OPINI

Ajaib!! Klepon Jadi Korban Buzzer

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Rabu (22/07). Kelakuan buzzer kali ini sungguh keterlaluan. Entah salah minum obat apa mereka, sampai-sampai klepon jadi sasaran. Jadi bahan adu domba. Makanan tradisional berbentuk bulat, terbuat dari ketan berisi gula merah itu disebut-sebut tidak Islami. Kehebohan dipicu oleh sebuah meme yang beredar di dunia maya. Foto klepon berwarna hijau, ditaburi kelapa parut itu sungguh membuat air liur langsung meleleh. Tapi tunggu dulu. Caption di bawahnya membuat dahi langsung berkerut. “KUE KLEPON TAK ISLAMI. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami.” Di bawah caption itu tertulis nama Abu Ikhwan Aziz. Sekilas meme tadi mengesankan sebuah iklan dari toko kurma yang dimiliki orang bernama Abu Ikhwan Aziz. Dilihat dari namanya saja sudah jelas siapa pemilik toko ini. Apalagi tokonya khas banget, jualan kurma. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Kadrun alias kadal gurun. Sebuah sebutan pengganti untuk pendukung 02 yang sebelumnya bernama kampret. Di medsos sejumlah akun langsung menggorengnya. Mempertentangkan Islam dan budaya lokal. Pro kontra, caci maki langsung bermunculan. Ada juga yang masih coba berpikir waras. Mencoba meredakan ketegangan. *Kerjaan BuzzeRp* Siapa sesungguhnya Abu Ikhwan Aziz ini? Dan dimana toko kurmanya berada? Sejumlah media yang mencoba menelesurinya tidak bisa menemukan “toko kurma” milik Abu Ikhwan. Nama itu juga tidak pernah eksis sebelumnya. Ketika coba digoogling, nama itu hanya muncul pada artikel media yang membahas kontroversi “klepon tidak Islami.” Dapat dipastikan nama Abu Ikhwan juga dicomot begitu saja, seperti halnya foto klepon tadi. Rupanya ada yang sedang coba bermain api. Menciptakan kegaduhan di balik klepon dan nama “Abu Ikhwan Aziz.” Adu domba. Mencoba menyudutkan umat Islam melalui narasi remeh temeh, klepon tidak Islami. Orang Islam itu memang bodoh dan konyol banget. Duduk soalnya menjadi semakin jelas ketika Drone Emprit besutan Ismail Fahmi menelusuri percakapan di medsos. Foto klepon itu dicomot begitu saja dari Pinterest. Kemudian diberi narasi yang menghasut. Si penghasut ini kemudian mengunggahnya di medsos. Dari penelusuran Drone Emprit heboh perkleponan itu dimulai di Facebook, kemudian ramai di twitter. Setelah itu muncul di media online dan Instagram. Melalui penelusuran dapat diketahui siapa yang pertamakali mengunggah dan kemudian meramaikannya. Percakapan dimulai dan diramaikan oleh kluster akun pendukung pemerintah. Mereka sering disebut sebagai buzzeRp, alias buzzer bayaran. Temuan Drone Emprit membuat banyak pegiat medsos, terutama mereka yang masuk dalam kluster netral hanya bisa geleng-geleng kepala. Tapi banyak juga yang geram. Selebgram Awkarin bahkan sampai membuat feed berupa klepon yang dilemparkan ke atas, kemudian ditangkap mulutnya. Sambil mengunyah klepon, dia mengacungkan jari tengahnya. "Buat buzzeRp yang kerjanya mecah belah bangsa. Fight me bitj #KleponLivesMatter," tulisnya pada keterangan unggahan di Instagramnya itu, Rabu, 22 Juli 2020. Kasus ini makin membuktikan perilaku buzzer yang merusak. Mereka tak peduli bangsa tengah menghadapi krisis. Terjadi pembelahan yang kian dalam antara pendukung dan penentang pemerintah. Hanya untuk bayaran berupa uang receh, mereka bergembira ria menggali lubang kubur bangsa lebih dalam. End Penulis adalah Wartawan Senior.

Mengapa Indonesia Perlu Presiden Yang Tidak Dungu?

by Asyari Usman Jakarta FNN (22 Juli 2020) - Merakyat saja tidak cukup. Dia harus jujur. Merakyat dan jujur saja, juga tidak cukup. Dia harus bertakwa. Merakyat, jujur dan bertakwa saja pun belum cukup. Dia juga harus berkarisma dan berkarakter kuat. Indonesia memerlukan presiden yang memiliki semua aspek. Di atas semua itu, dia harus cendekia. Sekadar mengingatkan, cendekia mencakup banyak hal yang berbasis IQ tinggi. Begini definisi “cendekia” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Saya copas langsung dari KBBI daring. Kalau ada waktu, tolong dibaca beberapa kali definisi berikut ini. CENDEKIA/cen·de·kia/ 1 tajam pikiran; lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu); cerdas; pandai; 2 cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar (pandai menggunakan kesempatan); cerdik; 3 terpelajar; cerdik pandai; cerdik cendekia. Berdasarkan definisi ini, seorang presiden yang cendekia harus memiliki kapasitas pikir (thinking capacity) yang berlebih. Harus di atas rata-rata. Supaya dia menguasai masalah apa saja. Presiden ‘wajib’ menguasai semua masalah. Kalau pun dia tidak tahu secara detail semua masalah yang terkait dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, setidaknya seorang presiden memahami simpul-simpul penting dari masalah yang sedang terjadi. Presiden wajib tahu kisi-kisi semua masalah dan peristiwa. Dia, misalnya, harus paham soal landas kontinen (continental basin). Ini istilah hukum laut internasional. Tidak harus tahu detail. Tapi, presiden bisa berbicara ketika ditanya tentang pertikaian perairan. Presiden juga harus mengerti serba sedikit tentang ekonomi makro, port-folio investment, capital flight, Das Capital, tax holiday, Kyoto Protocol, dlsb. Presiden musti mengerti soal ‘debt to GDP ratio’ supaya dia tidak menjerumuskan negara ke lembah utang. Supaya tidak memaksakan diri berutang secara berlebihan. Ada pula istilah ‘debt trap’ (perangkap utang) yang harus dicermati. Sangat mungkin ‘debt trap’ itu menjadi bagian dari ‘geo-politcal strategy’ (strategi geo-politik) sebuah negara besar. Misalnya, banyak orang yang percaya bahwa China menerapkan ini lewat kebijakan OBOR (One Belt One Road) yang intinya adalah hegemoni dan kolonialisasi dengan ‘casing’ baru. Presiden yang cendekia pasti bisa mengikuti diskusi tentang ‘bio-diversity’. Ini penting untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan. Saat ini, Indonesia kehilangan banyak spesies dalam keragaman hayati. Di pentas internasional, masalah ‘bio-diversity’ selalu menjadi topik hangat yang sangat politis sifatnya. Presiden perlu memahami isu ini. Ada terminoligi perang asimeteris (asymmetric warfare). Yaitu, perang yang ditandai perbedaan mencolok dalam persenjataan dan strategi atau taktik. Sebagai negara besar yang berposisi strategis, presiden Indonesia harus mampu berdiskusi dengan para menteri bidang pertahanan tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkecil dampak negatif secara militer dan psikologis akibat disparitas perangkat perang. Presiden harus bisa memberikan pengarahan dan mengambil keputusan yang tepat dan cepat. Itulah beberapa contoh tentang perlunya seorang presiden yang cendekia. Yang berpikiran tajam, cerdas dan cerdik. Smart thinking, smart actions. Intinya, orang yang cendekia itu punya otak. Tidak setiap hari, setiap saat, setiap masalah, bergantung pada tim penasihat. Lawan dari cendekia adalah dungu. Mari kita simak sebentar definisi ‘dungu’ berikut ini. Juga menurut KBBI. DUNGU/du·ngu/ sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Bisa dibayangkan kalau seorang presiden memiliki kapasitas yang berlawanan dengan kemampuan seorang cendekia. Orang yang cendekia tahu apa yang harus dia lakukan jika ada masalah. Sebaliknya, presiden yang dungu sangat membahayakan negara. Dia tidak paham masalah yang terjadi. Kalau pun dia paham, dia tidak memiliki kapabilitas untuk mengatasi masalah. Tidak memiliki kemampuan. Akibat literasi yang minim. Celakanya, seorang presiden yang dungu merasa memiliki kemampuan. Dan lebih celaka lagi, orang-orang yang cendekia siap melakukan apa saja untuk menutupi kedunguan seorang presiden. Akhirnya, mari kita jawab satu pertanyaan: mengapa Indonesia memerlukan presiden yang tidak dungu? Karena Indonesia ini besar dari banyak aspek. Besar dalam hal demografi. Besar dari segi geografi. Besar dalam ‘natural resources’ (sumberdaya alam). Dan besar dari aspek ekonomi, bisnis, dan kemaritiman. Di tangan seorang presiden yang dungu, Indonesia akan hancur berantakan. Menjadi lemah tanpa martabat dan wibawa. Untuk kemudian menjadi makanan empuk negara-negara kuat, terutama China. Apakah kita bisa menemukan figur sesempurna penjelasan di bagian awal tulisan ini? Jawabannya: harus ada. Dan pasti ada. Asalkan jangan Anda sengaja mencari orang yang dungu.[] (Penulis adalah wartawan senior)

Larangan Tolak Otsus, Kapolda Papua Bermain Politik

by Marthen Goo Jakarta FNN - Rabu (22/07). Kebijakan Kapolda Papua yang melarang aksi tolak Otonomi Khusus (Otsus) nyata-nyata melanggar Undang-Udang Nomor 9 Tahun 1998. Kebijakan Kapolda tersebut inkonstitusional, dan masuk ke dalam ranah atau domain politik. Kapolda jangan bermain politik. Kapolda sebaiknya jangan ikut-ikutan bermain politik. Polisi dilarang oleh undang-undang untuk masuk ranah politk. Pebicaraan tentang Ostus Papua adalah wilayah politik. Siapa saja masyarakat Papua bebas untuk berbicara tentang Otsus papua. Baik yang mendukung maupun yang menolak. Polisi jangan ikut-ikutan, termasuk melarang masyarakat yang hendak melakukan aksi menolak Otsus Papua. Sebab Indonesia sudah dikenal sebagai negara demokrasi. Dimana demokrasi di Indonesia mulai dikenal tahun 1998, dengan semangat reformasi 1998. Ketika kekuasaan yang otoriter ditumbangkan oleh para mahasiswa, aktivis dan masyarakat tahun 1998, lahirnya demokrasi tersebut. Bisa dilihat juga dengan lahirnya pasal 28 UUD 1945, yang kemudian diturunkan dalam UU Nomor 9 Tahun 1998. Tentu semangat demokrasi tersebut lahir dengan semangat mengedepankan hak asasi manusia. Atas dasar semangat reformasi dan cita-cita memupuk demokrasi, maka setiap orang berhak menyampaikan pendapat, pikiran dan perasaannya. Penyampain pendapat itu, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan di muka umum. Atas penyampaian tersebut, hak konstitusinya dilindungi dalam konstitusi Negara. Seperti pada pasal 28 UUD 1945 yang dengan jelas dirumuskan, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Kemerdekaan menyampaikan pendapat seperti yang dimaksud dalam pasal 28 UUD45 tersebut, diperjelas dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Ada apa Kapolda melarang aksi masyarakat untuk menolak Otsus Papua? Dijelaskan dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 bahwa penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. Sementara dalam pasal (3) dijelaskan, pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai, telah diterima Polri setempat. Artinya, dalam ayat (1) lebih diutamakan pada sifat surat pemberitahuan. Sedangkan Pada ayat (3) adalah soal waktu dan tempat kegiatan penyampaian pendapat. Sebelum kegiatan dimulai, surat pemberitahuan sudah harus disampaikan kepada polisi. Undang-undang telah memberikan ruang demokrasi bagi setiap orang yang ingin menyampaikan pendapat di muka umum. Namun dengan prinsip kemanusiaan, atau dalam prespektif hukum, dikenal dengan istilah “batasan”. Batasanya tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Penolakan Otsus Konstitusional Otonomi Khusus bagi propinsi Papua yang diatur dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah undang-undang desentralisasi asimetris di Propinsi Papua. Dimana keberlakuannya sejak diundangkan. Dalam sistim pemerintahan, undang-undang yang menerapkan sistim desentralisasi asimetris tidak hanya di Papua, tetapi juga di beberapa daerah lainnya seperti di Aceh, Yogykarta dan Jakarta. Sementara wilayah lain, hanya diterapkan undang-undang desentralisasi. Apakah penolakan sebuah undang-undang bagi warga negara, yang tidak mendapatkan manfaat dan tidak relevan dengan kondisi objektif yang dialami rakyat, serta bertentangan dengan konstitusi, apakah wajib tetap dipertahankan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dipahami dengan baik juga tujuan dibentuknya undang-undang. Jika kita merujuk pada tujuan nasional, yang juga dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945, yakni bertujuan “mensejahterakan kehidupan bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jika tujuan itu tidak terlihat dalam pelaksanaan undang-undang, maka wajib hukumnya ditolak. Karena tujuan utama pembentukan undang-undang adalah untuk kesejahteraan dan mencerdasan rakyat. Jika undang-undang dibuat hanya karena pertimbangan politik. Bukan pertimbangan tujuan nasional, secara konstitusional sah jika rakyat menolak. Jadi, jika rakyat atau pulbik ingin menolak UU Nomor 21 Tahun 2001, secara konstitusional boleh-boleh saja. Selagi tidak melakukan perbuatan pidana atau perbuatan yang melanggar hukum. Dalam dunia demokrasi, itu hal yang wajar dilakukan. Jangankan hanya undang-undang. Jika rakyat aksi untuk mendorong amandemen UUD 1945, itu boleh-boleh saja, atau bahkan perubahan sistim hukum di Indonesia. Menolak sebuah keberlakuan undang-undang itu hak konstitusional warga Negara. Sementara mengenai perubahan atau pencabutan undang-undang, hanya bisa terjadi melalui dua hal. Yaitu undang-undang tersebut mengatakan dirinya usai (berakhir) atau pembuat undang-undang mencabut undang-undang tersebut. Polisi Tidak Diberi Kewenangan Polisi hanya diberi kewenangan untuk mengawasi berjalannya asksi yang demokrasi. Bukan menutupi ruang demokrasi. Pelarangan terhadap aksi penolakan Otsus Papua adalah tindakan menutupi ruang demokrai. Melarang memiliki arti tidak mengijinkan, sementara setiap orang berhak menyampaikan pikiran, perasaan baik secara lisan dan tulisan. Dalam pasal 13 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 dijelaskan, setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalarn pasal 11 Polri wajib : a. segera rnemberikan surat tanda terirna pemberitahuan, b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum, c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat, d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute. Sementara dalam pasal 13 ayat (2) dijelaskan, dalarn pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. Sementara dalam ayat (3) dijelaskan, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai prosedur yang berlaku, Disini peran polisi sesungguhnya sangat jelas. Dijelaskan dalam pasal 13, baik itu pada ayat (1), (2) dan (3). Dalam pasal itu tidak dijelaskan Polisi menutupi ruang demokrasi. Apalagi sampai melarang warga menyampaikan pendapat untuk menolak undang-undang Otsus Papua. Dalam hirarki perundang-undangan, juga sudah jelas. Sebagai batasan dalam keberlakuan sistim hukum di Indonesia, undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang di bawahnya jika bertentangan. Apalagi posisi kepolisian hanya pelaksana undang-undang. Bukan pembuat aturan. Jadi, Polisi sesungguhnya tidak diberi kewenangan melarang aksi atau menutupi demokrasi. Polisi hanya diberi kewenangan untuk mengawasi dan melakukan penegakan hukum apabila terbukti ada yang melanggar hokum. Terutama jika merujuk pada pasal 1 ayat (1) tentang asas legalitas. Kepolisian hanya memiliki kewenangan sebagai pelaksana undang-undang. Hanya untuk menjaga tertegaknya hokum. Bukan melarang rakyat menyampaikan penolakan terhadap sebuah undang-undang. Bukan juga melarang rakyat memenuhi UU Nomor 9 Tahun 1998. Pernyataan Polda Mencederai Demokrasi Dari uraian di atas, batasan dan ruang kepolisian sangat jelas dalam undang-undang. Sehingga jika Polisi menyampaikan pelarangan terhadap aksi penolakan UU Nomor 21 Tahun 2001, sesungguhnya telah mencederai demokrasi. Menolak sebuah undang-undang yang dirasakan tidak relevan dalam kehidupan masyarakat sah dan kontitusional. Keram itu adalah hak konstitusional setiap orang atau setiap masyarakat. Tidak perlu Polda melarang-larang. Dengan demikian, pernyataan Kapolda Papua bertentangan dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. Kapolda harus melihat dan membaca undang-udang dengan seksama. Harus berpegang juga pada asas legalitas. Apalagi negara yang menerapkan sistim hukum Civil Low tidak mengenal dugaan-dugaan. Berlaku asas legalitas. Jika ada perbuatan pidana, maka terhadap perbuatan tersebut, diproses dan dikenakan sanksi hukum sesuai perbuatan pidananya. Menolak UU Nomor 21 Tahun 2001, tidak ada perbuatan pidananya. Itu ruang demokrasi bagi setiap orang untuk menyampaikan hak konstitusinya. Kepolisian tidak boleh masuk sampai pada membatasi hak konstitusional warga Negara. Karena tugas kepolisian hanya untuk memastikan dan mengawal hak konstitusional warga dapat berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.

