OPINI
Ada Apa dengan Dokter Saifuddin Hakim?
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Jumat (13/8). Setidaknya ada dua kali status di Facebook atas nama Muhammad Saifuddin Hakim, dokter dan peneliti di Universitas Gadjah Mada-UGM Jogjakarta melakukan “pelecehan intelektual” terhadap Prof. Sukardi alias Ainul Fatah, ahli mikrokultur bakteriologi. Gelar Profesor di depan nama AF diragukan: Profesor. Gelar apa ini? Profesor adalah gelar yang tidak didapat dari mengikuti perkuliahan. Gelar profesor diberikan oleh suatu lembaga, entah itu universitas, institut atau lembaga penelitian, misalnya LIPI. Gelar Prof di depan nama Ainul Fatah ini dari institusi mana? Tidak Jelas. Saya sendiri pernah melacak ke teman2 yang ada di LIPI untuk mengecek databse mereka, adakah nama ini? tidak ada. Saya cek ke databse Dikti, nihil. Lanjut, klaim tentang enam ahli dunia. Penemu obat atau ramuan anti-covid-19. Well, kalau ini tidak perlu saya bahas panjang lebar, kalau track record penelitian saja tidak bisa dilacak, buat apa menanggapi klaim semacam ini. Saya sendiri pernah didatangi bapak-bapak paruh baya di kantor menanyakan obat covid-19 bikinan Sukardi. Saya jelaskan apa adanya, dan alhamdulillah beliau mau nerima penjelasan saya. (Lega sekali saya ketika itu.) Kesimpulan : Gelar professor yang disematkan kepada Ainul Fatah alias Sukardi sangat diduga kuat adalah fiktif. Nama dr. Muhammad Saifuddin Hakim, MSc, PhD menjadi viral sejak wawancara Erdian Anji Prihartanto, penyanyi yang akkrab dipanggil Anji, dengan klaim Hadi Pranoto yang disebut dalam kanal Youtube-nya sebagai penemu Antibodi Covid-19. Mengutip Kompas.com, Minggu (02/08/2020, 18:50 WIB), dalam video itu, Hadi Pranoto memperkenalkan diri sebagai profesor sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19. Ia menyebutkan bahwa cairan Antibodi Covid-19 yang ditemukannya bisa menyembuhkan ribuan pasien Covid-19. Cairan antibodi Covid-19 tersebut diklaim telah didistribusikan di Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan. Seingat saya, selama ini Prof AF tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penemu Antibodi Covid-19. Jangankan mengklaim penemu Antibodi Covid-19, menyebut dan menulis nama Prof AF saja, saya pernah “dilarang” langsung oleh Prof AF saat bertemu. Sehingga, dalam menulis Formula Probiotik Siklus/Komunitas yang ditemukannya pun saya cuma tulis Formulator. Kalau pun sekarang ini saya menyebut namanya, karena sudah sangat terpaksa, apalagi nama Prof AF sudah dibawa-bawa oleh Mas Dokter Hakim. Dalam status FB Masih di RS EMC Dokter Hakim yang di-share pada Rabu (12 Agustus pukul 14.00) saja masih menyindir dan “menyerang” Prof AF, meski tak menyebut namanya secara langsung. Coba simak isi statusnya dalam FB berikut: Bandingkan dengan pihak2 yang mengaku "melakukan uji klinik obat/ramuan COVID-19" namun tidak jelas protokolnya bagaimana, sesuai standar etik ataukah tidak, siapa yang memonitor, kemudian "sok-sokan" tampil sebagai superhero dengan bilang: “Saya menemukan obat atau vaksin COVID-19” (!!!). Meski tidak menyebut nama, namun arahnya sudah jelas, yang dituju itu Prof AF! Padahal, dari jejak digital hanya Agung Suradi dan Hadi Pranoto yang pernah mengaku sebagai penemu “obat” Covid-19. Humas Sinovac? "Betulkah manusia dijadikan “kelinci percobaan” Vaksin Sinovac asal China, karena vaksin-nya tidak pernah diuji coba di hewan terlebih dahulu? Apakah fase pre-klinis dilewati demi “cepat-cepat” mendapatkan vaksin Covid-19?" Itulah kalimat pembuka Mas Dokter Hakim dalam status FB-nya, Rabu (12/8/2020). Apakah kali ini dokter dan peneliti muda dari UGM itu sudah menjadi “humas” Vaksin Sinovac asal China itu? Hanya beliau yang tahu isi hatinya. “Melalui postingan ini, sebelumnya kami memohon kepada pihak-pihak yang tidak paham bagaimana uji pre-klinis dan uji klinis vaksin dilakukan, untuk tidak berbicara sesuatu yang dia sendiri tidak paham ilmunya,” lanjutnya. Menurutnya, sebagian pihak yang menghembuskan hoax bahwa Uji Klinis Fase III ini “terburu-buru karena vaksin-nya sendiri tidak pernah diuji coba ke hewan terlebih dahulu”. “Ini Salah!!!” tegasnya. Kandidat vaksin Sinovac Sudah melewati uji pre-klinis secara in vivo dan penelitiannya sudah diterbitkan di jurnal terkemuka, Science. Berikut publikasi penelitiannya: https://science.sciencemag.org/content/369/6499/77 Di situ dijelaskan, bahwa kandidat vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac ini menunjukkan potensi imunogenisitas yang menjanjikan(promising) dan sudah diuji coba ke tikus dan non-human primate, yaitu di macaque (abaikan data yang rumit itu). Hewan coba divaksinasi dengan strain SARS-CoV-2 asal China, kemudian dipajankan (di-challenge) dengan beberapa virus SARS-CoV-2 yang diisolasi dari berbagai negara (SARS-CoV-2 isolat dari China sendiri, Italia, UK, dan lain-lain). (Catatan saya: dipajankan itu semacam diadu. Misalnya, tubuh hewan yang sudah diberikan vaksin X, lalu dimasuki virus Covid-19. Isolat itu semacam virus atau calon vaksin yang sudah dibiakkan). Hasilnya, menurut Mas Dokter Hakim, hewan-hewan yang sudah mendapatkan vaksinasi ini terproteksi ketika mereka dipajankan dengan virus SARS-CoV-2 sesungguhnya. Pun, mereka sudah melalui Uji Klinik Fase I dan II, meskipun hasilnya belum terpublikasi. Akan tetapi, laporan Fase I dan II tersebut tentu sudah diterima Badan POM sebagai regulator pelaksanaan Semua uji klinis di Indonesia. Menurutnya, Badan POM Tidak Akan mengeluarkan izin PUPK (Pengajuan Persyaratan Uji Klinik) kecuali jika persyaratan uji klinik fase III lengkap, termasuk laporan dari Uji Klinik Fase I dan II. Selain itu, dalam pelaksanaan uji klinik, ada banyak pihak yang terlibat untuk memastikan keamanan subjek penelitian, bukan hanya tim peneliti, tetapi juga pihak-pihak di luar tim peneliti, yaitu: 1. Komite Etik Fakultas Kedokteran --> mereka akan mengeluarkan izin jika semua persyaratan etik terpenuhi. 2. DSMB (Drug Safety Monitoring Board) --> panel ahli independen yg menilai setiap laporan adverse events selama uji klinik berlangsung. Mereka Berhak sewaktu-waktu menghentikan uji klinik. 3. Badan POM sebagai regulator utama. 4. External monitor untuk memastikan pelaksanaan uji klinik sudah dijalankan sesuai prosedur yang standar [SOP harus dijalankan, semua peneliti harus sudah dilatih GCP (Good Clinical Practice) misalnya, dan seterusnya]. Bandingkan dengan pihak-pihak yang mengaku “melakukan uji klinik obat/ramuan Covid-19” namun tidak jelas protokolnya bagaimana, sesuai standar etik ataukah tidak, siapa yang memonitor, kemudian “sok-sokan” tampil sebagai superhero dengan bilang: “Saya menemukan obat atau vaksin COVID-19” (!!!). Begitu tulis Mas Dokter Hakim dalam status FB-nya. Selain itu, sambungnya, Uji Klinis Fase 3 Vaksin Sinovac ini juga dilakukan di Brazil: https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04456595 “Sekian. Disclaimer: Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan Sinovac dan uji klinik Vaksin Sinovac yang sedang berlangsung,” ungkap Mas Dokter Hakim. Meski Mas Dokter Hakim sudah declare “tidak memiliki hubungan apapun dengan Sinovac” namun dalam menjawab komentar dari Facebooker lainnya, ada kesan, Mas Dokter Hakim sudah menjadi Purel untuk perusahaan Sinovac China. Nanda Seftyana Mungkin yg mjd salah satu pertanyaan publik adalah, mengapa vaksin yg dipilih harus vaksin yg di produksi oleh sinovac? Diantara kandidat vaksin yg dikembangkan di seluruh dunia, mengapa harus vaksin dari sinovac? Karena (mungkin) beberapa kalangan publik berkaca pada keefektifan rapid test yg dibeli sebelumnya yg juga berasal dr cina. Terima kasih postingannya, dokter, alhamdulillah mengedukasi. Muhammad Saifuddin Hakim Dari bbrp kandidat vaksin yg ada, Oxford memakai teknologi viral vector vaccines, Moderna memakai mRNA vaccines, sedangkan Sinovac dan Sinopharm memakai teknologi inactivated vaccines. Dari 3 teknologi itu, yg dimiliki oleh Biofarma adalah inactivated vaccines, shg memungkinkan transfer teknologi secara cepat jika vaksin lolos uji fase 3. Vaksin Covid-19 dibuat berdasarkan patogen yang di non aktifkan (inactivated). Pembuatan vaksin dilakukan dengan menumbuhkan virus corona SARS-CoV-2 di laboratorium. Virus ini lalu dinonaktifkan lewat reaksi kimia untuk dijadikan vaksin. Sekedar mengingatkan lagi, jika memang Vaksin Sinovac yang siap Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Di antara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itu pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Catat! Virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, ternyata saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian. Karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE-2) saja, tapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus artis Glen Fredly kemarin). Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. “Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit,” ungkap seorang dokter spesialis anak. Apakah Mas Dokter Hakim sudah menyaksikan kasus seperti itu yang terjadi di depan mata dokter kerabat sampeyan? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Jokowi atau Ma'ruf Amin Yang Lengser?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (14/08). Sejumlah pihak ingin Jokowi lengser. Ini hal biasa di alam demokrasi. Sah-sah saja. Asal, jangan makar. Sekedar ingin, berucap dan menuntut, tak dilarang oleh konstitusi. Di negara hukum, semua harus berbasis konstitusi. Kenapa minta Jokowi mundur? Tentu, mereka punya alasan. Baik alasan hukum, ekonomi maupun politik. Hukum dianggap terlalu tajam ke lawan dan memihak konglomerasi. Pertumbuhan ekonomi sudah minus -5,32 persen. Bahkan lebih parah kalau dhitung dari awal Januari 2020, ekonomi nyungsep sudah -10,34 persen. Kegaduhan politik tak ada tanda-tanda akan berhenti. Macam-macam kegaduhan yang timbul. Intinya, mereka nggak puas dipimpin oleh Jokowi. Negara jadi kacau balau dan amburadul, kata mereka. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Salah satu cara untuk mengatasi masalah bangsa adalah dengan meminta Jokowi lengser atau mundur. Tak hanya terbatas Jokowi. Ada juga pihak yang ingin Ma'ruf Amin mundur. Pertama, ada celah konstitusional, yaitu mundur dengan alasan uzur. Kedua, dicari-cari salahnya agar bisa didesak untuk mundur. Tentu dengan berbagai kompensasi. Ketiga, posisi wapres saat ini sangat strategis untuk maju di pilpres 2024. Semua kemungkinan selalu terbuka. Pada akhirnya, apakah Jokowi yang akan lengser? Atau Ma'ruf Amin yang terpaksa mundur? Atau kedua-keduanya lengser? Atau sebaliknya, keduanya tetap bertahan dan bersinergi sebagai Presiden dan Wapres hingga 2024. Hitung-hitungan politiknya, siapa yang paling potensial untuk bertahan? Jokowi, atau Ma'ruf Amin? Namanya juga kalkulasi. Bisa tepat, bisa juga meleset. Sebab, politik selalu dinamis. “Segala kemungkinan bisa terjadi”, kata wartawan senior FNN.co.id Tjahya Gunawan mengutip pendiri dan pemilik Kompas Grup, Jacob Oetama. Covid-19 yang efeknya sangat terasa di bidang ekonomi telah membuat pemerintahan Jokowi tampak semakin melemah dan kehilangan legitimasi. Rakyat fokus pada Jokowi sebagai obyek, karena Jokowi kepala pemerintahan. Semua kebijakan ada di tangannya. Terutama terkait penanganan covid-19, Ma'ruf nyaris sama sekali tak dilibatkan. Suaranya Ma’tuf Amin tak terdengar di media. Kecuali hanya sekali darling dengan Anies Baswedan dan Ridwan Kamil selama masa pandemi. Makantya wajar saja kalau masyarakat bertanyata-tanya, kemana saja Wapres Ma’ruf Amin. Apakah sehat-sehat atau sakit? Penanganan covid-19 sangat mengecewakan, kata pihak oposisi. Baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Segala hal-ihawal terkait dengan kekecewaan rakyat atas gagalnya penanganan covid-19 otomatis dibebankan kepada Jokowi. Belum lagi munculnya Perppu Corona yang jadi UU Nomor 2/2020 dituding publik sebagai ajang bancakan uang negara oleh korporasi dengan memanfaatkan situasi pandemi. Hebatnya, meskipun bancakan, mereka tak bisa dituntut hukum, baik pidana, perdata maupun TUN. Apa indikator gagalnya? Juni lalu, Indonesia masuk rangking ke 97 dari 100 negara dalam menghadapi covid-19. Rangking ke-3 dari bawah. Artinya? Sangat Parah! Di bulan Juli Indonesia urutan ke 143 dari 215 negara. Inilah kenyataannya. Dinilai oleh banyak tokoh bangsa, bahwa di bawah kepemimpinan Jokowi negara penuh dengan masalah. Faktor inilah yang kemudian mendorong para tokoh bangsa tersebut berkumpul dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Berkumpul disitu Abdullah Hehamahua, Din Syamsudin, Gatot Nurmantyo, Gus Aam, Habib Rizieq, Refly Harun, Rizal Ramli, Rocky Gerung, Said Didu, dan ratusan tokoh lintas agama, etnis dan profesi lainnya. Mereka semua sepakat, Jokowi harus diingatkan! Kalau nggak mau? Semula hanya 9 tokoh oposisi yang gerah. Lalu berkembang dan melibatkan puluhan hingga ratusan tokoh nasional dari semua elemen bangsa. Selasa tanggal 18 Agustus nanti mereka akan membacakan maklumatnya di tugu proklamasi. Dalam waktu yang sama, para tokoh lokal akan berkumpul di berbagai daerah untuk memberi dukungan kepada KAMI dan maklumat yang akan dibacakan. Gerakan moral KAMI cepat menyebar dan telah masif menjadi gerakan nasional. Munculnya KAMI sangat menguntungkan bagi Ma'ruf Amin. Ini peluang besar. Lepas Ma'ruf punya keinginan atau tidak untuk memanfaatkan peluang itu. Yang pasti, peluang sangat besar bagi Ma'ruf Amin untuk merefresh kekuatan dan posisioning dirinya. Terlebih ketika NU saat ini dalam kondisi kecewa terhadap Jokowi. Terutama ketika Menteri Agama lepas dari genggaman NU. Ini bukan soal jatah-menjatah. Tapi, orang NU merasa lebih paham dalam mengelola Kementerian Agama daripada Fahrul Rozi yang yang pensiunan Jendral Angkatan Darat. Ma'ruf Amin dari NU, dan majunya Ma'ruf Amin sebagai Wapres salah satu rekomendasinya dari PBNU. Selain KAMI dan NU, Ma'ruf juga bisa bersinergi dengan Prabowo yang kabarnya masih berambisi untuk nyapres lagi di 2024. Bagaimana dengan PDIP? Dalam politik, semua berbasis kalkulasi pragmatis. Selama ini, PDIP seringkali dikecewakan oleh Jokowi. Misalnya, Jokowi lebih nyaman dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dari pada dengan ketua umumnya sendiri, yaitu Megawati. Kondisi obyektif PDIP yang kecewa terhadap Jokowi memungkinkan untuk membangun sinergi politik dengan Ma'ruf Amin. Apalagi, terpilihnya Ma'ruf Amin sebagai Cawapres Jokowi kabarnya atas endorse langsung dari Megawati ke Jokowi. Kloplah! Jadi, jika dikalkulasi secara politik, posisi Ma'ruf Amin saat ini bisa lebih diuntungkan dari pada Jokowi. Tapi, semua dikembalikan kepada kemampuan Ma'ruf Amin memanfaatkan puzzle-puzzle kekuatan yang tersedia itu untuk memperkuat posisioningnya dirinya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
UU Minerba, Skandal Konstitusi Terbesar Abad Ini (Bag. Kedua)
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Jum’at (14/08). Wakil Ketua Komisi VII DPR periode 2014-2019, Tuan Ridwan Hisjam pada persidangan menjelang berakhirnya masa jabatan DPR periode lalu, selalu mendesak pemerintah untuk segera menyerahkan DIM revisi pemerintah. Kata Ridwan Hisjam sebagaimana dikutip Kontan.co.id, "jadi kami tetap siap untuk membahas RUU minerba, tergantung kesiapan dari pemerintah menyerahkan DIM. Dalam waktu dua minggu kita pernah selesaikan pembahsan UU. Masih ada waktu satu bulan, agar bisa kita selesaikan," kata Ridwan yang saat itu menjadi Ketua Sidang Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, Rabu (29/8/2019). Ridwan Hisjam mengingatkan pemerintah, apabila revisi UU Minerba belum rampung hingga DPR periode ini (2014-2019) berakhir, maka pembahasan akan kembali dari nol lagi dengan membahas naskah akademik. Menghadapi kesiapan DPR untuk membahas RUU Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 itulah pemerintah melalui Sekjen Kementerian ESDM mengirim Surat Nomor 1743/06/SJN.R/2019, tertanggal 27 September 2019. Garis besar dari Surat Sekjen Kementerian ESDM ini adalah, “berdasarkan arahan Presiden, untuk menunda dulu pembahasan RUU Mineral dan Batubara, mengingat masa jabatan anggota DPR akan berakhir”. MK Jangan Dungu dan Dongo Pemerintah telah menarik diri untuk bersama-sama DPR membahas RUU Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 itu. Tindakan pemerintah ini jelas punya konsekwensi hukumnya. Apa itu konsekwensi hukumnya? DIM Pemerintah yang telah diserahkan kepada DPR, yang jumlahnya 938 DIM tersebut tidak dibahas. Memangnya DPR mau membahas DIM dengan setan atau iblis? Jelas saja tidak bisa. UUD 1945 bilang harus membahas bersama-sama dengan pemerintah. Tetapi justru fakta urut-urutan cerita tentang RUU Atas Perubahan UU Nomor Tahun 2009 itulah, yang akan membawa kita berurusan dengan akal dan akal-akalan. Urusan ini menjadi gampang-gampang susah. Perkiraan saya, orang-orang hukum akan menyodorkan masalah sebagai berikut; Pertama, apakah DIM yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR, tetapi belum pernah dibahas bersama-sama antara DPR dan Pemerintah dalam rapat, yang diselenggarakan khusus untuk membahas DIM RUU itu, secara hukum dapat dianggap sebagai telah dibahas? Kedua, kalau dianggap telah dibahas. Orang hukum akan menyodorkan pertanyaan berikutnya, ilmu hukum macam apa, dan dari dunia mana yang dipakai untuk membenarkann anggapan konyol dan primitive itu? Tidak ada partner untuk pembahas DIM RUU. Tetapi dianggap telah dibahas, hanya karena DIM telah diserahkan. Itu hanya ada pada ilmu hukum yang biasa diotaki oleh korporasi dan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Korporasi dan oligarki terkenal memang lihai dalam banyak akal. Tetapi sekaya apapun akalnya korporasi dan oligarki itu, hanya iblis dan setan gondoruwo yang bisa membenarkan argumen bahwa “penyerahan DIM yang tanpa paraf tersebut sama kedudukan hukumnya dengan telah melakukan pembahasan”. Rasanya hanya iblis dan setan gondoruwo juga pusing untuk membebek pada argumen yang sangat konyol, ngwur dan primitif tersebut. Sebab iblis dan setan gondoruwo boleh sudah tahu tentang bahaya argumen itu. Bahkan bisa lebih celaka dari kebiasaan trik-trik iblis dan setan gondoruwo menggolkan hasratnya untuk mencelakakan orang-orang beriman. Orang-orang non hukum juga akan tertawa terbahak-bahak sebagai bentuk ejekan kepada DPR yang terhormat. Ko bisa ya “penyerahan DIM disamakan popsisi hukumnya dengan telah pembahsan pembahasan DIM?” Apalagi DIM yang diserahkan dulu itu tanpa diparaf. Bahkan belum sekalipun dibahas. Dengan demikian, kedudukan hukumnya sangat jelas. Tidak bisa untuk dilanjutkan pembahasannya. Persis seperti dengan argument Ridwan Hisjam. Bila RUU itu harus dilanjutkan “carry-over” kepada DPR periode berikutnya (2019-2024), maka prosedur hukumnya harus dimulai lagi dari awal. Naskah akademik dan proses standar lainnya harus dibuat baru lagi. Tidak bisa dengan melanjutkan tahap-tahapan yang sudah dilakukan oleh DPR periode 2014-2019. Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, jelas menyediakan kaidah tersebut. Kata-kata pasal 71A itu menyatakan, dalam hal “pembahasan RUU sebagaimana dimaksud pada pasal 65 ayat (1) telah memasuki pembahasan DIM” (tanda petik ), kan sudah jelas berang itu. DPR yang terhormat, DIM itu harusnya telah dibahas. Bukannya harus telah diserahkan saja. Membahas dan menyerahkan adalah dua peristiwa hukum yang berbeda antara langit dan bumi. Masa soal yang sesederhana ini DPR tak mengerti juga? Kan konyol bangat dong. Kalau untuk kata “membahas dan menyerahkan” saja, DPR tidak bisa bedakan, bagaimana mungkin DPR bisa diharapkan untuk mengurus negara bersama-sama dengan pemerintah? Buat Putusan Yang Membanggakan Tetapi persoalannya bisa lebih konyol lagi. Dimana saja letak kekonyolannya tersebut? Kalau sampai Mahkamah Konstitusi (KM) juga ikut-ikutan tidak mengerti konsekwensi hukum antara “membahas dan menyerahkan DIM”. Sebab kalau sampai MK juga tidak mengerti, maka ini nyata-nyata merupakan skandal konstitusi terbesar dan terhebat di abad ini. Beta terpaksa harus menyebutnya sebagai skandal konstitusi, bila Mahkamah Konstitusi hanya bisa mengamini, dan menyetujui argumentasi pemerintah DPR. Dengan segala argument yang membenakan, kira-kira MK menyatakan begini, “UU Nomor 3 Tahun 2020 ini dinyatakan sah secara konsitusi. Ingat, kalau sampai amar putusan MK nanti seperti itu, maka putusan itu akan dicatat sebagai skandal konstitusi paling top dan terpopuler di abad sekarang. Dengan demikian, MK juga telah menyempurnakan dirinya bagian tak terpisahkan dari prilaku korporasi dan oligarki licik, picik tamak dan culas. Dengan menyatakan bahwa "UU Nomor 3 Tahun 2020 ini sah secara konstitusi, maka itu akan kembali mengingatkan masyarakat terhadap prilaku mantan Ketua MK Akil Mochtar yang telah diganjar dengan hukuman seumur hidup. Begitu juga dengan mantan hakim MK Patrialis Akbar, dalam kasus impor daging sapi Basuki Hariman. Patrialis Akbar tersandung uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pertenakan dan Kesehatan Hewan. Yang tidak kalah untuk diingat adalah Prof. Dr. Arief Hidayat yang selama menjabat Ketua MK, telah dua kali melanggar kode etik sebagai hakim (Kompas.com 16/01/2018). Sebagai benteng penjaga dan pengawal gawang konstitusi, MK harusnya membuat keputusan yang membanggakan rakyat Indonesia. Bukan keputusan yang hanya membanggakan korporasi dan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Keputusan yang kalau dibaca ratusan tahun yang akan datang, masih sangat membanggakan anak-anak mahasiswa fakultas hukum. Untuk itu, beta berharap agar para hakim MK mau meluangkan sedikit waktu untuk membaca dan mendalami cara bekerja koporasi seperti Rocafeller dan J.P Morgan serta kelompok Wall Street dibalik pembentukan UU Bank Sentarl Amerika yang terkanl dengan “The Fed's”. Begitu juga dengan peranan Nathan Mayer Rothschild dibalik pembantukan UU Bank of England. Setiap peristiwa besar dibalik pembentukan UU adalah upaya menampung dan menggolkan kepentingan korporasi dan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Korporasi yang tidak pernah merasa puas untuk menjadi draculla menghisap darah rakyat di tambang-tambang barutabara, nikel, emas, perak, tembaga, mangan, biji besi dan bauksit. (habis). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Jangan Lengah, Komunis Masih Merayap
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (14/08). Ketika Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) didiskusikan, maka isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan faham Komunisme mengemuka. Ada Ketetapan MPRS yang tidak dicantumkan. Adapula soal Trisila dan Ekasila, yang ditambah dengan posisi agama yang dikerdilkan. Reaksi keras atas RUU HIP membuat pengusung "lempar handuk". Pemerintah cepat-cepat menerapkan langkah "cari aman" dengan menunda pembahasan. Namun tidak berhenti sampai disitu. Langkah cadangan dipersiapkan dengan tergesa-gesa. Maka majulah RUU Badan Ideologi Pancasila (BPIP) ke DPR. RUU BPIP diajukan. Konon sebagai mengganti RUU HIP. Anehnya tanpa ada pencabutan terlebih dahulu terhadap RUU HIP. Meskipun berbeda, tetapi tetap bertautan. BPIP sebenarnya juga menjadi bagian terpenting dari rencana besar isi RUU HIP sebelumnya. RUU HIP adalah akar masalah, "al ashlu lil masail". Sedangkan RUU BPIP merupakan cabang "al far'u". Buahnya adalah makna Pancasila yang disimpangkan dan diperalat. Pancasila yang kebenarannya hanya yang ditafsirkan berdasarkan selera penguasa atau BPIP. Rakyat memahami Pancasila yang berlawanan dengan selera penguasa, bisa saja dikasih label makar terhadap dasar negara. Jembatan dari kedua RUU adalah pengakuan dan filosofi dari rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila yang adaTrisila dan Ekasila. Agama bagian dari kebudayaan. Inilah pintu masuk komunisme itu. Ini sama dengan membuka jalan atau pintu yang selebar-lebar untuk penafsiran terhadap faham komunisme dan marxisme. Setidaknya untuk ke depan, ideologi kebangsaan yang berpadu dengan komintern (internasionalisme), demokrasi rakyat, kesejahteraan kaum proletar, dan ketuhanan sebagai produk budaya. Beginilah rencana besar dari RUU HIP, yang sekarang disempurnakan dengan casing baru, dan diberina nama “RUU BPIP”. Kader komunis meyakini bahwa lembaga atau organisasi PKI bisa saja bubar. Tetapi ideologi komunis tidak. Ideologi komunis tetap melekat, dan potensial untuk dikembangkan melalui Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Penyusupan merupakan model gerakan aktual. Perjuangannya utama adalah meminggirkan musuh utama komunis, yaitu TNI dan umat Islam dalam pembuatan keputusan politik negara. Salah satu kesuksesan besar adalah lahirnya Ketetapan MPR Nomor VI tahun 2000 yang memisahkan TNI dengan Polri. Ketetapan MPR ini menjadi landasan bagi kebijakan politik yang diskriminatif. Semua sudah tahu kalau pengembangan dan peran politik Polri lebih kental dan agresif ketimbang TNI. Aktualnya TNI "disawahkan", dan dengan Inpres 6 tahun 2020 "dicovidkan". Sementara untuk umat Islam dibangun stigma intoleran, radikal, ekstrim, khilafah, atau lainnya. Sebelumnya teroris dan ISIS. Kurikulum berbau jihad dan qital (perang) dihapuskan. Moderasi terhadap isu deradikalisasi dipropagandakan. Agama disekulerkan. Pelecehan dan kriminalisi terhadap ulama masif dilakukan. Komunis sangat mahir dalam mengadu domba antar umat beragama. Rezim dan penguasa sendiri tidak berupaya mencegah perkembangan komunisme. Bahkan terkesan seperti membiarkan. Tidak ada "aware" terhadap bahaya gerakan komunis. Dengan enteng menyatakan "mana ada PKI ?" dan "komunisme itu sudah dilarang". Wajar saja jika rakyat, khususmya umat Islam menduga-duga bahwa penyusupan faham komunis disamping terjadi di parlemen, juga sudah masuk sampai ke pusat kekuasaan. Apalagi Partai Komunis Cina di masa rezim ini sudah bisa bekerjasama erat dengan partai politik dan institusi resmi negara. Demikian juga pejabat komunis Cina telah sukses untuk menginjakan kaki di ruang istana negara. Kader-kader komunis saat ini sangat mahir. Mereka bergerak dengan pola tiarap dan merayap. Mereka berusahamenghindarkan diri dari posisi sasaran tembak. Bahkan berlindung dibalik ideologi Pancasila. Mengumumkan kalau merekalah yang paling Pancasilais. Seolah-olah menjadi pembela dan pengembang Pancasila. Bangsa Indonesia harus siaga setaip saat menghadapi penyusupan faham komunisme. Sebaiknya umat Islam dan rakyat Indonesia tidak boleh puas hanya dengan keberadaan Ketetapan MPR yang melarang PKI dan Komunisme. Atau keberadaan perundang-undangan lainnya. Mereka kader-kader neo komunis selalu bergerak di lapangan dengan bertiarap dan merayap. Infiltrasi di berbagai institusi dengan proteksi ideologi. Berstrategi model katak yang menendang dan melompat. Katak tidak pernah bergerak mundur. Katak bergerak hanya untuk beranak pinak menciptakan cebong-cebong baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Apakah Benar Kas Negara Kosong?
by Asyari Usman Jakarta FNN (Kamis, 13/08/2020). Belakangan ini banyak spekulasi tentang kondisi keuangan negara. Ada yang nengatakan negara sudah tidak punya uang lagi. Ada yang mengatakan saldo kas negara tinggal untuk penggunaan beberapa bulan lagi. Bahkan, ada yang menyebutkan dana Covid-19 sebesar hampir 700 triliun itu pun cuma ada angkanya saja, tidak ada uangnya. Begitulah spekulasi yang berseliweran. Sekarang, kita mau bertanya dan ingin mendapatkan jawaban dari Presiden Jokowi sendiri. Atau siapa saja yang berkompeten untuk menjelaskan. Apakah benar kas negara kosong? Apakah benar dana Covid-19 tidak ada duitnya, hanya angka saja? Sementara menunggu jawaban itu, mari kita simak sejumlah pertanda tentang spekulasi dana Covid-19 yang tidak ada uangnya. Pertama, Pemprov dan Pemkab-Pemko diberi kewenangan untuk menggunakan alokasi dana APBD bagi kepentingan penanganan pandemi Corona. Kedua, kepala desa boleh mengalihkan pemakaian dana desa. Juga untuk keperluan Covid-19. Ketiga, ada informasi keras yang menyebutkan sekian banyak penyedia APD (alat pelindung diri) masih belum menerima pembayaran kontrak pengadaan. Ini semua bisa dijadikan isyarat tentang dana Covid yang hanya ada angka tapi tak ada uangnya. Dalam arti, cukup signifikan dana APBN/APBD yang diduga telah digunakan untuk penanganan Covid-19. Mengapa dikerahkan dana reguler APBN/APBD itu jika dana Covid ada? Mungkinkah ini menyebabkan kas negara kosong untuk keperluan harian? Belum lama ini, Presiden Jokowi marah karena Kemenkes lambat sekali menyerap dana Covid-19 yang jumlahnya 75 triliun rupiah. Berbagai sumber menyebutkan, yang terjadi bukan lambat menyerap melainkan duitnya tidak tersedia. Benarkah begitu? Inilah yang ingin diketahui rakyat. Selanjutnya, isu kas negara kosong. Di pertengahan 2019, pernah juga ada kabar bahwa kas negara dalam keadaan kosong. Tapi, Menkeu Sri Mulyani langsung menegaskan hal itu tidak benar. Kata Sri, masih ada uang 90 triliun. Cukup untuk membayar tiga bulan gaji PNS. Di akhir 2014, sebulan setelah dilantik untuk periode pertama, ada juga kabar bahwa kas negara kosong. Namun, kekosongan kas waktu itu tentu tidak dapat dikaitkan langsung dengan kepresidenan Jokowi. Karena baru saja dilantik. Nah, pada saat ini kalau benar kas negara kosong, maka persoalan itu menjadi murni tanggung jawab penuh Presiden Jokowi. Tidak terkait dengan pemerintahan sebelum 2014. Publik sangat wajar bertanya tentang benar-tidaknya kas negara saat ini dalam keadaan kosong. Masalah ini tidak boleh ditutup-tutupi. Publik berhak mengetahui kondisi yang sebenarnya. Sebab, kabar yang sifatnya spekulatif perlu dicegah agar tidak menjadi perdebatan liar. Semoga ada penjelasan yang komprehensif dan kredibel.[] (Penulis wartawan senior)
UUD 45 10 Agustus 2002 Beda Dengan UUD 18 Agustus 45
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Bismillaahirrohmaanirrohiim. Petisi tolak UUD ‘45 palsu. Tanggal 10 Agustus 2002, delapan belas tahun yang lalu, di tempat ini telah terjadi kudeta konstitusi, sehingga melahirkan UUD ‘45 palsu. Kami yang tergabung dalam Gerakan Alumni Mahasiswa 77/78 dari tempat yang sama mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu dalam usaha menolak UUD ‘45 palsu. Tertanda eksponen Gema 77/78. Jakarta 10 Agustus 2020”. (Gema 77/78, DPR RI, 10 Agustus 2020). Jakarta FNN – Kamis (13/08). Selain Gerakan Mahasiswa 77/78, penolakan juga terjadi di Pengadilan Negeri Jakpus oleh emak-emak, dengan spanduk “Tolak UUD 1945 Palsu”. Mengapa di PN Jakpus ? Pasalnya, sedang berproses gugatan dari LBH Solidaritas Indonesia, atas nama dr. Zulkifli S. Ekomei terhadap amandemen UUD ’45. Pada 10 Agustus 2020, Patriot Proklamasi menggelar Webinar, pembicara utama dr. Zulkifli S. Ekomei. Secara umum sepakat amandemen UUD ’45 bukanlah UUD ’45 yang disahkan 18 Agustus 1945. Saat ini, banyak pakar dan tokoh berpendapat sama. Kita bisa melakukan argumentasi dan perbandingan seperti di bawah ini. Pertama. Adanya argumentasi, amandemen UUD 1945 berdasarkan Pasal 37 UUD 1945. Padahal, Mr. Soepomo menjawab usul Iwa Koesoema Soemantri pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, bahwa Bab XVI Perubahan Undang Undang Dasar Pasal 37, hanya untuk penyempurnaan yang bersifat tehnis. (Sekneg RI, 1998, Risalah Sidang BPUPKI – PPKI, halaman 546). Pakar Hukum Tata Negara Maria Farida mengatakan sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru. Sedang Jimly Asshiddiqie juga mengakui, UUD 1945 setelah empat kali amandemen mengalami perubahan sampai 300 persen. (Yop Pandie, Polemik Cabut Mandat SBY, halaman 132). Dengan demikian, argumentasi menggunakan Pasal 37 UUD 1945 tidaklah benar. Sebab, bukan perubahan tehnis, tetapi sudah mengganti UUD 1945. Kedua. Penetapan Perubahan Keempat UUD 1945, oleh Ketua MPR RI Prof. Dr. H.M. Amien Rais dengan Wakil Ketua Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, Ir. Sutjipto, K.H. Cholil Bisri, Drs. H.M. Husnie Thamrin, Agus Widjojo, Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, S.PD, Drs. H.A. Nazri Adlani, antara lain berbunyi : (a) “Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat”. Benarkah hasil amandemen adalah UUD 1945, 18/8/1945? Penetapan tersebut perlu diuji dengan cara membandingkan. Agar mudah, untuk selanjutnya, hasil amandemen kita sebut UUD 2002. Ketiga. UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Sedangkan UUD 2002 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. UUD 2002 tidak ada penjelasan. Padahal, ‘penjelasan’ sangatlah penting untuk mengetahui nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Indonesia Merdeka, yang dirumuskan “The founding fathers and mothers”. Keempat. UUD 1945 memiliki Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sedangkan UUD 2002, tidak memiliki Bab IV. Bab III lompat ke Bab V. Postur semacam ini tidak lazim. Skripsi saja, jika ada Bab yang terlewat pasti tidak diterima. DPA dalam ketatanegaraan sangatlah penting untuk menjawab pertanyaan Presiden dan usul kepada pemerintah dalam bernegara. DPA berisi tokoh yang kredibel, bukan tim sukses urusan pembangunan citra dan pemenangan Pilpres. Kelima. UUD 1945 Pasal 6 (1) : Presiden adalah orang Indonesia asli. Sedangkan UUD 2002, calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Nilai-nilai dan suasana kebatinan ketika Pasal 6 (1) UUD 1945 disusun sangatlah berbeda dengan Pasal 6 UUD 2002. ‘The founding fathers and mothers’ menyusun atas dasar perjuangan, peran dan posisi kaum boemipoetra dalam merebut kemerdekaan, dan prediksi jauh ke depan, untuk memertahankan NKRI. Karena itulah Presiden adalah orang Indonesia asli. Video Dr. J. Sahetapy dihadapan komunitas etnis dan agama tertentu dengan bangganya mengaku dirinyalah satu-satunya orang yang mengusulkan kata ‘asli’ dihapus. Artinya, tanpa kajian akademis, bukan usul dari Fraksi dan patut diduga memiliki tujuan tertentu, agar warga negara dari etnis dan agama tertentu bisa menjadi Presiden. Keenam. Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB tahun 1960 memperkenalkan Sila ke-4 Pancasila sebagai ‘Demokrasi Indonesia’. Nilai-nilai Pancasila ditransformasikan dalam demokrasi ala Indonesia dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 (2) UUD 1945. Sedangkan dalam UUD 2002, Demokrasi ala Indonesia tersebut berubah total. MPR bukan Lembaga Tinggi Negara yang tertinggi. MPR bukan lagi penjelmaan rakyat Indonesia. Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak ditemui di MPR. Calon Presiden dan Wapres hanya Parpol yang bisa mengusulkan. Kedaulatan rakyat ditangan rakyat hanya selama menit di bilik coblosan. Selebihnya kedaulatan sudah berpindah memnadi milik Parpol. Ketujuh. Secara umum, banyak pakar dan tokoh menilai pasal-pasal dalam UUD 2002 tidak koheren dengan nilai-nilai Pancasila. Berbeda dengan pasal-pasal dalam UUD 1945, yang hakikatnya penjabaran dari nilai-nilai Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945. Ibaratnya tidak perlu menguji di Laboratorium Forensik Polri. Menggunakan nalar akademis yang dibatasi dinding-dinding kejujuran dan kepentingan bangsa dan negara, perbandingan di atas menunjukan, UUD 1945 (10/8/2002) tidak identik dengan UUD 1945 (18/8/1945). Bahasa populernya UUD ‘palsu’. Dengan menggunakan ilmu kriminalistik, melalui Laboratorium Kriminal akan bisa ditentukan apakah obyek itu asli atau palsu. Lalu bagaimana dengan dokumen Undang-Undang Dasar? Dimana bisa diuji? Sebab saat ini sebagian rakyat mengatakan hasil amandemen UUD 1945 bukanlah UUD 1945 alias “palsu” dan sudah masuk gugatan di Pengadilan Negeri Jakpus. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 dab Rumah Kebangkitan Indonesia.
