OPINI

Dukungan Untuk Koalisi Menyelamatkan Indonesia

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (03/08). Hari Ahad tanggal 2 Agustus 2020 kemarin tokoh bangsa berkumpul di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Mereka mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, disingkat KAMI. Beberapa tokoh yang hadir antara lain Prof. Dr. Din Syamsuddin, Dr. Ichsanuddin Noorsy, Dr. Said Didu, Prof. Rocky Gerung, Prof. Dr. Refly Harun, Prof. Dr. Husnul Mar’iyah, Dr. Marwan Batubara, Dr. Masri Sitanggang, Habib Mukhsin Alatas, Edwin Sukawati, dan lainnya. Pembentukan koalisi para tokoh ini tentu berangkat dari keprihatinan atas kondisi bangsa Indonesia saat ini. Tata kelola dan penyelenggaraan negara yang telah salah arah. Tidak lagi negara dikelola dan diurus sesuai dengan konstitusi UUD 1945. Tidak lagi berpedoman pada cita-cita dan tujuan bernegara. KAMI patut didukung karena tujuan mulia yang melandasinya. Rakyat Indonesia merasakan bahwa kondisi kini sangat parah. Kondisi ekonomi sudah parah sebelum datangnya corona. Sekarang bertambah parah. Pengguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dimana-mana. Tekanan terhadap kemampuan daya beli masyarakat sangat miris. Pertumbuhan ekonomi jadi minus, karena pemerintah tidak mengertti dan paham cara menciptakan pertumbuhan ekonomi. Pemandangan yang sangat memeprihatinkan terjadi para penegakan hukum. Para penegak hukum semakin parah moralnya. Penegak hukum negeri bisa dengan diatur dan dikendalikan oleh buronan yang berstatus terhukum Djoko Tjandra. Dia bisa dengan mudah mengatur tiga institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Kemenkumham (Imigrasi). Dua institusi lainnya juga diatur dengan mudah oleh Djoko Tjandara, yaitu Ditjen Dikcapil Kemendari dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Warwatan senior Asyari Usman menyebut Djoko Tjandra sebagai pembeli kekuasaan dengan predikat best buyer (FNN.co.id 23 Juli 2020). Artinya, pembeli kekuasaan terbaik. Buronan yang bisa masuk dan keluar dari Indonesia dengan sangat bebas tanpa ditahan oleh aparat penegak hukum. Malah mendapat fasilitas surat jalan untuk kesana-kemari. Keadilan bagi semua semakin jauh dari kehidupan kita. “Kemanusian Yang Adil dan Deradab serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” enteh disumbunyikan dimana? Keadilan hanya bisa dengan mudah dinikmati oleh pemilik kekuasaan dan pembeli kekuasaan terbaik (best buyer). Kondisi politik lebih para lagi. Presiden nyata-nyata telah melanggar konstitusi negara UUD 1945, dengan memutilasi hak budgeting DPR. Namun oleh para politisi kacangan, tengih, kaleng-kelang dan beleng-beleng dianggap sebagai hal yang biasa saja. Sepertinya tidak ada pelanggaran apa-apa terhadap konstitusi UUD 1945. Tragedi politik paling tragis adalah DPR meloloskan usulan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi RUU hak usul inisiatif DPR untuk dibahas bersama pemerintah. Namun setelah mendapat penolakan keras dari masyarakat, khususnya umat Islam, giliran pemerintah yang mengusulkan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ngaco dan ngawur. Sayangnya RUU BPIP masih dengan misi dan tujuan yang sama dengan RUU HIP. Bernapsi sekali untuk menjadikan Pancasila tanggal 1 Juni 1945 sebagai dasar pijakan. Bukan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang berbasis pada konsensus tanggal 22 Juli 1945. Salain itu, RUU BPIP juga bermaksud untuk menepatkan pemerintah dan BPIP sebagai panafsir kebenaran mutlak dari Pancasila. Ini sangat tragis, dan miris wajah perpolitikan kita di bawah pemerintahan sekarang. Wajah sosial kemasyarakatan kita bertambah parah dan kusam. Nilai etika dan kepatutan tidak menjadi hal tabuh dan mamalukan bagi penguasa. Sabaliknya, penguasa dengan enteng melakukan prostitusi politik, kata Rocky Gerung di pertemuan KAMI Ahad kemarin, di kawasan Cilandak Jakrata Selatan. Tragisnya, prostitusi politik itu dilakukan dengan telanjang di depan rakyat. Tidak perlu risih dan malu. Prostitusi politik paling yahud hit dan hot adalah tawaran jabatan penting, di bawah atau setingkat menteri kepada Achamad Purnomo agar tidak maju sebagai Calon Walikota Solo pada Pilkada Desember 2020 nanti. Pasalnya, Achmad Purnomo yang sekarang Wakil Walikota Solo itu menjadi pesaing paling kuat untuk anak Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming. Padahal anak Presiden Jokowi belum punya kapasitas dan kapabilitas untuk jabatan setingkat Walikota Solo. Masih perlu waktu untuk membaca dan belajar yang banyak. Jangan juga hanya komik yang dibaca. Mendingan matangkan diri untuk jualan martabak dululah. Toh, nanti bisa meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sambil jualan martabak. Jangan sampai baru mau belajar tentang tata kelola pemerintahan saat sudah menjabat Walikota Solo nanti. Penguasa sekarang, KKN sepertinya menjadi hal yang biasa dan wajar saja. Tidak lagi hal yang tabuh dan memalukan. Mendukung anak dan menantu untuk Pilkada Walikota Solo dan Walikota Medan tidak dianggap melanggar etika dan norma kapatutan. Sikap yang sangat ditentang oleh Soekarno, Soeharto, Habibie dan Megawati. Terlalu mudah dan gampang untuk Soekarno, Soeharto dan Habibie menjadikan ana-anak mereka menjabat Gubernur, Bupati dan Walikota. Soekarno bisa saja menunjuk anaknya tanpa melalui pemilihan di DPRD. Ali Sadikin jadi Gubenur DKI pertama kali tanpa pemilihan di DPRD. Begitu juga dengan Soeharto dan Habibie. Dengan hanya suara Fraksi Golkar dan ABRI di DPRD saja, sudah lebih dari cukup untuk menjadikan anak-anak Soeharto dan Habibie menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun itu tidak dilakukan Soekarno, Soeharto dan Habibie, karena ada hambatan norma etika dan kepantasan. Begitu juga dengan Megawati. Pada tahun 1999 itu, DPRD DKI Jakarta dikuasai oleh Fraksi PDIP. Namun Megawati tidak mendorong anaknya, Pranda Probowo dan Puan Maharani menjadi Gubernur DKI Jakarta. Yang dijagokan Fraksi PDIP malah pasangan Sutiyoso-Fauzi Bowo. Padahal keduanya adalah produk Orde Baru. Begitulah soal norma etika dan kepantasan itu berbicara. Untuk soal etika ini, kita harus memberikan apresiasi dan penghormatan kepada Soekarno, Soeharto, Habibie dan Megawati. Beda antara langit dan bumi dengan Rezim Jokowi yang memang oligarkhis, bahkan otokratis. Makanya, sangat tepat para tokoh bersikap untuk berkoalisi. Koreksi memang harus dilakukan oleh kekuatan yang solid. Pemerintah Sudah Out Of Orde. Di kalangan umat Islam, semangat korektif sudah terbentuk dengan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang jelas dan tegas. Maklumat dan dalam waktu dekat "tahdzir" akan dikeluarkan MUI. Koreksi atas penyimpangan ideologi oleh kekuatan komunis yang diduga menyusup di pemerintahan dan Partai Politik. MUI sampai pada ancaman aksi besar-besaran (masirah qubro). Sikap MUI tersebut mendapat dukungan luas dari masyarakat, khususnya umat Islam. Pemerintahan Jokowi dinilai sudah "out of order" bertindak berlebihan. Prinsip "negara adalah aku" telah menyuburkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ekonomi politik, dan hukum terasa semakin amburadul dan tak jelas arah. Bak kendaraan yang melaju tak terkendali, karena rem blong dan supir tak mengerti arah mau kemana. Pasrah menuju kecelakaan fatal. Negara harus diselamatkan. Sinyal "SOS" telah berbunyi. Sebenarnya saat tepat untuk Presiden Jokowi mundur dengan terhormat. Demi untuk kebaikan bangsa ke depan. Beri kepercayaan kepada nakhoda atau driver lain yang lebih segar, paham dan mahir. Atau menunggu dahulu koreksi yang lebih keras? Belajarlah dari sejarah. Sebab sejarah mencatat bahwa keterlambatan dalam pengambilan keputusan dapat berakibat pada penyesalan. Bisa jatuh dalam keadaan yang tidak terhormat. KAMI telah terbentuk. Semangat perubahan semakin menguat. Gumpalan perlawanan tidak bisa lagi dianggap ringan. Sebagaimana dukungan kepada MUI untuk menjadi lokomotif perjuangan umat Islam, maka dukungan kepada KAMI pun akan membesar dengan sendirinya. Dekkarasi KAMI Ahad kemarin, mengingatkan publik pada KAMI saat gerakan perubahan politik tahun 1966-an dahulu. KAMI kini adalah untuk masa depan yang lebih baik dan bermartabat. Sejarah selalu berulang. Biasanya kebenaran selalu di pihak yang menang. Kami semua mendukung KAMI. Selamat berjuang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Djoko Tjandra Ditangkap Setelah Tiga Jenderal Korban

