sementara itu, kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa. Menjadi teladan bagi peserta didiknya. Disamping itu, mampu mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara berkelanjutan. Pada umumnya, lembaga pendidikan, setiap sekolah memiliki standar tersendiri dalam merekrut calon guru untuk tenaga kependidikan di sekolah dimaksud. Sudah barang tentu syarat yang mutlak harus dimiliki adalah ijazah sebagai pendidik atau sertifikat sebagai pendidik. Tetapi syarat berupa ijazah sebagai pendidik saja belum cukup. Karena jika seseorang tidak memiliki jiwa sebagai pendidik, maka yang bersangkutan tidak akan bisa menjadi seorang guru yang kompeten dan berintegritas. Namun dari mana kita bisa melihatnya? Tidak lain dari kepribadiannya. Maka di sinilah terasa arti pentingnya kompetensi kepribadian itu. Guru juga harus memiliki kompetensi profesional. Dengan kompetensi ini, yang bersangkutan tentu harus mempunyai ijazah sebagai pendidik atau sertifikat pendidik. Harus juga menguasai falsafah pendidikan. Mempunyai pengetahuan terkait bahan pelajaran yang akan diberikan, serta memiliki kemampuan menyusun program pembelajaran, sekaligus mampu melaksanakannya. Guru yang profesional juga dapat melakukan penilaian dalam proses pembelajaran dan memberikan bimbingan kepada anak-anak didik untuk mencapai tujuan program pembelajaran. Selain itu, juga dapat bertindak sebagai administrator dan komunikator yang baik. Mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Guru yang dengan kompetensi seperti itu, akan mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif. Mampu melaksanakan tugas secara optimal untuk kepentingan pencapaian hasil belajar siswa khususnya, dan pencapaian mutu pendidikan pada umumnya. Peran guru itu sejatinya adalah melayani perserta didik dan orangtua yang sudah mengamanahkan anak-anaknya untuk bisa dijadikan anak didik. Harapannya, kelak kemudian hari menjadi orang-orang yang berguna bagi sesama. Bermanfaat orang banyak. Dalam kaitan itu pula, seorang guru wajib untuk selalu berusaha membangun komunikasi yang baik dengan orangtua murid. Tujuannya, agar proses dalam mendidik dan membimbing anak-anak bisa sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka, di sinilah arti pentingnya seorang guru harus memilki kompetensi sosial itu. Khusus terkait pembelajaran, sejak Mendikbud mengeluarkan Surat Edaran No. 36962/MPK.A/HK/2020 agar seluruh kegiatan belajar-mengajar menggunakan metoda daring (dalam jaringan) alias online sebagai upaya pencegahan terhadap penyebaran Covid-19, banyak kisah menarik, lucu, maupun sedih yang terjadi dalam proses belajar dengan metode ini. Bisa dilihat bagaimana stresnya orangtua yang mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Bagaimana siswa kebingungan menghadapi tumpukan tugas yang dianggap rumit dari para pendidik. Apalagi sebagian orang juga juga masih gagap teknologi. Pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terkait adanya wabah Covid-19 ini, guru dituntut untuk berinovasi dalam memberikan pembelajaran kepada peserta didik di rumah. Inovasi dimaksud makin terasa penting, karena tidak semua orangtua mampu memberikan alat komunikasi berupa laptop, komputer atau handphone (telpon genggam) bagi anak-anaknya. Maka, tuntutan agar guru memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial semakin terasa di era masih mewabahnya Covid-19 ini, yang mengharuskan anak-anak belajar di rumah. Dengan kata lain, kini makin disadari bahwa kehadiran guru yang bermutu merupakan sebuah keniscayaan. Lebih dari itu, berbicara tentang guru adalah berbicara tentang masa depan. Karena guru yang bermutu dan berintegritas akan melahirkan generasi yang baik dan merdeka dari segala kebodohan. Generasi yang baik tersebut akan senantiasa memberikan kontribusi yang luar biasa bagi dirinya, keluarganya, bangsanya, dan negaranya. *Penulis adalah Guru SD Islam Nabilah dan Dosen Pascasarjana Fak. Ekonomi Universitas Batam

Serunya Operasi KPK Kasus Romy, Anti Klimaxnya di Pengadilan.

