OPINI

Berebut “Warisan Rp 600 Triliun” di Pandemi Kesenjangan

by Dr. Ahmad Yani MH. Jakarta FNN – Kamis (16/09). Sore tadi saya membaca tulisan Dr. Syahganda Nainggolan yang berjudul “Warisan 600 Triliun, Bansos 600 Ribu dan Tantangan Sila Kelima Pancasila”. Sebelumnya saya membaca sebuah judul berita salah satu media online yang menyebutkan Freddy Widjaya menggugat lima saudara tirinya. Saya tidak tertarik untuk melihat secara komprehensif makna dibalik peristiwa itu. Namun tulisan Saudara Syahganda menyentak hati saya. Bahwa masalah perebutan Rp. 600 triliun oleh ahli waris Eka Tjipta Widjaja adalah masalah keadilan sosial. Saya mencoba memahami ini dengan kecamata yang agak lebih kritis. Sebab di tengah rakyat berebut Rp. 600 ribu untuk menghadapi badai ekonomi di tengah pendemi ini, ternyata ada satu keluarga yang memperebutkan uang Rp 600 triliun. Angka itu bagi sebagian rakyat Indonesia adalah khayalan, tetapi bagi taipan adalah angka biasa. Pengusaha “Cina “ Di Indonesia Sejak jaman kolonial, kaum penjajah dengan sengaja menciptakan kesenjangan sosial. Masyarakat “Timur Asing” yang didominasi “etnis China” difungsikan sebagai pelaku perdagangan. Dari sanalah praktik kongkalingkong penguasa dan pengusaha bermula. “Etnis Cina” selalu mendapatkan keuntungan dari kolonialisme Belanda di Indonesia. Pedagang-pedagang “cina “ mendapatkan posisi yang tinggi, dengan usaha yang lebih maju dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Indonesia lainnya. Dengan kemampuan untuk “mengambil hati” penjajah itu, pedangang “Cina “ mendapatkan keramahan dari pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya, warga pribumi selalu menjadi korban “persekongkolan” para pendatang dan penjajah ini. Terjadilah monopoli di bidang perdagangan. Monopoli ini sebagai akibat adanya kongkalikong antara pengusaha “Cina “ dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pribumi tentu merasakan dampak yang tidak baik, sebagai akibat kongkalikong tersebut. Untuk melawan dominasi aseng itu, pedagang-pedagang Islam mulai memunculkan rasa nasionalismenya. Kebangkitan awal gerakan nasionalisme Indonesia dimulai dari gerakan padagang Islam. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi awal mula kesadaran nasionalisme itu dibidang ekonomi. Pada masa Orde Baru, posisi para taipan Cina menjadi semakin kuat. Apalagi dengan kebijakan pemerintah yang memberikan keuntungan besar bagi mereka. Sehingga muncullah kesenjangan dan ketidakadilan di bidang ekonomi. Rezim Orde Baru menggunakan pengusaha etnis China sebagai ujung tombak membangun ekonomi nasional. Mereka ‘diternak’ untuk difungsikan menjadi mitra penguasa dalam mengelola perekonomian nasional. Seluruh bidang usaha berada dalam cengkeraman pengusaha Cina ini. Dampak dari semua itu adalah ketidakdilan sosial dan kesenjangan ekonomi yang begitu sangat dahsyat. Survei lembaga Oxfam merilis, aset 4 orang terkaya Indonesia mencapai U$ 25 miliar dolar. Setara dengan harta 100 juta orang miskin. Kekuatan modal yang mereka miliki begitu besar, sehingga berkemampuan menyandera, mendikte, dan mengendalikan perekonomian nasional. Menjadi seperti ‘negara dalam negara’. Mereka semakin kaya dan membesar. Ruang gerak perekonomian rakyat makin menyempit. Indonesia pun masuk enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. (Sumber: https://www.watyutink.com/topik/politika/Mengapa-Hanya-Mereka-yang-Kaya). Misrisnya, dalam laporan Credit Suisse yang bertajuk Global Wealth Report 2018 menunjukkan bahwa 10 orang paling kaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan penduduk dewasa. Sementara 1% orang terkaya Indonesia mendominasi 46% total kekayaan penduduk dewasa. Ini menggambarkan tingginya ketimpangan kekayaan yang terjadi di masyarakat. (Sumber: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/11/09/10-orang-terkaya-di-indonesia-kuasai-75-kekayaan-penduduk) Melihat kenyataan tersebut, tentu membuat kita miris. Namun negara tidak mampu mengendalikan ketimpangan ini. Justru yang ada dugaan pemerintah berada dalam kendali oligarki ekonomi yang membuat ketimpangan tersebut. Kembali Ke Ekonomi Pancasila Mengutip tulisan Ichsanuddin Noorsy “Kembali Ke Ekonomi Konstitusi 1945”. Ketimpangan tersebut, selain karena kegagalan sistem ekonomi dan politik, juga karena kegagalan itu merujuk pada kegagalan sistem hokum, sehingga muara dari kegagalan itu adalah meluasnya rasa ketidak adilan. Indikasinya bukan sekadar pada soal Gini Rasio yang menggambarkan ketimpangan pendapatan saja. Berbedanya pelayanan politik kekuasaan dan hukum terhadap mereka yang menguasai sumberdaya, produksi dan distribusi dengan kualitas layanan publik bagi rakyat jelata. Tesa semakin kaya seseorang semakin sedikit hukum yang berlaku atas dirinya. Kenyataan ini berlaku dan menjadi tontonan kaum marjinal. Inilah kenyataan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Dimana ketimpangan dan ketidakadilan sudah menyentuh pada semua aspek kehidupan berbngsa dan bernegara. Pemusatan kekayaan pada satu atau dua kelompok memperlihatkan kegagalan negara menstribusikan keadilan sosial di negeri ini. Meminjam Ichsanuddin Noersy tadi, kembali Ke Ekonomi Konstitusi 1945 adalah kembali kepada sistem ekonomi Pancasila. Dimana dalam Pancasila itu terdapat nilai dan spirit ajaran Islam yang mengatur tentang masalah ekonomi dan keadilan. Dalam ajaran Islam, ada anjuran untuk memberikan harta kepada orang yang tidak berkecukupan. Al-Quran mengatakan: “… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian….” Artinya segala sesuatu itu adalah milik Allah, yang harus kita berikan kepada orang yang membutuhkan. Lebih Jelas lagi Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa yang menimbun barang, maka ia bersalah (berdosa )" (HR Muslim ). Menimbun atau menyembunyikan dalam syara' itu berarti ihtikar yang artinya adalah tindakan menyimpan atau menimbun harta yang tidak ingin dijual atau diberikan kepada orang lain. Tindakan menyimpan dan menimbun harta seperti ini menimbulkan sifat keserakahan atau ketamakan didalam diri manusia. Sifat yang seperti inilah yang membuat orang selalu merasa kekurangan. Orang yang menimbun barang ini hanya ingin menuruti nafsu mereka, yang hanya ingin untung dan menumpuk keuntungan sampai menyundul langit. Kalau kita kaji dalam perspektif negara, terjadinya penumpukan harta dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, merupakan pengingkaran terhadap cita-cita luhur bangsa Indonesia. Sebab, Bumi Air dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Konstitusi mengatur bahwa negara menguasai segala sumber daya itu. Kalua terjadi penumpukan harta, artinya negara merawat kesenjangan dan gagal mewujudkan keadilan sosial. Karena itu ketimpangan ekonomi, penumpukan harta pada satu atau dua orang adalah kezaliman yang nyata. Dimana satu orang atau sekelompok orang (oligarki) menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi suatu negara, sementara sebagian besar masyarakat berebut demi sesuap nasi. Konkritnya, seperti yang dikatakan oleh Syahganda, anak-anak konglomerat berebut Rp 600 triliun dari hasil peninggalan orang tuanya. Sementara 10 juta rakyat Indonesia per-keluarga berebut Rp 600 ribu kemudian dipotong dari juli s/d Desember menjadi Rp. 300 ribu. Inilah potret ketimpangan di Indonesia. Teologi Al-Ma’un & Kedustaan Berbangsa Dalam tumpukan kekayaan yang luar biasa itu, kita perlu merenungi dan mengingat bagaimana Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan menggunakan Quran Surah Al-Ma’un sebagai senjata analisis untuk melihat ketimpangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia kala itu. Teologi Al-Ma’un adalah keberpihakan kepada fakir miskin dan kaum duafa yang jumlahnya cukup massif di Indonesia sampai saat ini. Dengan al-Maun kepekaan sosial kita diuji, keimanan kita dipertanyakan, kalau belum menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin. Maka, apabila kaum miskin dan anak yatim belum mendapatkan pemeliharaan, belum mendapatkan santunan dari negara, maka kita telah berdusta dalam bernegara. Bukankah konsitusi mengatakan “fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”. Lalu kenapa kesenjangan terus melebar? Ini masalah serius bangsa hari ini yang harus kita pecahkan bersama. Pancasila hanya dijadikan slogan dan jargon. Akan tetapi dalam menjalankan tata kelola negara, Pancasila tidak dijadikan dasar dan sumber pijakan. Janji-janji kemerdekaan yaitu, “mencerdaskan, mensejahterahkan, dan melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah”, yang semakin tertinggal jauh. Kiblat bangsa telah bergeser, Inilah masalah bangsa ini. Di tengah rakyat yang behimpitan ekonomi, berebut bantuan ala kadarnya dari negara, ada satu keluarga konglomerat berebut harta warisan dengan jumlah yang sangat fantastis. Kenyataan ini memperlihatkan ada ketimpangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang cukup serius. Ini bisa menjadi malapetaka bagi bangsa ini. Oleh sebab itu, hanya dengan kesadaran al-Ma’un kita dapat menciptakan keadilan sosial yang otentik untuk membangun negara. Agar menjadi negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Dosen FH, Fisip UMJ & Inisiator Masyumi Reborn.