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (02/08). Buronan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko S. Tjandra akhirnya tertangkap di Kuala Lumpur Malaysia. Uniknya tertangkapnya Djoko didahului dengan terbongkarnya kasus memalukan Mabes Polri. Bukan institusi Kepolisian. Sejumlah institusi negara lain juga terlibat dalam kasus Djoko Tjandra. Misalnya, Kejaksaan Agung, Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemengri, dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Yang sangaty memalukan itu adalah Mabes Polri memberikan Surat Jalan kepada Djoko Tjandra. Sehingga seorang buronan bisa keluar masuk Indonesia dengan leluasa. Kolusi dengan koruptor yang terhukum tentu saja sangat mencoreng kesatuan Kepolisian. Korban dari perilaku Djoko S Tjandra ini sekurangnya tiga Jenderal Polisi dicopot. Mereka adalah Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte, dan Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo. Yang terberat tentu Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo sebagai pejabat Bareskrim yang menerbitkan Surat Jalan untuk Djoko Tjandra. Publik dapat menilai penangkapan cepat Djoko disebabkan tertekannya Mabes Polri, akibat terbongkar kasus yang berakibat pada pencopotan tiga perwira tinggi polisi. Andai tidak terjadi hal itu, maka diduga akan sulit untuk menangkap Djoko Tjandra. Sebab dia akan terus "dibiarkan" buron dan bebas keluar masuk Indonesia dengan mudah. Peristiwa ini menambah buruk citra kinerja aparat penegak hukum. Bukan hanya Kepolisian tentunya. Sedikitnya ada lima institusi yang negara yang terlibat. Penyalahgunaan kekuasaan semestinya bersanksi hukum berat, agar ada efek jera. Tanpa sanksi hukum yang berat, dipastikan peristiwa seperti ini akan terjadi berulang-ulang lagi. Kasus Djoko Tjandra ini jelas harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh aparat penegak hukum kita. Ada tiga langkah yang dapat diperhatikan dalam perbaikan menyeluruh, khususnya di instansi Kepolisian agar terpulihkan citra dan kinerjanya, yaitu : Pertama, hentikan gagasan "democratic policing" yang implementasnya menjadi sangat multi fungsi di Polisi. Dimasa kini, Polisi menempati berbagai jabatan strategis. Mengingatkan dahulu masa Orba dengan Dwi Fungsi ABRI. Akar dari penyimpangan politik. Sekarang polisi bukan saja dwi fungsi, tetapi malah multi fungsi. Lebih farah dari ABRI dulu. Kedua, menyadari bahwa fungsi Kepolisian sebagai "alat negara". Bukan sebagai "alat pemerintah atau alat penguasa". Jika sebagai alat pemerintah, maka Kepolisian merupakan penegak hukum yang menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik pemerintah, yang sekarang dinilai semakin pragmatis dan tidak demokratis. Ketiga, mengubah kebijakan yang diskriminatif. Kita semua tahu jika Polisi menangani kasus yang dilakukan oleh pengkritisi pemerintah, maka itu proses hukumnya sangat cepat dan kilat. Sebaliknya, jika pelakunya adalah pendukung pemerintah, maka bukan saja lambat tetapi dipastikan segera menguap. Diskriminasi ini harus diakhiri. Kasus Djoko Tjandra menjadi pelajaran penting bangsa untuk kembali mewaspadai bahaya "KKN", yang bukan hanya "Korupsi". Kini nampaknya mulai hilang dua nomenklatur "Kolusi" dan "Nepotisme". Akibatnya, terjadi kolusi masif antara pemerintah beserta "alatnya" dengan para pengusaha atau "cukong-cukong" yang mendukung. Begitu juga marak politik dinasti seperti kasus Gibran dan Bobby Nasution, anak dan mantu Presiden Jokowi. Perlu untuk segera menguatkan landasan hukum bahwa "kolusi" dan "nepotisme" adalah suatu kejahatan atau tindak kriminal. Sebagai Implementasi dari Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001. Undang-Undang mengenai KKN ini mendesak untuk segera dibuat. Munculnya kasus "kolusi" Djoko Tjandra serta "nepotisme" Gibran dan Bobby adalah momentum perbaikan tersebut. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menanti Datangnya Panglima Masirah Qubra (Bag. Kedua)

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Ahad (02/08). Mari kembali melihat jejak sejarah. Sebab Perumusan falsafah negara RI mengikuti proses dialektika. Pada masa sidang BPUPK, golongan sekuler menghendaki negara ini berdasar sekulerisme, dimana Tuhan menjadi urusan pribadi. Tuhan tidak dibawa dalam urusan bernegara. Ini dapat dipandang sebagai tesa. Golongan Islamis menghendaki negara ini berdasa Islam. Dimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lepas dari nilai-nilai agama. Gagasan ini dapat dipandang sebagai anti tesa. Maka lahirlah Piagam Jakarta sebagai sintesa (Pancasila rumusan resmi I). Sebuah naskah kompromi yang tepat disebut “gentlemen’s agreement”. Sebagaimana yang diberikan Sukiman, “RI tidak berdasar sekuler dan bukan berdasar Islam”. Namun Agama diletakkan di tempat terhormat. Pada masa pencoretan tujuh kata dari Piagam Jakarta untuk ditetapkan pada 18 Agustus 1945 ((Pancasila rumusan resmi II), sulit untuk disebut proses dialektika. Sebab, prosesnya berjalan kurang wajar. Namun perlu diingat, setelah pengakuan Belanda terhadap Indonesia, konstitusi 18 Agustus 1945 ini hanya berlaku di satu negara RIS (Pancasila rumusan resmi III). Selanjutnya, tidak berlaku sama sekali setelah RI bersama negara-negara bagian lainnya membubarkan diri untuk membentuk NKRI berkat Mosi Integral Natsir yang menandai berlakunya UUDS 1950 (Rumusan IV). Padahal perdebatan di Konstituante, bolehlah. Anggota konstituante kembali terbelah dua. Golongan sekuler mendukung Pancasila, yang bisa di sebut sebagai tesa. Tetapi perlu diingat pula, Pancasila yang dimaksud oleh golongan sekuler tidak merujuk pada rumusan tertentu. Tidak soal apakah rumususan pribadi Sukarno tanggal 1 Juni 1945, atau rumusan resmi II, III atau IV. Yang pasti, bukan rumusan Piagam Jakarta. Rumusan Piagam Jakarta mereka tolak keras seolah bukan rumusan Pancasila. Padahal, itulah rumusan resmi I tentang falsafah negara. Ini dibuktikan oleh pidato tokoh-tokoh PNI di Dewan Konstituante. Ketua Umum PNI, Soewirjo, misalnya, mengatakan, “saya tidak hendak membicarakan runtutan sila-sila atau susunan kata-katanya. Soal ini bagi PNI tidak merupakan soal yang prinsipil”. Tokoh PNI lainnya, Roeslan Abdoelgani menyatakan, “Ketuhanan disebut belakangan hendaknya jangan kemudian ditarik menjadi kesimpulan, seakan-akan dasar ini hendak kita belakangkan. Jauh daripada itu dia sekadar menuruti sistematik penjelasan saja”. Pidato Roeslan Abdoelgani tentu saja merujuk pada rumusan Pribadi Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Sedangkan Golongan Islamis menghendaki kembali ke Piagam Jakarta (Pancasila rumusan resmi I). Ini dapat dipandang sebagai anti tesa. Rasio perimbangan suara antara sekuler (tesa) dan Islamis (anti tesa) adalah 5 : 4 (dalam angka kongkrit, 264 : 204). Di dalam suara golongan sekuler ada 80 suara angota PKI, yang sebenarnya sebagbagai atheis. PKI adalah pendukung Pancasila yang palsu, tulis Endang Saifuddin Anshari. Maka jika pihak sekuler dikurangi suara komunis, perbandingan menjadi 184 : 204 atau 9 : 10. Dalam sidang-sidang Konsituante, PKI sangat gigih menolak segala sesuatu yang berbau Islam. Ketuhanan, kata Aidit, adalah berarti kebebasan beragama. Yang berti pula kebebsan untuk tidak beragama. Juga kebebasan untuk mengajak orang untuk tidak beragama. Maka dari itu Dekrit Presiden 5 Juli 1959, meski atas dasar kekuasaan, dapat dipandang sebagai sintesa. Sebab, dekrit menyatakan kembali ke UUD 1945 dengan menyebut, “bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Satu konsideran yang tentu saja sangat tidak disukai oleh PKI. Jadi, Dekrit Prsiden menjadi Pancasila rumusan resmi V, atau rumusan terakhir adalah Pancasila 18 Agustus 1945 yang jiwanya adalah Piagam Jakarta. Bukan Pancasila tanggal 1 Juni 1945, sebab itu berarti menolak Dekrit 5 Juli 1959. Tampaknya para pengusung RUU HIP yang sekarang berlanjut dengan RUU BPIP mengajak bangsa ini kembali kepada dialektika awal. Diakletika masa-masa perdebatan di BPUPK. Mereka memperjuangkan sekulerisme sebagai tesa. Maka, agar terlahir sintesa baru, Gerakan Masirah Qubra, yang sedang menanti kedatangan Panglimanya. Tidak ada pilihan lain. Panglima Masirah Qubra harus dengan gigih memperjuangkan negara ini berdasar Pancasila 18 Agustus 19454. Ini tidak bisa terelakan. Sebab kalau Umat Islam kalah, atau tidak melakukan perlawanan, Indonesia akan menjadi sekuler-komunis. Kalau Umat Islam menang, negara tetap berdasarkan Pancasila konsensus 18 Agustus 1945. Dimana Piagam Jakarta, yang setidaknya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipertahankan. Selanjutnya, mengingat pertarungan dialektika ini menyangkut Falsafah NKRI. Bukan RI, maka segala yang berkaitan dengan Pancasila, baik itu rancangan produk hukum maupun lembaga, yang diusung oleh pihak lawan tarung harus dipandang sebagai satu kesatuan yang ditolak. Sebab, tidak sesuai dengan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Peta jalan menuju sempurnanya penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu dimulai dari terbitnya Keppres no 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila. Keppres ini telah digunakan sebagai landasan dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku. Selanjutnya terbit lagi Perpres no 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, yang kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Penguasa telah menjurus pada penafsir tunggal Pancasila. Bahkan secara terang-terangan melalui Ketua BPIP yang menyatakan musuh Pancasila adalah agama. Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah jelaskan di atas. Terakhir, lahir RUU BPIP yang akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak lawan tarung. RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket. Makanya, BPIP tidak berkemomentar terhadap upaya penggantian Pancasila dalam RUU HIP. Oleh karena itu, sekali lagi, semua gagasan dan niat busuk yang ada di peta jalan penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu harus ditolak. Ini memerlukan Panglima Masirah Qubra yang tidak saja berani, tetapi juga cerdas dan tangkas yang didukung oleh semua lapisan umat Islam. Selamat berjuang Panglima Masirah Qubra. Selamat dan silahkan memimpin pertempuran yang berat, dan sangat menentukan ini. Tantang paling berat untuk bangsa dan negara menanti Panglima. (habis) Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn.

Kenangan Ibadah Haji Bersama Pak Harto (Bag. Kedua)

by Imron Pangkapi Jakarta FNN – Ahad (02/08). Sampai di Makkah saya terkejut bukan kepalang. Hampir semua hotel hotel besar di Makkah dipasang bendera Merah Putih dan lambang PT Tiga Utama. Ratusan bis Sapco Saudi yang mewah dibalut dengan bendera Merah Putih dan Tiga Utama. Musim haji tahun 1991 agaknya Makkah-Madinah dikuasai dengan jemahaah Haji dari Indonesia. Kami mendapat jatah di Hotel Aziz Qohair. Posisinya persis di seberang jalan layang. Kini, baik hotel maupun jalan layangnya sudah dibongkar. Posisinya sekitar belakang Tower Zamzam sekarang. Puluhan wartawan, petugas TPHI juga diinapkan di hotel ini. Saya bertemu keluarga besar Bintang dari Ujung Pandang. Ada Zainal Bintan, Firman Bintang, Ilham Bintang, dan banyak sekali tokoh dari Sulawesi. Sejumlah Guru Besar dari Universitas Hasanudin (Unhas) juga ada di sini. Saya jadi akrab dengan Prof. Halide. Sering bergandeng ke mesjid dengan beliau. Saya satu kamar dengan wartawan Republika Zaim Uchrowi, Masduki Badawi dan lain-lain. Sesak, karena di satu kamar ada sepuluh orang melantai. Hari pertama umrah, selepas thawaf dan sya'i hampir seharian saya tidak keluar dari pelataran Baitullah. Puas saya menangis melepas rindu. Tahun tahun sebelumnya saya mengikuti teraweh di Masjidil Haram melalui RCTI masih pakai decoder. Hari ini Ka'bah di depan mata saya. Suhanallaah walhamdulillaah ya robbii. Saya sedang memandang keberasan dan kemuliaan Baitullah. Melafadzkan begitu banyak rasa syukur. Allah SWT memberikan kemudahan yang luar biasa kepada saya. Kemudahan yang di luar perhitungan yang normal. Hanya dalam waktu enam hari sejak bertemu sahabat Muhammad Buang, proses perjalanan haji saya begitu lancar. Tiba-tiba saya teringat kepada Pak Domo. Bergemuruh jiwa saya. Waktu itu Pak Domo masih penganut Kristen Protestan. Beliau belum kembali ke Islam. Di depan Baitullah itu saya bermunajat agar beliau mendapat hidayah dari Allah SWT. Subhanallaah, dua tahun kemudian Pak Domo betul-betul datang ke Baitullah. Sebagai petugas haji Tiga Utama, saya membantu semua apa yang dapat dilakukan. Ikut membagikan kain ikhram bagi jamaah dari kamar ke kamar. Mengantar jamaah yang kesulitan mencari hotelnya. Saya juga selalu membawa semprot air untuk menyiram siapa saja yang kepanasan. Waktu itu cuaca sangat ekstrem. Suhu siang hari mencapai 50 drajat. Tanggal 8 Dzulhijjah, pagi-pagi saya bersama petugas Tiga Utama Muchlis Hasyim dan kawan-kawan, kami sudah berangka ke Arafah. Kami harus duluan mempersiapkan kedatangan Presiden Suharto dan jamaah Tiga Utama. Ada ratusan tenda Tiga Utama. Berkibar bendera Merah Putih di Padang Arafah. Khusus untuk Pak Harto disediakan tenda transit. Tidak jauh dari tenda utama Khotbah Wukuf. Pada masa itu, kualitas AC belum sesempurna seperti zaman sekarang. Untuk pendinginan masih tambahan menggunakan kipas angin raksasa dan bantuan semprot air. Saya harus siaga sebagai petugas semprot air. Pada hari wukuf itu, Pak Harto dan rombongan tiba di tenda Tiga Utama sekitar pukul 11.00. Pak Harto, Ibu Tien beserta seluruh anak-mantu dan kerabat dekat. Tutut dan suaminya Indra Rukmana. Bambang dan isterinya Halimah. Tomi dan Mamik masih culun. Saya ingat Prabowo suami Titik, masih muda belia dan gagah. Mereka semua mengenakan pakaian ikhraam. Pak Harto didampingi sejumlah Jenderal, antara lainPangabTry Sutirsno, Danseskoad Letjend Faisal Tandjung, Pangkostrad Mayjend Wismoyo Arismunandar. Ada juga tiga Gubernur yang terus bersama Pak Harto. Mereka adalah Gubernur Jawa Barat Yogie S Memet, Gubernur Sumut Raja Inal Siregar dan Gubernur Sumsel Ramly Hasan Basri. Adapun Ajudan Presiden Kolonel Wiranto terus melekat di samping Pak Harto. Begitu juga dengan Ketua Tim TPHI Kolonel Hendro Priyono. Saya berada di tenda transit. Sekali-sekali berdiri menyemprotkan air. Setengah jam kemudian, pukul 11.30, kami sudah di tenda utama. Saya bertugas di saf atau barisan kedua, persis di belakang Menseneg Murdiono. Kemana-mana saya membawa "senjata" alat semprot penuh air bersih. Setelah semua jamaah berada di tenda utama, berulah Pak Harto masuk. Beliau hanya berdua Pak Ande Abdul Latief. Jamaah tertegun. Pak Harto mengucapkan salam dan langsung masuk ke tenda utama. Sedangkan Ibu Tien Suharto berada di bagian belakang yang dikhususkan untuk jamaah wanita. Kamipun wukuf bersama Pak Harto dalam satu tenda. "Al-hajju, Arofah" (Haji itu Wukuf di Arafah). Khotbah Wukuf disampaikan oleh KH Qosim Nurseha dan Sholat Jum’at dipimpin KH Hikmatullah. Banyak yang menangis ketika KH Qosim Nurseha menyampaikan khotbah Wukuf. Di mana-mana terdengar isyak tangis. Di tengah keheningan rangakaian ibadah wukuf itu, saya sekali-sekali berdiri untuk menyemprotkan air. Serrrr.....! Sekitar pukul 14.00, Pak Harto dan rombongan inti pindah ke Tenda Raja Saudi di atas Bukit Arafah. Mereka melanjutkan wukuf di tempat yang disediakan pemerintah Saudi. Sejumlah tentara baret merah Saudi Arabia, dengan senjata terhunus siaga mengawal Pak Harto. Setelah Pak Harto pergi, ternyata ada satu jenderal tertinggal yaitu Gubernur Sumel Ramly Hasan Basri. Saya kenal secara pribadi dengan beliau ini. Kami sesama orang Sumsel. Karena itu saya menemaninya. Beliau "sengaja" tertinggal, karena ingin bertemu isterinya yang berhaji ikut rombongan jamaah Sumsel. Zaman itu belum ada google maaps. Mencari alamat tenda Sumsel seperti membaca "peta buta". Hampir saya dan Pak Ramly tersesat. ...Musim Haji tahun 1991 berbeda dengan keadaan sekarang. Rukun melempar jumrah penuh sesak, tapi lancar. Ketiga jumrah (wusta, ula dan aqabah) masih berupa tugu/tiang. Tingginya sekutar tiga meter. Lebarnya tidak lebih satu meter. Ketika lima tahun kemudian saya datang berhaji lagi, ketiga jumrah sudah berubah. Berbentuk cawan. Batu-batu bekas lemparan masuk ke bawah. Sekarang, sejak sepuluh tahun terakhir, ketiga-tiga jumrah sudah berubah total. Diperlebar model tembok pilar. Lebih mudah melemparnya. Saya punya pengalaman indah menikmati Masjidil Haraam lama. Saya senang sekali sholat dari berbagai penjuru. Sambil berdoa agar dapat sholat dari seluruh arah belahan muka bumi. Sholat dari berbagai benua. Menghadap dari Timur, Barat, Utara Selatan. Dari delapan penjuru mata angin. Pada bagian pelataran Ka'bah masih ada kolam air zam-zam. Kita bisa turun ke basement yang persisi di bawah Ka'bah. Ratusan cangkir dirantai di sekitar keran air zam-zam. Jamaah bisa dengan mudah berwudhu di situ. Pernah suatu kali saya ingin tahu, darimana sumber air zamzam itu? Saya memutar semua area basement. Ternyata di lorong bawah tanah ada mesin penyedot dengan pipa dragon sebesar pohon pohon kelapa. Ada petugas teknisi di ruangan balik kaca standby 24 jam. Zaman kini air zam-zam sudah tersebar dalam gentong di seluruh penjuru Masjidil Haram dan Mesjid Nabawi. Subhanallah, rindu sekali sama Baitullah...rindu lagi untuk ziarah ke Rosulullah SAW... Penulis adalah Wartawan Senior.

Jinakkan Segera “Independensi Bank Sentral”

by Dr. Margarito Kamis (Bagian Akhir) Jakarta FNN – Sabtu (01/08). Bukan pemerintah, karena Wilson telah terkoneksi ke dalam “London Connection” jauh sebelum dirinya dicalonkan jadi Presiden, tetapi rakyat Amerikalah yang terkecoh. Seluruh kerusakan, setidaknya ketidaksenangan bankir terhadap serangkaian pembatasan kebijakan perbankan, yang diatur dalam National Banking Act 1864, berakhir dan hilang sudah. Kewenangan mengatur dan membuat kejebijakan deposito, penerbitan bond, bank notes, bond antar bank, deposito, termasuk bunga deposito, tabungan biasa, begitu juga pasar sekunder, pengelolaan inflasi, hilang sudah. Kewenangan di bidang-bidang itu, yang diberikan oleh National Banking Act 1864, dan diletakan pada Kementerian Kuangan, terhapus sudah. The Federal Reserve Act, dasar pendirian The Federal Reserve, yang tidak lain adalah Bank Sentral model Paul Warburg itu, kini memegang kewenangan itu. Praktis kewenangan-kewenangan itu beralih seluruhnya kepada Bank Sentral. Terencana dengan baik, terorganisasi dengan baik, memperhitungkan semua deteilnya, itulah kecanggihan oligarki ini mengamputasi kewenangan pemerintah. Untuk mengunci, dalam makna memastikan pemerintah tak bisa ikut campur merancang kebijakan sistem keuangan, The Federal Reserve, yang tidak lain adalah Bank Sentral itu diberi status “independen”. Bagaimana oligarki ini menemukan dan menyodorkan status “independensi” sebagai benteng itu? Adakah praktik bernegara yang dapat dijadikan pijakan analoginya? Siapa yang mengotakinya? Apakah Wilson, presiden yang juga profesor Hukum Administrasi Negara itu? Tak ada penjelasan kongklusif. Tetapi Wilson menyadarinya. Kesadaran itu diungkapkan oleh Kolonel House, sahabat Wilson. Seperti dikutip Mullins, House menjelaskan dia dan presiden Woodrow Wilson tahu bahwa dengan ditandatanganinya The Federal Reserve Act, dalam kata-katanya, they have created an instrument more powerfull than the Supreme Court. Logis menilai status ini “independen” The Federal Reserve, terilhami oleh status konstitusional Supreme Court. Apalagi Kolonel House dalam lanjutan pernyataannya, yang dikutip Mullins memperlihatkan dengan jelas “status independen” dirancang untuk mencegah campur tangan pemerintah. Pernyataannya The Federal Reserve Board of Governors actualy comprise a “Supmere Court” (tanda petik dari saya), of Finance. Kolonel House dalam pernyataan lanjutannya menyatakan ”and there was no appeal from any of their rulings. Terkoneksi dalam ekspektasi yang sama, Wilson, sang Prersiden pada kesempatan lain menyatakan, dalam kata-katanya “our system of credit is concentrated in the Federal Resrve”. William L. White, penulis biografi Bernard Baruch, menyatakan sejarah akan menunjukan pada suatu hari konstitusi terhenti. Konstitusi diganti dengan UU mengatur rakyat Amerika. Dan kebebasan kita, diurus oleh sekelompok kecil Bankir Internasional. Hemat saya pernyataan ini membuktikan kekhawatiran Thomas Jeferson, yang disampaiklan lebih dari seabad sebelumnya beralasan. Dalam kasus Amerika, seorang republikan yang memiliki garis politik berbeda dengan rekan-rekannya, memberi penilaian refleksif yang menarik. UUD, katanya tidak mengotorisasi Bank Sentral merebut kontrol terhadap kebijakan keuangan, termasuk pengeluaran masyarakat, hingga Kongres mengotorisasinya kepada The Federal Reserve. Ia menunjuk Kolonel House dan Paul Warburg berada dibalik skenario ini. Memang ekspektasi oligarkis ini, tidak tercapai secara sempurna. Itu disebabkan dewan gubernur, dapat ikut ditentukan oleh pemerintah. Tetapi, diakui sendiri oleh Wilson ini merupakan kompromi. Dan Paul Warburg, pada kesempatan lain sesudah itu, mengakui, akan dilakukan penyesuaian. Tetapi apapun itu, The Federal Reserve telah menyandang status “independen”, status yang sama persis dengan Mahkamah Agung. Hebatnya status The Federal Reserve itu tidak dinyatakan dalam konstitusi, melainkan hanya dalam UU. Logis menyatakan ekspektasi oligarki terhadap status “independen” The Federal Reserve punya dua tujuan. Pertama, disatu sisi membatasi campur tangan pemerintah dalam kebijakan keuangan. Kedua, disisi lain, kebijakan keuangan sepenuhnya menjadi kewenangan Bank Sentral. Excecutive bussines secara konstitusional menjadi terbatasai dengan sendirinya. Pembatasan itu dilakukan, sekali lagi, melalui UU, khususnya The Federal Resrtrve Act. Dan ini semua, sejauh uraian pada artikel sebelumnya dapat dilacak hingga sejarah Golorius Revolution 1688 di Inggris. Kebijakan dan urusan keuangan yang sebelum revolusi sepenuhnya dikonsentrasikan pada Raja atau Ratu, dialihkan ke parlemen. Kewenangan ini diatur dalam UU, dan UU (Tonage Act 1694) diatur pendirian bank. Terilhami oleh praktik ini, Oligarki Keuangan Internasional memastikannya lebih jauh, yaitu mengonsentrasikan kewenangan memuat kebijakan keuangan pada Bank Sentral. Pemerintah dikeluarkan dari urusan ini. Pada titik ini menarik dilihat dari sudut rezim hukum. Inggris tak punya konstitusi tertulis. Berbeda dengan Amerika, juga Indonesia. Karena Inggris tak punya konstitusi tertluis, maka UU dapat, dengan apapun itu, diandalkan untuk mengatur apa saja yang hendak di atur. Amerika disisi lain memilki konstitusi tertulis, tetapi dalam kenyataannya Konstitusi ini tidak mengatur Bank Sentral. Ini lopholenya. Lophole ini dikenal betul oleh Bakir Internasional, yang telah terkoneksi dengan sejumlah ahli hukum, ekonomi dan politik. Menariknya Amerika, sebagaimana Inggris jauh sebelumnya, telah mengkeramatkan doktrin Rule of Law. Semuanya berdasarkan hukum dan UU. Nalarnya? Asal diatur dalam UU, maka semua menjadi sah. Pakailah UU mengatur The Federal Resetrve. Toh konstitusi dalam kenyataannya tidak mengatur Bank Sentral, maka benar diatur melalui UU. Hebat, sekaligus betapa berbahayanya doktrin rule of Law itu, bila tidak dikenali dengan cermat, dan digunakan dengan cara yang penuh bijaksana. Doktrin ini bisa dijadikan bank sampah, penampung semua ekspektasi busuk, sebagaimana penciptaan The Federal Reserve, yang tidak lain adalah ekspektasi International Bankir menciptakan uang. Jangan lupa, uang merupakan komoditi menurut penilaian J. P Morgan. Dan dalam penilaiannya pula setiap orang memiliki kecenderungan berhutang. Menciptakan bank, denghan kewenangan merancang sendiri kebijakan keuangan, maka kredit, sebagaimana diakui sendiri oleh J.P. Morgan dapat dimobilisasi. Paul Warburg, beberapa tahun setelah kehadiran Bank Sentral, meyakinkan publik Amerika dengan pernyataan yang terlihat logis. Sesudah perang dunia pertama, dalam penilaian Warburg, menujukan pentingnya Bank Sentral, memiliki fungsi strategis. Fungsi itu, salah satunya adalah membiayai perang dunia. Tragisnya Indonesia ikut-ikutan mengatur, dalam konstitusi UUD 1945 setelah empat kali diubah, Bank Sentral berstatus independen. Persis The Federal Reserve, Bank ini memegang kewenangan dibidang sistem keuangan. Persis The Fed’s, pemerintah tak bisa ikut campur dalam urusan ini. Tepatkah ini? Apapun alasannya, hemat saya, tidak. Bank Sentral tidak bertanggung jawab pada rakyat, termasuk kelangsungan bangsa ini. Tanggung jawab ini dipegang oleh Prediden dan DPR. Disisi lain, artikel di atas memperlihatkan pada batas yang jelas. Kehadiran Bank Sentral bukan kehendak rakyat. Kehadiran Bank adalah hasil ciptaan para oligarkis, bankir swasta internasional. Tujuannya agar mereka bebas merancang kebijakan keuangan untuk menciptakan uang, memperbesar keuntungan mereka. Titik. Tak lebih. Status ‘independen” yang disandang Ban Sentral, analogi dari status Mahkamah Agung, tidak punya maksud teknis apapun, selain hanya memastikan “oligarki-oligarki ini ingin bebas sebebasnyanya” merancang kebijakan keuangan. Itu saja. Semua argumen yang berkembang, dan disajikan dalam setiap pembicaraan tentang Bank Senral dan sistem keuangan, hampir seluruhnya ciptaan kelompok oligarki ini. Inflasi yang hendak dikendalikan oleh Bank Sentral, dalam sejarahmya, terutama sesudah The Federal Reserve itu tak terbukti. Justru sebaliknya terus terjadi. Apa yang seharusnya dilakukan sebagai respon atas masalah ini? Pendefenisian kembali “status, khususnya bobot atau jangkauan independensi bank sentral” harus dilihat sebagai pilihan yang masuk akal. Bangsa ini tidak bisa menyerahkan nasibnya, kelangsungannya ditentukan oleh Bank Sentral. Perubahan UU Bank Sentral, karena itu terasa pantas dilakukan. (Selesai). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Lawan Neo PKI Dan Komunisme Berbaju Pancasila

