Malawan Upaya Mutilasi DPR Melalui UU Korona No. 2/2020
by Dr. Marwan Batubara
Jakarta FNN – Selasa (28/07). Undang-undang Nomor 2/2020 tentang Penetapan Perppu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. UU Nomor 2/2020 diyakini melanggar konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pelanggaran paling fatal, dilumpuhkannya hak budget DPR dalam Pasal 23 UUD 1945. Beberapa akibat negative bermunculan.
Pertama, APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara, yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. APBN harus dilaksanakan secara terbuka, transparan dan bertanggung jawab. APBN digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kedua, berdasarkan panduan dari konstitusi, Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN diajukan setiap tahun oleh Presiden. RUU APBN dibahas bersama-sama dengan DPR, dengan tetap memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Ketiga , apabila DPR tidak menyetujui, maka Rancangan APBN (RAPBN) yang diusulkan oleh Presiden, maka Pemerintah dapat menjalankan pembiayaan belanja negara dengan berpedoman pada APBN tahun sebelumnya. Begitulah panduan yang diberikan oleh konstitusi UUD 1945. Tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan panduan yang telah diberikan oleh konstitusi.
Tulisan ini membahas ketentuan di dalam UU No.2/2020 yang melanggar konstitusi. Dibahas juga motif yang diyakini ada di balik pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945, terutama pada Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 12 ayat 2 undang-undang corona Nomor 2/2020.
Pertama, pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 2/2020 disebutkan, pemerintah berwenang menetapkan batasan deficit . Pertama, melampaui batasan 3% dari PDB selama masa penanganan COVID-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan paling lama sampai 2022. Kedua, sejak 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Ketiga, penyesuaian besaran defisit dilakukan bertahap.
Pasal 2 UU Nomor 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Karena meskipun defisit APBN perlu dinaikkan melebihi 3% dari PDB, namun DPR sama sekali tidak dilibatkan menentukan batas besaran defisit tersebut. Padahal, persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak konstitusional budgeting merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budegt dimutilasi, maka kedaulatan rakyat untuk menentukan APBN pun hilang.
Hilangnya hak DPR untuk menentukan defisit, maka nilai maksimum defisit menjadi terbuka tanpa batas. Nilai belanja APBN yang hanya terpusat di tangan pemerintah pun akan ditetapkan nyaris tanpa kontrol. Sehingga, APBN dapat dialokasikan pada program-program pro pengusaha, pro oligarki, tidak prioritas, dan berpotensi moral hazard. Atas nama korona, stabilitas ekonomi dan keuangan, APBN yang sebagian besar ditutup dengan menambah beban utang rakyat, berpotensi diselewengkan dan dikorupsi.
Selanjutnya, pada Pasal 12 ayat 2 UU Nomor 2/2020 dinyatakan, perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Ini mempertegas niat buruk pemerintah menetapkan APBN secara tunggal, sekaligus menjadi alat menyingkirkan DPR ikut membahas APBN. Pemerintah telah bertindak inskonstitusional dan menghalalkan segala cara.
Padahal pada Pasal 23 UUD 1945 disebutkan, kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. RAPBN harus diajukan Presiden untuk dibahas dan disetujui DPR. Dengan pembahasan, maka terjadi proses check and balances, dan APBN dapat pula dialokasikan sesuai prioritas. Ironisnya, DPR malah menyambut baik UU Korona yang telah melucuti haknya sendiri.
Terlepas dari partisipasi DPR dan DPD dalam menetapkan budget, mungkin dapat mengurangi kecepatan mengambil keputusan. Konstitusi telah menjamin bahwa kedua lembaga itu memiliki hak untuk ikut membahas dan menetapkan APBN atau APBN-P setiap tahun. Kondisi memaksa yang dipakai melegalkan eliminasi hak DPR seperti diatur Pasal 2 dan Pasal 12 UU Nomor 2/2020 merupakan perbuatan illegal yang sarat dengan moral hazad.
Menurut logika, tidak mungkin konstitusi dibuat sedemikian rupa, sehingga ketentuan di dalamnya conflicting satu sama lain. Bisa saling meniadakan hanya karena adanya satu sebab, seperti kegentingan yang memaksa pada Pasal 22 UUD 1945. Karena itu banyak kalangan telah menggugat UU Nomor 2/2020 ke Mahkamah Konstitusi, termasuk Komite Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK).
