OPINI

Masirah Al Kubra Luruskan Kesesatan Penyelenggara Negara

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Agak lama umat menunggu Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan Maklumat kembali yang berisi tahzir (peringatan). MUI yang menolak dengan tegas tanpa kompromi terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) karena substansi materi keduanya dinilai sama. Memberi ruang untuk berkembangnya neo PKI dan faham komunisme. Merujuk pada hasil Kongres Umat Islam 2020 di Pangkal Pinang , yang meminta kepada Presiden agar BPIP segera dibubarkan. Pernyataan tegas MUI yang sudah disiapkan itu bagus dan juga menggigit, terutama sikap tegas bahwa Kepres No 24 tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila agar segera dicabut. Kepres ini menjadi sumber penyelewengan atas tafsir Pancasila. Hari lahir Pancasila itu bukan pada tanggal 1 Juni 1945, tetapi 18 Agustus 1945. Karenanya Pemerintah sepantasnya mengeluarkan Kepres baru yang menetapkan hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945. Pancasilan tanggal 1 Juni 1945 adalah Trisila dan Ekasila, serta Ketuhanan yang berkebudayaan. Bukan Ketunanan Yang Maha Esa seperti Pancasila 18 Agustus 1945. Bagi MUI yang sejak awal menegaskan penolakan RUU HIP, yang kemudian berubah menjadi RUU BPIP, itu memenuhi dua kewajiban. Pertama, kewajiban syar'i . Kedua, kewajiban kebangsaan dalam rangka penegakan kesepakatan. Ini artinya baik RUU HIP yang menjadi inisiatif DPR dan RUU BPIP yang menjadi usulan Pemerintah adalah bukti dan wujud penghianatan dari kesepakatan bangsa Indonesia. MUI sebagai lokomotif perjuangan umat Islam Indonesia, tentu sangat merasakan kegelisahan umat. Sekarang umat Islam merasa bahaya terhadap bangsa dan negara andai kedua RUU tersebut ditetapkan sebagai Undang Undang. Karenanya sedemikian serius MUI mewanti-wanti, bahkan sangat mungkin mengancam atas pengabaiannya. Bila sikap Pemerintah dan DPR tetap bersikukuh mempertahankan kedua RUU tersebut, maka tidak ada jalan lain, selain melakukan al masirah al kubra (parade akbar) sebagai jalan konstitusional untuk meluruskan kesesatan yang dilakukan para penyelenggara negara. Demikian sejak dini dikemukakan MUI. Bahkan telah menyebut persiapan panglima segala. Model "warning" yang seperti ini semestinya menjadi perhatian, baik Pemerintah maupun DPR, agar segera mengoreksi diri. Membuat keputusan untuk tidak melanjutkan pembahasan terhadap RUU HIP dan RUU BPIP. Bahkan sebaiknya batalkan dan cabut segera dari Program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2020 . Juga segera laksanakan pembubaran BPIP. Jika peringatan MUI dikeluarkan, maka hal itu merupakan peringatan keagamaan. Bukan peringatan politik atau lainnya. Karenanya pernyataan bahwa al masirah al kubra adalah "jalan untuk meluruskan kesesatan" menjadi peringatan yang bermuatan syar'i. Umat Islam tentu saja bersiap-siap untuk merespon secara konstruktif seruan MUI tersebut. Tentu dengan risiko dan semangat berkorban apapun untuk agama yang diyakini kebenarannya. Bangsa dan negara harus diselamatkan dari kemungkinan rencana penyelewengan terhadap ideologi Pancasila, yang dilakukan secara terselubung. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Kenapa Pemerintah Beroposisi Terhadap KAMI?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Ketika Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia KAMI) muncul dengan maklumatnya, publik jadi ramai. Umumnya masyarakat positif menyambutnya. Bahkan cukup rakyat antusias. Ada dua indikator. Pertama, berita media. Sangat masif pra dan pasca deklarasi KAMI. Kedua, berdirinya sejumlah KAMI di daerah. Meski begitu, ada juga yang kontra. Terutama dari sejumlah elit dan pendukung pemerintah. Mereka nampak gerah dan merasa nggak nyaman. Tentu saja mereka punya alasan mengapa gerak dan nggak nyaman. Soal rasional tidaknya alasan ketidaknyamanan itu, biar rakyat yang akan menilai. Kegerahan itu terlihat dengan munculnya sejumlah statemen negatif. Bahkan juga muncul tandingan terhadap KAMI. Lahir komunitas yang mengatasnamakan KITA, KALIAN atau KAMI dengan singkatan yang berbeda-beda. Karena sifatnya reaktif, apalagi hanya sebagai tandingan, biasanya nggak lama. Muncul, lalu segera tenggelam. Gerakan tanpa militansi dan orientasi perjuangan biasanya nggak bertahan lama. Apalagi jika bergantung biayanya. Beberapa tokoh membuat tudingan yang cenderung menyudutkan KAMI. Mereka menganggap KAMI adalah kumpulan barisan sakit hati. Nggak siap menerima kekalahan. Pingin jadi presiden, dan makar. Tudingannya macam-macam. Anehnya, mereka yang melakukan kritik terhadap KAMI umumnya tidak bicara substansi. Lima hal yang menjadi bagian dari maklumat KAMI terkait persoalan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan HAM serta Sumber Daya Alam, nyaris tak disinggung. Yang disorot justru organisasi dan para tokohnya dengan berbagai stigma dan tuduhan yang nggak perlu. Semacam tuduhan yang kekanak-kanakan. Sebaiknya perlu baca dulu maklumat KAMI. Pahami, lalu bahas dan diskusikan isi maklumatnya. Kalau sudah baca, lalu sengaja mengabaikan, karena dalam maklumat tersebut ada kebenaran data. Makanya tentu ini bukan saja nggak fair, tetapi juga gak mendidik bagi rakyat. Mestinya, para pengkritik KAMI membaca, lalu pelajari lebih dulu substansi dan konten maklumat KAMI. Jadikan konten itu sebagai tema diskusi. Adu data dan analisis yang jauh akan lebih konstruktif. Memberikan referensi yang baik dan dapat mencerdaskan rakyat. Tapi, jika yang disoal adalah organisasi gerakan dan para tokohnya saja. Apalagi dengan cara menyeebar fitnah, dan sibuk membuat tuduhan, maka hal ini hanya akan menjauhkan bangsa dari substansi persoalan yang sedang dihadapi. Tahu-tahu sudah krisis saja. Tahu-tahu bangkrut saja. Tahu-tahu meledak dan terjadi gejolak sosial saja. Tahu-tahu dan kemungkinan-kemungkinan itu dan inilah yang jauh lebih berbahaya untuk bangsa ini nantinya. Karena itu, gerakan seperti KAMI dan sejenisnya perlu hadir sebagai alarm. Sebelum negara ini semakin terpuruk dan terlambat untuk diatasi permasalahannya. Ada ungakapan, "orang bodoh selalu melihat siapa yang bicara. Orang pintar selalu melihat apa (konten) yang dibicarakan. Dan orang beradab selalu melihat nilai (value) di balik konten yang dibicarakan". Nah, silahkan pilih sendiri, anda mau masuk ke kelompok mana? Supaya tidak dianggap masuk yang "bodoh", maka sebaiknya semua pihak mestinya melihat maklumat KAMI sebagai tema diskusi kebangsaan hari ini. Dari sinilah rakyat belajar dan bagaimana