OPINI
Desentralisasi Pemulihan Ekonomi
by Andi Rahmat Jakarta FNN – Kamis (20/08). Persoalan perekonomian kita bukan lagi soal apakah ekonomi kita sudah mengalami resesi atau belum mengalami resesi. Faktanya, perekonomian Indonesia dalam dua quartal berturut-turut mengalami kontraksi yang berat. Perekonomian tumbuh negatif. Komponen utama pembentuk PDB mengalami tekanan hebat. Konsumsi Rumah Tangga, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), harga yang deflatoir, dan deretan indikator makro lainnya semua menunjukkan situasi “ darurat” perekonomian itu. Namun Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi situasi ini. Hampir semua negara mengalami tekanan ekonomi yang hebat. Dari kelompok G20, hanya china yang tumbuh positif di quartal kedua, sebesar 3,2%. Perekonomian Indonesia juga terpapar pula resiko “ menyendiri” dalam menghadapi persoalan ini. Sistem moneter kita mungkin relatif kuat karena adanya mekanisme “ tolong-menolong” antar bank sentral, baik dalam bentuk Bilateral Swap Arrangement (BSW) maupun Repo Line Arrangement (RLA), yang melapisi daya tahan Bank Indonesia. Tetapi sistem fiskal kita terlihat rentan. Kondisi ini karena makin sempitnya ruang manuver fiskal yang diperlukan dalam mengungkit perekonomian. Ditambah lagi, dengan tidak mudah untuk memperoleh “bantuan“ internasional. Baik dari institusi maupun swasta global yang juga tengah disibukkan dengan pemburukan ekonomi di berbagai negara. Tulisan ini tidak bertujuan mendiskusikan soal tekanan pembiayaan pada Fiskal kita. Fokus tulisan ini adalah pada upaya untuk mengoptimalkan seefektif mungkin sumber daya Fiskal untuk mengungkit perekonomian. Apalagi dalam situasi dimana waktu yang terbatas, dan kerumitan birokrasi bisa menumpulkan efektivitas kebijakan Fiskal. Juga memperkuat desentralisasi dalam pemulihan ekonomi merupakan pilihan terbaik. Semestinya ini dijadikan opsi utama kebijakan pemulihan ekonomi. Desentralisasi dalam pemulihan ekonomi berimplikasi pada dua makna. Yang pertama, melibatkan semaksimal mungkin pemerintahan daerah dalam pemulihan ekonomi. Yang kedua, menanggalkan asumsi bahwa sentralisasi kebijakan pemulihan ekonomi akan membuat pemulihan ekonomi menjadi lebih cepat, efisien dan sederhana. Kalau kita melihat kembali statisik pertumbuhan ekonomi, sejak otonomi daerah mulai diberlakukan, yang didalamnya juga termasuk konsepsi perimbangan keuangan pusat dan daerah (baca desentralisasi fiskal), maka kita akan menemukan geliat pertumbuhan ekonomi lokal dalam dua dekade terakhir. Bahkan, dibeberapa wilayah, pertumbuhan ekonominya bisa lebih tinggi dari rata-rata nasional. Demikian juga dengan gairah perekonomian lokal. Desentralisasi terbukti merangsang local creative dalam mendorong aktivitas perekonomian. Dalam dua dekade terakhir, banyak sekali pelaku usaha lokal yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi pemain kuat nasional. Sekurang-kurangnya, menjadi local champion di daerah mereka masing-masing. Desentralisasi merupakan pasangan serasi bagi lanskap perekonomian Indonesia saat ini. Meminjam istilah John Naisbitt, desentralisasi merupakan cerminan dari paradoks global, makin terintegrasi perekonomian, makin kuat pula peran dari unit-unit terkecilnya. Itulah yang tercermin pada makin besarnya sumbangsih perekonomian daerah dalam membentuk wajah Produk Domestik Bruto (PDB). Didalam Nota Keuangan RAPBN 2021, terdapat alokasi sebesar Rp. 796,3 triliun yang dialokasikan dalam bentuk Transfer Ke Daerah dan Dana Desa ( TKDD ). Jumlah ini meningkat 4,2% dibanding tahun 2020. Dipandang dari sudut ini, kelihatannya terdapat affirmasi terhadap peran pemerintah daerah dan desa dalam pemulihan ekonomi nasional. Namun sesungguhnya proporsi ini menjadi tidak “menggembirakan”. Apalagi melihat proporsi alokasi TKDD dibandingkan dengan rencana Belanja RAPBN yang mencapai Rp. 2.747,5 trilliun. Alokasi TKDD hanya 28,98% dari total RAPBN 2021. 71,02% RAPBN 2021 dikonsentrasikan dalam wujud Belanja Pemerintah Pusat. Pada APBN 2018, dari Rp. 2.220,7 trilliun pagu Belanja Negara, alokasi TKDDnya berjumlah Rp. 766,2 triliun. Proporsi TKDD terhadap belanja negara sebesar 34,5%. Sedang belanja Pemerintah Pusat sebesar 65,5%. Demikian juga pada APBN 2019, dari pagu Belanja Negara sebesar Rp. 2.461,11 triliun, alokasi TKDDnya sebesar Rp. 826,77 triliun. Proporsi TKDD-nya sebesar 33,59%. Tren penurunan proporsi ini menunjukkan meningkatnya upaya resentralisasi kebijakan ekonomi ke tangan pemerintah pusat. Kebijakan reversal semacam ini berlawanan dengan tujuan asasi dari pemberian otonomi kepada daerah. Sekaligus juga menegasikan peran vital perekonomian daerah dalam membantu pemulihan ekonomi secara nasional. Apakah kebijakan resentralisasi ini akan menyederhanakan kordinasi pemulihan ekonomi nasional? Dengan landskap regulasi dan struktur pemerintahan Indonesia, nampaknya upaya resentralisasi ini justru akan menciptakan “bottlenecking” dalam upaya eksekusi kebijakan. Yang diperlukan sebetulnya adalah pembesaran proporsi alokasi TKDD yang memungkinkan percepatan aksi counter-cyclical lokal dalam membalikkan situasi perekonomian. Pelaku usaha lokal yang memiliki keterkaitan erat dengan fungsi multiplier fiskal dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perlu “ dibonceng” dalam skala massif. Tulisan ini sekaligus juga menghimbau kepada pihak-pihak yang mendapatkan mandat untuk menyusun RUU APBN 2021 yang akan selesai dibahas pada bulan Oktober nanti. Untuk memulihkan proporsi yang patut bagi alokasi TKDD yang visibel bagi pemulihan ekonomi nasional. Setidaknya, 35% dari pagu Belanja Negara dialokasikan kembali kepada TKDD. Sebagaimana yang pernah dilakukan, di dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan alokasi tambahan yang baru itu, diatur pula mengenai suatu payung hukum peraturan dibawah Undang-Undang yang memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengeksekusinya secara cepat. Apabila diperlukan, pengaturan mengenai tata laksana pengadaan barang dan jasanya juga diatur secara khusus dibawah kerangka pemulihan ekonomi nasional Dirgahayu NKRI ke 75. Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1442 Hijriah. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.
Wajah Muram Maluku Setelah 75 Tahun Kemerdekaan
by Apriliska Lattu Titahena Jakarta FNN – Kamis (2/008). Sejarah tentang pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak dapat terlepas dari peran provinsi Maluku. Apalagi Maluku adalah satu diantara delapan provinsi yang pertama kali memerdekakan negeri ini. Kalau diibartkan perusahaan, maka Maluku adalah pemegang pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdiri 17 Agustus 1945. Dalam keputusan sidang II Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia dibagi menjadi delapan provinsi. Delapan provinsi itu adalah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil (Nusa Tenggara dan Bali), Sulawesi, Kalimantan dan Maluku. Catatan penting ini mengingatkan kita bahwa Maluku merupakan salah satu dari delapan provinsi yang mendirikan Republik Indonesia. Maluku ada bersama-sama dengan Indonesia sejak awal kemerdekaan. Tapatnya diakui tepat dua hari pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tersebut. Bakaitan dengan itu, Provinsi Maluku pun telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku Nomor 13 tahun 2005 tentang penetapan 19 Agustus sebagai peringatan HUT provinsi Maluku. Untuk itu, sebagai salah satu provinsi pendiri negara, Maluku bukanlah provinsi yang masih muda lagi. Provinsi ini sudah ada sejak 75 tahun silam. Peranan penting Maluku pasca kemerdekaan harusnya jangan didustai oleh pemerintah pusat. Jangan dianggap seperti tidak. Jangan juga dilirik dengan sebelah mata. Mengapa demikian? Hari ini, 19 Agustus 1945, atau 75 tahun Maluku menyatakan diri sebagai bagian penting dan strategis dari negeri ini. Sebuah pengakuan dan sikap rakyat Maluku, yang jangan dianggap biasa-biasa saja. Sebagai bagian dari negera ini, dan ikut mendirikan bangsa ini, masyarakat Maluku sangatlah serius mengikuti dinamika kebersamaan selama 75 tahun. Juga mencermati dengan serius perlakukan pemerintah pusat kepada Maluku selama ini. Namun, kenyataan pahit selalu dirasakan oleh Maluku. Nyata-nyata sangat meraskan kalau Maluku dianaktirikan oleh pemerintah Pusat. Maluku yang terkenal dengan sebutan “Negeri Seribu Pulau” punya potensi sumber daya alam melimpah dan kaya raya. Namun selama ini tak dikelolah dengan optimal. Realitas ini membuktikan bahwa Maluku dimiskinkan secara tidak terhormat dan terstruktur. Padahal kekayaan alam Maluku yang melipah seperti cengkih-pala yang dikenal dengan sebutan “buah-buah emas hijau” sudah lama diperdagangkan dipasar dunia, sejak berabad-abad yan lalu. Belakngan ditemukan sumber tertulis Romawi dari Plinius Major pada 75 Masehi yang mengatakan bahwa, cengkeh sudah dikenal pada awal abad Masehi. Berkaca dari pengalaman masa lalu tersebut, Maluku sebagai daerah penghasil rempah terbaik menjadikan Maluku sangat kaya. Lalu bagaimana bisa nasib Maluku pasca kemerdekaan Indonesia pada usia 75 tahun ini? Sekarang tercatat sebagai provinsi termiskin ke empat setelah Papua, Papua Barat dan NTT. Tragis sekelai. Daerah kaya, namun miskin. Selain itu, potensi sumber daya alam Maluku yang mampu memperkaya negara pun sangat besar. Ada sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya yang berada pada ruang wilayah darat dan laut Maluku. Potensi perikanan Maluku adalah terbesar nomor empat di dunia. Nomor sastu adalah Bearing, nomor dua Alaska dan nomor tiga Skandinavia. Kekayaan laut bukan saja perikanan. Juga enargi gas alam cair yang sangat besar. Semua kekayaan alam di kawasan luat Maluku identik dengan perairan yang ini yang mampu menjadi jaminan kekayaan sebuah bangsa dan negarta. Ada solusi yang dapat ditawarkan ketika membaca potensi dan isu strategis yang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) wilayah berbasis kepulauan ini. Untuk itu, sebaiknya ke depan kebijakan pembangunan lebih berorientasi pada laut. Lebih banyak melihat produksi kawasan kepulauan, namun tetap memadukan orientasi pembangunan kedarat secara berimbang (balance). Tentunya negara harus hadir untuk menjawab arah dan tantangan pembangunan provinsi Maluku tersebut. Tidak lagi seperti sekarang, yang dilirik dengan sebelah mata. Pemerintah pusat harus segera mewujudkan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN). Negara harusnya memanfaatkan teritorial provinsi Maluku sebagai jawaban atas pembangunan yang berbasis kepulauan. Bukan hanya kebijakan yang bertumpu pada daratan semata. Berbicara tentang LIN, tentunya ini sudah isu lama. Hanya selama ini terhambat, karena pemerintah pusat tidak memperlihatkan keberpihakan. Apalagi mewujudkan RUU Kepulauan. Padahal Blok Gas Abadi Masela, tambang emas di Pulau Buru dan Romang serta potneis kekayaan Maluku lainnya, sudah sering dijdikan konsumsi masyarakat Maluku sebagai iming-iming pemerintah pusat. Melihat problematika pembangunan yang seperti ini, membuat beta sebagai salah satu aktivis perempuan Maluku bertanya-tanya, apa sebenarnya makna dari mukadimah UUD 1945? Apakah perwujudannya seperti ini bagi kami masyarakat Maluku? Pemerintah pusat harap jangan membuat kebijakan yang menindas kami orang Maluku! Hargai harkat dan martabat kami sebagai bagian dari Indonesia. Yang merupakan bagin penting dari Negara Merdeka. Keberadaan kami Maluku jangan didustai. Kalau hari ini kami harus dipaksa miskin di atas tanah yang kaya, ini adalah pembodohan yang nyata. Pembodohan yang harus kami rasakan di negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini. Harapan beta, negara harus adil untuk Maluku. Negara harusnya tidak lalai dalam menjawab hak-hak konstitusional masyarakat Indonesia yang ada di Maluku. Semoga negara tidak melupakan kutipan Bung Karno, sang Prokalamator bangsa yang mengatakan “Indonesia Tanpa Maluku Bukanlah Indonesia”. Salam dari Maluku untuk Indonesia. Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan.
KAMI Hadapi Rezim Otoriterianisme Baru
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Kamis (20/08). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia(KAMI) berdiri dan dideklarasikan di Tugu Proklamasi 18 Agustus 2020 lalu. Kelahiran KAMI akan memberi sumbangan berharga bagi sehatnya iklim demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang tumbuh dan bermasalah di tengah rezim neo otoriterianisme baru. Rezim kekuasaan yang menempatkan kelompok civil society yang kristis sebagai musuh atau lawan politik, sehingga terkadang perlu dikriminalisasi. Bahkan ada juga yang mendapat perlukuan represif. Hanya berselang satu hari setelah deklarasi itu, pemilik lembaga survei LSI Denny JA membuat tulisan. Judul tulisan Denny JA adalah “Gerakan KAMI, Krisis Ekonomi dan Bola Biliar Politik”. Menurut Denny JA, ada tiga kemungkinan skenario KAMI, menjatuhkan Jokowi, memenangkan pilpres 2024, atau hanya sebagai bunga demokrasi. Apa yang disampaikan oleh Denny JA dalam tulisan tersebut adalah sebuah kemungkinan. Dari ketiga kemungkinan atau skenario tersebut, seluruhnya dapat dipahami sebagai kemungkinan yang memiliki peluang yang sama. Sebab kemungkinan skenario pertama dan kedua itu urusan kehendak rakyat banyak. Mekanisme konstitusionalnya juga sudah tersedia. Sebab lainya, saat ini satu-satunya oposisi non partai politik yang secara terang-terangan terorganisir dan terpimpin adalah KAMI. Selain KAMI adalah oposisi yang bersifat individual, masih dan berserakan. Sementara oposisi dari partai cuma ada PKS yang sekarang terang-terangan. KAMI berpotensi besar untuk menyatukan kekuatan oposisi non partai yang berserakan itu. Karena potensi itulah tiga kemungkinan skenario yang dianalisis Denny JA itu mungkin saja terjadi. Tetapi KAMI sejak awal tetap memilih jalan sebagai gerakan politik moral. tetapi bukan sekedar bunga demokrasi seperti yang ditulis Denny JA. Begini penjelasanya. Politik itu selalu dinamis dan berseni. Segala kemungkinan di politi bisa terjadi. Yang semula diperkirakan tidak terjadi, bisa berbalik menjadi terjadi. Namun demikian, secara jelas menjatuhkan Jokowi itu bukanlah tujuan KAMI. Karena itu bisa terlihat dari delapan tuntutan penyelamatan bangsa saat Deklarasi KAMI. Walaupun demikian, jika rakyat menilai bahwa pemerintahan ini melanggar Konstitusi UUD 1945. Pelanggaran tersebut juga bisa dibuktikan melalui mekanisme konstitusional (DPR, MK, DPR/DPD/MPR). Makas dalam UUD 1945 bisa saja Presiden diberhentikan oleh MPR. Yang pasti bukan dibehentikan oleh KAMI. Terlihat KAMI hanya berjuang bersama rakyat. Semuanya kembali ke rakyat lagi. Analisis skenario kedua versi Denny JA juga mungkin saja terjadi. KAMI menjadi King Maker terpilihnya dan beralihnya kepemimpinan nasional lewat pemilu 2024. Karena kekuatan ide-ide perubahan yang disampaikan KAMI mampu mendorong bersatunya kekuatan- kekuatan politik yang ada sehingga, hingga berhasil memunculkan capres-cawapres dan memenangkan pilpres 2024. Analisis kemungkinan skenario ketiga, juga mungkin saja terjadi. Tetapi tidak sekedar menjadi bunga demokrasi belaka. KAMI dalam konteks Indonesia saat ini memberi sumbangan berharga. Betapa pentingnya memilih jalan oposisi terorganisir ditengah rezim neo-otoriterianisme yang berlindung dibalik model populisme penguasa. Keberadaan KAMI menjadi bagian penting dari upaya merawat kewarasan demokrasi. Aapalagi di tengah represi neo-otoriterianisme yang sedang terjadi saat ini. Sejak berdirinya pada 18 Agustus 2020 lalu, KAMI memang memilih sebagai oposisi di garis perjuangan gerakan moral yang dijamin oleh konstitusi. Soal apa yang akan terjadi dalam bulan-bulan ke depan? Sebaiknya biarlah secara obyektif rakyat yang akan menilai dan bersikap. Karena secara substantif rakyatlah yang sesungguhnya berdaulat di negara demokrasi. Bukan sekelompok oligarki, korporasi dan konglomerasai. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.
Pakaian Adat Dan Pencitraan Jokowi
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (20/08). Presiden Jokowi biasa menggunakan pakaian adat bukan pada acara biasa. Tetapi juga pada acara resmi. Pada tanggal 14 Agustus lalu, Presiden kembali menggunakan pakaian adat Sabu Nusa Tenggara Timur (NTT )saat berpidato dalam acara resmi Sidang Tahunan MPR. Rupanya Presiden lupa kalau 14 Agustus adalah Hari Pramuka. Jika mau, mestinya memakai pakaian Pramuka. Begitu juga pada tanggal 17 Agustus 2020 saat menjadi inspektur upacara HUT RI ke-75 di Istana Merdeka dengan memakai pakaian adat Timor Tengah Selatan NTT. Jualan citra adalah kebiasaannya. Entah siapa disainer pencitraannya tersebut. Yang jelas "mengadat-adatkan" diri yang demikian, belum tentu memunculkan sikap respek publik. Apalagi kekaguman. Sebaliknya, banyak nada sinis dan cemoohan yang terdengar dan terbaca, khususnya di media sosial. Bukan soal tidak bagusnya memakai pakaian adat yang dipakai. Akan tetapi penggunaannya yang tidak "nempat" dan mengada-ada, seperti karnaval anak-anak saja Taman Kanak-Kanak (TK). Ironinya sehari setelah penggunaan pakaian adat tersebut, masyarakat adat Basipae Timor Tengah Selatan mengalami nasib naas. Mereka mengalami intimidasi dan pemaksaan pengosongan lahan oleh Satpol PP, TNI, dan pasukan Brimob Polri. Rumah darurat yang dipakai masyarakat adat diobrak-abrik dan dirusak. Ibu-ibupun berteriak histeris karena terzalimi oleh Pemerintahan yang Presidennya memakai pakaian adat daerahnya. Tragis amat sih? Pakaian adat biasanya dipakai pada saat upacara adat atau festival-festival kebudayaan. Jarang sekali digunakan saat acara resmi. Apalagi saat menyampaikan pidato kenegaraan atau menjadi inspektur upacara. Jika ingin menunjukkan kecintaan pada adat dan budaya yang ada di negara Indonesia, maka ada tempat dan waktunya lebih pas Pak Jokowi. Bila sembarangan menggunakan pakaian adat, maka yang baik pun akan terihat buruk. Jangan marah jika ada yang menilai sebagai orang yang "tak tahu adat" atau "ada kelainan" atau "badut kampung" atau mungkin lainnya atas perilaku tak lazim itu. Bukan berniat mengejek pakaian adat, tetapi tidak terbayang, jika dalam acara Hari TNI nanti, Presiden menjadi Inspektur Upacara menggunakan pakaian adat ber "koteka". Tentu saja memalukan. Masalahnya bukan pada pakaian adatnya, tetapi waktu dan tempatnya itu yang memang tak pas. Makanya jangan asal pakai pakaian adat Pak Presiden. Mendidik dan memberi teladan bukan seperti yang sekarang dilakukan Presiden Jokowi. Kemarin saja ketika berpakaian adat Sabu Raijua yang disiapkan olrh istri Gubernur NTT Victor Laiskodat, para netizen mulai membandin-bandingkan dengan pakaian tentara Mongol. Ini dapat dimengerti, karena sentimen berbau Cina di kalangan publik sedang meningkat akibat masuknya banyak TKA Cina, dan eratnya hubungan Pemerintahan Jokowi dengan Pemerintah komunis RRC. Baiknya Pak Jokowi segera menghentikan budaya politik pencitraan tersebut. Ubah menjadi budaya kerja nyata yang lebih dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Rakyat sudah semakin bosan dengan tipu-tipu palsu yang seperti itu. Harus ada gerakan pemberantasan kultur munafik pada diri para pejabat publik. Nah Presiden yang harus memulai. Bisakah ? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
KAMI Datang, Tidak Bisa Lagi Berbalik Arah
