Menanti Datangnya Panglima Masirah Qubra (Bag. Pertama)
by Dr. Masri Sitanggang
Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Kondisi sekarang ini adalah pertarungan. Kalau umat Islam kalah, negeri ini bakal menjadi sekuler-komunis. Untuk itu perlu Panglima yang berani, cerdas dan tangkas menghadapi situasi ini.
Fenomena ngototnya fraksi tertentu di DPR RI untuk meneruskan pembahasan RUU HIP – meski masyarakat beserta ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU, bahkan MUI seluruh Indonesia telah menyatakan menolak keras. Namun muculnya usul pemerintah tentang RUU BIP, membuktikan satu hal, “pertarungan mengenai falsafah negara belum selesai”.
Masih ada kelompok yang sungguh-sungguh belum rela menerima Dekrit Presiden 1959. Diakuinya keberadaan Piagam Jakarta dalam Dekrit itu, diduga keras menjadi sebab utama penolakan mereka terutama penganut faham sekulerisme dan komunisme. Padahal, Dekrit 5 Juli 1959 ini diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955 pada 22 Juli 1959.
Dengan demikian, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah satu-satunya rumusan falsafah negara yang disahkan oleh satu badan yang langsung dipilih oleh rakyat. Tambahan lagi, tujuh tahun kemudian, 19 Juni 1966, Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong menjustifikasi Dekrit Presiden 5 Juli itu dan pada tanggal 5 Juli 1966 oleh MPRS ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS no XX/MPRS/1966.
Dengan kekuasaan yang dimiliki, pengusung sekularisme ingin memaksakan kehendak. Ingin mengganti falsafah negara yang sah berlaku saat ini, yakni rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Penggantinya adalah falsafah yang terinspirasi dari pidato usulan Ir Soekarno pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945, yang oleh Endang Saifuddin Anshari (1983) disebut “Konsep Rumusan Pribadi”.
Rumusan Soekarno 1 Juni 1945 adalah rumusan tidak resmi. Di dalam RUU HIP, konsep rumusan pribadi itu dinampakkan dalam wajah materialism yang terang. Menyingkirkan Tuhan dalam membangun Indonesia. Kalau pun mau ber-Tuhan, maka Tuhan harus dikurung dalam kebudayaan. Ilmu dan Teknologi lebih utama dari Tuhan. Gila dan sinting konseptornya.
Tentu ini adalah serangan ekstrem radikal terhadap NKRI. Pertama, mengabaikan falsafah negara yang resmi ditetapkan melalaui Dekrit dan sah masih berlaku. Kedua, bertujuan membalikkan sistem nilai yang sudah mendarah-daging jauh sebelum bangsa ini merdeka ke arah yang bertolak belakang. Membalikan ke arah membelakangi nilai-nilai Tuhan.
Indonesia hidup dengan berke-Tuhan-an bukanlah bermula dari terumuskannya Piagam Jakarta. Sama sekali bukan. Ke-Tuhan-an itu sudah menjadi jiwa masyarakat Indonesia berabad sebelum Indonbesia merdeka. Bagi Umat Islam, Ke-Tuhan-an malah menjadi spirit utama untuk mengusir penjajah.
Piagam Jakarta hanya mengukuhkan apa yang menjadi sistem nilai yang hidup di tengah masyarakat itu. Berupaya menjadikannnya hukum positif. Ambillah periode yang paling dekat, tahun 1928. Tahun dimana para pemuda Indonesia bersumpah bertanah air dan berbangsa serta berbahasa satu. Di situ dinyanyikan lagu dengan syair “ bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya”.
Disadari betul, bahwasanya jiwa-ruhani perlu dibangun sebagai kekuatan perlawanan menentang penjajah. Bukan fisik ansich. Mimpi para pemuda dulu itu, adalah Indonesia merdeka yang terbangun jiwa dan badannya, ruhani dan fisik-jasmaninya. Membangun jiwa-ruhani lebih utama, agar pembangunanfisik-jasmani memiliki arti buat kehidupan. Pembangunan bukan untuk pembangunan, tetapi untuk manusia yang mendiami Indonesia.
Jiwa-ruhani hanya bisa dibangun dengan ajaran Tuhan. Tidak bisa dengan matematika, fisika, kimia atau sebutlah sains dan teknologi. Sains teknologi tanpa Tuhan akan melahirkan manusia tanpa hati. Manusia robot, atau paling banter seperti hewan terlatih. Ini sangat mengerikan. Indonesia akan menjadi belantara gedung pencakar langit yang dihuni oleh manusia hewani. Survival of the fittest, kata Charles Darwin. Yang kuat yang bertahan hidup. Memangsa sesamanya tanpa belas kasih. Begitulah hewan, begitulah falsafah orang tak ber-Tuhan.
Merubah kesepakatan dengan kekuasaan, tanpa menghiraukan jeritan komponen bangsa yang menjadi stake holder, pada hakekatnya adalah penindasan. Penindasan penguasa terhadap rakyat, dan itu adalah penjajahan. Sebuah kejahatan kemanusiaan yang sesungguhnya kita tolak sesuai alenia pertama Pembukaan UUD 1945. Lebih menyakitkan dari Penjajahan sebelumnya, karena justeru dilakukan bangsa sendiri.
Tetapi memang, begitulah tabiat pertarungan. Setiap orang berupaya keras melumpuhkan lawannya hingga tidak berkutik. Itu sah belaka. Apalagi petarungnya menganut faham bebas nilai alias tidak berke-Tuhan-an. Menghadapi petarung yang begini, adalah satu kebodohan bila berharap mereka akan mengikuti aturan main.
Jangan berharap ada perasaan tersentuh mendengar jeritan dan suara kecewa serta keluh kesah. Bertarunglah sampai mampus. Tidak akan ada belas kasih. Sebab mereka adalah manusia tanpa hati. Dimana ilmu dan teknologi menjadi alat pembunuh bagi mereka.
Sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk memerdekakan Indonesia, maka wajib ikut betanggungjawab melestarikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Selama ini umat Islam memang terlalu polos. Selalu saja berprasangka baik. Tidak pernah merasa bertarung. Tidak sadar kalau mereka diposisikan sebagai lawan oleh kelompok tertentu. Akibatnya, ketika kena “pukulan” keras, mereka cuma berkeluh kesah, kesal dan kecewa. Bertanya “kenapa kami diperlakukan begini ?”.
Dalam konteks RUU HIP yang menjadi RUU BIP, adanya upaya untuk menyamakan khilafah dengan komunisme. Misalnya, masih ada umat Islam yang menilai, ini disebabkan kelompok tertentu itu dungu, bodoh, tidak faham tentang Pancasila dan khilafah. Inilah pertanda tidak sadar bahwa mereka sedang menghadapi pertarungan. Menganggap lawan bertindak tanpa rencana, tanpa perhitungan dan tujuan.
Kalau umat Islam sadar bahwa mereka sedang bertarung, pastilah bersiap-siap menghadapinya. Siap menerima dan mengelakkan “serangan”. Bahkan siap pula melakukan serangan balik. Tidak ada tempat berkeluh kesah dan kecewa di situ. Yang ada, adalah : lawan tetap saja lawan. Harus lawan sampai menang atau menyerah kalah.
Kalau mujahid, pilihannya menang atau mati dalam pertarungan. Isy kariman au mut syahidan. Artinya, hidup mulia atau mati syahid, kata Wakil Ketua MUI Pusat, KH Muhyiddin Junaidi. Itulah orang yang sadar.
Sebagai pemimpin umat, KH Muhyiddin patut dan sudah seharusnya mendeklarasikan itu. Apa yang telah dialami umat Islam selama perumusan falsafah negara, baik masa RI maupun masa NKRI. Kenyataan ini ditambah dengan perlakuan pemerintah terhadap umat Islam atas nama Pancasila selama Indonesia merdeka adalah menyakitkan.
Selama ini umat Islam berlapang dada menerima itu sebagai sebuah kenyataan dalam dinamika hidup berbangsa dan bernegara. Tetapi kalau sampai ada upaya ekstrim dengan kekuasaan, sehingga membuang falsafah negara yang telah disepakati dengan jalan susah payah, ceritanya bisa menjadi lain lagi. Apalagi menggantinya dengan sesuatu yang sudah ditolak, maka itu sudah sampai pada batas tidak dapat tertolerir lagi. Wajib untuk adanya melakukan langkah Masirah Qubra, Isy kariman au mut syahidan. (bersambung).
Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn.