Nadiem Anak Muda Yang Gagal Paham Pendidikan
by M. Rizal Fadillah
Jakarta FNN – Selasa (28/07). Ketika diangkat menjadi Mendikbud, banyak pihak yang menggelengkan kepala. Karena aneh, kok Jokowi begini cara memilih pembantunya. Keluar dari prinsip "the right man on the right job". Cara pandangnya terlalu pragmatik.
Menteri yang mnengurus pendidikan, bidang pembangunan yang sangat vital dan strategis menyangkut masa depan sumberdaya bangsa diberikan kepada anak muda yang tidak memiliki reputasi di bidang pendidikan. Hanya mampu mengurus Ojek Online.
Demikian juga saat mengangkat para Staf Khusus Presiden. Awalnya mungkin mau disebut hebat dengan memberi kepercayaan pada anak muda. Akan tetapi, lagi-lagi sandarannya sangat pragmatik. Prestasi dan kreasi diukur dengan ruang bisnis.
Ruang guru pun dibisniskan. Akibatnya Belva Devara, sang Staf Khusus Presiden mundur. Uang negara berantakan alias "ambrol-ambrolan". Begitu juga dengan Staf Khusus Andi Taufan, CEO PT Amartha yang mundur juga akibat "main-main" fasilitas negara untuk perusahaannya sendiri.
Nadiem diangkat dengan melecehkan begitu banyak Guru Besar yang dimiliki negeri ini. Melecehkan Ormas, serta para penggiat di bidang pendidikan. Dunia pendidikan dikelola dengan manajemen Ojek Online. Manejemen angkut barang dan orang dengan menggunakan sarana online.
Manejemen yang bukan berorientasi kepada "character building" masa depan bangsa yang panjang. Pilihan mitra pun menjadi salah. Pendekatan bisnis lagi-lagi menjadi prioritas utama. Akibatnya, tata kelola dan manejemen pendirikan menjadi berantakan dan amburadul.
Mundurnya Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), dan Persatuan Guru Repiblik Indonesia (PGRI) dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud adalah bukti batasan kualitas Nadiem. Dana sebesar Rp. 600 miliar tidak teralokasi dengan baik. Kacau balau dan berantakan.
Disinyalir organisasi "abal-abal" yang dijadikan sebagai mitra POP. Nadiem memang tak mampu melihat dengan jernih dan strategis dalam menjalankan programnya. Ya akibat dari orientasi dan cara pandang Nadiem yang pendek itu. Seperti mengelola Ojek Online.
Pilihan mencurigakan juga terindikasi dengan hibah POP dana sebesar Rp. 20 miliar kepada Yayasan milik pengusaha besar Sukamto Tanoto dan Putra Sampoerna. DPR akhirnya turut mempertanyakan. Bagi kedua Yayasan tersebut, nilai hibah itu tentu saja kecil. Akan tetapi publik pasti kecewa.
Pertanyaannya, bagaimana yayasan sekelas Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation bisa diberi hibah oleh Nadiem? Hadiah dari uang rakyat lagi. Uang yang hanya pantas diberikan kepada lembaga atau yayasan yang benar-benar mengabdi bidang pendidikan. Bukan yayasan milik konglomet yang dipakai untuk tempat mencucu uang kotor milik perusahaan. Juga untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak kepada negara.
Sebagaimana prediksi, Nadiem akan menjadi model dari menteri di cabinet Jokowi yang gagal. Anak muda yang dikarbit di tempat yang salah. Desakan mundur bisa terdengar. Meskipun tentu Nadiem bukan satu satunya menteri di cabinet Jokowi yang gagal. Hampir semua menteri Jokowi gagal. Bukankah Presiden pernah marah-marah atas kinerja para menterinya yang gagal itu?
Periode ini tim Presiden memang buruk. Isu resuffle mulai berhembus meski tak jelas realisasinya kapan? Tapi siapapun yang menggantikan menteri yang diresuffle, sepanjang manajemen pengelolaan negara tidak profesional, hanya berorienrasi bisnis, proyek yang dijadikan bancakan, serta hukum yang dimain-mainkan, maka jangan harap ada perbaikan. Apalagi perbaikan itu signifikan.
Fasenya sekarang adalah "decreasing" (menurun) dan "decaying" (membusuk). Nah, kita teringat ucapan Marcus Tullius Cicero, seorang orator, negarawan, filsuf, ahli politik dan hukum di Romawi "Ikan busuk itu mulai dari kepalanya". Cicero berpidato berapi-api tentang korupsi yang merajalela. Para pejabat yang merampas uang rakyat dan moralitas yang terpinggirkan.
Ketika ditanya apa yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi. Dengan lantang tanpa rasa takut Cicero berkata, "potong kepalanya ". Maksudnya buang summber utama kebusukan ikannya.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.