By Dr. Maiyasyak Johan Jakarta FNN – Jum’at (01/05). Seorang teman Presiden ditangkap KPK di Jawa timur. Sebut saja mantan Ketua Umum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy. Biasa dipanggil dengan sebutan Rommy. Bagi orang Indonesia, berita ini bagaimana pun masih dianggap luar biasa. Apalagi ternyata yang ditangkap itu seorang Ketua Umum Partai pendukung penguasa. Diketahui, bahwa kasus mantan Ketua umum PPP yang ditangkap itu, tidak ada kaitannya dengan Presiden. Namun pengaitan itu tidak lebih hanya pandangan masyarakat yang melihat bahwa selama ini bila teman penguasa tertentu saja susah ditangkap, apalagi teman Presiden. Tentu agak mustahil bisa ditangkap. Begitulah opini umum masyarakat kebanyakan. Berdasarkan data, pernah ada yang dekat dengan Presiden ditangkap KPK. Apa yang terjadi kemudian? KPK-nya menjadi bulan-bulanan. Semua borok orang-orang KPK dibuka. Akibatnya KPK pun menjadi sempoyongan. Dengan kata lain, ternyata KPK juga tak bersih-bersih amat. Karena itu, tidak heran bila sampai ada temen Presiden, yang Ketua Umum Partai sampai ditangkap. Apalagi dengan tuduhan korupsi. Sangat memalukan sekali. Alibinya sangat klasik, yakni memanfaatkan pengaruh untuk melakukan jual-beli jabatan. Tetapi walaupun kecil dan klasik, itu adalah pintu masuk. Untuk itu, patut diduga atau cukup masuk akal bila ada motif politik dari orang yang berusaha untuk menyingkirkan Romy. Yang punya motif ini telah mempelajari kebiasaan Romy sejak lama, sehingga niat kelompok orang ini untuk menyingkirkannya menjadi terbuka luas. Operasi untuk penyingkiran Romy bisa terjadi, karena ada pintunya yang sudah terbuka lebar. Semua itu bisa terjadi, mungkin karena yang di sekitar Presiden suah ada yang mulai gerak dengan sepak-terjang Romy. Demikian juga di internal partai. Bahkan bisa jadi juga gang kecilnya pun melihat Romy sudah terlalu liar. Dianggap bisa mengganggu peluang anggota gang yang lain. Mereka yang di sekeliling menganggap, akan lebih baik bila Romy. Logika ini dalam berbagai novel bisa dijalankan ketika di sekitar dikuasaan ada orang atau kelompok yg meriang atas kedekatan Rommy dengan sang Presiden. Lalu kerjasama dua kelompok itu pun terjadi. Maka tersingkirlah Romy. Semua itu bisa terjadi karena memang kelakuan Romy ternyata memang masih suka untuk ngerampok yang kecil-kecil. Tetapi ada yang bilang itu hukum karma. Karena dia mengkhianati Ketua Umum PPP sebelumnya Surya Darmay Ali, yang telah membesarkannya. Benarkah demikian? Tak ada yang tau. Sebab itu cuma bisik-bisik saja. Kita juga tak tahu, setelah ini siapa yang akan tertulah berikutnya. Berikutnya, persekongkolan teman satu gang dengan orang luar gang dalam kekuasaan pun berjalan . Romy masuk penjara. Lalu teman seiring yang dulu satu gang pun menggantikannya. Kawan Presiden tadi, dan seorang temannya yang menjadi menteri agama akhirnya tersingkir. Teman Rommy yang naik menggantikannya menjadi Ketua Umm PPP. Lalu naik lagi menjadi menteri. Cukup beruntung. Karena oleh KPK cuma diperiksa. Tidak dijadikan sebagai tersangka sekalipun ruang kerjanya sempat dibeslah. Dalam laci meja kerjanya ditemukan tumpukan uang dalam jumlah banyak. Begitu seperti yang diberitakan oleh media massa. Mereka adalah anggota gang yang sama. Meraka juga sama-sama memanipulasi keadaan di dalam Partai. Sehingga meraka berhasil menghancurkan partai tersebut dari dalam. Banyak yang berduka, tetapi banyak yang tidak mengerti atau menerima kehancuran akhlak di sana. Semuanya bermula dari muktamar PPP di Ancol. Terus melalui serangkaian pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip perjuangan partai, terjadi perpecahan. Juga tragedi kekerasan dari pengurus partai, seperti main ancam kepada pengurus di bawah dan merekayasa susunan pengurus. Peristiwa itu menjadikan PPP dikuasai oleh politisi Orde Baru, dan pengkhianat baru. Itu yang akhirnya yang membuat PPP menjadi juara memasukkan pejabat partainya ke penjara. Setidaknya pada tingkat pusat, sudah dua Ketua Umum PPP yang menjadi pasien lembaga pemasyarakatan sebagai narapidana korupsi. Sedangkan di daerah tidak usah disebut, karena malu. Yang mengherankan, bagaimana bisa mereka kok sama-sama kelakuannya dengan partai-partai sekuler? Dari dua Ketua Umum PPP yang telah menjadi pasien KPK, kedua-duanya merupakan kawan dari Presiden. Hanya saja dengan periode yang berbeda. Sungguh miris sekali. Bukan cuma miris atas apa yang dialami oleh PPP. Partai ini kemudian terpecah, dan menjadi kerdil. Aktor yangg mengkerdilkannya sukses menjadi pejabat serta menempati posisi tanpa sedikit pun pernah bicara tentang umat dan nilai-nilai perjuangan partai. Selian itu, miris juga melihat KPK dan Pengadilan dalam proses penegakan hukumnya yang terkesan sangat jauh dari spirit politik hukum negara dalam pemberantasan korupsi. Bisa dikatakan “ada korupsi dalam pemberantasan korupsi”. Sungguh, ini sangat luar biasa miris. Luar biasanya kasus ini bisa dilihat dari proses penangkapan yang dilakukan KPK. Kejadiannya sangat menegangkan. Ada adengan kejar-kejaran, pertengkaran, adu mulut. Sementara kameraman dan blizt terus menyala. Kita juga tak tahu siapa mereka, apakah mereka itu jurnalis? Kalau iya, dari media mana? Atau mereka petugas KPK? Bila mereka dari media, bagaimana media bisa tahu dan ada di sana? Setelah kejar-kejaran sejenak, akhirnya terlihat petugas KPK berhasil membekuknya. Kabarnya, sempat terjadai adu mulut, tetapi itu tidak berlangsung lama. Seperti biasa, media mainstream, baik TV, cetak serta online secara nasional terus-menerus menyiarkan beritanya. Heboh dimana-mana. Sejumlah tempat, mulai dari kantor partai, termasuk kantor kementerian, rumah dan berbagai tempat digeledah petugas KPK. Sejumlah dokumen dan uang berhasil disita petugas KPK. Sejumlah nama kemudian mulai masuk daftar untuk diperiksa oleh penyidik KPK. Anehnya, ada sejumlah nama yang muncul, termasuk yang di meja kerjanya petugas KPK menemukan tumpukan uang, belum juga ada kelanjutannya sampai sekarang. Padahal pemberi uangnya sudah ditahan. Ketika itu publik yakini pasti diadili, namun sampai sekarang tidak ada kabar beritanya dari KPK. Padahal tanpa dukungan keputusan KPK, mustahil peristiwa hukum yang dituduhkan bisa terjadi. Ini memang keanehan yang luar biasa, dan sangat mencederai rasa keadilan masyarakat. Ternyata antara kehebohan dan keanehan di proses penangkapan dan penyidikan, berlanjut ke proses peradilan dan pemberian putusan di tingkat banding. Kita tidak bisa memahami logika pengadilan tinggi dari substansi kasusnya. Padahal aktor yang melakukannya, jelas merupakan pidana korupsi yang serius. Dampak korupsi yang sangat serius itu berupa rusaknya birokrasi, khususnya sistem karir dan promosi jabatan pada sebuah departemen atau kementerian. Sehingga keputuskan untuk menjatuhkan hukuman satu tahun itu melukai rasa keadilan. Juga menghancurkan kredibilitas peradilan. Bahkan mungkin cukup alasan hukum untuk menduga ada penyalahgunaan atas kebebasan subtantif hakim dalam putusan itu. Semakin menjadi jelas, bila hukuman atas dua mantan Ketua Umum PPP yang berurusan dengan KPK itu bosa kita bandingkan. Dan jelas sangat berbeda. Walau kasusnya tidak sama. Tetapi yang ingin kita katakan bahwa kasusu itu ada dalam dua periode penguasa yang berbeda. Yang tidak kalah menarik adalah, apa yang dibuktikan, dan tidak ditariknya mereka yang bersekongkol untuk diproses hukum. Yang seperti ini sama, baik Ketum Pertama maupun yang Kedua. Ada yang masih lolos, dan belum ditarik KPK sebagai tersangka. Ini kebiasaan KPK yang sangat menarik utk dikaji. Kembali pada keanehan dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta. Keanehan-keanehan putusan tersebut secara substansial dan juridis terlihat dari beberapa aspek. Pertama, putusan itu tidak sedikit pun mempertimbangkan nilai dan spirit politik hukum negara dalam pemberantasan korupsi. Apalagi bila dilihat dari kasus Ketum Pertama. Kedua, putusan itu tidak memiliki nilai yang membuat terhukum jera.Juga sangat tidak mendidik, sehingga jauh dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Ketiga, putusan tersebut membuat kredibilitas pengadilan menjadi semakin rendah. Juga menjadikan reformasi badan peradilan terlihat cuma sebagai live service semata. Keempat, bila pengadilan tidak yakin bahwa terdakwa atau terpidana bersalah, mengapa tidak diputuskan bebas saja? Menyatakan bahwa dakwaan dan tuntutan penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakin? Jika pertimbangan hukumnya masih berpegang pada “terdakwa terbukti bersalah sabagaimana tersebut dalam surat dakwaan dan tuntutan”, maka sungguh putusan itu merupakan ironi dan lelucon yang sangat merendahkan lembaga peradilan. Kelima, putusan itu merupakan anti klimaks yang membuka pintu utk mendesak dilakukannya audit atas semua putusan Pengadilan Tipikor yang diluar kepatutan dan rasa keadilan publik. Sebagai penutup, perlu kami ingatkan kepada semua anak bangsa bahwa, hancurnya suatu bangsa bermula dari tidak tegaknya hukum dan keadilan. Karena itu siapa pun yang mempermainkan hukum, mereka adalah orang-orang yang menghancurkan bangsa dan negara. Penulis adalah Advokat dan Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI