Demi Gibran, Presiden Jokowi Tawari Purnomo Jabatan?
by Mochamad Toha
Jakarta FNN - Ahad (19 Juli 2020). Presiden Joko Widodo dan DPP PDIP akhirnya berhasil “mengalahkan” aspirasi DPC PDIP Kota Solo yang mengusung Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilkada Kota Solo 2020 mendatang.
Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan rekomendasi kepada Gibran Rakabuming Raka – Teguh Prakosa untuk maju pada Pilwali Solo 2020. Menjelang pengumuman, ternyata Gibran sempat berkontak dengan ayahnya, Presiden Jokowi.
“Bapak sudah (komunikasi), lewat telepon saja, mendoakan semuanya lancar,” kata Gibran kepada wartawan di kantor DPC PDIP Solo, Jumat (17/7/2020). Lewat sambungan telepon, Presiden Jokowi mendoakan agar proses pengumuman rekomendasi berjalan lancar.
Sejumlah nama mengantungi rekomendasi PDIP untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang di wilayah masing-masing. Dari sejumlah nama itu tak pelak nama Gibran sebagai bakal calon Walikota Solo menjadi sorotan.
Mulai dari drama “pertempuran” Gibran vs DPC PDIP Solo hingga penolakan para kader PDIP di Solo membuat nama putra sulung Presiden Jokowi itu sebagai pemicu polemik di Pilkada Solo.
Hingga akhirnya muncul kesimpulan: Jokowi tengah melanggengkan “politik dinasti”, dan PDIP acuh terhadap aspirasi kader PDIP Solo. FX Hadi Rudyatmo selaku Ketua DPC PDIP Kota Solo pun hanya pasrah dan menerima keputusan PDIP itu.
Padahal, sebelumnya Rudyatmo menyatakan, PDIP tetap solid mendukung pasangan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilkada Kota Solo 2020 mendatang.
Walikota Solo itu menegaskan, pasangan Puguh ini merupakan bakal calon sah yang diusung oleh PDIP Solo. “Saya yakin pasangan pasangan bakal calon Puguh bisa memenangi Pilkada Solo,” ujar Rudyatmo, Minggu, 8 Maret 2020.
Rudyatmo menegaskan, dirinya sudah menyampaikan agar kader PDIP Kota Solo tak takut untuk mendukung pasangan bakal calon Puguh saat Pilkada 2020 pada 9 Desember 2020. Karena Puguh merupakan pasangan yang diusung DPC PDIP Solo.
DPC PDIP hanya mengajukan satu pasangan ke DPD yang dilanjutkan DPP PDIP. Sementara itu, Gibran Rakabuming Raka, maju melalui jalur DPD PDIP Jawa Tengah.
Menurut Rudyatmo, semua Satgas dan pengurus partai di Solo tidak perlu khawatir. Ia yakin pasangan Puguh akan mendapat rekomendasi dari DPP PDIP. Meski demikian, dia meminta agar kader patuh dengan ketentuan partai.
“Artinya, tegak lurus mengikuti apapun keputusan dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri tetap harus diutamakan,” kata Rudyatmo, seperti dilansir Tempo.co, Minggu (8 Maret 2020 15:32 WIB). Sebelumnya, Lembaga Survei Indo Barometer merilis hasil survei terbaru yang menunjukkan bahwa 67,5 persen masyarakat menerima Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Walikota Solo pada Pilkada 2020.
Sementara 23,7 persen publik tidak mau menerima jika putra sulung Presiden Joko Widodo itu maju sebagai calon Walikota Solo.
“Ada lima alasan publik tidak menerima. Paling besar karena menganggap Gibran belum berpengalaman dalam pemerintahan (37 persen),” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari di Jakarta, Minggu (16/2/2020).
Empat alasan lain tidak menerima, yakni menciptakan dinasti politik (28,1 persen), masih banyak calon lain yang lebih kompeten (12,3 persen), masih terlalu muda (8,9 persen), dan dapat menimbulkan kontroversi publik (6,8 persen).
Ada lima alasan publik dapat menerima, yakni semua warga negara berhak memilih dan dipilih (49,4 persen), hak ikut berdemokrasi (13,9 persen), dan tidak masalah jika memenuhi syarat pencalonan (13,9 persen).