ITB Sentimen Terhadap Orang Miskin

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (22/07). Anak saya yang akan melamar ke jurusan Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), melalui jalur mandiri, mengatakan bahwa ITB mengumumkan secara mendadak bahwa orang tua calon pelamar mahasiswa ke ITB harus menunjukkan rekening senilai Rp. 100.000.000. Saya menyanggupi saja, demi membahagian anak. Namun, buat saya ini adalah kegagalan kedua ITB setelah kegagalan pertama berhasrat menyingkirkan Prof. Din Syamsudin dari ITB sebagai anggota Mejelis Wali Amanat (MWA) ITB, karena sentimen anti-Islam. Mengapa Gagal? Pembebanan bea masuk puluhan juta dan menunjukkan rekening Rp. 100.000.000 untuk masuk ke ITB, di masa krisis ekonomi saat ini, telah mendiskriminasi peluang anak-anak orang miskin yang cerdas untuk mendapatkan pendidikan unggul. Penjelasan ITB bahwa uang itu akan dipake untuk subsidi silang bagi mahasiswa yang tidak mampu, dengan block sejumlah 30% untuk orang-orang mampu, menyisakan peluang pertarungan masuk ITB hanya 70% bagi orang miskin. Sebaliknya 100% bagi orang-orang kaya. Di masa lalu, ITB adalah kampus rakyat. Karena peluang kebersamaan dimulai dengan sama status bagi semua mahasiswa. Di jurusan Geodesi, misalnya, tempat saya kuliah tahun 80an, tercatat beberapa senior saya, seperti adik Sultan Hamangkubono, anak menteri pak Harto, antara lain anaknya Mendagri Yogi S. Memet dan anak Menteri Kesehatan, dan lain-lain. Dan tentunya di jurusan lainnya, banyak anak anak pejabat, namun perbedaan diantara mahasiswa tidak terjadi. Orang-orang miskin tidak merasa kesulitan, karena negara Indonesia kala itu, meski negara berkembang, menyediakan berbagai program bea siswa bagi mereka. Dengan bantuan Negara, baik pinjaman maupun hibah, tidak ada hutang budi antara mahasiswa di ITB. Berbagai yayasan pun didirikan pemerintah untuk mengumpulkan uang bagi mahasiswa kurang mampu. Seperti yang dulu terkenal, yayasan Supersemar. Anak-anak ITB yang merantau dan perlu biaya hidup tambahan, umumnya karena kuliah ditempat orang-orang pintar. Dipercaya oleh masyarakat Bandung untuk menjadi guru yang mengajar anak-anak mereka. Sehingga kesulitan keuangan dapat diatasi. ITB Tanpa Diskriminasi ITB harus keluar dari industrialisasi pendidikan. Ini adalah momentum bagi 100 tahun ITB, yang baru saja diperingati beberapa hari lalu. Cara pandang pendidikan tinggi negeri saat ini, telah gagal menyaring generasi pintar dan autentik serta penuh inovasi. Sebab, 10 tahun belakangan ini, ITB dan kampus-kampus ternama telah menjadi tempat yang hanya untuk anak-anak orang kaya menimba ilmu. Sistem pendidikan Indonesia yang hancur, karena kompetisi murid-murid dilakukan dengan "drilling" via bimbingan-bimbingan belajar, membuat fungsi sekolah untuk mencetak orang pintar, cerdas dan inovatif hilang. Hanya beberapa sekolah, seperti SMA Negeri 8 di Jakarta atau SMA Negeri 3 di Bandung, yang identik antara sekolah, guru dan kepintaran anak murid. Selebihnya, kebanyakn, murid-murid pintar identik dengan bimbingan belajar yang menjamur di berbagai kota-kota besar. Bimbingan belajar semakin lama semakin mahal. Paket-paket bimbingan belajar bahkan ada yang berbiaya ratusan juta, dengan sistem menginap selama sebulan serta jaminan uang kembali. Alhasil, kemampuan murid masuk ke perguruan tinggi negeri berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan orang tua murid pada perusahaan bimbingan belajar itu. Sistem rekrutmen mahasiswa di Leiden University, Belanda, misalnya, pada generasi saya, dilakukan dengan lotere. Istri saya yang mendaftar di jurusan psikologi misalnya, tidak membutuhkan seleksi. Sebeb, seleksi dianggap selesai dalam sistem sekolah menengah di sana. Kelebihan peminat menyebabkan dilakukan undian. Yang tersingkir tidak sakit hati, karena tidak merasa lebih bodoh. Dalam konteks kesulitan hidup akibat hancurnya ekonomi Indonesia masa pandemi Covid-19 ini, selayaknya ITB melakukan terobosan baru. ITB tidak perlu terjebak pada sumber pembiayaan dari kantong orang tua mahasiswa. Berbagai sumber pendanaan harus dipikirkan, baik meminta jatah ke Sri Mulyani berupa uang stimulus fiskal, maupun dari alumni-alumni, khususnya yang dulu miskin-miskin. (note: pada jaman 80an mahasiswa yang memakai sendal jepit cukup banyak di ITB, sangkin miskinnya). Dengan berubah orientasi, yakni pendidikan bukan industry, serta mencari bibit-bibit pintar dan inovatif, ITB harus membebaskan persaingan 100% kepada semua calon mahasiswa. Tidak lagi memblock 30% untuk orang-orang kaya atau yang punya rekening Rp. 100.000.000. Sehingga ITB tidak melakukan diskriminasi pada orang-orang miskin. Penutup Pendidikan adalah instrument negara untuk melakukan gerakan egalitarian, equality, dan anti diskriminasi terhadap anak-anak bangsa. Sehingga orang-oreang miskin mampu melakukan mobilisasi vertikal dalam mengejar cita-cita. Pemblockan 30% jumlah mahasiswa ITB pada orang-orang kaya dan memastikan mayoritas mahasiwa ITB dari murid-murid yang di pompa ilmunya oleh bimbingan-bimbingan belajar super mahal, akan menjadikan ITB sebagai industri. Jika itu dipertahankan, akan membuat ITB kehilangan inovasi, dan terus terjungkal dari misinya sebagai kampus rakyat. Diskriminasi terhadap orang-orang miskin juga akan membuat suasana kampus tidak sehat nantinya. Orang-orang miskin seolah-olah harus berhutang budi pada orang-orang kaya, yang membayar lebih mahal. Padahal urusan pembebanan biaya pada orang-orang kaya sebaiknya diselesaikan melalui sistem tax progresif dalam sistem negara. Bukan sistem pendidikan di kampus. Jika sifat ITB yang diskriminatif terhadap orang-orang miskin dapat diatasi, maka mahasiswa-mahasiswa bersendal jepit akan muncul lagi di ITB pada masa krisis ekonomi saat ini. Namun, mereka tetap anak-anak pintar dan penuh harapan ke depan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.

Ideologi PDIP Pancasila 1 Juni 1945, Makarkah?

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (22/07). Ketua Umum Partai Demokrasi Ondonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Seoakrnoputri dalam pidato tahun 2005 menegaskan bahwa, “ideologi partai PDIP adalah Pancasila 1 Juni 1945”. Bahkan Megawati agak "menafikan" Pancasila 18 Agustus 1945. Demikian berita dilansir oleh berbagai media saat itu. Antara lain termuat di Kompas.com. Penegasan bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi dari PDIP sesuai dengan hasil keputusan Kongres II Bali tahun 2005 lalu. Nah, kini dengan reaksi keras, khususnya dari umat Islam terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) yang diinisiasi oleh PDIP dengan isu komunisme tersebut, maka masalah Pancasila 1 Juni 1945 mengemuka. Masalah ini muncul dalam Pasal 7 RUU HIP tersebut. Akibatnya, PDIP dimasalahkan aspek visi, misi dan platform perjuangannya. Sulit untuk dipungkiri bahwa perjuangan menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 tersebut, dominan dalam sistem politik telah dilakukan oleh PDIP. Dikeluarkan Perpres No 24 tahun 2019 oleh Jokowi adalah sukses perjuangan. Hasilnya, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Juga ditetapkan sebagai hari libur nasional, dan diupacarakan secara resmi. Justru di sinilah perjuangan yang dinilai gagal oleh PDIP adalah RUU HIP yang digempur habis oleh masyarakat, khususnya umat Islam. RUU "pengganti" yang diajukan oleh Pemerintah ternyata masih berfilosofi perjuangan pada Pancasila 1 Juni 1945. Konsiderans RUU BPIP butir a dan b cukup membuktikan keinginan tersebut. Produk Kongres PDIP ke II Bali menjadi pertanyaan ketatanegaraan. Misalnya, bolehkah ada ideologi Pancasila lain yang diperjuangkan oleh partai politik, selain Pancasila yang sudah ada dan berlaku? Seperti Pancasila yang tanggal 1 Juni 1945? Jika boleh, maka bisakah ada partai politik di negeri kini yang menjadikan ideologi perjuangannya adalah Pancasila 22 Juni 1945 atau Piagam Jakarta? Bila tidak, bisakah masuk kategori makar, dengan ancaman hukuman 20 tahunkah ? Sedikit banyak ideologi perjuangan seperti ini dapat menggoyahkan kedudukan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Untuk itu, bila hal ini diabaikan atau tidak dianggap masalah, maka ideologi Pancasila memasuki fase reinterpretasi atau mungkin reformulasi. Pancasila akan menjadi diskursus yang bersifat "debatable". Dengan demikian, telah mendorong kemunduran dalam bernegara. Kini RUU HIP dicoba untuk diubah menjadi RUU BPIP. Namun pastinya RUU DPIP telah menjadi penambah masalah dalam konteks ideologi Pancasila. Sebelum menjadi kasus hukum di Mahkamah Konstitusi, maka baiknya masalah status Ideologi Pancasila 1 Juni 1945-nya PDIP yang menjadi ideologi partai, yang hendak diperjuangkan, mestinya didiskusikan oleh para pemerhati, khususnya ahli Hukum Tata Negara. Pembahsan bisa di lingkungan akademis maupun di ruang publik. Makarkah idelogi PDIP? Ini persoalan serius bangsa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Gibran vs Wong Solo, Siapa Menang?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Jejak digital mencatat, dunia politik Indonesia dibuat heboh soal kemenangan “kotak kosong” dalam Pilkada Kota (Pilwali) Makassar, pertengahan 2018. Suara kotak kosong melibas suara koalisi parpol dari pasangan Munafri Arifuddin – Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Awal munculnya suara kotak kosong di Makassar setelah Mahkamah Agung (MA) mencoret pasangan Mohammad Ramdhan Danny Pomanto – Indira Mulyasari (DIAmi) dari kontestasi Pilwali Makassar. Atas putusan itu, Pilwali Makassar akhirnya diikuti satu pasangan. Yakni: Munafri Arifuddin – Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Dalam putusannya, MA beranggapan, Danny Pomanto selaku petahana dianggap menggunakan jabatannya untuk melakukan kampanye terselubung dalam program pemerintahannya. Hal ini dianggap majelis hakim yang diketuai Agung Supandi merugikan pasangan lainnya. Karena pertimbangan tersebut, MA lalu mencoret Keputusan KPU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan atas PKPUNomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Maka tinggallah pasangan Appi-Cicu yang melaju sendiri menuju kursi Walikota Makassar. Tapi, pada 27 Juni 2018 semua orang tersentak, pundi-pundi suara kotak kosong di Makassar mengalir deras. Berdasarkan hasil rekapan dari KPU Kota Makassar per kecamatan, kotak kosong menang atas pasangan Appi-Cicu. Dari rekapitulasi tersebut, pasangan Appi-Cicu total memperoleh 264.071 suara, dan kotak kosong 300.969 suara. Drama saling klaim pendukung kotak kosong dan kelompok App-Cicu sempat terjadi pada sore hari setelah pemungutan suara berlangsung. Klaim pertama muncul pada sore hari dari arak-arakan massa di jalan protokol Makassar yang menyuarakan kemenangan kotak kosong. “Hidup kotak kosong, kotak kosong menang di Makassar,” teriak para massa yang berkonvoi di sepanjang jalan, seperti dilansir Detik.com, Kamis (27 Des 2018 13:53 WIB). Mereka pun memberikan simbol kosong di jarinya ketika melintasi jalan. Sementara itu, Appi dalam orasinya di hadapan pendukung mengklaim memenangi Pilwali Makassar dengan memperoleh suara lebih banyak dari kotak kosong. Ia mengklaim Makassar telah memiliki pemimpin baru dan menyebut menang sebesar 52 persen. Sengketa Pilwali ini sempat dibawa ke MK oleh pasangan Appi-Cicu. Namun, suara kotak kosong di gedung MK ini tetap nyaring berbunyi. Dalam putusan MK, disebutkan perolehan suara Appi-Cicu adalah 264.245 suara. Sedangkan perolehan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) adalah 300.795 suara. Jadi, perbedaan perolehan suara antara pemohon dan suara yang “tidak setuju” (kolom kosong) adalah 300.795 suara - 264.245 suara = 36.550 suara atau lebih dari 2.825 suara. “Dengan demikian, jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) untuk bisa diajukan permohonan PHPU Pilwali Makassar 2018 adalah paling banyak 0,5% x 565.040 suara (total suara sah) = 2.825 suara,” tegas MK. Pasca putusan MK itu, hingga kini belum ada Walikota definitif di Makassar. Setelah masa jabatan Mohammad Ramdhan Pomanto berakhir pada 8 Mei 2019 lalu, jabatan Walikota Makassar selanjutnya dipegang Pelaksana Harian dan Penjabat Walikota. Muhammad Anshar (Pelaksana Harian, 8-13 Mei 2019), Muhammad Iqbal Samad Suhaeb (Penjabat, 13 Mei 2019-13 Mei 2020), Yusran Jusuf (Penjabat, 13 Mei-26 Juni 2020), dan Rudy Djamaluddin (Penjabat, 26 Juni-Petahana). Mungkinkah “Sejarah Pilwali Makassar 2018” tersebut bakal terjadi pada Pilwali Solo 2020 mendatang? Apakah Wong Solo berani melakukan perlawanan terhadap putera Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa? Faktanya, Presiden Jokowi dan DPP PDIP akhirnya berhasil “mengalahkan” aspirasi DPC PDIP Kota Solo yang sebelumnya sepakat mengusung Achmad Purnomo – Teguh Prakosa (Puguh) sebagai pasangan bakal calon pada Pilwali Solo 2020. Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan rekomendasi kepada Gibran Rakabuming Raka – Teguh Prakosa untuk maju pada Pilwali Solo 2020. Menjelang pengumuman, ternyata Gibran sempat berkontak dengan ayahnya, Presiden Jokowi. “Bapak sudah (komunikasi), lewat telepon saja, mendoakan semuanya lancar,” kata Gibran kepada wartawan di kantor DPC PDIP Solo, Jumat (17/7/2020). Lewat sambungan telepon, Presiden Jokowi mendoakan agar proses pengumuman rekomendasi berjalan lancar. Sejumlah nama mengantungi rekomendasi PDIP untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada pada 9 Desember 2020 mendatang di wilayah masing-masing. Dari sejumlah nama itu tak pelak nama Gibran sebagai bakal calon Walikota Solo menjadi sorotan. Inspirasi Makassar Sudah bukan rahasia lagi, Gibran yang akhirnya terpilih dan mendapat rekomendasi PDIP untu maju Pilwali Solo 2020 tidak lepas dari “intervensi” Presiden Jokowi. Sebagai basis PDIP yang diwakili oleh DPC PDIP Solo, jelas ini tidak sesuai aspirasi Wong Solo. Apakah Wong Solo sudah siap menjadi bagian dari “kotak kosong” yang bakal menghadapi Gibran – Teguh, seperti halnya rakyat Makassar saat Pilwali 2018 lalu? Para aktivis di sana ikut mengampanyekan kotak kosong. Warga dari mulut ke mulut membisikkan, bahkan meneriakkan: Menangkan kotak kosong! Militansi perlawanan yang luar biasa, hingga mampu menumbangkan dominasi parpol dan keangkuhan penguasa. Bagaimana dengan Solo? Bisa dan tetap mungkin seperti di Makassar. Kotak kosong punya peluang mempecundangi Gibran. Meski banyak suara pesimistik. Alasannya pun beragam. Karakter Wong Solo beda dengan Makassar. Solo basis PDIP. Oligarki sudah sangat menguat. Nepotisme menebal. Juga faktor KPU dan pemihakan aparatur. Pesimisme yang diringi banyak satire, olok-olok, dan kejengkelan warganet, selalu menghiasi timeline. Umumnya menyindir: sudahlah, lantik langsung saja tanpa nyoblos. Buat apa buang duit membiayai Pilkada yang sudah jelas siapa pemenangnya. Tapi, pada saat bersamaan juga banyak yang mengungkap inspirasi dari Makassar. Kalangan perindu keadilan mulai membisikkan dengan ungkapan, “Kita lawan oligarki kekuasaan. Kita tumbangkan Gibran”. Jangan remehkan akal sehat Wong Solo. Mungkin tidak semilitan Makasar. Perlawanan tidak tampak diumbar. Mereka akan melakukannya dengan “senyap”. Alon-alon asal kelakon bisa menjadi energi dahsyat dalam perlawanan diam-diam. Jangan juga remehkan Ahmad Purnomo yang disalip Gibran. Dia politisi senior PDIP Solo yang punya basis akar rumput. Sebuah survei membuktikan, elektabilitas Purnomo jauh di atas anak Jokowi itu. Purnomo lebih 40 persen. Gibran tak sampai 20 persen. Kekecewaan Purnomo menjadi kekecewaan pendukungnya. Politisi senior PDIP itu bisa saja dilihat sebagai sosok yang dizalimi. Dan itu bisa menarik simpati publik. Kotak kosong akan menjadi representasi Purnomo. Kotak kosong menjadi simbol perjuangan. Jangan juga remehkan PKS. Partai yang melawan arus ini bisa memainkan perannya untuk keunggulan kotak kosong. PKS punya modal suara senilai 5 kursi. Modal politik yang bisa gandakan dengan main elegan: cantik, tegas, punya nyali. Jangan remehkan pula umat perindu keadilan di Solo. Mereka eksis dan acap menjadi tulang punggung demo-demo besar di Solo menyuarakan keadilan. Kotak kosong menang bisa jadi diartikan Wong Solo menang dan melawan oligarkhi. *** Penulis Wartawan Senior

Jinakkan Segera “Independensi” Bank Sentral

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. (Bag. Ketiga) Jakarta FNN – Senin (20/07). Gigih, cermat, deteil memperhitungkan semua hal. Bekerja dalam formasi kartel antara sesama oligarki, terlihat menjadi andalan kelompok International Bankir Amerika. Mengambil dari sejarah, mereka tahu kerja besar untuk mendirikan bank sentral harus merangkak, melingkar dan bertahap tetapi dengan spektrum yang pasti. Canggih merancang taktik. Itulah yang diperlihatkan mereka disepanjang jalan berliku ini. Mereka anti gold, tetapi menampilkan diri sebagai pro gold. Mengontrol partai politik, itu pulalah taktik memuluskan jalan mereka menuju puncak tujun. Siapa mengontrol Republik, dan siapa mengontrol Demokrat, jelas pada semua deteilnya. Kalau tidak dapat dikatakan licik, ya oligarki ini cerdas ini. Menanam orangnya dalam pemerintahan dan parlemen. Ttulah salah satu cara mereka. Menggunakan uang negara untuk kepentingan mereka, teridentifikasi menjadi cara jitu mereka menggolkan The Federal Reserve. The Federal Reserve, Kemenangan Bankir Murray N. Rothbard pada artikel berjudul The Origin of The Federal Reserve, yang dimuat di The Quarterly Jorunal of Austrian Economic Vol. 2 Nomor 3, 1999, mengidentifikasi dengan sangat jelas usaha itu. Menurutnya pengawasan yang diatur dalam National Banking Act 1864, dan state bank mengontrol bank notes dan penampungan pajak, dinilai bankir merusak mereka. Tidak itu saja, pemaksaan state bank kepada bank nasional –swasta- berdasarkan National Banking Act itu. Mereka dipaksa menerima bank notes satu dengan lainnya. Juga menerima permintaan deposito sebagai tanpa menyesuaikan dengan pasar. Ini dinilai sangat merusak bankir swasta. Bagi mereka cara ini mengesampingkan proses yang telah berlangsung berdasarkan mekanisme pasar. Dalam kenyataannya, oligarki ini telah terbiasa mengandalkan inflasi sebagai cara terbaik menciptakan uang atau keuntungan.” Itu sebabnya ketika tahun 1870 diberlakukan mata uang coin yang disponsori Partai Demokrat, sebagai cara menghentikan inflasi. Mereka tidak suka. Ini harus dihentikan. Tidak idenpenden, dan tidak leluasaa mengontrol inflasi, sama dengan tidak dapat mempermainkan pasar, untuk dan demi keuntungan mereka. Tidak independen mengatur kebijakan bisnis perbankan, jelas memukul mereka. Padahal ini adalah andalan mereka. Kenyataannya sejak perang saudara itu telah berkembang bentuk baru corporasi. Bentuk baru korporasi itu adalah kartel. Kartel korporasi diparkarsai untuk pertama kalinya oleh J.P. Morgan. Bagaimana menyukseskan usahanya? Terlihat jelas, bukan hanya adanya pertalian, tetapi oligarjki inilah yang memutuskasn siapa yang berkuasa. Untuk tujuan itu oligarki mengerahkan semua sumberdaya politik mengatur pemilu presiden tahun pada 1896. Dukung McKinley Jadi Presiden 1896 Rockeffeller dan J.P. Morgan, dua bankir papan atas kala itu beraksi. Mereka bedua yang memimpin permainan ini. Rockeffeller, pemilik standar Oil, dan sejumlah Bank telah menjelma menjadi kekuatan terbesar yang mengendalikan Partai Republik. Diseberang sana, dalam sifat pseudo, ada J.P. Morgan. Sososk ini yang mengontrol Partai Demokrat. Permain dimulai dengan mengatur isu yang harus digemakan capres dalam konvensi masing-masing partai. Permainannya terlihat cukup canggih. Rockkeffeler telah mengubah platform Partai Republik, yang semula anti gold standard, berubah menjadi pro gold. Morgan dan Mark Hanna, segera jumpa William McKinley, kandidat Calon Presiden Partai Demokrat. Konvensi Demokrat pun berlangsung, dan William McKinley segera menghebohkan Amerika dengan gagasan anti gold, interfensionis terhadap dunia luar, dan proteksi terhadap ekonomi Amerika. Landscape politik berubah total. Uniknya, William Jenings Bryant yang menjadi tokoh utama Demokrat yang anti gold, diam saja. Dan William Meckinley menang pilpres. Permainan juga bergerak naik sesudah itu. Bankir melakukan apa yang disebut Indianapolis Monetary Convention. Convensi ini mendesak McKinley segera mengambil kebijakan: (i) Melanjutkan kebijakan gold standar. (ii) Menciptakan satu sistem baru yang elastis tentang kredit bank. Tak lama setelah itu, Comisi ini mendesak McKinley membentuk Komisi Moneter baru. Isu terakhir tak dipenuhi McKinley. Tetapi tahun 1900, akhir dari masa jabatan McKinley, Kongres mengeluarkan Gold Standar Act 1900. Dan atas nama pro gold, mereka memborong gold dari berbagai penjuru dunia, terutama Philipine, Meksiko dan Kuba. Motor kampanye pembelian ini dipimpin oleh Charles Conand, seorang Jurnalis dan Mark Hannah, kaki tangan Rockeffeler. Belum tuntas, tetapi masa jaatan McKinley segera berakahir dan pemilu presiden untuk jabatan kedua segera datang. McKinley tetap capres dengan Theodore Rosefelt menjadi wakilnya. McKinley Menang. Kenyataannya McKinley hanya bisa bekerja selama enam bulan sejak dilantik pada tangal 4 Maret 1901. McKinley ditembak oleh Leon Czolgosz pada tanggal 13 September, 1901, dan mati keesokan harinya. Krisis Keuangan 1907 Theodore, wakilnya melanjutkan sisa masa jabatannya. Berbeda dengan McKinley, Theodore tidak mengistimewakan Morgan, Rockeffeler dan kawan-kawan. Ia memusuhi pada tingkat tetentu korporasi besar, bertipe kartel. Tetapi Bankir-bankir ini tetap melanjutkan permainannya, sampai memasuki pemilihan presiden lagi. Pemilihan presiden 1904 ini diikuti juga oleh Theodore, dan menang. Ia berkuasa hingga 1908. Uniknya setahun sebelum masa jabatannya yang kedua berakhir, monster keuangan yang bernama inflasi menggerogoti Amerika. Ini dikenal dengan Financial Panick 1907. Inflasi ini terlihat menjadi anak tangga terdekat ke terbentuknya The Federal Reserve. Jalannya sedikit merangkak, tetapi sukses yang mengagumkan dimulai dari sini. Jessie Romero dalam artikel Jekyll Island: Where the Fed Began, menunjukan pria yang menjadi figur kunci politik J.P Morgan, segera muncul kepermukaan. Woodrow Wilson, profesor ilmu hukum administrasi negara dari Princeton University, mengawali kemunculannya ekspektasi Morgan. Wilson, seperti ditulis Mullins menyatakan semua kekacauan ini dapat diatasi, bila kita membuat satu Komite yang terdiri enam orang, seperti Morgan untuk menanganinya. Nelson Aldrich menyambut, bahkan memastikan gagasan Woodrow Wilson itu. Nelson, Senator Republik di Senat, sekaligus ketua Komisi Keuangan Senat, segera mengambil langkah. Yang dilakukan Nelson adalah mengajukan RUU National Currency Commission. RUU ini disetujui Senat jadi UU. Segera setelah itu, Theodore Rosevelt membentuk National Currency Commission 1908, sebelum mengakhiri jabatannya yang kedua. Komite ini, hebatnya diketuai sendiri oleh Nelson. Dibantu oleh Shelton, sekertarisnya, J. P Morgan, dan orang-orang Morgan lainnya seperti Charles Dalton, Henry P. Davison. Frank Fanderlip, President National City Bank of New York juga ikut bergabung dalam Komite ini. Komite ini, menariknya segera melakukan studi banding. Yang dipilih adalah bank-bank di Eropa. Dalam kenyataannya Bank-bank yang dijadikan obyek studi itu dikelola oleh saudara-saudara Rothschild. Dalam perjalanan ke Eropa, ikut bergabung Paul Warburg, sosok penentu dalam Kuhn and Loeb, milik Jacob Shif, orang yang mendanai Revolusi Rusia 1917. Pembaca FNN yang budiman, kembali dari Eropa, Tim “National Currency Commission” yang lebih merupakan Tim Morgan, setidaknya Tim Bankir ini, tidak langsung ke New York. Mereka ke Jekyll Island. Ditempat inilah Bill of The Federal Reserve disiapkan. Cukup cermat, RUU The Federal Reserve yang telah disiapkan itu, tidak langsung dimasukan ke Senat. Medan politik harus ditangani, dibereskan terlebih dahulu. Rakyat harus dicuci, dikecohkan otaknya dulu dengan cara propaganda, bentuk jahat dari sosialisasi