by Dr. Masri Sitanggang Arah kehidupan bangsa dan negara akhir-akhir ini dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai dasar dan cita-cita nasional. Melenceng dari tujuan bernegara. KAMI datang dengan delapan tuntutan. Bagaimana kalau tidak dipenuhi ? Suasana meriah di Tugu Proklamasi pagi itu mendadak hening. Semua mata tertuju pada Prof Sri Edi Swasono yang melangkah dengan tongkatnya menuju podium lalu memimpin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Wajah yang telah senja, 80-an tahun itu tampak tulus dan penuh semangat. Wajah yang menyiratkan tekad kuat untuk perubahan Indonesia ke arah lebih baik. Hidmad dan mengharukan sekali. Tidak sedikit hadirin yang menghapus linang air matanya. Ini bukan upaca nasional biasa. Sejumlah tokoh besar nasional, di antaranya Prof. Din Syamsuddin, Jendral (Purn) Gatot Nurmantiyo, Dr. MS Kaban, Prof. Rocmat Wahab, Titiek Suharto, Mutia Hatta dan Prof. Sri Edi Suwasono berkumpul-bersama lima ribuan massa. Ini upacara sangat serius yang dipersiapkan bukan karena rutinitas tahunan. Ini merupakan titik awal sebuah gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Indonesia saat ini, sudah melenceng dari nilai-nilai dasar dan cita-cita kemerdekaan. KAMI hadir untuk meluruskan kembali kiblat bangsa. Upacara Nasional pada Hari Konstituusi, 18 Agustus, di Tugu Proklamasi itu adala gebrakan perdana. Tampilnya ekonomi senior yang dikenal bersih dan kritis, Sri Edi Swasono, sebagai dirigen lagu Indonesia Raya, dan putri seorang proklamator Mohammad Hatta, Mutia Hatta, membacakan teks prolamasi memberikan suasana kebathinan tersindir yang sulit dilukiskan. Pilihan waktu, tempat dan petugas upacara sangat tepat untuk menggambarkan upaya gerakan moral meluruskan kembali arah bangsa yang telah melenceng. Inilah sari diantara hal-hal kehidupan berbangsa yang dinilai telah jauh melenceng dari nilai-nilai dasar dan cita-cita nasional yang dibacakan oleh sejumlah deklarator KAMI secara bergantian. Pembangunan ekonomi gagal menciptakan kesejahteraan rakyat. Gagal mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesenjangan kaya dan miskin semakin lebar. Indonesia menjadi negara nomor empar paling timpang. Segelintir orang menguasai kekayaan negara hampir secara mutlak. Satu persen penduduk terkaya menguasai separuh kekayaan negara. Semnatara empat orang terkaya memiliki kekayaan setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Anehnya lagi, dengan dalih menanggulangi Pandemi Covid-19, pemerintah justru mengucurkan dana untuk membantu korporasi besar dan BUMN yang sudah merugi sebelum datangnya pandemi Covid. Tragis, aneh tapi nyata. Orientasi pembangunan ekonomi yang mengandalkan hutang , baik luar negeri maupun dalam negeri, telah menyebabkan beban rakyat semakin berat. Generasi mendatang, sejak lahir, telah menanggung hutang yang banyak. Sementara kecanduan impor yang dikuasai oleh para mafia, telah menghancurkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Industri pangan nasional juga hancur berantakan. Pembangunan bidang politik, ditimbuni oleh praktik kekuasaan. Kebijakan penyelenggara negara tidak berkhidmat bagi kepentingan rakyat. Sebaliknya berkhidmat kepada bagi kepentingan oligarkhi politik, korporasi dan konglomerasi. Partai-Partai Politik dan DPR menjelma menjadi sekutu rezim penguasa dan pengusaha. Melakukan “persengkongkolan jahat” terhadap rakyat, bangsa dan negara. Demokrasi Indonesia jauh dari nilai kejujuran. Keadilan dan telah jatuh ke titik pragmatisme, oportunisme, transaksionalisme dan kriminalisme. Pilpres 2019 dinilai sangat curang dan paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia. Sekitar 900 petugas Pemilu meninggal dunia tanpa penyidikan memadai. Unjuk rasa usai Pilpres di bulan Mei 2019 merenggut nyawa sembilan orang meninggal. Selain itu, 465 orang ditangkap, 74 diantaranya anak-anak dan informasi hilang 32 orang. Demikianlah kenyataan demokrasi kita. Sehingga pada tingkat global, demokrasi Indonesia anjlok 20 peringkat. Mendapat predikat sebagai negara dengan demokrasi cacat berkinerja paling buruk. Indonesia mengalami defisit kebebasan, dari status negara “bebas” menjadi “ bebas sebagian”. Tertinggal dibandingkan Timor Leste yang baru beberapa tahun lalu merdeka. Di bidang sosial budaya, masyarakat terbelah. Praktik politik belah bambu adalah penyebabnya. Demi kepentingan politik, penguasa cenderung mengadu domba antara kelompok masyarakat dengan mempertajam issue primordial dan sektarian. Melakukan diskriminasi dan provokasi atas dasar SARA. Menggunakan buzzer bayaran rupiah untuk menghancurkan lawan politik. Semua ini mengancam solidaritas sosial dan mengancam persatuan Indonesia. Pembentukan Hukum (Regulasi) terlihat karut-marut. Melenceng dari cita-cita hukum nasional, yaitu Pancasila sebagai filosofi grundslag (dasar Negara) dan Staat Fundamental Norm (sumber segala sumber hukum). Contoh sederhana adalah RUU HIP dan RUU BIP. RUU HIP jelas-jelas tidak hanya bertentangan dengan Pancasila. Malahan ingin mengganti Pancasila dengan Trisila dan Ekasila, yang membuka jalan lebar bagi bangkitnya Komunisme. Inilah tindakan makar terhadap Pancasila sesungguhnya. Perppu nomor 1/2020 yang telah menjadi Undang-undang nomor 2/2020 , bukan untuk melindungi dan menyelamatkan rakyat Indonesia dari pandemi covid-19. Melainkan justeru untuk menyelamatkan sistem keuangan, BUMN serta korporasi besar. Pandemi Covid-19 hanya dijadikan alasan pembenar. Demikian juga UU nomor 3/2020 tentang Minerba hanya untuk menyelamatkan korporasi tambang. Undang-undang nomor 19/2019 tentang KPK terbukti melemahkan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Saat ini nampak jelas, KPK mengalami kemandulan. KPK tak berdaya mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang berkaitan dengan kekuasaan. RUU tentang Omnibus Law Cipta Kerja, dinilai sangat merugikan pekerja, petani, nelayan, masyarakat adat, UMKM dan Koperasi. Demikian juga praktek penegakan hukum, dinilai sangat diskriminastif. Hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Hukum dijadikan alat pembungkam kalangan yang kritis atau mereka yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Dalam prakteknya, dinilai terjadi transaksional. Masih banyak hal lain yang juga diungkapkan pada Upacara 18 Agustus itu. Misalnya, masalah pendidikan dan sumber daya alam. Untuk itu KAMI mengajukan 8 tuntutan kepada Pemerintah dan Penyelenggara Negara atau Lembaga Negara. Inti tuntutan itu antara lain agar para penyelenggara negara mengembalikan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang disepakati pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali melalui Dekrit 5 Juli 1959. Penyelenggara negara dituntut untuk tidak memberi peluang bagi bangkitnya komunisme dan ideologi anti Pancasila lainnya. Tidak membiarkan aksi separatisme, serta menghentikan stigmatisasi kelompok keagamaan dengan isu intoleransi, radikalisme dan ekstrimisme serta menghentikan upaya memecah belah masyarakat. Menuntut penyelenggara negara untuk memperbaiki praktek pembentukan hukum yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah dituntut menghentikan penegakan hukum yang karut-marut dan diskriminatif. Memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik, menangkap dan menghukum berat para penjarah kekayaan negara. Menuntut Presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya. Mendesak Lembaga-lembaga Negara untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia. Pemerintah harus menegakkan kebijakan ekonomi dan politik luar negeri bebas aktif, dengan tidak condong bertekuk lutut kepada negara tertentu. Pemerintah harus bertanggung jawab mengatasi resesi ekonomi. Menyelamatkan rakyat miskin, petani dan nelayan, tenaga kerja bangsa sendiri, UMKM dan koperasi, serta sektor informal daripada membela kepentingan pengusaha besar dan asing. Pemerintah dituntut bersungguh-sungguh menanggulangi Pandemi COVID-19 untuk menyelamatkan rakyat Indonesia. Mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi. Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, menuntut pemerintah untuk secara sungguh-sungguh dan tuntas mengusut pihak-pihak yang melalui jalur konstitusi berupaya merubah Dasar Negara Pancasila. Sebab, yang demikian adalah upaya nyata-nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945. Tuntutan KAMI itu jelas dan tegas. Tetapi bagaimana kalau pihak tertuntut tutup mata dan telinga? Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu ? Soalnya, hal seperti itu sudah terjadi sebelumnya. Rakyat teriak menolak berbagai RUU seperti dipersoalkan di atas, tidak memberi pengaruh apa-apa. Bahkan suara Ormas Besar Islam, Muhammadiyah dan NU, dan MUI se Indonesia yang akan melaksanakan Masirah Qubra berkaitan RUU HIPP dan BIP pun tidak diperdulikan. Let’s see, kita tunggu saja, kata Din Syamsudin, salah seorang Presidium KAMI. “No point to turn”. Tidak ada tempat untuk berbalik arah. Maju terus ! KAMI datang bukan untuk pulang. Yang pasti, suara KAMI mendapat resonansi di seluruh Indonesia. Seperti berlomba. Setiap provinsi dan kabupaten ingin mendeklarasikan KAMI daerah. Jadi, what will be going on? Sangat terantung respon pengelola negara ini, kususnya Presiden Jokowi. Di tangannyalah sekarang bola panas itu. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Masyumi Reborn.
