OPINI
Batalkan RUU HIP, Tanpa Kompromi!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (16/06). Sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat jelas dan tegas. Maklumat MUI poin Nomor 4 berbunyi, "Wajib RUU HIP ini ditolak dengan tegas tanpa kompromi apapun". Tidak ada lagi yang abu-abu dari sikap MUI. Artinya, RUU HIP harus dieluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020 Jadi, tolak. Bukan direvisi. Tolak artinya, batalkan pembahasan RUU HIP. Nggak ada ruang. Jangan ngeyel dungu dan dongo. Kenapa? Karena masalah di RUU HIP bukan hanya soal materi, tetapi diduga ada upaya untuk membangkitkan kembali faham komunisme-PKI di Indonesia. Maka, di poin Nonor 5 Maklumat MUI dinyatakan "Kami pantas mencurigai bahwa konseptor RUU HIP ini adalah oknum-oknum yang ingin membangkitkan kembali paham dari PKI, dan oleh karena itu patut diusut oleh yang berwajib". Ingat itu. Konseptorn RUU HIP harus diusut lebih lanjut. Tidak hanya menolak RUU HIP. MUI juga mendesak pihak yang berwajib, dalam konteks ini tentu adalah kepolisian untuk mengusut siapa saja yang terlibat dibalik upaya untuk membangkitkan PKI melalui RUU HIP. Publik dan masyarakat berhak untuk siapa saja konseptornya? Dan poin Nomor 6 "MUI Meminta dan menghimbau kepada umat Islam Indonesia agar tetap waspada dan selalu siap siaga terhadap penyebaran faham komunis dengan pelbagai cara dan metode licik, yang mereka lakukan saat ini". MUI menggunakan kata "Metode licik". Ini pilihan diksinya keras sekali. Artinya, MUI menyimpulkan bahwa cara-cara yang dipakai oleh kumunisme-PKI itu licik dan licik. Menghalalkan segala cara. Wajar saja dong... PKI itu kan anti Tuhan. Standar moralnya tentu beda dengan umat beragama. Pada poin Nomor 8, MUI Pusat dan segenap Pimpinan MUI Propinsi dari seluruh Indonesia "menghimbau Umat Islam Indonesia agar bangkit bersatu dengan upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak paham dan berbagai upaya licik yang dilakukan PKI… ". Lagi-lagi, MUI masih tetap menggunakan kata "licik". Kata ini dipakai oleh MUI untuk mengulangi ketegasannya tentang usaha PKI untuk bangkit kembali. Umat Islam dihimbau MUI untuk selalu siapa-siaga sebagai garda terdepan melakukan perlawanan secara konstitusional. Ingat itu. Perlawanan secara konstitusional. Mau Dibarter Dengan Khilafah Maklumat MUI sangat jelas dan tegas, “Tolak RUU HIP”. Tak ada ruang untuk dibahas lagi di DPR. MUI yang didukung oleh hampir semua elemen Umat Islam menginginkan RUU HIP dibatalkan. Sekali lagi, dibatalkan. Bukan direvisi yaa… Jangan coba-coba mengotak atik. Jangan juga merekayasa dan melakukan negosiasi untuk melanjutkan pembahsan RUU HIP. Kalau dilanjutkan dengan alasan apapun, akan berhadapn dengan MUI dan Umat Islam. Bisa berakit pada terjadinya instabilitas politik. Ada isu, diktum "Khilafah" mau dimasukkan sebagai bagian dari negosiasi dengan kelompok Islam. Ini lucu dan menggelikan. Barter dengan "Khilafah" itu terlalu mengada-ada. MUI dan Umat Islam tidak butuh, dan tidak mau barter-barteran. Maunya hanya “menghhentikan dan membatalkan” pembahasan RUU HIP pada tahap berikutnya. Begitu saja ko repit. Mudah kan? Maklumat MUI poin Nomor 4 "tolak tanpa kompromi", itu jelas dan tegas. Nggak ada kompromi. Artinya, nggak ada juga negosiasi. Mau Khilafah kek, mau piagam Jakarta kek, atau apapun juga, tidak. No negosiation! Nggak ada kompromi. Tenyata bias gareang, tegas dan keras juga organisasi para ulama yang lahir 26 Juli 1975 ini. Jadi teringat kembali sama Buya Hamka, ketua MUI pertama. Lugas, tak bisa diajak kompromi untuk hal-hal yang prinsip. Nampaknya, MUI sekarang ingin menunjukkan jati dirinya yang asli. Dalam konteks perlawanannya terhadap RUU HIP, MUI Pusat tidak sendirian. Maklumat ini didukung oleh MUI provinsi seluruh Indonesia. Juga didukung oleh ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irysad,Al-Washliyah, PUI Wahdah Islamiyah, Ansor, FPI, dan berbagai elemen masyarakat muslim di seluruh Indonesia. Pemerintah dan DPR, akan lebih bijak jika mendengar aspirasi dan peringatan ini. Batalkan RUU HIP, dan jangan dibahas lagi di DPR. Jangan mencoba-coba untuk bernegosiasi, karena itu hanya akan memperkuat kecurigaan, yang dari semula sudah tumbuh di kalangan umat Islam. Jika pembahasan RUU dipaksakan, khawatir ini justru akan memancing gejolak bangsa. Sangat Berbahaya! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Usut Konseptor dan Anggota DPR Pengusul RUU HIP
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN- Selasa (16/05). Maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah cukup tegas dank eras. MUI memberikan peringatan kepada DPR dan Pemerintah tentang bahaya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). MUI juga memberi sinyal umat Islam harus waspada bahkan siaga satu. RUU HIP adalah puncak gunung es yang muncul di permukaan laut. Ada yang lebih dahsyat dan besar di bawahnya. Kalimat penting dari Maklumat MUI tersebut adalah, disamping memberikan ultimatum kepada Pemerintah, juga penolakan tanpa kompromi atas pembahasan RUU HIP. MUI beranggapan, RUU HIP yang berbau bangkitnya kembali PKI dengan cara yang lain. RUU ini akan memberikan jalan untuk menghidupkan kembali faham komunisme. Untuk itu, MUI menyatakan penolakan terhadap RUU HIP tanpa kompromi. Bukan untuk direvisi. Tetapi ditolak untuk dibahas. Ingat itu. RUU HIP harus keluarkan dari Program Legislasi Nasional (Proglegnas) prioritas tahun 2020. Disamping itu, MUI juga meminta agar dilakukan pengusutan oleh yang berwajib terhadap konseptor RUU HIP tersebut. Masyarakat anti faham komunis berhak untuk tau siapa saja konseptornya. Rakyat juga berhak untuk menghukum mereka para konseptor RUU HIP tersebut secara moral. Sedangkan menghukum mereka dengan hukum positif, itu wilayah dan kaplingnya para penegak hukum. Kalau melanggar hukum, itu ranahnya Polisi, Jaksa dan Hakim di pengadilan. MUI menyatakan, "kami pantas mencurigai bahwa konseptor RUU HIP ini adalah oknum-oknum yang ingin membangkitkan kembali paham dan Partai Komunis Indonesia. Oleh karena itu, patut untuk diusut oleh yang berwajib". Kecurigaan MUI tersebut, layak untuk menjadi perhatian. Pengusutan secara komprehensif dan bertahap patut dilaksanakan. Pertama, PDIP menginformasikan dan meneliti siapa saja tim penyusundi internal konsep RUU HIP itu. Apakah sepenuhnya dari kader PDIP atau melibatkan unsur luar. Bongkar kembali notulensi rapat dan masukan-masukan sampai terformulasi narasi akhir sebelum menjadi RUU yang diusung oleh PDIP. Selanjutnya menelaah apa motif dibalik RUU HIP ini, sehingga memuat klausul yang sangat kontroversial. Seharusnya sudah patut diduga akan dikritisi, baik pada tahap pembahasan DPR, maupun setelah terpublikasi di masyarakat. Adakah filter atau pemeriksaan akhir dari institusi Pimpinan PDIP sendiri. Bila ditemukan adanya motif. Lalu ada oknum yang memang sengaja berniat membangkitkan faham komunisme dan Partai Komunis Indonesia sebagaimana