OPINI
Umat Islam Siaga Satu, PKI Akan Bangkit Lewat RUU HIP
By Asyari Usman Jakarta, FNN (13 Juni 2020) - Umat Islam harus Siaga satu. PKI akan bangkit. Begitulah yang bisa disimpulkan dari maklumat tegas dan keras yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. MUI sangat serius. MUI dari semua provinsi (34 provinsi) menurunkan tanda tangan di maklumat penting ini. Maklumat MUI yang bersuara satu itu berkaitan dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sedang dibahas di DPR. Menurut MUI dalam maklumatnya kemarin (12/6/2020), RUU HIP –kalau disahkan sebagai UU— bisa menjadi landasan hukum untuk membangkitkan kembali paham komunis dan kendaraannya, yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia). Untuk itu, MUI mengeluarkan ‘perintah khusus’ kepada umat Islam. Bersegeralah dalam posisi waspada. MUI tidak lagi berbasa-basi. PKI semakin dekat. Itu intinya. MUI melihat situasi dan kondisi yang ada saat ini sama dengan berlomba cepat. Sekali lagi, MUI sangat serius. Mereka mengatakan RUU HIP harus ditolak. Alasan utamanya antara lain bahwa jelas ada upaya untuk meniadakan agama. MUI wajar resah. Misalnya, untuk apa Pancasila harus diperas menjadi Trisila dan kemudian menjadi Ekasila yaitu “Gotong Royong”? Apa urgensinya? Tentu hanya akal-akal simpatisan PKI. MUI menyebut mereka sebagai oknum-oknum yang masih penasaran atau bercita-cita untuk menghidupkan kembali paham komunis dan PKI. Melalui konsep Trisila dan kemudian menjadi konsep “Gotong Royong” itu, agama disetarakan dengan kebudayaan. Inilah yang akan terjadi jika RUU HIP diresmikan menjadi UU. MUI tidak bisa menerima peniadaan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 di dalam RUU HIP. Tap MPRS ini melarang PKI dan penyebaran komunisme dan marxisme-leninisme. Bagi MUI, langkah ini sangat jelas tujuannya. Yaitu, untuk menghidupkan paham-paham anti-Islam ini. Penganut komunisme pasti akan menghabisi umat Islam. Maklumat ini tidak panjang. Hanya delapan poin. Poin penutupnya memperingatakan, kalau maklumat tidak dihiraukan maka umat Islam akan bangkit bersatu melakukan upaya menolak paham komunis. Penulis adalah Wartawan Senior
MUI Ultimatum Pemerintah & DPR Soal RUU HIP
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (13/06). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat membuat sikap tegas dan keras terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Melalui Maklumat, MUI menegaskan penolakan terhadap RUU tersebut. MUI menyatakan "RUU HIP wajib ditolak dengan tegas, tanpa kompromi apapun". Penolakan tegaas MUI tersebut didukung oleh 34 Pimpinan MUI seluruh Indonesia. MUI melihat bahwa RUU HIP ini adalah bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali faham Komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tanah air. MUI juga melihat ada ancaman terhadap ideologi negara Pancasila. Disamping menolak, MUI juga mencurigai adanya oknum konseptor dari RUU yang ingin membangkitkan kembali faham dan Partai Komunis Indonesia. MUI meminta agar pihak yang berwajib untuk mengusut oknum yang dicurigai dan "bermain" dibalik Partai Politik tertentu tersebut. Hal terpenting dalam melengkapi ketegasan tersebut, MUI Pusat beserta MUI seluruh Indonesia "mengultimatum" Pemerintah Republik Indonesia. Begitu juga dengan DPR. Umat Islam akan bergerak untuk melakukan perlawanan, bila pemerintah dan DPR coba-coba melanjutkan pembahasan RUU HIP ini. Bila Maklumat ini diabaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan DPR, maka “kami Pimpinan MUI Pusat dan segenap pimpinan MUI Propinsi seluruh Indonesia menghimbau umat Islam Indonesia agar bangkit, bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak faham komunisme dan berbagai upaya licik yang dilakukannya, demi terjaga dan terkawalnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945". Luar biasa seriusnya situasi bangsa saat ini. Situasi ini semua, sebagai akibat dari permainan licik, kotor dan kasar kader-kader "kiri" sekarang hampir menguasi parlemen senayam. Tragisnya, mereka nyata-nyata berlindung dan bersembunyi dibalik partai politik tertentu. Dengan kondisi bangsa seperti, maka umat Islam tidak punya banyak pilihan. Hanya satu pilihan umat Islam, yaitu untuk mendukung dan merespons secara konstruktif penolakan dan "ultimatum" MUI Pusat tersebut. Menjadi garda terdepan melawan upaya-upaya melanjutkan pembahasan RUU HIP. Partai-partai politik beserta fraksi-fraksi dan anggota DPR RI sudah sepatutnya membaca aspirasi politik yang berkembang. Bahwa RUU HIP ini memang harus ditolak. Tunda dan batalkan pembahasan jika ingin situasi politik tetap stabil. Friksi pemahaman dan penyikapan terhadap ideologi negara menghadapi kerawanan yang dapat mengarah pada konflik. Konsensus tentang ideologi Pancasila sedang dicoba untuk dikhianati oleh anggota DPR yang masuk katagiri eksponen "kiri". Mereka kini berlindung di kelompok atau partai yang berciri "kebangsaan". Jika dibiarkan, mareka akan leluasa untuk menyebarkan dan menghidupkan kembali faham komunis Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Haedar Nasir dalam salah satu acara pernah menyatakan bahwa terhadap RUU HIP yang kontroversial sebaiknya, sebaiknya ditunda atau dibatalkan. Tidak perlu dilanjutkan pembahasannya. Demi untuk apa yang disebut dengan kebaikan bersama (takaful ijtima'i). Umat Islam saja rela untuk memindahkan ibadah dari masjid ke rumah. Demi untuk menjaga kemashlahatan bersama. Mengapa DPR dan Pemerintah tak mau berkorban untuk menunda atau membatalkan RUU HIP yang kontroversial tersebut? Demi untuk kebaikan bersama ? MUI sudah sangat tegas sikapnya. Ini adalah wujud dari aspirasi yang sudah sangat merata. Khususnya umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain bagi DPR maupun Pemerintah, selain putuskan untuk membatalkan dan tidak menjadikan RUU HIP sebagai undang-undang. Jangan bikin yang aneh-aneh lagi. Bisa panjang urusannya. Sebagaimana pernyataan tegas dank eras dari MUI. Jika diabaikan keadaan ini, maka umat Islam akan menjadi "garda terdepan “. Umat Islam menolak segala bentuk faham komunisme dan berbagai upaya licik dan kotor yang dilakukannya. DPR dan pemerintah jangan bermain-main soal ideologi Pancasila. Kita akan lawan bersama. Kita tetap berjuang bersama untuk menghancurkan PKI dan faham Komunisme dari bumi pertiwi ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Beri Maklumat, MUI Ancam Penguasa!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (13/06). Kalimat yang paling pas adalah “sudah keterlaluan”. Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat melalui maklumatnya. Sikap tegas dan keras MUI didukung 34 MUI Provinsi seluruh Indonesia. Ketika Pemerintah dan DPR melakukan Revisi UU KPK, MUI diam. Ketuk palu UU minerba, MUI diam. Ajukan RUU Omnibus Law, MUI diam. Keluarkan Perppu Corona, MUI diam. Naikkan BPJS, MUI juga Diam. Tapi, untuk RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), MUI berang. Gak bisa diam lagi. MUI sepakat menolak RUU HIP. Nggak tanggung-tanggung. Sikap penolakan tersebut didukung oleh MUI di 34 propinsi. Berarti, seluruh propinsi tidak hanya menolak. Tetapi MUI secara tegas menuduh ada oknum yang mendisign RUU HIP ini untuk mendistorsi Pancasila. MUI juga menuduh ada oknum yang mendisign dan membangkitkan kembali paham komunisme dan Partai Komunisme Indonesia (PKI). "Pancasila disabotase” maknanya menjadi "Trisila", lalu "Ekasila", yaitu Gotong Royong. Mau dikemanain sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam sila pertama itu? RUU HIP, bukan saja ancaman terhadap Pancasila. Tetapi pada akhirnya akan membunuh agama. Agama mau disetarakan dengankebudayaan. Kalau sila pertama diabaikan dan didegradasi, lalu mau dikemanakan agama? Terutama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia? Tidak hanya menolak. Tetapi MUI juga meminta agar para oknum dibalik RUU HIP ini segera diusut dan ditindak tegas. Bahkan MUI minta keterlibatan semua Umat Islam untuk melaporkan, jika ada indikasi kebangkitan paham komunisme dan PKI dimanapun berada. Melaporkan ke markas TNI terdekat. Pertanyaannya, kok markas TNI? Sudah segawat itukah? Ada sejumlah oknum, kata maklumat itu. Sepertinya MUI sudah mengendus. Siapa saja mereka yang diendus MUI? Bisa ditanyakan langsung ke MUI siapa nama-nama yang sudah dikantongi. Tak mungkin institusi sekelas MUI menyebut oknum jika tak punya data. Setidaknya MUI sudah punya indikator yang kuat. Ini yang harus dibongkar kepada publik. Lebih tegas lagi, MUI mengancam akan mengerahkan seluruh umat Islam untuk melawan kebangkitan paham komunis dan PKI. Dipastikan umat Islam akan berada di gardan terdepan untuk ganyang PKI. Akankah muncul Gerakan Umat Mengawal Maklumat (GUMM) MUI? Jika penguasa mengabaikan peringatan keras dari MUI. Jika tak membatalkan RUU HIP, hampir pasti umat Islam akan bergerak. Entah apapun nama wadahnya. Bisa GUMM MUI. Namun bisa juga yang lain. Dari sinilah kekecewaan dan kemarahan umat selama ini kepada pemerintah akan tertumpah. Eskalasinya bisa lebih dahsyat dari kemarahan umat Islam kepada Ahok jelang pilkada Gubenur DKI dulu. Dalam kasus Ahok, hanya MUI Pusat yang mengeluarkan Fatwa. Terkait dengan RUU HIP ini, MUI Pusat mengeluarkan maklumat, yang didukung penuh oleh MUI propinsi di seluruh Indonesia. Nggak main-main ini. Kompak seluruhnya. Semua Umat Islam bersatu. Bersatu untuk menggilas komunis dan PKI, termasuk siapapun mereka yang mendukungnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Antara George Floyd dan Said Didu
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (12/05). George Floyd mendadak jadi terkenal. Tak saja di Amerika, tetapi di seluruh dunia. Kematian lelaki kulit hitam oleh polisi Amerika ini telah menciptakan gelombang massa. Karena kematian satu nyawa ini, diprotes dengan demonstrasi. Bahkan penjarahan dan kerusuhan terjadi di hampir semua negara bagian di Amerika. Menghadapi situasi yang tak terkendali, Donald Trump terpaksa siapkan tentara. Sayangnya, permintaan Trump ditolak oleh Menteri Pertahanan, Mark Esper. Trump berang. Sang menteri pun mau dipecat. Tetapi tak jadi, karena ada masukan dari sejumlah penasehat presiden. Segawat itulah Amerika, sehingga harus menurunkan pasukan tempur? Apakah situasi Amerika sudah tak terkendali? dan Trump sudah tidak sanggup lagi menghadapi situasi di Amerika? Di setiap negara ada Floyd. Seorang korban kesewenang-wenangan kekuasaan. Ada yang mati dibunuh, ada yang diculik, ada yang ditangkap, ada yang dijadikan tersangka, dan ada pula yang diteror dan diintimidasi . Masing-masing negara punya caranya sendiri untuk menghadapi protes rakyatnya. Faktor utama kejatuhan Soekarno dan Soeharto karena kesewenang-wenangan dari kedua penguasa tersebut. Kasus pemberontakan PKI dan krisis ekonomi ketika itu hanya sebagai trigger belaka. Siapapun panguasa, jika nenggunakan kekuasaan dengan seweng-wenang, pasti jatuh. Jika di Amerika ada George Floyd, di Indonesia juga ada Said Didu. Memang beda. Floyd dituduh memakai kupon yang sudah kedaluwarsa. Sedangkan Said Didu dituduh mencemarkan nama baik Menteri Kordinator Bidang Maritim dan Invetasi Luhut Binsar Panjaitan. Orang kuat di kekuasaan sekarang. Bedanya lagi, Floyd mati dengan cara yang sadis, dan videonya ditonton oleh masyarakat di seluruh dunia. Sementara Said Didu ditetapkan menjadi tersangka. Surat penetapan tersangkanya beredar luas dan menggegerkan dunia maya. Pencemaran nama baik atau karena kritik Said Didu? Tak mudah untuk bisa membedakannya. Dalam konteks ini, persepsi penguasa dan rakyat seringkali berbeda. Tergantung sudut pandang kepentingan masing-masing Sempat diberi kesempatan untuk minta maaf kepada Menko Luhut Binsar Panjaitan. Namun Said Didu menolak. Karena merasa tidak bersalah. Ia hanya mengkritik, bukan mencemarkan nama baik pejabat. Jawaban Said Didu yang tegas dan sangat jelas! Nampaknya, Said Didu lebih memilih menjadi martir daripada minta maaf. Siap dengan segala konsekuensinya, termasuk akan dipenjara. Apakah kasusnya akan jadi trigger terjadinya protes nasional? Sejarah yang akan membuktikan nantinya. Yang jelas, berdasarkan surat yang beredar di media sosia dengan nomor B/47/VI/2020/Diitibitsiber Bareskrim Polri, tertanggal 10 Juni 2020, Said Didu telah ditetapkan menjadi tersangka. Menyusul Ruslan Buton yang lebih dulu jadi tersangka dalam kasus meminta Pak Jokowi mundur. Status tersangka Said Didu mengacu pada surat yang beredar. Tetapi, pihak kepolisian melalui Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Arga Jowono membantahnya. Apakah bantahan itu akan menganulir status tersangka Said Didu dalam surat yang beredar di media social tersebut? Rakyat bertanya-tanya, kok seperti ada keraguan menetapkan Said Didu menjadi tersangka. Apakah ada yang khawatir bahwa Said Didu akan menjadi Floyd di Indonesia? Memancing gelombang protes dan demonstrasi massa dari seluruh elemen bangsa? Memang dilematis! Nasi sudah jadi bubur. Said Didu tersangka boleh jadi akan memicu terjadinya protes nasional yang semakin kencang. Tapi, jika lepas, ini akan jadi tamparan keras buat Pak Menteri Luhut Panjaitan. Rakyat terus berharap kepada pihak kepolisian agar bersikap netral, obyektif dan profesional. Ini taruhan nama baik bagi institusi terhormat itu. Sekaligus akan menjadi sejarah keadilan di negeri ini. Yang pasti, kasus Said Didu telah menjadi sorotan. Tidak saja di media, tetapi bahkan jadi perhatian seluruh aktifis di Indonesia. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Tuntutan Badut JPU Untuk Eksekutor Novel Baswedan
Andi W. Syahputra Jakarta FNN – Jum’at (12/06). Tidak terlalu sulit untuk menebak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Dua pelaku penyiraman air keras kepada Novel Bawesdan. Tuntutan yang super ringan satu tahun penjara adalah dagelan dan badut hukum yang patut diduga memang sudah diskenariokan sedari awal. Betapa tidak. Kendati JPU beranggapan bahwa para pelaku terbukti telah merencanakan penyerangan terhadap Novel. Namun JPU mengesampingkan perbuatan para pelaku yang mengakibatkan kebutaan permanen bagi korban sebagai perbuatan yang direncanakan. Disinilah konstruksi dagelan dan badut itu disusun dengan apik. JPU dengan sengaja menghilangkan mans rea dari kedua pelaku. Jaksa menganggap target para pelaku hanya sekadar mencederai. Bukan untuk memuat korban cacat, mata buta secara permanen. Dalam teori pidana, penilaian terhadap pelaku kejahatan atau tindak pidana dibangun atas dua unsur penting. Pertama, menilai perbuatan pelaku sebagai pelanggaran ketentuan pidana (actus reus). Kedua, motif pelaku ketika melakukan tindak pidana (mens rea). Dua prinsip hukum pidana ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Oleh karenanya, para ahli hukum terutama penegak hukum kerap menggunakan kedua unsur pidana tersebut dalam prosedur penegakkan hukum pidana (acara pidana). Bukan seperti yang dilakukan JPU kasus Novel ini. Memang terjadi perdebatan. Mana yang mesti didahulukan? Actus reus atau mens rea? Namun, secara umum, ketika memulai penyelidikan, lazimnya penyelidik akan mendahulukan untuk menggali dari actus reus-nya ketimbang menggali motif (mens rea) pelaku. Ibaratnya, mengenali yang batin (abstrak) dari seseorang, jauh lebih sulit ketimbang menemukan perbuatan (fisik). Karena perbuatan pasti lebih dahulu terlihat dan dijadikan dasar untuk pemeriksaan lanjutan. Dalam hal tertangkap tangan pun, mens rea masih penting untuk dibuktikan di tahap berikutnya. Dari penjelasan singkat tersebut, mudah diketahui bahwa JPU telah lebih dahulu menemukan unsur perencanaan dari perbuatan pelaku. Fakta persidangan mengungkap, penyiraman terhadap Novel telah direncanakan dengan matang. Mulai dari penggunaan bahan (alat) hingga pada waktu eksekusi. Penggunaan asam sulfat sebagai bahan untuk membantu menyempurnakan kejahatan. Sementara waktu di kala sholat subuh, adalah pemilihan waktu yang sangat tepat. Itu merupakan hasil pilihan dari sebuah perencanaan yang matang oleh para pelaku. Asam sulfat dipilih oleh para pelaku agar korban mengalami cacat permanen, sehingga membuat jera korban. Dari rangkaian perencanaan tersebut semestinya JPU sudah dapat mudah menggali bahwa tindakan para pelaku masuk dalam rumpun penganiayaan berat yang direncanakan. Target para pelaku sangat jelas dan terang-benderang. Targetnya melumpuhkan dan membuat cacat korban, agar timbul efek jera pada diri korban. Makanya dipilih bahan kimia yang sangat berbahaya. Targtenya tidak yang abu-abu. Lantas, bagaimana dengan menilai mens rea para pelaku, yang menurut JPU percikan ke mata korban bukan unsur kesengajaan yang menyebabkan kebutaan permanen? Pengakuan para pelaku di persidangan a quo, cairan asam sulfat yang disiramkan mengenai mata kiri Novel bukan sebagai target, tetapi sebagai insiden yang tidak disengaja. Motif (mens rea) para pelaku adalah rasa benci kepada korban, sehingga perlu diberikan pelajaran. Bagaimana mungkin perbuatan yang didasari kebencian dengan menggunakan asam sulfat supaya korban cacat permanen dapat dinilai JPU sebagai perbuatan tak sengaja? Sekali lagi. Target para pelaku itu adalah melumpuhkan dan membuat cacat korban. Sehingga timbul efek jera pada diri korban. Makanya dipilih bahan kimia yang sangat berbahaya. Tingkat merusaknya tidak main-main. Hal yang perlu diingat adalah, mens rea menjadi unsur penting untuk menentukan pertanggungjawaban pidana dari para pelaku. Dalam peristiwa pidana kasus Novel, perbuatan pidana para pelaku harus menitikberatkan pada kombinasi antara actus reus dan mens rea. Tidak bias tidak. Perbuatan pelaku dengan menyiramkan asam sulfat yang tergolong bahan kimia sangat berbahaya. Pelaku sengaja melakukan dengan niat kebencian agar Novel Baswedan jera. Sangat jelas mens rea adalah grudge (dendam). Bukan yang lain. Jelas