OPINI
Gedung Kejaksaan Terbakar, Kasus Korupsi Ambyar
by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Senin (24/08). Gedung Kejaksaan Agung terbakar, Sabtu (22/8). Api barkobar dahsyat, dan baru bisa dipadamkan pada Ahad pagi. Rakyat pun bertanya, ini terbakar atau dibakar? Maklum, di gedung itu tersimpan berkas-berkas kasus korupsi. Terbakar atau dibakar, bisa membahayakan kelangsungan penyelesaian kasus-kasus korupsi, yang bukan saja kelas kakap, tapi sudah level ikan paus. Tapi belum apa-apa, Menkopolhukam Mahfud MD di akun twitternya menyatakan, bahwa berkas-bekas kasus korupsi aman. Dengan begitu, kata dia, kelanjutan penanganan perkara tak kan terlalu terganggu. Mahfud bahkan mengklaim sudah bicara langsung dengan Jaksa Agung Burhanuddin dan Jampidum Fadhil Zumhana. Mahfud boleh saja super PD dengan keamanan berkas-berkas kasus korupsi. Tapi Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus menyebut titik kebakaran ada di Gedung Utama. Artinya, semua berkas tak selamat. Jadi bagaimana? Kepada siapa publik harus percaya? Mahfud apa polisi? Terlepas dari keduanya, Tempo menulis berita dengan judul Kebakaran di Kejaksaan Agung Dicurigai untuk Hilangkan Bukti Kasus Djoko Tjandra. Proposal US$100 juta Masih belum selesai, kawan. Tempo.co menulis jaksa Pinangki mengajukan proposal fatwa untuk pembebasan Djoko Tjandra seharga US$100 juta. Dia mengaku melaporkan pertemuannya dengan Djoko kepada Jaksa Agung. Nah… Adakah kaitan antara peristiwa terbakar atau dibakarnya gedung Kejagung dengan upaya penghilangan berkas kasus-kasus korupsi, khususnya terkait skandal hak tagih Bank Bali yang melibatkan Djoko? Bisa ya, bisa juga tidak. Tapi untuk media sekelas Tempo tentu terlalu harga yang harus mereka bayar, andai menurunkan berita asal-asalan. Apalagi media yang punya jam terbang puluhan tahun ini antara lain memang dikenal dengan liputan investigatifnya. Omong-omong, besar sekali nilai proposal fatwa pembebasan Djoko, ya? US$100 juta! Dengan kurs US$1 setara Rp15.000, maka harga fatwa tersebut mencapai Rp1,5 triliun. Dahsyat! Tentu saja, namanya juga proposal. Pasti akan ada tawar-menawar. Berapa angka finalnya? Hanya mereka dan iblis, juga tentu saja Allah SWT, yang tahu. Tapi semua ini menggambarkan betapa amburadulnya penegakan hukum di negeri ini. Di mata para elit itu, hukum benar-benar menjadi komoditas yang gurih diperdagangkan. Ingat, Proposal tadi bukan ditawarkan pak Dullah, tukang cendol yang keliling keluar masuk gang menjajakan dagangannya. Proposal itu juga bukan dibuat oleh mpok Minah, tukang gado-gado di samping rel kereta. Tapi proposal itu diajukan oleh jaksa. Bukan sembarang jaksa, melainkan jaksa yang menangani kasus korupsi tersebut. Benar-benar rusak! Ini pula yang menjelaskan kenapa rakyat tidak terus terpuruk nasibnya, kendati hidup di negeri yangtelah 75 tahun merdeka. Ini pula yang mengabarkan, betapa cita-cita para pendiri bangsa seperti yang tercantum dalam paragraph keempat UUD 1945, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, makin jauh. Apa arti dari semua ini? Artinya, Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Indonesia sedang dalam masalah besar. Indonesia sedang sakit. Sekarat. Indonesia di ambang ambyarrr… Presiden pas-pasan Semua ini terjadi karena presiden yang tengah berkuasa gagal memenuhi mandat konstitusi. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk memimpin negara besar seperti Indonesia. Negara yang nyaris remuk-redam karena selama enam tahun ini penguasa telah salah urus. Kapasitas dan kapabalitas Joko Widodo sebagai presiden jauh di bawah standar yang dibutuhkn seorang pemimpin. Jangan pula bicara soal integritas, wuiihhh… sangat mengerikan! Bagaimana mungkin seorang pemimpin berintegritas bisa menggunakan Istana untuk urusan pribadi dan keluarga. Di Istana pula dia memanggil lawan politik anaknya untuk diminta mundur. Yang lebih buruk lagi, dia menyogok dengan menawarkan jabatan kepada orang yang diminta mundur itu. Jadi, kalau Indonesia mau bangkit, mau lepas dari krisis yang membelit, tidak ada jalan lain kecuali meminta dengan hormat agar Presiden mengundurkan diri. Kasihan rakyat yang harus berjibaku sendiri mempertahankan hidup di tengah pandemi dan himpitan harga-harga yang melangit. Kasihan petani dan nelayan kita karena impor yang ugal-ugalan. Kasihan Indonesia yang sumber daya alamnya dikuras secara brutal dan illegal. Kasihan bangsa ini yang kedaulatannya jatuh ke titik nadir akibat utang luar negeri yang serampangan dan berbunga amat mahal. Jadi, mas Joko, mbok mundur, lah. Please, deh… Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID
Perbaiki Prosedur Vaksin Covid 19 Baru Bisa Lolos
by Mochamad Toha Jakarta, FNN (Senin 23/08). Uji klinis 3 kombinasi obat untuk virus Corona (Covid-19) di Universitas Airlangga diwarnai kontroversi. Sempat diklaim sebagai bakal jadi obat Corona pertama di dunia, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berkata lain. “Ditemukan ada critical finding,” kata Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito kepada pers di channel YouTube BPOM, Rabu (19/8/2020). Ada beberapa catatan yang disampaikan Penny dalam kesempatan tersebut. Pertama, terkait validitas. Hasil inspeksi di pusat penelitian di Bandung menunjukkan perlunya beberapa klarifikasi data yang kritikal terkait efektivitas kombinasi obat yang diuji. “Belum menunjukkan perbedaan yang signifikan,” ungkap Penny. Catatan lainnya adalah soal subjek uji yang belum merepresentasikan randomisasi. Semua kasus di Secapa TNI AD di Bandung yang diteliti merupakan pasien dengan gejala ringan. “Sehingga efektivitas pada subjek dengan derajat penyakit sedang dan berat tidak terwakili,” lanjutnya. Bahkan, beberapa pasien adalah OTG (orang tanpa gejala). Menurut Penny, sesuai protokol yang berlaku OTG seharusnya tidak perlu mendapat obat tersebut. Atas beberapa catatan tersebut, BPOM akan menilai perbaikan dan klarifikasi yang diberikan oleh tim peneliti maupun sponsor. “Jika perbaikan dan klarifikasi itu tidak dapat mendukung validitas hasil uji klinik, maka peneliti harus mengulang pelaksanaan uji klinik,” rilis BPOM. Ketiga kombinasi obat yang menjalani uji klinis, bekerja sama dengan TNI-AD dan BIN itu adalah sebagai berikut: 1. Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin; 2. Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyclin; 3. Hydrochloroquine dan Azithromycin. Obat yang dikembangkan tim peneliti Unair, TNI AD, dan BIN itu diberikan kepada 1.308 pasien di Secapa AD, Bandung. BIN menyebut sebanyak 85 persen pasien positif Covid-19 telah sembuh. Uji klinis itu dilakukan pada 7 Juli hingga 4 Agutus 2020, dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, protokol uji klinis telah mendapatkan persetujuan pelaksanaan uji klinik (PPUK) oleh BPOM dengan Nomor PP.01.01.1.3.07.20.06. Sementara, Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menyebut pengembangan obat virus corona hasil penelitian Unair bersama dengan TNI AD dan BIN belum teregistrasi uji klinis di Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ingat, hingga kini WHO belum merekomendasikan satu pun obat untuk mencegah/mengobati infeksi Covid-19. Obat dari gabungan Unair-TNI AD-BIN ini juga belum mendapatkan izin edar dari BPOM. Selain itu, tim Unair-TNI AD-BIN pun belum mengungkapkan secara rinci hasil serta metode uji klinis. Melansir SINDOnews.com, Minggu (16 Agustus 2020 – 19:16 WIB), Ahli Epidemologi UI Pandu Riono menegaskan bahwa yang paling penting dari sebuah riset adalah prosedurnya. Jika obat Covid-19 hasil penelitian Unair bekerja sama dengan BIN dan TNI itu tidak memenuhi secara prosedural, maka obat itu tidak layak terdaftar BPOM. Ia pun siap menggugat jika BPOM menerimanya. “Yang paling penting adalah prosesnya, apakah diikuti nggak standar prosedurnya. Itu yang paling penting. Makanya saya berani bilang, jangan percaya. Karena itu berdasarkan kaidah standar, kalau itu udah dilanggar sama mereka, jangan dipercaya,” lanjutnya. “Apalagi sampai didaftarkan oleh Badan POM, dan Badan POM menerima, saya gugat,” kata Pandu saat dihubungi SINDOnews, Minggu (16/8/2020). Menurut Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini, untuk semua penelitian yang bersifat nasional apakah itu obat atau vaksin, harus di-review oleh Komite Etik Balitbangkes. Selain me-review, Balitbangkes juga akan memonitor setiap proses penelitian tersebut. Obat Covid-19 ini tak sesuai standar prosedur yang seharusnya. “Saya menggugatnya bukan ke TNI/BIN, tapi ke akademis Unair-nya, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan,” tegasnya. “Mereka tahu itu, tidak ada jalan pintas untuk pengembangan ilmu,” ujar Pandu. Menurutnya, semua tahu bahwa Covid-19 ini bencana dunia, tetapi WHO membuat Clinical International Trial, di mana ada multi center study terkait obat-obatan yang semuanya mengikuti prosedur. Di Indonesia pun Balitbangkes berperan sebagai motornya. Semua harus patuh pada regulasi karena hasilnya nanti digunakan masyarakat. “Buat apa mengobati jika tidak ada manfaatnya. Seperti Hydrochloroquine,” ungkap Pandu mencontohkan. Hasil studi dunia di beberapa negara sudah mengomunikasikan bahwa hydrochloroquine itu tidak ada manfaatnya. Di Amerika sudah dicabut sebagai obat untuk pengobatan Covid-19, di Indonesia belum dicabut. Apakah masih mau diberikan Covid-19 karena ada efek sampingnya yang sampai meninggal. Di daerah ada kematian, dia meninggal karena ada obat yang tidak perlu diberikan,” ungkap Pandu lagi. Karena itu, ia mempertanyakan kenapa Unair tidak bekerja sama dengan lembaga penelitian lainnya agar ada saling koreksi, dan justru bekerja sama dengan BIN dan TNI. “Kok Unair tidak kerja sama dengan lembaga penelitian lain dan malah kerja sama dengan lembaga militer. Unpad Bandung misalnya, Unpad juga kuat kok clinical trial-nya, kerja sama akademik itu diperlukan untuk saling koreksi,” katanya. Dokter Tifauzia Tyassuma, Peneliti dan Penulis Presiden AHLINA Institute mengatakan, Uji Klinis untuk obat itu harus Randomized Controlled Trials atau RCT. Tahapannya juga harus diikuti dengan ketat: Uji Klinis Fase 1; Uji Klinis Fase 2; Uji Klinis Fase 3. Dan, semua harus dipublikasi terlebih dahulu dengan pengujian Peer Review yang ketat. Baru bisa di-BPOM-kan. Baru bisa diproduksi. “Kecuali kalau formula obat itu hanya utak-atik dosis dari formula obat yang sudah ada sebelumnya,” ungkap Dokter Tifauzia. “Maka Anda bisa langsung lompat ke Uji Klinis Fase 3. Kepada orang sakit dengan beberapa tahapan,” lanjut Dokter Tifauzia. Tahapan pertama Uji Klinis Fase 3 Hospital-Based. Dengan pengawasam ketat untuk menguji efficacy-nya (keamanannya). Tahapan kedua Uji Klinis Fase 3 Population Based (karena ini obat maka populasinya tetap Hospital Based dengan jumlah sampel lebih besar dan multi site multi center dari berbagai ragam karakteristik populasi) dan Gold Standar (Baku Emas). “Yaitu obat yang sudah digunakan sebelumnya yang sudah teruji,” katanya. Setelah itu baru publikasi. Berhasil harus publikasi. Gagal pun harus publikasi. Baru setelah itu BPOM akan melakukan verifikasi apakah obat ini layak edar atau tidak. Pengembangan obat untuk pasien positif Covid-19 dilakukan Unair, TNI AD, dan BIN. Mereka menggunakan tiga kombinasi obat. Pertama, Lopinavir-Ritonavir-Azithromycin. Kedua, Lopinavir-Ritonavir-Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine-Azithromycin. Lopinavir dan Ritonavir adalah dua jenis yang telah lama digunakan dalam mengobati pasien HIV/AIDS. Azithromicin adalah Anti bakteri jenis makrolid yang sudah sering digunakan untuk infeksi kulit dan pernafasan. Doxycycline adalah Antibiotika yang sudah sering digunakan untuk berbagai infeksi dari paru-paru hingga saluran kemih. Hydrochloroquine adalah obat Malaria yang sudah dikenal puluhan tahun. “Sepertinya yang dikutak-katik adalah dosis dan kombinasinya. Artinya aspek Novelty atau Kebaruannya adalah dari kedua sisi tersebut,” tegas Dokter Tifauzia. Bukan menemukan obat yang sama sekali baru. “Dan ini ok saja tidak ada masalah. Asal jangan ada klaim ini penemuan obat baru yang belum pernah ada di dunia. Hanya masyarakat perlu tahu ini formulasi obat yang bukan main-main, baik dari level kekerasan obatnya maupun kemungkinan efek sampingnya,” lanjutnya. Obat yang lagi dibuat ini kelas Rumah Sakit semua dan untuk kasus Moderate sampai Severe. Jadi, kalau obat ini jadi pun, dan lolos BPOM, “Anda jangan mengharapkan obat ini nanti dijual di Alfamart apa Indomaret ya. Apalagi dijual di warung kaya panadol apa Komix.” Apa Ahli Epidemiologi Klinik atau Farmakologi tidak dilibatkan? Inisiatif untuk membuat obat itu bagus dan sah dilakukan. Tetapi prosedurnya harus dijalankan. Prosedur Uji Klinis itu kaidahnya Zero Mistakes. Tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun. Dokter Tifauzia menyarankan: perbaiki prosedur! Arie Karimah Muhammad, Pharma-Excellent, Alumni ITB, mengungkapkan, benchmarking akan membuat kita menyadari “How good are we?”, sekaligus “Where are we now?”