dicurigai MUI, maka PDIP harus memberi sanksi kepada kader atau pihak lain yang terlibat tersebut. Sebab sangat merugikan lembaga PDIP PDIP harus membenahi dan membersihkan partai "Pancasilais" nya dari anasir- anasir yang ingin merusak citra PDIP. Caranya, dengan berupaya membangkitkan kembali faham dan Partai Komunis Indonesia. Rakyat tentu menunggu upaya pembenahan dan pembersihan internal di lingkungan PDIP sendiri. Jangan sampai institusi PDIP dijadikan sebagai tempat persembunyian terang-terangan oleh kader-kader yang neo PKI. Sekarang mereka belom menyebut atau menggunakan nama dan atribut yang bertemakan PKI. Bahkan bias saja menyebut dirinya yang paling Pancasilais. Namun setelah merasa kuat segala-galanya, barulah aslinya diperlihatkan. Sebagaimana diketahui PKI adalah partai terlarang. Selain itu, dilarang untuk menyebarkan atau mengambangkan faham komunisme/marxisme-leninisme. Larangan ini diatur dalam Ketetapan MPRS XXV tahun 1966, yang memberikan landasan dan KUHP khususnya Pasal 107a, c, dan d. Pasal 107 KUHP tersebut, memberikan sanksi dengan gradasi delik pidana selama 12, 15, dan 20 tahun penjara. Artinya komunisme/marxisme-leninisme itu adalah perbuatan kriminal. Sapapun orangnya, tanpa adanya pengecualian, bagi yang berusaha atau berupaya menghidupkan paham ini harus diberikan sanksi pidana. Tidak ada pilihan sanksi yang lain. MUI menuntut pihak yang berwajib agar mengusut oknum para konseptor RUU HIP tersebut. Ini adalah langkah hukum yang berguna sebagai peringatan dan pembelajaran kepada siapapun. Agar tidak menggampangkan persoalan untuk mengotak-atik ideologi Pancasila di masa mendatang. Apalagi mencoba-coba mengembangkan ideologi komunisme/marxisme-leninisme. Rakyat telah dibuat sibuk mengantisipasi hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ada. Ideologi Pancasila bagi bangsa dan NKRI telah final. Rakyat Indonesia mendukung penghentian pembahasan RUU HIP. Lalu segera usut oknum konseptor dan anggota DPR yang mengusulkan RUU HIP ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Rakyat berhak tau siapa saja anggota DPR yang mengusulkan. PDIP jangan melindungi kader-kader new PKI yang hari ini berusaha bersembunyi dibalik baju besar PDIP. Institusi PDIP harus diselamatkan dari orang-orang yang berusaha menghidupkan kembali faham komunisme/marxisme-leninisme. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Harus Dibuka Siapa Korporasi Licik Penerima Dana Covid
by Haris Rusly Moti & Salamuddin Daeng Masyarakat dan publik wajib untuk mengetahui siapa saja korporasi dan lembaga yang menjadi penerima alokasi APBN darurat akibat Covid. Ini penting, untuk mencegah skema skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Century jilid dua terulang kembali. Pemerintah Joko Widodo harus membuka informasi korporasi penerima dana covid kepada rakyat. Pada tanggal 12 Juni 2020, kami selaku warga negara telah menempuh langkah konstitusional. Langkah itu diatur di dalam UU Nomor 14 tahun 2008, tentang keterbukaan informasi publik. Kami minta agar informasinya harus disampaikan kepada rakyat. Jangan hanya diam-diam antara pemerintah dan DPR. Berdasarkan UU tersebut, kami secara resmi telah meyampaikan tuntutan kepada Pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Kementerian Keuangan RI selaku Bendahara Negara untuk membuka ke publik terkait beberapa informasi yang menyangkut APBN Darurat Covid untuk alokasi penanganan darurat Covid. Juga yang dipakai untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pertama, korporasi swasta mana saja yang mendapatkan suntikan dana dari APBN dalam berbagai skema tersebut? Termasuk diantaranya skema bail out dengan rute yang agak panjang seperti reklasasi kredit. Publik jangan sampai tidak tau masalah ini. Selain itu, perlu dibuka juga penyertaan modal pemerintah ke bank untuk tujuan penyelamatan kredit macet oligarki. Berapa nilai dana yang disuntikan kepada masing masing corporasi? Untuk apa saja alokasi dana tersebut digunakan? Kedua, BUMN mana saja yang memperoleh alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) atau suntikan dana bentuk lainya? Berapa nilainya untuk setiap BUMN? Apa alasan BUMN tertentu menerima suntikan dana PMN tersebut? Untuk apa saja alokasi suntikandana tersebut digunakan? Ketiga, program darurat apa saja yang dibiayai oleh APBN darurat Covid? Berapa nilai dari tiap-tiap program? Lembaga apa saja yang menjadi menerimanya? Siapa yang menjadi penguasa anggarannya? Publik wajib untuk mengetahuinya. Keempat, dari mana sumber anggaran pembiayaan seluruh skema suntikan dana kepada korporasi tersebut? Mohon untuk diberikan rincian sumber anggaran pembiayaannya tersebut. Ini juga penting diketahui publik. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, beberapa permasalahan yang ingin kami ketahui tersebut adalah bagian dari informasi yang harus diketahui oleh publik. Jangan sampai tidak. Ditegaskan di dalam Pasal 10 UU Keterbukaan Informasi Publik, informasi tersebut wajib diumumkan secara serta-merta. Karena informasi tersebut terkait erat dengan hajat hidup orang banyak. Jangan hanya pejabat pemerintah yang mengetahui. Publik juga tentu berhak untuk mengetahui penggunaan anggaran, terutama yang berasal dari utang luar negeri. Apalagi utang dalam rangka penanganan darurat Covid-19.Juga pinjaman luar negeri untuk pemulihan ekonomi nasional. Sebab dampak pendemi Covid 19 yang sangat erat dengan kebutuhan hidup masyarakat banyak. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 14 Tahun 2008 bahwa setiap instansi pemerintah pusat dan daerah wajib membuat laporan kinerja serta membuka akses informasi untuk publik. Harus menyediakan informasi yang akurat, benar dan tidak menyesatkan. Jika informasi yang kami butuhkan sesuai permintaan di atas tidak dipenuhi, maka dalam waktu yang ditentukan berdasarkan, kami akan mengajukan proses hukum lebih lanjut ke Komisi Informasi Publik (KIP). Proses hokum itu ditujukan kepada Menteri Keuangan RI sebagai Bendahara Pengelola Keuangan Negara. Kementerian Keuangan harus membuka Informasi terkait alokasi APBN Darurat Covid untuk penanganan darurat Covid maupun untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Jangan sampai ditutup-tutupi. Terutama yang dialokasikan kepada koprporasi dan lembaga. Beberapa alasan kami menuntut Kementerian Keuangan membuka informasi ke publik terkait alokasi APBN Darurat Covid.Pertama, ada indikasi suntikan dana APBN pada korporasi baik BUMN, maupun swasta, telah menjadi bancakan mereka oligarki ekonomi dan politik. Bancakan tersebut diantaranya untuk persiapan dana pemenangan pemilu 2024. Kami tengarai modus skandal BLBI dan Century sedang dijalankan dalam skema yang soft dan rute yang panjang. Kedua, jumlah anggaran yang dialokasikan sering berubah ubah. Sebelumnya Rp. 405,1 triliun. Namun beberapa kali diajukan perubahan. Terakhir diputuskan naik menjadi Rp. 641,17 triliun. Kuat dugaan kami, anggaran dana APBN Darurat ini adalah pesanan dari sekelompok orang untuk mendapatkan suntikan dana APBN. Ketiga, kuat dugaan kami bahwa anggaran suntikan dana bagi korporasi dan lembaga keuangan ini akan digunakan untuk membayar utang korporasi. Baik itu untuk BUMN maupun swasta yang sedang terlilit utang. Keempat, pembiayaan dari seluruh suntikan dana kepada korporasi swasta dan BUMN ini diduga berasal dari utang pemerintah. Negara dan rakyat dibebankan tanggung jawab menanggung utang BUMN dan swasta tersebut. Kami mengajak rakyat, mahasiswa, kampus dan seluruh angkatan muda lintas agama untuk bersama-sama mendesak pemerintah membuka ke publik alokasi anggaran darurat Covid 19. Semoga berhasil Penulis adalah Mantan Aktivis ‘98