ikut ambil peran menghadapi persoalan negaranya. Dalam konteks ini, nampaknya KAMI lebih siap untuk beradu gagasan dan data. Kesiapan itu terlihat dari kredibilitas para tokohnya yang tampil ke permukaan. Soal ekonomi, ada Said Didu, Ichsanuddin Noersy, Budhiyanto dan Didik J. Rachbini. Ekonom Rizal Ramli, kendati tak berada di struktur KAMI, tapi selalu mendukung dan satu pandangan dengan KAMI dalam analisis ekonominya. Soal Hukum, ada Refly Harun, Abdullah Hehamahua, Joko Edy, Ahmad Yani dan sejumlah advokat. Soal politik, ada Gatot Nurmantyo, Husnul Mariyah, Ubaidillah Badrun, Bachtiar Hamzah dan Tamsil Linrung. Soal Sumber Daya Alam ada Marwan Batubara yang aktif menulis tentang persoalan minerba. Soal sosial budaya, ada Din Syamsuddin, Rachmat Wahab, dan Jeje Zainuddin. Tokoh-tokoh yang jumlahnya ada 150 ini punya kapasitas di bidangnya masing-masing. Jumlah tokoh yang bergabung ke KAMI terus bertambah. Apalagi ada program KAMI berbasis profesi. Kabarnya akan lahir KAMI mahasiswa, KAMI kedokteran, KAMI advokat, KAMI purnawirawan, KAMI buruh, KAMI petani, KAMI nelayan, dan KAMI-KAMI yang lain. Jika ini terealisir, tentu akan menjadi potensi yang besar untuk berkontribusi kepada bangsa, sesuai bidang masing-masing. Pemerintah bisa manfaatkan mereka sebagai sparing partner dalam membangun gagasan dan kebijakan. Bukan sebaliknya, sibuk mencari kesalahan dan melakukan pembunuhan karakter terhadap para tokohnya. Itu prilaku picik, amatiran, kacangan, kaleng-keleng, odong-odong dan beleng-beleng. Tentu, ini tidak baik bagi proses pembelajaran politik dan demokrasi kita. Pemerintah dan DPR mestinya berterima kasih kepada para tokoh dan anak bangsa yang ikut membantu secara aktif menyelamatkan Indonesia dari krisis, terutama ekonomi, hukum dan politik. Mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap bangsa dan negaranya. Dengan jiwa nasionalismenya, gerakan semacam KAMI inilah yang dapat mencegah terjadinya deviasi, distorsi dan disorientasi pengelolaan negara, dari nilai dasar dan cita-cita bangsa. Terutama di tengah DPR yang sedang kehilangan spiritnya untuk menjalankan tugas kontrolnya. Jangan justru sebaliknya, pemerintah malah merasa gerah dan berupaya mengganjal KAMI. Nggak lucu kalau kemudian pemerintah mangambil sikap oposisi terhadap KAMI. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Mengapa Megawati Juga Cemas Melihat KAMI?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (27/08). Kehadiran KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) semakin berdampak serius. Baru seminggu mendeklarasikan diri, eskalasi kecurigaan dan kecemasan berlangsung sangat kencang. Setelah dikeroyok oleh para politisi yang kehabisan ide, kemarin KAMI ‘dihajar’ oleh seorang politisi ‘heavy weight’ (kelas berat) yang ikut juga turun gunung. Giliran Megawati Soekarnoputri melibas KAMI. “Di situ kayaknya banyak banget yang kepengin jadi presiden," kata Bu Mega menyindir KAMI. Komentar seperti ini terasa ‘childish’. Kekanak-kanakan. Tak sepantasnya meluncur dari seorang politisi senior sekelas Bu Mega. Tapi, begitulah KAMI mengubah suasana psikologis para politsi. Rata-rata mereka terusik. Gerakan moral KAMI dilihat sebagai ancaman. Bagi KAMI, ucapan Mega di depan para kader seniornya, Rabu (26/8/2020), merupakan tambahan imunitas dalam menghadapi banyak lagi gempuran dari kalangan yang selama ini tak pernah ‘diganggu’ oleh gerakan moral. Selama ini, mereka bisa sesuka hati melakukan apa saja untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Begitu KAMI muncul, semua orang yang merasa sebagai pemilik Indonesia langsung mencak-mencak. Bu Mega wajar-wajar saja mengeluarkan sindiran soal jabatan presiden. Sebab, dia pastilah sedang berpikir keras agar posisi presiden bisa, suatu hari nanti, kembali lagi ke tangan keturunan Soekarno. Bu Mega sedang berusaha agar anaknya, Puan Maharani, bisa merintis jalan menuju ke RI-1. Skenario kasar itu mudah dibaca. Tetapi tidak mudah untuk dijabarkan. Indonesia ini tidak bisa lagi dipimpin oleh seorang selebriti. Yang setiap saat hanya mengandalkan lakon-lakon populis palsu. Rakyat dan negara tidak memerlukan itu lagi. Yang sangat dibutuhkan adalah seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas. Dan tidak cukup hanya itu. Dia harus juga berkapasitas. Indonesia sedang rusak berat di semua aspek: ekonomi, sosial, politik, dan hankam. Kerusakan itu tidak main-main. Proses rehabilitasi kerusakan memerlukan pemimpin yang visioner, karismatik, dan pantas disebut ‘ideologist’ (ideolog). Sebab, bangsa dan negara ini sedang dilanda kehancuran moral ekonomi, moral bisnis, moral politik, moral sosial, dan moral hukum. Selain itu, negara juga sedang mengalami penurunan drastis dalam sistem pertahanan dan keamanan. KAMI hadir untuk menyadarkan rakyat tentang kerusakan multi-dimensi itu. Agar rakyat tahu apa yang harus dilakukan. Mohon maaf, hari ini kita semualah yang harus menggantikan fungsi elit pemimpin yang seharusnya memberikan ‘lead’ (arah) perjalanan bangsa. Tetapi, sayangnya, kepemimpinan (leadership) itu sedang kosong. Yang banyak adalah buzzer-buzzer bayaran yang bekerja untuk meyakinkan publik bahwa negara ini dipimpin oleh orang yang hebat. KAMI melihat adanya ancaman kekacauan internal dan ekspansionisme asing yang cederung diremehkan oleh para pemimpin. Diremehkan hanya karena ketiadaan visi dan kecendekiaan mereka. Semua mereka diasyikkan oleh tuntutan dan peluang untuk menumpuk kekayaan. Tuntutan itu besar dan peluangnya juga terbuka lebar. Inilah yang mereka urus setiap hari. Mereka sadar bahwa mereka memiliki kuasa dan berbagai perangkat untuk memperturutkan keasyikan itu. Mereka membuat regulasi sesuai dengan keinginan rakus mereka. Dan itu semua didukung dan disukseskan oleh lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya berfungsi untuk mencegah kesewenangan. Ketika KAMI hadir dan langsung mempersoalkan itu, pastilah muncul reaksi yang sumbang. Sebab, para elit di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan bisnis merasa gerakan KAMI akan menghadang mereka. Boleh jadi, Bu Megawati melihat KAMI seperti itu. Yakni, melihat gerakan moral KAMI sebagai penghalang kerakusan. Semoga saja tidak begitu pikiran Bu Mega. Ketua Komite Eksekutif KAMI, Ahmad Yani, mengatakan prasangka Bu Mega bahwa KAMI ingin mengincar jabatan presiden adalah pikiran politik rendahan. Yani membantah itu. Harus diakui bahwa KAMI memang sangat khawatir melihat ‘leadership’ Presiden Jokowi. Sebab, kondisi morat-marit dalam pengelolaan negara saat ini seratus persen berpangkal di tangan Presiden. Tetapi, tidak berarti KAMI harus merebut posisi presiden sebagaimana disimpulkan secara sempit dan kekanak-kanakan oleh Bu Megawati. Ada kemungkinan Bu Mega belum paham betul tentang misi KAMI. Sesuai namanya, KAMI hanya ingin menyelamatkan Indonesia. Termasuklah “menyelamatkan” Presiden Jokowi agar tidak dikejar-kejar oleh sekian banyak kebijakan blunder yang dia terapkan. Jadi, KAMI tidak bermaksud membuat Bu Mega cemas sepanjang beliau juga ingin menyelamatkan bangsa dan negara. Bukan menyelamatkan rencana pribadi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Presiden Dilarang Membual