. Masih tentang klaim bahwa Unair “Sudah Menemukan” obat untuk Covid-19, yang ternyata Hanya mengkombinasikan existing products yang sudah lama ada di pasaran, digunakan untuk penyakit infeksi lain. Produk tersebut adalah antibiotik, antivirus dan antimalaria. Mari kita tengok headline pada Juni 2020 tentang satu langkah keberhasilan terapi Covid-19. Universitas Oxford, yang memimpin uji klinis Recovery (Randomised Evaluation of Covid-19 Therapy) Terbesar di Dunia. Universitas Oxford berhasil menemukan fakta bahwa injeksi deksametason secara intravena 6 mg selama 10 hari terbukti Mengurangi Risiko Kematian pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit: Sebanyak18% pada kategori parah yang memerlukan tambahan oksigen, dan 6% kategori kritis yang membutuhkan life support ventilator. Kedua kategori tersebut mengindikasikan bahwa pasien sudah mengalami ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) atau kegagalan fungsi pernafasan akut. Studi tersebut membandingkan 2.104 pasien yang mendapat deksametason dengan 4.321 pasien yang mendapat perawatan biasa (usual care). Apakah lantas Universitas Oxford mempublikasikan hasil itu dengan mengatakan “Sudah Menemukan Obat” untuk mengurangi risiko kematian pasien Covid-19? Nope. Mereka hanya mengatakan, telah menemukan sebuah terobosan (breakthrough) atau sebuah langkah besar ke depan (a msjor step forward) dalam mengobati infeksi Covid-19. Temuan itu kini menjadi guideline baru dalam penanganan pasien Covid-19 di seluruh dunia, karena sudah dibakukan oleh WHO. “Jadi sekali lagi, Unair….please segera lakukan klarifikasi di depan publik. Bukan KSAD atau pihak TNI AD yang harus melakukannya. Diantos nya ku abdi dan netizen/masyarakat,” tulis Arie Karimah Muhammad dalam status FB-nya, 21 Agustus 2020. Namun, kalau BIN menyebut sebanyak 85 persen pasien positif Covid-19 di Secapa Bandung telah sembuh, berarti ada formula lain yang membantu proses penyembuhan mereka! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID
Buzzer Dan Influencer Penyakit Demokrasi
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad 923/08). Konon dana yang dikeluarkan Pemerintah hingga Rp. 90 miliar untuk membiayai buzzer dan influencer. Dana itu berasal daru uang rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tugas buzzer dan infulencer adalah membela, mengkampanyekan, membangun citra hingga memprovokasi. Buruknya jika sampai pada membohongi rakyat. Rakyat dibohongi pakai uang rakyat. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatatakan buzzer dan influencer mengkampanyekan positif segala kerja pemerintah. Isinya bermacam-macam. Tergantung pada orderan. Tentu tidak gratis, tetapi ada sejumlah bayaran. Menurutnya dalam proses politik, hal ini dapat menurunkan kualitas dari demokrasi. Sebenarnya bukan hanya menurunkan. Tetapi telah menjadi penyakit demokrasi. Merusak demokrasi yang sangat dibanggakan rezim penguasa saat ini. Melanggengkan budaya politik transaksional, premanisme, serta menghalalkan kebohongan dan kecurangan dalam berpolitik. Penyakit buzzer dan influencer sangat berbahaya. Di negara komunis seperri Rusia, dan juga China, buzzer dan influencer dapat disetarakan dengan departemen agitasi dan propaganda (agitprop) pada partai komunis. Tugasnya adalah menyosialisasikan visi, misi, dan atau hasil-hasil kerja pemerintah. Bila perlu dengan memutarbalikkan fakta dari yang sebenarnya. Melemahkan hal-hal yang diungkap oposan atau pengeritik. Bahkan bila perlu mencari kelemahan dan kelasahan pribadi pengeritik. Setelah itu menyerang juga pribadi pengeritik. Tidak perduli benar atau. Sumua dana yang dipakai adalah uang rakyat. Agitprop tidak lain "is political propaganda especially the communist propaganda that is spread to the general public through popular media such as literature, plays, phamplets, film, and other art forms with an explicity political message". Keberadaan buzzer dan influencer bukan ciri dari negara demokratis. Prilaku seperti ini adalah ciri negara komunis. Dimana informasi dicengkeram Pemerintah. Hukum yang menjadi alat kekuasaan untuk menjerat semua lawan-kawan politik. Lawan-lawan politik dari kelompok sivil society yang kritis dibungkam. Juga dikriminalisasi dan dijebloskan ke dalam penjara. Untuk itu, adu-domba pun dilakukan. Opini publik dimainkan dan dibolak-balik. Opini yang benar dibang salah, dan sebaliknya yang salah dibilang nenar. Pemerintah sudah memiliki Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkoinfo). Kementerian ini diberikan beranggaran pasti dari APBN triliunan rupiah. Keberadaan buzzer dan influencer dengan anggaran tersendiri jelas merupakan bagian dari penyimpangan dan korupsi. Seharusnya anggota Dewan berteriak keras terhadap pelanggaran keuangan negara ini. DPR jangan hanya berdiam diri. Kalau DPR tidak berteriak, jangan berperilaku seolah-olah menjadi bagian dari buzzer dan influencer pula. Rezim yang menggunakan dan mengedepankan buzzer dan influencer adalah rezim yang kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Tidak menghormati rakyat, serta menghalalkan segala cara. Rezim seperti ini sulit dipercaya sebagai penyelenggara negara. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Buzzer Rupiah Dan Potensi Konflik Bangsa
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Ahad (23/08). Sepekan ini ramai pembicaraan soal buzzer rupiah. Yang disoal adalah anggaran negara. Dana puluhan miliaran rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipakai untuk biayai operasi buzzer. Sejumlah institusi negara terlibat. Infonya dana untuk buzzer dan infulencer itu senilai Rp 90.45 miliar . Sangat kecil jika diukur dari prosentase besaran APBN 2020 atau 2019. Tapi, cukup besar jika melihat keadaan pertumbuhan ekonomi minus -5,32 persen. Di saat rakyat sedang sulit karena efek pandemi covid-19 dan defisit APBN yang mencapai 3,38 persen, bahkan lebih dan tidak terbatas defisit APBN. Suka-suka pemerintah menetapkan defisit APBN, buzzer mendapatkan suntikan dana senilai Rp 90.45 muliar. Luar biasa kan? Sebenarnya bukan soal besar atau kecil dana yang dikeluarkan pemerintah itu. Ada persoalan yang lebih mendasar. Pertama, apa manfaat buzzer buat bangsa atau rakyat negeri ini? Kedua, ini lebih serius, ada dampak yang cukup menghawatirkan akibat operasi buzzer. Menjawab pertanyaan pertama, kalau ada manfaat dari operasi buzzer, itu manfaat buat siapa? Yang pasti bukan untuk negara. Bukan untuk rakyat. Bukan pula untuk bangsa. Sesuai dengan design operasinya, buzzer dipakai untuk menghadapi lawan politik penguasa dan orang atau kelompok civil society yang kritis kepada penguasa. Buzzer bekerja untuk kepentingan penguasa, lebih dari kepentingan untuk negara. Karenanya, tak memiliki institusi dan kelembagaan khusus. Maka, anggarannya pun nempel ke program-program di berbagai kementerian dan institusi lainnya. Fokus buzzer adalah mengcounter segala bentuk kritik terhadap program dan kebijakan pemerintah. Stigmatisasi makar, bahaya khilafah, Islam garis keras, ekstremisme dan radikalisme adalah bagian narasi yang terus dikelola oleh para buzzer untuk membunuh karakter dan gerakan kelompok civil society yang diidentifikasi sangat kritis kepada pemerintah. Swiping, intimidasi dan persekusi oleh kelompok swasta berseragam juga