sekali motifnya. Dalam peristiwa ini tidak ada itu unsur kelalaian atau ketidaksengajaan. Dalam setiap perbuatan pidana, yang didahului dengan motif rea dendam terhadap korban, selalu saja berujung pada penganiayaan berat. Bukan penganiayaan ringan atau kebetulan. Berbeda dengan, umpamanya dalam kasus pembunuhan akibat dari kelalaian. Misalnya, saat pengemudi ugal-ugalan menabrak orang hingga mati. Pelaku yang menabrak korban tetap dapat didakwa menghilangkan nyawa orang lain. Hanya saja pasalnya akan berbeda, karena mens rea berbeda. Seharusnya, dalam pertimbangan tuntutan JPU, berapapun rasio perbandingan mens rea dan actus reus, terlepas dari aaspek mana yang harus timbul duluan, keduanya adalah unsur yang harus ada dalam pertanggungjawaban pidana. Menyimak fakta persidangan a quo, JPU telah sengaja mengesampingkan semua unsur yang terbukti dalam dakwaan primer pasal 355 ayat (1). Di mana semua rangkaian perbuatan telah diakui oleh para pelaku sendiri dan terbukti di muka persidangan. Dengan begitu, semestinya JPU menetapkan dakwaan primer pasal 355 telah terbukti secara menyakinkan. Anehnya, justru sebaliknya. Tuntutan JPU itu justru menilai dakwaan primer pasal 355 tidak terbukti . JPU langsung meloncat kepada dakwaan subsider pasal 353 ayat (2). Ini suatu kejanggalan yang disengaja sebagai dagelan dan badut murahan yang mencoreng wibawa pengadilan Indonesia. Terlepas dari polemik Tuntutan Super Ringan kasus penyiraman Novel Bawesdan, penilaian dan pendalaman dengan seksama dalam memahami actus reus dan mens rea menjadi sangat penting. Keduanya tak boleh dipisahkan hanya sekadar untuk mengaburkan substansi dari perbuatan pidana para pelaku. Bahkan dalam era digital saat ini, justru mens rea lebih dikedepankan dalam menggali perbuatan pidana pelaku. Tuntutan Super Ringan JPU terhadap para pelaku penyiraman Novel Bawesdan menambah bukti baru bahwa JPU dapat diintervensi oleh atasannya. Bisa juga diintervensi oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan perkara. JPU tak punya kemandirian dalam mengajukan rencana tuntutan (rentut) karena harus terlebih dahulu diketahui oleh atasanya. Lazimnya, JPU yang hadir di persidangan adalah Jaksa pada level bawahan yang tidak bisa diintervensi. Namun Jaksa yang lebih tinggi yang mudah diintervensi. Dalam konteks kasus Novel, seorang “jenderal polisi berpengaruh” sebagaimana pernah disebut oleh Novel sendiri, punya kepentingan atas tuntutan ringan JPU tersebut. Oleh sebab itu, lantaran Hakim sendiri tak punya pedoman vonis (putusan), maka JPU mencoba memagari kemandirian Hakim supaya kelak Hakim menjatuhkan putusan tak melebihi tuntutan JPU. Publik tentu saja berharap Majelis Hakim akan tetap mandiri dan independent. Tidak ada ketentuan atau panduan bagi Hakim harus menjatuhkan putusan lebih rendah, tinggi atau sama dengan tuntutan JPU. Hakim dapat menjatuhkan putusan lebih berat karena kemandiriannya. Hakim tidak punya atasan siapapun, kecuali kepada Tuhan. Wallahu’alam bi sawab. Penulis adalah Praktisi Hukum
Gubernur Mengalah, Surabaya Raya Tarung Bebas vs Corona
Oleh Mochamad Toha Surabaya, FNN - Kepergian Dokter Miftah Fawzy Sarengat, dokter residen peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UA) Surabaya yang meninggal karena Covid-19, Rabu (10/6/2020), mengingatkan kita. Mengingatkan resiko setelah terpapar Virus Corona atau Covid-19. Almarhum Dokter Miftah sehari-hari bertugas di RS Dr Soetomo Surabaya. Setelah dirawat intensif selama 5 hari di RS milik Pemprov Jatim itu, Dokter Miftah meninggal Rabu pagi sekitar pukul 09.00 WIB. Humas RS Dr Soetomo Surabaya Dokter Pesta Parulian membenarkan tentang meninggalnya Dokter Miftah. Kabar itu menjadi kabar duka bagi seluruh elemen di RS Dr Soetomo dan FK UA. Dokter Pesta juga membenarkan hasil sejumlah tes pendeteksi Covid-19 menunjukkan bahwa Dokter Miftah memang terjangkit Covid-19. Hasil tes swab dengan metode PCR, termasuk CT Scan Toraks, menunjukkan hal itu. “Hari ini sudah kami lakukan pemulasaraan sesuai protokol Covid-19, karena hasil swab-nya memang positif, CT Scan Toraks-nya juga. Semua parameter yang kami uji hampir sangat pasti Covid-19,” katanya. Pihak RS Dr Soetomo dan FK UA memberikan penghormatan terakhir kepada Dokter Miftah yang telah berjuang di garda terdepan penanganan pasien Covid-19. Jenazahnya dikebumikan di Magetan. “Keluarganya menghendaki beliau dikebumikan di Magetan. Jadi, hari ini kami lakukan dua upacara singkat untuk melepas jenazah beliau,” kata Dokter Pesta dilansir SuaraSurabaya.net, Rabu (10 Juni 2020 | 17:39 WIB). Upacara singkat melepas kepergian Almarhum Dokter Miftah itu berlangsung di gerbang RS. Direktur Utama RS Dr Soetomo, Dokter Joni Wahyuhadi, memberi penghormatan terakhir bersama Wakil Dekan FK UA. Dokter Pesta mengaku sangat sedih. Selain kehilangan salah satu peserta didiknya, dia sangat menyayangkan kepergian dokter yang seharusnya menyelesaikan pendidikan spesialisnya tahun ini. Seharusnya, kalau tidak ada pandemi, mungkin dalam tahun ini, sudah selesai. Dokter Brahmana Askandar Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya turut menghadiri upacara penghormatan dan prosesi pelepasan jenazah di FK UA Surabaya. Dokter Miftah adalah dokter ketiga di Surabaya yang gugur sebagai pejuang medis dalam perang melawan Covid-19. Dia berharap, kepergian Dokter Miftah yang terakhir kali terjadi di Surabaya. “Dikter Miftah ini dokter ketiga yang gugur di Surabaya. Mudah-mudahan ini yang terakhir. Perjuangan beliau harus kami lanjutkan, karena perjuangan melawan Covid-19 ini belum selesai, mudah-mudahan bisa segera berakhir,” katanya. Pada Senin, 8 Juni 2020, lalu adalah hari terakhir pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketiga di wilayah Surabaya Raya, yakni: Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik. Adalah Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang sebelumnya “ngotot” mau usul ke Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa supaya mengakhiri PSBB di Surabaya. Usulan ini didukung Bupati Gresik Sambari Halim Radianto dan Plt Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifudin. Alasan “kehidupan ekonomi” yang mendasari Risma mengusulkan hal tersebut. Walikota ini berjanji akan membuat Perwali yang lebih ketat untuk mendukung Protokol Kesehatan yang diberlakukan selama ini. Demikian pula alasan Bupati Gresik dan Sidoarjo. Tampaknya Gubernur Khofifah tidak berdaya menghadapi tuntutan ketiga Kepala Daerah di Jatim ini, meski sebelumnya Ketum Muslimat NU ini sudah memberikan peringatan bahaya Covid-19 di ketiga wilayah Surabaya Raya tersebut. Akhirnya Gubernur Khofifah menyerahkan keputusan “penghentian” PSBB itu kepada ketiga kepala daerah Surabaya Raya ini. Padahal, angka penularan Covid-10 di Surabaya Raya sebenarnya masih tinggi, bahkan bisa lebih berbahaya dari DKI Jakarta. Tapi, Gubernur Khofifah mengakhiri PSBB Surabaya Raya karena permintaan ketiga kepala daerah tersebut. Ketiga kepala daerah di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik juga telah berjanji akan menerapkan protokal kesehatan lebih ketat meski PSBB sudah berakhir. Menurutnya, sejak awal penerapan PSBB sudah disepakati Pemkab Gresik, Pemkab Sidoarjo, dan Pemkot Surabaya. “Pada dasarnya, semua bersifat bottom up,” jelas Gubernur Khofifah, mengutip tayangan Kompas TV, Senin (8/6/2020). Dalam setiap perpanjangan PSBB, lanjut Khofifah, adalah keputusan pemda setempat. “Pada perpanjangan pertama, PSBB tahap kedua, yang mengumumkan itu sendiri sudah perwakilan kabupaten kota,” paparnya. Saat PSBB tahap ke-3 perpanjangan tahap ke-2 dimulai 26 Mei-8 Juni, yang mengumumkan juga adalah mereka bertiga. Pada akhir PSBB tahap ketiga, Gubernur Khofifah menyebutkan telah melakukan evaluasi dan rapat untuk memutuskan apakah PSBB harus dilanjutkan ke tahap berikutnya atau tidak. Dalam rapat tersebut, Dokter Windhu Purnomo sebagai pakar Epidemiologi Universitas Airlangga telah menjelaskan kondisi saat ini belum aman untuk mencabut PSBB. “Kita mengundang perwakilan kabupaten dan kota,” ungkap Gubernur Khofifah. “Kemudian Dokter Windhu yang mengomandani Tim Epidemiologi FKM Unair menjelaskan bahwa sesungguhnya Surabaya belum aman, Gresik belum aman, Sidoarjo belum aman,” ujar Khofifah. Ia menyinggung kondisi di ketiga wilayah tersebut, bahkan lebih parah daripada DKI Jakarta yang kurvanya sudah mulai melandai. “Sebaiknya bersabar dulu, dengan data misalnya attack rate-nya masih 94,1. Bahkan lebih tinggi dari Jakarta hari ini,” ungkap Khofifah. Meski begitu, Khofifah menyinggung angka transmisi di Surabaya sudah cukup membaik dan menjadi optimisme bersama. “Kemudian ada optimisme, memang. Artinya, rate of transmission-nya Surabaya 1,0,” jelas Khofifah. “Optimisme ini sesungguhnya bisa menjadi pendorong upaya pendisiplinan yang lebih ketat,” tambahnya. Ia memaparkan transmission rate di Gresik sempat mencapai angka 0,3. Melihat