by Dr. Margarito Kamis SH.M.Hum Jakarta FNN – Rabu (26/08). Peradaban manusia, yang di dalamnya termasuk peradaban hukum dan politik telah menulis takdirnya sendiri. Sesederhana apapun kehidupan itu, begitu takdirnya, selalu jatuh dalam kebutuhan untuk diorganisasikan. Langkah pengorganisasian itu dirangsang oleh banyak mimpi. Mimpi-mimpi itu semuanya indah. Tetapi seindah-seindahnya semua mimpi itu, tak lebih indah dari mimpi diperlukannya seorang saja sebagai pemimpin. Sekali lagi seorang saja. Bukan dua orang. Mengapa bukan dua, apalagi banyak orang? Begitu dua orang menjadi pemimpin dalam satu organisasi, maka kekacauan menjadi hasil yang pasti menyertai organisasi itu disepanjang waktu. Kekacauan itu jelas sejelas matahari mengawali sapaannya kepada dunia dari timur. Kasian Rakyat Tidak banyak yang dibicarakan tentang orang macam apa yang dapat menjadi presiden. Ini patut dikenali. Tetapi dari tidak banyak itu, terdapat dua hal hebat yang layak dipertimbangkan. Pertama, presiden harus dipilih. Kedua, presiden bukan malaikat. Dia punya kelemahan akal budinya, terlepas dari bobotnya dan siapapun orangnya. Mengandalkan “pemilihan” bukan penunjukan. Apalagi diwariskan sebagai cara menemukan seseorang menjadi presiden, diyakini sebagai cara tepat memperoleh orang yang masuk akal memegang kekuasaan menjalankan hukum. Kekuasaan inilah yang disebut kekuasaan pemerintahan. Berjualan ide. Begitu orang-orang yang berhasrat jadi presiden. Itu untuk meyakinkan masyarakat pemilih. Padahal acapkali jualan ide menjadi bualan. Tetapi dengan membual itulah dia terlihat secara transparan. Tetapi setransparan apapun, selalu ada yang disembunyikan. Selalu ada bualan dalam setiap aspeknya. Bisakah dikoreksi sesudah si kabualan itu jadi presiden? Tidak bisa. Sistem didunia ini tidak menunjuknya sebagai alasan hukum dan politik memberhentikannya. Jadi? Membuallah sehebat-hebatnya pada saat balapan capres. Bualan-mualan itu, idealnya harus dihentikan bersamaan dengan dirinya resmi menjalankan pemerintahan. Setidak-tidaknya tidak boleh lagi muncul pernyataan yang tidak memiliki pijakan fakta dan rasio. Juga tidak boleh muncul pernyataan yang satu dan lainnya saling menyangkal. Mengapa presiden harus berhenti membual dalam menjalankan pemerintahannya? Dalam kedudukanya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, semua tindakan presiden memiliki nilai. Setiap katanya dinilai otoritatif. Dalam kedudukan itu, presiden juga dinilai secara politik untuk disamakan dengan kepastian. Masa depan negara, postur politik di panggung internasional, tercermin dari setiap kata-katanya. Satu saja pernyataan yang dinilai tidak masuk akal, segalanya bisa berubah. Dunia ekonomi akan bergejolak. Pasar uang dan pasar saham bisa bergelombang naik atau terjun bebas hanya dengan satu kata dari presiden. Relasi sosial juga akan terguncang kencang hanya dengan satu kata presiden. Kekayaan negara dan aset perusahaan bisa turun ke dasar hanya dengan satu kata dari preiden. Hubungan dan diplomasi internasional bisa memburuk hanya dengan satu kata presiden. Presiden haruslah manusia paling cerdas di negara dalam penggunaan setiap penggal kata yang keluar dari mulutnya. Presiden jangan sampai asal bicara. Begitu aturan tidak tertulis yang mutlak untuk dipahami seorang presiden. Body language presiden itu punya makna sangat yang tinggi terhadap nasib rakyatnya. Kasian negara kalau presiden sampai asal-asalan. Presiden harus pandai menemukan pijakan faktual. Presiden juga harus, bahkan mutlak pandai merangkai fakta itu. Fakta yang telah dirangkai itu harus disajikan dengan kalimat yang tepat. Diksinya harus bernilai dan berkelas. Kalau presiden hendak mengeritik lawan-lawanya, pilihan diksinya yang harus menjelaskan kelasnya sebagai politisi top. Politisi kelas dunia. Bukan sebagai politisi yang abal-abal. Tak boleh membual, sekecil appun bualannya itu, dan dalam situasi apapun. Terlalu besar konsekuensinya. Bukan saja perkara bualannya itu, bisa menandai dirinya tak kompeten, tak bermutu, dan tak memiliki dari aspek kapasitas dan kapabilitas. Tetapi efeknya itu. Sangat bahaya bila presiden membual. Jangan, jangan itu terjadi. Kasian negara dan rakyat. Republik Melarang Menginginkan dengan sangat untuk meyakinkan sesuatu yang positif terjadi, tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi, mungkin tidak dapat dinilai sebagai bualan. Menginginkan pertumbuhan ekonomi 7% dan kurs Rp 10.000 per dollar misalnya, tetapi dalam kenyataannya justru negatif sekian persen, mungkin juga tak bisa untuk sebagai disebut bualan. Berhasrat kuat mengubah pandemi corona menjadi peluang, dan melakukan lompatan jauh untuk menggenggam masa depan yang gemilang, itu hebat. Kalaupun dalam kenyataan, Indonesia hari ini sedang berupaya dan bekerja keras untuk mengimpor vaksin dari China, mungkin tak dapat dinilai sebagai bualan. Boleh jadi itu malah bagus. Itu malah dapat dilihat sebagai postur kongkrit tanggung jawab Presiden. Risikonya Indonesia jadi pasar vaksin China. Dan dalam skema itu Indonesia harus bayar patennya. Yang terakhir ini yang menjadi soal Pak Presiden. Sudah jadi pasar China, eh harus bayar pula patennya lagi. Tragis nasib bangsa ini. Bahwa korporasi-korporasi China mendapatkan untung. Itu memang logis. Negara itu memang menjadikan Marxisme sebagai fundasi politiknya, tetapi tidak untuk urusan untung. Urusan ini, China jagonya. Apa boleh buat. Toh Indonesia baru mampu menyerap anggaran penanganan Corona dan PEN tak lebih dari 45,69% dari pagu anggaran Corona dan PEN per 19 Agustus 2020. Sebagian PEN malah belum ada DIPA-nya (Lihat CNN Indonesia, 25/8/2020). Indonesia harus realistis. Juga harus bisa rendah diri. Ini memang bisa ditertawakan. Bahkan bisa diolok-olok, karena bertolak belakang dengan hasrat, entah serius atau tidak dari Presiden sendiri. Berhasrat mengubah tantangan pandemi ini menjadi