Jaksa Fedrik “Man of The Week”
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Korps Kejaksaan punya bintang baru. Namanya Robertino Fedrik Adhar Syaripudin dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Sepanjang pekan kemarin namanya paling banyak diperbincangkan. Di media massa, berita seputar Fedrik Adhar paling menyedot perhatian. Media berusaha mengulik habis profilnya. Mulai dari latar belakang sekolahnya, pangkatnya, keluarganya, sampai kekayaan pribadinya. Di media sosial lebih heboh lagi. Namanya menjadi trending topik.Foto-fotonya tampil dengan barang-barang branded banyak tersebar. Kebetulan Pak Jaksa yang satu ini cukup eksis di medsos. Jadi sangat mudah bagi netizen untuk menguliknya. Cukup ketik kata kunci Jaksa Fedrik Adhar, maka info seputar jaksa muda berusia 37 tahun itu muncul bertebaran. Saking populernya, dalam tiga hari terakhir pada mesin pencari Google, namanya bahkan mengalahkan Jaksa Agung. Fedrik jauh lebih populer dan paling banyak dicari. Namanya layak masuk dalam Man of The Week. Sebuah torehan “prestasi” yang cukup membanggakan untuk seorang jaksa berpangkat pratama. Kalau di Polri pangkatnya selevel Ajun Komisaris Polisi, atau Kapten di lingkungan TNI. Masuk kelompok perwira pertama. Jaksa tidak mandiri Nama Fedrik mencuat menyusul kontroversi tuntutan jaksa atas dua orang penyerang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Fedrik menjadi salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) bersama Ahmad Patoni dan Satria Irawan. Kamis (11/6) JPU dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara itu menuntut mereka 1 tahun penjara. Publik dan praktisi hukum menilai tuntutan itu tidak masuk akal. Dibandingkan dengan kasus serupa, berupa penyiraman air keras, tuntutan itu paling rendah. Padahal kasus ini selain menyita perhatian publik, bobotnya juga jauh lebih berat. Novel adalah penyidik KPK yang banyak menangani kasus-kasus korupsi kelas berat. Melibatkan sejumlah petinggi negara dan petinggi penegak hukum. Kasus ini menjadi kontroversi dan mengundang perhatian. Tidak hanya di dalam negeri, tapi sampai ke manca negara. Beberapa media Internasional juga menyoroti kasus ini. Komnas HAM dan Amensty Internasional juga mempersoalkan. Salah satu alasan jaksa menuntut ringan adalah faktor “tidak sengaja,” menjadi olok-olok di dunia maya. Bintang Emon seorang komedian muda mendadak viral karena aksinya menyoroti rendahnya tuntutan itu. Tagar #tidaksengaja menjadi trending dan banyak dicuitkan oleh para pesohor di medsos. “Konyolnya luar biasa. Saya sampai bingung harus marah atau ketawa ya, “ kata Novel kepada media. Reaksi publik yang muncul menunjukkan kemarahan sekaligus sikap frustrasi terhadap proses penegakan hukum di negeri ini. Mereka tambah kesal ketika mendapati para aparat penegak hukum rendahan, sekelas Fedrik gaya hidupnya sangat woowwww. Di luar batas kewajaran. Sebagai ASN dengan golongan IIIC, harta kekayaan yang dimilikinya juga membuat tercengang. Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada tahun 2018 diketahui hartanya sebesar Rp 5.8 miliar. Kendaraan yang dimiliki cukup banyak. Salah satunya sedan kelas atas merek Lexus. Peneliti Indonesian Corruption Watch Kurnia Ramadhana minta agar Fedrik menjelaskan asal usul harta kekayaannya kepada publik. Sebab tak sesuai dengan masa kerja dan gajinya sebagai ASN. Jadilah Fedrik sasaran kemarahan dan bullying orang sak-Indonesia. Barangkali banyak yang lupa atau bahkan tidak tahu, bahwa seorang jaksa tidak mandiri dalam mengajukan tuntutan. Tidak bisa semaunya sendiri. Ada sebuah prosedur di Kejaksaan yang disebut dengan rencana penuntutan (rentut). Sebelum menyampaikan tuntutan, JPU menyampaikan rentut secara berjenjang ke atasannya. Untuk kasus-kasus yang menarik perhatian publik, rentutnya sampai ke meja Jaksa Agung. Kasus sekelas Novel Baswedan yang sudah bertahun-tahun menyita perhatian publik domestik maupun internasional, rasanya tidak mungkin diserahkan begitu saja tuntutannya kepada Fedrik Dkk. Atasan Fedrik mulai dari Kepala Kejari Jakut sampai Jaksa Agung patut diduga mendapat rentutnya. Mereka bisa mengubah, menambah, bahkan mengurangi sebuah tuntutan. Jaksa Agung Abdurahman Saleh (2004-2007) pernah mengubah rentut dari hukuman mati menjadi bebas. Seorang ibu di Bandung bernama Aniq Qoriah dituntut hukuman mati karena membunuh tiga orang anaknya. Arman —begitu dia biasa dipanggil— curiga ada gangguan kejiwaan pada Aniq. Dengan begitu dia tidak bisa dituntut pidana. Instink Arman benar. Di persidangan dokter membuktikan Aniq mengalami gangguan jiwa. Pada 15 Januari 2007 Pengadilan Negeri Bandung membebaskannya. Bisa disimpulkan Fedrik Adhar Dkk hanya menjalankan tugas. Namun mereka bisa menjadi pintu masuk bagi publik untuk memahami wajah aparat penegak hukum dan proses penegakan hukum di negeri kita. Fedrik adalah perca kecil yang bila kita susun, akan menjadi sebuah mozaik besar. Setelah itu Anda bisa mengambil kesimpulan sendiri. So…Mau jengkel, marah, kasihan, iba, atau malah iri dengan Jaksa Fedrik? Selamat datang di negeri #tidaksengajahhhh. End Penulis Wartawan Senior
Novel, Didu dan Ruslan Menanti Keagungan Hukum
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Kepala desa atau kepala rakyat wajib menyelenggarakan keinsafan keadilan rakyat. Harus senantiasa memberi bentuk (Gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu kepala rakyat “memegang adat” (kata pepatah Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masyarakatnya, dan untuk maksud itu, senantiasa bermusyawarah dengan rakyat atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya, agar supaya pertalian bathin antara pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara (Pidato Soepomo di depan BPUPKI tanggal 31 Mei 1945). Jakarta FNN – Senin (15/06). Novel Baswedan, Muhammad Said Didu dan Ruslan Buton, menemukan nasib yang ralatif sama. Novel yang satu matanya cacat permanen karena disiram air keras, harus berjuang lama untuk memperoleh keadilan. Said Didu dan Ruslan Buton di sisi lain, cepat sekali lagi diurus Kepolisian. Didu dilaporkan oleh kuasa hukum Menko Maritim dan Investasi pada kabinet Presiden Joko Widodo. Pak Menko tersinggung oleh sepenggal kalimat Said Didu. Kalau Novel