Pandangan KAMI Logis Dan Realistis
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Kamis (20/08). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang diinisiasi oleh beberapa puluh orang, telah dideklarasikan. Deklarasi dilangsungkan di Tugu Proklamasi tanggal 18 Agustus, kemarin. Tak diduga deklarasi itu dihadiri oleh ribuan orang, dan sejauh berita yang tersaji, yang hadir berasal dari berbagai kalangan. Prosesinya memang berkelas. Namun yang terpenting adalah ketepatan mereka mengidentifikasi masalah-masalah inti yang melilit begitu kuat jiwa dan tubuh bangsa hari ini. Masalah-masalah itu mudah diverifikasi secara obyektif. Tidak mengada-ada. Semua bisa dicek rinciannya secara akademik. Sulit Mengingkari Naik dan bekerjanya pikiran ugal-ugalan yang memberi angin kencang untuk kebangkitan komunis teridentifikasi oleh KAMI. Dalam pandangan mereka, pikiran ini ditrasformasi ke dalam RUU HIP. Di saat yang sama krisis ekonomi yang untuk sebagian ekonom telah nyata. Krisis yang mengakibatkan derita rakyat terus dan semakin membesar. Oligarki, korporasi, dan konglomerasi, terlihat teridentifikasi sebagai penyebab terbesar semua masalah ini. Oligarki itu sudah merupakan semua penyakit politik dan hukum yang bahanya tak tertandingi. Apakah penyakit itu memiliki bobot membahayakan kelangsungan bangsa ini? Sejarah mengunci siapapun untuk tak perlu terlalu berkeringat mencari fakta yang dapat menyangkal bahaya penyakit-penyakit itu. Penyakit-penyakit itu, jelas membahayakan bangsa. Tidak ada ketidakadilan hukum, ekonomi dan politik yang menyenangkan. Tidak ada oligarki yang ditopang oleh keadilan. Tidak ada oligarki yang tidak menghasilkan korupsi. Malah oligarki itu sendiri telah merupakan korupsi dalam bentuknya yang asli. Oligarki tidak cukup dijelaskan dengan menunjuk kelemahan institusional sebagai penyebabnya. Tidak. Akar terdalam oligarki ada pada sistem politik. Tidak lebih. Itu telah ditunjukan sejak Romawi kuno. Mereka membentuk penguasa, dan penguasa yang dibentuk itu berfungsi sebagai katalisator kepentingan mereka dalam banyak aspek. Itu disajikan Machiavelli sebagai bahaya orang kaya dalam sebuah republik. Orang-orang kaya ini memandang orang miskin, pas-pasan. Tak lebih dari sekadar soal angka statistik. Tak pernah soal itu dikerangkakan dalam panduan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan oligarki, problem ini hanya dijelaskan sebagai soal teknis semata. Pembaca FNN yang budiman, keagungan nilai-nilai kemanusiaan itulah dasar utama pembentukan republik, dimanapun di dunia ini. Sayang, oligarki tak menghenal nilai-nilai agung itu. Begitu oligarki melembaga dalam sistem, saat itulah semua nilai hebat itu melayang. Sejak oligarki melembaga, sejak itu pemerintah, dimanapun tak lagi bisa bertindak berdasarkan nurani atau jiwa konstitusi. Malah jiwa konstitusi diselewengkan. Oligarki cukup cerdas dalam menyediakan ide-ide. Konsep-konsep tata negara non teks konstitusi seperti inherent power, presidential privilege, presidential prerogative, memang terlihat hebat. Tetapi bila dikenal rinciannya secara praktis, maka konsep-konsep itu menjadi mantel hukum dan politik untuk kepentingan tersembunyi mereka. Sebagian dari konsep-konsep itu mengalir dari kaki tangan oligarki. Ini jelas berbahaya. Sama bahayanya dengan pemaduan sosialisme dan demokrasi. Cukup sering perpaduan dua konsep ini ditunjuk sebagai fundasi lahirnya konsep pemerintahan progresif. Tahukah konsep pemerintahan progresif, dalam praktiknya di negara lain merupakan merupakan jalan tol atas tindakan-tindakan administrasi negara yang melampaui perintah konstitusi? Tahukah anda bahwa konsep ini melahirkan konsep negara kesejahteraan? Tahukah tipikal negara kesejahteraan adalah pemerintah aktif terlibat dalam setiap senti kehidupan masyarakat? Tahukah konsep negara kesejahteraan dengan tipikal itu pada awalnya, malah teridentifikasi sebagai negara fasis? Setidaknya Herbert Hoveer, capres petahana yang menolak proposal oligarki, telah mengidentifikasinya. Akibatnya ia kalah dalam pemilu presiden Amerika tahun 1932. Penangguhan hak budget DPR melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020, dalam esensinya merupakan pengambi-alihan hak DPR oleh Presiden. Apakah cara ini hendak dibenarkan dengan konsep pemerintahan progresif khas Woodrow Wilson? Secara konstitusional, tidak bisa. Pemerintahan Bermasalah Jangan tanya apa yang diberikan negara kepada anda. Tetapi tanyakanlah apa yang mungkin anda berikan kepada negara. Ini kalimat hebat yang membahana di dunia setelah diucapkan John Kennedy, Presiden Amerika Serikat muda usia, cerdas dan tampan itu pada tahun 1962. Oke itu. Tetapi bukan tanpa masalah. Bila kata-kata hebat ini diterima apa adanya. Dipakai dalam kehidupan nasional Indonesia, maka akibatnya jelas. Negara ini bisa jadi fasis. Pemerintah tak boleh dikoreksi. Kebenaran dan kepantasan semuanya bersandar pada sikap pemerintah. Pemerintah memonopoli kebenaran. Itu bahayanya. Bahaya itu bekerja pada, misalnya penguasaan puluhan ribu hektar tanah oleh satu dua korporasi tak bisa disoal. Urusan dagang bawang merah, putih, dan lainnya yang acap diidentifikasi orang memiliki aroma kartel, juga penegakan hukum yang berantakan harus diterima apa adanya. Tidak ada pemerintahan didunia ini yang dibangun atas dasar pikiran pemerintah selalu bertindak sesuai nurani republik. Para pendiri negara ini juga punya asumsi itu. Itulah alasan dibalik pendirian lembaga-lembaga pengawas seperti court dan non court. Pengadilan dan DPR. Kenyatan itu membawa Thomas Jefferson mengandalkan pers sebagai pilar pengawasan non instuitusional terhadap pemerintahan. Itu menjadi penjelasan otoritatif. Pers muncul menjadi pilar pengawasan di alam demokrasi. Ini kepingan kecil munculnya pers sebagai pilar keempat demokrasi. Memutar kembali kiblat bernegara ke Pancasila dan UUD 1945 terlihat menjadi hasrat terbesar KAMI. Itu logis dan realistis. DPR, DPD dan MPR dibayangkan menjadi motor gerak putar itu. Ini terasa imperative. Mungkinkah? Sangat mungkin. Caranya terlalu mudah. Bikin saja UU menurut panduan Pancasila dan UUD secara hakiki. Mungkinkah DPR dan DPD membelakangi dunia global? DPR hanya perlu tahu dunia global tidak pernah keluar dari arus utama politik ekonomi tunggang-menunggang, machiavelis. DPR hanya perlu tahu konsep kerjasama, kemitraan, partnership bilateral maupun multilateral. Tidak pernah keluar arus oligarki global. Tidak. Itu kecerdasan mereka. Mengangkangi pasar sumberdaya alam dan ekonomi negara yang berpartner, adalah tujuan terbesar dibalik semua konsep itu. Di atas semua itu, sistem pemerintahan presidensial menyodorkan presiden sebagai figur utama memegang dan memikul tangung jawab penyelenggaraan pemerintahan. Suka atau tidak, itulah sistem presidensial ini. Terlepas dari siapapun presidennya. Tanggung jawab tunggal itu melekat pada personal presiden. Bukan pada wakil presiden. Ini menjadi sebab kajian tata negara untuk sistem presidensial menempatkan presiden, siapapun orangnya, pada episentrum setiap masalah pemerintahan. Itu pula sebabnya pemerintahan presidensial selalu diidentikan secara simbolis dengan nama presiden. Apakah keluhuran budi dan nurani republik yang terdapat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, menuntun dan memandu Pak Presiden dalam merespon KAMI? Hanya Presiden dan Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu. Menarik ditengah kemunculan KAMI, Ibu Sri Mulyani, menteri keuangan, dengan kalimatnya yang sangat halus menyajikan beberapa masalah dalam pemerintahan ini. Rendahnya serapan anggaran pemulihan corona dan ekonomi nasional, disebabkan antara lain sebagian menteri belum terlatih menyelenggarakan birokrasi. Kenyataan itu jatuh tepat di atas kenyataan lain yang krusial. Kenyataan lain itu adalah adanya kebijakan yang berubah-ubah (Lihat CNNIndonesia, 19/8/2020). Bagi Ibu Menteri, ini tantangan. Apapun itu, sulit untuk tidak menilai kenyataan itu menggambarkan dengan tepat level kapasitas dan kompetensi pemerintahan ini. Jelas ini masalah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
KAMI Datang, Mengapa Pada Blingsatan?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (19/08). Hari selasa, tanggal 18 Agustus 2020, "Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia" (KAMI) deklarasi. Pilihan tempatnya adalah Tugu Proklamasi. Tak kurang dari 150 tokoh menjadi deklarator. Diantaranya adalah Din Syamsudin, Gatot Nurmantyo, Rachmat Wahab, Rocky Gerung, Refly Harun, Gus Aam, dan lain-lain. Deklarasi dihadiri ribuan massa, baik dari Jakarta maupun luar Jakarta. Muncul pertanyaan mendasar, ada masalah apa dengan Indonesia sehingga harus diselamatkan? Ekonomi minus 5,32 persen. Hutang tembus Rp 6.376 riliun. Indonesia rangking ke-4 negara paling timpang di dunia setelah Rusia, India dan Thailand. Apakah ini bukan masalah? Satu persen orang kaya Indonesia menguasai 50 persen aset negara.Sepuluh persennya kuasai 70 persen kekayaan negara. Sebanyak 60 persen kekayaan mereka peroleh melalui akal-akalan dengan akses kekuasaan. Jelas ini masalah. Harus diselamatkan bangsa ini. Riset bank dunia, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh 20 persen orang terkaya di Indonesia. Kalau masih kurang kaya lagi, terbitkan UU Minerba dan RUU Omnibus Law. Gile bener! Belum soal hukum. Acak kadut dan amburadul. Harun Masiku kemana nasibnya? Djoko Tjandra, buronan Rp 904 miliar disambut seperti sang raja. Legalitas lengkap dan dikawal aparat. Halo E-KTP dan skandal asuransi Jiwasraya? Lama tak ada beritanya. Ruang gerak KPK lumpuh setelah direvisi undang-undang KPK. Novel Baswedan jadi tumbal. Hukum tegak ke lawan, lumpuh ke kawan. Tajam ke rakyat, tak berdaya melawan oligaki, korporasi dan konglomerat. Kurang puas juga? Institusi-institusi hukum pun dikudeta. Di bidang politik, negeri ini bising dan gaduh. Yang disalahkan Islam garis keras. Khilafah dibawa-bawa. Mereka tak bisa membedakan mana Islam garis keras, mana Islam garis tegas. Keras dan tegas, tentu punya terminologi yang berbeda. Yang tegas dituduh keras agar bisa masuk katagori anti Pancasila. Para buzzer rupiah dikerahkan untuk menviralkan Islam keras dan tegas sebagai anti Pancasila, anti NKRI, anti Bhineka Tunggal Ika dan anti pluralisme. Klasik dan nggak kreatif! Kalau begini cara berpolitiknya, sampai kiamat Indonesia nggak akan berhenti dalam kecemasan. Apalagi kalau bicara Pemilu. Sarat intervensi dan intimidasi. Biasa terjadi manipulasi. Pemilu telah jadi ladang para pemodal untuk bermain judi. Mereka klaim itu investasi. Suara rakyat jadi komoditi. Pemilu telah berubah fungsi jadi pasar transaksi. Di bidang ini, hukum lumpuh dan sama sekali tak punya gigi. Belum lagi kalau lihat nasib kampus. Mereka kehilangan hak berdemokrasi. Rektor ditunjuk oleh menteri. Akibatnya, dosen dan mahasiswa berada dalam kendali. Kalau sampai berani macam-macam kepada penguasa? Bisa masuk daftar DO anda! Pers, terutama media mainstream pun menggigil. Tak bebas tayangkan berita. Banyak pemilik media tersandera macam-macam kasus. Ruang jurnalistik makin sempit. Sesempit telinga elit. Beda pendapat dianggap hianat. Setiap kritik akan dilaknat. Ini hanya sekelumit permasalahan bangsa hari ini. Soal intimidasi ini, para deklarator KAMI ikut mencicipi. Masing-masing dijapri. Kirim gambar bahwa KAMI dianggap makar. Makar gundulmu! Meeting Zoom diganggu, WA diretas, akun dihack. Spanduk penolakan dibentang di berbagai sudut jalan bertulis penolakan. Sekitar 50 orang dikirim untuk orasi. Coba-coba menandingi dan ganggu deklarasi. Demokrasi macam apa ini? Jangan cengeng bung! Nggak perlu takut! KAMI lahir sebagai gerakan moral politik. Bukan makar! Bukan juga politik praktis. Kalau setiap kritik dianggap makar, bangsa ini bisa kelar! Bisa juga bangsa ini jadi bangsa makar kepada kekasaan. Deklarasi KAMI untuk menyuarakan kembali pertama, cita-cita bangsa. Spirituality, humanity, nasionality, kerakyatan dan keadilan yang tertuang dalam lima sila Pancasila harus jadi dasar dalam mengelola negara. Prinsip Ketuhanan jangan diutak-atik dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sekarang jadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Persatuan jangan diporak-porandakan dengan gemar membuat tuduhan. Kerakyatan artinya suara rakyat harus didengar dan jadi pijakan penguasa dalam melaksanakan pembangunan. Keadilan sosial mesti jadi orientasi setiap aturan dan kebijakan. Makarnya dimana bung? Kedua, menyuarakan harapan dan keinginan rakyat yang sudah lama terabaikan oleh suguhan tiatrikal politik di panggung eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga, mengingatkan pemangku kekuasaan bahwa bangsa ini sedang berjalan ke arah yang salah. Terjadi deviasi, distorsi dan disorientasi. KAMI hadir untuk mengingatkan dan meluruskan. Pakai data dan analisis fakta. KAMI deklarasi dan sampaikan delapan maklumat ini, agar kalian dengar. Kenapa kalian gusar? Kenapa nggak bicara substansi? Baca dan pelajari isi maklumat, lalu diskusikan. Delapan maklumat KAMI dihiraukan. Tuntannya tak dibicarakan. Malah tudah sana-sini. Lah, anda ini pejabat atau preman? Kalau macam ini elit kita merespon setiap protes dan perbedaan, pantas saja Indonesia terus dilanda kegaduhan. Mereka perlu ambil kursus demokrasi, agar lebih matang dan siap berdiskusi. Tidak melihat perbedaan dalam mengelola negara sebagai bentuk permusuhan. KAMI anggotanya terdiri dari anak-anak bangsa. Apapun latarbelakang etnis, agama, profesi dan politiknya, mereka datang dengan niat baik. Juga menawarkan konsep keselamatan bangsa. Kenapa anda pada blingsatan? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Sinergi KAMI Dan MUI
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (19/08). Antara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentu berbeda. KAMI adalah koalisi dari berbagai elemen bangsa, termasuk yang berbeda keyakinan agama. Sedangkan MUI merepresentasi umat Islam saja. Ulama yang tugasnya menjaga keamanan dan kemurnian agama. KAMI memprihatinkan segala hal yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik ekonomi, budaya, maupun politik. Meski berbeda pada fokus perhatian dan kompetensi, tetapi terhadap permasalahan aktual yang dihadapi pada beberapa hal terdapat persamaan. Satu contoh adalah keberadaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Apalagi RUU HIP yang berhubungan dengan ideologi negara, yang berspektrum luas, baik politik maupun hukum, termasuk keagamaan. RUU HIP yang kemudian berganti menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mendapat sorotan serius dari MUI. RUU HIP ini dinilai bukan saja merongrong ideologi Pancasila, yang telah disepakati bersama. Tetapi juga dapat meminggirkan aspek keagamaan. Melalui RUU HIP, komunisme memiliki pintu untuk menerkam agama dan ideologi negara. Dua hal yang mendapat sorotan MUI dalam Maklumatnya, yaitu pencabutan RUU berbau komunis ini. Selain itu, pengusutan inisiator atau konseptor RUU. MUI mencurigai konseptor RUU adalah oknum yang ingin membangkitkan PKI dan komunisme. Meminta yang berwajib untuk mengusutnya. Alih-alih DPR mencabut RUU HIP. Justru faktanya yang muncul adalah diajukannya RUU BPIP dari Pemerintah. Karenanya bagi MUI, masalah RUU HIP dan juga RUU BPIP masih menjadi "piutang" yang menjadi tuntutan. Ancaman adalah adanya "masirah kubro" dan "penunjukan panglima" tetap menjadi agenda utama dari MUI. Sementara itu, KAMI dalam Maklumat yang dibuat sebagai "bacaan" Deklarasinya, menyinggung kedua RUU tersebut sebagai langkah yang "jelas-jelas tidak hanya bertentangan dengan Pancasila. Tetapi mau mengganti Pancasila dengan Trisila dan Ekasila, serta agama yang berkebudaan, telah membuka jalan lebar untuk bangkitnya komunisme". Menjadi tuntutan yang butirnya dibacakan berulang-ulang oleh Rocky Gerung untuk "telinga kiri" dan "telinga kanan", yakni butir 7 yang berbunyi ,"Menuntut Pemerintah untuk mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas terhadap pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi mengubah Dasar Negara Pancasila sebagai upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, agar tidak terulang upaya sejenis di masa yang akan datang". Kini menjadi jelas bahwa ada kepentingan dan "concern" yang sama antara KAMI dan MUI, berupa tuntutan kepada Pemerintah untuk mengusut tuntas pihak yang melalui RUU HIP. Juga RUU BPIP berupaya mengubah Pancasila 18 Agustus 1945. KAMI menyebut bahwa Deklarasi adalah langkah awal dari gerakan moral politik. MUI menyiapkan langkah aksi dari gerakan keagamaan. Ada sinergitas antara keduanya dalam menyelamatkan ideologi negara Pancasila yang dinilai terancam oleh upaya penggerogotan dan pengubahan oleh para Gerombolan Trisila dan Ekasila. Artinya, baik KAMI maupun MUI melihat negara tengah dihadapkan pada persoalan mendasar, yakni penggoyahan Dasar Negara Psancasila. Umat Islam dan bangsa Indonesia menghadapi persoalan yang sangat serius. Gerakan komunisme ternyata bukan isapan jempol. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Refleksi 75 Tahun Merdeka, Penguasaan SDA Masih Mimpi
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Selasa (18/08). Kita sering mendengar ungkapan, Indonesia negara kaya. Kaya dengan sumber daya alam. Semua orang pasti setuju. Indonesia ada minyak dan gas bumi, batubara, nikel, emas, dan banyak mineral lainnya. Indonesia juga merupakan (salah satu) negara produsen terbesar minyak sawit dan karet. Indonesia juga mempunyai hutan tanaman industri yang luas. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen kertas terbesar dunia. Belum lagi potensi perikanannya. Ironinya, Indonesia hanya sebagai negara berpendapatan menengah. Dengan pendapatan per kapita tahun 2019 sekitar U$ 4.000 dolar per tahun. Jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand atau Singapore. Artinya, kebanyakan dari mereka lebih kaya dari rakyat Indonesia. Padahal Malaysia dan Thailand hanya mempunyai sedikit kekayaan alam. Bahkan Singapore tidak ada kekayaan alam sama-sekali. Yang lebih mengenaskan, sebagian besar penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Menurut Bank Dunia, Indonesia mempunyai 150 juta (sekitar 56%) penduduk miskin pada tahun 2018. Mereka mempunyai pendapatan di bawah U$ 5,5 dolar (PPP 2011) per orang per hari, yaitu batas garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia. Ironi Yang Mengenaskan Indonesia memang diberkahi kekayaan alam yang melimpah. Antara lain, mineral dan batubara (minerba). Tetapi, pendapatan negara dari sektor minerba sangat tidak signifikan. Sangat rendah dibandingkan total pendapatan negara. Sangat rendah untuk dapat membuat rakyat menjadi sejahtera. Apalagi sampai kaya. Padahal sektor minerba merupakan salah satu sektor yang cukup besar yang dipunyai Indonesia. Sebut saja antara lain, sektor bijih besi, nikel, aluminium, perak, perunggu, emas, batubara, bauksit dan banyak lagi mineral lainnya. Rasio pendapatan minerba terhadap total pendapatan negara hanya sekitar 1 persen hingga 1,5 persen saja. Bahkan rasio pendapatan minerba pada 2015 hanya 0,98 persen atau hanya Rp 14,7 triliun dari Rp 1.508 triliun. Sangat sangat dan sangat rendah. Meskipun rasio pendapatan negara dari minerba pada 2018 meningkat menjadi 1,58 persen, dengan pendapatan minerba Rp 30,7 triuliun dari total pendapatan negara Rp 1,943,7 triliun, secara substansi masih sangat rendah. Di lain pihak, korporasi pengelola (baca: penguasa) sektor minerba sangat berjaya. Mereka kaya raya. Korporasi-korporasi tersebut berhasil meraup triliunan rupiah dari masyarakat, melalui pasar modal. Nilai perusahaan (kapitalisasi pasar) korporasi penguasa tambang minerba pada akhir 2018 mencapai Rp 363,8 triliun. Terdiri dari 25 perusahaan tambang batubara dan 10 tambang mineral. Jumlah ini tidak termasuk penguasa tambang minerba raksasa lainnya yang tidak go public di bursa saham Indonesia. Tetapi mereka go public di bursa saham luar negeri. Dari jumlah tersebut, hanya ada tiga BUMN dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 73,5 triliun. Namun, sebagian kepemilikan tiga BUMN tersebut juga sudah dikuasai publik. Sedangkan korporasi pertambangan minerba yang kaya raya tersebut, diberi hak pengelolaan pertambangan, melalui kerjasama pengusahaan pertambangan, izin usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan khusus. Pada prakteknya, kerjasama dan izin usaha pertambangan tersebut sangat bebas (liberal) di dalam pengelolaannya. Sehingga terjadi pengalihan (sementara) penguasaan (baca: kepemilikan) kekayaan sumber daya alam minerba dari negara ke pengelola (yang sebagian besar swasta nasional dan asing). Pengalihan kepemilikan kekayaan minerba ke korporasi pemegang hak pengelolaan terlihat jelas ketika mereka menawarkan sahamnya ke publik (go public) atau ketika melakukan divestasi kepemilikan usahanya sesuai Undang-undang. Nilai divestasi atau valuasi perusahaan dihitung berdasarkan nilai ekonomis minerba yang terkandung di dalam wilayah usaha pertambangan tersebut. Seperti yang terjadi pada kasus divestasi PT Freeport Indonesia. Tragisnya, pada kasus divestasi PT Freeport Indonesia, pemerintah negeri ini harus mengambil alih dengan nilai komersial. Termasuk pulka nilai kandungan mineral yang terkandung di dalam tanah, yang seharusnya menjadi milik negara. Tragis memang. Peringtah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, nampaknya masih sebatas mimpi. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
75 Tahun Yang Gagal, Saatnya Untuk Moratorium NKRI
by Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Selasa (18/08). Arah dan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah 75 tahun, rupanya menunjukan tanda-tanda yang kurang memuaskan. Bahkan malah mengkhawatirkan. Sejumlah realitas memperlihatkan ada kekecewaan yang mendalam dari anak bangsa. Keadilan distributif yang jauh dari harapan. Sistem politik yang diskriminatif. Hingga oligarki yang mencengkeram kuat dari pusat kekuasaan sampai ke daerah. Semua ini adalah pangkal utama, dan sulit terbantahkan. Bisa dikonfirmasi dengan banyak data. Termasuk yang dikeluarkan oleh otoritas negara seperti dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Implikasinya jelas. Kekecewaan politik atau political disconten terus menguat dan mengental. Hampir semua terbentuk atau terjadi karena rasa persentuhan warga negara dengan negara, yang faktanya tidak sama. Keadilan distributif sangat tergantung pada dimana warga negara itu lahir dan dibesarkan. Jika terlahir sebagai anak Aru atau besar di Maluku Barat Daya, Seram Timur atau di banyak tempat di Papua dan Indonesia timur lainnya, tentu akan merasakan negara tak hadir dalam berbagai urusan publik. Padahal sejatinya adalah tanggungjawab negara. Itu setidaknya dapat dilihat dengan jelas dalam urusan pendidikan dan kesehatan. Jumlah anak-anak yang putus sekolah atau sekolah dengan fasilitas ala kadarnya dan memprihatinkan, sangat mencolok di Indonesia Timur. Ratusan anak-anak yang meninggal saat persalinan setiap tahunnya di Maluku, mengkonfirmasi realitas yang tidak menguntungkan itu. Pemerintah pusat dan daerah punya andil besar, tapi jangan-jangan kita ada dalam sistem bernegara yang tidak relevan. Membuat sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di Maluku Raya, Nusa Tengara Raya dan Papua Raya susah keluar dari kondisi yang nyaris sama dengan saat masih berada di masa kolonial Belanda. Jangan-jangan pada masa itu jauh lebih baik dari sekarang. Negara kerap menyampaikan memiliki berbagai keterbatasan, tapi sulit untuk dimaklumi bila kebutuhan dasar warga negara saja masih jauh dari harapan untuk terpenuhi. Sentralisasi pengelolaan negara yang coba diatasi dengan otonomi daerah rupanya tidak menjawab persoalan. Adanya lima daerah otonomi khusus, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat, justru memperlihatkan bahwa negara ini sudah sejak awal tidak relevan menggunakan sistem negara kesatuan. Diajukannya RUU provinsi atau daerah kepulauan oleh delapan provinsi, menunjukan kalau ada banyak daerah yang juga ingin diperlakukan secara khusus. Sebab memiliki karakter wilayah yang berbeda. Karena mengatur daerah kelautan sama dengan daerah lain berbasis daratan, justru hanya memupuk dan membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Wajah NKRI semakin mengarah pada federalisme yang malu-malu. Ada dalam praktik, tapi tak didukung oleh legitimasi konstitusi. Sehingga bila ada yang terkait dengan beban negara, maka logika otonomi yang dikembangkan. Sedangkan bila menyangkut keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam, maka paradigma negara kesatuan yang ditonjolkan. Kondisi ini tentu tak dapat dibiarkan. Kita tidak bisa terus berada dalam penerapan Negera Kesatuan bercita rasa federal semacam ini. Membiarkan situasi terus seperti ini, sejatinya sedang memasrahkan Indonesia diambang kehancuran dan perpecahan. Kekecewaan politik yang ibarat bisul tersebut, akan pecah pada waktunya. NKRI perlu segara “dimoratorium”. Kemudian mencari serta menerapkan format baru bernegara yang lebih relevan. Bila menginginkan Indonesia tatap ada dalam peta negara-negara dunia. Memaksakan diri untuk menjadi kesatuan, hanya menunda kematian alias sedang menuju jalan yang salah. Meminjam pendapat Raymond Gettel, Negara Kesatuan itu dapat terjadi bila terdiri dari pulau atau satu daratan. Wilayahnya relatif tidak luas. Relatif tidak banyak penduduknya. Juga relatif tidak majemuk masyarakatnya. Untuk semua syarat itu, hampir berseberangan dengan realitas NKRI. Tak salah kemudian bila ide federalisme telah muncul jauh sebelumnya. Dulu Bung Hatta yang menginisiasinya. Tentu dengan alasan dan padangan yang lebih maju. Meski akhirnya harus kalah dengan pilihan menjadi Negara Kasatuan, yang dalam perjalanan sejarah terbukti anomali. Melihat kondisi yang ada, ide negara federal perlu dihidupkan kembali. Tak boleh dimatikan begitu saja hanya dengan menunjuk ‘kegagalan’ era Republik Indonesia Serikat (RIS). Ide negara federasi bukanlah sesuatu yang ahistoris dalam peta pertarungan pemikiran politik di Indonesia. Ide yang pernah diusung oleh sejumlah founding fathers Indonesia. Terutama dengan munculnya perdebatan federalisme vs unitarisme adalah fakta sejarah yang tentu perlu dikembangkan kembali. Karena itu, menggali lagi pemikiran tentang negara federasi di Indonesia bukanlah sesuatu yang salah. Bisa saja jadi alternatif untuk menyelamatkan Indonesia yang besar ini. Rasanya setalah 75 tahun ini, perlu ada terobosan. Dengan cara melakukan “moratorium” NKRI. Langkah berikutnya, bisa jadi dengan menerapkan Negara Federal sacara kaffah. Untuk menyelamatkan tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pilihan yang lebih dapat untuk memastikan keberlanjutan Indonesia, ketimbang terus bertahan dalam status kesatuan. Namun menjalankan juga model federasi secara malu-malu kucing. Dengan demikian, NKRI mestinya menjadi Harga Hidup, agar bisa terus didiskusikan guna menemukan formula yang tepat dalam pengelolaan negara-bangsa. Penulis adalah Direktur IndoEast Network.