kesempatan besar untuk meraih kemajuan, melakukan lompatan besar ke depan, tetapi jatuh di tengah keharusan mengimpor vaksin dari China. Apa boleh buat. Amerika yang top, jago dalam banyak hal, cemerlang dalam hal inovasi, sejauh ini belum menemukan vaksin anti corona. Apalagi Indonesia yang selalu kedodoran, tertatih-tatih dalam lomba inovasi. Ingat mobil Esemka? Mobil yang dipropagandakan sebagai mobil nasional itu, sejauh ini seperti barang bualan. China hebat, tanggap dan cekatan bergerak memenuhi kebutuhan Indonesia. China mungkin tahu Indonesia terkenal tahu diri. Harus selalu siap sedia menyediakan kebutuhan China. Indonesia akan cekatan menyediakan kebutuhan China untuk memperlancar investasinya. Presiden dan DPR sedang habis-habisan sediakan berbagai fasilitas investasi. Presiden dan DPR menyiapkan RUU Omnibus Cipta Kerja. Dalam RUU ini, telah disediakan pasal yang memberi kewenangan Presiden mengubah pasal-pasal dalam UU dengan Peraturan Pemerintah (PP). Itu ditulis dalam pasal 170 RUU Omnibus. Andai sukses, Presiden dan DPR secara bersama-sama membinasakan tatanan bernegara berdasarkan UUD 1945. Kelak presiden, siapapun orangnya, dengan pasal itu akan menjadi figur yang powerfull. Bahkan presiden dengan kewenangan baru itu, layak disamakan dengan raja-raja absolut abad ke-17. Apalagi bila partai-partai tetap mengelompok sedemikian rupa seperti saat ini. Partai saat telah menampilkan ciri layaknya partai tunggal. PKS dan Partai Demokrat, terbukti kalah canggih dari bekerjanya liberalisme ganas yang menghasilkan pengelompokan itu. Presiden memang tidak sedang membual dengan tekadnya menyajikan lingkungan persaingan terbuka dalam semua aspek. Tekad ini terlihat telah bekerja secara efektif. Semua orang bisa bersaing. Anaknya dan menantunya sendiri pun berhak bersaing menjadi calon walikota Solo dan Medan, kampung halamannya sendiri. Itu juga hebat. Tekad itu terlihat tak terkontrol. Pandangan itu mengandung bahaya ganas yang tersembunyi. Mengapa? UMKM, mau atau tidak, suka atau tidak, harus bersaing terbuka dengan korporasi. Ini bahaya tipikal kapitalisme yang ganas itu. Juga tak seirama dengan pasal 33 UUD 1945. Membahayakan demokrasi? Ya, untuk demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal yang impor. Demokrasi liberal terlalu kaya dengan bualan-bualan, yang setiap aspeknya canggih. Penyesatan adalah salah satunya. Penyesatan itu bualan. Tetapi secanggih itu sekalipun demokrasi liberal, nurani republik melarang presiden, siapapun orangnya untuk membual. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate

Kilometer 24 Itu Masih Sangat Jauh

by Asyari Usman Jakarta FNN - Rabu (26/08). Ada-ada saja. Dan cukup kreatif. Tahun 2024 disebut “Kilometer 24” (Km-24). Perjalanan politik dari sekarang sampai pilpres 2024 diibaratkan seperti menempuh jarak dengan sukatan kilometer (Km). Sebutan “Kilometer-24” dimunculkan dalam konteks masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2024. Belakangan ini beredar teori-teori yang mempertanyakan tentang kemungkinan Jokowi bisa menyelesaikan jabatannya. Banyak yang ragu. Mengingat krisis ekonomi yang akan semakin parah. Dalam satu diskusi tak resmi belum lama ini di komplek restoran Nusa Dua, Senayan, seorang mantan anggota DPR-RI mengatakan, “Kilometer 24 itu masih sangat jauh. Belum tentu Jokowi bisa sampai ke sana.” Beliau kemudian melanjutkan, “Untuk apa bicara Km-24, sampai tahun depan saja berat.” Diskusi semakin panas. Tapi, panasnya hanya tinggi-tinggian suara saja. Bukan adu argumentasi. Semua yang ada di situ sepaham. Artinya, mereka yang duduk di “meja bundar” itu sama-sama yakin Jokowi akan menghadapi masalah besar. Masalah berat itu berpangkal dari resesi ekonomi. Pertumbuhan negatif besar. Bisa minus 10% atau lebih sebagaimana diprediksikan oleh para pakar ekonomi. Kemudian, pertumbuhan minus besar itu akan memuntahkan krisis multi-dimensi. Krisis politik adalah salah satu dimensi yang bisa membahayakan posisi Jokowi. Mengapa? Karena berbagai masalah krusial yang menumpuk di meja Presiden, bisa bergumpal menjadi kekuatan yang berpotensi menjatuhkan beliau. Krisis besar perekonomian hampir pasti akan melebar ke politik. Logis. Karena, rakyat yang dilanda masalah ekonomi akan langsung mempertanyakan kemampuan Presiden Jokowi memimpin negara. Rakyat akan mempersoalkan apakah Jokowi masih sanggup mengelola negara atau tidak. Kalau krisis ekonomi sangat dalam, maka aksi-aksi spontanitas rakyat otomatis akan diarahkan ke eksekutif tertinggi. Ada semacam “mosi tak percaya”. Dan itu semua tertuju ke Presiden. Begitulah karaterisik krisis ekonomi skala besar. Di mana pun juga. Tidak hanya di Indonesia. Para pemegang kekuasaan tertinggi akan selalu memikul tanggung jawab penuh dan tunggal. Perekonomian yang amburadul tidak mungkin disorot tanpa mengusik kepala pemerintahan. Kesalahan tidak bisa ditimpakan hanya kepada para menteri bidang perekonomian. Tidak cukup pula hanya diterapi dengan perombakan kabinet (reshuffle). Utang yang menumpuk, kebangkrutan bisnis di mana-mana, kesulitan lapangan kerja, pengangguran yang berlipat-lipat, ‘capital flight’ besar-besaran, dlsb, menunjukkan bahwa keseluruhan pemerintahan dililit masalah berat. Itu artinya ada persoalan besar dalam pengelolaan negara. Ada masalah kepemimpinan. Ada problem serius di tingkat eksekutif tertinggi. Mau tak mau posisi presiden atau perdana menteri disorot dari segala arah. Eksekutif tertinggi harus siap menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan menjadi fokus sorotan kekuatan oposisi dan masyarakat sipil (civil society). Termasuk media mainstream yang independen. Kembali ke Indonesia, krisis politik yang bersumber dari krisis ekonomi biasanya akan sangat mudah berkobar menjadi besar. Apalagi, Presiden Jokowi sudah banyak menumpuk masalah. Akumulasi masalah itu pasti akan bergemuruh dalam proses fermentasinya. Dan tekanan di dalam akumulasi itu bisa sangat tinggi. Sebut saja beberapa ramuan yang menjadi beban Jokowi. Yaitu, janji-janji yang jauh dari terpenuhi. Kemudian, nepotisme yang cepat berkembang biak dan menjalar luas ke segala arah. Nepotisme itu antara lain tampak dari bagi-bagi jabatan komisaris BUMN kepada para komandan pendukung. Atau, alokasi posisi senior seperti wamen, dirjen, komisioner, dll. Juga nepotisme dalam bentuk ambisi anggota keluarga. Tumpukan masalah yang menggunung itulah yang diperkirakan oleh “para pakar” meja bundar Nusa Dua akan menyulitkan perjalanan Jokowi menuju Kilometer 24. Ibarat mengendara di jalan yang rusak berat. “Kilometer 24 itu masih jauh,” kata mantan anggota DPR mengulangi ucapannya. Dialah yang bertindak sebagai moderator dan ‘dominator’ diskusi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Ahok Komut, Pertamina Untung Jadi Buntung