khas Indonesia. Kerja pengecohan, yang sekali lagi kalau di Indonesia disebut sosialisasi, ditangani oleh satu, bukan Komite, tetapi liga. Dalam identifikasi Mullin liga ciptaan Paul Warburg ini, semula diberi nama “Citizen League” sebelum akhirnya diubah menjadi “National Citizen League”. Cermat, harus dikatakan begitu. Liga ini tidak dipimpin oleh Bankir, mahluk yang dibenci itu, tetapi profesor dari universitas ternama. Profesor Laughlin dari University of Chigaco. Universitas yang disokong Rockeffeler ini, yang ditunjuk memimpin liga. Ia dibantu, dalam semangat sebagai juru bicara Nelson, oleh Profesor O.M. Sprague dari Harvard University. Canggih kan kerja mereka. Masyarakat harus dikecohkan, dijauhkan dari kecurigaan terhadap usaha ini. Kata Paul Warburg kepada sahabatnya, untuk mencapai target itu, maka nama Cenral Bank tidak boleh digunakan. Nama itu diganti dengan The Federal Reserve. Ada pro dan ada yang kontra. Tetapi bukan itu point kuncinya. Poin kuncinya adalah gagasan ini telah tersaji di tengah masyarakat. Telah tersosialisasi dengan sangat baik dan rapi. Itu kuncinya. Sosialisasi hanya dirancang untuk menyajikan gagasan itu ditengah masyarakat. Bukan untuk mendapatkan persetujuan masyarakat. Tidak lebih. Dukung Woodrow Wilson 1913 Sangat terencan dan sistimatis. Hasil studi dan draf RUU yang telah disiapkan di Jekyl Island, tidak langsung dilaporkan kepada Presdien dan Congres. Gagasan ini, kalau di Indonesia akan disebut “sosialisasi” dipresentasikan pada masyarakat perbankan di berbagai penjuru Amerika. Berbaju resmi sebagai National Currency Committee, maka tindakan sosialisasi sepanjang 1908-1911 dibebankan pada uang Negara. Dalam tiga tahun Komite ini menghabiskan uang negara, menurut catatan Mullins sebesar $207.130. Hasil kerja National Currency Committee itu, dilaporkan ke Congres pada tanggal 15 Desember 1911 sebagai Aldrich Plan. Aldrich Plan ini, entah telah tersistem secara diam-diam atau merupakan kebetulan yang istimewa, menyandra, setidak mengakibatkan kongres tidak punya pilihan, selain menjadikannya sebagai rujukan utama pembentukan The Federal Act 1913. Cukup hebat, Aldrich, setelah plannya diterima Congres, mengakhiri masa jabatannya sebagai senator. Berantakankah plannya? Tidak. Dan ini yang hebat. Charter Glass dari Demokrat menggantikan posisinya, tentu pada awal pada tahun 1912. Pada titik ini muncul sebuah pertanyaan, mengapa Currency Committee begitu lama bekerja? Mengapa tidak segera diajukan ke Kongres, sehingga dapat segera membahasnya sebagai RUU prakarsa Kongres? Oligarki ini terlihat memperhitungkan kenyataan politik secara cermat. William Howard Taft, professor hukum tata negara, yang sedang berkuasa sebagai Presiden di tengah isu ini, dikenal sebagai Presiden anti Bank Sentral. Orang ini, sedemikian antinya terhadap Bank Sentral, sehingga menulis dalam biografinya “ia ingin menuliskan di Nisannya kelak setelah mati sebagai Presiden yang anti Bank Senral.” Taft adalah kegagalan untuk oligarki ini menggolkan The Federal Reserve Act. Caranya menunda pembahasan RUU itu. Momentumnya harus dibuat pasti. Pada titik inilah letak signifikannya memperhitungkan Woodrow Wilson. Sebagaimana ditulis Mullins, dan telah dikutip pada uraian sebelumya, orang inilah yang mengawali gagasan Currency Commission. Tidak itu saja. Dia juga yang munculkan nama J.P. Morgan masuk ke dalam Commite itu. Dalam rangka menunda pembentukan UU itu, kongres menyelenggarakan serangkaian hearing. Satu di antara hearing itu diprakarsai oleh Arsene Pujo, ketua subkomite of House of Banking and Currency Committee. Komite ini bekerja selama lima bulan, dengan menghasilkan tidak kurang dari 500 halaman hasil kerja. Logis saja, karena Komite, yang dikenal dengan “Komite Pujo” ini bekerja selama lima bulan. Menariknya Pujo dikenal sebagai juru bicara, setidaknya representasi kepentingan oligarki minyak Rockeffeler. Demokrasi pemilu terlihat tak bisa berkelit dari cengkeraman Rockeffeler yang telah mengontrol Republik. Dan J. P. Morgan yang mengontrol Demokrat, yang pada tahun 1896 memunculkan McKinley menjadi Presdien. Pada pemilu kali ini menyajikan taktik baru. Republik memunculkan dua figure, Taft dan Theodore Rosevelt, mantan presiden dalam konvensi partai Republik. Rosevelt dikalahkan oleh Taft dalam konvensi. Mundurkah Rosevelt dari pencalonan? Tidak. Rosevelt tetap maju dengan partai independen, partai progresif. Taft maju dengan Republik. Demokrat memunculkan Woodrow Wilson, profesor yang sejak tahu 1907 telah menominasikan J. P Morgan menyelesaikan masalah keuangan Amerika. Bukan Morgan, juga bukan Rockeffeler yang mengarap Wilson. Tugas itu diserahkan kepada Kolonel Edward Mandel House. Pria ini, mewarisi bisnis Cooton dari ayahnya di Texas, telah menyukseskan tiga koleganya jadi Gubernur Texas. Ia bertemu dengan Wilson untuk pertama kali 31 Mei 1912 di Hotel Gotham. Bertindak sebagai utusan Texas, ia menominasikan Wilson dalam konvensi Demokrat. Kesamaan House dan Wilson, diakui sendiri oleh House, tulis George Sylvester terletak pada temperamen dan hasrat mereka terhadap kebijakan publik. Kepada George Sylvester, House menambahkan, anda tahu bagaimana mewujudkan hasrat itu? Dijawab sendiri oleh House, mengontrol pembentukan UU, sehingga memastikan ide liberal dan progresif mereka ditulis dalam UU itu. Demokrasi pemilu bekerja dengan semangat “London Connection” jaringan bankir oligarkis. Jaringan berisi, beberapa di antaranya adalah Morgan, Rockeffeler, Paul Warburg, Jacob Shift, Frank Venderbild, Bernard Barus, Edward Mandel House, dengan Rotschild di puncaknya. House memberi sumbangan dalam kapanye Wilson sebesar U$ 35.000. Berrnard Baruch memberi sumbangan sebesar U$ 50.000. Penyumbang lain yang tidak disebut jumlah sumbangannya adalah Samuel Untermeyer, Corporate layer kaya raya ini. Orang ini pernah dibayar sebesar U$ 775.000 dalam menangani merger antara Copper Company and Boston Consolidated And Nevada Company. Sebelum memberikan keterangan di Komite Pujo, Untermeyer lebih dahulu menemui Jacob Schif. Kepada Schiff, Urtermeyer menanyakan bagaimana operasi Banking House Kuhn and Loeb. Jacob Schif diidentifikasi Senator Robert L. Owen sebagai representasi keluarga Rothschild di Amerika. Dalam itu, Untermeyer sulit dikesampingkan sebagai orang London Connection. Demokrasi pemilu yang hebat, yang disuntik dan dipandu dengan semangat “London Conection” khas para oligarkis, menempatkan Wilson teratas dalam perolehan suara. Tepatnya Wilson mendapatkan suara sebesar 409. Rosevelt 167 suara. Dan Taft, presiden incumbent yang sangat populer itu hanya mendapat suara 15. Rakyat tak percaya. Tetapi itulah demokrasi yang diagung-agungkan, dalam nada naïf, di tanah air tercinta ini. Waktu memetik hasil semakin cepat datang. Aldrich Plan (ingat Aldric Senator dari Republik), segera diajukan secara resmi sebagai RUU, tetapi telah berganti baju menjadi Charter Glas Bill. Charter adalah Senator Demokrat, juga memimpin komite keuangan di Kongres. Dia menggantikan Senator Aldrich dari Partai Republik. Charter Glass resmi mengajukan The Federal Reserve Bill Januari 1912, dan Woodrow Wilson terpilih jadi Presiden Desember 1912. Dia dilantik tanggal 4 Maret 1913. Dimasa Wilson inilah Charter-Gas Bill, yang kelak menghasilkan The Federal Reserve Act 1913 dibahas, dan disetujui jadi UU 18 September 1913. Bank Sentral, yang seabad sebelumnya berfungsi sebagai clearing house of finance and currecy, dalam kasus Bank of Englad, tercipta dengansempurna. Sempurna karena diberi status independen. Ini kreasi hebat, karena dianalogikan dengan status konstitusional Mahkamah Agung. Sempurna. (bersambung) Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khirun Ternate.