Ma'ruf Amin Bisa Lakukan Counter Attack!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (13/08). Ma'ruf Amin, selain seorang ulama kharismatik, dia juga seorang politisi kawakan. Malang melintang di dunia politik. Lama berkiprah sebagai politisi PPP, dan menjadi anggota DPRD DKI tahun 1977. Ketika PKB lahir, Ma'ruf Amin pindah, dan ikut membesarkan PKB. Malah menjadi salah satu anggota DPR terpilih dari PKB tahun 1999. Kiprahnya di dunia politik cukup matang. Bahkan makomnya sudah sangat tinggi. Politisi kelas Ma’ruf Amin ini kalau di Ilmu Ma’rifat, sudah tingkatan wali besar bidang politik. Banyak orang yang menganggap enteng makom Ma’ruf Amin di politik. Hanya melihat sosok Ma'ruf Amin sebagai ulama saja, terutama perannya sebagai Rais Am PBNU dan Ketua MUI. Jauh sebelum menjadi Kiyai top, Ma'ruf Amin telah lama menempa dirinya di dunia politik. Sebagai kader PPP dan kemudian membesarkan PKB, cukup menjadi bekal Ma'ruf Amin mengasah pengalaman politiknya. Bahkan di tahun 1970-an sampai awal 1990-an, Ma’ruf Amin punya suluran komunikasi politik yang cukup lancar dan baik dengan tokoh-tokoh penting di eranya Orde Baru. Salah satunya mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. M. Amidhan. Sangat keliru, bahkan beliru besar jika ada pihak-pihak yang mengecilkan kemampuan dan isnting berpolitik Ma'ruf Amin. Kiyai yang satu ini punya insting politik yang luar biasa tajam. Terbukti, ia berhasil menyingkirkan dominasi Mahfuz MD dari posisi cawapres Jokowi di last minute hanya dalam hitungan jam sebelum deklarasikan oleh gabungan Partai Potilik koalisi pendung Jokowi. Jokowi yang semula meminta Mahfuz MD untuk menjadi cawapresnya, mendadak batal! Padahal, jas yang sedianya akan dipakai saat deklarasi capres-cawapres sudah dikirim oleh itana kepada Mahfuz. Ternyata nggak jadi dipakai Mahfuz MD. Yang deklarasi hari itu justru Jokowi-Ma'ruf Amin. Sakitnya sih disini. Tapi, belakangan posisi menkopolhukam setidaknya telah mengobati Mahfuz. Tidak saja Mahfuz MD, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang jauh-jauh hari sudah pasang iklan cawapres dimana-mana, tersingkir juga. Ternyata, menjadi ketua umum PKB tak cukup mampu untuk melawan Ma'ruf Amin. Begitu juga dengan KH. Said Aqil Siroj. Ketua PBNU ini juga tak dipilih Jokowi untuk mendampinginya di pilpres 2019. Dan cerita ini dibongkar semua detil-detilnya oleh Mahfuz MD dalam dialognya di televisi swasta. Pokoknya jangan main-main deh dengan Ma'ruf Amin. Terpilihnya Ma'ruf Amin sebagai cawapres saat itu adalah bukti kalau kepiawaian sang kiyai memainkan peran dan irama politiknya sangat dahsyat dan luar biasa. Kalai ini sebagai takdir, itu pasti. Tapi Tuhan tentu selalu menghitung ikhtiar hamba-Nya. Nah, soal ikhtiar inilah yang dikapotalisasi dengan matang oleh tingginya makon politik Ma’ruf Amin. Sampai hari ini, tak ada celah konstitusional untuk Ma'ruf Amin dilengserkan. Itu pasti. Pintunya Cuma satu, Ma’tuf Amin maun mundur secara sukarela. Kalau Ma'ruf nggak mau mundur? Maka, dipastikan tak ada pergantian wapres sampai 2024. Disinilah, Ma'ruf Amin akan melihat siapa-siapa saja yang sekarang mengincar posisinya. Pasti ia tak akan tinggal diam. Desas desus (kabar-kabur), soal pergantian Ma'ruf Amin di tengah jalan sudah didesign menjelang Pilpres 2019 lalu. Bahkan isunya sudah ada kesepakatan antara Ma'ruf Amin dengan pihak yang memberi rekomendasi. Emang ada buktinya? Seandainya kesepakatan itu ada, toh dalam politik, semua perjanjian tak berlaku. Bisa saja meleset dalam perjalanan. Perjanjian Batu Tulis antara Prabowo-Megawati adalah salah satu contohnya paling yahud. Juga perjanjian (konon tertulis) antara Prabowo-PKS terkait komposisi capres-cawapres di pilpres 2019 lalu. Prabowo Calon Presiden, Calon Wakil Presiden dari PKS Bahkan janji Prabowo terkait Wagub DKI dari PKS sebagai pengganti Sandi pun tak berlaku. Janji politik, memang beda dengan janji-janji yang lain. Tingkat melesetnya lebih tinggi. Bahkan bohongnya juga sangat tinggi. Salah sendiri anda mau percaya. Kebohongan berjama'ah terjadi terutama saat pileg, pilkada dan pilpres. Pemilu adalah pasar untuk obral janji kebohongan itu. Bagaimana jika Jokowi juga mendukung pergantian Ma'ruf Amin? Ingat, Ma'ruf Amin memang lebih sepuh. Namun soal pengalaman mengelola irama politik, belum tentu Jokowi lebih matang. Kalau adu kuat? Ma'ruf bisa mengkapitalisasi NU dan umat Islam untuk melakukan perlawanan. Bisa-bisa, bukan Ma'ruf yang diganti, tapi Jokowi yang akan dilengserkan. Bisa saja terjadi counter attack! Saat Jokowi lengser, Ma'ruf Amin yang menjadi presiden. Presiden kedua dari NU. Ini akan mennjadi sejarah. Jika 23 Juli 2001 Gus Dur (NU) diganti Megawati (PDIP), maka tak ada yang bisa menjamin Jokowi (PDIP) tidak lengser dan diganti oleh Ma'ruf Amin (NU). Hari esok, tak seorang pun yang tahu bagaimana takdir itu meneteskan tintanya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Tolong Jangan Buat Stress Kiyai Ma’ruf Amin
by Asyari Usman Jakarta FNN, Rabu (12 Agustus 2020). Dalam beberapa hari ini bermunculan berbagai teori tentang kemungkinan Wapres Ma’ruf Amin mundur atau dimundurkan dari jabatan wakil presiden. Beliau disebut-sebut akan digantikan oleh salah seorang pejabat tinggi. Bisa jadi Menhan Prabowo Subianto atau mungkin pula Budi Gunawan –kepala BIN. Jadi, Pak Kiyai sedang menghadapi tekanan politik dan psikologis yang sangat berat. Termasuk, misalnya, beliau itu dikatakan sudah tua, sudah uzur, dsb. Menyakitkan sekali. Bukankah Pak Kiyai Ma’ruf itu pilihan terbaik Jokowi, yang berarti juga pilihan Anda semua? Kenapa sekarang diremehkan. Saya khawatir pengunduran diri Kiyai Ma’ruf dari jabatan wakil presiden, kalau itu terjadi, bukan karena tekanan politik. Melainkan gara-gara stress akibat berbagai “teori ganti wapres” yang beredar luas di masyarakat. Teori-teori itu ada yang menyebutkan Pak Kiyai akan dipaksa mundur. Atau, bisa jadi ada deal supaya beliau mundur secara sukarela. Pak Kiyai diseut-sebut akan mengajukan pengunduran diri tanpa paksaan, dsb. Diteorikan pula bahwa Jokowi lebih suka dan lebih berat ke Prabowo sebagai pengganti. Dengan alasan dia mantan tentara. Bisa diandalkan kalau terjadi gejolak sosial karena situasi ekonomi yang morat-marit saat ini. Teori lain menyebutkan, kelompok Megawati akan mendukung Budi Gunawan. Macam-macam. Intinya, Ma’ruf Amin ‘hampir pasi akan diganti’. Kasihan sekali Pak Kiayai. Beliau dianggap tidak ada apa-apanya. Dikatakan tidak punya kekuatan politik. Tidak pula didukung struktur NU. Dan tidak punya basis massa. Artinya, kalau ada yang menginginkan beliau mundur, mau tak mau Pak Kiyai harus ikut saja. Tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh menyedihkan. Padahal, secara konstitusional, tidak mudah untuk memundurkan seorang wapres. Harus ada sidang MPR. Kecuali beliau mundur sukarela. Dengan alasan kesehatan atau alasan lain. Tapi, apa iya Kiyai Ma’ruf akan menerima saja dibegitukan? Tampaknya, tidak. Selemah-lemahnya posisi seorang pejabat negara yang ‘berkedudukan sah-konstitusional’, tidaklah mungkin dia akan menerima begitu saja perlakuan yang kasar terhadap dirinya. Pastilah dia akan menunjukkan perlawanan. Meskipun perlawanan yang tak berarti. Perlawanan yang sia-sia. Tapi ingat! Pak Ma’ruf Amin itu seorang kiyai. Sesepele apa pun orang menganggapnya, Pak Ma’ruf masih bisa berdoa. Kalau dia merasa dizolimi, hati-hatilah. Doa orang yang dizolimi, biasanya, mustajab. Kalau sekiranya skenario penggantian Kiyai Ma’ruf disusun oleh orang-orang Pak Jokowi, berarti doa si terzolim dengan sendirinya terarah ke sana. Kalau disusun oleh kelompok Bu Megawati, maka doa kezoliman akan otomatis mencari sasarannya. Jika yang menyusun Pak Luhut, maka Pak Menkolah yang akan menjadi subjek doa alias pihak yang terdoa. Yang lebih ngeri lagi ialah kalau Pak Ma’ruf dilanda stress akibat teori-teori mundur atau dimundurkan itu. Makin berat stress beliau, semakin muluslah doa penzoliman itu untuk diterima. Meskipun dulu Pak Kiyai pernah tidak jujur (saya tak menggunakan kata ‘berbohong’) soal mobil Esemka. Dan juga pernah mengatakan bahwa anak-anak PAUD terpapar radikalisme. Kelihatannya, lebih baik Anda tidak membesar-besarkan isu mundur atau pemunduran Kiyai Ma’ruf. Sebab, sedikit-banyak ada unsur pengerdilan terhadap beliau. Walaupun sejak menjadi capwapres sampai sekarang ini banyak hal-hal yang mengherankan yang beliau katakan dan lakukan. Satu pesan penting untuk Anda: janganlah katakan Pak Ma’ruf itu sudah tua, uzur, sepuh, atau sebutan lain. Keliru itu. Lihatlah semangat kerja beliau. Lihatlah semangat politik Pak Ma’ruf. Beliau masih bergairah untuk membangun dinasti. Beliau mendorong anaknya maju di pilkada Tangerang Selatan. Kurang apa lagi Pak Ma’ruf itu di mata kalian? Jadi, tolonglah hentikan bahasan Wapres akan mundur atau dimundurkan. Janganlah buat stress Pak Ma’ruf Amin.[] (Penulis wartawan senior)
Caligula (Bag. 2-Habis)
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Selasa (11/08). Manakala disimak lebih cermat pesan yang terekspresikan di dalam pementasan teater “Caligula”, yang mengungkap adanya penyalahgunaan kekuasaan yang ditutupi secara terus menerus. Itulah yang mau dikatakan sang pengarang Albert Camus. Maka “Caligula” menjadi media pengungkap secara verbal tentang bagaimana seorang penguasa mengunakan semua cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Membangun citra diri sebagai pemegang kendali tertinggi di negerinya. “Caligula” mempertontonkan bagaimana perilaku seseorang yang berada di puncak kekuasaan, hendak melakukan banyak hal sekaligus. Menginginkan perintahnya dipatuhi . Menghendaki recananya tidak dihalangi. Mengesankan dirinya orang kuat. Melalui semua signal simbolik itu sesungguhnya yang terlihat tapi tersembunyi adalah “menutupi semua kelemahannya”. Walaupun malah mencuat keseombongan dan kesewenang-wenangan, yang berjarak sisa satu senti dari sifat otoriter. “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu….” kata Camus. Watak seorang penguasa otoriter seperti “Caligula” tiap saat dijumpai dari masa ke masa. Otoriterianisme itu memang sebuah keniscayaan yang melekat di dalam jiwa dan sanubari seseorang yang bernama manusia. Itu sebabnya sebaris sajak Mohammad Iqbal, sastrawan dunia asal Pakistan Mohammad Iqbal (1877-1938) menjadi penting dibaca ulang , “jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya”. Disamping diperlukannya koridor undang-undang dan ketatanegaraan. Ketika sejumlah pejabat penting Istana mengingatkan kepada “Caligula”, tentang telah banyak kebijakan yang diambilnya tidak sejalan dengan nalar. Caligila dengan enteng tapi pasti menjawab, “kuulangi lagi-karena itulah, sekarang aku menjelajah apa yang dianggap orang tidak mungkin. Atau lebih baik kukatakan begini. Akus sedang berusaha memungkinkan yang tidak mungkin”. Menanggapi reaksi orang dekatnya di Istana yang meragukan keberhasilan beberapa rencananya yang dinilai tidak masuk akal, “Caligula bergeming. Dia merasa kekuasaan yang diperolehnya sebagai kaisar bersifat mutlak. Dia menganggapnya itu adalah sebuah mandat mutlak yang mensejajarkan dirinya sama dengan “Tuhan” atau Dewa. “Aku sangsi apakah penemuan ini akan dapat membuat kita bahagia?” kata salah seorang pejabat Istana memberi tanggapan atas apa yang direncanakannya.” Caligula” dengan dingin menjawab, “aku pun begitu. Tapi kukira kita harus menjalaninya”. Tanpa perlu pendapat lebih jauh dengan kerabatnya itu, “Caligula” dengan suara lantang mengatakan, “Dan aku telah memutuskan untuk merubahnya. Aku akan memberikan sesuatu yang besar kepada zaman ini. Sama rata. Dan kalau semuanya telah disamaratakan, yang mustahil telah turun ke bumi dan bulan telah ada dalam tanganku. Barangkali aku akan berubah bersama dunia. Manusia tidak akan lagi mengenal mati, dan berbahagialah selalu”. Semenjak sembuh dari serangan penyakit aneh, “Caligula’ seperti di kejar-kejar oleh suatu kehendak yang sepertinya harus mutlak didapatkannya. Yakni ingin mendapatkan bulan! Suatu malam, ketika dia kembali ke Istananya, setelah bepergiannya tanpa diketahui di tempat-tempat mana saja dia bersitirahat. Ketika menghilang selama tiga hari, dia tiba-tiba histeria dan berucap, "Aku inginkan bulan". Kata-kata mustahil itu terlontar begitu di hadapan pejabat penting. Intinya “Caligula” menghendaki bulan harus tergenggam olehnya. “Dan cinta? Apa kau akan mengingkari cinta?” ucap perempuan yang menjadi salah seorang isterinya yang setia mendampinginya. “Caligula” marah dan meledak , “Cinta? Aku sudah tahu apa yang disebut cinta-omong kosong! Pengawal tadi benar. Bahwa yang maha penting cuma perbendaharaan. Puncak dari segalanya. Dan kini aku mau hidup, hidup yang sebenarnya. Dan hidup, sayang, adalah lawan dari cinta. Aku tahu apa yang kukatakan. Aku undang kau untuk menghadiri sebuah pertunjukan yang paling indah, suatu kejadian besar”. Nafsu materialistik telah mengangkangi jiwa “Caligula”, seiring dengan adanya perubahan kejiwaan setelah sakit. Pandangannya yang materialistik membuatnya semakin tidak perduli dengan komunikasi antar hati. Hubungan batin dengan batin. Telah membunuh benang merah hubungan kemanusiaan dengan kemanusiaan. “Caligula” telah sempurna menjadi “iblis” bagi manusia. Apalagi ketika dia telah menyatukan kekuasaan dan harta. Memposisikannya sebagai sesuatu yang diatas segala galanya. Kepada kedua unsur itulah dia mengarahkan hidupnya. Celakanya orang lainpun dipaksa untuk ikut bersamanya. “Caligula” suka sesuatu yang tidak masuk itu akal didapatnya. Tapi, dengan mudah memerintahkan prajuritnya untuk mencarinya. Meski yang diperintah tak tahu bagaimana memenuhi keinginan sang kaisar. Ketika menerima laporan kondisi terkini pemerintahannya, tentang kondisi keuangan kerajaan yang menipis . Sumber pemasukan seluruhnya tersendat. Persediaan pasokan makanan mulai tergerus habis. “Caligula” sang kaisar itu, lagi-lagi kembali marah dan marah. Belakangan sejak sembuh, dia menjadi gampang marah. Semua hasil kerja pembantunya dikecamnya secara terbuka. Dia tidak perduli apakah itu penghinaan atau bukan. Yang penting daripadanya “Caligula” merasakan suatu kebahagiaan. Informasi mengenai memburuknya kondisi keuangan kerajaan yang berimplikasi kepada memburuknya citra kerajaannya, tidak membuat “Caligula” bersedih. Sebaliknya, daripadanya dia serentak mendaptkan ilham dan ide baru. Ide gila. Seluruh bangsawan di wilayahnya diwajibkan menulis surat wasiat untuk menyerahkan kekayaannya kepada negara. Ide gilanya itu tentu saja menuai protes. Dua pengawal dengan gemetar menyampaikan keheranannya. Mana ada bangsawan yang mau memberikan hartanya. “Caligula” memutuskan untuk menyeimbangkan kembali kas negara. Dia memerintakan penarikan pajak atas semua barang. Dia dikenal menyukai lelang, sehingga seringkali ia menjadi juri lelang itu sendiri. Senang menjual para budak dan gladiator, dan terkadang ia memaksa orang-orang kaya untuk datang ke pelelangannya itu. Seorang bangsawan tertentu dikisahkan telah dipaksa untuk hadir mengangguk-angguk sambil tidur. Ternyata oleh “Caligula” diartikan itu sebagai persetujuan. Ketika orang itu sadar ia mendapati bahwa ia telah menyetujui “membeli” 13 gladiator dengan harga yang fantastis. “Untuk itu” kata “Caligula”, “aku memerlukan orang banyak, penonton, korban-korban, penjahat beratus, bahkan beribu orang. Biar datang semua terdakwa, aku mau lihat penjahat-penjahat. Mereka semua penjahat. Bawa masuk manusia yang terkutuk itu . Aku ingin penonton, hakim, saksi, terdakwa, semua dijatuhi hukuman mati tanpa diadili” Bagi Camus, untuk mendorong terbukanya ruang perubahan, dia memilih menempuh “jalan sastra” dengan menggunakan narasi patriotik sugestif. Pemberontakan (Revolt). Hal itu terungkap dalam semua karya-karyanya. Camus konsisten memelihara rute ”jalan sastra” untuk membongkar ketidakadilan berselubung demokrasi. Tulisan-tulisan dan filosofi Camus kerap dipenuhi dengan ide absurdisme dengan tema “pencarian manusia akan makna dan kejelasan dalam dunia yang tidak menawarkan penjelasan”. Melalui imajinasinya yang “liar”, Camus mencoba melabrak semua tatanan peradaban norma berkehidupan. Mentransfernya melalui karya tokoh imajinatif “Caligula” atau Sysiphus. Melalui tokoh-tokohnya itu, Camus menemukan ruang untuk memberontak. Dia menggugat kebenaran yang disaksikannya dimonopoli dan disalah gunakan oleh mereka yang disebut penguasa. Sebuah pesan WhatsApp seorang teman masuk ke handphone saya. Meminta menulis lengkap puisi karya Iqbal sebagai berikut, “jika kekuasaan membawa orang pada arogansi”. Puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan mereka, akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. Menyusul pesan WhatsApp yang pendek. Sangat pendek sekali. Apa kabar Indonesia? Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Ma'ruf Amin Yang TKO atau Meng-KO Jokowi?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (11/09). Tentu ada pihak yang ingin Ma'ruf Amin mundur dengan baik-baik. Alan bisa dicari-cari. Ada ratusan, bahkan ribuan alsan bisa saja diproduksi untuk memuluskan rencana tersebut. Sebab, posisi Wakil Presiden saat ini sangat strategis. Terutama untuk persiapan pilpres 2024. Siapapun yang menjadi Wakil Presiden, ada kans besar untuk maju di Pilpres 2024 mendatang. Di politik itu semua serba mungkin. Walapun demikian, kans Ma'ruf Amin untuk maju jadi capres 2024 sangat kecil. Pertama, karena faktor usia. Ini menjadi unsur utama. Kedua, nggak punya partai, juga nggak punya logistik. Jadi, peluangnya cukup kecil. Sementara Jokowi, waktunya sudah habis. Sudah dua periode. Ada pihak yang coba otak atik agar bisa tiga periode, tetapi peluangnya juga kecil. Rakyat mayoritas tak bakal menerima. Selain kapok juga punya presiden seumur hidup. Sampai dengan berakhir di 2024 aja belum tentu, bagaimana mau nambah? Begitulah kira-kira keraguan sejumlah pihak tentang posisi Jokowi hari ini. Mengingat fakta obyektif, dimana posisi Wakil Presiden sangat strategis untuk menjadi panggung persiapan di pilpres 2024, maka magnet politiknya menjadi sangat kuat. Menggoda sejumlah pihak untuk membidiknya. Nama Prabowo Subianto dan Budi Gunawan sudah mulai dibicarakan sebagai kandidat pengganti Ma'ruf Amin. Apakah Ma'ruf Amin diam saja? Bisa iya, bisa juga tidak. Hanya Ma’ruf Amin dan Tuhan yang paling tau renana besar Ma’ruf Amin yang sebenarnya. Diganti di tengah jalan, tentu tak membuat siapapun nyaman. Tidak saja buat Ma'ruf Amin, tetapi juga buat mereka yang selama ini memberi dukungan kepada Ma'ruf Amin. Terutama orang-orang yang berada di lingkaran ketua MUI non aktif ini. Apalagi yang dari keluaga besar nahdiyin. Jika Ma'ruf Amin tak bersedia mundur karena alasan udzur, maka pergantian Wakil Presiden hampir mustahil bisa terjadi. Meski sudah berusia senja, namun Ma'ruf Amin terlihat masih sehat, bugar dan bisa bekerja dengan baik sebagai Wakil Presiden. Ada yang bertanya, apa peran dan kontribusi Ma'ruf Amin selama jadi wakil presiden? Bagaimana jika pertanyaannya dibalik, apa peran yang diberikan Jokowi kepada Ma'ruf Amin sebagai presiden selama ini? Apa power sharing Jokowi kepada Ma'ruf Amin? Adakah Ma'ruf Amin diajak serta untuk bicara dalam penyusunan kabinet? Policy apa yang dishare oleh Jokowi untuk Ma'ruf Amin? Pertanyaan yang lebih sederhana lagi, apakah Ma'ruf Amin juga diberikan jatah direksi dan komisaris BUMN? Mengacu pada pertanyaan-pertanyaan itu, maka publik akan melihat betapa tak seimbang antara lahan presiden dengan wakil presiden. Selama jadi presiden, Jokowi tampak power full. Hampir semua peran diambil Jokowi. Publik menilai Wakil Presiden tak lebih jadi pelengkap semata. Hanya sebatas itu. Tidak lebih dari pelengkap itu Bercermin pada periode pertama Jokowi, dimana peran Jusuf Kalla sebagai Wakil Presieen jauh lebih kecil dibanding ketika menjadi Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004-2009. Ketika itu SBY memberikan peran yang sangat besar kepada Jusuf Kalla di bidang ekonomi. Semacam kordinator semua menteri bidang ekonomi, termasuk Menko Perekonomian. Kalau Jusuf Kalla saja tak banyak bisa berperan, bagaimana dengan Ma'ruf Amin? Ini perbandingan obyektif jika kita ingin memahami kedaan Ma'ruf Amin dalam posisinya sebagai Wakil Presiden Jokowi. Jadi, kecurigaan publik selama ini mungkin bisa dijawab, mengapa Ma'ruf Amin selama ini jarang tampil. Mungkin karena kecilnya lahan untuk memainkan peran. Apakah minimnya peran Ma’ruf Amin ini ada kaitannya dengan posisi Wakil Presdein yang sedang diminati dan diincar oleh sejumlah pihak? Atau hanya gaya-gaya Jokowi dalam berpartner? Semua kemungkinan bisa terjadi ke depan. Meski posisi politik itu Ma'ruf Amin terlihat lemah, tak berarti mantan Rois Am PBNU ini harus terus mengalah dan diam. Apalagi jika terjadi krisis ekonomi. Disamping itu, mulai membesarnya kelompok oposisi, terutama yang sedang dikonsolidasikan oleh Prof. Din Syamsudin dan teman-teman dibawah bendera Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Boleh jadi Ma'ruf Amin justru yang akan mendapatkan bola muntah. Bukan dia yang TKO dengan mengundurkan diri dari Wakil Presiden, tapi malah berhasil meng-KO Jokowi. Untuk urusan ini, Ma'ruf Amin butuh bersinergi dengan PKB, PBNU, MUI dan elemen umat yang berpotensi memberi dukungan kepadanya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.