UU Korona No.2/2020, Cara Sistemik Amankan Bisnis Oligarki

by Dr. Marwan Batubara, KMPK Jakarta FNN – Kamis (16/07). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR 12 Mei 2020. Perppu ditandatangani Presiden Jokowi menjadi UU No.2/2020 pada 16 Mei 2020. Menurut pemerintah UU No.2/2020 ini bertujuan merelaksasi sejumlah peraturan guna menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU No.2/2020 menjadi landasan hukum agar pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah-langkah luar biasa secara cepat dan akuntabel guna menangani pandemi korona. Ditambahkan, upaya tersebut diperlukan mengingat pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan. Tetapi masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek socialekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020). Saat menyerahkan Perppu No.1/2020 kepada Pimpinan DPR tanggal 2 April 2020, Menkeu Sri Mulyani mengatakan "pemerintah dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan(KSSK) bekerja sama dengan Kejaksaan, Kepolisian, dan bahkan KPK. Tujuannya, agar potensi moral hazard bisa dihindari. Dikatakan pula, moral hazard dapat dicegah karena kebijakan keuangan dan pelaksanaannya tetap memperhatikan tata kelola yang baik sesuai Pasal 12 (1) UU No.2/2020. Moral hazard bisa berujung korupsi. Diyakini korupsi tidak dapat dihindari dan dihilangkan hanya melalui kerja sama antar lembaga dan tata kelola yang baik. Terutama karena menyangkut masalah subjek pelaku, sistem peraturan perundangan dan penegakan hukum. Disamping subjek pejabat pelaksana harus professional, beramanah dan bertanggungjawab. Sistem peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga yang perlu dipersiapkan. Agar harus dijalankan secara menyeluruh dan konsisten. Jika dicermati, moral hazard dalam pelaksanaan UU No.2/2020, justru potensial terjadi. Karena UU tersebut berisi banyak ketentuan yang melanggar konstitusi dan melanggar ketentuan dalam sejumlah UU yang berlaku saat ini. Hal yang paling mendasar adalah pelanggaran terhadap konstitusi terkait eliminasi hak DPR dalam penetapan defisit dan APBN (Pasal 2 dan Pasal 12). Status kebal hukum bagi pejabat pelaksana kebijakan (Pasal 27), dan eliminasi fungsi pengawasan oleh DPR dan BPK (Pasal 27). Moral hazard pun dapat terjadi dalam program pemulihan ekonomi. Terutama melalui pembiayaan investasi pemerintah berupa modal negara (PMN). Penempatan dana investasi dan penjaminan, jika tidak diatur rinci berpotensi menjadi permasalahan kelak (Pasal 11). Dalam kaitan ini diperlukan kejelasan objek, sektor, parameter, mekanisme, lembaga pelaksana, penjaminan dan sasaran strategisnya. Model pemulihan yang tidak jelas dan terbuka seperti ini, akan membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan justru potensial dinikmati sejumlah pihak sebagai bagian dari oligarki. Peluang moral hazard juga terbuka. Karena UU No.2/2020 memuat ketentuan (Pasal 22) dimana untuk mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat membuat program penjaminan di luar program penjaminan simpanan seperti diatur UU LPS. Karena kriteria yang tak jelas, akan dibantu LPS secara full garantee justru bisa saja bank dan para pengusaha yang kesulitan likuiditas. Bukan karena pandemi korona. Ini akan membuka peluang moral hazard yang kelak menjadi beban keuangan negara. Moral hazard pun potensial terjadi. Karena dihapusnya berbagai ketentuan dalam 12 UU yang berlaku saat ini (Pasal 28). Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk yang menjadi amanat reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter. Kondisi ini menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan berpotensi menimbulkan abuse of power.Ringkasnya, langkah-langkah sistemik bernuansa moral hazard yang pro-oligarki, diatur dalam UU No.2/2020 adalah sebagai berikut. Pertama, menyatakan kondisi kegentingan memaksa. Meskipun secara faktual kondisi tidak genting, karena bahaya krisis ekonomi umumnya terjadi secara gradual. Kedua, eliminasi fungsi budget DPR yang dijamin konstitusi. Ketiga, raih dan tetapkan status kebal hukum bagi para pelaksana kebijakan dan program. Keempat, batalkan seluruh ketentuan dalam 12 UU yang menghalangi pelaksanaan kebijakan dan program. Kelima, kendalikan dan paksa Bank Indonesia (BI) untuk bekerja dan menjadi bagian dari pemerintah. Keenam, batalkan prinsip transparansi berkeadilan berdasar skema bail-in dalam mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, demi melindungi kepentingan para oligarki. Dengan berbagai ketentuan inkonstitusional dan menyimpang seperti diuraikan di atas, maka bukannya terhindar atau bebas moral hazard. UU No.2/2020 justru membuka peluang terjadinya moral hazard dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang berpangkal pada UU tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah telah mengawali penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap permasalahan sosial, keuangan dan perekonomian nasional. Apalagi dengan membuat peraturan yang justru sarat moral hazard! Padahal, belajar dari krisis keuangan 1997-1998 dan krisis ekonomi 2008, Pemerintah dan DPR telah melakukan perbaikan dan membangun sistem keuangan yang siap menghadapi krisis sistem keuangan. Upaya perbaikan meliputi penataan kelembagaan, pembentukan dan amendemen UU No.23/1999 tentang BI, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai UU No.24/2004 dan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU No.21/2011. Selain itu, telah dibentuk pula UU No.9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum untuk mengatur upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Jika dicermati, UU BI dibentuk dan dirubah agar BI dapat menjadi lembaga otonom, independen, dan bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lain. Diharapkan pengendalian moneter dapat dilakukan efektif dan efisien. Begitu juga dengan UU-UU tentang LPS, OJK dan PPKSK yang dibentuk dalam upaya mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kuat mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, termasuk mencegah moral hazard. UU PPKSK No.9/2016 secara spesifik mengatur prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang tidak diatur sebelumnya. UU PPKSK mengatur skema bail-in dalam penanganan bank sistemik dengan mengoptimalkan kemampuan bank. Baik melalui penambahan modal maupun pengubahan utang atau investasi menjadi penyertaan. Saling keterkaitan sektor jasa keuangan menuntut kebijakan makroprudensial yang bersifat melengkapi kebijakan mikroprudensial dan pengawasan sektor keuangan terintegrasi. Ternyata, meskipun berbagai perangkat dan peraturan mengantisipasi dan menangani krisis ekonomi dan keuangan telah tersedia, pemerintahan Jokowi tidak menggubris dan justru dengan sengaja mengeliminasinya! Secara khusus, pemerintah sengaja mengeliminasi peran UU PPKSK dalam Pasal 28 (poin 11) UU No.2/2020. Padahal, berbagai perangkat tersebut disusun setelah belajar dari dampak negatif penanganan krisis eknomi dan keuangan masa lalu. Saat itu penanganan krisis sangat merugikan keuangan negara, dan penyebab utamanya adalah prilaku moral hazard penyelenggara negara dan para pengusaha. Prilaku pemerintah seperti di atas jelas menunjukkan sikap yang lebih berpihak kepada pengusaha. Bahkan menjadi bagian oligarki kekuasaan. Karena itu, tak heran jika UU No.2/2020 lebih banyak memuat ketentuan menangani kepentingan pengusaha dan penyelamatan sistem keuangan dan perbankan. Segelintir pengusaha memperoleh bagian yang besar, termasuk insentif fiskal dan pemotongan pajak. Sementara ratusan juta rakyat justru tidak mendapat bagian dan penanganan memadai serta berkeadilan. Kebijakan tidak untuk keselamatan dan jaring pengaman social untuk rakyat kecil. Salah satu implementasi UU No.2/2020 pro-oligarki kekuasaan adalah terbitnya Perpres No.54/2020 dan Perpres No.72/2020. Kedua Perpres ini berfungsi sebagai APBN-P yang berubah hanya dalam waktu dua bulan. Dua Perpres ini telah ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi DPR sebagai pemegang hak konstitusional budgeting dan sebagai wakil rakyat untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan uang negara di APBN. Mengingat peran DPR dihilangkan, maka pembentukan dan pelaksanaan UU No.2/2020 berada di tangan segelintir orang dalam oligarki kekukasaan yang cenderung pro-pengusaha. Juga yang pro-kapitalis, maka ke depan ekonomi dan kehidupan ratusan juta rakyat berada dalam kondisi ketidakadilan dan jauh dari rasa kebersamaan. Indonesia akan berada dalam cengkeraman segelinitr orang dalam oligarki kekuasaan dan para pemilik modal. Pada gilrannya, hal ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Kita telah melihat dan merasakan prilaku moral hazard yang mewaranai, dan sangat menentukan kehidupan rakyat di masa lalu dengan perekonomian dan beban utang yang sangat besar. Mega skandal BLBI telah meninggalkan utang negara Rp 640,9 triliun dan akan menjadi beban APBN dan beban rakyat hingga tahun 2033. Itu pun jika pokok utang dilunasi. Megaskandal ini tidak dapat dituntaskan, meskipun telah ditangani oleh empat periode pemerintahan, terutama karena kuatnya pengaruh oligarki pengidap moral hazard. Ternyata saat ini peran oligarki penguasa-pengusaha tetap ada. Bahkan semakin exist dibanding masa lalu. Atas nama Covid-19, APBN ditetapkan dengan jumlah belanja yang semakin besar, karena kebutuhan mengamankan kepentingan para pengusaha. Belanja APBN yang besar ditutup dengan utang yang semakin besar dan tanpa kendali. Dalam hal ini, peran pengusaha dalam oligarki kekuasaan bernuansa moral hazard terasa cukup dominan. Ke depan pola kekuasaan bernauansa moral hazard ini akan berdampak pada kehidupan rakyat yang semakin jauh dari rasa keadilan dan kebersamaan yang diamanatkan Pancasila. Namun ironi dan nestapa tersebut dapat dicegah jika Mahakamah Konstitusi bisa bekerja bebas “intervensi” memutus gugatan judicial review sejumlah elemen publik terhadap UU No.2/2020. Fungsi budget DPR dipulihkan, peran BI dan LPS dijalankan sesuai UU. Krisis diatasi secara berkeadilan sesuai perintah UU PPKSK, serta pengaruh moral hazard dan dominasi pengusaha/konglomerat dalam oligarki kekuasaan dihilangkan. Dalam kondisi bencana dan krisis, sanksi hukum bagi koruptor adalah pidana mati seperti diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor No.20/2001. Namun hukuman tersebut hanya dapat diterapkan jika tersedia landasan hukum yang komprehensif, adil, bebas moral hazard dan bebas status kebal hukum yang diskriminatif. Bagaimana sanksi hukum bisa dijalankan jika semua prasyarat tersebut telah dieliminasi seperti direkayasa dalam UU No.2/2020? Dengan demikian, agenda penguasaan APBN secara tidak adil akan berlangsung mulus. Apakah itu artinya UU No.2/2020 memang sengaja dibentuk, sarat dengan prilaku moral hazard agar tersedia cara sistemik bernuansa moral hazard untuk mengamankan bisnis oligarki? Wallahu a’lam. Penulis adalah Managing Director Indonesian Resoeurces Studies (IRESS)

Aturan Baru Bikin Susah, Advokat Soleh Menggugat, Rapid Test Diragukan Pakar!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Sepanjang Kamis (16/7/2020) sejak pagi hingga sore, pendengar Radio Suara Surabaya telah mengkritisi Perwali No. 33 Tahun 2020 yang merevisi Peraturan Walikota (Perwali) No. 28 Tahun 2020: Pedoman Tata Kehidupan Baru Menghadapi Pandemi Covid-19. Ada ketentuan bagi pekerja dari luar Kota Surabaya harus bisa menunjukkan hasil rapid test nonreaktif atau swab negatif yang berlaku 14 hari. Ada pula pemberlakuan lagi jam malam mulai pukul 22.00. Perwali tersebut merevisi perwali sebelumnya yang berisi protokol kesehatan di 12 sektor. Ketentuan wajib rapid test nonreaktif atau tes swab negatif itu berlaku bagi karyawan atau pekerja di perusahaan. Selain itu, ketentuan tersebut juga berlaku untuk karyawan di restoran, rumah makan, kafe, warung, dan usaha sejenis. Pemilik gerai di toko swalayan, toko, dan pusat perbelanjaan juga mewajibkan karyawan untuk menunjukkan hasil rapid test nonreaktif atau swab negatif. Surat tersebut dikeluarkan oleh dokter rumah sakit atau Puskesmas. Bahkan, orang dari luar Kota Surabaya (baca: Surabaya Raya) yang hendak masuk ke Surabaya harus menunjukkan surat rapid test nonreaktif atau swab negatif. Surat itu berlaku 14 hari. Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya Irvan Widyanto mengungkapkan, aturan terkait dengan ketentuan rapid atau swab test itu didasarkan pada surat edaran dari BNPB. Selain itu, pemkot ingin menekan persebaran Covid-19 di Surabaya. ”Terutama di bidang yang berhubungan dengan orang banyak. Seperti SPG di mal atau waiters di restoran, mereka harus dipastikan kesehatannya,” ujar Irvan, Selasa (14/7/2020). Edaran dari BNPB itu terkait dengan penggunaan rapid atau swab test untuk orang yang naik moda transportasi, baik darat, udara, maupun laut. Sebelumnya, ketentuan tersebut hanya berlaku tujuh hari. Namun, dengan adanya surat edaran tersebut, surat itu berlaku 14 hari. ”Berlaku untuk warga dari luar kota. Kami ingin memastikan tidak ada penularan dari luar kota,” tambahnya, seperti dilansir JawaPos.com, Rabu (15 Juli 2020, 15:48:04 WIB). Selain soal surat rapid dan swab test, perwali juga mengatur jam malam mulai pukul 22.00. Pada jam tersebut, tidak boleh lagi ada aktivitas di luar rumah. ”Jadi, warkop-warkop atau tempat usaha yang biasanya buka 24 jam kini tak boleh buka lagi,” ungkap Irvan. Namun, memang ada kegiatan yang dikecualikan. Yakni, kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan seperti rumah sakit, apotek, dan fasilitas kesehatan lainnya. Diperbolehkan pula pasar, stasiun, terminal, pelabuhan, SPBU, jasa pengiriman barang, dan minimarket. Namun, minimarket tersebut harus terintegrasi dengan bangunan sebagai fasilitas pelayanan masyarakat. Melansir Detik.com, Sabtu (04 Jul 2020 14:24 WIB), menurut pakar Epidemiolog UI Pandu Riono, bicara mengenai rapid test yang marak dilakukan pemerintah daerah di tengah wabah Virus Corona atau Covid-19, rapid test semestinya dihentikan secepatnya. “Menurut saya, harus segera. Kalau perlu, besok Senin rapid test di seluruh Indonesia itu bisa dihentikan,” ujar Pandu dalam diskusi “Jelang Usai PSBB Transisi”, Sabtu (4/7/2020). Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) itu, rapid test sangat tidak akurat. Menurutnya, hasil rapid test tidak bisa menjadi acuan. “Adanya testing cepat antibodi, rapid test, ini sangat tidak akurat,” imbuh Pandu. “Yang dites itu antibodi. Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berati bisa infeksius,” kata Pandu. Dengan maraknya fenomena rapid test, terang Pandu, terjadilah komersialisasi. Salah satunya ketika rapid test menjadi syarat seseorang sebelum boleh menggunakan transportasi pesawat ataupun kereta api. Padahal, menurutnya, rapid test belum dijamin akurasinya. “Itu useless sebenarnya,” jelas Pandu. “Karena kalau tidak, publik rugi, atau banyak uang negara yang seharusnya bisa meningkatkan kapasitas tim PCR, (malah) hanya untuk membeli (alat) rapid,” tuturnya. Warga Berat Aturan “wajib” rapid test dinilai memberatkan warga. Karena itulah, dua advokat Surabaya, Muhammad Sholeh dan Singgih Tomi Gumilang, menggugat Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kepada Mahkamah Agung (MA), Selasa (30/6/2020). Gugatan tersebut diajukan untuk kali kedua. Kali ini, laporan mereka menegaskan permintaan uji materi agar rapid test ditiadakan. “Kita menuntut dihapus kewajiban rapid test ini, bukan untuk diubah masa berlakunya,” tegas Sholeh kemarin. Aturan yang digugat adalah Ketentuan Huruf F ayat (2) huruf b dalam SE Nomor 9 Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sholeh menerangkan, mulanya SE itu mengatur agar penumpang pesawat, kereta api, dan kapal wajib menyertakan rapid test nonreaktif untuk penumpang jika ingin bepergian. Masa berlakunya 3 hari untuk rapid test. Aturan tersebut kemudian diubah menjadi 14 hari atau dua minggu. “Meski sudah diubah, ini tetap menyusahkan penumpang. Sebab, tidak semua penumpang orang kaya,” lanjut Sholeh. Biaya rapid test rata-rata Rp 300 ribu dirasa memberatkan banyak warga yang bepergian. Menurutnya, tidak ada jaminan bahwa dalam kurun waktu tiga hari atau tujuh hari setelah tes itu penumpang tetap bebas Covid-19. Ia juga mempertanyakan orang yang bepergian dengan mobil pribadi, bus antarkota, dan sopir truk tidak diwajibkan. Padahal menurut Sholeh mereka juga rentan. “Bukankah ini kebijakan diskriminatif,” lanjut Sholeh, seperti dilansir JawaPos.com, Rabu (1/7/2020). Meski sudah membawa hasil rapid test, penumpang tetap akan dites suhu badan di bandara, terminal, atau stasiun. Jika suhunya di atas 38, maka dia tidak bisa berangkat walau sudah membawa hasil rapid test nonreaktif. Padahal biaya rapid test cukup mahal. Sholeh memutuskan untuk menggugat aturan tersebut karena sudah banyak keluhan juga dari penumpang tiga moda transportasi. “Kebijakan rapid test ini sangat menyusahkan penumpang pesawat, kereta api, dan kapal laut,” jelasnya. Dalam gugatannya, Sholeh merasa keberatan dengan syarat wajib rapid test bagi penumpang yang akan bepergian menggunakan pesawat, kereta api, mau pun kapal laut selama masa pandemi Covid-19. “Pertama, apa yang menjadi dasar calon penumpang harus mempunyai rapid test? Rapid test itu bukan vaksin, hanya mengetahui seseorang terserang virus atau tidak. Bisa jadi orang dengan hasil reaktif karena sakit flu atau lainnya bukan karena Covid-19,” ujar Sholeh. “Kalau orang yang pergi banyak tentu akan memberatkan calon penumpang,” ungkap Sholeh. Ia mengatakan, kewajiban rapid test itu bertentangan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Sholeh juga berharap permohonan uji materi yang sudah mereka layangkan hingga dua kali ini mendapat perhatian dari MA. *** Penulis Wartawan Senior

Jinakkan Segera “Independensi” Bank Sentral

by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum (Bagian Kedua) Jakarta FNN – Kamis (16/07). Persis seperti oligarki Inggris. oligarki Amerika juga harus menempuh jalan berliku. Memutar dengan berbagai taktik untuk sampai ke penciptaan Bank Sentral. Polanya menyicil. Dari bank nasional milik swasta dengan hak hidup sementara, dilanjutkan lagi untuk waktu tertentu, sampai tibanya UU yang memberi hak mereka hidup selamanya. Jeli mengenal demokrasi dan rule of law. Begitu teridentifikasi sebagai keunggulan tak tertandingi dari mereka. Demokrasi dan rule of law menjadi tatanan paling berharga, dan paling sederhana untuk dikecohkan. Konsep-konsep dasar demokrasi dan rule of law, adalah berkah terbesar untuk mereka. Pemilu boleh saja terlihat bebas. Hasilnya sangat demokratis kata orang. Tetapi siapa yang menjadi calon presiden, dan siapa dari mereka yang harus menang dan harus kalah, terlalu mudah bagi mereka untuk diskenariokan. Setiap kandidat, siapapun mereka, butuh uang besar. Uang adanya ditangan mereka. Bukan ditangan rakyat biasa. Tanam Orang di Pemerintah Kerja secara berjaringan, itulah mereka. Pada titik itulah Nathan Meyer Rothschid dan keluarganya menyelam dalam dunia perbankan. Boleh jadi merupakan penjelasan paling signifikan tentang gagasan Bank Sentral di Amerika. Mirip kemunculan Bank of England. Amerika mengawalinya dengan First American Bank 1791. Bank ini diinisiasi pembentukannya oleh Alexander Hamilton, Menteri Keuangannya George Washington. Mirip Bank of England. Masa berlaku First American Bank 1791 ini hanya 20 tahun. Persis cara mempertahankan kelangsungan Bank of England. Amerika juga segera menemukan kenyataan harus berperang dengan Inggris pada tahun 1812. Kebutuhan membiayai militer menjadi salah satu sebab. Bahkan mungkin saja yang utama. Amerika harus melanjutkan masa operasi Bank itu. Akhirnya disahkan operasi Second American Bank 1816. Masa berlakunya berakhir tahun 1836. Ketika berakhir, Presiden Andrew Jackson yang menurut David S. Schwartz dalam Defyng McCulloch? Jackson’s Bank Veto Reconsidered, dimuat pada Arkansas Law Review Vol 72 Nomor 1 tahun 2019, menyebut bank sebagai “Monster”. Presiden Andrew Jackson tidak mau memperpanjang masa operasi Bank ini. Memang Nicholas Bidle menasihatinya agar tidak memveto, tetapi tidak Jackson tidak memedulikannya. Bukan itu saja. Presiden Jackson juga menarik uang-uang pemerintah dari Second National Bank, atau Bank Swasta. Uang-uang itu dialihkan ke State Bank. Tindakan ini dinilai oleh Hendry Clews, Bankir Eropa, menyakitkan Bank of England. Menurut penilaiannya, tindakan ini mengakhiri aliran uang kertas dari Inggris ke Amerika. Akibatnya, terjadi kepanikan keuangan pada tahun 1837. Menariknya, krisis ini justru memunculkan J.P. Morgan dalam dunia keuangan. Koneksi J.P Morgan dengan Rothschlid segera tercipta sesudah itu. George Peabody menjadikan Junius S. Morgan sebagai suksesornya. Morgan segera terhubung dalam usaha dengan N.M Rothschild Company. Relasi ini dilaksanakan dengan memperbesar jumlah pengapalan besi untuk pembuatan jalan kereta api Amerika. Terlihat sebagai pola standar kelompok Bankir menggolkan gagasannya. Yaitu dengan menciptakan krisis. Dua puluh tahun setelah krisis keuangan tahun 1837, terjadi lagi krisis keuangan di tahun 1857. Krisis itu datang bersamaan dengan berakhirnya perang Amerika-Mexico. Menariknya, Amerika segera memasuki perang saudara antara Uara-Selatan selama tiga tahun sejak 1861, yang bibitnya telah lama tersemai. Lebih menarik lagi, pada tahun 1861 itu juga Abraham Lincoln memasuki kekuasaan sebagai Presiden. Entah disengaja atau tidak, tetapi Abraham Lincoln, Presiden paling dikenang dalam diskursus demokrasi ini, segera menemukan kenyataan yang begitu pahit. Disadari atau tidak, kabinet Lincoln diisi sedikitnya empat menteri, yang bukan tidak cukup dikenalnya, tetapi mereka bekerja untuk agenda para Bankir. Lord Charnwood dalam bukunya yang berjudul “Abraham Lincoln” diterbitkan tahun 1917, mengidentifikasi empat figur yang tidak dikenal Lincoln masuk dalam kabinetnya. Keempat menteri itu adalah yang Seward dari New York, (Menteri Luar negeri), Salmon P. Chase dari Ohio (Menteri Keuangan), Georege Bates dari Missouri (Jaksa Agung), dan Gideon Wells (Pensylvania), menggantikan Comeron perwakilan Pensylvania, yang dikenal korup. Lincoln jelas telah menghadapi masalah dikabinetnya. Rebeca Cristine Roberts dalam tesis Magister pada Birmingham University 2015 mengidentifikasi sejumlah hal menarik. Menurutnya, Seward justru menghendaki agar Lincoln memungkinkan Inggris ikut campur dalam perang itu. Seward berpendapat Ratu Inggris memiliki kedudukan istimewa di Amerika. Inggris dan Amerika menurut Seward dua Negara yang bersahabat. Dalam kenyataannya, Inggris tidak netral dalam perang ini. Menurut identifikasi Petterson, Inggris dan Perancis, negeri yang Bankir teratasnya ditempati oleh Rothschild bersaudara, mengirimkan pasukan membantu Selatan, pemicu perang saudara ini. Perang dan Krisis Lincoln juga menghadapi masalah keuangan. Carisa Peterson, dalam Dady “War” Buck How Lincoln Founded The Civil War and Father The Modern System of American Finance, yang dmuat dalam Lincoln Memorial University Law Review Vol 7 Nomor 1, 2020, menunjukan sepanjang 1857-1861 pendapatan negara merosot sebesar U$41.5% miliar. Sementara pengeluaran pemerintah berkisar U$65 miliar. Ralp H. Petterson menyodorkan fakta yang cukup eksplosif. Menurut Petterson, Salmon P. Chase, Menteri Keuangan Kabinet Abraham Lincoln, yang kelak namanya digunakan sebagai nama sebuah bank “Chase Manhattan Bank” (milik kelompok Rockeffeler), mengancam para bankir lainnya. Ancamannya adalah jika mereka tidak “menerima obligasi” yang dikeluarkannya, maka dia akan “membanjiri negara dengan uang kertas.” Perang itu membutuhkan duit besar. Bankir tahu itu. Perang Inggris dengan Prancis tahun 1815 memberi pengetahuan terbaru tentang masalah ini. Perang memerlukan peralatan, dan hal yang lain berkaitan. Lincoln harus menanganinya dengan cepat. Tidak mau bergantung dan dipermainkan bankir, Lincoln segera memutuskan sikapnya tidak meminjam uang dari bankir. Menurut Petterson, Lincoln juga mengambil sikap tidak menciptakan uang yang berbunga. Dia segera mendirikan State Bank, tindakan yang diam-diam dinantikan dan dikehendaki oleh Bankir internasional, yang bekerja melalui Salmon P. Chase, menteri keuangannya. Cara Loloskan Agenda Lincoln terjebak? Itu satu hal. Tahun 1863 pemerintahan Lincoln segera menemukan National Currency Act, yang setahun kemudian diubah menjadi National Banking Act. UU ini menjadi dasar pendirian National Bank. Bank ini dirancang untuk menyediakan uang yang dipinjamkan kepada pemerintah. Untuk tujuan itu mereka dapat “mecetak” (tanda petik dari saya) uang kertas dalam jumlah besar. Uang ini, tulis Petterson lebih jauh, tidak hanya tidak didukung emas, tetapi juga bebas utang. Dalam penilaian Petterson, Lincoln dengan tindakannya itu, memasuki permainan berbahaya. Dia menantang bankir Internasional. Tetapi Lincoln tak memedulikan. Telah berhasil menjadikan Salmon P. Chase sebagai proxy mereka dalam pemerintahan Lincoln, bankir internasional segera meluncurkan gagasan pajak progresif ke kongres. Bukan Lincoln, tetapi Salmon P. Chase yang menggemakan gagasan itu. Gagasan ini terlihat logis, karena kala itu pendapatan negara telah merosot jauh. Gagasan pajak progress dirancang dalam skema berikut. Pendapatan sebesar U$10.000 dikenakan pajak 3%. Dan pendapatan melebihi jumlah itu dikenakan pajak sebesar 5%. Terlihat kebijakan ini akan menambah pendapatan negara. Digambarkan oleh Paul Post dalam “Lincoln Gamble”, disertasi pada Rutledge University 2009, Lincoln memunculkan gagasan menghentikan perang. Kepada mereka di Selatan yang memberontak, akan diberi Amensty. Dan Selatan akan direkonstruksi, dibangun. Sayangnya gagasan ini mendapat penolakan dari jaringan Bankir, yang ada di Kongres. Kenneth Stamp, justru menghendaki rekonstruksi, tanpa disertai hal lainnya. Hasrat ini terlihat terlalu minim pada level rasionalitasnya. Untuk tujuan menyediakan biaya rekonstruksi, maka pendapatan negara harus diperbesar. Dengan demikian, maka UU tentang pendapatan nasional muncul sebagai sesuatu yang mutlak disediakan. Lincoln tidak menyukai gagasan ini. Lincoln menyatakan akan memveto UU itu. Kenyataannya, Revenue Act 1862, dikenal dengan nama Stamp Tax, tetapi dibuat. Bersamaan dengan itu keluar juga : Legal Tender Act 1862. Setahun kemudian Kongres mengeluarkan lagi National Currency Act 1863, yang diubah menjadi National Bangkin Act 1864. Dalam Legal Tender Act, Menteri Keuangan, yang tidak lain adalah Salmon P. Chase diberi wewenang menerbitkan paper note untuk membayar utang pemerintah. Juga mencetak uang kertas sebesar U$ 150.miliar. Uang in dikenal dengan greenback. Leluasakah para bankir dengan National Banking Act 1864? Yang memberi pemerintah kewenangan mendirikan State Bank? Kelak jelas pada semua aspeknya, kebijakan ini dinilai Bankir sebagai kebijakan yang meruggikan mereka. Dengan alasan tidak senapas dengan mekanisme pasar. Sukseskah Lincoln dengan National Banking Act itu? Tidak. National Banking Act justru menandai kemenangan para Bankir. Mengapa? Memang setelah tahun itu dibuat Michigan Act 1837. Tetapi Act ini mengatur pendirian Bank pakai charter. Persis seperti Inggris pada tahun 1694. Praktis sejak 1837, tidak ada lagi UU yang menjadi dasar kelangsungan bank national. Bankir, sekali lagi, sukses besar dengan National Banking Act 1864 itu. Dimana letak suksesnya? National Banking Act itu menjadi dasar 1500 Bank yang telah beroperasi setelah 1837 memiliki pijakan sebagai bank nasional. Pola ini terlihat mirip pola yang dipakai di Inggris. Persis Inggris dengan Tonage Act dan Continuance Act. Mereka menyamarkan tujuan utamanya. Lincoln dilantik lagi sebagai Presiden untuk periode keduanya pada tanggal 4 April 1865. Memang telah begitu banyak UU dibuat, termasuk The Banking Act 1864. Tetapi entah apa, karena Lincoln masih terlihat berseberangan dengan rencana oligarkis itu, atau sebab lain, mati ditembak John Wilkes Boot dan mati pada ta tanggal 14 April 1865. (Bersambung)

PDIP di Persimpangan Jalan & Intelijen Yang Eror

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – (16/07). Ini sekedar iseng dan analisa "gampangan" saja. Analisis soal PDIP sebagai "the rulling party". Sebutan "the rulling party" juga agak setengah hati, karena fakta politiknya antara Jokowi sebagai Presiden dengan PDIP, nampaknya belum merupakan satu kesatuan yang utuh. Untuk itu, Megawati perlu berulang-ulang membuat pernyataan untuk meyakinkan diri dan orang lain bahwa Jokowi adalah "petugas partai". Bahwa Jokowi menjadi Presiden itu mendapat dukungan penuh dari PDIP tidaklah diragukan Dalam hal status Jokowi sebagai "kader" PDIP tentu saja banyak yang meragukan. Lebih kental pada adanya kesamaan kepentingan yang bersimbiosis mutualisme. Dalam perjalanannya, kepentingan masing-masing menjadi takaran dari kontribusi dan peran. Kadang-kadang mesti terlebih dahulu dinegoisasikan atau mungkin "diintimidasi". Berbeda dengan pada saat Soeharto berkuasa. "The rulling party" Soeharto adalah Golkar. Soeharto menjadi pengendali dan penentu utama segala kebijakan di Golkar. Kepentingan keduanya bersatu. Golkar sulit untuk digoyang, karena hal itu sama saja dengan menggoyang Presiden. Demikian juga sebaliknya. Kini PDIP berada di simpang jalan. Salah satunya karena "terkunci" oleh persoalan pengajuan RUU HIP. PDIP mati-matian berjuang menghadapi gempuran publik, khususnya umat Islam dan purnawirawan TNI-POlri. Namun Jokowi sebagai "petugas partai" tetap saja santai dan meliuk-liuk berkelit. "Ini (RUU HIP) 100 persen adalah inisiatif dari DPR. Jadi, Pemerintah tidak ikut campur sama sekali", kilah Jokowi. Secara normatif "tidak ikut campur" mungkin benar. Tetapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di DPR itu berhimpun partai-partai koalisi yang mendukung Presiden. Ada enam partai di sana, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP. Presiden layak dan mampu untuk "mengkoordinasikan" partai-partai koalisi pendukungnya. Jadi benarkah "sama sekali" tidak ikut campur? Benarkah Presiden tidak tau adanya RUU HIP? Bukankah RUU tersebut ada relevansinya dengan BPIP yang tak lain adalah badan buatan Presiden sendiri? Benarkah Presiden kecolongan dengan adanya RUU HIP? Padahal presiden punya tiga orang menteri yang menjadi Ketua Umum Partai yang punya kursi di senayan, yaitu Prabowo Subioanto, Airlangga Hartarto dan Suharso Monoharpa. Lalu, apa saja kerja dari banyaknya lembaga intelijen yang berada di bawah kordinasi Badan Intelijen Negara? Puluhan triliun anggaran Negara dikeluarkan setiap tahun untuk membeiayai lembaga-lembaga intelijen TNI, Polisi Kejaksaan, dan Kementerian Pertahanan. Semua lembaga-lembaga intelijen tersebut berada di bawah kordinasi BIN. Presiden ko bisa kecolongan atau tidak tau adanya RUU HIP? Bahaya dong Negara kalau intelijen juga kecolongan atau eror. Pernyataan normatif Presiden, sangat berdampak politis, khususnya bagi PDIP sebagai partai terbesar pendukung Presiden. Partai berlambang kepala banteng ini diduga menghadapi situasi berat. Tertekan akibat usulan RUU HIP yang dikaitkan dengan isu dan kebangkitan faham Komunisme-PKI. Persoalan isu Orde Lama, Soekarnoisme, serta Komunisme bermula pada Visi Misi dan AD/ART Partai sebagai platform perjuangan Partai. Reaksi yang datang secara masif adalah suatu hal yang wajar. Tak ada asap jika tak ada api. Jadi bukan gorengan. Persimpangan jalan pertama adalah antara melakukan klarifikasi atau mengubah AD/ART Partai? Tujuannya, agar tidak ditafsirkan bahwa misi Partai tidak lain adalah untuk menggoyang, atau bahkan mengganti Pancasila 18 Agustus 1945 sebagai ideologi dan dasar negara. Persimpangan jalan kedua, yakni antara "the rulling party" dalam arti riel atau bersifat semu atau quasi? Jika hanya pro-forma, yakni PDIP itu sebenarnya tidak berkuasa, maka PDIP dapat mengambil porsi berseberangan dengan Presiden. Artinya Jokowi bisa saja dimakzulkan. PDIP dapat menyiapkan kadernya untuk jabatan Wapres sebagai pasangan Ma'ruf Amin, yang secara konstitusi naik menjadi Presiden. Keuntungan politisnya, PDIP menjadi motor penampung dan penyalur aspirasi rakyat, yang memang dirasakan sudah tidak mempercayai lagi Jokowi sebagai Presiden. Keuntungan lain adalah Kyai Ma'ruf yang "uzur", sehingga meskipun berstatus sebagai Wapres, akan tetapi nantinya PDIP akan menjadi penentu kebijakan. Menjadikan Wapres dari kader PDIP tentu mudah saja berdasarkan lobi-lobi sebagai Partai pemilik suara terbanyak. Memakzulkan Jokowi dapat menjadi bagian dari pemulihan nama baik PDIP setelah diporakporandakan oleh RUU HIP. Apakah Jokowi akan diam saja menghadapi rencana pemakzulan? Belum tentu. Bahkan kemungkinan tidak diam. Siapa tahu Pemerintah mengajukan permohonan pembubaran PDIP ke MK atas dasar ideologi atau asas Partai yang bertentangan dengan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Nah, karena politik itu dinamis. Segalanya serba mungkin, maka biarlah apa yang nanti rakyat akan lakukan untuk mewujudkan kekuatan atau kedaulatannya sendiri. Jokowi turun atau PDIP bubar. Atau mungkin terjadi hal yang spektakuler, yaitu menimpa kedua-duanya. Jokowi turun dan PDIP bubar. Kita semua tidak tahu karena panggung politik itu sering membuat kejutan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

MA Sempurnakan Kebobrokan KPU Selama Ini

by Chandra Tirta Wijaya Jakarta FNN – Kamis (16/07). Pada Jum’at tanggal 3 Juni 2020 lalu, Mahkamah Agung mengupload Keputusan Nomor 44 P/HUM/2019 ke publik. Putusan tersebut, menyatakan membatalkan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 5 Tahun 2019 yang diuji materi oleh Rachmawati Sorkarnoputroidan kawan-kawan. Padahal Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 inilah yang dijadikan sebagai alasan hukum oleh KPU untuk menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Alasan Mahkamah Agung, karena pasal tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Putusan Nomor 44 P/HUM/2019 dibuat oleh Hakim Agung Dr. Supandi SH. M.Hum sebagai Ketua Majelis dan Dr, Irfan fachruddin SH dan Is Sudaryono SH. MH. masing-masing sebagai hakim anggota. Salah satu amar putusan lainnya menyatakan bahwa “Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Pembaca FNN yang budiman. Tulisan tidak untuk mempersoalkan sah-tidaknya pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Prsiden dan Wakil Presiden. Sama sekali tidak. Biarkan perdebatan soal sah-tidaknya itu menjadi ranahnya para ahli hukum tata Negara. Tulisan ini hanya menyoroti cara kerja KPU periode 2017-2022 selama ini nyata-nyata memang bobrok, amburadul, tidak profesional dan amatiran. Putusan Mahkamah Agung yang telah diputus tanggal 28 Oktober 2019 itu, bukal membuat norma baru. Layaknya sebuah undang-undang yang baru diundangkan. Sehingga undang-undang baru tersebut, tidak boleh diberlakukan terhadap suatu peristiwa hukum yang sudah berlalu. Tidak berlaku surut. Putusan Mahkamah Agung itu hanya menegaskan bahwa norma yang digunakan KPU sebagai dasar untuk penetapan kemenangan Capres dan Cawapres cacat hukum. Bahasa kerennya cacat konstitusional. Sebab norma yang dibuat KPU nyata-nyata bertentangan dengan dua peraturan perundang-udangan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dan UUD 1945 pasal 6A. Bahasa agama, seperti imam yang memimpin sholat berjamaa. Imam kentut di rakaat pertama. Namun imamnya tetap ngotot melanjutkan sholat berjamaan sampai rakaat terakhir. Imamnya tidak mau mundur untuk memberikan kesempatan kepada jamaah sholat yang lain menjadi imam. Untuk itu, ke depan KPU jangan lagi sok tau, sok hebat, dan sok pintar hukum seperti KPU periode sekarang. Akibatnya, KPU yang sok paling mengerti aturan, berani menciptakan norma hukum baru, dengan sengaja menabrak dua produk hukum di atasnya. Kesian kan Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf Amin. Bisa menjadi tidak nyaman menjalankan tugas kenegaraan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Publik bisa jadi mempertanyakan legalitas Prasiden dan Wakil Presiden, hanya karena keangkuhan dan kasombongan KPU periode 2017-2022 ini. Semoga tidak berpengaruh terhadap hubungan Indonesia dengan komunitas internasional. Sesuatu yang sebenarnya nggak perlu terjadi, kalau saja KPU tidak bobrok, tidak amatiran dan tidak amburadul. Kebijakan KPU yang membuat peraturan yang bertabrakan dengan dua perundang-undangan di atasnya, telah mengkonfirmasi bahwa KPU priode 2017-2022 ini sangat tidak kapabel dan tidak profesional. Selian itu, KPU juga miskin pemahaman terhadap hirarki dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Untuk memahami undang-undang yang mengatur bidang tugas dari KPU saja minim, asal-asalan dan amatiran. Bagaimana mungkin bisa memahami undang-undang di luar bidang tugas KPU? Terdapat beberapa masalah yang menimpa KPU periode ini sebagai gambaran bahwa KPU tidak professional melaksanakan tugas dan fungsinya. Pertama, dimulai dari terpilihnya Arief Budiman sebagai Ketua KPU. Pada saat pemilihan tujuh komisoner KPU periode 2017-2022 di Komisi II DPR, dini hari tanggal 5 April 2017, Arief Budiman memperoleh suara paling kecil. Arief hanya mendapat 30 suara. Arief adalah Komisioner KPU terpilih nomor paling buntut dari tujuh orang. Arief Budiman bisa menjadi Ketua KPU. Ini aneh tapi nyata, namun benar-benar terjadi. Biasanya yang terpilih menjadi Ketua pada lembaga apa saja adalah pemenang suara nomor satu sampai tiga. Nah, suara terbanyak pertama ada dua orang, yaitu Promono Ubaid Tanthowi dan Wahtu Setiawan. Masing-masing mendapatkan 55 suara. Suara terbanyak kedua juga dua orang. Diraih oleh Ilham Saputra dan Hasyim Asy’ari, masing-masing memperoleh 54 suara. Selanjutnya adalah Viryan Azis yang mendapatkan 52 suara, dan Evi Novida Ginting Manik dengan 48 suara. Peraih suara terkecil Arief Budiman, dengan 30 suara. Namun Arief bisa terpilih menjadi Ketua KPU. Luar biasa Arief. Kedua, daftar pemilih bermasalah sebanyak 17,5 juta orang. Ada tiga tanggal, dimana manusia lahir pada ketiga tanggal tersebut banyak 17,5 juta orang. Yaitu pada tangga 1 Juli, 31 Desember dan 1 Januari. Meskipun telah dipersoalkan oleh kubu Capres Prabowo Subianto, namun tetap dianggap angin lalu oleh KPU. Ketiga, orang gila ikut memilih dalam pemulu. Pada Pemilu 2019 lalu dapat diikuti oleh orang dengan katagori gangguan jiwa atau ingatan. Sebanyak 54.295 orang dengan katagori gangguan jiwa atau ingatan ikut memilih. Tidak mengherankan kalau di dunia ini, hanya di Indonesia orang dengan katagori gangguan jiwa atau ingatan ikut menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Hasilnya, ya KPU yang seperti ini. Ketiga, situng KPU yang dirancang untuk tidak bisa menjumlah dengan benar. Prosesnya yang sangat lambat. Servernya tidak berada di gedung KPU. Tetapi di luar gedung KPU. Yang lebih tragis lagi, paswood data computer pun tidak dikuasai oleh orang-orang di dalam KPU. Sampai-sampai muncul peratnyaan, siapa sebenarnya orang dari luar KPU yang menguasai paswood computer KPU itu? Keempat, kematian petugas Kelompok Penyelenggaran Pemungungutan Suara (KPPS) sebanyak 894 orang. Kematian manusia sebanyak ini tidak pernah diotopsi dan disidik untuk bisa diketahui apa saja penyebab kematian mereka. Baik KPU maupun Bawaslu Pusat tidak meminta dokter untuk melakukan otopsi terhadap mayat 894 petugas KPPS, sehingga bisa diketahi penyebab kematian. Kelima, tertangkapnya komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus Harun Masiku. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Wahya Setiawan yang sering tampil membela kebijakan KPU di media massa, telah mengkonfirmasi bahwa kerja-kerja KPU selama ini bermasalah. Bahwa kerja KPU memang bobrok, amburadul, amatiran, dan tidak profesional. Merusak tatanan demokrasi. Mungkinkah Wahtyu Setiawan sendiri dalam kasus Harun Masiku ini? Memang, sampai sekarang belum terbukti dan petunjuk adanya keterlibatan komisioner KPU yang lain. Namun public menyangsikan Wayu Setiawan bekereja sendirian. Potensi adanya keterlibatan Komisioner KPU yang lain terbuka lebar. Keenam, dipecatnya komisioner KPU Evi Novinda Ginting Manik. Pada tanggal 18 Maret 2020, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidangnya telah memecat Evi Novida Ginting Manik. Alasan DKPP, Evi dianggap terbukti melakukan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu. Kasusnya terkait dengan perolehan suara caleg dari Partai Gerindra dari Dapil Kalimantan Barat, atas nama hendri Makaluasc. Ketujuh, Ketua KPU Aief Budiman dan tiga Komisioner KPU lainnya mendapat peringatan keras dan terakhir. Selain pemecatan terhadapt Evi Novida Ginting Manik, DKPP juga telah mengeluarkan peringatan keras dan terakhir kepada Arif Budiman dan tiga anggota KPU lainnya, Viryan Azis, Ilham Saputra dan Promono Abaid Tanthowi. Dengan demikian, total Komisioner KPU yang bermasalah sudah enam dari tujuh orang, yaitu Wahyu Setiawan, Evi Novida Ginting Manik, Arif Budiman, Viryan Azis, Ilham saputra dan Promono Ubaid Tanthowi. Sudah enam orang Komisioner KPU yang bermasalah. Tinggal satu orang yang belom bermasalah, atau kemungkinan bermasalah, namun belum diketahui publik, yaitu Hasyim Asy’ari. Kedelapan, dan baru diketahui oleh minggu lalu adalah Putusan dari Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM 2019. Dengan keluarnya putusan ini, maka Mahkamah Agung telah ikut sempurnakan kebobrokan, keamburadulan, ketidak profesionalan dan keamatiran KPU selama ini. Lengkaplah sudah keterlibatan semua Komisioneer KPU. Sempurna sudah KPU bermasalah. Pertanyaannya, masih pantaskah KPU periode 2017-2022 ini dipercaya sebagai penyelenggaran pemilu yang benar dan kredibel? Masih layakkah dijadikan sebagai wasit pada Pemilu Kepala Daerah di bulan Desember 2020 nanti? Atau sebaliknya, dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM/2019, sebaiknya semua Komisioner KPU dipecat oleh DKPP? Setelah itu, segera dipilih dan diangkat lagi Komisioner yang baru. Yang pasti KPU periode 2017-2022 pimpinan Arief Budiman ini sudah cacat moral, cacat hukum, cacat demokrasi dan cacat profesionalisme (amatiran). Kelau sudah begitu, produk domokrasi apapun yang dihasilkan, tetap saja bermasalah. Seperti kata orang-orang kampong “garbage in, garbage out”. Masuknya sampah, ya hasil yang dikerjakan juga sampah. Penulis adalah Anggota DPR Priode 2009-2014.

Bahaya Kalau Punya Pemimpin Culas

by M Rizal Fadillah Pemimpin culas itu hilang rasa malunya. "Tuli" terhadap nasehat yang bernilai moral. Selalu mengikuti arahan yang memberi keuntungan materi dan lahir semata. Pemimpin culas adalah budak dari harta dan tahta. Harta dan jabatan adalah segala-galanya. Jakarta FNN – Rabu (15/07). Kepemimpinan itu sangat penting untuk membawa yang dipimpin pada nilai dan sasaran yang telah disepakati. Tujuannya adalah agar sejahtera dan bahagia dunia serta akhirat kelak. Kepercayaan merupakan modal dari kesuksesan. Pemimpin iru harus amanah. Pemimpin culas pasti dibenci. Culas itu "lazy, indolen, deceitful, dishonest". Menurut KBBI culas itu memiliki dua makna. Pertama, malas sekali, tidak tangkas, lamban. Kedua, curang, tidak jujur, tidak lurus hati. Pemimpin culas adalah pemimpin yang lamban, curang, dan tidak jujur. Pemimpin yang culas terlihat tidak berkhidmat kepada mereka yang dipimpinnya. Kepentingan diri sangat kuat. Sering melakukan langkah atau kebijakan yang bersifat manipulatif. Dalam agama, pemimpin culas itu sangat tercela. Mempunyai bermasa depan yang suram. Dari Ma'qil bin Yasaar ia berkata, saya mendengar Rosulullah SAW bersabda : "Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya melainkan Allah haramkan surga atasnya". (H.R Muttafaq 'Alaih). Hadits ini menggambarkan suatu watak yang sulit berubah hingga kematiannya "yamuutu yauma yamuutu". Watak itu adalah culas "al ghasysyu" yang menjadi habitat untuk senantiasa berlaku curang dan gemar untuk menipu rakyatnya sendiri "wa huwa ghasysyun liro'iyyatihi". Disamping ancaman Allah yang keras, juga pemimpin culas membawa kerusakan besar bagi diri dan lingkungannya. Tiga bahaya yang akan terjadi bila mempunyai pemimpin yang culas, yaitu : Pertama, hancur iman. Keimanan pada hari akhir kelak, menjadi hilang karena kekuasaan duniawi. Akherat tidak perlu untuk dikhawatirkan. Tetapi malah diabaikan. Bahkan diolok-olok. Kedua, pemimpin yang culas mendapat predikat buruk, baik melalui caci maki lisan, tulisan, ataupun gambar simbolik. Menjadi buah tutur yang buruk di kalangan masyarakat. Penilian yang buruk itu, baik pada masih menjabat maupun sudah pengsiun nantinya. Ketiga, punya banyak musuh. Apakah itu rakyat yang dipimpin ataukah teman "sekongkolnya” sendiri? Friksi kepentingan mudah terjadi hal yang lamrah. Pemimpin culas tega untuk berkhianat pada teman "seperjuangan" sendiri. Demi menjaga posisinya. Pemimpin culas hilang rasa malunya. "Tuli" terhadap nasehat yang bernilai moral. Selalu mengikuti arahan yang memberi keuntungan materi dan lahir semata. Pemimpin culas adalah budak dari harta dan tahta. Harta dan jabatan adalah segala-galanya. Kita bisa menilai sendiri. Adakah diantara para pemimpin negara kita termasuk dalam katagori pemimpin-pemimpin yang culas tersebut? Tengok Presiden, para Menteri, para Pimpinan Partai, para pajebata eselon di Kementerian dan Lembaga. Adakah "wajah-wajah" itu culas? Silahkan menjawab sendiri. Namun yang pasti, memberikan amanah pengelolaan negara kepada pemimpin yang culas, sama saja artinya dengan menempatkan rakyat di mulut buaya, mulut singa, atau mulut srigala. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Sumber Uangnya Sudah Kering, Negara Reformasi Segera Hilang

by Haris Rusly Moti Jakarta FNN – Rabu (15/07). Tanggal 21 Mei 1998 adalah hari lahirnya sebuah era. Presiden Soeharto menyatakan berhenti setelah berkuasa selama 30-an tahun. Era Orde Baru berakhir. Era reformasi yang berpondasi liberalisme lahir pada hari itu. Namun, saat ini, kita musti kembali bersiap untuk berduka. Negara reformasi itu diperkirakan akan mulai runtuh. Sirna atau wafat di usia muda, 22 tahun. Negara era reformasi akan menyusul nasibnya Sriwijaya dan Majapahit. Dua negara ini pernah hidup dan sirna di atas tanah yang sama, tanah pusaka nusantara. “Sirno ilang kertaning bumi”. Hilang dan lenyap ditelan bumi. Sengkalan itu mengirim pesan kepada kita tentang keadaan ketika itu yang sangat perih dan menyakitkan. Ketika itu ruh Majapahit itu pergi meninggalkan jiwa dan raganya. Emperium besar itu sirna, runtuh atau wafat. Dulunya sistem negara reformasi itu dianggap sebagai panasea, obat mujarab. Diharapkan sistem itu dapat menyembuhkan sejumlah penyakit kronis di era sebelumnya. Kenyataannya, makhluk yang bernama reformasi itu telah bermutasi menjadi virus kanker yang sangat ganas. Kanker itu kini telah menyerang seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik sendi sosial, politik, ekonomi, pertahanan, hingga yang paling mendasar, yaitu moralitas ikut diserang virus kanker ganas reformasi. Di usia yang masih muda, 22 tahun itu, sistem negara era reformasi itu diperkirakan tidak akan mampu bertahan hidup. Akan runtuh, wafat atau sirna ditelan oleh badai sejarah. Keadaan negara era reformasi tersebut dapat kita ibaratkan persis pasien yang sedang koma. Paisen yang lagi dirawat di ruang ICU. Rasanya sangat sulit untuk bisa memastikannya hidup kembali. Medical treatment yang sedang dilakukan, ternyata tidak juga berhasil meringankan penyakit yang sedang diderita. “Gerombolan” penyelenggara negara yang bertindak sebagai dokter, ternyata gagal memahami kondisi yang sedang dihadapi. Mereka lebih mengedepankan pendekatan kekuasaan ketimbang pendekatan kepemimpinan dan keteladanan. Akibatnya, virus kanker ganas itu justru makin ganas menggerogoti tubuh justru setelah dilakukan medical treatment. Kita tidak berpretensi mendahului kehendak Tuhan. Tetapi jika dilihat dari kondisi penyakit yang sedang diderita saat ini, bisa dipastikan nasib negara era reformasi sudah sangat sulit untuk diselamatkan. Kita justru akan menyiksa diri kita sendiri, jika tetap mempertahankan sebuah sistem yang telah menggerogoti jiwa, raga bangsa dan rakyat kita sendiri. Sistem negara reformasi memang sengaja dibuat, tidak dengan tujuan menegakan kedaulatan rakyat. Kita memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan berserikat. Tujuannya, agar rakyat berdaulat secara politik dan ekonomi. Dulu para pendiri bangasa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 1945, agar rakyat dapat berdaulat secara politik di negeri sendiri. Dengan demikian diharapkan kehidupan ekonomi rakyat bisa tumbuh mandiri tanpa penjajahan. Namun, kenyataannya kebebasan di era reformasi justru dibajak oleh oligarki jahat dan licik, untuk menjarah ekonomi nasional. Mereka membajak kehendak murni rakyat dan mahasiswa untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Segelintir oligarki politik dan kartel ekonomi taipan-saudagar licik dan jahat itu, juga telah membajak institusi negara era reformasi. Mereka sebetulnya pelaku makar yang sesungguhnya. Sayangnya sepak terjang dan prilaku mereka, justru dipelihara oleh Negara. Dilindungi oleh yang sedang berkuasa. Sumber Kapital Kering Sindikat perampok BLBI dan kartel yang menjarah Sumber Daya Alam (SDA). Mereka adalah penopang utama rezim reformasi. Sindikat BLBI dan kartel SDA adalah kekuatan kapital atau sumber utama bahan bakar yang menggerakan mesin reformasi selama 22 tahun silam. Sindikat BLBI tersebut adalah pelaku makar, karena telah membobol duit di Bank Sentral. Dari sumber dana yang dijarah melalui skema BLBI dan KLBI itu, kemudian dibuat sejumlah skema untuk pembiayaan amandemen UUD 1945. Seakan-akan sumber pembiayaan agenda reformasi itu berasal dari lambaga donor asing. Padahal jika ditelusuri, dana-dana itu sebetulnya milik rakyat Indonesia juga yang mereka rampok, dengan cara membobol Bank Indonesia dalam skema BLBI dan KLBI. Anggaran untuk reformasi politik, hukum dan birokrasi yang katanya dari lembaga donor asing itu hanya bohong. Sumber dana sebetulnya dari uang perampokan BLBI-KLBI. Demikian juga anggaran untuk membiayai pembentukan sejumlah LSM dan Parpol yang menjamur di era reformasi, sebetulnya juga bersumber dari duit yang dibobol di Bank Indonesia melalui skema BLBI dan KLBI. Sebagai pembandingnya, di sejumlah negara Amerika Latin, sumber bahan bakar yang menggerakan mesin perubahan politik ke arah liberalisasi dan demokratisasi di sana berasal dari kartel narkoba. Operasi intelijen barat terlebih dahulu membentuk kantong logistik untuk membiayai operasi tersebut. Diantara kantong logistik itu, mereka bekerjasama dengan kartel narkoba. Dari uang perdagangan narkoba itu dipakai sebagai dana untuk melakukan operasi liberalisasi di negara-negara Amerika Latin. Sejatinya demokrasi itu dibentuk oleh rezim kapitalisme yang menuntut persamaan politik dan kesetaraan di depan hukum. Sejarahnya memang seperti itu, demokrasi itu sebetulnya lahir dari kandungan kaum kapitalis untuk menutut kesamaan hak dan derajat sosial dengan kaum feodal. Karena itu, di negeri barat, sumber kapital atau bahan bakar yang menggerakan mesin demokratisasi dan liberalisasi itu berasal dari kekuatan kapitalis industri. Berbeda dengan di Indonesia dan Amerika Latin, yang berlangsung demokratisasi tanpa industrialisasi. Karena itu, ketika negara barat memaksakan projek liberalisasi dan demokratisasi, mereka terlebih dahulu menciptakan sumber kapital sebagai bahan bakarnya untuk menggerakan liberalisasi dan demokratisasi. “Tidak mungking sebuah operasi intelijen untuk menguasai atau menghancurkan sebuah negara tertentu menggunakan APBN”. Demikian juga, biaya operasi intelijen atau militer untuk menghancurkan sejumlah negara di Timur Tengah misalnya, sebetulnya bersumber dari uang minyak yang berasal dari Timur Tengah sendiri. Demikian juga dengan di negeri kita, Indonesia. Tidak ada industrialisasi di sini. Maka sumber kapital untuk menggerakan liberalisasi dan demokratisasi itu diciptakan dari kekuatan oligarki jahat dan licik. Mereka itulah para sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA. Kalau di Amerika Latin, sumber kapitalnya berasal dari kartel narkoba, kartel SDA dan kartel jahat lainnya. Sementara di Indonesia, sekian tahun lama sindikat BLBI dan kartel SDA dijadikan kaki tangan barat dalam menjarah ekonomi nasional dan mengendalikan institusi negara. Dari dalam kandungan sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA tersebut, dilahirkan oligarki politik dinasti yang memegang kendali politik negara hingga saat ini. Kartel jahat itu membajak negara melalui mengendalikan pemimpin Partai Politik dan pemimpin negara. Hampir pada seluruh institusi Negara. Mulai dari pusat hingga daerah. Dari Presiden dan Ketua DPR-RI hingga Bupati, mereka adalah hasil dari peternakan sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA. Dalam sejumlah operasi politik untuk memenangkan pimpinan nasional, pimpinan daerah hingga pimpinan lembaga legislatif dan yudikatif, sering sekali diduga dibantu oleh “sindikat intelijen jahat”. Mereka telah berkhianat dan menyeleweng dari sumpahnya sebagai prajurit perang pimikiran. Kini, sumber kapital yang menggerakan reformasi itu sudah mulai mengering. Bahan bakar reformasi yang bersumber dari sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA itu telah gosong. Matahari baru yaitu kekuatan kapitalis teknologi informasi yang sedang memegang kendali. Menganggap kartel dan sindikat lama BLBI-KLBI dan kartel SDA tersebut sebagai parasit yang harus dimusnahkan. Mereka menghendaki keterbukaan informasi dan penyelesaian terhadap sejumlah kejahatan keuangan nasional dan international. Sistem negara era reformasi akan runtuh atau sirna. disebabkan oleh: Pertama, dana gelap hasil rampokan BLBI-KLBI telah mengering. Para perampoknya kini sedang menghadapi tuntutan pengadilan, baik itu pengadilan nasional maupun international. Kedua, jatuhnya harga komoditas di pasar international. Ketiga, kejahatan money laundry sedang menghadapi ancaman secara international. Dengan demikian sumber dana oligarki politik dinasti dipastikan juga akan kering. Bahan bakar yang menggerakan sistem reformasi juga makin mengering. Sistem negara era reformasi yang telah bermutasi menjadi virus kanker jahat itu sudah waktunya memang harus sirna atau runtuh. Semoga Tuhan Yang Maha Berkuasa mempercepat takdirnya untuk “wafat”. Semoga kita dapat mengembalikan cita-cita dibentuknya negara oleh para pendiri bangsa pada tahun 1945. Semoga rakyat kembali berdaulat di negeri sendiri. Semoga kemerdekaan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dapat menempatkan kembali rakyat menjadi pemilik atas sumber daya alam dan kekayaan negara. Semoga konstitusi (UUD 1945) kembali menjadi landasan dan pedoman dalam penyelenggaraan negara. Semoga tidak akan lahir lagi pemimpin negara yang menjadi boneka asing dan parasit dari oligarki konglomerat jahat, licik dan culas. “Angkat senjatamu wahai Arjuna. Majulah berperang. Jalankan tugas kewajibanmu tanpa keraguan di hati”. Tulisan ini pernah dimuat di RMOL.Co.id edisi 20 Mei 2019. Penulis adalah Aktivis Mahasiswa 1998 Yogyakarta dan Pemrakarsa Intelligence Finance Community (InFINITY)

Ayo Tebak, Tuan Besar Djoko Tjandra Pakai Sogok atau Tidak?

by Asyari Usman Jakarta FNN – Rabu (15/07). Djoko Tjandra memang hebat. Dia dalam status sebagai buronan ‘most wanted’ (paling dicari). Namun semua instansi yang diperlukannya memberikan “bantuan penuh”. Semuanya “memfasilitasi” keinginan Tuan Besar Djoko. Semuanya lancar jaya. Sangat huebat dan luar biasa. Berbagai bantuan yang ‘generous’ itu antara lain adalah masuk ke Indonesia tanpa ada hambatan di Imigrasi. Kemudian mengurus e-KTP sampai terbit dalam waktu satu jam lima belas menit di Kantor Lurah Grogol Selatan, Jakarta Barat. Terus, dia pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memasukkan gugatan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan yang dia rasakan merugikan dirinya. Setelah itu, Tuan Besar Djoko mengikuti sidang pengajuan novum di Pengeadilan Negeri Jakarta Selatan. Beberapa hari selesai persidangan novum di pengadilan, Tuan Besar Djoko melakukan perjalanan ke Pontianak. Giliran Bareskrim Polri yang keluarkan surat perjalanan kepada Tuan Besar Djoko. Selesai semua urusan di Indonesia yang super cepat, karena difasilitasi oleh semua lembaga degara yang dibutuhkannya, Tuan Besar Djoko terbang kembali ke luar negeri tanpa terdeteksi. Dia kembali melanjutkan status buronannya. Tidak ada satupun instansi keamanan yang bisa mendeteksi si terpidana ini menghilang tinggalkan Indonesia. Imigrasi mengaku tidak tahu atau tidak kenal dengan Djoko Tjandra. Polisi bagai kena sihir tingkat tinggi. Kejaksaan juga seperti tak lagi berfungsi. Semua instansi penegak hukum ini bagaikan terlena, terhipnotis dan tersihir oleh “hiburan yang mengasyikkan” dari Tuan Besar Djoko. Djoko diburu oleh penegak hukum dengan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali dengan kerugian negara 940 miliar rupiah. Dia menjadi buronan sejak 2009. Melarikan diri ke luar negeri. Pada 2012, Djoko Tjandra diketahui memiliki paspor Papua Nugini. Artinya sejak 2012 itu, Tuan Besar Djoko sudah menjadi warga Negara Papua Nigini. Menko Polhukam Mahfud MD kabarnya marah sekali. Dia mengatakan, negara sangat malu dipermainkan oleh Djoko Tajndra. Mahfud menyindir Polisi dan Kejaksaan yang tak bisa menangkap buronan ini. Padahal, menurut Mahfud, Polisi dan Kejaksaan adalah dua instansi yang hebat. Kekesalan Pak Mahfud itu bisa dipahami. Mungkin dia merasa instansi-instansi penegak hukum yang gagal menangkap Djoko itu terkesan dikangkangi oleh si buronan. Sekarang, mari kita main tebak-tebakan berhadiah. Tentang perilaku Tuan Besar Djoko. Silakan anda jawab deretan pertanyaan di bawah ini. Mungkinkah Djoko bisa masuk ke Indonesia tanpa sogok? Mungkinkah dia melewati Imigrasi tanpa bisa dikenali? Pihak Imigrasi mengatakan yang bertugas waktu itu adalah pegawai baru. Mungkinkah dia membuat e-KTP di Kantor Lurah Grogol Selatan dalam waktu satu jam lebih sedikit, tanpa uang sogok? Logiskah Pak Lurah tidak menerima apa-apa ketika dia “membantu” pembuatan e-KTP untuk Djoko dalam waktu singkat itu? Mungkinkah Pak Camat setempat juga tak mendapatkan apa-apa? Logiskah para pejabat yang terkait dengan pembuatan e-KTP untuk orang sepenting Djoko Tjandra, membantu si buronan dengan “senang hati” tanpa imbalan besar? Mendagri Tito Karnavian mengatakan di depan rapat dengan DPR bahwa pembuatan e-KTP untuk Tuan Djoko bisa cepat karena memang orientasi petugas di instansi Dukcapil adalah pelayan cepat. Begitu data seseorang ada di Dukcapil, langsung bisa cetak e-KTP. Nah, pertanyaan quiz berikutnya adalah, siapa diantara anda semua yang punya pengalaman membuat e-KTP dalam waktu satu jam lima belas menit? Ayo, atau pernah tahu teman atau tetangga yang bisa dapat e-KTP satu setengah jam? Hehe. Tuan Besar Djoko Tjandra memang mantap. Dia ini, layak, pantas dan bisa dijadikan Dirjen Dukcapil. Atau Mendagri sekalian. Mengapa? Karena dia bisa memerintahkan petugas kelurahan membuat e-KTP super cepat itu. Kembali ke quiz berhadiah. Apakah mungkin para pejabat tinggi yang terkait dengan kedatangan ilegal Djoko, tidak mendapatkan apa-apa? Apalagi mengingat statusnya sebagai buronan kelas satu, mungkinkah semua liku-liku perjalanan Tuan Djoko itu dia lalui secara gratis? Tanpa sogok sana-sini? Pemenang pertama quiz Tuan Besar Djoko Tjandra ini akan mendapatkan beberapa hadiah istimewa. Hadiah pertama, pembuatan e-KTP lima menit, langsung di kantor Mendagri. Hadiah kedua, tiket pesawat untuk berjumpa dengan Tuan Besar Djoko Tjandra di mana pun dia berada. Kemungkinan ada acara ‘morning coffee’ dengan si buronan super huebat dan luar biasa ini. Acara ‘kopi pagi’ ini nantinya sangat istimewa. Karena pemenang akan ditemani oleh Denny Siregar, Abu Janda, dan Ade Armando yang tidak terdengar suaranya mengenani kehebatan Tuan Besar Djoko Thandra selama berada di Indonesia. Diperkirakan akan ada hadiah kejutan dari Tuan Besar Djoko sendiri. Menurut bocoran, hadiah kejutan itu berbentuk kursus kilat tentang cara-cara untuk (maaf sebelumnya ya) “kentuti dan memberaki” mukanya para pejabat Indonesia. Penulis adalah Wartawan Senior

Jalan Dakwah Akan Selalu Diisi Pejuang Tangguh

by Ahmad Khozinudin SH. Catatan Hukum atas Pemanggilan Ustadz Edy Mulyadi, Sekjen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama oleh Polda Metro Jaya. Pemanggilan tersebut, terkait pembakaran bendera yang berlogo PDIP saat demontrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di depan gedung DPR. Jakarta FNN – (14/07). Beredar viral kabar dan informasi di sosial media, bahwa pada hari Rabu, tanggal 15 Juli 2020 Ustadz Edy Mulyadi, Sekjen GNPF Ulama dipanggil penyidik Polda Metro Jaya. Ihwal pemanggilan, adalah sebagai saksi dalam kasus pembakaran bendera berlogo PDIP. Secara prosedur, panggilan ini adalah hal biasa. Namun, secara substansi suka atau tidak, panggilan ini perlu disikapi secara politis. Mengapa demikian? Mengingat konsepsi negara hukum yang kita anut dan bangga-banggakan di negeri ini, telah bergeser menjadi negara kekuasaan. Iya, kita semua sedih melihat kondisi penegakan hukum di negeri ini. Aparat penegak hukum sebagai alat negara untuk menegakkan hukum, sudah bergeser menjadi alat kekuasaan. Anggapan negara hukum cuma sarana untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan dalam penegakkan hukum. Parameternya sederhana. Jika wibawa presiden atau pejebat negara lainnya yang dicela, aparat begitu sigap untuk memproses hukum. Bahkan, diantaranya tanpa pemeriksaan pendahuluan, langsung ditangkap dulu baru diperiksa. Palnggaran hkum oleh aparat sudah menjadi pemandangan yang biasa untuk ditonton. Kasus Ali Baharsyah adalah contoh kongkritnya. Ali dianggap menghina presiden Jokowi karena mengunggah video Presiden Go Block. Padahal Video tersebut merupakan kritik Ali Terhadap kebijakan PSBB. Bukannya Lockdown. Ali juga mengkriktik rencana kebijakan Darurat Sipil yang memang pernah diwacanakan oleh Jokowi. Di media, Ali Baharsyah diframing sebagai penghina Presiden. Meskipun, pasal penghinaan presiden tidak ada dalam berkas penyidikan. Ali disidik dengan pasal berlapis, namun tak ada satupun pasal penghinaan Presiden terhadapnya. Ali Baharsyah langsung ditangkap. Tanpa ada pemanggilan. Juga tanpa proses pemeriksaan pendahuluan. Saksi juga ikut ditangkap dan diperiksa bersamaan dengan penangkapan Ali Baharsyah. Dan sedihnya lagi, praktik hukum yang seperti ini dilakukan oleh Mabes Polri. Institusi yang semestinya menjadi teladan lembaga kepolisian. Bagaimana jika yang dilaporkan penghina umat Islam ? Dipaastikan hukum apapun yang digunakan, menjadi tumpul. Polisi loyo, dan prosedur menjadi ketat. Sudah terlalu banyak laporan polisi yang dibuat oleh umat Islam. Namun tidak ada proses hokum yang ditinndak lanjuti, kecuali untuk kasus Ahok. Contoh paling terbaru adalah, kasus pelaporan Deny Siregar oleh elemen Umat Islam di Tasikmalaya. Deny Siregar dilaporkan ke polisi, karena menteror para Santri Tahfidz Alqur’an sebagai calon Teroris. Kalau mau menggunakan pasal ITE, Deny Siregar bisa dijerat pasal 28 ayat (2) dan pasal 27 ayat (3) Jo pasal 45 UU ITE. Deny Siregar bisa disidik dengan perkara menebar kebencian dan permusuhan kepada santri berdasarkan SARA. Bisa juga dengan pencemaran wibawa Santri. Ancaman hukumannya 6 tahun penjara, sehingga bisa langsung ditahan. Sampai hari ini, Deny Siregar belum juga diperiksa. Apalagi ditahan sampai ditahan. Pada saat yang sama, Denny marah-marah dan melaporkan kebocoran data Telkomsel. Polisi langsung sigap. Polisi bergerak cepat, dan langsung menangkap pelaku di Surabaya. Terkait perkara yang dijadikan dasar pemanggilan Ustadz Edy Mulyadi oleh Polda Metro Jaya. Kasusnya adalah pembakaran bendera berlogo PDIP. Videonya telah banyak beredar. Foto orang-orang yang diduga sebagai pelaku juga sudah bisa diidentifikasi sejak dini. Kenapa musti yang dipanggil adalah Sekjen GNPF Ulama? Bisa saja ada yang berdalih, karena Ustadz Edy Mulyadi adalah Ketua Panitia atau Korlap aksi demonstrasi menolak RUU HIP yang diduga menghidupkan kembali neo komunisme dan PKI. Yang didalamnya terdapat peristiwa pembakaran atas bendera berlogo PDIP. Hanya saja, apakah pemeriksaan dengan model yang sama terjadi pada pejabat Telkomsel untuk kasus kebocoran data Deny Siregar ? Apakah penyidik melakukan pemeriksaan pada Dirut Telkomsel atau minimal kepala area Jawa Timur dalam penangkapan tersangka? Saya menduga kuat hal ini tidak dilakukan. Kembali pada kasus pembakaran bendera berlogo PDIP. Sehari setelahaksi, Ustadz Edy Mulyadi telah dipanggil dan diperiksa penyidik Polda Metro Jaya seputar aksi ANAK NKRI tolak RUU HIP. Dengan gamblang Ustadz Edy Mulyadi menjelaskan latar belakang, tujuan, jobdes ketua panitia, juga penjelasan terkait pembakaran bendera berlogo PDIP sebagai accident. Bukan insident. Semestinya, dengan kecakapan yang sama Polisi bisa segera menangkap pelaku pembakaran bendera berlogo PDIP. Sebagaimana polisi secepat kilat dapat menangkap pembocor data Deny Siregar atau menangkap Ali Baharsyah. Semestinya Ustadz Edy Mulyadi selaku Sekjen GNPF Ulama tak perlu diperiksa. Karena sebelumnya juga sudah diambil keterangannya. Semestinya, polisi segera memburu pelaku pembakaran bendera berlogo PDIP. Bukan malah sibuk mengorek keterangan dari Ustadz Edy Mulyadi. Apalagi, ada kader PDIP yang telah mengancam polisi. Jika dua hari pelaku tidak ditangkap, maka kader PDIP ini akan mengambil langkah sendiri. Terkait Ust Edy Mulyadi, kita segenap umat Islam wajib memberikan dukungan dan pembelaan. Panggilan saksi kadangkala bisa ditingkatkan menjadi tersangka. Pemanggilan ini, juga harus dimaknai sebagai agenda "kontra kritik" terhadap gerakan penolakan RUU HIP yang makin marak, terutama dari numat Islam. Apalagi menjelang sidang Paripurna DPR RI pada Kamis, 16 Juli mendatang. Saya tidak khawatir pada pribadi Ustadz Edy Mulyadi yang juga Wartawan Senior itu. Sebab beliau adalah orang yang telah mengambil pilihan perjuangan, dan memahami resiko dan konsekuensi perjuangan. Jalan da’wah selalu dilalui oleh pejuang-pejuang yang tangguh. Segala resiko menghadang di depan mata. Pengetahuan saya terhadap beliau, cukup memiliki legitimasi. Karena saya pernah berhari-hari menginap bersama beliau. Keliling diskusi di Jawa Timur dengan beliau. Sehingga, pengetahuan dan pengenalan terhadap beliau telah melampaui syarat sebagaimana ditetapkan oleh Amirul Mukminin Khalifah Umar Bin Khatab Radiyallahu Anhu. Beliau adalah orang yang Allah SWT tetapkan berada di jalan dakwah. Siap untuk menanggung segala konsekuensinya. Beliau juga termasuk orang-orang yang Allah SWT hadirkan untuk menjadi pembela bagi agama Islam. Beliau adalah pejuang Islam yang tangguh. Kita semua wajib berada bersama dengan beliau. Memberikan dukungan dan pembelaan kepada beliau. Sebab beliau memang telah mewakafkan dirinya untuk kepentingan Islam. Sementara kita wajib mewakafkan diri kita. Selain untuk membela Islam juga membela para pejuang Islam. Pemanggilan terhadap beliau, merupakan tindakan yang menyingkap dan menyentuh wibawa perjuangan. Kita sangat pahami bahwa tidak ada tindakan hokum, khususnya yang dialamatkan kepada pengemban dakwah, kecuali terkandung motif politik. Hanya ingin menekan gerakan da’wah dari para pejuang Islam. Kita wajib bersiap-siaga dalam menghadapi dinamika RUU HIP. Sebab pemanggilan kepada Ustadz Edy Mulyadi ini juga tak lepas dari konteks politik, khususnya dinamika RUU HIP. Semoga Allah SWT karuniakan kesabaran dan keikhlasan kepada Ustadz Edy Myulyadi. Semoga tetap Istiqomah berada di jalan perjuangan, membela Islam. Penulis adalah Aktivis, dan Advokat Pejuang