Tanpa Intervensi Jokowi, Gibran Sulit Menang

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (20/07). Sudah menjadi pola kekuasaan. Selalu intervensi dalam proses politik. Mulai dari Mega, SBY hingga Jokowi. Terutama pencalonannya di periode kedua. Yang seperti itu bukan lagi menjadi rahasia umum. Lalu, bagaimana jika putra mahkota yang menjadi calon? Apakah sang bapak akan intervensi? Pertanyaan ini muncul sebagai respon terhadap ramainya pendapat publik terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presdien Jokowi yang akan maju sebagai calon Walikota Solo. Semula rekomendasi DPC PDIP diberikan kepada Achmad Purnomo. Karena Purnomo adalah kader PDIP yang saat ini menjabat sebagai wakil walikota Solo. Purnomo juga Ketua DPD PDIP Kota Solo. Dukungan kepada Purnomo ini berdasarkan hasil penjaringan dan penyaringan dari semua kepengurusan Anak Ranting maupun Anak Cabang. Tetapi, belakangan nama Purnomo tergusur oleh Gibran, putra sulung Jokowi. Pertanyaan sederhananya, apa mungkin Gibran bisa menggeser nama Purnomo tanpa keterlibatan Jokowi? Kecurigaan ini semakin menguat ketika Purnomo dipanggil ke istana, dan diberi tahu bahwa DPP PDIP urung mencalonkannya. Kok dipanggil ke istana? Bukannya ini urusan pencalonan Si Sulung Gibran? Kan bukan urusan rakyat? Tepatkah menggunakan istana negara untuk kepentingan pencalonan Sang Putra Sulung? Langkah Jokowi memanggil Purnono ke istana negara mendapat banyak kritik. Dianggap menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan partai. Bahkan untuk kepentingan keluarga. Ini jelas ngawur dan ngaco. Purnomo kecewa? Sebagai manusia biasa, wajar jika ia kecewa. Kecewa "ala Solo". Menggunakan bahasa "satire" dalam pengungkapkannya. "Saya sudah menduga akan seperti ini", katanya kepada awak media. Bukan hanya Purnomo, para kader partai banteng di Solo mungkin juga merasakan hal yang sama. Kecewa! Purnomo itu senior di PDIP. Kader tulen PDIP. Tentu saja jauh lebih berpengalaman dan matang. Setidaknya Purnomo saat ini menjabat sebagai Wakil Walikota Solo. Impian seorang Wakil Walikota pasti ingin jadi Walikota. Kesempatan itu pupus, dan diserobot oleh Gibran yang notabene baru menjadi kader di PDIP dalam hitungan bulan. Adakah kompensasi yang ditawarkan Jokowi kepada Purnomo? Inilah yang jadi rumor pasca Purnomo keluar dari istana. Jika benar ada kompensasi, sangat tepat jika Purnomo menolaknya. Penolakan Purnomo bisa jadi referensi bagi pendidikan karakter para politisi. Pertama, ini soal harga diri. Selama ini, dunia politik kita sudah tak lagi kenal harga diri. Kedua, soal prinsip. Secara prinsip, Purnomo lebih layak maju daripada Gibran. Soal prinsip ini harus dipegang teguh. Tanpa memberi ruang untuk dinegosiasi. Ketiga, Purnomo mesti sadar ini urusan pribadi dan partai. Bukan urusan negara. Maka, tak tepat melibatkan kompensasi apapun dari negara. Lalu, apa deal Mega dengan Jokowi terkait rekomendasi PDIP kepada Gibran? Tak ada makan siang gratis. Dalam politik, setiap keputusan ada transaksinya. Apa ada hubungannya dengan RUU HIP yang diperlunak Jokowi jadi RUU BPIP? Boleh jadi, itu salah satunya. Jika begitu, apakah ini memperkuat bukti bahwa Jokowi terlibat dalam pencalonan Gibran? Ayah mana yang tega membiarkan sang anak bertarung sendirian. Apalagi Gibran masih muda dan belum cukup pengalaman. Karikatur majalah tempo dengan foto Gibran naik tangga yang dipengangi Jokowi seperti menggambarkan situasi hubungan ayah-anak dalam Pilkada Solo. Apa alasan Jokowi turut campur? Anda bayangkan jika Gibran kalah. Ini akan menjadi tamparan politik bagi Jokowi. Selain karena Jokowi pernah dua periode jadi walikota Solo, juga posisinya sekarang sebagai presiden. Apa kata pendukungnya jika Gibran kalah? Akan jadi bullyan banyak orang. Belum lagi jika Gibran ngambek karena tak serius Sang Presiden membantunya. Bisa berabe! Asy'ari Usman, seorang wartawan senior malah menyarankan agar Jokowi membuat timses di Istana. Twitter atas nama Don Adam68 juga mengusulkan agar Jokowi membuat Keppres untuk menetapkan kemenangan bagi Gibran. Sehingga, tak harus keluar banyak biaya untuk pemilu. Ungkapan Asy'ari Usman dan Don Adam68 itu menunjukkan apatisme pilkada di Solo. Mengingat istana selama ini dianggap terlalu ketat mengontrol pergerakan rakyat. Mulai dari kampus, pers, parlemen, ormas, hingga suara pemilih. Aparat tak segan beroperasi untuk mengkoptasi suara pemilih. Berbasis pada pengalaman pemilu sebelumnya, terutama pilpres, rasa-rasanya kemenangan Gibran sudah di depan mata. Sebab ini akan menjadi taruhan nama Sang Ayah. Kecuali jika terjadi gelombang perlawanan yang masif dan menjadikan Gibran sebagai "musuh bersama". Itu baru akan sangat seru. Jika tidak, kekuasaan dan kekuatan uang akan sangat mudah untuk memenangkan Gibran. Walau begitu, jika kelak Gibran jadi walikota Solo, tetap saja tak akan sebaik nasibnya dengan Sang Ayah, yaitu Jokowi. Gibran tak sepintar ayahnya dalam melakukan pencitraan. Belum lagi jika bicara momen. Tahun 2024 periode Jokowi berakhir. Saat itu, akan sangat berat bagi Gibran untuk melanjutkan karirnya. Kecuali jika Jokowi jadi presiden seumur hidup. Gubrak! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Ketika Presiden Yang Kehilangan Rasa Malu

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Senin (20/07). Kesan memaksakan Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden untuk maju dalam Pemilihan Walikota (Pilwalkot) semakin kuat. Keterlibatan Presiden sebagai ayah sangat mencolok dan kasat mata. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Bahkan seperti seperti hendak memamerkan keterlibatan Presiden. Terang-terangan "pesaing” anak Presiden, Achmad Purnomo dipanggil ke Istana. Konon dengan tawaran kepada Achmad Purnomo dengan jabatan sebagai kempensasi tidak maju sebagai calon Walikota Solo. Tetap saja Purnomo merasa kecewa atas "perampasan hak" oleh anak Presiden atas nama otoritas sang ayah. Argumen awal bahwa ini bukan politik dinasti. Karena meskipun anak, tetapi hak politik sebagai warga negara tak dapat dihalangi siapapun. Siap untuk berkompetisi secara sehat. Namun prakteknya belum juga. Belum bertarung saja sudah memanfaatkan fasilitas kepresidenan. Ada juga barter jabatan segala. Peristiwa ini sebenarnya sangat memuakkan dan memalukan. Namun anehnya bagi Presiden hal ini dianggap biasa-biasa saja. Gawat juga jika Presiden sudah kehilangan rasa malu. Presiden tidak lagi perduli dengan cemohan dari publik. Presiden didak lagi perduli dengan norma pantas atau tidak pantas. Layak dan tidak layak. Presiden buta atau membutakan matanya untuk melihat kapasitas dan kapabilitas anaknya. Semua batasan norma, etika dan kepantasan tidak lagi dihiraukan oleh Presiden. Sabda Nabi, "sesungguhnya Allah tatkala hendak membinasakan seorang hamba, maka Allah mencabut rasa malu darinya. Ketika Allah telah mencabut rasa malu orang itu dari darinya, maka tidak mendapatkan dirinya kecuali dia dibenci dan membenci orang lain. Ketika mendapatkan dirinya dibenci dan membenci orang lain, akan dicabut amanah" (HR Ibnu Majah). Sebenarnya Presiden sudah kehilangan amanah itu melalui beberapa kebijakannya. Misalnya, ketika membuat Perppu tanpa adanya tingkat "kegentingan memaksa". Melumpuhkan KPK, dan mengabaikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM/2019. Juga memasukkan TKA China di tengah kesulitan kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Selain itu, kebijakan membuka peluang penguasaan Negara komunis China melalui investasi dan hutang luar negeri. Bagaimana mungkin Presiden tidak menjaga martabat rakyat dan bangsanya? Sangat berbahaya bagi Negara yang Presidennya telah kehilangan rasa malu. Ditambah lagi dengan tidak menjaga martabat rakyat dan bangsanya. Lebih lanjut Nabi bersabda, "ketika amanah dicabut darinya, maka dia tidak mendapatkan dirinya, kecuali berkhianat dan dikhianati orang lain. Ketika mendapatkan dirinya berkhianat dan dikhianati orang lain, maka dicabut darinya rahmat. Ketika dicabut rahmat darinya, dia tidak mendapatkan dirinya selain dikutuk dan dilaknat". Yang dikhawatirkan sebagai seorang pemimpin adalah jika rakyat yang dipimpin sudah melecehkan bahkan sudah berani mengutuk dan melaknat. Jika fenomena ini terjadi maka itulah tanda tanda Allah SWT mencabut rahmat darinya. Memang kasus Gibran Rakabuming Raka ini dinilai keterlaluan. Orang pada tahu kalau kualitas, kapasitas, dan reputasi Gibran seperti apa untuk menjadi seorang Walikota? Akan tetapi dengan modal sosial sebagai anak Presiden, yang juga mantan Walikota Solo, Gibran dengan mudah maju sebagai calon Walikota Solo. Bukan itu saja. Presiden juga terang-terangan menggunakan fasilitas kepresidenan sebagaimana pemanggilan Achmad Purnomo ke Istana. Perkiraan di atas kertas, Gibran bisa saja mulus menjadi Walikota. Apalagi dana "rekanan" pun kemungkinan dengan mudah didapat atas titah ayahanda. Namun kekuasaan yang didapat bukan dari haknya atau kapasitasnya, maka agama menegaskan ancaman kehancurannya. Jika ia beragama Islam, maka statusnya sama dengan orang yang keluar dari Islam. Nabi juga mengingatkan, "ketika ia mendapatkan dirinya dikutuk dan dilaknat, maka akan dicabut darinya tali agama Islam" (HR Ibnu Majah). Nasehat Nabi berguna bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Sementara bagi yang tidak beriman, maka predikat yang pas untuk mereka adalah, "shummun bukmun umyun fahum laa yarji'uun" Mereka itu tuli, bisu dan buta. Maka mereka tak akan bisa kembali (QS Al Baqarah, ayat 18). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Makar Ideologi Itu "Gerakan Pancasila 1 Juni 1945"

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (19/07). Ini tentu bukan peristiwa pidato Soekarno di Sidang BPUPKI. Pidato itu sudah menjadi dokumen historis bangsa Indonesia. Kehebatan Soekarno dalam menuangkan gagasan diakui sangat luar biasa. Kita tidak boleh mencelanya. Pada tanggal 1 Juni 1945 istilah Pancasila diperkenalkan. Sebagaimana ketika itu juga diperkenalkan Trisila dan Ekasila. Semua adalah proses menuju Pancasila sebagaimana yang kita kenal sekarang. Proses sejarah yang menuju ke sana itu kita akui. Kita juga tidak akan membantahnya. Persoalannya menjadi makar ideologi adalah jika Pancasila 1 Juni 1945 mau diperjuangkan untuk menggantikan Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila 1 Juni 1945 dengan rumusan sila-silanya adalah Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan itu diperjuangkan bentuk Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUUPIP) untuk suatu saat menggantikan Pancasila yang telah dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Perjuangan serupa dengan organisasi PKI dahulu, yang juga berjuang agar ideologi negara Republik Indonesia adalah Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pancasila digantikan kelak. Selama hidup dan bergerak, PKI tetap berada di bawah Pancasila. Bahkan PKI menyatakan "Membela Pantjasila". DN Aidit adalah "jagoan" dalam teriak-teriak soal "Membela Pantjasila". Kita terpaksa menyebut adanya “Gerakan 1 Juni 1945”. Karena realitanya dalam proses politik sangat terasa adanya gerakan, perjuangan, serta langkah serius. Gerakan ini berusaha untuk menanamkan keyakinan akan kebenaran Pancasila 1 Juni 1945. Bukan disimpan sebagai dokumen historis saja. Tetapi sudah menjadi misi politis yang harus diterima sebagai landasan yuridis. RUU HIP adalah landasan yuridis yang hendak diletakkan tersebut. Kulminasi dari keyakinan perjuangan yang dianggap telah sampai dan menemukan momentum. RUU BPIP menjadi strategi "mundur sedikit satu dua langkah". Apalagi dalam menghadapi benturan keras dan perlawanan dari pembela Pancasila 18 Agustus 1945, khususnya umat Islam. Gerakan 1 Juni 1945 dapat diawali dengan bukti konsepsi bagi misi , "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih, dan berwibawa". Gerakan 1 Juni 1945 tentu berapologi tidak menafikan Pancasila 18 Agustus 1945. Tetapi dari gerak dan langkahnya telah terasa merongrong eksistensi dan kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila telah disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia dan tidak boleh dikhianati. Titik. Keputusan Presiden No 24 tahun 2016 tentang Hari Lahirnya Pancasila yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi dinilai menjadi penguat bagi langkah gerakan Pancasila 1 Juni 1945. Berlanjut hingga RUU HIP yang kontroversial dan menyisakan buntut lahirnya RUU BPIP. Konflik ideologi akan semakin terbuka ke depan, jika tidak ada koreksi, introspeksi, evaluasi serta antisipasi. Dari mana memulainya ? Ya jawabannya sudah jelas di samping. Cabut RUU HIP, juga bubarkan BPIP dan tolak RUU BPIP. Ini adalah langkah strategis dalam rangka menyelamatkan eksistensi dan kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Tidak ada langkah dan cara lain. Ke depan, kiranya Pemerintah Jokowi harus mencabut kembali Kepres No 24 tahun 2016 tentang Lahirnya Pancasila. Hal ini karena masih terjadinya perdebatan keras tentang hari lahir Pancasila itu. Apakah 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 ataukah 18 Agustus 1945? Moga para pemimpin negara arif dalam mengelola negara yang telah susah payah "dipersembahkan" oleh para pejuang dan "the founding fathers". Tegakkan keadilan dan kedamaian. Penulis adalah Pemerharti Politik dan Kebangsaan.