Aturan Baru Bikin Susah, Advokat Soleh Menggugat, Rapid Test Diragukan Pakar!
Oleh Mochamad Toha
Jakarta, FNN - Sepanjang Kamis (16/7/2020) sejak pagi hingga sore, pendengar Radio Suara Surabaya telah mengkritisi Perwali No. 33 Tahun 2020 yang merevisi Peraturan Walikota (Perwali) No. 28 Tahun 2020: Pedoman Tata Kehidupan Baru Menghadapi Pandemi Covid-19.
Ada ketentuan bagi pekerja dari luar Kota Surabaya harus bisa menunjukkan hasil rapid test nonreaktif atau swab negatif yang berlaku 14 hari. Ada pula pemberlakuan lagi jam malam mulai pukul 22.00.
Perwali tersebut merevisi perwali sebelumnya yang berisi protokol kesehatan di 12 sektor. Ketentuan wajib rapid test nonreaktif atau tes swab negatif itu berlaku bagi karyawan atau pekerja di perusahaan.
Selain itu, ketentuan tersebut juga berlaku untuk karyawan di restoran, rumah makan, kafe, warung, dan usaha sejenis. Pemilik gerai di toko swalayan, toko, dan pusat perbelanjaan juga mewajibkan karyawan untuk menunjukkan hasil rapid test nonreaktif atau swab negatif.
Surat tersebut dikeluarkan oleh dokter rumah sakit atau Puskesmas. Bahkan, orang dari luar Kota Surabaya (baca: Surabaya Raya) yang hendak masuk ke Surabaya harus menunjukkan surat rapid test nonreaktif atau swab negatif. Surat itu berlaku 14 hari.
Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya Irvan Widyanto mengungkapkan, aturan terkait dengan ketentuan rapid atau swab test itu didasarkan pada surat edaran dari BNPB.
Selain itu, pemkot ingin menekan persebaran Covid-19 di Surabaya. ”Terutama di bidang yang berhubungan dengan orang banyak. Seperti SPG di mal atau waiters di restoran, mereka harus dipastikan kesehatannya,” ujar Irvan, Selasa (14/7/2020).
Edaran dari BNPB itu terkait dengan penggunaan rapid atau swab test untuk orang yang naik moda transportasi, baik darat, udara, maupun laut. Sebelumnya, ketentuan tersebut hanya berlaku tujuh hari.
Namun, dengan adanya surat edaran tersebut, surat itu berlaku 14 hari. ”Berlaku untuk warga dari luar kota. Kami ingin memastikan tidak ada penularan dari luar kota,” tambahnya, seperti dilansir JawaPos.com, Rabu (15 Juli 2020, 15:48:04 WIB).
Selain soal surat rapid dan swab test, perwali juga mengatur jam malam mulai pukul 22.00. Pada jam tersebut, tidak boleh lagi ada aktivitas di luar rumah. ”Jadi, warkop-warkop atau tempat usaha yang biasanya buka 24 jam kini tak boleh buka lagi,” ungkap Irvan.
Namun, memang ada kegiatan yang dikecualikan. Yakni, kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan seperti rumah sakit, apotek, dan fasilitas kesehatan lainnya. Diperbolehkan pula pasar, stasiun, terminal, pelabuhan, SPBU, jasa pengiriman barang, dan minimarket.
Namun, minimarket tersebut harus terintegrasi dengan bangunan sebagai fasilitas pelayanan masyarakat.
Melansir Detik.com, Sabtu (04 Jul 2020 14:24 WIB), menurut pakar Epidemiolog UI Pandu Riono, bicara mengenai rapid test yang marak dilakukan pemerintah daerah di tengah wabah Virus Corona atau Covid-19, rapid test semestinya dihentikan secepatnya.
“Menurut saya, harus segera. Kalau perlu, besok Senin rapid test di seluruh Indonesia itu bisa dihentikan,” ujar Pandu dalam diskusi “Jelang Usai PSBB Transisi”, Sabtu (4/7/2020).
Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) itu, rapid test sangat tidak akurat. Menurutnya, hasil rapid test tidak bisa menjadi acuan. “Adanya testing cepat antibodi, rapid test, ini sangat tidak akurat,” imbuh Pandu.
“Yang dites itu antibodi. Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berati bisa infeksius,” kata Pandu.
Dengan maraknya fenomena rapid test, terang Pandu, terjadilah komersialisasi. Salah satunya ketika rapid test menjadi syarat seseorang sebelum boleh menggunakan transportasi pesawat ataupun kereta api. Padahal, menurutnya, rapid test belum dijamin akurasinya.
“Itu useless sebenarnya,” jelas Pandu. “Karena kalau tidak, publik rugi, atau banyak uang negara yang seharusnya bisa meningkatkan kapasitas tim PCR, (malah) hanya untuk membeli (alat) rapid,” tuturnya.
Warga Berat
Aturan “wajib” rapid test dinilai memberatkan warga. Karena itulah, dua advokat Surabaya, Muhammad Sholeh dan Singgih Tomi Gumilang, menggugat Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kepada Mahkamah Agung (MA), Selasa (30/6/2020).
Gugatan tersebut diajukan untuk kali kedua. Kali ini, laporan mereka menegaskan permintaan uji materi agar rapid test ditiadakan. “Kita menuntut dihapus kewajiban rapid test ini, bukan untuk diubah masa berlakunya,” tegas Sholeh kemarin.
Aturan yang digugat adalah Ketentuan Huruf F ayat (2) huruf b dalam SE Nomor 9 Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Sholeh menerangkan, mulanya SE itu mengatur agar penumpang pesawat, kereta api, dan kapal wajib menyertakan rapid test nonreaktif untuk penumpang jika ingin bepergian. Masa berlakunya 3 hari untuk rapid test.
Aturan tersebut kemudian diubah menjadi 14 hari atau dua minggu. “Meski sudah diubah, ini tetap menyusahkan penumpang. Sebab, tidak semua penumpang orang kaya,” lanjut Sholeh. Biaya rapid test rata-rata Rp 300 ribu dirasa memberatkan banyak warga yang bepergian.
Menurutnya, tidak ada jaminan bahwa dalam kurun waktu tiga hari atau tujuh hari setelah tes itu penumpang tetap bebas Covid-19. Ia juga mempertanyakan orang yang bepergian dengan mobil pribadi, bus antarkota, dan sopir truk tidak diwajibkan.
Padahal menurut Sholeh mereka juga rentan. “Bukankah ini kebijakan diskriminatif,” lanjut Sholeh, seperti dilansir JawaPos.com, Rabu (1/7/2020).
Meski sudah membawa hasil rapid test, penumpang tetap akan dites suhu badan di bandara, terminal, atau stasiun. Jika suhunya di atas 38, maka dia tidak bisa berangkat walau sudah membawa hasil rapid test nonreaktif. Padahal biaya rapid test cukup mahal.
Sholeh memutuskan untuk menggugat aturan tersebut karena sudah banyak keluhan juga dari penumpang tiga moda transportasi. “Kebijakan rapid test ini sangat menyusahkan penumpang pesawat, kereta api, dan kapal laut,” jelasnya.
Dalam gugatannya, Sholeh merasa keberatan dengan syarat wajib rapid test bagi penumpang yang akan bepergian menggunakan pesawat, kereta api, mau pun kapal laut selama masa pandemi Covid-19.
“Pertama, apa yang menjadi dasar calon penumpang harus mempunyai rapid test? Rapid test itu bukan vaksin, hanya mengetahui seseorang terserang virus atau tidak. Bisa jadi orang dengan hasil reaktif karena sakit flu atau lainnya bukan karena Covid-19,” ujar Sholeh.
“Kalau orang yang pergi banyak tentu akan memberatkan calon penumpang,” ungkap Sholeh. Ia mengatakan, kewajiban rapid test itu bertentangan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Sholeh juga berharap permohonan uji materi yang sudah mereka layangkan hingga dua kali ini mendapat perhatian dari MA.
***
Penulis Wartawan Senior