by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Rabu (26/08). Sepanjang semester 1-2020 Pertamina mencatat rugi bersih Rp11,3 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya, BUMN ini meraup laba Rp38,5 triliun. Ini terjadi ketika Ahok didapuk menjadi Komut Pertamina. Padahal, waktu mengangkat Si Mulut Jamban ini, Eric Tohir mengatakan Ahok ditugaskan untuk mendobrak dan menyikat mafia migas. Dia juga diharapkan bisa mempercepat pembangunan kilang. Sampai kini, publik tidak mendengar ada satu pun mafia migas yang diberangus. Soal pembangunan kilang, setali tiga uang pula. Jangankan dibangun, kabarnya sayup-sayup pun tak terdengar. Soal Ahok yang tegas dan berani, itu hanya mitos yang dibangunnya dengan media. Yang benar, manusia ini hobi marah-marah dan membentak-bentak. Mulutnya kasar. Ucapannya kotor hingga dia juluki Si Mulut Jamban. Di awal penugasannya, Ahok sesumbar, bahwa merem saja Pertamina bisa untung. Tapi memang harus diawasi. Dengan arogan dia juga mengklaim, penugasannya itu untuk mengembalikan uang Pertamina. Kini faktanya dia justru membuat Pertamina kehilangan uang. Soal memperbaiki kinerja keuangan Pertamina, alih-alih mempertahankan apalagi meningkatkan laba, yang terjadi justru Pertamina dihantam rugi sangat besar, Rp11,3 triliun. Jangan jadikan pandemi Covid-19, situasi global atau yang lainnya sebagai dalih untuk menutupi kelemahan dan ketidakbecusan. Banyak perusahaan minyak dunia lainnya masih bisa memetik untung, kok. Sebut saja, Sinopec Cina. Labanya justru naik dari 14,76 miliar yuan jadi 19,78 miliar yuan. Lalu, Shell Belanda. Labanya memang turun dari US$3,5 miliar, tapi tetap masih untung US$2,9 miliar. Bahkan Petronas, juga masih mencetak laba US$4,5 miliar, walau turun dari Laba US$14,2. Jadi, tidak perlu mencari-cari justifikasi untuk menutupi ketidakmampuan. Apalagi, selama berbulan-bulan harga minyak dunia anjlok, Pertamina tetap menjual BBM di dalam negeri dengan harga tinggi. Sebaliknya di banyak negara lain, harga jual BBM mereka di pasar lokal dipangkas gila-gilaan. Di Malaysia, harga BBM selevel Pertamax cuma dibanderol Rp4.250/liter. Di AS, BBM setara premium cuma dijual Rp2.500/liter. Berbekal serenceng fakta tersebut, Ahok sama sekali tidak layak menjadi Komut Pertamina. Terlebih lagi rekam jejaknya selama di DKI amat buruk. Dia diduga kuat terlibat sejumlah kasus korupsi senilai ratusan miliar. Skandal Bus Trans Jakarta, RS Sumber Waras, pembelian lahan milik DKI di Cengkareng, dan lainnya. Silakan baca buku _Korupsi Ahok_ karya Marwan Batubara. Jangan berdalih, korupsinya tidak terbukti di hadapan hukum. Bagaimana mau diadili dan terbukti, jika dipanggil untuk diperiksa saja tidak?! Bukan rahasia bahwa kejahatan manusia ini dilindungi kekuasaan. Eric Tohir harus bertanggungjawab. Dia musti segera mencopot Ahok. Eric tidak boleh membuat BUMN, apalagi Pertamina, makin babak-belur dan akhirnya hancur-lebur. Penulis adalah Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi)

Kejaksaan Agung: Kebakaran yang Ideal dan Sempurna

by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (25/08). Sabtu malam Minggu, jam 19.10. Hari libur. Dan dalam suasana Covid-19. Hampir pasti tidak ada yang bekerja. Pada saat itulah kebakaran dahsyat melenyapkan gedung Kejaksaan Agung. Inilah kebakaran yang ‘ideal’ dan ‘sempurna’. Ideal, dalam arti tidak ada korban jiwa. Yang korban ‘hanya’ berkas-berkas perkara saja. Sehebat apa pun berkas perkara itu akan dianggap ‘tak penting’ dibanding korban jiwa. Sempurna, dalam arti kobaran api leluasa merambat ke segala penjuru. Memangsa semua yang “diinginkan” api. Sempurna, juga dalam arti gedung yang ‘penuh kenangan indah’ bagi para VIP yang sering nongkrong dan berbagi macam-macam hal di situ, kini hanya tinggal tulang-belulang. Alhamdulillah, tidak ada korban nyawa dalam peristiwa 22 Agustus 2020 itu. Syukur sekali, Allah SWT “pilihkan” itu terjadi pada hari Sabtu. Bukan hari kerja. Kalau pun ada yang masuk, tentu tidak banyak. Andaikata ada yang masuk kerja Sabtu pagi itu, diperkirakan mereka sudah pulang semua sebelum malam tiba. Apalagi, Jakarta masih bergelut dengan Covid-19. Pastilah protokol ketat berlaku juga di Kejaksaan Agung. Hebat sekali “pilihan” Tuhan itu. Bayangkan kalau kebakaran terjadi pada hari kerja dan siang hari pula. Selasa atau Jumat, misalnya. Mungkin ratusan orang ada di gedung itu. Besar kemungkinan ada korban jiwa. Sangat menarik untuk merenungkan “pilihan” Tuhan ini. Pada hari Sabtu malam kebakaran dahsyat itu berkecamuk. Boleh jadi, libur itu menyebabkan tidak banyak ‘property’ penting Kejaksaan yang bisa diselamatkan. Kabarnya, memang tidak ada yang terselamatkan atau diselamatkan. Para penguasa Kejaksaan pantas bersyukur tak putus-putus karena kebakaran itu “dituliskan” Allah terjadi di hari libur. Luar biasa ‘kasih sayang’ Allah kepada orang-orang Kejaksaan Agung. Allah turunkan musibah itu ketika semua pegawai, tinggi dan rendah, tidak masuk kerja. Tidak salah kalau dikatakan ‘doa’ para petinggi Kejaksaan selalu didengar. Mungkin juga doa mustajab orang-orang yang ‘terzolimi’. Misalnya, orang seperti Tuan Joko Tjandra. Beliau ini bisa disebut sebagai orang yang ‘terzolimi’. Mengapa? Karena Tuan Joko terkenal sangat baik. Pemurah. Dermawan. Suka dan cepat bagi-bagi rezeki. Tapi, tiba-tiba sekarang dia ‘dimusuhi’ oleh orang-orang yang dekat dengannya. Dijebloskan ke penjara. Cuma, memang perlu dikorfirmasikan dulu apakah dia benar mendekam di penjara. Ketika perkara si Tuan mau dibongkar habis dan dia dimasukkan ke tahanan, tentu itu termasuk bentuk penzoliman kepada JT. Barangkali saja beliu berdoa agar ‘kasus zolim’ itu bisa lenyap. Benar saja. Kasus Tuan Joko dilenyapkan pada hari Sabtu. Tanpa korban jiwa. Sekarang, kita menunggu hasil investigasi Pak Polisi. Untuk membuktikan apakah musibah di Kejaksaan Agung itu kebakaran ‘pilihan’ Tuhan. Ataukah mirip cerita-cerita Bollywood yang selalu serba kebetulan. Selalu rapi, timely, dan dengan presisi yang tinggi. Ingat, jangan berspekulasi. Curiga dan menduga tentu boleh-boleh saja. Dilindungi oleh UU. Tapi, lebih baik Polisi kita beri kesempatan untuk mendalami kebakaran yang ‘tematis’ dan ‘sistematis’ itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Sinovac, Vaksin Merdeka yang Tidak Merdeka!

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Selasa (25/08). “Vaksin Merdeka”. Begitu judul tulisan Dahlan Iskan (DI) di Disway.id, Minggu (23 August 2020). Berita baik minggu ini datang dari Hainan. Menteri BUMN Erick Thohir dan Menlu Retno L.P. Marsudi terbang ke kota Sanya. Itulah 'Pantai Kuta'-nya pulau Hainan. Di situ mereka bertemu Menlu Tiongkok Wan Yi. Perjanjian awal pun ditandatangani: Indonesia bisa membeli 50 juta ampul vaksin Covid-19 dari Sinovac pada Januari 2021. Memang, berita media tidak rinci: apa yang disebut membeli 50 juta ampul itu. Bukankah Bio Farma Bandung bisa memproduksi sendiri – berdasar perjanjian dagang antara Sinovac dengan Bio Farma. Kemungkinan Indonesia ingin lebih cepat mendapat vaksin itu. Tanpa menunggu Bio Farma. “Yang baru bisa berproduksi setelah hasil tes klinis tahap 3 disahkan BPOM,” tulis Mas DI. Mas DI menyebutkan, di Tiongkok (China) uji klinis tahap 3 itu sudah dilakukan lebih dulu. Tiongkok sudah bisa memproduksinya lebih awal. Ketika yang 50 juta itu habis dipakai tepat ketika Bio Farma sudah diizinkan mulai memproduksi. “Saya memperkirakan seperti itu,” tulisnya. Kemungkinan lain, lanjut Mas DI, selama ini uji klinis tahap 3 di Bandung tersebut belum disertai perjanjian dagangnya. Maka di pertemuan Hainan itulah Bio Farma mulai mendapat hak memproduksi 50 juta. Juta-juta berikutnya akan dibicarakan kemudian. “Terutama berapa yen yang harus dibayar Bio Farma ke Sinovac untuk setiap satu juta ampulnya. Kemungkinan yang mana pun tidak ada masalah. Saya anggap itu sebagai langkah cepat yang harus dilakukan,” lanjutnya. “Ups.... Akhirnya saya mendapat konfirmasi dari Bio Farma. Kemarin. Ternyata kemungkinan pertama itu yang benar. Pembelian 50 juta unit itu semata-mata karena di sana sudah boleh diproduksi,” ungkap Mas DI. Sedang untuk bisa produksi di Indonesia masih harus menunggu hasil uji klinis tahap 3 yang di Bandung itu. Juga masih harus menunggu izin edar dari BPOM. Berarti akan ada kiriman 50 juta unit vaksin langsung dari Tiongkok. Kiriman itu, menurut Iwan Setiawan, dalam bentuk bulk. Bukan dalam bentuk botol-botol kecil. Iwan adalah Kepala Departemen Komunikasi Bio Farma. Kiriman itu dilakukan secara bertahap mulai tiga bulan lagi. “Di November 10 juta unit. Desember 10 juta. Januari, Februari dan Maret masing-masing 10 juta,” ujar Iwan. Setelah vaksin itu tiba di Bandung, Bio Farma melakukan pembotolan dan seterusnya. “Jadi akan ada untuk komponen dalam negerinya,” ujar Iwan. Bio Farma, baru akan memproduksi sendiri setelah uji klinik tahap 3 selesai dievaluasi dan dinyatakan berhasil. “Maka membeli dulu dari Tiongkok itu saya anggap langkah yang sigap. Saya salut tim Erick Thohir mampu menemukan jalan kuda itu. Dirut Bio Farma Honesti Basyir sampai hari ini masih di Tiongkok. Untuk bisa bertemu langsung Sinovac di tengah pandemi,” tulis Mas DI. Pertemuan dua menteri Indonesia dengan Menlu Tiongkok sendiri memilih tempat di Hainan. Pilihan yang tepat. Hainan hanya 3,5 jam terbang langsung dari Jakarta. Dengan pesawat carter. Mereka bisa langsung balik ke Jakarta hari itu juga. Tanpa harus bermalam di sana. Mas DI pun memuji Erick Thohir. “Gerak cepat itu memang menjadi ciri khas orang seperti Erick Thohir. Apalagi pemerintah sudah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan antara 4,5 sampai 5 persen. “Angka yang sangat optimistis. Saya sampai terkaget-kaget. Berarti prioritas vaksinasi nanti harus dikaitkan dengan sektor-sektor ekonomi: para karyawan pabrik, para pramugari dan awak angkutan, komunitas pasar, dan seterusnya,” ungkapnya. Siapa pun yang diprioritaskan tetap saja baik untuk semua. Dengan 40 juta orang yang akan divaksinasi berarti potensi penularannya juga turun.Sejauh ini isu negatif yang sempat ramai sudah reda. Tidak ada lagi isu halal-haram. Tanpa harus terjadi caci-maki. Mas DI juga mengungkapkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama Pangdam Siliwangi dan Kapolda Jabar telah mendaftar sebagai Relawan Uji Klinis Tahap III di Bandung pada Selasa, 25 Agustus 2020. Gubernur yang akrab dipanggil Kang Emil itu merasa sudah mendapat penjelasan lengkap mengenai konsekuensi menjadi relawan. Termasuk harus menjalani dua kali suntikan. Ia merasa aman-aman saja. Kenapa harus dua kali? “Karena vaksin ini bukan dari virus Covid-19 yang dilemahkan, tapi dari virus yang dimatikan,” katanya. Itulah penjelasan yang ia terima. Maksudnya: vaksin ini lebih aman. Sejauh ini di Tiongkok sendiri belum ditemukan efek negatif dari vaksin ini. Berarti nantinya Bio Farma harus memproduksi 2 kali lebih banyak dari jumlah orang yang harus divaksinasi. Kalau pun Erick kini juga lagi bicara dengan dua perusahaan vaksin Tiongkok lainnya, bukan berarti meragukan Sinovac. Itu semata-mata melihat kemampuan produksi pabrik vaksin. Yang tidak akan sebesar keperluan seluruh dunia. Bio Farma bukan baru sekali ini bekerjasama dengan Sinovac. Di program vaksinasi polio, misalnya, Bio Farma juga bekerjasama dengan Sinovac. Saham Sinovac, yang sudah lama go public di pasar modal Nasdaq New York, mengalami kenaikan besar bukan di vaksin Covid-19 ini, tapi saat mulai memproduksi vaksin hepatitis A dan B dulu. Sedang nama Bio Farma ngetop saat memproduksi vaksin flu burung. Kini semua orang memang menunggu vaksin Covid-19 itu. Apalagi kalau melihat berita Harian DI's Way kemarin: kini di Beijing tidak wajib lagi pakai masker. Rasanya di bulan Agustus ini justru orang Beijing yang merdeka. Apa yang dinyatakan Mas DI dalam penutup tulisannya itu memang benar. Vaksin Merdeka lebih tepat untuk China. Tapi, Vaksin Merdeka yang Belum Merdeka itu untuk Indonesia. Itu fakta yang sebenarnya! *Belum Aman!* Jika memang Vaksin Sinovac yang siap Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Sebab, diantara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itulah pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Ingat! Virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, ternyata saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian. Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor ACE2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) saja, tetapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus artis Glen Fredly kemarin). Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Itu adalah fakta klinis yang ditemukan di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Perlu diingat, Covid-19 itu terjadi dan meledak sekitar 5-6 bulan lalu. Padahal, kalau tidak salah, fase membuat vaksin itu butuh waktu 12-18 bulan. Dari mana specimen virusnya itu diperoleh? Karena, kabarnya, basic dari vaksin ini adalah kasus SARS-Corona 5 tahun yang lalu, bukan Covid-19 ini. Apakah efektif untuk Covid-19? Bagaimana pula kalau sekarang ini varian baru yang telah ditemukan di Malaysia, Thailand, Philipina, yang kemampuannya 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19? Terutama mampu menyerang saluran pencernaan dan syaraf. Varian baru itu diberi Kode D614G. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Berharap Jokowi Jadi Negarawan Penyelamat NKRI

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Rabu (25/08). Ini Persoalan yang sangat serius. Jokowi kemungkinan akan menghadapi dua keadan yang sangat tidak mengenakkan. Tetapi, Jokowi bisa dikenang sebagai negarawan yang menjadi teladan generasi mendatang. Pikiranku masih saja terganggu. Penilaian Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), bahwa kehidupan bangsa dan negara sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya republik ini. Penyimpangan ini sesuatu yang sangat serius. Tidak bisa dipandang enteng alias sebelah mata. Sebab, ini berarti penyelenggara negara telah menyimpang dari Falsafah Negara, menyeleweng dari Pancasila. Berulang kali KAMI dalam maklumatnya, baik secara eksplisit maupun implisit, menuntut penyelengara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk mengembalikan penyelenggaraan dan pengelolaan negara pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sesuai Dekrit 5 Juli 1959. Khusus kepada Presiden, KAMI menuntut untuk bertanggungjawab sesuai dengan sumpah dan janji jabatannya. Mengelola negara meyimpang dari Pancasila? Itu adalah pengingkaran terhadap sumpah dan janji jabatan. Itu melalaikan kewajiban, melalaikan amanah rakyat atau dalam istilah agama disebut sebagai khianat. Itu betul-betul persoalan serius. Bicara Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan Republik Indonesia. Bukan pula Republik Indonesia Serikat. Haruslah merujuk pada pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bukan Pancasila lain, apalagi Pancasila 1 Juni 1945. Mengelola negara berdasarkan Pancasila yang bukan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah penyelewengan, penghianatan terhadap rakyat dan konstitusi. Mari kita simak ulang aline ke empat Pembukaan UUD 1945 ini. “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. “Sila-sila Pancasila” dalam alenia ke empat itu sesungguhnya adalah merupakan landasan negara untuk menjadi pedoman pemerintah menunaikan fungsinya, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jadi, Pancasila itu adalah amanah rakyat kepada negara untuk dilaksanakan pemerintah dalam upaya mencapai tujuan dibentuknya negara. Ini harus digaris bawahi. Dalam kata lain, pemerintah berkewajiban melaksanakan Pancasila. Ada pun rakyat, sebagai pemberi amanah, adalah mereka yang harus menerima manfaat dari hasil kerja pemerintah mengelola negara sesuai dengan Pancasila. Hal ini dipertegas oleh anak kalimat terakhir dari alenia ke 4 itu, yakni : ”...serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosia bagi seluruh rakyat Indonesia.” Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tentulah tugas Pemerintah Indonesia. Bukan rakyatnya. Rakyat, malah sebaliknya, berwenang mengawasi pemerintah dalam melaksanakan Pancasila. Lain dari itu, tanda baca “koma” di antara sila-sila Pancasila, juga kata sambung “dan” setelah Persatuan Indonesia dan “serta” sebelum sila “dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” menunjukan Pancasila adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahlkan. Dengan demikian, upaya memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah suatu yang terlarang dan adalah merupakan upaya merongrong Pancasila itu sendiri. Ini pula yang membedakannya dengan Pancasila 1 Juni 1945 (Pancasila rumusan pribadi Soekarno). Bagi rakyat, alat ukur untuk menilai apakah pemerintah sedang menjalankan pemerintahan berdasarkan Pancasila atau tidak, sederhana saja, yakni apakah rakyat mendapatkan hak-haknya. Kembali merujuk alenia ke empat, hak-hak utama rakyat adalah mendapatkan perlindungan dari negara. Mendapat kesejahteraan, mendapat pendidikan, mendapat keadilan sosial (termasuk berserikat dan mengeluarkan pendapat di muka umum) dan bebas menjalankan agama yang diyakininya. Jika rakyat merasa semua terpenuhi, berarti pemerintahan sudah on the tract. Tetapi kalau tidak, berarti terjadi penyimpangan. Begitu pulalah KAMI menilai jalannya pemerintahan akhir-akhir ini. Kesimpulan KAMI, Pengelola Negara telah menyeleweng dari Pancasila. Dalam konteks RUU HIP dan RUU BPIP, pengelola negara bukan saja tidak menjalankan Pancasila. Dengan RUU HIP, DPR bahkan ingin mengganti pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan Pancasila rumusan Pribadi Soekarno. Menurut KAMI, ini adalah upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI. Sementara RUU BIP dapat dipandang sebagai keinginan pemerintah untuk mengambil alih kewenangan rakyat sebagai pemberi mandat kepada pemerintah berupa Pancasila. Pemerintah ingin membentuk lembaga (pengganti rakyat) penafsir tunggal yang sah tentang mandat rakyat (Pancasila) itu. Maka, dengan ini rakyat bukan lagi menjadi pengawas pemerintah dalam menjalankan Pancasila, tetapi sebaliknya akan diawasi oleh pemerintah dengan Pancasila. Keadaannya menjadi terbalik, seolah-olah rakyatlah yang wajib menjalankan Pancasila. Pancasila menjadi alat pemukul bagi pemerintah terhadap rakyatnya ! Ngeri, akan berapa banyak lagi korban