Pandangan KAMI Logis Dan Realistis
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum
Jakarta FNN – Kamis (20/08). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang diinisiasi oleh beberapa puluh orang, telah dideklarasikan. Deklarasi dilangsungkan di Tugu Proklamasi tanggal 18 Agustus, kemarin. Tak diduga deklarasi itu dihadiri oleh ribuan orang, dan sejauh berita yang tersaji, yang hadir berasal dari berbagai kalangan.
Prosesinya memang berkelas. Namun yang terpenting adalah ketepatan mereka mengidentifikasi masalah-masalah inti yang melilit begitu kuat jiwa dan tubuh bangsa hari ini. Masalah-masalah itu mudah diverifikasi secara obyektif. Tidak mengada-ada. Semua bisa dicek rinciannya secara akademik.
Sulit Mengingkari
Naik dan bekerjanya pikiran ugal-ugalan yang memberi angin kencang untuk kebangkitan komunis teridentifikasi oleh KAMI. Dalam pandangan mereka, pikiran ini ditrasformasi ke dalam RUU HIP. Di saat yang sama krisis ekonomi yang untuk sebagian ekonom telah nyata. Krisis yang mengakibatkan derita rakyat terus dan semakin membesar.
Oligarki, korporasi, dan konglomerasi, terlihat teridentifikasi sebagai penyebab terbesar semua masalah ini. Oligarki itu sudah merupakan semua penyakit politik dan hukum yang bahanya tak tertandingi. Apakah penyakit itu memiliki bobot membahayakan kelangsungan bangsa ini?
Sejarah mengunci siapapun untuk tak perlu terlalu berkeringat mencari fakta yang dapat menyangkal bahaya penyakit-penyakit itu. Penyakit-penyakit itu, jelas membahayakan bangsa. Tidak ada ketidakadilan hukum, ekonomi dan politik yang menyenangkan.
Tidak ada oligarki yang ditopang oleh keadilan. Tidak ada oligarki yang tidak menghasilkan korupsi. Malah oligarki itu sendiri telah merupakan korupsi dalam bentuknya yang asli. Oligarki tidak cukup dijelaskan dengan menunjuk kelemahan institusional sebagai penyebabnya. Tidak.
Akar terdalam oligarki ada pada sistem politik. Tidak lebih. Itu telah ditunjukan sejak Romawi kuno. Mereka membentuk penguasa, dan penguasa yang dibentuk itu berfungsi sebagai katalisator kepentingan mereka dalam banyak aspek. Itu disajikan Machiavelli sebagai bahaya orang kaya dalam sebuah republik.
Orang-orang kaya ini memandang orang miskin, pas-pasan. Tak lebih dari sekadar soal angka statistik. Tak pernah soal itu dikerangkakan dalam panduan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan oligarki, problem ini hanya dijelaskan sebagai soal teknis semata.
Pembaca FNN yang budiman, keagungan nilai-nilai kemanusiaan itulah dasar utama pembentukan republik, dimanapun di dunia ini. Sayang, oligarki tak menghenal nilai-nilai agung itu. Begitu oligarki melembaga dalam sistem, saat itulah semua nilai hebat itu melayang.
Sejak oligarki melembaga, sejak itu pemerintah, dimanapun tak lagi bisa bertindak berdasarkan nurani atau jiwa konstitusi. Malah jiwa konstitusi diselewengkan. Oligarki cukup cerdas dalam menyediakan ide-ide. Konsep-konsep tata negara non teks konstitusi seperti inherent power, presidential privilege, presidential prerogative, memang terlihat hebat. Tetapi bila dikenal rinciannya secara praktis, maka konsep-konsep itu menjadi mantel hukum dan politik untuk kepentingan tersembunyi mereka.
Sebagian dari konsep-konsep itu mengalir dari kaki tangan oligarki. Ini jelas berbahaya. Sama bahayanya dengan pemaduan sosialisme dan demokrasi. Cukup sering perpaduan dua konsep ini ditunjuk sebagai fundasi lahirnya konsep pemerintahan progresif.
Tahukah konsep pemerintahan progresif, dalam praktiknya di negara lain merupakan merupakan jalan tol atas tindakan-tindakan administrasi negara yang melampaui perintah konstitusi? Tahukah anda bahwa konsep ini melahirkan konsep negara kesejahteraan?
Tahukah tipikal negara kesejahteraan adalah pemerintah aktif terlibat dalam setiap senti kehidupan masyarakat? Tahukah konsep negara kesejahteraan dengan tipikal itu pada awalnya, malah teridentifikasi sebagai negara fasis? Setidaknya Herbert Hoveer, capres petahana yang menolak proposal oligarki, telah mengidentifikasinya. Akibatnya ia kalah dalam pemilu presiden Amerika tahun 1932.
Penangguhan hak budget DPR melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020, dalam esensinya merupakan pengambi-alihan hak DPR oleh Presiden. Apakah cara ini hendak dibenarkan dengan konsep pemerintahan progresif khas Woodrow Wilson? Secara konstitusional, tidak bisa.
Pemerintahan Bermasalah
Jangan tanya apa yang diberikan negara kepada anda. Tetapi tanyakanlah apa yang mungkin anda berikan kepada negara. Ini kalimat hebat yang membahana di dunia setelah diucapkan John Kennedy, Presiden Amerika Serikat muda usia, cerdas dan tampan itu pada tahun 1962. Oke itu. Tetapi bukan tanpa masalah.
Bila kata-kata hebat ini diterima apa adanya. Dipakai dalam kehidupan nasional Indonesia, maka akibatnya jelas. Negara ini bisa jadi fasis. Pemerintah tak boleh dikoreksi. Kebenaran dan kepantasan semuanya bersandar pada sikap pemerintah. Pemerintah memonopoli kebenaran. Itu bahayanya.
Bahaya itu bekerja pada, misalnya penguasaan puluhan ribu hektar tanah oleh satu dua korporasi tak bisa disoal. Urusan dagang bawang merah, putih, dan lainnya yang acap diidentifikasi orang memiliki aroma kartel, juga penegakan hukum yang berantakan harus diterima apa adanya.
Tidak ada pemerintahan didunia ini yang dibangun atas dasar pikiran pemerintah selalu bertindak sesuai nurani republik. Para pendiri negara ini juga punya asumsi itu. Itulah alasan dibalik pendirian lembaga-lembaga pengawas seperti court dan non court. Pengadilan dan DPR.
Kenyatan itu membawa Thomas Jefferson mengandalkan pers sebagai pilar pengawasan non instuitusional terhadap pemerintahan. Itu menjadi penjelasan otoritatif. Pers muncul menjadi pilar pengawasan di alam demokrasi. Ini kepingan kecil munculnya pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Memutar kembali kiblat bernegara ke Pancasila dan UUD 1945 terlihat menjadi hasrat terbesar KAMI. Itu logis dan realistis. DPR, DPD dan MPR dibayangkan menjadi motor gerak putar itu. Ini terasa imperative. Mungkinkah? Sangat mungkin. Caranya terlalu mudah.
Bikin saja UU menurut panduan Pancasila dan UUD secara hakiki. Mungkinkah DPR dan DPD membelakangi dunia global? DPR hanya perlu tahu dunia global tidak pernah keluar dari arus utama politik ekonomi tunggang-menunggang, machiavelis.
DPR hanya perlu tahu konsep kerjasama, kemitraan, partnership bilateral maupun multilateral. Tidak pernah keluar arus oligarki global. Tidak. Itu kecerdasan mereka. Mengangkangi pasar sumberdaya alam dan ekonomi negara yang berpartner, adalah tujuan terbesar dibalik semua konsep itu.
Di atas semua itu, sistem pemerintahan presidensial menyodorkan presiden sebagai figur utama memegang dan memikul tangung jawab penyelenggaraan pemerintahan. Suka atau tidak, itulah sistem presidensial ini. Terlepas dari siapapun presidennya.
Tanggung jawab tunggal itu melekat pada personal presiden. Bukan pada wakil presiden. Ini menjadi sebab kajian tata negara untuk sistem presidensial menempatkan presiden, siapapun orangnya, pada episentrum setiap masalah pemerintahan. Itu pula sebabnya pemerintahan presidensial selalu diidentikan secara simbolis dengan nama presiden.
Apakah keluhuran budi dan nurani republik yang terdapat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, menuntun dan memandu Pak Presiden dalam merespon KAMI? Hanya Presiden dan Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu.
Menarik ditengah kemunculan KAMI, Ibu Sri Mulyani, menteri keuangan, dengan kalimatnya yang sangat halus menyajikan beberapa masalah dalam pemerintahan ini. Rendahnya serapan anggaran pemulihan corona dan ekonomi nasional, disebabkan antara lain sebagian menteri belum terlatih menyelenggarakan birokrasi.
Kenyataan itu jatuh tepat di atas kenyataan lain yang krusial. Kenyataan lain itu adalah adanya kebijakan yang berubah-ubah (Lihat CNNIndonesia, 19/8/2020). Bagi Ibu Menteri, ini tantangan. Apapun itu, sulit untuk tidak menilai kenyataan itu menggambarkan dengan tepat level kapasitas dan kompetensi pemerintahan ini. Jelas ini masalah.
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.