Faktanya, dengan telah ditetapkannya Perppu Nomor 1/2020 menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020, maka pemerintah telah menerbitkan Perpres tentang Perubahan UU APBN 2020, yang selama ini dikenal sebagai undang-undang APBN-P sebanyak dua kali, yaitu Perpres Nomor 54/2020 pada tanggal 3 April 2020 dan Perpres Nomor 72/2020 pada 24 Juni 2020. Kedua Perpres diterbitkan sewenang-wenang oleh pemerintah dalam kurun waktu tidak sampai tiga bulan. Tanpa keterlibatan DPR.
Dari kedua Perpres diperoleh biaya penanganan pendemi korona naik dari semula Rp. 405 triliun menjadi Rp. 695 triliun. Dana dukuangan bidang usaha Rp. 430 triliun lebih besar dibanding kesehatan dan jaring pengaman sosial yang hanya Rp. 291 triliun. Sedangkan defisit APBN, naik dari semula Rp 852 triliun (3,07%) jadi Rp 1.039 triliun (6,34%). Karena pandemi, maka penerimaan negara turun cukup besar dan belanja naik signifikan, sehingga defisit ditutup dengan utang Rp. 1.220 triliun.
Dalam kondisi keuangan negara yang demikian memprihatinkan, yang mestinya dibahas seluruh lembaga terkait, keputusan justru diambil hanya oleh segelintir pejabat di pemerintah. Patut diduga sejumlah lembaga non pemerintah, pengusaha dan konglomerat ikut terlibat mempengaruhi Perpres guna mengamankan kepentingan pengusaha. DPR sengaja dilumpuhkan agar agenda oligarki yang diduga sarat moral hazard berlangsung dengan mulus.
Jika dicermati lebih lanjut, beberapa skandal yang muncul belakangan ini dapat mengkonfirmasi kuatnya peran oligarki dan nuansa moral hazard dalam penyusunan Perpres Nomor 54/2020 atau Nomor 72/2020. Salah satu contoh adalah, Program Kartu Prakerja. Program yang semula mendapat alokasi anggaran berdasar Perpres Nomor 36/2020. Karena banyak protes publik dan temuan penyelewengan KPK, landasan hukum berubah jadi Perpres Nomor 76/2020.
Padahal, menjadikan Perpres sebagai landasan legal tanpa adanya rujukan UU merupakan pelanggaran hukum serius. Terjadi rekayasa busuk. Uang yang seharusnya diberikan secara utuh kepada rakyat, sebagian malah diberikan tanpa lelang kepada delapan provider mitra penyedia pelatihan dengan anggaran Rp. 1.000.000 per orang untuk 5,6 juta orang.
Empat di antara delapan provider tersebut adalah Perusahaan Modal Asing (PMA). Melalui Perpres Nomor 76/2020, pemerintah memaksakan agar sebagian anggaran program ini dapat dinikmati oleh mitra pelatihan yang sebagian berlatar belakang oligarki konglomerat. Artinya, program yang berkedok merakyat sebetulnya ditunggangi kepentingan oligarki pemburu rente.
Padahal modul pelatihan dapat diakses cuma-cuma di internet atau lembaga milik pemerintah. Jika ada empati terhadap penderitaan rakyat yang terdampak pandemi dan temuan KPK diperhatikan, maka tanpa dituntut sekalipun program wajar dihentikan. Namun karena matinya empati, niat korupsi yang besar dan status kebal hukum bersarkan UU Nomor 2/2020, maka program ini tetap dilanjutkan.
Kasus lain adalah tentang perubahan peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Wewenang LPS ditingkatkan sepihak sesuai PP Nomor 33/2020 melebihi ketentuan dalam UU Nomor 4/2004 tentang LPS. Dengan begitu, LPS dapat dimanfaatkan untuk membail-out bank-bank atau perusahaan yang bermasalah sebelum datangnya korona.
Pemanfaatan pasilitas LPS ini bakakan berjalan lancer, karena minimnya prosedur, syarat rujukan dan transparansi. Cara ini mirip megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Negara harus menolong bank dan bisnis para pengusaha yang bermasalah melalui proses yang sarat moral hazard. Akibatnya, mewariskan beban utang besar pada rakyat yang tiada akhir.
Berikutnya adalah pemanfaatan APBN untuk membantu pengusaha. Kebijakan ini melalui dana yang dialokasikan sebagai bantuan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) sebesar Rp. 123,46 triliun, sesuai PP Nomor 23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dana untuk UMKM sebesar Rp. 123,46 triliun itu telah diserahkan secara simbolis Rp. 1 triliun oleh Presiden Jokowi pada 23 Juli 2020 di Istana Negara. Hal yang dikhawatirkan adalah siapa dan bagaimana cara, syarat serta prosedur bantuan ini dijalankan? Kebijakan yang sangat minim pengawasan.
Konsultasi dan pengawasan oleh DPR pasti tidak optimal. Sedangkan dasar kebijakan, peraturan operasional dan syarat pelaksanaan belum tersedia secara komprehensif, sangat berpotensi terjadi moral hazard. Sehingga, sebagian dana bantuan UMKM dapat berfungsi menjadi dana talangan untuk bank atau kredit macet, termasuk sektor properti dan kredit lainnya.
Padahal kredit macet timbul bukan karena pandemi korona. Kredit sudah terjadi jauh sebelum korona datang. Kredir macet sebagai akibat dari pelanggaran terhadap aturan, ignorance, penyimpangan, kegiatan spekulatif. Besarnya dana talangan dapat membesar karena motif untuk keluar dari UMKM.
Dalam PP Nomor 23/2020 disebutkan, bank peserta menyediakan dana penyangga likuiditas untuk bank pelaksana, yakni bank umum konvensional dan bank syariah. Selain itu, bank peserta dapat bertindak sebagai bank pelaksana, yang berfungsi merestrukturisasi kredit dan pembiayaan. Mekanisme seperti ini dapat dianggap sebagai pola talangan atau bailout bank atas nama bantuan UMKM.
Bantuan yang seperti ini tidak mengacu pada persyaratan kondisi darurat, tetapi pada kondisi normal. Akibatnya, bank lebih leluasa mengeruk dana UMKM. Akhirnya, dana bantuan untuk UMKM dapat lebih banyak dinikmati pengusaha besar oligarkis dibanding kepada UMKM.
Uraian di atas telah memperlihatkan bagaimana UU Nomor 2/2020 disusun untuk membuka jalan bagi penggunaan APBN yang pro oligarki. Yang bernuansa moral hazard. Praktek seperti ini sudah biasa dilakukan para pengusaha yang berpengalaman dalam berbagai kasus, terutama megaskandal BLBI. Para veteran perampok BLBI ini sangat berpengaruh. Mereka berhasil mengintervensi penguasa untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002, tentang release and discharge.
Dalam buku skandal BLBI tahun 2008, mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie menceritakan pengalaman pribadinya. Cerita tentang betapa kuatnya pengaruh para konglomerat bersama para menteri yang pro-oligarki membahas penyelesaian kasus BLBI pada November-Desember 2002.
Ada seorang menteri yang mengatakan supaya jangan main-main dengan para pengusaha pengutang BLBI itu. Mereka para konglomerat yang sudah bermain di Hongkong dan Singapura, dengan jaringan yang luas. Jadi, mereka sudah merupakan perusahaan multinasional.
Akhirnya, para konglomerat perampok BLBI memang mendapat status bebas pidana korupsi dari pemerintah yang pro pengusaha melalui Inpres Nomor 8/2002. Mereka ini sekarang tetap berkibar sebagai bagian dari oligarki kekuasaan. Bahkan tumbuh lebih besar dan menggurita.
Saat ini, ikatan oligarki penguasa-pengusaha jauh lebih erat. Lebih menentukan kebijakan penguasa dibanding Era Megawati. Buktinya, karpet merah kebijakan dan peraturan bahkan sudah dipersiapkan sejak awal untuk memuluskan agenda para konglomerat. Jauh sebelum adanya program kebijakan sektor keuangan karena pendemi corona.
Pada Era Jokowi yang mengusung UU Nomor 2/2020, segalanya mudah untuk oligarki, termasuk melumpuhkan DPR. Bahkan yang dilumpuhkan pun malah menerima dengan senang hati. Rakyat tak perlu buang waktu untuk heran. Mari bangkit untuk melawan.
Penulis adalah Kordinator Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMKP)