Buzzer Dan Influencer Penyakit Demokrasi
by M Rizal Fadillah
Jakarta FNN – Ahad 923/08). Konon dana yang dikeluarkan Pemerintah hingga Rp. 90 miliar untuk membiayai buzzer dan influencer. Dana itu berasal daru uang rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tugas buzzer dan infulencer adalah membela, mengkampanyekan, membangun citra hingga memprovokasi. Buruknya jika sampai pada membohongi rakyat. Rakyat dibohongi pakai uang rakyat.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatatakan buzzer dan influencer mengkampanyekan positif segala kerja pemerintah. Isinya bermacam-macam. Tergantung pada orderan. Tentu tidak gratis, tetapi ada sejumlah bayaran. Menurutnya dalam proses politik, hal ini dapat menurunkan kualitas dari demokrasi.
Sebenarnya bukan hanya menurunkan. Tetapi telah menjadi penyakit demokrasi. Merusak demokrasi yang sangat dibanggakan rezim penguasa saat ini. Melanggengkan budaya politik transaksional, premanisme, serta menghalalkan kebohongan dan kecurangan dalam berpolitik. Penyakit buzzer dan influencer sangat berbahaya.
Di negara komunis seperri Rusia, dan juga China, buzzer dan influencer dapat disetarakan dengan departemen agitasi dan propaganda (agitprop) pada partai komunis. Tugasnya adalah menyosialisasikan visi, misi, dan atau hasil-hasil kerja pemerintah.
Bila perlu dengan memutarbalikkan fakta dari yang sebenarnya. Melemahkan hal-hal yang diungkap oposan atau pengeritik. Bahkan bila perlu mencari kelemahan dan kelasahan pribadi pengeritik. Setelah itu menyerang juga pribadi pengeritik. Tidak perduli benar atau. Sumua dana yang dipakai adalah uang rakyat.
Agitprop tidak lain "is political propaganda especially the communist propaganda that is spread to the general public through popular media such as literature, plays, phamplets, film, and other art forms with an explicity political message".
Keberadaan buzzer dan influencer bukan ciri dari negara demokratis. Prilaku seperti ini adalah ciri negara komunis. Dimana informasi dicengkeram Pemerintah. Hukum yang menjadi alat kekuasaan untuk menjerat semua lawan-kawan politik.
Lawan-lawan politik dari kelompok sivil society yang kritis dibungkam. Juga dikriminalisasi dan dijebloskan ke dalam penjara. Untuk itu, adu-domba pun dilakukan. Opini publik dimainkan dan dibolak-balik. Opini yang benar dibang salah, dan sebaliknya yang salah dibilang nenar.
Pemerintah sudah memiliki Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkoinfo). Kementerian ini diberikan beranggaran pasti dari APBN triliunan rupiah. Keberadaan buzzer dan influencer dengan anggaran tersendiri jelas merupakan bagian dari penyimpangan dan korupsi.
Seharusnya anggota Dewan berteriak keras terhadap pelanggaran keuangan negara ini. DPR jangan hanya berdiam diri. Kalau DPR tidak berteriak, jangan berperilaku seolah-olah menjadi bagian dari buzzer dan influencer pula.
Rezim yang menggunakan dan mengedepankan buzzer dan influencer adalah rezim yang kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Tidak menghormati rakyat, serta menghalalkan segala cara. Rezim seperti ini sulit dipercaya sebagai penyelenggara negara.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.