butuh waktu puluhan bulan hingga perkaranya disidangkan. Said Didu tidak. Cepat sekali laporan untuk dirinya diurus sama Polisi. Ruslan Buton, purnawirawan Tentara, disisi lain, juga mirip Didu. Ruslan Buton yang pernah bertugas di Kampung Halaman Saya, di Ternate, segera ditangkap Polisi di rumahnya. Ini terjadi tak lama setelah Polisi menerima laporan atas tindakannya. Perkaranya juga sepele, sesepele perkara Said Didu. Ruslan Buton membuat pernyataan agar Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden. Kalau tidak salah, Ruslan menyatakan kalau tak mundur, bukan tak mungkin rakyat akan melawan melalui revolusi rakyat. Pernyataan ini disiarkan melalui media social, kabarnya begitu. Hanya itu. Tak lebih. Mens Rea Dimulai Dari KPK Para terdakwa pada kasus Novel Baswedan telah disidangkan. Dalam sidang itu, mereka telah dituntut oleh Jaksa Penuntut. Mereka dituntut, kalau tak salah, dengan hukuman penjara satu tahun. Ringan? Jelas ringan. Satu mata rusak permanen, tetapi pelakunya dituntut satu tahun, jelas ini dinilai ringan. Malah boleh dibilang mengada-ada dan badut-badutan. Ada juga yang bilang, “Jaksa jadi pengacara buat terdakwa”. Mengapa Jaksa Penuntut Umum hanya menutut satu tahun untuk terdakwa? Adakah yang meringangkan mereka? Apa hal yang meringankan itu? Kabarnya Jaksa menemukan fakta, tentu dalam persidangan terdakwa “tidak memiliki niat merusak mata Novel”. Disitulah soalnya. Bagaimana Jaksa Penuntut Umum tahu terdakwa tak punya niat merusak mata Novel? Tidakkah niat orang, siapapun, tidak akan bisa diketahui? Mengapa tidak bisa diketahui? Dalam ilmu hukum pidana niat orang itu bersifat subyektif, psichisch element. Ini merupakan tipikal mens rea. Hal subyektif ini tidak bisa diketahui berdasarkan pernyataan atau pengakuan calon tersangka, tersangka atau terdakwa. Tidak bias itu Pak Jaksa. Niat orang, siapapun dia, hanya bisa diketahui dengan cara meneliti, memeriksa secara detail dan cermat, serta seksama rangkaian perbuatan orang itu. Soal esensial di level ini adalah memastikan perbuatan pelaku benar-benar melawan hukum, actus reus. Feit atau perbuatannya harus benar-benar unlawfull atau straafbaar. Tidak boleh lebih Pak Jaksa. Berdasarkan rangkaian perbuatan yang telah diteliti secara seksama dan detail itulah penyidik, penuntut umum, bahkan hakim menyimpulkan, “ada atau tidaknya mens rea”. Tidak di luar itu. Ini berkenaan dengan adagium actus reus nisi mens sit rea. Adagium ini menyaratkan apa yang disebut concurence of a wrongfull act, dan wrongfull intent. Pahami itu baik-baik. Konstruksi atas ada atau tidaknya mens rea, sekali lagi, harus bertolak dari perbuatan nyata, dan obyektif. Berdasarkan rangkaian perbuatan itulah dikonstruksi adanya niat atau perbuatan dilakukan secara sadar atau lalai. Bila perbuatan diniatkan dan direncanakan. Perbuatan perencanaannya panjang, maka perbuatn itu harus diangap dilakukan secara sadar. Disebabkan perbuatan itu dilakukan secara sadar, maka perbuatan dan akibatnya harus dianggap dikehendaki atau dituju oleh pelaku. Tersangka atau terdakwa boleh saja menyangkal dengan segala dalih dan alibinya. Tetapi bila perbuatan obyektif, nyata-nyata menunjukan perbuatan itu direncanakan (ada waktu yang cukup untuk berpikir, termasuk membatalkan perbuatannya), maka perbuatan dan akibatnya harus dianggap diniatkan, dikehendaki. Ada mens rea disitu. Baik actus reus maupun maupun mens rea, sama-sama penting diperiksa pada persidangan di pengadilan. Gunanya mendapatkan pemahaman meyakinkan tentang perbuatan dan sikap bathin pelaku yang sebenarnya. Gabungan ketat dua hal ini menjadi dasar penentu berat-ringannya hukuman. Perlu Obyektiflah Sikap bathin pelaku, menurut Profesor Andi Zainal Abidin Farid, penguji saya di Strata 1 (semoga Allah merahmati beliau) disebut toerekeningsvatbaarheid. Pengertiannya adalah, kemampuan bertanggung jawab atau kemampuan jiwa, misalnya tidak gila. Bila tersangka atau terdakwa tidak gila, maka kepada dia dapat dipertanggungjawabkan kesalahannya atas perbuatan pidana yang dilakukan, toerekenbaarheid. Praktis penentuan ada atau tidaknya mens rea, harus dicari dari perbuatan obyektif. Tidak bisa diluar itu, apapun alasannya. Pada titik itulah dapat dimengerti mengapa dunia hukum menjadi begitu gaduh ketika KPK menyatakan tidak ada mens rea dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Bagaimana KPK memperoleh mens rea atau sampai pada kesimpulan itu, jelas sangat logis untuk dipertanyakan. Tetapi apapun itu, secara faktual kasus Sumber Waras itu teleh melayang ke dalam alam, entah apa namanya. Berakhir sudah kasus itu, karena KPK tidak menemukan mens rea. Aneh? Entahlah. Namun begitulah hokum berbicara. Begitulah dunia dengan segala dekorasinya. Para terdakwa dalam kasus Novel telah berkali-kali menjalani pemeriksaan di pengadilan. Fakta tentunya telah berunculan dalam sidang itu. Secara hipotetik dapat dikatakan faktanya tidak tunggal. Rangkaian fakta itulah yang diperiksa, dan dinilai untuk selanjutnya dikonstruksi. Konstruksinya meliputi dua aspek, “actus reus dan mens rea”. Ini telah dilakukan oleh JPU melalui tuntutannya. Harus diakui, apapun alasannya, siapapun yang tak setiap hari, menit ke menit mengikuti sidang itu, tak akan tahu fakta obyektif sidang itu. Itu sebabnya, maka siapapun hanya bisa melakukan konstruksi secara hipotetik. Misalnya, andai terdakwa merencanakan perbuatan itu, maka secara silogistis rusaknya mata Novel beralasan dianggap sebagai hal yang diniatkan atau dikehendaki oleh pelaku. Bagaimana nalarnya? Pertama, secara hipotetik ada rencana. Kedua, alat yang digunakan. Andai fakta hipotetiknya alat yang digunakan adalah air keras, maka dengan penalaran logis dapat dikonstruksi alat itu pasti merusak tubuh orang yang terkena. Kongklusi silogistisnya kerusakan tubuh itu dikehendaki. Tentu saja mens rea. Andai saja hipotesis ini berkorelasi signifikan dengan fakta persidangan, maka tuntutan JPU, logis dipertanyakan. Mata novel itu tidak dapat dikembalikan lagi ke sedia kala. Disitulah letak soalnya tuntutan JPU. Tetapi apapun itu, dan di atas itu semua, mari menantikan dengan seksama penalaran obyektif dan keyakinan hebat hakim bekerja pada kasus Novel ini. Didu dan Ruslan Akibat Keangkuhan Mari menantikan juga bagaimana nalar kasus Said Didu dan Ruslan Buton. Kedua kasus ini meminta kejelasan atas dua hal. Pertama, apa seluruh rangkaian kata-kata Didu, mengandung unsur actus reus dan mens rea? Tidakah subyek yang dituju diketahui memiliki fungsi koordinasi urusan pemerintahan di bidang investasi? Apa itu investasi? Bagaimana merumuskan actus reus ditengah kenyataan subyek yang dituju secara obyektif benar-benar menunaikan kewajiban konstitusional sebagai warga negara? Bukankah bagus setiap menteri menunaikan kewajibannya membantu Presiden? Lalu, apa yang keliru dari kenyataan itu? Terlalu sulit, bahkan mustahil menyatakan keliru. Konsekuensinya sulit, bahkan mustahil menemukan actus reus, apalagi mens rea dalam kasus ini. Sama sulitnya dengan menemukan actus reus dan mens rea dalam kasus Ruslan Buton. Mengapa? Apa kata-katanya dalam media sosial itu telah menghasilkan keadaan gaduh? Bagaimana merumuskan, dalam arti memberi kualifikasi hukum pada kalimat- kalimat Ruslan yang, kabarnya, disebarkan melalui media sosial, sebagai kabar bohong atau berita yang sebagian atau seluruhnya bohong? Hal apakah dalam kenyataan ketatanegaraan saat ini yang dapat dianalogi dengan kenyataan tata negara tahun 1946? UU Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan pada tanggal 26 Februari 1946. Kenyataan tata negara pada bulan Februari 1946 itu karena dua sebab. Pertama, sistem pemerintahan Indonesia adalah parlementer. Suttan Sjahrir sebagai Perdana Menteri, dikenal dengan Kabinet Sjahrir I. Kedua, nyata-nyata disebut dalam pasal 17 bahwa UU 1 Tahun 1946 berlaku untuk Jawa dan Madura. Pasal 15 UU ini nyata-nyata mengatur norma “kabar berlebihan” atau “tidak lengkap” dan “menimbulkan keonaran.” Bagaimana mengonstruksi norma “kabar berlebihan” itu? Juga bagaimana mengonstruksi norma menimbulkan “keonaran’? Apakah keonaran sama dengan kegelisahan? Keonaran pasti di dalamnya terdapat kegelisahan, tetapi apakah kegelisahan sama dengan keonaran? Bisakah imbauan disamakan dengan berbohong? Bisakah pendapat orang dikualifikasi sebagai berita atau kabar bohong? Tidakkah terminologi berita menunjuk adanya informasi yang diterima, lalu disebarkan? Taruhlah pendapat Ruslan itu disiarkan, sehingga jadi berita, tetapi dapatkah pendapat yang diberitakan itu berkualifikasi sebagai berita bohong? Pembaca FNN yang budiman. Terlalu sulit, bahkan mustahil mengonstruksi pendapat seseorang yang disiarkan sekalipun, melalui semua alat penyiaran yang tersedia, dikualifikasi sebagai berita. Lebih sulit lagi bila hendak dikonstruksi sebagai berita bohong. Kegelisahan, sebut saja, secara obyektif ada. Soalnya adalah apakah kegelisahan itu dapat dikualifikasi sebagai bahaya nyata? Apakah dengan pendapat itu, kedudukan presiden berada dalam bayaya nyata didepan mata? Sembari memberi hormat yang wajar pada usaha penegakan hukum, secara obyektif sulit menemukan actus reus dan mens rea dalam dua kasus terakhir ini. Sulit betul untuk bisa menjadikan Said Didu tersangka. Sulit juga, bahkan mustahil mengualifikasi tindakan Ruslan Buton sebagai kejahatan. Obyektifitas, yang merupakan anak kandung kejujuran, lawan tangguhnya keangkuhan penguasa, jelas dinantikan pada semua kasus ini. Kejujuran seutuhnya dalam menegakan hukum harus jadi panduan utama. Levelnya harus setara kejujuran setiap orang kelak berada dan berdiri dipengadilan akhir, di hadapan Allaah SWT Yang Maha Tahu. Insya Allaah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Bila Paksakan RUU HIP, "PDIP Bisa Dibubarkan"
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (15/06). Gara gara mencoba bermain di tataran ideologi, Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditolak masyarakat. RUU yang oleh masyarakat dipandang kental berbau komunis. Makanya PDIP menjadi sorotan sebagai penyebab utama lahirnya RUU HIP tersebut. Disamping itu, rakyat, khususnya umat Islam yang mereaksi paling keras. Reaksi sebagai bentuk penolakan terhadap RUU ini. Dampaknya, Pemerintah melalui Menkopolhukam mulai bersikap kritis pada PKI dan Komunisme. Demikian juga dengan Trisila dan Ekasila yang menjadi muatan utama RUU HIP. Entah ini blunder PDIP atau karena terciumnya permainan halus "oknum dalam" yang memanfaatkan kekuatan koalisi mayoritas di Parlemen. Namun apapun itu, nyatanya penetapan RUU tersebut telah menimbulkan kegaduhan politik nasional. Masyarakat menyatakan penolakan di seluruh Indonesia. Semantara itu, di parlemen sendiri, fraksi-fraksi yang asalnya telah sepakat menyetujui RUU bisa-bisa "balik badan". Apalagi setelah melihat gelombang penolakan yang semakin membesar. Parpol harus berhitung dengan cermat. Citra sebagai pendukung "PKI" atau "Komunisme" dipastikan sangat merugikan, dan berbahaya bagi parpol. Mahfud MD, sang Menko sudah mulai teriak soal sinyal sikap Pemerintah yang akan berupaya agar Tap MPRS No. XXV tahun 1966 masuk sebagai konsideran RUU. Begitu juga konon soal Pancasila, Trisila, dan Ekasila akan dimasalahkan bahkan ditolak. Artinya, akan ada revisi dari tim Pemerintah. Teriakan Mahfud menunjukkan perubahan konstelasi. Apakah itu suara pribadi Mahfud yang mengerti Hukum Tata Negara atau representasi Pemerintah? Masih terlalu samar. Bapak Jokowi sendiri seperti biasa tetap diam. Sunyi senyap. Mungkin bila didesak, Pak Jokowi jawabnya "jangan tanya saya, itu urusannya menteri". Jika serius pemerintah menolak, maka masalah beratnya ada pada PDIP. Apakah PDIP bisa "legowo" untuk mengalah pada suara rakyat yang gencar menolak? Ataukah sebaliknya "marah" pada Pemerintah yang tidak membela atau seakan membelot setelah ditekan masyarakat, khususnya umat Islam? Politik adalah kumpulan kemungkinan dari kepentingan. Bila responnya adalah marah, maka bukan mustahil isu "haram" pemakzulan bisa menjadi "halal" kembali. Bisa saja sejalan dengan suara dunia akademik maupun masyatakat yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Kuatnya gelombang penolakan terhadap RUU HIP sangat berpengaruh pada orkestra Pemerintah dan PDIP. Suara Pemerintah mungkin seperti apa yang telah disuarakan Mahfud MD. Sementara suara PDIP mulai goyah atas pendiriannya. Partai-partai di parlemen juga berfikir ulang. Apalagi jika harus bertabrakan dengan aspirasi rakyat. Ini menyangkut suara masa depan. Jika jalan yang diambil adalah Tap MPRS XXV/MPRS/1966 dengan "terpaksa" harus dicantumkan pada Konsideran RUU. Lalu klausul Pancasila, Trisila, dan Ekasila juga dihapus, maka gagallah misi PDIP dan para konseptor "kiri" yang bermain dibalik RUU HIP tersbut. Rakyat Indonesia melihat hal ini sebagai percobaan kudeta ideologis. Kudeta yang akan gagal akibat kuatnya penolakan rakyat, terutama umat Islam. Parlemen sendiri awalnya telah berhasil dilumpuhkan. Kesepakatan telah dicapai Badan Legislasi (Baleg) untuk RUU HIP dimasukan ke dalam Prolegnas prioritas. Tetapi masalah tetap saja ada. Pertama, posisi agama. Apakah akan dikembalikan menjadi penting atau tidak. Masihkah disejajarkan dengan kebudayaan ? Kedua, keberadaan HIP dalam sebuah UU bukan sebagai Tap MPR. Apakah tepat atau tidak ? Jika ini belum terklarifikasi, maka RUU HIP kelak masih saja menjadi masalah kerakyatan dan keumatan. Perlu diketahui bahwa semangat dan aspirasi dari masyarakat adalah penolakan. Bukan revisi terhadap materi RUU. Karena bangsa Indonesia, khususnya umat Islam tidak sedang membutuhkan adanya RUU HIP. Ingat dan catat maunya rakyat itu baik-baik. Pemerintah dan DPR jangan sampai abai terhadap aspirasi yang muncul dari rakyat secara massif. Apabila Perimentah dan DPR tetap memaksakan kehendak menetapkan RUU HIP menjadi UU, maka bukan tidak mungkin isu politik rakyat akan bergeser dan mengarah pada pembubaran PDIP dan pemakzulan terhadap Presiden. Artinya dapat terjadi kegaduhan politik yang lebih serius. PDIP harus berfikir matang dan sehat. Mengalah adalah pilihan yang paling rasional. Jika tidak, pasti akan babak belur. New normal prakteknya menjadi new tidak normal atau "crash landing". Politik yang semakin karut-marut. PKI dan Komunisme masih terus menjadi gelindingan bola salju. RUU HIP hanya usaha kudeta ideologi oleh kader komunis-PKI yang mungkin saja gagal. Masih ada kasus TKA China dan hubungan dengan RRC yang belum terantisipasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
MUI Tabuh Genderang Jihad Melawan RUU HIP
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (14/05). PKI itu biadab. Begitulah bangsa ini bersepakat. Hanya sekelompok kecil orang yang masih melihat PKI tidak bersalah. Tetapi, begitu banyak data sejarah yang sulit untuk dibantah. Kelompok kecil ini sedang berupaya untuk bangkit dan menghidupkan kembali PKI. Masuk partai, menjadi anggota DPR, dan mendekat di lingkaran kekuasaan adalah jalur yang efektif untuk ditempuh. Militan, tentu saja. Namanya juga kelompok kecil. Dimanapun mereka, kelompok kecil biasanya selalu militan. Karena mudah koordinasinya. Ciri kelokpok kecil yang lain adalah, selalu memaksakan kehendak kepada kelompok besar yang mayoritas. Secara teoritis, PKI memang tidak bisa hidup di negara Pancasila. PKI anti Tuhan, sementara Pancasila pro Tuhan. Meski faktanya, ada sejumlah orang yang terlihat beragama. Termasuk yang Islam, yang bergabung ke partai komunis. Ini kasuistik. Kok bisa? Kader PKI bantu petani untuk mengambil kembali sawahnya. Berhasil, si petani masuk PKI. Kasus ini pernah diteliti pembimbing disertasi saya Prof Dr. Bambang Pranowo (Allahu yarham) di penjara suka miskin. Seorang muslim rajin shalat, tapi dipenjara karena pernah terlibat dalam pemberontakan PKI. Sekali lagi, ini kasuistik. Tak bisa digeneralisir. PKI bukan hanya partai, tetapi ideologi. PKI akan terus hidup, dan tetap menjadi pemberontak di tengah hegemoni kapatalis. Komunisme sejak awal kelahirannya, memang didesign untuk menjadi oposisi terhadap kapitalisme. Agama menjadi ikut dimusuhi komunisme karena dianggap berselingkuh dengan kapitalisme. Maka, komunisme itu anti Tuhan. Padahal, keberadaan Tuhan menjadi pilar terpenting dalam Pancasila. Berarti, PKI anti Pancasila. Titik. Mau rubah Pancasila jadi Trisila dan Ekasila? Indonesia bisa bubar, kata sekjen MUI, Anwar Abbas. Dosen ekonomi ini mengecam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Tidak hanya sekjen MUI, tetapi banyak ormas termasuk Muhammadiyah dan Ansor yang menolak RUU HIP. Satu persatu pesantren di berbagai wilayah sudah deklarasi diri, “menolak RUU HIP”. Lalu, bagaimana dengan gagasan NASAKOM? Utopis. Baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Sejajar dengan utopisnya teori komunisme yang digagas oleh Marx di awal kelahirannya. Komunisme sama bahayanya dengan kapitalisme. Komunisme perlu diwaspadai. Jika diabaikan, PKI akan mengambil ruang makin besar. Pemberontakan 1948 dan 1965 akan terulang. Ingat. Transformasi politik dalam teori komunisme itu revolusi. Nah, revolusi hanya bias terjadi melalui proses pemberontakan. Pertumpahan darah. Itu pasti! Karena itu, MUI Pusat membuat maklumat. Menyerukan jihad melawan PKI yang diduga akan dibangkitkan melalui RUU HIP. Seluruh MUI propinsi mendukung maklumat itu. Begitu pula dengan berbagai ormas Islam. Pesantren beserta komunitas umat Islam telah menyatakan sikap yang sama dengan MUI. Melalui RUU HIP, peluang PKI reborn dianggap sangat terbuka. Sebab, sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa mau dikesampingkan dan didominasi narasinya dengan "Gotong Royong". Rupanya punya rencana besar mau usir Tuhan dari negeri ini? Teriakan sejumlah ulama. Tokoh-tokoh bangsa dan sejumlah Jenderal (purn) TNI Angkatan Darat gerang dan angkat bicara. Mereka terus konsisten menyoal RUU HIP. Suara keras para Jenderal pensiunan Angkatan Darat disambut oleh maklumat MUI. Meledak jadinya! Deklarasi tolak RUU HIP pun bergema di sejagat Indonesia. Jember bergolak. Solo bergolak. Demo digelar dimana-mana. Purnawiran TNI-Polri gruduk ke kantor Menkopolhukam. Hanya satu tuntutan, “Tolak RUU HIP”. Titik. Ingat yaa tolak. Bukan revisi. Muhammadiyah pun membentuk Tim Khusus. Tugasnya? Melakukan pendalaman terhadap materi RUU HIP. Apakah juga akan mendalami para oknum yang berada dibalik RUU HIP? Yaitu orang-orang yang menyusun draft dan menghalangi TAP MPRS/XXV/1966 masuk RUU HIP? Usut mereka. Begitu kata MUI. Tidak hanya MUI, usaha menyingkirkan Tap MPRS No 25 Tahun 1966 dari RUU HIP juga membuat mayoritas Umat Islam semakin curiga. Kalau bukan untuk tujuan membangkitkan PKI, lalu untuk apa? Begitulah kira-kira pertanyaannya. RUU HIP yang membuang TAP MPRS/XXV/1966 seolah mengingatkan kembali Umat Islam terhadap peristiwa beberapa tahun lalu. Saat Presiden Jokowi di awal pemerintahannya. Ketika itu, ada desakan sejumlah pihak yang meminta kepada presiden Jokowi untuk minta maaf kepada PKI. Enak benar maunya. Teringat pula seorang anak PKI yang bilang. "Aku Bangga Jadi Anak PKI". Juga peristiwa ketika Taufiq Ismail, Sang Penyair yang diteriakin dan diminta turun saat membaca puisi tentang sejarah kebiadaban PKI. Selain itu, juga tersebarnya atribut PKI terang-terangan di berbagai tempat. Apakah itu satu kesatuan? PKI sudah mati, kata segelintir orang. Yang mati itu partainya, bukan ideologinya. Ideologi komunisme yang diberi ruang dan kesempatan, sangat berpotensi untuk memberi nafas baru buat PKI hidup kembali. Wajar saja jika MUI, Ormas Islam dan komunitas umat Islam di berbagai wilayah seberang siap ganyang PKI, jika dibangkitkan kembali. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Bangsa Ini Bukan Hanya Keringat Seorang Soekarno
by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Ahad (14/06). Membaca RAncangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) lengkap dengan Naskah Akademisnya membuat saya merasa geram. Sangat jelas dan terang maksud dan tujuan dibalik RUU itu. Ada pembajakan sejarah dan penyelundupan ideologi yang berbahaya. Pancasila menurut RUU itu adalah Pidato Soekarno 1 Juni 1945 yang diucapkan di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Artinya Pancasila dianggap pikiran seorang Soekarno saja. Begitu memalukan bangsa ini. Betapa jasa besar dan pengorbanan tokoh-tokoh lain disingkirkan demi ambisi dan nafsu kekuasaan. Soekarno bukanlah satu-satunya orang yang mengajukan dasar negara. Mau dikemanakan itu pidato Profesor Soepomo, Muhammad Yamin dan dan lain-lain yang dianggap mewakili golongan “nasionalis sekuler”? Ada juga pidato tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman Wirdjosanjojo, Haji Agus Salim. Apakah tokoh-tokoh lain yang mewakili golongan “nasionalis Islam” dan “nasionalis sekuler” itu tidak berpidato? Kita sedang kembali membuka kran polemik ideologi. Kita terpaksa kembali lagi ke masa lalu. Ini pilihan jalan yang mundur ke belakang. Sebaiknya jangan lagi mengusik-usik pengorbanan umat Islam dan kesepakatan penting sejarah. Berupa dicoret begitu saja tujuh kata pada tanggal 18 Agustus 1945. Umat Islam telah mengorbankan Piagam Jakarta demi persatuan dan keutuhan bangsa. Kenapa harus diusik lagi? Padahal bangsa ini bukan berdiri karena Jerih payah satu orang saja Soekarno saja. Ini jerih payah dan perjuangan seluruh komponen bangsa. Yang paling besar berkorban adalah umat Islam. Pancasila tidak dirumuskan oleh satu kepala manusia Soekarno saja. Pancasila adalah hasil kompromi , kerelaan dan pengorbanan umat Islam. Catat itu baik-baik. Jangan lupakan kerelaan dan pengorbanan umat Islam itu. Soekarno ketika mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, tidak lupa mencantumkan piagam Jakarta yang menjiwai Pancasila dan UUD 1945. Artinya, ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya adalah kata yang menjiwai konstitusi. Juga menjiwai kehidupan rakyat Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam. Jadi, Pancasila bukan milik satu golongan. Bukan sebatas pidato satu orang Soekarno saja. Melainkan merupakan titik temu atas semua nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Karena itu Pancasila disebut sebagai Filosofiche Groundslaag, atau Staat Fundamental Norm. Kita semua bersepakat Pancasila sudah final. Muhammadiyah telah menetapkan hati menjadikan Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. “Darul ahdi” artinya, negara tempat melakukan konsensus nasional. Nusantara yang terdiri dari kemajemukan bangsa, golongan, dan daerah. Kekuatan politik sepakat untuk mendirikan Indonesia. Sementara “darul syahadah” artinya, negara tempat masyarakatnya mengisi kemerdekaan dengan berbagai aktivitas. Berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi seluruh elemen bangsa. Harapannya, terwujud negara yang maju, makmur, adil dan bermartabat. Umat Islam telah menetapkan hatinya untuk menjadikan Pancasila sebagai falsafah dasar berbangsa dan bernegara. Bukan sekedar ideologi yang kaku. Melainkan sebuah nilai universal yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Catat penetapan hati umat Islam itu baik-baik. Ketika umat Islam sedang berjuang mewujudkan Pancasila dalam kata dan perbuatan, muncullah RUU HIP. Sebuah RUU, yang kalau meminjam Istilah Doktor Yudi Latif “Ngawur Semua” isinya. Definis terhadap Pancasila sangat buruk. Penuh dengan penyelundupan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Itu terbukti dengan tidak dimasukkannya dalam Konsiderans RUU tersebut Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Larangan PKI dan Mengembangkan Ajaran Leninisme, Marxisme dan Komunisme di Indonesia. Norma yang diatur dalam RUU itu menghilangkan prinsip yang paling mendasar dari Pancasila. Menghilangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan Yang Dimpimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaran Perwakilan serta Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua sila dalam Pancasila itu mau diperas menjadi Trisila. Lalu Eka Sila atau Gotong Royong, seperti pidato Soekarno 1 Juni 1945. Ini sih namanya “ngawur semua”. Gagasan yang bias juga disebut sangat “dungo, dongo , kaleng-kaleng dan beleng-beleng”. Penyelundupan Ideologi di RUU HIP Gotong Royong itu adalah konsep kerja kolektif. Konsep yang menjadi jualan paling laku faham komunisme. Kolektivisme adalah kerja paksa. Kamp-kamp penampungan dipersiapkan sementara untuk manusia adalah budak industri. Kelanjutan kolektivisme ini adalah keadilan ditetapkan oleh aparat. Persatuan itu adalah pemaksaan, dan prinsip musyawarah hanya untuk kamerad-kamerad. Semua itu disebut “kolektif” atau dalam bahasa kita sekarang “Gotong Royong”. RUU HIP jelas ingin merumuskan ulang Pancasila menjadi sebatas norma biasa. Tujuannya, hanya untuk mengkerdilkan Pancasila. Meminjam Istilah Prof. KH. Din Syamsudin RUU HIP menurunkan derajat falsafah bangsa ini dengan memonopoli penafsiran Pancasila yang merupakan kesepakatan dan milik bersama. Oleh karena itu, tidak mungkin orang yang cinta NKRI dan orang yang menjunjung tinggi Pancasila, termasuk umat Islam, mau melakukan pencemaran terhadap Pancasila. Apalagi menghina Pancasila dengan cara-cara licik dan busuk seperti ini. Itu tidak mungkin. Pembaca FNN yang budiman, dugaan saya, RUU HIP adalah penyelundupan ideologi oleh ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa alias atheism. Hanya saja mereka menggunakan kosakata kebudayaan. Ketuhanan yang berbudaya adalah langkah untuk melunturkan nilai ketuhanan Yang Maha Esa. Memang Tuhan siapa yang berbudaya? “ngawur semua”. Konsep gotong-royong yang dirumuskan dalam norma RUU itu tidak jelas seperti apa? Apakah gotong-royong dalam kejahatan? gotong-royong dalam kebiadaban? Atau gotong royong dalam hal seperti apa? Kemanusiaan yang disebutkan dalam RUU itu adalah kemanusiaan saja. Sementara Pancasila menyebutkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Kenapa hanya kemanusiaan saja? Karena komunis juga memiliki konsep kemanusiaan. Tetapi dalam kenyataan mereka biadab dan menghina kemanusiaan. Artinya RUU HIP itu “mbahnya ngawur”. Juga dungu, dongo, kaleng-kaleng dan beleng-beleng. Semua rumusan dan norma tidak memiliki dasar hokum, termasuk mencantumkan Pancasila dengan seenaknya saja. Kenyataan itu bisa dibaca dalam pasal 3 RUU HIP tersebut. Dugaan saya, mereka itu ingin merubah NKRI dan Pancasila. Caranya adalah merumuskan falsafah itu dalam norma biasa yang lebih rendah dari konstitusi UUD 1945. Apa tujuannya? Agar supaya mereka dapat merubahnya dengan mudah suatu saat nanti. Kita semua komponen bangsa dan umat Islam harus Waspada. MUI telah menegaskan, dalam maklumat Nomor Kep-1240/DP-MUI/VI/2020 menyikapi RUU HIP yang akan segera dibahas DPR. MUI mencurigai konseptor RUU HIP ini adalah oknum-oknum yang ingin membangkitkan kembali paham dan Partai Komunis Indonesia. Berikut saya kutip lengkap bagian akhir Maklumat MUI tersebut, "bila maklumat ini diabaikan oleh pemerintah, maka kami Pimpinan MUI Pusat dan segenap Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia mengimbau umat Islam Indonesia agar bangkit bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak paham komunisme dan berbagai upaya licik yang dilakukannya". Marilah kita mengawal maklumat MUI ini demi menjaga Pancasila dan NKRI dari bahaya laten komunis...Wallahualam bis shawab Penulis adalah Ketua Pemuda Madani & Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM
Ketika Jaksa Menjadi Pembela Terdakwa Kasus Novel
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (14/06). Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada dua orang Polisi aktif Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, yang diduga sebagai penyerang Novel Baswedan hanya satu tahun. Tuntutan ini dinilai tidak adil. Mencengangkan untuk tindak pidana bertitel penganiayaan berat yang terencana. Semua suah tahu. Akibat dari penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan, telah menyebabkan sebelah mata Novel menjadi cacat. Mata Novel menjadi cacat secara permanen. Tidak dapat disembuhkan lagi. Sejak awal Novel sendiri meragukan keseriusan penyidikan dilakukan oleh polisi. Apalagi tersangka adalah anggota Polri aktif. Kasus Novel sendiri sangat kental bernuansa politik. Ada aktor intelektual dibelakang penyiram air keras. Walapun demikian, jangankan untuk bias mengungkap aktor intelektual yang "dibelakang", pada tersangka yang ada saja masih banyak tanda Tanya. Sangat diragukan kebenaran materielnya. Cerita novel yang bertele tele dan tuntutan seperti main-main dan badut-badutan. Jaksa mengakui ada perencanaan. Juga diyakini sebagai delik penganiayaan berat. Rencana penganiayaan Novel dapat dibuktikan di depan persidangan. Tersangka juga telah mengakui perbuatan perencanaan itu. Tapi ironinya JPU hanya menuntut satu tahun penjara saja kepada para pelaku. Aneh tapi nyata. Pasal 355 ayat ( 1) KUHP menyatakan bahwa untuk perbuatan penganiayaan berat dengan rencana itu, sanksi hukumannya 12 tahun penjara. Itu adalah dakwaan primer. Terhadap dakwaan subsidair Pasal 353 ayat (2), maka ancaman hukumannya adalah 7 tahun. Sungguh aneh. Bagaimana bisa JPU hanya menuntut satu tahun penjara. Lucu-lucuan saja. Jika alasannya adalah, kedua terdakwa tidak sengaja menyiram air keras ke badan namun yang terkena adalah wajah. Justru menunjukkan kebodohan hukum dari sang Jaksa secara nyata. Kebodohan yang diumbar ke publik untuk ditertawakan. Yang namanya sengaja (opzet) itu ada tiga jenis. Pertama, sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk). Kedua, sengaja dengan kesadaran akan kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn). Ketiga, sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan (dolus eventualis). Nah, menyiram air keras dari motor berboncengan jika tidak kesengajaan pertama, maka akan terpenuhi yang kedua dan ketiga. Jadi, menyiram air keras yang berakibat rusak pada wajah adalah sengaja juga. Semua unsur sengaja yang direcanakan sudah terpenuhi syaratnya. Bisa "zekerheidsbewustzijn" atau "dolus eventualis". Adapun unsur sengaja adalah menghendaki dan mengetahui (willens en wetens). Apa yang dilakukan oleh kedua Polisi aktif ini sangat kuat memenuhi rumusan delik baik Pasal 355 ayat (1) atau 353 ayat (2) KUHP. Terlepas aspek teknis hukum, maka apa yang terjadi dengan tuntutan satu tahun adalah menggelikan. Juga menistakan hukum, dan jauh dari rasa keadilan. Jaksa Penuntut Umum ini terkesan menjadi pembela dari terdakwa. Biasanya JPU mencari sanksi atas perbuatan yang terberat. Dalam kasus Novel Baswedan ini justru aneh, karena yang terjadi adalah sebaliknya. Jaksa justru mencari yang teringan. Semua tahu itu tugas Pembela, bukan tugas Jaksa. Memang, lamanya waktu untuk menemukan tersangka saja sudah janggal. Tiga tahun dan ternyata ditemukan di ruang yang dekat-dekat saja. Ditemukan di kantor Polisi sendiri. Kemudian diproses dengan bertele-tele pula. Kini masuk Pengadilan. Lalu sampailah pada tuntutan JPU yang kontroversial tersebut. Bravo JPU. Anda layak dapat bintang. Bintang cerita telenovela. Bertele tele dan mampu membuat cerita sedih dalam kepura-puraan. Akibatnya, keadilan yang menjadi korban dari penganiayaan berat. Telah luka wajah hukum disiram dengan air keras kekuasaan. Katanya kan tidak sengaja. Ya sudah, ngga apa apa. Namanya juga cerita. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.
Hentikan Perbudakan ABK di Kapal China
by Jamaludin Suryohadikusumo Jakarta FNN – Sabtu (13/06). China merupakan pasar kerja terbesar sektor perikanan dan pelayaran. China merupakan industri perikanan terbesar di dunia. Memiliki ribuan jumlah kapal ikan dan menjadikan China sebagai negara penghasil ikan nomor satu di dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir mayoritas dari kapal perikanan asal China menggunakan Anak Buah Kapal (ABK) yang berasal dari Indonesia. Tiap tahun diperkirakan puluhan ribu ABK Indonesia berangkat kerja di kapal ikan China,. Mereka berangkat melalui mining agency di Jakarta ataupun di daerah. Dengan kata lain, China hasil perikananya banyak ditopang oleh tenaga kerja dari Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia jangan hanya menyalahkan maning agency jika terjadi kasus ABK yang bekerja di kapal China. Pemerintah harus melakukan introspeksi apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada warganya? Kalau Tenaga Kerja Asing (TKA) China dilindungi pemerintah Indonesia. Mestinya TKI kita juga diberikan jaminan pelindungan oleh pemerintah China. Namun peran ini harusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Bukan oleh swasta. Pemerintah harus menghapus berbagai aturan yang tumpang tindih mengenai penempatan ABK kapal. Kebijakan yang mengakibatkan ABK jadi korban. Jika tidak segera dilakukan perbaikan terhadap kebijakan yang tumpang tindih ini, maka sebenarnya pemerintah sudah ikut menyumbang kondisi keberadaan ABK yang tidak terlindungi selama ini. Upaya perlindungan harus dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir. Target akhirnya untuk memastikan perlindungan kepada ABK, baik sebelum penempatan maupun ketika bekerja. Bahkan hingga purna penempatan kelak. Apa gunanya melakukan perlindungan di dalam negeri, jika pemerintah tidak bisa negosiasikan aturan perlindungan tersebut ke negara penempatan. Hingga kini, sudah ada beberapa perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan China. Penandatanganan nota kesepahaman bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) tersebut dilaksanakan di Great Hall of The People, Kamis 26 Maret 2015 lalu. Penandatangan MoU ini disaksikan pula oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping. Terdapat delapan MoU kerja sama Indonesia dengan China yang telah ditandatangani oleh kedua negara. Kasus perbudakan yang terjadi di kapal China yang mencuat beberapa waktu lalu jangan sampai terulang kembali. Kausu ini harus dijadikan sebagai momentum pemerintah untuk meningkatkan bargaining tenaga kerja Indonesia. Upaya ke arah itu bisa dilakukan melalui saluran-saluran diplomasi. Untuk meningkatkan perlindungan warga Negara. Jika pemerintah mau melindungi TKA China yang datang ke Indonesia. Bahkan ada kecenderungan pemerintah pasang badan untuk mereka TKA China. Apakah ada pejabat China yang mau pasang badan untuk memberikan perlindungan kepada TKI kita di China? Pemerintah harus membangun sistem perlindungan TKI. Paling kurang melakukan negoisasi ulang dengan pemerintah China. Tujuannya, agar warga negara yang bekerja di China, khususnya di kapal ikan mendapatkan jaminan perlindungan hukum ketika bekerja di sana. Pemerintah harus membangun MoU sebagai payung kerjasama yang mencakup aspek perlindungan menyeluruh terhadap hal-hal ABK kapal ikan. Yang menjadi dasar MOU antara Mining Agency User (ownership). Penulis adalah Ketua Bidang Buruh dan Pekerja MPN Pemuda Pancasila