Mungkinkah Prabowo Subianto Gantikan Ma'ruf Amin?

by Tjahja Gunawan

Jakarta FNN – Senin (10/08). Dalam dunia politik sesuatu yang tidak mungkin bisa saja terjadi. Demikian juga dengan pertanyaan dalam judul tulisan ini. Jadi sangat memungkinkan seorang Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden.

Beberapa hari lalu, seorang kawan yang memiliki jaringan dengan para aktivis dan elite politik mengabarkan tentang adanya agenda politik seperti di atas. Anda boleh percaya boleh tidak. Yang jelas, kata Jakob Oetama , "politik itu tidak hitam putih bung "!.

Dulu, Jakob Oetama selalu mengatakan hal itu dalam hampir setiap rapat redaksi Harian Kompas. Para editor yang hadir biasanya duduk manis mendengarkan dan mencermati visi dan analisa yang disampaikan Pa Jo---panggilan akrab Jakob Oetama atas setiap peristiwa yang terjadi di negeri ini.

Kembali kepada skenario Prabowo yang hendak menggantikan Ma'ruf Amin. Kawan saya itu mengabarkan, "pernikahan" Prabowo-Megawati atau Bahasa Politiknya Koalisi PDIP dengan Partai Gerindra bersifat permanen.

Sebagai bagian dari tokoh oligarki partai saat ini, kedua pimpinan parpol ini telah sepakat untuk membuat peta jalan dan skenario politik menjelang Pemilu Tàhun 2024. Lalu apakah pasangan Megawati-Prabowo akan maju pada Pilpres 2024, seperti yang dilakukan mereka berdua pada Pilpres Tàhun 2009?

Dalam Pilpres nanti Megawati ternyata akan mengusung anaknya Puan Maharani, yang kini Ketua DPR-RI. Selanjutnya Puan akan dipasangkan dengan Prabowo Subianto. Apakah Prabowo tidak capek nyapres terus-menerus, sementara usianya sudah "bau tanah"? Sekali lagi dalam dunia politik, ambisi untuk meraih kekuasaan tidak mengenal umur. Buktinya, Mahathir Mohammad ikut dalam kontestasi Pemilu dan berhasil menjadi PM Malaysia, walaupun setelah itu beliau mengundurkan diri.

Jika melihat portfolio Prabowo Subianto di dunia politik, sebenarnya modalnya sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup untuk bisa running kembali dalam Pilpres 2024. Kali ini dia akan berpasangan dengan Puan Maharani, cucu biologis Soekarno, Presiden pertama republik ini.

Soal adanya lapisan masyarakat yang kecewa dengan sosok Prabowo Subianto yang telah berubah wujud, dari harimau menjadi meong, itu persoalan lain. Saol akankah nanti Prabowo akan kembali mengumandangkan kembali kalimat heroik, "saya akan timbul tenggelam bersama rakyat?". Kita lihat saja nanti.

Yang jelas, saat ini posisi politik Prabowo Subianto semakin kuat. Bukan saja dia telah terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Dalam Kongres Luar Biasa (KLB). Tetapi di jajaran kabinet, Prabowo kini lebih berpengaruh daripada Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.

Betapa tidak, sekarang tugas Prabowo bukan hanya sebagai Menteri Pertahanan. Tetapi juga telah diberi mandat oleh Presiden Jokowi untuk mengurus masalah ketahanan pangan negara. Lebih tepatnya Prabowo telah diminta Jokowi untuk mengolah lahan gambut di Kalimantan yang luasnya lebih dari satu juta hektar.

Tidak heran kalau kemudian ada wacana tentang rencana para anggota TNI diterjunkan ke sawah untuk mengelola lahan gambut tersebut. Tidak jelas alasan dibalik keputusan Presiden Jokowi mempercayakan pengelolaan masalah pangan/lahan gambut kepada Menhan Praboowo. Mengapa Presiden Jokowi tidak menunjuk Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo?

Apakah karena Mentan Syahrul Yasin Limpo berasal dari Partai Nasdem? Yang saat ini posisi politik partainya cenderung untuk keluar dari kelompok partai koalisi penguasa. Mungkin demi mempersiapkan agenda politik sendiri menjelang Pemilu 2024 nanti.

Sekali lagi, jika benar Prabowo Subianto hendak menggantikan Ma'ruf Amin, maka pertanyaannya adalah bagaimana cara dan mekanismenya? Bukankah Wapres Ma'ruf Amin satu paket dengan Presiden Jokowi? Dan keduanya telah dinyatakan "menang oleh KPU" dalam kontestasi Pilpres Tàhun 2019 lalu. Walaupun banyak kalangan masyarakat menuduh kemenangan tersebut diraih dengan cara curang.

Pergantian penguasa seperti Wapres Ma'ruf Amin bisa dilakukan melalui proses politik yang "disepakati bersama" diantara para pimpinan parpol penguasa. Alasan rasional bisa dicari-cari. Misalnya, mengingat usia Ma'ruf Amin sudah tua dan sering sakit-sakitan, maka posisi dan jabatan Wapres perlu diganti.

Bagi sementara kalangan bisa saja agenda politik untuk menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wapres dianggap sebagai skenario di luar nalar politik. Pikiran seperti ini juga sah-sah saja. Tapi kalau nanti skenario politik PDIP-Gerindra ini benar-benar menjadi kenyataan, maka realitas politik tersebut akan semakin mengukuhkan pendapat bahwa dalam dunia politik segala kemungkinan bisa terjadi.

Sangat mungkin terjadi Jokowi bisa mundur atau bahasa halusnya diminta mundur sebelum masa tugasnya sebagai Presiden periode kedua berakhir tàhun 2024. Bisa di 2023 Jowi mudur, sehingga pada Pilres 2024 nanti, posisi Prabowo adalah Preiden. Loh kalau begitu, siapa nanti yang akan meminta mundur Jokowi? Ya penguasa parpol koalisilah terutama PDIP dan Partai Gerindra.

Nah, kawan saya itu mengabarkan seperti itulah agenda dan skenario politik yang akan dijalankan Prabowo Subianto bersama PDIP. Jadi, langkah pertamanya adalah menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wapres. Kemudian setahun atau dua tàhun menjelang Pilpres 2024, Parbowo akan menggantikan Jokowi sebagai Presiden.

Dengan begitu, nanti Prabowo akan maju sebagai Presiden incumbent dalam Pilpres 2024 tatkala berpasangan dengan Puan Maharani. Itulah agenda politik dari koalisi permanen PDIP-Partai Gerindra. Dengan demikian, lengkap sudah oligarki parpol dan dinasti politik di negeri ini. Mereka akan asyik sendiri dengan permainan kursi kekuasaan masing-masing. Sementara masyarakat dibiarkan mengurus dan mengatasi masalahnya sendiri.

Melihat perilaku elite politik ini, semoga rakyat Indonesia bisa diberi kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi masalah yang dihadapi saat ini seperti penyebaran pandemi Covid19 dan resesi ekonomi yang sudah di depan mata. Masyarakat sekarang dihadapkan pada persoalan yang saling bertumpuk dan silih berganti. Sementara para penguasa asyik mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing.

Di masa datang, generasi penerus bangsa akan membaca catatan sejarah yang berbunyi, “di zaman dulu, ada seorang politisi bernama Prabowo Subianto yang pernah maju dalam Pilpres sebanyak 3 kali. Bahkan mungkin nanti empat kali. Pada 2009, Prabowo menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri. Megawati-Prabowo dikalahkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono.

Lalu pada Pilpres 2014, Prabowo maju sebagai capres berpasangan dengan Hatta Rajasa. Prabowo-Hatta kalah dari pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Kemudian di Pilpres 2019, Prabowo maju berpasangan dengan Sandiaga Uno. Prabowo kembali kalah dari Jokowi yang pada periode keduanya berpasangan KH Ma'ruf Amin. Prabowo akhirnya bergabung dengan Kabinet Jokowi.

Setelah menjadi Menhan di Kabinet Jokowi, tiba-tiba Prabowo menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wapres. Tidak hanya itu, menjelang Pilpres 2024, Prabowo kemudian menggantikan Jokowi Yang mengundurkan diri sebagai Presiden pada periode kedua. Selanjutnya, Prabowo bersama Puan Maharani maju sebagai pasangan Capres dan Cawapres pada Pemilu Presiden 2024.

Kalau seperti itu catatan sejarah politik Indonesia, apakah anak cucu generasi bangsa Indonesia akan menangis sambil mencaci maki para elite pilitik generasi sebelumnya? Atau mereka akan menerima dengan legowo catatan kelam perilaku elite kekuasaan saat ini? Wallohu a'lam bhisawab.

Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

24246

Related Post