seringkali menjadi bagian dari operasi buzzer. Tentu, ada anggarannya sendiri. Kalau nggak ada anggaran, ya nggak akan jalan. Nggak ada kerjaan juga Operasi buzzer diduga menjadi salah satu sebab utama kegaduhan sosial dan politik selama ini. Sejumlah aktor yang selalu muncul ketika datang kritik kepada pemerintah adalah bagian dari salah satu model operasi buzzer yang selalu membuat kegaduhan situasi politik di negeri ini. Lu lagi… Lu lagi... Lu lalgi… Orang-orang itu aja. Kalau dilihat aktornya, macam-macam jenis buzzer. Dari yang ecek-ecek, buzzer kelas kampung yang hanya cukup diprovokasi, hingga yang paling canggih dan profesional. Kalau sudah berurusan dengan IT, maka buzzer yang diterjunkan dan beroperasi adalah dari kalangan profesional. Sebagaimana yang dialami oleh sejumlah deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) beberapa waktu lalu. Ada sejumlah akun deklarator KAMI diretas, rapat wibinar diganggu, nomor WA dicloning, dan seterusnya. Anggaran senilai Rp 90.45 miliar, sesungguhnya terlalu kecil jika dibandingkan dengan dampak dan potensi social-destruction yang diakibatkan oleh operasi para buzzer. Yaitu potensi konflik sosial-horisontal di masyarakat. Hubungan antar kelompok dan agama dirusak. Kehidupan sosial dan berbangsa menjadi tak nyaman. Kegaduhan selama ini sumbernya bukan ada tidaknya kaum radikal dan makar. Tetapi problem utamanya adalah adanya kelompok-kelompok bayaran yang bekerja secara sistemik menggaungkan isu radikalisme dan makar. Dari sinilah potensi konflik yang sangat menghawatirkan itu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Oh Tekuak, Pendiri PAN Ternyata Bukan Amin Rais
by Luqman Ibrahim Soemay Jakarta FNN – Ahad (23/08). Hari Partai Amanat Nasional (PAN) merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke 22. Banyak tokoh nasional yang berpidato di HUT PAN kali ini. Dari internal PAN, selain Ketua Umum Zulkifli Hasan, Ketua Dewan Kehormatan PAN Sutrisno Bachir juga ikut memberikan sambutan. Dari kalangan eksternal PAN, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi memberikan sambutan. Dalam sumbutannya, Jokowi menyampaikan tentang perlunya melakukan langkah luar biasa atau extraordinary untuk mencapai kemajuan bangsa. Presiden berharap memontum pandemi Covid 19 dimanaaftkan untuk mengambil lompatan besar. Mengejar ketertinggalan Indonesia. Jokowi berharap PAN sejalan dengan semangat yang disampaikannya. Juga PAN sejalan dengan semangat yang sedang dijalankan pemerintah. (Tempo.co 23/08/2020). Sementara Ketua Umum PDIP Megawati menyampaikan selamat ulang tahun ke 22 kepada PAN. Megawati berterima kasih kepada PAN, karena telah diundang menghadiri acara tersebut. Megawati yakin di usia ini, PAN terus memegang semangat reformasi. Selain Jokowi dan Megawati, tokoh nasional dari luar PAN yang ikut memberikan pidato adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan, PAN dan Partai Demokrat banyak memiliki kesamaan dan kebersamaan. Terutama saat Soesilo Bambang Yudhoyono r(SBY) menjadi presiden selama dua periode. Alhamdulillah kebersamaan ini terus kita lanjutkan sampai hari ini. “Saya berharap PAN semakin sukses, dan ke depan bersinergi dengan Partai Demokrat”, ujar AHY. Ramainya tokoh-tokoh nasional yang hadir di HUT PAN ke 22 ini menjadi tidak lengkap. Bahkan terasa hambar, karena tidak tampak wajah Prof. Dr. Amin Rais, baik secara fisik maupun vurtual. Publik tentu bertanya-tanya, kemana gerangan Pak Amin Rais? Mengapa Pak Amin Rais tidak terlihat di perayaan ulang tahun PAN kali ini? Jawabannya, hubungan PAN dengan Pak Amin Rais belakangan ini tidak akur. Kenyataan ini akibat hasil dari kongres PAN di Kendari Sulawesi Tenggara Februari lalu. Ketika itu Amin Rais mendukung calon Ketua Umum Mufachri Harahap yang menjadi penantang Zulkifli Hasan. Hasilnya, meskipun kongres berjalan, dan terbilang paling primitif dan tidak bertabat, karena terjadi baku-hantam dan saling lempar kursi sampai berdarah-darah, namun Zulkifli Hasan terpilih sebagai Ketua Umum. Hasil dari pelaksanaan kongres yang brutal inilah yang mendorong Pak Amin Rais untuk meninggalkan PAN. Setelah terpilih sebagai Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan yang adalah kader dan dibesarkan oleh Pak Amin Rais tidak lagi melibatkan Pak Amin Rais di PAN. Padahal Zulkifli dan Pak Amin masih ada hubungaN besanan (Mumtaz, putra Rais menikA dengan putrinya Zulkifli Hasan). Posisi Ketua Dewan Kehormatan PAN yang dulu dijabat Pak Amin Rais, sekarang ditempati oleh Sutrisno Bachir. Saat menyampaikan sambutan, Sutrino Bachir sempat menangis ketika menyebut nama Pak Amin Rais. “Saya dan kami semua mengucapkan terima kasih kepada pendiri PAN Bapak Profesor Doktor Amin Rais. Mudah-mudahan beliau selalu sehat walafiat, dan selalu dalam lindungan Allah SWT”, ujar Sutrisno Bachir. Sutrisno tetap berharap Profesor Doktor Amin Rais menyaksikan acara HUT PAN ke 22 kali ini. Semoga saja mau Pak Amin mengikhlaskan estafet kepemimpinan PAN kepada generasi saat ini. Sutrisno juga berharap, semoga Pak Amin selalu bersama-sama kita untuk membawa PAN lebih besar dari sekarang. Baik Sutrisno Bachir, Hatta Raja dan Zulkifli Hasan adalah Ketua Umum dan mantan Ketua Umum PAN yang dibasarkan oleh Pak Amin Rais. Dikaderkan oleh Pak Amin Rais. Tanpa campur tangan Pak Amin Rais, mereka bertiga tidak mungkin bisa menjadi Ketua Umum PAN. Termasuk Zulkifli Hasan yang terpilih pada periode pertama lima tahun lalu. Sebelum mengahiri tulisan ini, sahabat wartawan senior FNN.co Kisman Latumakulita pernah bercerita tentang sepak-terjang Pak Amis Rais di awal-awal begulirnya reformasi 98. Catatan mengenai Pak Rmin Rais, reformasi dan PAN adalah tiga serangkai yang sulit untuk bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Catatannya selalu saja saling kait-mengkait. Menurut ingatan Kisman, setiap kali mau keluar rumah atau gedung pertemuan, Pak Amin Rais selalu mengingatkan anggota rombongan, agar selalu dalam keadaan bersih (bersuci). Jangan memakai celana dalam yang dapat membatalkan wudhu. Sebaiknya selalu dalam posisi sedang berwudhu. Kalau wudhunya batal karena kentut, hadats kecil (kecing), hadats besar atau akibat lain, sebaiknya secepatnya segera berwudhu lagi. Supaya kalau nanti di perjalanan, meninggal dunia karena terkena tembakan atau sebab lain, sangat aman kalau dalam posisi sedang berwudhu. Insya Allah meninggalnya syahid. Menjwab WhatsAap (WA) teman tentang siapa pendiri PAN setelah 22 tahun terbentuk, oh sekarang terkuak, siapa pendiri PAN yang sebenarnya? Ternyata bukan bukan Pak Amin Rais pendiri PAN. Kalau begitu siapa pendiri PAN? Dijawab oleh teman lagi melalui WA, “mungkin yang satu diantara yang memberikan sambutan di HUT PAN ke 22 tadi”. Penulis adalah Watawan Senior FNN.co.
BI Menjadi Rentenir Saat Krisis Ekonomi Parah?
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (23/08). Pandemi corona membuat mata masyarakat terbuka lebar. Betapa lemahnya ekonomi Indonesia. Kebijakan fiskal harus di-doping dengan dua dosis. Pertama, defisit anggaran ditingkatkan, dari tiga persen menjadi tidak terbatas. Tetapi tetap tidak memadai. Maka diperlukan doping kedua dengan menarik Bank Indonesia (BI) untuk membiayai defisit anggaran tersebut. BI diminta membeli sebagian besar surat utang negara di pasar primer?. Bahasa awamnya adalah mencetak uang. Direksi BI sudah berulang-ulang menyatakan tidak mau mencetak uang. BI iuga tidak mau membeli surat utang negara di pasar primer. Apalagi aturan tentang larangan itu masih berlaku di UU tentang BI. Ancamannnya adalah menghabiskan sisa hidup hari tua di dalam dinding penjara menanti mereka bila kekuasaan ini telah berganti kelak. Kedua doping tersebut sebenarnya nyata-nyata ilegal. Melanggar UU tentang Keuangan Negara dan UU tentang BI. Tetapi diterabas dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU No 2/2020. Untuk melengkapi doping ini agar sempurna, Perppu dilengkapi pasal “kekebalan” hukum. Mereka tidak bisa dituntut dalam kondisi apapun, meskipun doping tersebut ternyata salah guna, atau disalahgunakan, alias diselewengkan. Tapi perlu diingat, undang-undang yang berlawanan dengan UUD dan dibentuk dengan niat kurang baik, tidak bisa menghalangi hukum kebenaran, ketika kebenaran itu telah datang. Kebijakan moneter BI saat ini sangat tidak memadai untuk menahan krisis ekonomi. Bahkan bisa kontra produktif. BI seharusnya menurunkan suku bunga acuan (BI-rate) secara agresif. Tidak seperti sekarang, penurunan BI-rate tidak banyak arti. Hanya turun satu persen sejak 23 Januari 2020 hingga sekarang. Masing-masing turun 0,25 persen pada 20 februari 2020, 19 Maret 2020, 18 Juni 2020, dan terakhir 16 Juli 2020. BI-rate bertahan di 4 persen sampai sekarang. Sebagai perbandingan, Bank Sentral AS (The FED) sangat agresif menurunkan suku bunga acuan (FEd-rate) dalam menghadapi pandemi ini. FED-rate turun 1,5 persen dalam waktu kurang dari dua minggu. Turun 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan turun 1 persen pada 15 Maret 2020, membuat FED-rate mendekati 0 persen. Bank of England juga menurunkan bunga acuan secara agresif. Turun dari 0,75 persen menjadi 0,25 persen pada 16 Maret 2020. Kemudian turun lagi menjadi 0,1 persen pada 19 Maret 2020. Penurunan BI-rate sangat penting bagi pemulihan ekonomi. Karena, kalau BI-rate turun maka suku bunga pinjaman juga turun. BI-rate ditetapkan 4 persen di tengah krisis ekonomi yang parah ini sangat tidak masuk akal. Akibatnya, suku bunga pinjaman perbankan tetap tinggi. Saat ini masih setidak-tidaknya 8 persen, bahkan ada yang di atas 10 persen. Suku bunga pinjaman yang tinggi menjadi beban pemulihan ekonomi. BI-rate 4 persen juga membuat suku bunga (yield) obligasi (korporasi maupun pemerintah) tetap tinggi. Jauh lebih tinggi dari yield obligasi sejenis di Vietnam, Philipina atau Thailand. Oleh karena itu, BI seharusnya menurunkan BI-rate menjadi 1 persen atau 1,5 persen, untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Bukannya menurunkan BI-rate, BI dan pemerintah malah sepakat menjalankan skema burden-sharing. Artinya, BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif 0 persen. Karena BI akan mengembalikan kepada pemerintah semua bunga yang diterima. Ini kebijakan yang ngawur dan amburadul. Burden sharing merupakan istilah kamuflase saja. Istilah ini bisa masuk kategori “pembodohan atau pembohongan pubik”. Karena burden sharing pada dasarnya adalah mencetak uang, di mana BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif nol persen. Dalam hal ini, BI sebenarnya tidak menanggung burden sama sekali. Karena uang BI berasal dari hasil “mencetak uang”. Kebijakan moneter di atas sangat tidak pantas dilakukan oleh bank sentral negara terbesar ke empat dunia, anggota G20. Ini merupakan kebijakan moneter diskriminatif terhadap warga negara. Ini sama dengan pertarungan Korporasi, UMKM dan masyarakat melawan pemerintah. Kenapa pemerintah diberi suku bunga nol persen, tetapi masyarakat warga negara lainnya harus dibebani bunga tinggi? BI seharusnya mengambil kebijakan menurunkan BI-rate dan suku bunga pinjaman, sehingga masyarakat dapat menikmati manfaat yang sama. Tetapi, BI tidak melakukannya. Pertanyaannya, kenapa? Ada apa? Siapa yang diuntungkan? Di tengah krisis dan resesi ekonomi, bank besar di Indonesia (BUKU 4) masih dapat menikmati margin bunga bersih, atau Net Interest Margin (NIM) sebesar 5,09 persen pada April 2020. Sungguh besar sekali. BI bagaikan rentenir. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Pertarungan Jokowi vs Puan Maharani
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (23/08). Usia nggak ada yang tahu. Umumnya, yang tua lebih dulu meninggal dunia dari yang muda. Meski ada juga yang muda meninggal duluan. Itu semua rahasia Tuhan. Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri sudah sepuh. Usianya kini sudah mencapai 73 tahun. Tentu kita semua mendo’akan semoga beliau selalu sehat dan diberi usia yang panjang. Jasanya sangat besar, terutama bagi kader PDIP. Lalu pertanyaannya, siapa pengganti beliau di PDIP kelak? Ini yang menarik. Tokoh paling potensial sekarang ada dua. Pertama adalah Puan Maharani Ketua DPR. Anak biologis dan trah Soekarno. Kedua adalah Jokowi. Kader yang saat ini memegang kekuasaan politik sebagai Presiden. Hitung-hitungan ini, dengan catatan jika kita mengesampingkan posisi Prananda, putra Megawati yang lain. Apakah Puan Maharani atau Jokowi yang akan mengganti Megawati? Ini tentu nsangat bergantung pada situasi obyektif. Jika pergantian itu masih disaksikan oleh Megawati, maka Puan Maharani lebih besar peluangnya. Sebab, Megawati bisa mengontrol semua jalannya suksesi di PDIP ini. Ucapan Megawati adalah Sabdo Pandito Ratu buat kader PDIP. Tak ada yang berani melawan. Megawati layak mempertimbangkan untuk melakukan suksesi yang lebih cepat. Ini akan jadi strategi yang efektif untuk memuluskan regenerasi kepemimpinan sesuai ekspektasi Megawati. Sebut saja "suksesi calon tunggal". Jika tidak disaksikan Megawati, maka akan menjadi bola liar yang sangat sulit untuk dikendalikan Jika suksesi itu ternyata terjadi tanpa kesaksian Megawati, maka Jokowi tentu saja punya peluang yang lebih. Meski bukan anak biologis, juga bukan "kader yang dirindukan", kekuasaan yang saat ini ada di tangan Jokowi punya peranan besar. Ingat ketika Jusuf Kalla, wapres saat itu, menggusur Akbar Tanjung dari ketum Golkar? Ingat ketika Jokowi inginkan Setya Novanto ambil Golkar, meski Ade Komaruddin menguat? Soal pengaruh, Jokowi sudah jadi legenda di mata kader PDIP. Fakta ini tak bisa dipungkiri. Meski kalangan elit PDIP lebih bersikap rasional. Maksudnya, punya hitung-hitungan pragmatis. Bergantung mana yang menguntungkan bagi mereka. Dalam konteks ini, pasti lebih menguntungkan jika mereka dukung Jokowi. Sebab, Jokowi adalah penguasa. Akses logistik dan tawaran posisi berlimpah. Jika Jokowi ditakdirkan jadi Ketua Umum PDIP, maka Gibran dan Bobby, anak dan menantu Jokowi punya masa depan karir politik yang lebih menjanjikan. Disini ada peluang untuk membangun dinasti politik baru. Sebaliknya, jika Jokowi turun sebelum 2024, otomatis Jokowi tamat dengan sendirinya. Tak perlu ada analisis lagi. Semua buku analisis terututup rapat. Tapi, jika Jokowi sampai 2024, dan suksesi terjadi minus Mega, ini akan menarik. Jokowi tetap punya kekuatan untuk melawan Puan Maharani. Setidaknya, kolega dan kekuatan logistik, Jokowi lebih siap. Adu kuat trah Soekarno dengan Jokowi akan seru. Buku analisis politik tentang PDIP jadi menarik lagi untuk dibuka. Kelompok ideologis akan dukung Puan Maharani. Sementara, Jokowi akan didukung oleh kelompok pragmatis. Mana yang lebih besar? Apakah kelompok ideologis atau pragmatis? Ini akan menentukan siapa pemenangnya. Semua akan bergantung pada situasi obyektif saat terjadi peralihan kepemimpinan di PDIP. Inilah yang akan menentukan siapa pemenang antara Jokowi vs Puan Maharani. Kita tunggu saja waktu yang tepat untuk menyaksikan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Kutukan Sisifus
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Ahad (23/08). Peringatan ulang tahun ke 75 Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 2020 ditandai dua kegiatan yang serupa, tapi tak sama. Acara rutin yang diselenggarakan sebagai tradisi negara berlangsung pada tanggal 17 Agustus 2020 di Istana Merdeka. Keesokan harinya 18 Agustus diadakan pula acara yang sama di Tugu Proklamasi , Pegangsaan, Jakarta Pusat. Penyelenggara di Tugu Proklamasi adalah Deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia). Koalisi yang dibentuk oleh Din Syamsuddin, Gatot Nurmantiyo dan Rochmat Wahab bersama sejumlah tokoh ilmuawan, agamawan, budayawan, aktifis lintas agama, profesi, gender dan usia. Hakekat dibalik kelahiran KAMI nampaknya lebih banyak terkait dengan kekecewaan atas sinyalemen terjadinya kemunduran kehidupan demokrasi dalam beberapa tahun belakangan ini. Berbicara kemunduran demokrasi di dunia dewasa ini, perlu membaca laporan Freedom in The World 2020. Lembaga tersebut memberikan peringkat terhadap 195 negara, dan menyatakan bahwa 83 dari negara tersebut sebagai "bebas", 63 negara sebagai "bebas sebagian”, dan 49 negara sebagai "tidak bebas”. Sementara di banyak negara lainnya, orang-orang turun ke jalan dan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada. Mereka menuntut perubahan dan perbaikan agar negara menjadi lebih baik dan lebih demokratis. Gerakan-gerakan demonstrasi antara lain terjadi di Hong Kong, Aljazair, Bolivia, Chili, Ethiopia, Indonesia, Irak, Iran, Lebanon, dan Sudan. Gerakan-gerakan ini sering kali bertentangan dengan kepentingan kekuasaan yang telah mengakar kuat. Kekuasaan yang gagal menghasilkan perubahan yang signifikan, tulis laporan itu. Jumlah keseluruhan negara dengan status sebagai negara bebas telah menurun sebesar tiga persen dalam dekade terakhir. Indeks ini memperhitungkan berbagai faktor seperti fungsi pemerintah, transparansi, supremasi hukum, pluralisme serta kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Laporan tahun ini menunjukkan penurunan yang tajam dalam skala global terkait komitmen pemerintah terhadap pluralisme. Kelompok etnis, agama, dan minoritas lainnya telah banyak mengalami persekusi di negara-negara demokrasi dan otoriter. Laporan itu juga menuliskan menurun kebebasan di negara-negara demokrasi. Adanya penurunan kebebasan di sejumlah negara yang terkenal demokratis. Apa yang dilaporkan lembaga think tank Freedom House tahun 2020, cukup suram. “Demokrasi dan pluralisme sedang diserang. Diktator berupaya keras membasmi perbedaan pendapat yang tersisa, dan menyebarkan pengaruh berbahaya ke sudut-sudut baru di dunia”. Lembaga ini menyoroti menurunnya demokrasi di berbagai penjuru dunia, termasuk Amerika Serikat dan India. Freedom House yang merupakan lembaga swadaya masyarakat yang didanai pemerintah Amerika Serikat, menyoroti tanda bahaya atas memburuknya indeks kebebasan di negara-negara otoriter dan demokratis. Kaburnya koridor kekuasaan antara legislatif dengan eksekutif, termasuk di Indonesia paska reformasi, menimbulkan ketimpangan yang melemahkan check and balances di parlemen. Perwujudan demokrasi tidak bekerja sebagaimana teori “trias politica” hasil rumusan Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan kepada tiga lembaga berbeda, “Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif”. Berdasarkan sejumlah kajian, dikatakan sistem pemilu multipartai di Indonesia yang dilaksanakan secara langsung sejak tahun 2004, mengakibatkan persebaran kekuasaan kepada banyak partai. Mendorong partai mengambil langkah berkoalisi dan membuka ruang kompromi, yang berujung pragmatisme. Jika mau kuat di parlemen, maka eksekutif (presiden) dipaksa membangun mitra koalisi partai pendukung. Meskipun sistem presidensial membuat posisi politik presiden cukup kuat, namun karena bukan ketua umum partai, mau tidak mau Jokowi dituntut untuk membayar “ongkos” koalisi yang lebih mahal. Komposisi menteri kabinet “pelangi” saat ini yang warna-warni, banyak dikritik karena dinilai mengabaikan kompetensi. Itu adalah refleksi fragmentasi kekuatan politik sistem multi partai. Presiden tidak memiliki kekuatan komando tunggal. Berbeda dengan Soeharto yang mengendalikan penuh komando Golkar di tangannya. Selama 32 tahun pemerintahan Orba (Orde Baru), Golkar sebagai kendaraan politik pemerintah memenangkan enam kali pemilu berturut-turut dengan perolehan suara masif diatas 70 persen. Menempatkannya sebagai peraih suara terbanyak yang disebut “single mayority” (mayoritas tunggal). Sementara dua partai kontestan lainnya, yakni PPP dan PDI hanya dijadikan pelengkap penderita demokratisasi. Tragedi “kabinet pelangi” minim kompetensi sebagai ekses dari sistem pemilu multi partai yang dialami SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) dua priode (2004 – 2014). Ini adalah contoh soal betapa lemahnya “bargaining power” hasil pemilu multi partai. Karena hanya mampu melahirkan “simple mayority” (mayoritas sederhana) melalui praktik “jual-beli” suara di pasar koalisi. Ujung-ujungnya SBY tidak berhasil membuat program terobosan sebagai legasi bangsa. Meskipun dia berposisi sebagai ketua umum partai, akan tetapi koalisi memaksanya menari mengikuti irama gendang mereka yang yang sarat dengan “pemerasan” politik. Akibatnya, SBY kehilangan banyak waktu untuk berkompromi untuk banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Kedigdayaan legislator sebagai kelompok penekan eksekutif, membuat mereka lupa daratan. Terjebak di dalam perburuan kekuasaan politik dan materiel. Biaya kontestasi politik yang mahal (money politic) untuk menjadi legislator, memaksa mereka mendewakan budaya transaksional. Butuh transaksi politik untuk mengembalikan biaya investasi dan memupuk sumber daya investasi baru untuk kontestasi ke depannya. Fungsi check and balances digeser ke nomor dua. Tidak mengherankan jika akhirnya yang terjadi adalah kendornya komitmen aktor politik di parlemen. Banyak politisi kacangan, odong-odong, kaleng-kelang dan beleng-beleng berkantor di senayan. Sejumlah kajian menyebutkan melalui jalan reformasi, bangsa besar ini terjebak dalam lingkaran setan kejahatan regulasi dan kejahatan korupsi. Apa yang menimpa dunia perpolitikan Indonesia paska reformasi? Ketika membuka kiriman pesan WhatsApp dari teman seniman teater yang kesohor, dia menganalogikan bangsa Indonesia kini bagaikan sedang terjebak di dalam perangkap “nasib buruk” seorang raja dalam legenda mitologi Yunani yang bernama Sisifus (Sisiphus). Alkisah, tersebab oleh sebuah pembangkangan, dewa Zeus menghukum Sisifus untuk terus-menerus mendorong sebuah bongkahan batu besar ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan sedikit saat di puncak, batu besar itu menggelinding kembali ke kaki bukit. Dan setelah itu batu itupun harus didorongnya kembali. Demikian dilakukan berulang-ulang. Sistem politik hasil reformasi dianalogikan mengkerangkeng kekuatan politik (koalisi) di parlemen. Sehingga menjalani "penderitaan" serupa kutukan nasib buruk Sisifus. Jika Sisifus tak berkutik oleh tekanan hukuman Zeus sang dewa. Sementara koalisi di parlemen ditengarai masyarakat juga tidak berdaya dibawah tekanan semacam dewa lain yang bernama "Oligarkis, Korporasi dan Konglomerasi" yang terkenal dengan prilaku licik, picik, tamak dan culas. Sang oligarkis, korporasi dan konglomerasi itu bisa sangat powerfull. Karena di dalam tubuhnya menyatu perpaduan kekuatan politik dan kekuatan pendanaan. Meskipun tanpa bentuk nyata oligarikis telah menjebak bangsa ke dalam perangkap politik “lari berputar". Mereka berhasil membangun pusat kekuasaan tanpa alamat dan kartu nama. Mempunyai kekuatan lobi yang mengalahkan partai politik formal. Mengatur jalannya pemerintahan bahkan arah negara. Tragisnya karena berhasil mendegradasi fungsi aktor “trias politica” turun ke tingkat yang rendah dan nista, menjadi instrument legitimasi regulasi yang menjauh dari cita – cita proklamsi. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.
Selama Jokowi, Ekonmi Hanya Tumbuh 5,03%
by Anthony Budiawan Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2015-2019 hanya rata-rata 5,03 persen per tahun. Capaian ini tentu saja lebih rendah dari dua periode lima tahunan sebelumnya, yang masing-masing sebesar 5,64 persen per tahun (2005-2009) dan 5,80 persen per tahun (2010-2014). Pertumbuhan rata-rata 5,03 persen ini di bawah target atau janji pemerintah Jokoswi yang dipatok angka pertumbuhan 7 persen per tahun. Seharusnya pemerintah menjelaskan kenapa janji tersebut tidak bisa dipenuhi. Lebih baik lagi kalau disertai minta maaf. Rakyat akan menghargai sikap seperti itu. Sikap kesatria untuk mengakui kekurangan. Penjelasan mengapa target tidak tercapai? Itu sangat penting untuk diketahui rakyat. Mungkin saja rakyat bisa memahami dan memaafkan ketikamampuan pemerintah Jokowi. Karena dengan penjelasan ini, mencerminkan pemerintah mengerti permasalahan sebenarnya. Mengerti situasi objektif ekonomi yang terjadi, sehingga dapat mewujudkan janjinya di kemudian hari. Pemerintah memang mencoba menjelaskan alasannya. Katanya, penurunan ekonomi tahun-tahun terakhir ini akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Alasan ini sangat sulit untuk dipahami dan diterima . Karena ekonomi nergara tetangga yang masih satu kawasan ASEAN, Vietnam dan Philipina ternyata malah naik pada periode 2015-2019. Pertumbuhan Vietnam rata-rata 6,76 persen per tahun (2015-2019). Sedangkan Philipina naik menjadi 6,56 persen per tahun untuk periode yang sama. Jauh lebih tinggi dari pertumbuhan Indonesia yang hanya rata-rata 5,03 persen per tahun. Oleh karena itu, alasan perang dagang global Amerika dan China terlalu mengada-ada. Juga menggampangkan masalah, sehingga kurang bisa diterima. Pembenaran juga selalu mewarnai alasan mengapa janji pertumbuhan ekonomi tidak tercapai. Pemerintah dan para pendukungnya sering menyatakan, meskipun pertumbuhan Indonesia melemah tetapi masih menjadi salah satu terbaik di kelompok G20, menempati peringkat ketiga. Dan seterusnya. Padahal membandingkan ekonomi Indonesia dengan negara-negara G20 adalah sebuah kesalahan. Pertama, di kelompok G20, sudah sejak lama pertumbuhan Indonesia selalu di peringkat tinggi. Tahun 2008 dan 2009, pertumbuhan Indonesia di peringkat 3. Tahun 2012 di peringkat 2. Bahkan pada tahun 1994 hingga 1996 pertumbuhan Indonesia juga sudah di peringkat 3 di kelompok negara-negara G20. Jadi, pertumbuhan ketiga tertinggi di kelompok G20 bukan sebuah prestasi. Sudah sejak tahun 1994. Kedua, negara yang masuk kelompok G20 sebagian besar adalah negara maju yang mempunyai pendapatan per kapita sudah sangat tinggi. Ada yang di atas U$ 40.000, bahkan U$ 50.000 dollar. Sedangkan Indonesia hanya sekitar U$ 4.000 dolar AS. Kondisi ekonomi di kebanyakan negara maju tersebut sudah mendekati full-employment. Sehingga terjadi limitasi tenaga kerja untuk ekspansi. Disamping upah tenaga kerja juga sangat tinggi. Sehingga, perusahaan-perusahaan di negara maju (multi-nasional) terdorong melakukan ekspansi ke negara berkembang yang mempunyai upah buruh lebih murah. Kenyataan ini menjelaskan, mengapa pertumbuhan di negara berkembang lebih tinggi dari negara maju? Dalam hal ini, Vietnam dan Philipina lebih berhasil menarik investasi global dibandingkan Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi kedua negara ini lebih tinggi. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak pihak, termasuk pejabat, membanggakan pertumbuhan Indonesia yang sedang menurun dengan cara yang kurang pantas. Misalnya dengan merendahkan ekonomi negara G20 lainnya. Merendahkan ekonomi sesama negara ASEAN. Kita sering dengar pernyataan, “pertumbuhan Indonesia lebih baik dari ... dari negara tetangga”. Pernyataan seperti ini sangat tidak pantas. Melanggar etika dan sopan santun hubungan internasional. Seolah-olah mereka gagal mengelola ekonominya. Seolah-olah mereka lebih bodoh dari kita. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Ngapain Gus Nabiel Uring-Uringan?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (22/08). FKP2B menyampaikan sikap penolakan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) dengan seperangkat argumen hukum, politik, dan akademik. Namun sikap ini dikomentari negatif oleh Muchamad Nabiel Haroen, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP. FKP2B diminta untuk membaca utuh isi RUU oleh Nabiel. Meski demikian, tentu saja Gus Nabiel juga bisa diminta untuk membaca utuh tuangan sikap dan argumen FKP2B dalam surat terbukanya tersebut. Sebab menurut Gus Nabiel, RUU BPIP adalah respons pemerintah atas aspirasi warga yang ingin perubahan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Nah rupanya anggota DPR ini tidak mampu untuk membaca secara utuh aspirasi warga masyarakat soal RUU HIP yang berbau komunis tersebut. Warga bukannya ingin perubahan atas RUU HIP. Melainkan warga ingin pencabutan atau pembatalan. Tak ada artinya perubahan atas RUU dengan paradigma yang sama. Sebab RUU HIP adalah akar atau fondamen. Sedangkan RUU BPIP adalah cabang. Bukankah Gus Nabiel sangat mengetahui bahwa BPIP itu menjadi bagian dari konten RUU HIP? Justru yang terjadi adalah kekacauan berfikir atau berlogika dalam hukum. Bagaimana RUU cabang dibuat tanpa akar. Goyah kan jadinya. Inilah model dari sebuah RUU yang manipulatif, asal-asalan, serta berisi selundupan misi menghidupkan faham komunis. Faham komunis yang dikemas dalam Trisila dan Ekasila, serta kebudayaan yang berketuhanan. Keliru menilai FKP2B itu melakukan argumentasi a historis. Justru FKP2B mengungkap fakta-fakta tentang argumentasi historis. RUU BPIP historisnya adalah RUU HIP. Dan kedua RUU tersebut dalam konteks Pancasila tidak dapat melepaskan dari basis Pancasila 1 Juni 1945. Tolong dibaca dengan utuh RUU BPIP oleh Gus Nabiel, terutama pada konsideran butir a dan b. Historis Pancasila 1 Juni 1945 itu tertuang apik. Ini paradigma. Ini juga selundupan ide, ini yang sangat berbahaya itu. Publik tidak perlu dibohongi bahwa RUU BPIP adalah perpanjangan misi dan duplikasi dari RUU HIP. Publik, khususnya umat Islam sangat memahami renacan busuk tersebut. Baiknya Gus Nabiel juga membaca dengan utuh AD/ART PDIP. Maka nantinya akan ketemu antara misi perjuangan partai dalam kaitan dengan Pancasila yang adalah Pancasila 1 Juni 1945. Bukan berjuang membela atau memurnikan Pancasila 18 Agustus 1945, yaitu Pancasila kini yang berlaku. Pancasila yang telah menjadi hasil konsensus bersama itu 18 Agustus 19445. Wajar pula jika FKP2B mengkritisi kompetensi pimpinan atau personal Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Ketua BPIP Yudian Wahyudi telah "babak belur" dikritik soal pernyataan-pernyataannya dari mulai salam Pancasila hingga agama yang dianggap musuh Pancasila. Ibu Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP juga harus introspeksi. Jangan hanya menjadi "pejuang" dan "pengarah" untukk Pancasila 1 Juni 1945. BPIP harus "full" berpijak pada Pancasila 18 Agustus 1945. Jika tidak, dikhawatirkan menjadi krisis pilitik. Padahal seluruh komponen bangsa sedang berjuang melawan pandemi covid 19. Dampak pendemi covid 19 hampir melumpuhkan seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari ini sektor ekonomi lumpuh hampir sempurna. Sektor politik juga lumpuh. Itu ditandai dengan kerja DPR dalam pembuatan beberapa Undang-Undang, yang tidak mendengarkan masukan dari masyarakat. Sektor sosial dan budaya juga ikut lumpuh. Sebaiknya DPR RI mau mendengar aspirasi rakyat. Tampung dan olah dengan obyektif dan seksama. Bukan menjadi penanggap parsial atas aspirasi. Mohon baca utuh jika ada surat terbuka yang mungkin agak panjang. Renungkan dan sikapi dengan baik. RUU BPIP adalah RUU usulan Pemerintah. Telah mengabaikan inisiatif DPR. RUU berbalas RUU. Kacau sekali DPR periode ini. DPR adalah wakil Rakyat. Bukan wakil Pemerintah. Anggota DPR harus berani mengoreksi kesalahan politik atau hukum dari Pemerintah. RUU BPIP memang harus ditolak. Tidak layak untuk dilanjutkan pemebahasannya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.