berjatuhan ? Memperhatikan betapa dahsyatnya kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang akan ditimbulkan oleh RUU HIP dan RUU BIP, itulah maka KAMI secara khusus menuntut yang berkenaan dengan kedua RUU ini. Tuntutannya adalah, agar pemerintah mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas pihak-pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi mengubah Dasar Negara Pancasila. Tetapi, persoalan besarnya adalah bagaimana tindak lanjut dari penyelewengan Pancasila yang dilakukan oleh pengelola negara itu? Sebagai bandingan dan sekaligus preseden, Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) dicabut status badan hukumnya oleh Kemenkumham karena dinilai tidak sesuai dengan Pancasila. Demikian juga Front Pembela Islam (FPI), mengalami persoalan perpanjangan tanda terdaftarnya karena alasan yang lebih kurang sama. Maka, bagaimana kalau penyelenggara negara –yang memang berkewajiban mengelola negara berdasar Pancasila, melenceng dari Pancasila ? Mengingat Pemerintah adalah penerima mandat dari rakyat, maka logikanya, rakyat berhak menarik mandat dan membubarkan pemerintahan yang melenceng dari Pancasila. Azas Contrarius actus sungguh tepat dijadikan alasan. Sebab tanpa mandat, siapa pun tak berhak memerintah rakyat. Inilah persoalan sangat serius yang mengganggu pikiranku. Amin Rais, dalam Risalah yang disampaikannya 13 Agustus 2020, menawarkan pilihan untuk Pak Jokowi : mundur atau terus. Ada 13 persoalan besar “prestasi negatip” pemerintahan Jokowi. Ya, jika ditilik ke 13-nya, lebih kurang samalah dengan penilaian KAMI. Kalau mau terus, kata Amin Rais, “bersihkan istana dari elemen-elemen yang merusak kehidupan Bangsa Indonesia”. Jokowi jelas berada pada posisi sangat sulit. “Membersihkan Istana” sekaligus mengusut pihak-pihak yang terkait dengan RUU HIP dan RUU BPIP serta memperbaiki keadaan seperti yang dituntut KAMI bukanlah pekerjaan gampang. Jokowi akan berhadapan keras dengan kekuatan besar yang ada dibalik layar, termasuk partai-partai pendukungnya. Meneruskan apa yang ada sekarang, dan mengabaikan tuntutan KAMI, Jokowi akan berhadapan dengan rakyat. Harus diakaui, dengan semaraknya dukungan dari seluruh tanah air, KAMI saat ini menjadi corong suara rakyat. Tampaknya, gerakan semacam itu akan terus tumbuh dan berkembang pesat. Dengan kondisi demikian, Jokowi akan menghadapi dua keadaan. Dimundurkan oleh pendukungnya, atau dimundurkan oleh rakyat-rakyat yang menyabut mandat dengan caranya sendiri. Dua-duanya jelas tidak mengenakkan. Maka, yang enak dan terhormat itu adalah mengundurkan diri. Mundur dengan kesadaran. Melepaskan diri dari terlibat dalam penyelewengan dan terlepas dari berhadapan dengan rakyat. Jokowi akan dikenang sebagai negarawan, menjadi teladan bagi generasi mendatang : Jokowi penyelamat NKRI. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Masyumi Reborn.

Cukup Bilang "Anti PKI" , PDIP Selamat

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (25/08). Tak sedikit yang curiga bahwa keturunan PKI dan masyarakat yang berupaya untuk hidupkan kembali faham komunisme telah memilih untuk berafiliasi ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kecurigaan ini muncul terutama setelah salah seorang kader PDIP menulis buku dengan berjudul, "Aku Bangga Jadi Anak PKI". Kecurigaan makin menguat ketika ada sejumlah pihak yang mendesak Jokowi atas nama kepala negara meminta maaf kepada PKI. Alasannya, PKI itu korban. Bukan pelaku. Beruntung saja, Jokowi menolak. Jika tidak, akan ada gejolak yang tak perlu terjadi. Belakangan, muncul lagi usulan fraksi PDIP atas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila(RUU HIP). Gagasan RUU ini mengusung Pancasila 1 Juni 1945, yang memperjuangkan Pancasila Trisila dan Ekasila. Juga menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 menjadi bagian dari konsederannya RUU HIP seperti anti klimaks terhadap kecurigaan itu. Jangan salah paham. Menuduh PDIP itu PKI tentu saja keliru. Tetapi, mencurigai bahwa ada orang-orang yang berpaham komunisme berdiam di PDIP memang tak mudah untuk dibuktikan secara hukum. Terlebih ketika hukum berada dalam kendali politik. Makanya, maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada poin kelima yang berisi tuntutan untuk mengusut tuntas konseptor dan pengusul RUU HIP nggak mudah untuk dipenuhi. Dengan kata lain “diabaikan atau didiamkan saja”. Tidak ada gelagat diproses oleh jajaran penegak hukum negeri ini. Dianggap seperti tidak ada tuntutan. Sebelumnya, keputusan Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) yang diselenggaran MUI di Pangkal Pinang Bangka Belitung, menuntut agar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibubarkan, juga tak dipenuhi. Malah sebaliknya, pemerintah justru mengeluarkan usulan RUU BPIP. Ini adalah tamparan keras terhadap MUI dan semua ormas yang mengikuti KUII. Sekaligus menunjukkan bahwa MUI tak cukup kuat untuk menekan penguasa negeri ini. Beberapa pekan ini, isu HIP mulai meredup. Meski RUU HIP belum dicabut dari prolegnas. Mungkinkah Pemerintah dan DPR sengaja mengulur waktu dan berupaya melunakkan MUI dan pihak-pihak yang menolak HIP? Biar MUI yang jawab. Kembali pada PDIP, bahwa stigma terhadap partai yang dipimpin Megawati ini berkaitan dengan isu komunisme akhir-akhir ini memang semakin menguat. Apakah ini akan ada pengaruhnya terhadap elektabilitas partai banteng? Tunggu perkembangan lebih lanjut. Jika berpengaruh, maka PDIP hanya butuh satu kalimat saja. Melalui ketua umum, yaitu Megawati cukup membuat satu kalimat sebagai pernyataan resmi bahwa, "PDIP Anti PKI". Bisa juga PDIP cukup bilang”tidak kompromi dengan PKI atau tidak akan memberi ruang bagi tumbuh suburnya faham komunis di Indonesia”. Kalimat-kalimat ini mujarab. Cukup efektif untuk menghentikan stigma. Dengan kalimat ini saja, stigma PDIP terkait isu komunisme besar kemungkinan akan berangsur-angsur meredup. Apakah PDIP berani membuat pernyataanseperti itu? Biarlah Ibu Megawati yang menjawabnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.