Gerombolan Boedi Djarot, Vandalisme Khas Komunis

by M Rizal Fadillah

Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Peristiwa aksi 27 Juli 2020 di depan Gedung DPR oleh "kelompok merah" yang jumlahnya sedikit saja membuat kehebohan. Yang aneh adalah asinya menyerang figur Habib Rizieq Shihab. Menistakan gambar atau baliho HRS dengan menginjak-injak, membakar dan merobeknya.

Api yang tidak bisa membakar baliho bergambar HRS menjadi keunikan tersendiri. Padahal baliho HRS telah disirami dengan minyak, entah minyak bensin atau minya tanah. Tetap saja haliho yang kainnya sangat mudah terbakar itu tidak bisa terbakar. Kelompok merah ini dipimpin oleh Sekjen GJI Boedi Djarot adiknya Eros Djarot.

Walaupun umat Islam tidak semua sefaham dengan langkah dan perjuangan HRS, akan tetapi penistaan terhadap HRS sebagai tokoh atau ulama cukup membuat umat Islam prihatin. Membuat gara-gara apa "kelompok merah" ini? Simpati kepada HRS dipastikan akan muncul dari mana-mana. Bahkan dari yang bukan muslim.

Simpati dan pembelaan terhadap HRS bukan hanya dari organisasi yang dipimpinnya, yaitu FPI. Tetapi dipastikan lebih luas dari FPI, khususnya dari kalangan umat Islam. Sekurangnya para alumni 212 akan bersikap untuk mendukung HRS. Jumlahnya jutaan pasti puluhan juta.

Militansi umat yang tinggi dalam melawan perilaku zalim. Sebab kelompok dan gerombolan merak Boedi Djarot layak untuk dikecam. Telah membuat kegaduhan baru di tengah banyaknya kegaduhan di negara ini. Bara permusuhan telah diciptakan.

Terlepas dari motif yang mendasari gerombolan Boedi Djarot. Apakah memancing, ekspresi dendam, atau lainnya? Namun pembakaran atau perusakan secara demonstratif baliho bergambar HRS dinilai sangat tidak bermoral. Reaksi balasan diperkirakan bakal terjadi.

Sebelumnya pelaku pembakaran bendera PDIP masih misterius. Bisa yang membakar adalah peserta aksi yang kontra terhadap RUU HIP. Namun bisa dari susupan PDIP sendiri. Bisa pula memang pihak ketiga yang memancing situasi agar semakin mamanas.

Yang jelas peringatan "kudatuli" menunjukkan kenanehan tersendiri. Sebab tiba-tiba saja berfokus pada perusakan dan penistaan baliho yang bergambar HRS. HRS sendiri rasanya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan peristiwa 27 Juli tersebut. Bahkan mungkin saja mengutuk keras peristiwa tersebut.

Aada tiga kemungkinan konsekuensi dari penistaan dengan percobaan pembakaran dan perusakkan secara terencana baliho bergambar HRS oleh gerombolan Boedi Djarot ini, yaitu :

Pertama, dilaporkan ke pihak Kepolisian prilaku Boedi Djarot cs. Tetapi dipastikan proses pengusutan tidak akan berjalan serius. Kasus Ade Armando, Abu Janda, dan Denny Siregar adalah contoh. Jadi, para simpatisan dan pendukung HRS jangan terlalu berjarap banyak dari kemungkinan pertama.

Kedua, dilakukan pencarian sendiri terhadap Boedi Djarot cs oleh massa pendukung HRS. Tujuannya untuk meminta pertanggungjawaban atas perbuatan penistaan yang dilakukan oleh gerombolan Boedi Djarot ini.

Ketiga, bisa saja budaya bakar bakar dan perusakan baliho atau poster terhadap tokoh menjadi kebiasaan. Pembalasan misalnya, dengan membakar baliho Megawati atau Djarot atau tokoh lain yang diduga terlibat dirusak, diinjak-injak, atau dibakar pula. Ke depan bisa saja baliho Presiden Jokowi, Menteri atau pejabat lain juga diperlakukan sama. Ini tentu sangat tidak sehat.

Bila tidak ada langkah baik dari kekuatan politik protektor "kelompok merah" maupun aparat penegak hukum, maka isu bahwa perusakan dan pembakaran itu dilakukan oleh gerombolan neo PKI atau aktivis komunis bisa saja menggelinding. Modus adu domba sangat kentara. Yang dirobek, diinjak-injak, atau dibakar pada hakekatnya tidak lain adalah nilai-nilai moral.

Gaya brutal dan vandalisme seperti ini menjadi karakter khas gerakan komunisme. Wajar rakyat Indonesia harus mulai waspada dan siaga. Neo PKI dan Komunisme mulai dan sedang bergerak.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

763

Related Post