Pakaian Adat Dan Pencitraan Jokowi
by M Rizal Fadillah
Jakarta FNN – Kamis (20/08). Presiden Jokowi biasa menggunakan pakaian adat bukan pada acara biasa. Tetapi juga pada acara resmi. Pada tanggal 14 Agustus lalu, Presiden kembali menggunakan pakaian adat Sabu Nusa Tenggara Timur (NTT )saat berpidato dalam acara resmi Sidang Tahunan MPR. Rupanya Presiden lupa kalau 14 Agustus adalah Hari Pramuka. Jika mau, mestinya memakai pakaian Pramuka.
Begitu juga pada tanggal 17 Agustus 2020 saat menjadi inspektur upacara HUT RI ke-75 di Istana Merdeka dengan memakai pakaian adat Timor Tengah Selatan NTT. Jualan citra adalah kebiasaannya. Entah siapa disainer pencitraannya tersebut. Yang jelas "mengadat-adatkan" diri yang demikian, belum tentu memunculkan sikap respek publik. Apalagi kekaguman.
Sebaliknya, banyak nada sinis dan cemoohan yang terdengar dan terbaca, khususnya di media sosial. Bukan soal tidak bagusnya memakai pakaian adat yang dipakai. Akan tetapi penggunaannya yang tidak "nempat" dan mengada-ada, seperti karnaval anak-anak saja Taman Kanak-Kanak (TK).
Ironinya sehari setelah penggunaan pakaian adat tersebut, masyarakat adat Basipae Timor Tengah Selatan mengalami nasib naas. Mereka mengalami intimidasi dan pemaksaan pengosongan lahan oleh Satpol PP, TNI, dan pasukan Brimob Polri. Rumah darurat yang dipakai masyarakat adat diobrak-abrik dan dirusak. Ibu-ibupun berteriak histeris karena terzalimi oleh Pemerintahan yang Presidennya memakai pakaian adat daerahnya. Tragis amat sih?
Pakaian adat biasanya dipakai pada saat upacara adat atau festival-festival kebudayaan. Jarang sekali digunakan saat acara resmi. Apalagi saat menyampaikan pidato kenegaraan atau menjadi inspektur upacara. Jika ingin menunjukkan kecintaan pada adat dan budaya yang ada di negara Indonesia, maka ada tempat dan waktunya lebih pas Pak Jokowi.
Bila sembarangan menggunakan pakaian adat, maka yang baik pun akan terihat buruk. Jangan marah jika ada yang menilai sebagai orang yang "tak tahu adat" atau "ada kelainan" atau "badut kampung" atau mungkin lainnya atas perilaku tak lazim itu. Bukan berniat mengejek pakaian adat, tetapi tidak terbayang, jika dalam acara Hari TNI nanti, Presiden menjadi Inspektur Upacara menggunakan pakaian adat ber "koteka". Tentu saja memalukan. Masalahnya bukan pada pakaian adatnya, tetapi waktu dan tempatnya itu yang memang tak pas. Makanya jangan asal pakai pakaian adat Pak Presiden.
Mendidik dan memberi teladan bukan seperti yang sekarang dilakukan Presiden Jokowi. Kemarin saja ketika berpakaian adat Sabu Raijua yang disiapkan olrh istri Gubernur NTT Victor Laiskodat, para netizen mulai membandin-bandingkan dengan pakaian tentara Mongol. Ini dapat dimengerti, karena sentimen berbau Cina di kalangan publik sedang meningkat akibat masuknya banyak TKA Cina, dan eratnya hubungan Pemerintahan Jokowi dengan Pemerintah komunis RRC.
Baiknya Pak Jokowi segera menghentikan budaya politik pencitraan tersebut. Ubah menjadi budaya kerja nyata yang lebih dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Rakyat sudah semakin bosan dengan tipu-tipu palsu yang seperti itu. Harus ada gerakan pemberantasan kultur munafik pada diri para pejabat publik. Nah Presiden yang harus memulai. Bisakah ?
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.