Mengutip GenPI.c, Minggu (16 Februari 2020 17:32), berikutnya, yaitu melanjutkan Jokowi yang pernah memimpin Solo (9,4 persen), Gibran mempunyai kepribadian dan kemampuan yang baik sebesar 7,7 persen.
Hasil survei itu juga merilis, ternyata masih ada warga yang tidak mengetahui kalau Gibran akan mencalonkan pada Pilkada Kota Solo 2020. Warga Solo yang tergabung dalam Peduli Pemilu (PWSPP) menyatakan keberatan karena persoalan etika berpolitik.
Mengutip HanTer.com, Rabu (11 Desember 2019 - 10:19 WIB), pada Pilkada Solo 2015, Gibran tidak memberikan hak suaranya alias Golput.
Menurut Ketua PWSPP Johan Syafaat Mahanani, apabila orang yang tidak mau memilih (golput) diberikan kesempatan untuk memilih, maka bisa menjadi contoh generasi muda untuk bersikap egois hanya mementingkan kepentingan sendiri.
“Sebaiknya Gibran maju Pilkada Kota Solo pada 2025, namun pada 2020 ini dia bersedia memilih,” kata Ketua PWSPP, Johan Syafaat Mahanani, di Solo, Selasa (10/12/2019).
Menurut Johan, keberatan ini, sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat agar di kemudian hari orang yang tidak menggunakan hak memilih tidak menuntut haknya untuk dipilih.
Syafaat, seperti dilansir Antara, mengakui pihaknya sudah mengajukan surat keberatan kepada partai politik atas pencalonan Gibran pada Pilkada Kota Solo 2020.
Gibran diketahui sempat menampakkan sikap ngototnya yang tetap berusaha maju dengan melawan keputusan DPC PDIP Solo yang mantap mengusung pasangan Puguh. Padahal, keputusan DPC PDIP Solo tersebut berdasarkan aspirasi akar rumput.
Namun, keinginan Gibran untuk maju pada Pilkada Solo 2020 terkesan bukan atas dasar kepentingan rakyat. “Itukan seperti arogansi, seolah-olah berkata yang bisa menyejahterakan rakyat itu saya dan kelompok saya,” ungkap analis politik UII Geradi Yudhistira.
Dalam manuver yang dilakukan sosok yang baru mendaftar sebagai kader PDIP beberapa waktu lalu itu terkesan arogan. Bahkan dinilai jauh dari kepentingan rakyat. Alih-alih dia menghormati keputusan DPC, Gibran justru tetap berkeinginan untuk mencalonkan diri dengan menghadap ke Ketum PDIP beberapa waktu lalu.
Pengamat politik Universitas Diponegoro M Yulianto menilai, rencana Gibran maju pada Pilkada Solo 2020 dalam konteks demokrasi sah-sah saja. Namun, menurutnya, asalkan telah memenuhi kualitas, kapasitas, intergritas.
“Sebenarnya dalam konteks demokrasi (Gibran maju Pilkada, red) sah dan boleh. Tetapi kalau kualitas, kapasitas, intergritasnya memenuhi tidak masalah,” ungkap Yulianto di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Namun, di sisi lain, menurutnya, pencalonan Gibran itu akan memberikan tren dinasti politik di keluarga (oligarki) penguasaan kelompok tertentu berbasis pada dinasti keluarga. “Karena itu juga bisa, itu juga ada di Sumatera,” ungkapnya.
“Kemudian di Solo dan nanti itu akan diikuti tokoh-tokoh politik dari PDIP yang membangun plan-plan keluarga di situ,” lanjut Yulianto. Menurutnya, hal ini merusak sistem yang sudah dibangun PDIP yang dipertahankan dengan loyal oleh pengurus kabupaten/kota dan povinsi.
“Ini bagian dari manajemen partai yang harus dikritisi, jangan mentang-mentang atau jangan seolah-olah karena punya power yang besar kemudian merusak mekanisme sistem yang telah didesain oleh partai dengan baik,” tandasnya.
Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan, publik akan kecewa kepada Presiden Jokowi ketika Gibran maju pada Pilkada 2020. Ia menilai, publik kecewa karena ternyata keluarga Jokowi tidak mengambil jarak dengan dunia politik praktis.
“Ini akan menambah bobot makin jauhnya harapan agar Jokowi menjadi salah satu figur yang mempraktekkan politik dengan kultur baru,” ujar Ray, Selasa (10/12/2019). Terlebih, selama ini Jokowi dicitrakan sebagai pembawa pembaruan yang tidak mempraktekkan politik dinasti dan nepotisme ketika menjabat sebagai presiden.
Majunya Gibran saat Jokowi masih menjabatmenjadi titik yang menghapus semua citra baik yang selama ada di mata publik. “Artinya, dalam hal ini, Pak Jokowi tak memberi tauladan yang berbeda dari kebanyakan politisi Indonesia,” tambah Ray.
Apalagi, belakangan diketahui, Achmad Purnomo mengaku mendapat tawaran jabatan dari Presiden Jokowi sebagai timbal balik karena Gibran memperoleh rekomendasi PDIP untuk maju pada Pilkada Solo 2020. Namun Purnomo menyatakan menolaknya.
Tawaran Jabatan
“Ya ada (tawaran timbal balik), tapi bagi saya ndak perlu,” ungkap Purnomo, seperti dilansir Detikcom, Jumat (17/7/2020). Tawaran itu disampaikan ketika Purnomo dipanggil Presiden Jokowi ke Istana, Kamis (16/7/2020).
Tapi Purnomo tak bersedia menjawab apa penawaran Jokowi. Ia hanya memastikan tawaran itu berupa jabatan, tapi bukan posisi menteri. “Ya rahasia no. Ada, tapi saya ndak bersedia. Iya (jabatan). Nggak (posisi menteri), nggak setinggi itu,” sebut Purnomo.
Ditanya apakah legawa karena tak jadi maju sebagai calon Wali Kota Solo dari PDIP karena digantikan Gibran, Purnomo tak menjawab pasti. Ia menyatakan hal tersebut sebuah realitas yang harus diterima.
“Ya kalau saya diberi tahu seperti itu saya terima apa adanya. Kenyataannya tidak bisa saya hindari. Ya nuwun sewu (mohon maaf), terus terang, kan semuanya terpengaruh dengan putra presiden, mana saya bisa menang,” jelas Purnomo.
“Bukan soal legawa atau tidak, itu kenyataan, realita. Saya kan tidak mencalonkan diri tetapi dicalonkan, diberi tugas oleh PDIP Surakarta. Kemudian anak presiden masuk, he-he-he…. Itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Bukan soal legawa, realitanya begitu,” sambungnya.
Purnomo saat ini masih menjabat Wakil Walikota Solo. Setelah purnatugas pada 2021 nanti, ia mengaku ingin berfokus kembali pada usaha bisnisnya saja. Ia juga menyatakan tak akan aktif di PDIP Solo.
“Ndak, dari dulu saya ndak aktif di partai kok. Anggota (PDIP), tapi ndak aktif. Saya anggota kader biasa. Kembali lagi ke dunia swasta saya. Kegiatan sosial sama bisnis saya. Bisnis ada batik, macem-macem. Ada hotel, SPBU, kayak gitu,” jelas Purnomo.
Pengamat Politik, Hendri Satrio mengatakan, jika Gibran terpilih menjadi walikota karena menggunakan fasilitas Jokowi, maka masuk ke dalam kategori dinasti politik. Dan, lanjut dia, hal itu tentunya merusak nama Jokowi sendiri.
Menurutnya, langkah Gibran terjun ke dunia politik bisa menorehkan tinta negatif sejarah. Karena, Gibran maju saat ayahnya, Jokowi, masih memimpin Indonesia.
“Sekarang terserah Gibran tetap mau menjaga tinta positif sejarah Indonesia dalam berpolitik bagi Jokowi tentunya, atau berkontribusi menorehkan tinta negatif untuk ayahnya,” katanya di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Dia mengatakan, sejak Indonesia berdiri sampai saat ini belum ada anak presiden yang ikut dalam pesta demokrasi. Bahkan, pada era pemerintahan Presiden Soeharto tidak ada anaknya yang maju ke dalam kontestasi politik.
“Karena akan dicatat sejarah sebagai presiden pertama yang anaknya maju ke perhelatan pilkada sebagai Walikota. Belum ada itu, Pak Harto saja 32 tahun nggak kayak gitu,” kata dia, seperti dilansir Harianterbit.com.
Jika akhirnya hanya pasangan calon Gibran – Teguh yang maju, karena hampir semua parpol (kecuali PKS dan PAN) mendukungnya, dipastikan mereka akan melawan “kotak kosong”.
Penulis adalah Wartawan Senior