angka tersebut, Pemkab Gresik sempat optimis dapat mulai memasuki “New Normal”. “Mereka pada tanggal 21-26 Mei, selama 6 hari itu sudah di bawah 1. Waktu itu kita berharap kalau sudah di bawah 1, sesungguhnya sudah siap untuk memasuki New Normal,” lanjutnya. Meski begitu, setelah Lebaran angka kasus baru kembali naik. “Pascalebaran, di 3 daerah ini mengalami kenaikan. Itu yang menjadikan rate of transmission naik, angka-angka ini juga naik,” ungkap Khofifah. “Tapi, pakar Epidemiologi tadi kembali menjelaskan bahwa ini belum aman,” tambahnya. Angka kemarian pasien positif Covid-19 di Jatim, tertinggi se-Indonesia. Adanya tambahan 23 kasus kematian di Jatim pada Rabu (10/6/2020), total ada 553 kasus kematian di Jatim. Dari data laporan media harian Covid-19 Indonesia per-Kamis (11/6/2020), kasus kematian di Jatim menyalip DKI Jakarta. Jakarta sendiri bertambah 2 kasus menjadi 537 kasus. Jakarta sebelumnya menjadi provinsi dengan angka kasus kematian tertinggi se-Indonesia. Kini, angka kasus kematian itu dilampaui Jatim. Dari data Gugus Tugas Covid-19 Pusat, hari ini ada tambahan 297 kasus di Jatim, sehingga total ada 7.103 kasus. Untuk pasien sembuh di Jatim, hari ini ada tambahan 112 menjadi 1.793 pasien sembuh dari Covid-19. Melihat data tersebut, persentase angka kematian pasien positif Covid-19 di Jatim lebih tinggi daripada Jakarta. Padahal di Jakarta ada 8.650 kasus positif Covid-19 dengan total 537 kasus kematian. Dari data Pemprov Jatim sendiri per-Rabu (10/6) angka kematian sudah tercatat di angka 553 kasus. Sementara untuk pasien sembuh tercatat ada 1.793. Untuk kasus positif Corona masih tercatat 6.798 kasus. Untuk data kematian dan kesembuhan, Pemprov Jatim diizinkan oleh Gugus Covid-19 pusat untuk meng-update lebih cepat. Untuk kasus positif, Pemprov Jatim menunggu pengumuman lebih cepat. “Kita memang diizinkan untuk mengumumkan kasus kematian dan angka kesembuhan lebih cepat dari pada pusat. Jadi, kadang teman-teman (media) melihatnya, kenapa di data pusat kesembuhan/kematian baru sekian, di data Pemprov lebih banyak,” ungkapnya. “Karena kita diizinkan. Untuk kasus positif, kita menunggu pengumuman dari pusat,” kata Gubernur Khofifah beberapa waktu lalu di Gedung Negara Grahadi. Kebijakan yang telah diambil Gubernur Khofifah berbeda dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Gubernur Anies tidak bisa melawan kebijakan Pemerintah Pusat yang ngotot segera berlakukan New Normal. Maka, Anies dengan berat hati diikuti dengan bahasa PSBB Transisi. Dia sudah tahu kasus baru akan melonjak lagi. Seperti biasa dia telah siapkan segala kemungkinan yang terjadi. Sebaliknya di Jatim, Surabaya didukung Gresik dan Sidoarjo minta berhenti PSBB. Gubernur Khofifah paham kasus baru akan terus melonjak. Seperti biasa dengan sabar disiapkan segala situasinya. Menurut politisi PAN Mila Machmudah Djamhari, DKI Jakarta masih menyebut nama PSBB karena itulah payung hukumnya untuk menyusun aturan dan sanksinya. “Surabaya Raya yakin tanpa PSBB otomatis Peraturan Gubernur Jatim untuk PSBB berakhir sudah,” katanya. Semua dikembalikan pada Perwali dan Perbup. Masalahnya adalah apa payung hukumnya di atas untuk memberikan aturan dan sanksinya. Sedangkan opsi PSBB adalah opsi yang paling ringan dari Status Darurat Kesehatan. “Pemkot Surabaya memilih tarung bebas Rakyat versus Covid-19,” tegas Mila. Catat! Pasien meninggal di Jatim sudah 575 yang positif, yang PDP 733, yang ODP 111. Surabaya yang meninggal positif 315. Tingkat kematian Surabaya 8,41%. Untuk kesembuhan Surabaya 26,66%. "Angka ini bisa dimainkan. Yang terkonfirmasi positif bisa direkayasa tinggi, negatif bisa jadi positif. Seminggu kemudian akan dinyatakan sembuh. Ini akan berdampak pada tingginya tingkat kesembuhan dan rendahnya tingkat kematian," ujar Mila. Selama tingkat kematian tinggi, Surabaya akan kehilangan banyak potensi ekonomi. "New Normal ditempuh pemerintah karena kondisi keuangan negara sudah tidak memungkinkan untuk penyelenggaraan bansos. Bila rakyat lapar berpotensi kerusuhan," tegas Mila. Penulis Wartawan Senior
Hadapi RUU HIP, Partai Keumatan Jangan Lemah
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (12/06). Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi perhatian serius umat Islam. Ini disebabkan kekhawatiran tinggi atas kemungkknan RUU ini menjadi sarana untuk menyimpangkan makna ideologi Pancasila. Arah tafsir Nasakom yang bisa kembali terulang. Komunisme tentu saja berkeinginan kuat untuk mendapat pengakuan hukum. Mereka tidak pernah berhenti. Komunisme terus berjuang melalui cara yang halus dan bertahap. Dari jalanan hingga ruang Dewan. Bahkan berusaha dengan cara untuk bias masuk ke dalam Istana. Tiga partai keumatan PPP, PKB, dan PAN memiliki kedudukan yang strategis dalam sambungan hati dengan umat di akar rumput. Ketika kampanye pun bahasa-bahasa keumatan diletakkan menjadi jembatan untuk memperbesar daya dukung umat. Hasilnya, umatpun merasa nyaman dan bahagia mendukung walau tahu belum tentu menjadi pemenang. Ada nilai ibadah yang diyakini. Tentu dengan berdo'a pula agar Allah menolong perjuangan partai politik umat. Kini umat Islam sedang prihatin, bahkan merasa sedih dan menderita. Terasa agama sedang diombang-ambingkan oleh mereka yang tak suka pada pijakan agama. Mereka itu sekarang yang berada di Pemerintahan dan ruangan Parlemen. Stigma ketakutan pada agama dan syari'atnya terus dibangun dan dipropagandakan. Semangat juang dilemahkan dengan bahasa toleransi, tidak diskriminasi, moderasi, ataupun hak asasi. Semua diterima dengan sabar walau memahami bahwa umat sedang terzalimi. Kini terasa PKI bangkit kembali. Komunisme sedang diupayakan untuk dihidupkan. Fakta sejarah komunisme dan PKI mau diputarbalikkan, dan agama dinisbikan. PKI dan kader-kader komunis adalah musuh-musuh agama. Kegigihan dalam menyusup patut juga untuk diberikan diacungkan jempol. Menyelundupkan pasal-pasal aturan adalah kemahiran mereka. Menyelundupkan senjata juga biasa. Tujuan mereka adalah merongrong ideologi negara dengan bahasa membela. Artinya, tipu-tipu politik yang dianggap sebagai hukum perjuangan. Yang penting kekuasaan dapat direbut nantinya. RUU HIP jika ditelaah seksama, sarat dengan nuansa "kiri". Bahkan agak vulgar tampilannya. Anehnya, kok bisa lolos dengan mudah di senayan. Didukung oleh banyak fraksi. Sedih dan mengurut dada umat. Sebab ternyata diantara yang ikut meloloskannya itu partai partai keumatan. Ada PPP, PKB, dan ada pula PAN. Partai yang selalu mengusung kaliat ukhuwwah. Partai da'wah, dan partai yang konon berjihad fie sabilillah. Umat yang sudah merasa lemah, bertambah untuk dilemahkan oleh kekuatan politik yang gemar berslogan berjuang untuk ummah. Prakteknya lemah berhadapan dengan gagasan dan ide komunisme-PKI. RUU HIP adalah nyata-nyata racun sekularisme. Virus komunisme, dan upaya nyata untuk mendegradasi nilai-nilai keagamaan. Melemahkan ideologi Pancasila, hasil kesepakatan yang dipertahankan dengan simbahan darah. RUU HIP adalah tafsir tunggal untuk menghalau dan mengkerdilkan ideologi Pancasila dengan bahasa "haluan" ideologi. Padahal penuh dan sarat dengan bingkai kamuflase. RUU yang telah diketuk untuk masuk tahap berikut menuju penetapan menjadi Undang-Undang. Umat telah ramai-ramai mengadakan penolakan dan perlawanan. Sementara itu partai-partai yang menyatakan berbasis dan menyandarkan diri kepada keumatan dipertanyakan keberadaannya. Kemana dan dimana mereka? Masih adakah mereka? Bersembunyi dimana mereka? Belum terlambat untuk bangkit dan berjuang kembali dengan gagah. PPP, PKB, dan PAN harus melihat, sebagaimana umat merasakan bahwa RUU HIP adalah ancaman bagi umat Islam. Juga ancaman nyata terhadap ideologi dan dasar Negara Pancasila. Untuk itu jangan berdiam diri. Karenanya bela umat ini dengan menghentikan langkah RUU gila ini. Ideologi bukan tidak penting. Tetapi jika disalahtafsirkan, disalahnarasikan, atau disalahgunakan, maka ideologi adalah alat koersi. Bukan sarana dan alat untuk membangun integrasi bangsa. Ingat itu Aspirasi umat adalah menolak RUU HIP. Alasanya, isinya berbau Orde Lama dan Komunisme. Ketiga partai PPP, PKB, dan PAN diharapkan menjadi penyambung lidah umat. Berjuang keras dengan berani bagai singa yang berdaya guna. Jangan seperti bebek dan sapi yang mudah digiring kesana dan kesana. Rumah kita di sini, di hati-hati rakyat dan umat. Tampilah dengan langkah dan semangat yang membanggakan umat. Jangan menjual agama dengan harga murah. Resikonya Allah SWT akan marah nantinya. Kemuliaan dan kehinaan itu ada di tangan Allah. Demikian juga dengan pertolongan dan rezeki-Nya. Buat apa mulia di dunia, tetapi hina dan derita di akhirat. Selamat berjuang. RUU HIP adalah batu ujian buat anda. Saatnya untuk membuktikan, apakah anda singa atau hanya bebek dan sapi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Kemana Kurva Pemulihan Ekonomi Indonesia?
by Bambang Soesatyo,Ketua MPR RI, Maruarar Sirait, Anggota DPR 2004-2019, Andi Rahmat, Pelaku Usaha, dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI 2004-2014 Jakarta FNN – Jum’at (12/05). Hingga bulan Februari tahun 2020, perekonomian dunia menunjukkan gairah pertumbuhan positif. Tidak ada tanda-tanda kontraksi berarti, apalagi resesi. Perbincangan dikalangan banyak ekonom dan pelaku bisnis juga demikian. Pembahasan lebih banyak pada isu kesenjangan ekonomi. Stagnasi pendapatan kelas menengah, dan efek suku bunga rendah bank-bank sentral. Perang dagang Amerika dengan China atau Ekonomi Pro Lingkungan. Dalam hal kritisasi pertumbuhan ekonomi dunia, ramai dibicarakan soal fenomena 'sluggish' (Istilah yang dipilih IMF ketimbang stagnasi). Fenomena Stagnasi Sekuler dalam pertumbuhan ekonomi dan seterusnya. Tidak banyak diskusi atau reportase tentang ancaman krisis, apalagi resiko depresi pada perekonomian. Tapi semua itu berubah dramatis diakhir februari dan terus berlanjut hingga sekarang. Tiba-tiba saja seluruh dunia diperhadapkan pada situasi krisis ekonomi. Krisis yang makin hari makin menunjukkan kualitas kerusakannya. Krisis ekonomi ini pemicunya tidak berasal dari dalam perekonomian itu sendiri. Tetapi berasal dari luar lingkungan perekonomian. Krisis kesehatan global. Pandemi Covid 19, berubah menjadi krisis ekonomi yang sulit dicari bandingan efeknya dalam khazanah perekenomian dunia paska Perang Dunia ke-2. Sebagai pelaku usaha, kami merasakan nuansa optimistis memasuki tahun 2020. Kita memang merasakan adanya 'tekanan' pada perekonomian. Tapi persepsi terhadap tekanan itu lebih merupakan keadaan koreksi normal perekonomian terhadap 'booming' ekonomi paska 2008. Berupa perubahan perilaku bisnis, baik itu ditingkat konsumen maupun peralihan fokus usaha pelaku usaha. Periode 2014 hingga 2019, agresifitas investasi menunjukkan tren pengambilan resiko yang tinggi. Terutama pada investasi padat modal dan memakan waktu. Dalam persepsi kami, akan menunjukkan hasil positifnya dimulai tahun 2020 ini. Akumulasi Realisasi Investasi tahun 2014 mencapai Rp 463,1 trilliun, meningkat menjadi Rp 545,4 trilliun (meningkat 17,77%) di tahun di 2015. Tahun 2016 mencapai Rp 612,8 trilliun (meningkat 12,4%). Kemudian di tahun 2017 mencapai Rp 692,8 trilliun (meningkat 13%). Pada tahun 2018, meningkat lagi menjadi Rp 721,3 trilliun (meningkat 14,1%). Dan di tahun 2019 naik lagi menjadi Rp 809,6 trilliun (meningkat 12,24%). Total akumulasi realisasi investasi sepanjang kurun 2014-2019 mencapai Rp 3.845,1 trilliun. Laporan sektor keuangan juga menunjukkan hal yang sama. Baik berupa indikator peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan, kinerja Pasar Saham, indikator kesehatan sektor perbankan dan lain-lain. Kesemuanya menunjukkan dinamika positif dalam perekonomian. Tentu ada banyak catatan kritis terhadap situasi perekonomian Indonesia sepanjang kurun itu. Peningkatan drastis hutang negara, kinerja penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi yang stagnan di bawah 5,2% , pergerakan kurs yang berhubungan dengan aksi tappering off Bank Sentral Amerika, defisit transaksi berjalan, kinerja keuangan BUMN. Semua itu adalah hal- hal yang bisa disebutkan menonjol selama kurun waktu itu. Tibalah kita pada situasi dimana semua indikator perekonomian mengalami kontraksi hebat. Semua variabel pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan penurunan kinerja yang curam. Angka pengangguran meningkat tajam, jumlah penduduk yang kembali jatuh ke dalam zona kemiskinan juga meningkat. Perbankan dan Institusi Keuangan Non-Bank (IKNB) turut mengalami tekanan kuat. Kinerja ekspor-impor menurun. Beberapa sektor bisnis menghadapi resiko kebangkrutan massal. Indeks saham merosot tajam, menghapuskan ribuan trilliun nilai kekayaan dalam waktu singkat. Volatilitas rupiah bergerak cepat dalam rentang yang lebar. Semua ini, terjadi tanpa gejala pendahuluan. Semua datang begitu saja secara tiba-tiba, cepat dan dengan efek toksiknya terhadap perekonomian yang mematikan. Dari segi skala efeknya terhadap struktur perekonomian, dalam hemat kami, hantaman krisis pandemi terhadap perekonomian jauh lebih hebat ketimbang krisis 1998. Saat ini yang dihadapi bukan saja krisis keuangan. Nmun krisis yang menyeluruh pada semua bangunan perekonomian. Dengan menyisakan hanya sedikit saja sektor yang tidak terdampak hebat. Dan krisis ini bukan saja melanda Indonesia, tetapi keseluruhan perekonomian dunia. Krisis ini menguji daya tahan perekonomian nasional kita. Menguji respon pemerintah dan otoritas 'quasi government'. Menguji kemampuan dan kualitas pelaku usaha, baik korporasi maupun UMKM dan sektor informal. Menguji keampuhan sistem bernegara kita. Bahkan menguji standar moralitas dan nilai-nilai kita dalam perekonomian. Kembali kepada judul tulisan ini, kearah mana kurva pemulihan ekonomi Indonesia? Ini pertanyaan yang sulit. Mantan Menteri Keuangan Era SBY- Budiono, Chatib Basri, menuliskan satu artikel panjang di salah satu koran nasional soal ini. Dalam bayangan Chatib Basri, tentu dapat dipertanggungjawabkan, tren pemulihan ekonomi nasional akan cenderung kearah Kurva U. Bukan Kurva V (Kompas, 08/06/2020). Artinya, pemulihan ekonomi akan menempuh masa yang lebih panjang hingga kembali berfungsi secara normal. Deloitte dalam laporannya yang berjudul 'Recovering from Covid 19, Considering Economic Scenarios for Resilient Leaders' (Deloitte, 2020) menggunakan tiga skenario pemulihan ekonomi. Skenario pertama disebutnya sebagai 'a steep but short lived downturn'. Asumsinya antara lain adalah bergairahnya kembali perekonomian diakhir 2020. Tingkat konfidensi konsumen yang meningkat, pemulihan China yang lebih cepat, berakhirnya resesi di Uni Eropa dan Amerika. Program fiskal substansial UE dan AS yang berjalan efektif dan bergairahnya kembali 'travel and leissure industry' diakhir tahun. Asumsi PDB riil 2020 di Amerika -5%, UE -5%, Afrika -2,1, China 3% dan Jepang 0%. Skenario kedua disebutnya, 'Prolonged Pandemy and Delayed Rebound'. Dengan asumsi pertumbuhan PDB riil 2020 AS -8%, UE -8%, Afrika -5,1%, China 1% dan Jepang -3%. Asumsinya antara lain adalah pemulihan baru akan dimulai di akhir 2021 nanti. Pada scenario ini, gelombang pandemi meningkat, dan stimulus fiskal gagal memicu belanja. UE dan AS mengalami resesi berkepanjangan, dan pemulihan ekonomi di China berjalan sangat lambat. Juga terjadi penurunan berkepanjangan pada belanja konsumen. Skenario ketiga adalah skenario 'The worst skenario'. Dalam skenario ini, sistem keuangan gagal, sekalipun ada upaya massif dari Bank Sentral untuk mengatasinya. Stimulus fiskal besar-besaran tetap saja tidak mengangkat konsumsi. Pada scenario ketiga ini, terdapat banyak usaha yang bangkrut. Mata rantai penawaran mengalami gangguan berat, dan ekonomi rumah tangga makin terpuruk. Dan pemulihan ekonomi global tidak menampakkan gejala positif hingga tahun 2022. Skenario Deloitte ini sebetulnya diperuntukkan bagi lingkungan Afrika Selatan. Tapi gejala dan asumsinya secara umum, dalam hemat kami, memiliki pola yang mirip dengan Indonesia. Kalau di terapkan dalam skenario kurva pemulihan. Skenario pertama adalah skenario optimistik, yang sering digambarkan dalam skenario Kurva 'V'. Skenario kedua merupakan skenario Kurva 'U' yang moderat. Dan skenario ketiga merupakan skenario Kurva 'U' yang ekstrem. Laporan dari berbagai lembaga ekonomi dunia berikut prakiraan terhadap 'perlintasan/trajectory' pemulihan ekonomi, memiliki asumsi yang sama. Bahwa pemulihan ekonomi sangat bergantung pada kemampuan negara-negara dalam mengendalikan pandemi Covid 19 ini, yang dibarengi dengan kebijakan ekonomi yang besar, substansial dan efektif. Sejak awal krisis ini, kami sebetulnya sudah mengajukan istilah 'Maraton' dalam horison kebijakan pemulihan ekonomi nasional. Implisitnya adalah suatu bayangan bahwa pemulihan ekonomi akan melalui perjalanan yang tidak singkat. Pemulihan itu sendiri tidak berupa lonjakan vertikal yang cepat. Sebagai pelaku usaha dan penyelenggara negara, tentu kami sangat berharap pemulihan ekonomi kita bisa lebih cepat dalam lintasan Kurva 'V'. Apalagi dengan modal keadaan perekonomian kita yang relatif sehat sebelum Pandemi ini terjadi. Apalagi dengan kombinasi kebijakan bauran Fiskal dan Moneter yang kuat dan besar-besaran yang dilakukan Pemerintah dan Bank Sentral, termasuk juga OJK dan LPS. Namun sifat dan karakteristik dari Pandemi Covid 19 ini, berikut dampaknya terhadap bangunan perekonomian membuat pendekatan realistis terhadap pemulihan menjadi pilihan yang dalam hemat kami lebih tepat di jadikan sebagai pijakan bagi skenario pemulihan yang akan ditempuh. Pilihan realistis ini berkaitan dengan sumber daya pemulihan yang kita miliki dan kita butuhkan. Baik dari segi daya tahan Fiskal pemerintah, kemampuan neraca Bank Indonesia berikut resiko moneternya, dan kemampuan pemulihan ekonomi dunia. Dalam krisis ini, daya tahan dan kemampuan otoritas negara merupakan kunci bagi pemulihan ekonomi. Dengan membayangkan secara realistis bahwa pemulihan ekonomi akan melewati skenario Kurva 'U', maka kebijakan-kebijakan yang diambil tentu pula memiliki persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam menciptakan dan menjaga momentum pemulihan. Persyaratan-persyaratan itu antara lain : Pertama, rancang-bangun kebijakan fiskal pemerintah. Khususnya yang berhubungan dengan rancang bangun pemulihan yang berbasis pada APBN. APBN merupakan alat utama pemerintah dalam menangani krisis. Tetapi penggunaan yang tidak tepat dari alat ini, juga bisa menjadi bumerang bagi proses pemulihan itu sendiri. Apabila menggunakan asumsi tunggal, bahwa tindakan APBN yang massif bisa mengungkit perekonomian dengan cepat. Perlu lebih cermat. Penggunaan yang massif itu semestinya dibarengi dengan prinsip penjagaan keberlangsungan fiskal. Terutama untuk menjaga sisi kontra produktif dari krisis yang dihadapi. Sisi kontra produktif itu adalah besarnya variabel ketidakpastian yang mewarnai krisis ini. Postur APBN kita saat ini mengharuskan kita untuk berhati-hati dalam penggunaan masifnya. Struktur penerimaan negara masih akan mengalami 'shock' dalam satu dua tahun ke depan. Yang berakibat pada pembesaran kumulatif pembiayaan defisit di tahun- tahun ke depan. Dalam pemulihan ini, kebijakan pengetatan tentu merupakan opsi kritis yang hampir sulit untuk dipilih. Namun stamina APBN mesti dijaga dalam pemulihan. Durasi penggunaannya seyogyanya dikelola secara tepat. APBN untuk pemulihan memang mesti massif, tetapi juga harus memiliki stamina yang cukup sepanjang proses pemulihan. Artinya, APBN bukanlah solusi tunggal pemulihan ekonomi. Tetapi APBN adalah titik pijak dan jangkar utama pemulihan ekonomi. Persyaratan kedua, adalah mempertahankan paradigma 'Fokus, Desisif, Masif dan Transparan'. Fokus bermakna motif dan tujuan kebijakan dipastikan kejelasannya. Sektor dan pelaku ekonomi yang paling terdampak menjadi prioritas utama. Dalam hal sektor, yang memiliki elastisitas dan daya ungkit ekonomilah yang menjadi patokannya. Dalam hal pelaku, sektor UMKM sebagai penyumbang tenaga kerja terbesar memperoleh porsi terbesar dalam alokasi sumber daya kebijakan. Tidak berarti, korporasi, sebagai pembayar pajak terbesar tidak memperoleh perhatian serius. Desisif bermakna kebijakan fiskal dan moneter harus betul-betul hadir untuk menyelesaikan persoalan. Karena itu, menjaga perlintasan permintaan tetap pada rute positif adalah inti dari kebijakan yang desisif itu. Masif artinya tidak tanggung-tanggung. Kapasitas yang dimiliki oleh otoritas fiskal dan moneter harus dipergunakan secara optimal dan terukur. Kami tidak memiliki kompetensi dalam menghitung seberapa besar biaya yang mesti dikeluarkan untuk benar-benar mengembalikan perekonomian pada kinerja normalnya. Namun seberapa besarpun biaya yang diperlukan untuk mengatasi krisis dan memulihkan perekonomian, sebesar itu pulalah biaya yang mesti digelontorkan oleh otoritas. Demikian juga dengan Transparansi. Ini merupakan persyaratan sukses yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Transparansi menjamin kontrol yang sehat terhadap proses pemulihan sekaligus juga meningkatkan akuntabilitas dan menjamin akseptabilitas publik terhadap langkah-langkah kebijakan pemulihan. Transparansi menjamin munculnya 'mutual trust' dari stake holder terhadap kebijakan dan pengambil kebijakan. Persyaratan berikutnya adalah kebutuhan mendesak dalam kerangka pemulihan ekonomi untuk menjawab tantangan struktural perekonomian kita. Perekonomian baru Indonesia memerlukan perubahan dan penyesuaian struktural. Dalam pemulihan ekonomi yang diperlukan adalah suatu model pemulihan yang sekaligus juga merupakan jawaban terhadap problem struktural perekonomian yang endemik dalam perekonomian Indonesia. Pemulihan ekonomi bukanlah kembali pada bentuk lama perekonomian kita. Tetapi perekonomian yang mencerminkan kesiapan kita dalam wujud baru perekonomian yang lebih egaliter, kompetitif, pro-lingkungan, inovatif dan dinikmati oleh masyarakat luas. Pemulihan ekonomi bukan sekedar perbaikan profil Produk Domestik Bruto. Bahkan, pemulihan ekonomi sudah semestinya dilakukan dalam kerangka perbaikan kualitas perekonomian. Bukan melestarikan praktek lama perekonomian yang distortif pada kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Langkah-langkah kebijakan pemulihan ekonomi yang 'eksta-ordinary', yang diambil oleh pemerintah dan otoritas lainnya, dan juga memperoleh dukungan politik besar dari legislatif, merupakan modal besar untuk menjalankan agenda-agenda perubahan struktural perekonomian tranformatif. Modal ini sepatutnya digunakan untuk tujuan-tujuan besar dan berdampak panjang. 'Legacy' pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam hemat kami, bukanlah apa yang dikerjakannya lima tahun sebelumnya. Tapi 'legacy' historis pemerintahan ini terletak pada kemampuannya menangani krisis ini. Membalikkan situasi perekonomian, dan meletakkan fondasi perekonomian baru Indonesia. Legaci seperti ini yang menjawab problem struktural lama perekonomian. Sekaligus juga, meletakkan fondasi yang kokoh bagi keberlanjutan kompetitif bangsa Indonesia.
Ingat Perintah MPRS, "Teliti Itu Ajaran Bung Karno"
by Dr. Margarito Kamis SH.M.Hum Jakarta FNN – Jum’at (12/06). Bukankah idiologi itu secara pars pro toto telah merupakan haluan kehidupan buat sebuah bangsa? Tidakkah idiologi itu telah dengan sendirinya mewakili ide yang dianggap logis? Yang dengan itu sebuah bangsa tersebut bergerak meniti kehidupan kongkritnya? Tidakkah ide yang kelak dipakai menjadi idiologi itu, sampai pada titik itu, disebabkan kemampuannya mengadptasikan nilai-nilai hebat? Yang dengan itu diterima menjadi haluan, dan atau pandangan hidup berbangsa dan bernegara? Bila idiologi yang per defenisi telah merupakan haluan itu, “masih harus dirumuskan lagi haluannya,” lalu apa itu idiologi? Soal-soal di atas, sejauh ini merupakan kristalisasi dari ragam kritikan yang terus mewarnai kehidupan politik Indonesia hari-hari ini. Soal itu berkelindan dengan kenyataan lain. Kenyataan lain yang fundamental adalah RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) yang tidak menunjuk Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sebagai dasar pijakannya. MPRS Mau Meneliti Ketetapan MPRS di atas, teridentifikasi sejauh ini mendominasi rute perbincangan RUU HIP. Menenggelamkan semua kalangan ke dalam, seolah-olah TAP itu adalah satu-satunya TAP, yang relefan untuk diperbicangkan. Ketetapan MPRS yang lain, seolah kehilangan relefansinya. Ada juga Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Ketetapan ini ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1966. Tanggal yang sama dengan ketetapan MPR Nomor XXV itu. Apa yang hendak dicapai dengan ketetapan yang hanya berisi 5 (lima) pasal ini? Dalam pertimbangannya dinyatakan; a. bahwa karya-karya Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno perlu diabadikan untuk kepentingan Rakyat. Oleh karena itu Rakyat berhak dan berkewajiban untuk mengembangkannya secara keratif; bahwa sebagai ajaran, karya-karya Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno perlu disistimatisasi dan menghilangkan kata-kata dan bagian-bagian yang sekedar merupakan tanggapan insidentil dari pimpinan Besar Revolusi Bung Karno terhadap sesuatu Bab atau sesuatu masalah tertentu; Bahwa dengan adanya penghianatan gerakan kontra-revolusi G. 30 S PKI, ada bagian-bagian dari ajaran Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno yang dipersoalkan oleh masyarakat dan berhubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia wajib menanggapi secara wajar dalam rangka mendapatkan kepastian yang objektif tentang ajaran-ajaran tersebut, agar dalam mengamalkannya, rakyat Indonesia tidak mudah terjerumus ke dalam tindakan-tindakan atau sikap yang bertentangan atau menyeleweng daripadanya. Hasil kerja Panitia, menurut pasal 3 TAP ini harus menyampaikan laporannya ke Badan Pekerja MPRS untuk mendapatkan persetujuan, sambil menunggu pengesahan oleh MPRS atau MPR hasil pemilihan umum yang akan datang. Apa isi laporannya? Sampai sekarang tidak jelas. Pada Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, bahkan sampai sidang umum MPR tahun 1973, tidak terlihat laporan itu, apalagi dibahas. Apakah benar-benar dilakukan penelitian, dilaporkan ke BP MPRS, juga tidak jelas. Tidak dapat berspekulasi, tetapi kenyataan terferifikasi menunjukan pada Sidang Umum MPR tahun 1973, juga tak dikeluarkan ketetapan tentang pengesahan laporan itu. Kenyataan ini mengandung dua masalah. Pertama, apa dan bagaimana ajaran Bung Karno? Mana yang dinyatakan dikoreksi atau yang tidak dikoreksi? Sebagai konsekuensi tidak ada laporan itu, maka tidak seorang pun yang dapat secara otoritatif menyatakan ajaran Bung Karno bagian ini atau itu sebagai ajaran, setidak-tidaknya tidak bisa dikembangkan. Kedua, tidak adanya ajaran Bung Karno Pimpinan Besar Revolusi yang dikoreksi secara hukum, dan dinyatakan secara hukum. Misalnya, tidak bisa dikembangkan, maka konsekuensi hukumnya tidak ada ajaran Bung Karno yang terlarang untuk dikembangkan. Konsekuensi ini menghasilkan kabut hitam tebal untuk dua hal. Bagaimana memastikan secara spesifik ajaran bung Karno? Bagaimana memastikan secara spesifik cara mengembangkannya? Ini adalah dua kabut tebalnya. Pada titik ini, beralasan untuk menempatkan RUU HIP sebagai cara mengembangkan ajaran Bung Karno. Cara yang kehebatannya terlegitimasi secara rapuh dengan hukum. Menandai RUU HIP itu sebagai cara pengembangan ajaran bung karno, didorong oleh kenyataan. Untuk sebagian, RUU ini terang-terangan mengutip bagian-bagian kecil pidato Bung Karno yang disampaikan dihadapan rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Harus disebut sebagian kecil saja, sebab soal lain yang teridentifikasi berasal dari Bung Karno, terutama setelah 5 Juli 1959, juga beralasan disodorkan. Mengambil pidato Bung Karno tangga 1 Juni 1945 sebagai ajaran Bung Karno, dalam sifatnya tidak menyelesaikan soal. Mengapa? Bagaimana memberi pijakan rasional atas pidato itu sebagai ajaran ajaran Bung Karno? Itu satu. Kedua, disebabkan Bung Karno hanyalah satu diantara sejumlah tokoh yang menyampaikan pikiran dan gagasannya dalam rapat itu. Mau diapakan atau diberi sifat apa terhadap pidato tokoh-tokoh lain, yang menyampaikan pikirannya pada tempat dan tanggal yang sama 1Juni 1945 itu? Tak bisa disangkal dari pidato Bung Karno itulah, nama Pancasila untuk pertama kalinya disebut. Bung Karno menyebut lima prinsip. Kelak dikenal dengan lima sila Pancasila. Susunan prinsip-prinsip yang disebut Bung Karno, yang dinamakan Pancasila adalah: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial. Prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam uraian Bung Karno selanjutnya dinyatakan; Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong.” Negara Indonesia yang kita dirikan harus berdasarkan gotong royong. Prinsip gotong royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesuia. Inilah saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara. Berubah 100 Persen Bung Karno melanjutkan lagi, Pancasila menjadi Tri Sila, Eka Sila. Tetapi terserah tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih; Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi (Pidato Bung Karno ini dikutip dari RM. A.B Kusuma, 2004). Kenyataan itu tak bisa disangkal untuk alasan apapun. Sama dengan tak bisa juga menyangkal kenyataan lain kala itu. Termasuk yang tak bisa disangkal adalah kenyataan yang muncul dikemudian hari. Perubahan-peerubahan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan. Kenyataan lain sesudah itu adalah kelima prinsip yang Bung Karno sebut Pancasila itu, mengalami perubahan 100 persen setelah dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Isi dan susunannya berubaha total. Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, berubah menjadi sila pertama, berbeda dengan susunan Bung Karno. Keadilan sosial, yang sama sekali tak disebut oleh Bung Karno, muncul menjadi sila kelima. Sila-sila lainnya juga berubah. Bagaimana menjelaskan kenyatuan ini? Bagaimana kenyataan ini muncul? Beralasankah melepaskan kenyataan baru pidato-pidato tokoh lainnya kala itu? Profesor Soepmomo misalnya, pada satu bagian pidatonya bebricara tentang musyawarah dan keadilan. Soal agama dan keadilan, di sisi lain terlihat begitu dalam dijelaskan oleh Ki Bagoes Hadikusumo. Profesor Soepomo, saya kutip seperlunya menyatakan: Kepala desa atau kepala rakyat berwajib menyelengarakan keinsafan keasdilan rakyat, haru senantiasa memberi bentuk (Gestaltung), kepada rasa keadilan, dan cita cita rakyat. Oleh karena itu, Soepomo melanjutkan, kepala rakyat “memegang adat” (kata pepatah orang Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masyarakatnya untuk maksud itu. Senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya. Supaya pertalian batin antara pemimpin dan rayat seluruhnya senantiasa terpelihara. Hasrat keadilan telah dilambungkan Profesor Soepomo. Terlihat lebih melambung jauh dalam pidato Ki Bagoes Kadikusuma. Ki Bagoess menguraikan pikirannya ke dalam 12 (dua belas) point. Terdapat dua point yang tegas menunjukan Ki Bagoes bicara soal keadilan. Menariknya, Ki Bagoes pertalikan pikiran itu dengan jelas dan tegas pada Islam. Pada point nomor 4, Ki Bagoes menyatakan” Islam mengajarkan persatuan atas dasar persaudaraan yang kokoh, maka bangunlah negara di atas ajaran Islam. Hasrat keadilan itu mucul lagi pada point 8 (delapan). Dikatakan oleh Ki Bagoes, Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakan keadilan berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama (Lihat kembali RM. AB Kusumo, 2004). Pembaca FNN yang budimkan, dua kenyataan ini, hemat saya lebih dari cukup menggoyahkan. Setidaknya membuat rapuh setiap pikiran yang menjadikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai ajaran. Saya berpendapat tidak mungkin pikiran ini dirujuk sebagai objek penelitian BP MPR. Hemat saya yang paling mungkin ditunjuk adalah pikiran-pikirian Bung Karno yang terlontar dan sesudah memegang kekuasaan presiden sejak 5 Juli 1959. Pidato Dikuatkan MPRS Masalahnya sekali lagi, tidak diketahui ajaran apa saja dari Bung Karno yang dikesampingkan dan apa yang dapat dikembangkan. Ini, disebabkan MPRS pada tahun 1966 telah menugaskan kepada sebuah Panitia untuk meneliti ajaran-ajaran Bung Karno. Namun tak diketahui hasil akhirnya. Apa panitia itui bekerja atau tidak? Tidak diketahui. Bila bekerja, apakah hasil dilaporkan ke BP MPRS atau tidak? Juga tak diketahui. Bila berhasil, ke mana laporan itu? Aapakah dilaporkan ke BP MPRS? Dalam kenyataannya, secara hukum tidak ada satu pun TAP MPRS, bahkan tak satu pun juga TAP MPR hasil pemilu yang bersidang pada tahun 1973, yang dikeluarkan untuk tujuan itu. Apakah kegagalan ini disebabkan atau memiliki pertalian dengan Pak Jendral Nasution yang telah lebih dahulu meninggalkan MPR sebelum sidang MPR 1973? Tak juga jelas. Bung Karno setelah 5 Juli 1959, beda dengan Bung Karno sebelum 5 Juli 1959 atau sebelum dekrit. Sebelum Juli 1959 Bung Karno hanya sekadar simbol, presiden. Tak punya kuasa eksekutif. Bung Karno setelah 5 Juli, yang telah menggenggam kembali kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945, menjadi figur, kalau bukan satu-satunya, merupakan satu figur yang mendominasi kehidupan bernegara. Pidato-pidatonya pada setiap ulang tahun kemerdekaan tanggal 17 Agustus, diangkat dalam makna dikuatkan. Beberapa diantaranya dibuat menjadi TAP MPRS. Apakah hal-hal yang dinyatakan Bung Karno dalam pidato inilah yang dimaksud dengan ajaran Bung Karno oleh TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966? Lagi-lagi itu jadi soal. Rumit memang. Tetapi baiklah, mari mengenal beberapa di antara pidatonya, yang dikuatkan MPRS dengan TAP MPRS. Pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1959 ditetapkan MPRS sebagai landasan pembangunan. Pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1959 ini dikenal dalam politik Indonesia kala itu dengan nama “Penemuan Kembali Revolusi Kita.” Garis besar pidato berisi lima hal. Sering disebut lima unsur. Kelima hal itu adalah: 1. UUD 1945. 2. Sosialisme Indonesia. 3. Demokrasi Terpimpin. 4. Ekonomi Terpimpin. 5. Kepribadian Indonesia. Semuanya disingkat menjadi USDEK, dan disebut Manipul Usdek. Itu sebabnya pidato ini lebih dikenal dengan nama Manifesto Politik (Manipol USDEK). Pidato ini, entah bagaimana dikuatkan dan diberi bobot hukum oleh MPRS melalui TAP MPRS. TAP MPRS dimaksud adalah TAP MPRS Nomor I/MPRS/1960 Tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Daripada Negara. Diikuti dengan TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama. Tanggal 17 Agustus 1961 Bung Karno kembali berpidato. Pidato ini memang tidak dikuatkan dengan TAP MPRS, tetapi tetap saja menarik. Pada pidato ini dikenal apa yang disebut RESOPIM. Kependekan dari Revolusi, Idiologi Nasional Progresif, yaitu UUD 1945 plus Manipol USDEK dan Kepemimpinan Nasional. Pidato Bung Karno tangal 17 Agustus 1963 yang dikenal dengan Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri). Juga pidato Bung Karno 17 Agustus 1964 dikenal dengan Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP). Pidato Bung Karno pada Musyawarah para Menteri negara-negara Afrika-Asia tanggal 10 April 1964, dan pidato Bung Karno yang dikenal dengan The Era of Freedom is of Confrontation di KTT Non Blok ke II di Kairo tanggal 6 Oktober 1964, semuanya dikuatkan MPRS. Ini dituangkan dalam TAP MPRS Nomor VII/MPRS/1965. Sulit memang menandai soal ini semua menjadi objek yang dituju TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966. Sulit juga menyodorkan pidato yang dikenal dengan Jalannya Revolusi Kita (JAREK) juga sebagai objek yang dituju TAP MPRS di atas. Sesulit ini sekalipun, hemat saya tidak lebh sulit daripada menjadikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai fundasi RUU HIP. Karena alasan-alasan yang telah dikemukakan di muka. DPR boleh saja memiliki kreasi menemukan lorong-lorong sempit untuk meloloskan RUU ini. Problemnya di ujung lorong itu telah ada jebakan. Yang pasti memudarkan PDIP. Apa jebakan itu? Bila jadi RUU ini jadi UU, maka bukan hanya pasal, tetapi ayat, bahkan huruf dan kata demi kata dalam UU itu, dapat dijuji di Mahkamah Konstitusi? PDIP pasti kehilangan argumen memprtahankan Pancasila sebagai idiologi. Itu bahayanya. Saran Saya tariklah RUU ini. Semoga. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Mengapa Polisi Membantah Status Tersangka Said Didu?
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Pagi hari tadi (11/6/2020), portal berita online, “kumparan”, sempat memicu adrenalin banyak orang. Portal berita ini membuat judul berita “Said Didu Ditetapkan Sebagai Tersangka Ujaran Kebencian Terkait Luhut”. Menurut “kumparan”, penetapan tersangka itu tertuang di dalam surat Dittipidsiber Bareskrim Polri tertanggal 10 Juni 2020. Sekitar jam 12 siang, berita itu dibantah oleh kepolisian. Sangat cepat. Sebagaimana diberitakan “kumparan” juga. Bantahan itu langsung datang dari Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono. Muhammad Said Didu (MSD) belum ditetapkan sebagai tersangka. Dikatakan, polisi hanya melakukan gelar perkara pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Tapi, sumber-sumber di lingkaran penyidikan menyebutkan sebenarnya status tersangka terhadap MSD sudah ditetapkan. Gelar perkara sudah dilakukan kemarin dan disepakati penetapan tersangka itu. Namun, Polisi tampaknya mengambil sikap ‘cautious’ (hati-hati). Mengingat kasus MSD vs LBP menjadi perhatian nasional. Artinya, reaksi publik akan menjadi faktor penting. Tanpa harus melakukan survei, tidak perlu ragu menyimpulkan bahwa lanjutan perkara MSD vs LBP adalah jadwal yang sangat ditunggu-tunggu khalayak. Ketika pagi tadi muncul berita ‘ditetapkan sebagai tersangka’, media sosial langsung bersemangat. Semangat yang berinklinasi ke MSD. Publik menantikan lanjutan perkara ini karena mereka melihat bahwa MSD tidak mencemarkan nama baik LBP. Masyarakat melihat tindakan LBP memperkarakan MSD sebagai langkah pamer kekuasaan. Sebagai bentuk arogansi kekuasaan. Meskipun pihak LBP sibuk mengatakan bahwa langkah ini semata-mata tindakan hukum. Para pakar hukum berpendapat MSD hanya mengkritik pemikiran dan kebijakan publik LBP. Tetapi, pihak LBP berkeras dengan pendapat mereka bahwa yang dilakukan MSD adalah penghinaan. Tentu ini tidak masalah. Sekarang, posisi MSD masih belum menjadi tersangka. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Polisi membantah berita pertama? Apakah para wartawan, termasuk wartawan “kumparan”, yang mendapatkan surat Dittipidsiber (Direktorat Tindak Pidana Siber) itu ‘salah paham’? Kelihatannya bukan wartawan yang salah paham. Ada kalkulasi lain. Patut disangka bahwa penetapan MSD sebagai tersangka akan membangkitkan semangat pubik untuk melawan kesewenangan. Sekaligus membangkitkan solidaritas untuk MSD. Sejak awal, kasus ini senantiasa mendapatkan perhatian luas. Mungkin perkara ini didaulat oleh publik sebagai pertarungan antara ‘yang kuat’ lawan ‘yang lemah’. Sejak kasus MSD vs LBP mengemuka, publik langsung memposisikan MSD sebagai ‘orang lemah’ dan LBP sebagai ‘orang kuat’. Dari sinilah menggumpal opini publik yang sangat solid berada di belakang MSD. Orang bisa saja mengabaikan opini publik dalam perkara ini. Tetapi kasus MSD itu, suka atau tidak suka, lebih banyak mengambil aspek politis ketimbang aspek hukum. Vonis hukum terhadap MSD, kalau itu terjadi, akan dilihat oleh publik sebagai vonis politik. Ini yang membuat berbagai pihak yang berwenang kelihatannya ingin ‘mutar-mutar’ dulu. Banyak yang memperkirakan kasus ini akan ditangani dengan ‘lebih bijak’ agar aspek politisnya tidak membesar. Memenjarakan MSD pastilah tidak sulit. Membuktikan MSD melakukan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian, pasti juga bukan masalah besar. Hanya saja jika MSD dijebloskan ke penjara, dia tidak akan dipandang sebagai narapidana biasa. Said Didu akan menyandang status ‘martyr’. Akan dianggap sebagai korban kesewenangan. Ini yang tak akan terbendung. Dan prospek ini yang bisa sangat merepotkan. MSD bisa dengan cepat membola salju. Akan menjadi simbol perlawanan terhadap arogansi kekuasaan. Dalam sejarah di mana pun juga, bola sajlu yang meluncur akan sulit dihadang. Kemungkinan ini yang kelihatannya menjadi salah satu perhitungan cermat berbagai pihak. MSD bukan ‘calon tersangka’ biasa. Dia sudah menjadi ‘milik’ rakyat. Akan dijaga oleh rakyat. MSD ada dalam kedaulatan rakyat. Yang nilanya lebih tinggi dari kedaulatan ministerial.[] 11 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)