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (01/08). Mengadu domba, fitnah, pemutarbalikkan fakta, dan memusuhi agama, baik ajaran agama maupun ulama adalah gaya PKI. Juga gaya kader Komunis dalam menjalankan misi, melalui yang disebut dengan agitasi dan propaganda. Kasus Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sampai pembakaran baliho bergambar Habib Rizieq Shihab adalah aktualisasi misi di saat kiwari. Hura-hura ala Gerwani ikut mewarnai berbagai aksi seperti itu. Dulu itu Masyumi, HMI, Ormas Islam dan para ulama menjadi sasaran penting dari propaganda PKI. Dijadikan sebagai batu loncatan yang juga penting untuk konsolidasi diri menuju pembentukan "angkatan kelima". Angkatan yang diusulkan oleh PKI untuk juga dipersenjatai. Pola-pola agitasi model PKI itu sekarang hidup lagi dalam bentuk dan yang berbeda. Yang sekarang rajin sekali berteriak “saya atau kami Pancasila”. Persis seperti PKI dulu yang rajin berteriak-teriak membela Pancasila. Bahkan Ketua PKI Diva Nusantara Aidit menulis buku dengan judul “Membela Pancasila”. Kini "hantu-hantu" itu dibuat kembali oleh neo PKI dan kader kader Komunis. Isu radikalisme, kaum intoleran, khilafah, dan HRS adalah "musuh buatan" untuk konsolidasi kekuatan kaum kiri baru. Di tengah krisis ekonomi dan kesehatan, bangsa Indonesia dibuat gerah oleh pertumbuhan gerakan komunisme yang terlihat lebih masif. Ada upaya untuk kembali bangkit. Presiden Jokowi terlihat yang diam saja menyikapi situasi ini. Mimbar Istana tidak digunakan bersikap. Bahkan cenderung menafikan kondisi yang telah menggelisahkan umat Islam tersebut. Kenyataan ini mengingatkan kita pada Soekarno yang "berapologi" tentang pentingnya keberadaan dan pertumbuhan PKI di Indonesia. Pidato Soekarno yang berjudul "subur subur suburlah PKI", telah menjadi dan memberikan angin segar bagi PKI untuk kelak mencoba mengkudeta kekuasaan. Membunuh para Jenderal TNI Angkatan Darat. PKI juga membunuh para kiyai, ulama dan santri. Dalam menghadapi gerakan neo PKI dan Komunis sekarang, Presiden Jokowi harus belajar dari Soekarno. Peran dan posisi Soekarno yang hingga kini masih misterius dalam peristiwa G 30 S PKI, tidak boleh diulangi oleh Presiden Jokowi. Harus bersikap dan punya posisi yang jelas. Tidak boleh abu-abu. Umat Islam juga dituntut peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi perubahan politik. Perubahan yang mungkin saja lebih cepat dari yang diperkirakan. Sebab keberadaan neo PKI dan komunisme bukan kekuatan yang harus dipandang kecil. Tidak bisa diremehkan atau ditertawakan. Umat Islam harus berada pada posisi siaga satu. Sebab menjadi sangat berbahaya bila menghadapi kebangkitan neo PKI dan komunisme di tengah rezim yang lemah tingkat kepeduliannya. Bahkan rezim terkesan permisif pada pergerakannya. Untuk itu, umat Islam harus selalu siap sedia menghadapi datangnya kemungkinan terburuk. Umat Islam pada kondisi tertentu nyatanya harus berjuang sendirian. Sementara insitusi kenegaraan bungkam atau dibungkamkan. Bahkan terkesan malah protektif terhadap kebangkitan gerakan neo PKI dan komunisme. Tak ada sinyal atau peringatan untuk mewaspadainya. Sampai sekarang, Presiden Jokowi belum sekalipun berpidato dari mimbar Istana Negara yang menyinggung soal kebangkitan neo PKI dan bahaya komunisme. Bahkan Presiden malah nyaman-nyaman saja bergaul dengan "mbah"nya komunis, negara Cina. Walaupun dengan daya dukung politik yang kecil, umat Islam akan tetap menjadi garda terdepan dalam melawan bangkitnya neo PKI dan komunisme. Bersama dengan elemen masyarakat anti komunis lainnya, dipastikan siap bergerak untuk melawan dan membasmi musuh agama, musuh bangsa, dan musuh negara. Pemerintah seharusnya "alert" terhadap penyusup mahir neo PKI dan faham komunisme. Mereka adalah para penyamar ideologi musang berbulu ayam. Pendusta kebenaran, kejujuran dan keadilan. Umat Islam dan elemen anti komunis telah meniup pluit untuk berjalan di rel perlawanan. Pemerintah harus berada pada posisi bersama menghadapi gerakan neo PKI dan faham komunisme. Akan tetapi jika pemerintah tidak mau bersama, maka jangan menghalangi di depan. Jika menghalangi juga, maka kereta akan terus bergerak dengan cepat. Kereta akan menabrak dan menggilas siapapun yang menyiapkan diri menjadi penghalang. Untuk yang menjadi kader neo PKI dan komunisme, tak ada toleransi dan negoisasi dengan kalian. Militansi adalah spirit nurani menghadapi kalian, tidak bisa ditawar. Sebagaimana biasa ketika melawan penjajah, berlaku prinsip "hidup atau mati". "Kill or to be killed". Hidup mulia atau mati syahid. UmatIislam tak akan pernah gentar atau mundur bila menghadapi neo PKI dan faham komunisme. Berjuang dan berkorban adalah ibadah. Untuk mendapatkan ridlo Ilahi. Syurga-Nya Allah telah setia menanti. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Papua, Maluku Raya Dalam Genggaman Kolonialisme Baru

by M. Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Sabtu (01/08). Keinginan untuk “merdeka” oleh banyak orang Papua, juga mulai mengemuka di kalangan orang Maluku. Bila ditelusuri, belakangan ini sejatinya ada kaitannya dengan upaya penyelamatan diri dari kanker ganas prilaku oligarki yang telah melilit Indonesia sejauh ini. Oligarki yang telah menguasai dan mengendalikan hampir semua sendi-sendi tata kelola kekuasaan negara. Oligarki yang dibangun dan dikendalikan oleh sekelompok orang (Baca: Taipan), berkelindan dengan kekuasaan yang korup. Oligarki yang menjadikan Partai Politik sebagai alat untuk membentuk undang-undang sesuai keinginan mereka. Oligarki yang menjadikan ajang demokrasi untuk mengendalikan kekuasaan negara. Contoh paling kasat mata dan telanjang adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) sapu jagad Omnu Bus Law Cipta Kerja. Ada lagi Undang-Undang Minermba yang baru disahkan, dengan masa perpanjangan 90 tahun secara otomatis. Yang paling akhir, terlihat nyata para Oligarki menitipkan kepentingan mereka di Perppu Nomor 1/2020 yang telah menjadi Undang-Undang Nomor 2/2020. Kasus Djoko Tjandra yang baru-baru ini turut menyeret sejumlah jenderal polisi, merefleksikan betapa buruknya tata kelola pemerintah Indonesia. Tidak kurang tiga institusi negara urusan penegak hukum dan dua Kementerian dilempari mukanya dengan (mohon maaf) kotoran manusia yang biasa dibuang di toilet. Lembaga negara urusan penegakan hukum itu adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, ditambah Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perhubungan. Semua menjadi lima instansi negara. Setelah dilempari lima institusi negara ini dengan kotoran buangan manusia, Djoko Tjandara pun kabur dengan mudah ke luar negeri. Cenrteng-perenang itu bisa dilihat dari implikasi dan kenyataan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia kini menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Angka ketimpangan ini berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse tahun 2017 lalu. Menempatkan Indonesia berada di peringkat ke empat negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia. Ini fakta yang tak bisa ditepis. Itu hanya sedikit diantara persoalan ketoimpangan yang mengemuka. Namun soal-soal lain yang tak kalah lebih mendasar, utamanya persoalan distribusi keadilan, latar sejarah politik hingga praktik diskriminasi paradigma pembangunan yang keliru. Penilaian ini tentu akan disetujui jika mau berangkat dari cara pandang yang berlandaskan hati nurani. Situasi yang mengemuka hari ini sebenarnya adalah puncak dari ketamakan. Selain itu, dinafikannya eksistensi masyarakat lokal dan kepentingan daerah (Timur) Papua dan Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara) selama puluhan tahun. Sayangnya, kesempatan emas yang telah diberikan untuk mengelola negara sesuai “kesepakatan” tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa yang telah diberikan amanat oleh rakyat. Lebih lanjut, melihat kondisi eksisting, dengan geopolitik terkahir, justru membuat luka semakin dalam. Kenyataan ini diperparah dengan kadar resistensi masyarakat lokal, serta pola pendekatan politik yang justru salah dan ngawur. Pendekatan yang tidak mengutamakan dan menghidupkan potensi, kekayaan dan kearifan lokal. Pendekatan yang hanya mengandalkan keamanan semata. Untuk itu, Papua layak diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. Bisa saja lewat mekanisme referendum yang terbuka dan transparan. Sementara Maluku harus segera diberikan otonomi khusus (Otsus) untuk memperpendek jarak ketertinggalan yang sudah sangat lebar. Sekali lagi, ini demi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Intergrasi wilayah tak berarti apa-apa tanpa ada integrasi sosial. Bahkan yang terjadi hanyalah eksploitasi sumber daya alam, memperkaya segelintir kelompok penguasa dan oligarki tertentu. Sementara anak kandung dari daerah-daerah yang dikuras itu tetap dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Papua dan Maluku Raya hari ini, bila mau jujur adalah potret dari bersemayamnya kolonialisme gaya baru. Praktek kolonialisme yang dibungkus dengan semangat nasionalisme semu. Mendistribusikan dengan telanjang kekayaan daerah untuk kaum oligarki. Namun masyarakat Papu dan Maluku Raya hanya bisa menyaksikan proses kolonialisme semu di depan mata. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Generasi tercerahkan dan pemimpin politik hari ini, terutama dari Indonesia, tak bisa lepas tangan. Tidak bisa membiarkan kondisi ini terus berlangsung tiada akhir. Seperti mengabaikan orang yang sedang sekarat di pembaringan. Namun masih tetap menunda kematiannya. Sementara sejarah akan merekam dan mencatat semuanya. Hari-hari ini, kalau dilihat dengan kacamata kemanusiaan dan kejujuran tingkat dewa, maka akan terbaca dengan jelas. Hampir semua orang Papua asli, menginginkan penentuan nasib sendiri. Jika pun ada yang menolak gagasan ini, bisa jadi hanyalah kelompok kepentingan yang kebetulan sedang mendapat keuntungan dari intergrasi yang ada. Namun hati kecilnya pun ingin turut ambil bagian. Sementara pada sisi yang lain, Indonesia terlihat tidak menunjukan upaya yang penting, strategis dan berarti untuk mengendalikan situasi yang ada. Tidak terlihat ada pendekatan yang prima, relevan, adil, bermartabat dan manusiawi. Tampak hanya pendekatan keamanan semata. Pendekatan yang terus menelan korban manusia, baik itu yang meninggal dunia maupun yang luka-luka. Gagalnya penerapan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua yang hampir 20 tahun terkahir ini, serta pelanggaran HAM yang terus terjadi dan mengiringinya, adalah fakta yang tak terbantahkan. Sejarah peradaban manusia telah membuktikan serta mengajarkan pada kita bahwa melakukan kontrol dengan cara paksa, dan eksploitasi besar-besaran pada sumber daya alam hanya akan berujung pada kegagalan yang tidak bermartabat. Prilaku ketidakadilan pada satu wilayah dan masyarakatnya, pasti akan berakhir dengan sendirinya. Maka pilihannya adalah, apakah hendak diakhiri dengan cara tragis? Penuh dengan pertumpahan darah dan air mata? Seperti yang pernah terjadi di Timor Leste? Begitu juga yang terjadi Bosnia-Herzegovina? Yang kemudian berakhir dengan merdeka lewat satu referendum? Atau melalui referendum dengan cara yang damai seperti di Singapura, yang akhirnya memilih untuk berpisah dari Malaysia tahun 1963. Setelah disintegrasi, masing-masing pihak bisa hidup dengan damai. Hidup secara berdampingan sebagai sahabat bagi yang lain. Bahkan saling mendukung dan menguntungkan. Mungkin pula bisa seperti Skotlandia yang pada tahun 2014 menggelar referendum. Apakah rakyatnya setuju untuk memisahkan diri dari persemakmuran Inggris atau tidak? Ternyata hasilnya kurang dari 50 persen rakyat Skotlandia yang menginginkan merdeka. Sementara masih lebih banyak rakyat Skotlandia menginginkan berada di bawah naungan Ratu Elizabeth. Itu adalah pilihan politik yang dapat diambil, dan sejumlah konsekuensi politik yang bakal mengikutinya. Referendum dalam pelaksanaannya, tidak mesti hasilnya adalah berpisah atau disintegrasi. Ada pula yang tetap memilih inklud. Pastinya ini adalah cara yang paling damai. Karena menyerahkan sepenuhnya satu entitas bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Memang akan sulit, mengingat kekayaan Papuan yang besar. Tentu saja sangat berat bagi Indonesia, bila harus membuka ruang untuk melepas Papua begitu saja. Tetapi ini adalah pilihan yang jauh lebih menusiawi, efektif dan efisien daripada moncong senapan dan angkatan perang. Moncong senapan hanya mempetaruhkan nyawa, serta menjadi catatan sejarah yang buruk dan hitam. Menjelang hari kemerdekaan Nergara Republik Indonesia, sepertinya kita perlu sama-sama membaca dan merenungi kembali kutipan indah dalam pembukaan UUD 1945, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Atau kita perlu pula merenungi paham nasionalisme yang dikembangkan Soekarno, yakni nasionalisme yang mencerminkan sikap anti terhadap kolonialisme dan imperalisme. Nasionalisme yang berdasarkan pada atau lahir dari menselijkheid. “Nasionalismeku adalah perikemanusiaan”, kata Soekarno mengutip pendapat Gandhi. Pandangan yang mengajarkan pada kita bawah nasionalisme seberapa pun tingginya, harus tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan. Itu artinya kemanusiaan dan memanusiakan manusia, termasuk terhadap orang Papua, juga orang Maluku Raya, jauh lebih penting dari agenda apapun, temasuk dari proyek nasionalisme ala Indonesia itu sendiri. Satu hal yang perlu menjadi catatan bersama, sebagai penutup sudut pandang ini. Bahkan bila perlu digarusbawahi dengan tinta merah adalah "bahwa kemerdekaan dan keadilan, dimanapun itu harus tetap diperjuangkan. Tidak bisa menunggu untuk diberikan. Apalagi menunggu diberikan oleh oligarki dan kolonislisme gaya baru". Pilihannya hanya dua. Diam itu tertindas, atau bangkit dan melawan sebagai pilihan. Saatnya bagi generasi hari ini untuk menuliskan catatan dan penggalan sejarahnya sendiri. Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC).

Gerombolan Boedi Djarot, Vandalisme Khas Komunis

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Peristiwa aksi 27 Juli 2020 di depan Gedung DPR oleh "kelompok merah" yang jumlahnya sedikit saja membuat kehebohan. Yang aneh adalah asinya menyerang figur Habib Rizieq Shihab. Menistakan gambar atau baliho HRS dengan menginjak-injak, membakar dan merobeknya. Api yang tidak bisa membakar baliho bergambar HRS menjadi keunikan tersendiri. Padahal baliho HRS telah disirami dengan minyak, entah minyak bensin atau minya tanah. Tetap saja haliho yang kainnya sangat mudah terbakar itu tidak bisa terbakar. Kelompok merah ini dipimpin oleh Sekjen GJI Boedi Djarot adiknya Eros Djarot. Walaupun umat Islam tidak semua sefaham dengan langkah dan perjuangan HRS, akan tetapi penistaan terhadap HRS sebagai tokoh atau ulama cukup membuat umat Islam prihatin. Membuat gara-gara apa "kelompok merah" ini? Simpati kepada HRS dipastikan akan muncul dari mana-mana. Bahkan dari yang bukan muslim. Simpati dan pembelaan terhadap HRS bukan hanya dari organisasi yang dipimpinnya, yaitu FPI. Tetapi dipastikan lebih luas dari FPI, khususnya dari kalangan umat Islam. Sekurangnya para alumni 212 akan bersikap untuk mendukung HRS. Jumlahnya jutaan pasti puluhan juta. Militansi umat yang tinggi dalam melawan perilaku zalim. Sebab kelompok dan gerombolan merak Boedi Djarot layak untuk dikecam. Telah membuat kegaduhan baru di tengah banyaknya kegaduhan di negara ini. Bara permusuhan telah diciptakan. Terlepas dari motif yang mendasari gerombolan Boedi Djarot. Apakah memancing, ekspresi dendam, atau lainnya? Namun pembakaran atau perusakan secara demonstratif baliho bergambar HRS dinilai sangat tidak bermoral. Reaksi balasan diperkirakan bakal terjadi. Sebelumnya pelaku pembakaran bendera PDIP masih misterius. Bisa yang membakar adalah peserta aksi yang kontra terhadap RUU HIP. Namun bisa dari susupan PDIP sendiri. Bisa pula memang pihak ketiga yang memancing situasi agar semakin mamanas. Yang jelas peringatan "kudatuli" menunjukkan kenanehan tersendiri. Sebab tiba-tiba saja berfokus pada perusakan dan penistaan baliho yang bergambar HRS. HRS sendiri rasanya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan peristiwa 27 Juli tersebut. Bahkan mungkin saja mengutuk keras peristiwa tersebut. Aada tiga kemungkinan konsekuensi dari penistaan dengan percobaan pembakaran dan perusakkan secara terencana baliho bergambar HRS oleh gerombolan Boedi Djarot ini, yaitu : Pertama, dilaporkan ke pihak Kepolisian prilaku Boedi Djarot cs. Tetapi dipastikan proses pengusutan tidak akan berjalan serius. Kasus Ade Armando, Abu Janda, dan Denny Siregar adalah contoh. Jadi, para simpatisan dan pendukung HRS jangan terlalu berjarap banyak dari kemungkinan pertama. Kedua, dilakukan pencarian sendiri terhadap Boedi Djarot cs oleh massa pendukung HRS. Tujuannya untuk meminta pertanggungjawaban atas perbuatan penistaan yang dilakukan oleh gerombolan Boedi Djarot ini. Ketiga, bisa saja budaya bakar bakar dan perusakan baliho atau poster terhadap tokoh menjadi kebiasaan. Pembalasan misalnya, dengan membakar baliho Megawati atau Djarot atau tokoh lain yang diduga terlibat dirusak, diinjak-injak, atau dibakar pula. Ke depan bisa saja baliho Presiden Jokowi, Menteri atau pejabat lain juga diperlakukan sama. Ini tentu sangat tidak sehat. Bila tidak ada langkah baik dari kekuatan politik protektor "kelompok merah" maupun aparat penegak hukum, maka isu bahwa perusakan dan pembakaran itu dilakukan oleh gerombolan neo PKI atau aktivis komunis bisa saja menggelinding. Modus adu domba sangat kentara. Yang dirobek, diinjak-injak, atau dibakar pada hakekatnya tidak lain adalah nilai-nilai moral. Gaya brutal dan vandalisme seperti ini menjadi karakter khas gerakan komunisme. Wajar rakyat Indonesia harus mulai waspada dan siaga. Neo PKI dan Komunisme mulai dan sedang bergerak. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menanti Datangnya Panglima Masirah Qubra (Bag. Pertama)

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Kondisi sekarang ini adalah pertarungan. Kalau umat Islam kalah, negeri ini bakal menjadi sekuler-komunis. Untuk itu perlu Panglima yang berani, cerdas dan tangkas menghadapi situasi ini. Fenomena ngototnya fraksi tertentu di DPR RI untuk meneruskan pembahasan RUU HIP – meski masyarakat beserta ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU, bahkan MUI seluruh Indonesia telah menyatakan menolak keras. Namun muculnya usul pemerintah tentang RUU BIP, membuktikan satu hal, “pertarungan mengenai falsafah negara belum selesai”. Masih ada kelompok yang sungguh-sungguh belum rela menerima Dekrit Presiden 1959. Diakuinya keberadaan Piagam Jakarta dalam Dekrit itu, diduga keras menjadi sebab utama penolakan mereka terutama penganut faham sekulerisme dan komunisme. Padahal, Dekrit 5 Juli 1959 ini diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955 pada 22 Juli 1959. Dengan demikian, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah satu-satunya rumusan falsafah negara yang disahkan oleh satu badan yang langsung dipilih oleh rakyat. Tambahan lagi, tujuh tahun kemudian, 19 Juni 1966, Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong menjustifikasi Dekrit Presiden 5 Juli itu dan pada tanggal 5 Juli 1966 oleh MPRS ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS no XX/MPRS/1966. Dengan kekuasaan yang dimiliki, pengusung sekularisme ingin memaksakan kehendak. Ingin mengganti falsafah negara yang sah berlaku saat ini, yakni rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Penggantinya adalah falsafah yang terinspirasi dari pidato usulan Ir Soekarno pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945, yang oleh Endang Saifuddin Anshari (1983) disebut “Konsep Rumusan Pribadi”. Rumusan Soekarno 1 Juni 1945 adalah rumusan tidak resmi. Di dalam RUU HIP, konsep rumusan pribadi itu dinampakkan dalam wajah materialism yang terang. Menyingkirkan Tuhan dalam membangun Indonesia. Kalau pun mau ber-Tuhan, maka Tuhan harus dikurung dalam kebudayaan. Ilmu dan Teknologi lebih utama dari Tuhan. Gila dan sinting konseptornya. Tentu ini adalah serangan ekstrem radikal terhadap NKRI. Pertama, mengabaikan falsafah negara yang resmi ditetapkan melalaui Dekrit dan sah masih berlaku. Kedua, bertujuan membalikkan sistem nilai yang sudah mendarah-daging jauh sebelum bangsa ini merdeka ke arah yang bertolak belakang. Membalikan ke arah membelakangi nilai-nilai Tuhan. Indonesia hidup dengan berke-Tuhan-an bukanlah bermula dari terumuskannya Piagam Jakarta. Sama sekali bukan. Ke-Tuhan-an itu sudah menjadi jiwa masyarakat Indonesia berabad sebelum Indonbesia merdeka. Bagi Umat Islam, Ke-Tuhan-an malah menjadi spirit utama untuk mengusir penjajah. Piagam Jakarta hanya mengukuhkan apa yang menjadi sistem nilai yang hidup di tengah masyarakat itu. Berupaya menjadikannnya hukum positif. Ambillah periode yang paling dekat, tahun 1928. Tahun dimana para pemuda Indonesia bersumpah bertanah air dan berbangsa serta berbahasa satu. Di situ dinyanyikan lagu dengan syair “ bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya”. Disadari betul, bahwasanya jiwa-ruhani perlu dibangun sebagai kekuatan perlawanan menentang penjajah. Bukan fisik ansich. Mimpi para pemuda dulu itu, adalah Indonesia merdeka yang terbangun jiwa dan badannya, ruhani dan fisik-jasmaninya. Membangun jiwa-ruhani lebih utama, agar pembangunanfisik-jasmani memiliki arti buat kehidupan. Pembangunan bukan untuk pembangunan, tetapi untuk manusia yang mendiami Indonesia. Jiwa-ruhani hanya bisa dibangun dengan ajaran Tuhan. Tidak bisa dengan matematika, fisika, kimia atau sebutlah sains dan teknologi. Sains teknologi tanpa Tuhan akan melahirkan manusia tanpa hati. Manusia robot, atau paling banter seperti hewan terlatih. Ini sangat mengerikan. Indonesia akan menjadi belantara gedung pencakar langit yang dihuni oleh manusia hewani. Survival of the fittest, kata Charles Darwin. Yang kuat yang bertahan hidup. Memangsa sesamanya tanpa belas kasih. Begitulah hewan, begitulah falsafah orang tak ber-Tuhan. Merubah kesepakatan dengan kekuasaan, tanpa menghiraukan jeritan komponen bangsa yang menjadi stake holder, pada hakekatnya adalah penindasan. Penindasan penguasa terhadap rakyat, dan itu adalah penjajahan. Sebuah kejahatan kemanusiaan yang sesungguhnya kita tolak sesuai alenia pertama Pembukaan UUD 1945. Lebih menyakitkan dari Penjajahan sebelumnya, karena justeru dilakukan bangsa sendiri. Tetapi memang, begitulah tabiat pertarungan. Setiap orang berupaya keras melumpuhkan lawannya hingga tidak berkutik. Itu sah belaka. Apalagi petarungnya menganut faham bebas nilai alias tidak berke-Tuhan-an. Menghadapi petarung yang begini, adalah satu kebodohan bila berharap mereka akan mengikuti aturan main. Jangan berharap ada perasaan tersentuh mendengar jeritan dan suara kecewa serta keluh kesah. Bertarunglah sampai mampus. Tidak akan ada belas kasih. Sebab mereka adalah manusia tanpa hati. Dimana ilmu dan teknologi menjadi alat pembunuh bagi mereka. Sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk memerdekakan Indonesia, maka wajib ikut betanggungjawab melestarikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Selama ini umat Islam memang terlalu polos. Selalu saja berprasangka baik. Tidak pernah merasa bertarung. Tidak sadar kalau mereka diposisikan sebagai lawan oleh kelompok tertentu. Akibatnya, ketika kena “pukulan” keras, mereka cuma berkeluh kesah, kesal dan kecewa. Bertanya “kenapa kami diperlakukan begini ?”. Dalam konteks RUU HIP yang menjadi RUU BIP, adanya upaya untuk menyamakan khilafah dengan komunisme. Misalnya, masih ada umat Islam yang menilai, ini disebabkan kelompok tertentu itu dungu, bodoh, tidak faham tentang Pancasila dan khilafah. Inilah pertanda tidak sadar bahwa mereka sedang menghadapi pertarungan. Menganggap lawan bertindak tanpa rencana, tanpa perhitungan dan tujuan. Kalau umat Islam sadar bahwa mereka sedang bertarung, pastilah bersiap-siap menghadapinya. Siap menerima dan mengelakkan “serangan”. Bahkan siap pula melakukan serangan balik. Tidak ada tempat berkeluh kesah dan kecewa di situ. Yang ada, adalah : lawan tetap saja lawan. Harus lawan sampai menang atau menyerah kalah. Kalau mujahid, pilihannya menang atau mati dalam pertarungan. Isy kariman au mut syahidan. Artinya, hidup mulia atau mati syahid, kata Wakil Ketua MUI Pusat, KH Muhyiddin Junaidi. Itulah orang yang sadar. Sebagai pemimpin umat, KH Muhyiddin patut dan sudah seharusnya mendeklarasikan itu. Apa yang telah dialami umat Islam selama perumusan falsafah negara, baik masa RI maupun masa NKRI. Kenyataan ini ditambah dengan perlakuan pemerintah terhadap umat Islam atas nama Pancasila selama Indonesia merdeka adalah menyakitkan. Selama ini umat Islam berlapang dada menerima itu sebagai sebuah kenyataan dalam dinamika hidup berbangsa dan bernegara. Tetapi kalau sampai ada upaya ekstrim dengan kekuasaan, sehingga membuang falsafah negara yang telah disepakati dengan jalan susah payah, ceritanya bisa menjadi lain lagi. Apalagi menggantinya dengan sesuatu yang sudah ditolak, maka itu sudah sampai pada batas tidak dapat tertolerir lagi. Wajib untuk adanya melakukan langkah Masirah Qubra, Isy kariman au mut syahidan. (bersambung). Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn.

Kenangan Ibadah Haji Bersama Pak Harto (Bag. Pertama)

by Emron Pangkapi Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Tahun 1991 Presiden Suharto menunaikan ibadah Haji bersama dengan keluarga.Beliau tidak menggunakan fasilitas kenegaraan. Rombongan Pak Harto berangkat haji menggunakan biro perjalanan haji PT Tiga Utama, pimpinan Ande Abdul Latief. Perjalanan Haji Pak Harto menjadi berita besar. Apalagi disertai juga dengan Ibu Tien, yang oleh sebagian masyarakat masih termakan isue yang meragukan ke-Islamannya. Pengumuman Pak Harto akan berangkat menunaikan ibadah Haji, menjadi daya tarik peningkatan jumlah jamaah Haji Indonesia yang luar mbiasa.Apalagi Haji Tahun 1991 di bulan Juni itu, diyakini sebagai Haji Akbar, karena wukuf jatuh di hari Jumat. Pada haji tahun 1991 itu belum ada ketentuan tentang quota haji. Sebanyak yang mau berangkat, Arab Saudi tak mempersoalkalnya.Sejumah pejabat, Anggota DPR, tokoh masyarakat, artis dan pengusaha ramai ramai mendaftarkan diri untuk berhaji di tahun yang sama dengan Presiden Suharto. Waktu itu saya baru berusia 34 tahun, bekerja sebagai wartawan di Harian Media Indonesia. Untuk tugas liputan perjalanan Haji Presiden Suharto, Media Indonesia sudah menugaskan wartawan Muchlis Hasyim dan Ahmad Satiri, dua wartawan Media Indonesia yang bertugas di Kementerian Agama. Muchlis Hasyim disamping sebagai wartawan, juga adalah kerabat dari Ande Abdul Latief, pemilik Tiga Utama. Karenanya dia sekaliigus ditugaskan sebagai kordinator wartawan yang akan meliput perjalanan haji Presiden Suharto. Ayahanda Muchlis Hasyim, Ustadz Ambo Mukhlis, adalah Perwakilan PT Tiga Utama di Makkah. Seminggu sebelum jadwal keberangkatan keloter terakhir, saya menghadiri acara walimatus safar untuk melepas keberangkatan sahabat saya, tokoh PPP Muhammad Buang SH. Ketika itu Buang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi V DPR RI yang membidangi perhubungan. Beliau akan berangkat haji menjelang keloter terakhir. Muhammad Buang bercerita tentang PT Garuda Indonesia yang akan menambah penerbangan ekstra karena jumlah jamaah yang membeludak. "Kalau kau mau ikut, bisa kuusakan tiketnya", kata Buang kepada saya. Mendengar tawaran Buang, saya bak tersengat lebah. Saya langsung menyambar tawaran luar biasa itu. Saya pikir, urusan lain menyusul. Yang penting terima dulu. Pendek cerita, esoknya saya membawa surat Wakil Ketua Komisi V DPR Muhammad Buang menghadap Direktur Niaga PT Garuda Indonesia, Pak Razali di Kebun Sirih. Tidak banyak cincong. Hanya dalam 30 menit saya sudah mendapatkan tiket Garuda Jakarta - Jeddah PP di penerbangan reguler. Pada masa itu Garuda Indonesia mengeluarkan tiket komersial berwarna merah. Berbentuk buku yang tipis atau kupon. Sedangkan tiket saya berupa kertas warna putih lembaran. Dikenal dengan nama "tiket putih". Tiket yang jenis ini hanya biasa dikeluarkan Garuda Indonesia khusus untuk para pejabat. Setelah tiket di tangan dan paspor yang memang sudah tersedia, saya segera begerak menemui Pak Ande Abdul Latif di kantor PT Tiga Utama Gedung Sangga Buana depan Segitiga Senen. Dengan menyerahkan tiket dan paspor, saya mohon kepada beliau agar dapat ikut serta berangkat beribdah haji dengan Tiga Utama. Masya Allah, seperti dalam mimpi. Pak Ande Abdul Latief tidak banyak Tanya sana-sini.Beliau memandang saya agak tertegun. Kemudian langsung memberi keputusan. “Kau berangkat sebagai petugas Haji”. Dia kemudian teriak ke stafnya agar paspor saya segera diproses untuk mendapatkan visa di Kedutaan Arab Saudi. Hari itu juga saya diperintahkan Pak Ande ke Gudang PT Tiga Utama yang di Jalan Proklamasi (seberang Bioskop Megaria). Saya ke sana untuk mendapatkan seluruh fasilitas jamaah Haji Tiga Utama. Saya dapat koper besar, koper kecil dan semua perlengkapan Haji di musim panas. Hanya saja untuk tanda pengenal sebagai panitia harus dikordinasikan dulu dengan pihak keamanan. Karena Pak Harto dan keluarga berhaji menggunakan fasilitas Tiga Utama. Ada sedikit screening terhadap semua petugas. Boss saya di koran Media Indonesia terkejut, karena saya minta izin berangkat Haji. Adapun untuk perjalanan dinas, Media Indonesia sudah menugaskan dua wartawan. Sehingga tidak ada lagi tambahan wartawan. Saya berangkat melalui jalur istimewa. Saya hanya dapat izin belaka, “jawab saya kepada boss. Karena berangkat dadakan, saya tidak mempunyai persiapan yang memadai. Banyak kawan yang heran prosesnya begitu cepat. Isteri dan anak anak saya kaget bukan kepalang. Antara percaya iya atau tidak... Kebetulan saya wartawan yang sehar-hari bertugas di lingkungan Politik, Hukum dan Kemanan (Polkam). Menko Polkam pada masa itu Pak Laksamama Sudomo. Saya sudah kenal beliau sejak Wapangab merangkap Pangkopkamtib. Saya datang ke Pak Domo memberitahu bahwa saya akan berangkat haji dan absen selama dua puluh hari dari kegiatan liputan lingkungan Polkam. Dijawab Pak Domo, koq ndak bilang jauh jauh hari? “Ya sudah, besok jam enam pagi datang ke sini, "perintah Pak Domo. Lepas subuh saya sudah di kantor Menko Polkam di jalan Merdeka Barat. Jam enam Pak Domo sudah tiba di kantor. Sambil jalan ke ruang kerjanya, Pak Domo memberi nasehat “bertugas yang bagus, dan ibadah haji yang sungguh sungguh”. Bertemu Pak Domo lima menit itu membuat badan terasa melayang. Ternyata amplop berisi dolar dari Pak Domo cukup untuk biaya hidup selama dua bulan di Saudi Arabia. Saya hampir melompat karena kegirangan yang luar biasa. Tiba-tiba saya ingat kepada ibunda saya di kampung. Saya memang sudah lama tak pulang ke Bangka. Sementara waktu keberangkatan ke Makkah tinggal tiga hari lagi. Saya putuskan, dari kantor Menko Polkam meluncur ke Ayumas Gunung Agung untuk mendapatkan rupiah dan riyal. Selanjutnya dari Ayumas Gunung Agung, saya go show ke Bandara Cengkareng untuk terbang ke Pangkal Pinang, karena mau berpamitan mohon restu kepada bundaku. Di Pangkal Pinang hanya satu hari. Begitu banyak titipan doa para kerabat yang minta dilafadzkan di depan Baitullah. Bahkan ada yang sudah ditulis di kertas doa yang hendak diucapkan. Maklum perjalanan haji adalah ibadah sakral bagi orang di kampung kami. Pada tahun 1991 itu, bundaku dan seluruh saudaraku belum ada yang pergi berhaji. Pada hari keberangkatan itu, enam jam sebelum jadwal terbang, saya sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta. Tak sabar rasanya, ingin cepat sampai di tanah suci Makkah. Kami ikut penerbangan reguler khusus untuk ONH Plus. Sedang rombongan jamaah biasa berangkat via Bandara Halim Perdanakusumah. Di pesawat Boeing 747 Garuda itu, saya bertemu begitu banyak orang terkenal yang akan menunaikan ibadah haji. Ada menteri, dirjen, anggota DPR, artis, pengusaha dan lain-lain.Saya ingat ada Menparpostel Susilo Sudarman, pengusha Bob Hasan, Setiawan Djodi dan rombongannya (Rhoma Irama, WS Rendra KH Zainudin MZ, KH Nur Muhammad Iskandar). Ada artis satu kampung dengan saya Rafika Duri. Tiba di Jeddah, saya bergabung dengan Petugas Haji Tiga Utama, dibawah kordinasi Direktur "D" Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI Kolonel Hendro Priyono. Kami menginap semalam di Jeddah. Baru setelah itu mengambil miqat untuk umrah pertama dan selanjutnya berhaji tamatu'. (bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior.