Menanti Datangnya Panglima Masirah Qubra (Bag. Kedua)
by Dr. Masri Sitanggang
Jakarta FNN – Ahad (02/08). Mari kembali melihat jejak sejarah. Sebab Perumusan falsafah negara RI mengikuti proses dialektika. Pada masa sidang BPUPK, golongan sekuler menghendaki negara ini berdasar sekulerisme, dimana Tuhan menjadi urusan pribadi. Tuhan tidak dibawa dalam urusan bernegara. Ini dapat dipandang sebagai tesa.
Golongan Islamis menghendaki negara ini berdasa Islam. Dimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lepas dari nilai-nilai agama. Gagasan ini dapat dipandang sebagai anti tesa.
Maka lahirlah Piagam Jakarta sebagai sintesa (Pancasila rumusan resmi I). Sebuah naskah kompromi yang tepat disebut “gentlemen’s agreement”. Sebagaimana yang diberikan Sukiman, “RI tidak berdasar sekuler dan bukan berdasar Islam”. Namun Agama diletakkan di tempat terhormat.
Pada masa pencoretan tujuh kata dari Piagam Jakarta untuk ditetapkan pada 18 Agustus 1945 ((Pancasila rumusan resmi II), sulit untuk disebut proses dialektika. Sebab, prosesnya berjalan kurang wajar. Namun perlu diingat, setelah pengakuan Belanda terhadap Indonesia, konstitusi 18 Agustus 1945 ini hanya berlaku di satu negara RIS (Pancasila rumusan resmi III).
Selanjutnya, tidak berlaku sama sekali setelah RI bersama negara-negara bagian lainnya membubarkan diri untuk membentuk NKRI berkat Mosi Integral Natsir yang menandai berlakunya UUDS 1950 (Rumusan IV). Padahal perdebatan di Konstituante, bolehlah. Anggota konstituante kembali terbelah dua. Golongan sekuler mendukung Pancasila, yang bisa di sebut sebagai tesa.
Tetapi perlu diingat pula, Pancasila yang dimaksud oleh golongan sekuler tidak merujuk pada rumusan tertentu. Tidak soal apakah rumususan pribadi Sukarno tanggal 1 Juni 1945, atau rumusan resmi II, III atau IV. Yang pasti, bukan rumusan Piagam Jakarta. Rumusan Piagam Jakarta mereka tolak keras seolah bukan rumusan Pancasila. Padahal, itulah rumusan resmi I tentang falsafah negara.
Ini dibuktikan oleh pidato tokoh-tokoh PNI di Dewan Konstituante. Ketua Umum PNI, Soewirjo, misalnya, mengatakan, “saya tidak hendak membicarakan runtutan sila-sila atau susunan kata-katanya. Soal ini bagi PNI tidak merupakan soal yang prinsipil”. Tokoh PNI lainnya, Roeslan Abdoelgani menyatakan, “Ketuhanan disebut belakangan hendaknya jangan kemudian ditarik menjadi kesimpulan, seakan-akan dasar ini hendak kita belakangkan. Jauh daripada itu dia sekadar menuruti sistematik penjelasan saja”.
Pidato Roeslan Abdoelgani tentu saja merujuk pada rumusan Pribadi Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Sedangkan Golongan Islamis menghendaki kembali ke Piagam Jakarta (Pancasila rumusan resmi I). Ini dapat dipandang sebagai anti tesa.
Rasio perimbangan suara antara sekuler (tesa) dan Islamis (anti tesa) adalah 5 : 4 (dalam angka kongkrit, 264 : 204). Di dalam suara golongan sekuler ada 80 suara angota PKI, yang sebenarnya sebagbagai atheis. PKI adalah pendukung Pancasila yang palsu, tulis Endang Saifuddin Anshari. Maka jika pihak sekuler dikurangi suara komunis, perbandingan menjadi 184 : 204 atau 9 : 10.
Dalam sidang-sidang Konsituante, PKI sangat gigih menolak segala sesuatu yang berbau Islam. Ketuhanan, kata Aidit, adalah berarti kebebasan beragama. Yang berti pula kebebsan untuk tidak beragama. Juga kebebasan untuk mengajak orang untuk tidak beragama.
Maka dari itu Dekrit Presiden 5 Juli 1959, meski atas dasar kekuasaan, dapat dipandang sebagai sintesa. Sebab, dekrit menyatakan kembali ke UUD 1945 dengan menyebut, “bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Satu konsideran yang tentu saja sangat tidak disukai oleh PKI. Jadi, Dekrit Prsiden menjadi Pancasila rumusan resmi V, atau rumusan terakhir adalah Pancasila 18 Agustus 1945 yang jiwanya adalah Piagam Jakarta. Bukan Pancasila tanggal 1 Juni 1945, sebab itu berarti menolak Dekrit 5 Juli 1959.
Tampaknya para pengusung RUU HIP yang sekarang berlanjut dengan RUU BPIP mengajak bangsa ini kembali kepada dialektika awal. Diakletika masa-masa perdebatan di BPUPK. Mereka memperjuangkan sekulerisme sebagai tesa. Maka, agar terlahir sintesa baru, Gerakan Masirah Qubra, yang sedang menanti kedatangan Panglimanya.
Tidak ada pilihan lain. Panglima Masirah Qubra harus dengan gigih memperjuangkan negara ini berdasar Pancasila 18 Agustus 19454. Ini tidak bisa terelakan. Sebab kalau Umat Islam kalah, atau tidak melakukan perlawanan, Indonesia akan menjadi sekuler-komunis. Kalau Umat Islam menang, negara tetap berdasarkan Pancasila konsensus 18 Agustus 1945. Dimana Piagam Jakarta, yang setidaknya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipertahankan.
Selanjutnya, mengingat pertarungan dialektika ini menyangkut Falsafah NKRI. Bukan RI, maka segala yang berkaitan dengan Pancasila, baik itu rancangan produk hukum maupun lembaga, yang diusung oleh pihak lawan tarung harus dipandang sebagai satu kesatuan yang ditolak. Sebab, tidak sesuai dengan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Peta jalan menuju sempurnanya penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu dimulai dari terbitnya Keppres no 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila. Keppres ini telah digunakan sebagai landasan dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku.
Selanjutnya terbit lagi Perpres no 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, yang kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Penguasa telah menjurus pada penafsir tunggal Pancasila. Bahkan secara terang-terangan melalui Ketua BPIP yang menyatakan musuh Pancasila adalah agama.
Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah jelaskan di atas. Terakhir, lahir RUU BPIP yang akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak lawan tarung. RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket. Makanya, BPIP tidak berkemomentar terhadap upaya penggantian Pancasila dalam RUU HIP.
Oleh karena itu, sekali lagi, semua gagasan dan niat busuk yang ada di peta jalan penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu harus ditolak. Ini memerlukan Panglima Masirah Qubra yang tidak saja berani, tetapi juga cerdas dan tangkas yang didukung oleh semua lapisan umat Islam.
Selamat berjuang Panglima Masirah Qubra. Selamat dan silahkan memimpin pertempuran yang berat, dan sangat menentukan ini. Tantang paling berat untuk bangsa dan negara menanti Panglima. (habis)
Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn.