Indonesia Punya Formula, Mengapa Harus Vaksin China?
by Mochamad Toha
Jakarta FNN - Kamis (23 Juli 2020). Ketika musim haji pada 2012 mewabah Flu Burung varian baru, New Corona, di sekitar Arab Saudi, melalui Onta, apakah vaksin yang dikirim ke sana itu dari China, Amerika Serikat atau negara lainnya yang selama ini dikenal sebagai produsen virus?
Bukan! Bukan dari China atau AS yang biasanya memang rajin bikin vaksin! Tahukah Anda jika yang dikirim ke Arab Saudi itu ternyata formula bioto atau probiotik siklus/komunitas, berasal dari Indonesia yang dikemas dalam bentuk ampul vaksin?
Atas permintaan Unicef, sebanyak 5.000 liter bioto dikemas oleh PT OM dalam ampul vaksin. Pengiriman ke Arab Saudi diatasnamakan Unicef, kemudian dibagikan kepada jamaah haji dan relatif berhasil menghindarkan jemaah haji dari wabah new corona.
Beberapa waktu yang lalu, bioto dengan merk BJ dikirim ke Glenn Eagles, Singapore serta RS Malaya Malaysia, dan diberi merk sendiri, dengan indikasi untuk toksoplasma dan flu burung. Produk bioto tersebut dijual ke pasien, yang mayoritas orang Indonesia, dijual laris dengan harga Rp 1,5 juta rupiah.
Di tempat lain, di Indonesia, ada profesor yang menjual suatu produk mikrobakteri dan diklaim hanya untuk toksoplasma, dijual dengan harga Rp750.000,-per botol (1,5 lt) dan laris. Faktanya ternyata produk yang dijual ini merupakan fermentasi bioto generasi ke 8 atau 9.
Melalui riset yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit flu burung adalah murni buatan pihak tertentu yang tidak menginginkan adanya keseimbangan dunia ini. Sifat virus flu burung, di tiap negara, bahkan tiap daerah bisa berbeda.
Bahkan beberapa waktu terakhir ini, sering kita dengar adanya berbagai varian flu burung diantaranya H1N1, H5N1, H7N9 (di China), New Corona, yang konon dianggap lebih mematikan dibanding varian terdahulu.
Yang membedakan tiap varian virus flu burung sebenarnya adalah jumlah bulu getar pada virus tersebut. Bulu getar/flagel itu sebanarnya adalah semacam alat penghangat pada virus itu yang berfungsi untuk mempertahankan hidup mereka sendiri.
Maka bila telah dijumpai terdapat jumlah bulu getar yang berbeda, oleh para ahli virologi dikatakan sebagai mutasi genetik dari virus flu burung. Tamiflu jelas tidak akan efektif untuk tiap kasus flu burung.
Tiap jenis obat hanya akan efektif pada daerahnya sendiri, dan obat itupun belum mampu mematikan virus flu burung tersebut. Pengobatan yang paling efektif untuk flu burung adalah dengan probiotik atau bioto karena jumlah laktat yang tinggi.
Formula ini sudah banyak membuktikan efektifitas probiotik/bioto terhadap kasus flu burung, sehingga bagi yang sudah tahu, sekarang flu burung bukanlah penyakit yang menakutkan dan mematikan.
Kasus flu burung di China telah memakan korban cukup banyak, hal tersebut terjadi karena China menolak produk probiotik dan lebih bangga dengan produk herbal mereka, sehingga penanggulangan flu burung menjadi kurang efektif.
Perlu dicatat, di dunia ini, pusat pengembangan produk bakteri terdapat di negara Jepang, Israel, dan Jerman. Sementara AS merupakan pusat produk virus.
Jepang dengan revolusi mikrobakteri yang dilakukan melalui proses penanaman tumbuhan dengan menggunakan teknologi pupuk alami non kimia, telah berhasil menghidupkan serta menghijaukan kembali wilayah Hiroshima dan Nagasaki.
Orang yang sangat berperan pada proses tersebut bernama Teruo Higa, yang terkenal sebagai penemu teknologi EM (efektif mikroorganisme).
Vaksin Sinovac
Mulai pekan ini tersebar berita Vaksin Corona buatan China bernama Sinovac sudah datang di Indonesia. Senin, 20 Juli 2020, tiba di Kota Bandung. Vaksin buatan China ini diproduksi perusahaan China bernama PT Sinovac.
Di Indonesia uji coba dilakukan PT Biofarma, sebuah BUMN yang laboratorium besarnya di Bandung. Biofarma akan mencari relawan dalam jumlah banyak yang mau disuntik Sinovac. Tulisan Dahlan Iskan, Menanti Sinovac, Rabu (22 Juli 2020) menarik disimak.
Itulah orang yang disebut dengan relawan uji coba klinis tahap tiga. Khusus untuk uji coba tahap tiga ini jumlah relawannya harus banyak. Boleh dikata: sebanyak mungkin. Kalau bisa sampai 3.000 orang. Setidaknya 300 orang.
Kian banyak dari angka 300 kian baik. Agar bisa mendapatkan hasil evaluasi yang terbaik. Berdasarkan evaluasi uji coba tahap tiga itulah badan-badan dunia akan memberi ijin edar. Yakni badan yang terkait dengan obat/vaksin baru.
Setelah izin keluar barulah vaksin itu boleh dipakai secara umum. Istilahnya pun belum disebut 'resmi boleh dipakai' melainkan 'uji coba tahap empat'. Tapi, untuk uji coba tahap empat itu sasarannya bukan relawan lagi.
Siapa pun boleh disuntik dengan vaksin baru itu. Sambil terus dimonitor oleh badan-badan perizinan obat/ vaksin-baru dunia. Itulah sebabnya penemuan obat baru itu mahal sekali. Untuk uji coba tahap 4 ini saja, biayanya bisa mencapai Rp 200 miliar.
Itu kalau di negara-negara Barat. Padahal di sana tidak ada Pilkada. Karena itu untuk mencari relawan tidak mudah. Mereka sangat takut pada efek samping obat baru itu. Di sana relawan jenis ini mirip relawan Pilkada/ Pilpres kita: harus dibayar.
Di samping harus ada gizi, mereka juga harus menandatangani banyak dokumen: misalnya tidak akan menuntut apa pun kalau ternyata ada masalah dengan obat/vaksin itu. Mereka juga harus lebih dulu menjalani pemeriksaan kesehatan.
Lengkap. Pun setelah sebulan disuntik. Pemeriksaan setelah penyuntikan itu bisa sampai dua kali. Berarti dua bulan. Kalau pun uji coba tahap 3 ini berhasil, berarti paling cepat Oktober izin pakai dari badan-badan dunia akan keluar. Katakanlah: November.
Di bulan November tepat setahun Presiden Jokowi menjabat, vaksin itu sudah bisa diproduksi masal. Itu sudah sungguh-sangat- amat-luar-biasa cepat.
Hanya 10 bulan setelah Covid-19 menyerang Wuhan, China, vaksin sudah ditemukan – dan sudah bisa dipakai secara umum. Normalnya, jika di dunia barat, vaksin atau pun obat baru seperti itu baru bisa meluncur ke pasar paling cepat lima tahun.
Rasanya ini rekor sepanjang masa. Pun tidak mungkin terjadi kalau bukan China. Bukan saja perizinannya cepat tapi mencari relawan di sana tidak perlu ada tim sukses. Terutama untuk relawan tahap satu. Yang fokusnya pada dampak efek samping. Betapa bahayanya.
Di tahap ini perlu waktu dan penelitian yang sangat cukup untuk mengetahui aman tidaknya obat baru. Itu masih diteruskan dengan uji coba untuk tahap dua: untuk mengetahui tingkat keberhasilan. Dengan jumlah relawan sampai 60 orang.
Semua itu sudah sukses dilakukan di China. Tinggal uji coba tahap tiga. Yang sasarannya tidak boleh hanya di satu negara. Itulah sebabnya biayanya mahal sekali. Jika di dunia barat.
Dengan uji coba di banyak negara maka efektivitas obat/vaksin baru bisa diketahui secara luas. Pun terhadap berbagai jenis manusia. Yang gen dan darahnya berbeda-beda.
“Saya bersyukur Indonesia dipilih menjadi salah satu dari banyak negara lain untuk uji coba tahap tiga itu. Itu sebagai pertanda bahwa kita akan boleh memproduksi sendiri nantinya,” tulis Dahlan Iskan, seperti dikutip Disway.id, Rabu (22 Juli 2020).
Relawan tahap tiga ini harus dari berbagai macam manusia: anak, remaja, muda, setengah umur dan orang tua –asal jangan tua sekali. Masing-masing dengan jenis kelamin yang berbeda-beda: laki, perempuan dan yang half-half.
Mengapa harus Vaksin China? Apakah di Indonesia tidak ada ahli yang bisa membuat vaksin untuk atasi Virus Corona atau Covid-19? Padahal China sendiri pernah gagal saat menangani Flu Burung sehingga memakan korban cukup banyak.
Hal itu terjadi karena China menolak produk probiotik, China lebih bangga dengan produk herbal mereka, sehingga penanggulangan flu burung menjadi kurang efektif. Masih adanya serangan Virus Corona di China sekarang ini bukti kegagalan China.
Sebagai warga biasa, saya cuma bisa menyarankan, sebaiknya Biofarma tak perlu lakukan uji coba (lanjutan dari China) Vaksin Sinovac pada orang Indonesia. Jika ada kemauan, di sini sudah ada formula probiotik yang terbukti efektif atasi Covid-19.
Sudah banyak uji klinis yang membuktikan, formula probiotik berhasil “mengobati” pasien Covid-19. "Kalau pake probiotik kan gak bisa korupsi. Covid-19 ini sangat menguntungkan pemain, Mas!" ujar seorang sumber.
Penulis adalah Wartawan Senior.