Berharap Jokowi Jadi Negarawan Penyelamat NKRI
by Dr. Masri Sitanggang
Jakarta FNN – Rabu (25/08). Ini Persoalan yang sangat serius. Jokowi kemungkinan akan menghadapi dua keadan yang sangat tidak mengenakkan. Tetapi, Jokowi bisa dikenang sebagai negarawan yang menjadi teladan generasi mendatang.
Pikiranku masih saja terganggu. Penilaian Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), bahwa kehidupan bangsa dan negara sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya republik ini. Penyimpangan ini sesuatu yang sangat serius. Tidak bisa dipandang enteng alias sebelah mata. Sebab, ini berarti penyelenggara negara telah menyimpang dari Falsafah Negara, menyeleweng dari Pancasila.
Berulang kali KAMI dalam maklumatnya, baik secara eksplisit maupun implisit, menuntut penyelengara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk mengembalikan penyelenggaraan dan pengelolaan negara pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sesuai Dekrit 5 Juli 1959. Khusus kepada Presiden, KAMI menuntut untuk bertanggungjawab sesuai dengan sumpah dan janji jabatannya.
Mengelola negara meyimpang dari Pancasila? Itu adalah pengingkaran terhadap sumpah dan janji jabatan. Itu melalaikan kewajiban, melalaikan amanah rakyat atau dalam istilah agama disebut sebagai khianat. Itu betul-betul persoalan serius.
Bicara Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan Republik Indonesia. Bukan pula Republik Indonesia Serikat. Haruslah merujuk pada pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bukan Pancasila lain, apalagi Pancasila 1 Juni 1945.
Mengelola negara berdasarkan Pancasila yang bukan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah penyelewengan, penghianatan terhadap rakyat dan konstitusi. Mari kita simak ulang aline ke empat Pembukaan UUD 1945 ini.
“Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
“Sila-sila Pancasila” dalam alenia ke empat itu sesungguhnya adalah merupakan landasan negara untuk menjadi pedoman pemerintah menunaikan fungsinya, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jadi, Pancasila itu adalah amanah rakyat kepada negara untuk dilaksanakan pemerintah dalam upaya mencapai tujuan dibentuknya negara. Ini harus digaris bawahi.
Dalam kata lain, pemerintah berkewajiban melaksanakan Pancasila. Ada pun rakyat, sebagai pemberi amanah, adalah mereka yang harus menerima manfaat dari hasil kerja pemerintah mengelola negara sesuai dengan Pancasila. Hal ini dipertegas oleh anak kalimat terakhir dari alenia ke 4 itu, yakni : ”...serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosia bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tentulah tugas Pemerintah Indonesia. Bukan rakyatnya. Rakyat, malah sebaliknya, berwenang mengawasi pemerintah dalam melaksanakan Pancasila.
Lain dari itu, tanda baca “koma” di antara sila-sila Pancasila, juga kata sambung “dan” setelah Persatuan Indonesia dan “serta” sebelum sila “dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” menunjukan Pancasila adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahlkan.
Dengan demikian, upaya memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah suatu yang terlarang dan adalah merupakan upaya merongrong Pancasila itu sendiri. Ini pula yang membedakannya dengan Pancasila 1 Juni 1945 (Pancasila rumusan pribadi Soekarno).
Bagi rakyat, alat ukur untuk menilai apakah pemerintah sedang menjalankan pemerintahan berdasarkan Pancasila atau tidak, sederhana saja, yakni apakah rakyat mendapatkan hak-haknya. Kembali merujuk alenia ke empat, hak-hak utama rakyat adalah mendapatkan perlindungan dari negara. Mendapat kesejahteraan, mendapat pendidikan, mendapat keadilan sosial (termasuk berserikat dan mengeluarkan pendapat di muka umum) dan bebas menjalankan agama yang diyakininya.
Jika rakyat merasa semua terpenuhi, berarti pemerintahan sudah on the tract. Tetapi kalau tidak, berarti terjadi penyimpangan. Begitu pulalah KAMI menilai jalannya pemerintahan akhir-akhir ini. Kesimpulan KAMI, Pengelola Negara telah menyeleweng dari Pancasila.
Dalam konteks RUU HIP dan RUU BPIP, pengelola negara bukan saja tidak menjalankan Pancasila. Dengan RUU HIP, DPR bahkan ingin mengganti pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan Pancasila rumusan Pribadi Soekarno. Menurut KAMI, ini adalah upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI. Sementara RUU BIP dapat dipandang sebagai keinginan pemerintah untuk mengambil alih kewenangan rakyat sebagai pemberi mandat kepada pemerintah berupa Pancasila.
Pemerintah ingin membentuk lembaga (pengganti rakyat) penafsir tunggal yang sah tentang mandat rakyat (Pancasila) itu. Maka, dengan ini rakyat bukan lagi menjadi pengawas pemerintah dalam menjalankan Pancasila, tetapi sebaliknya akan diawasi oleh pemerintah dengan Pancasila. Keadaannya menjadi terbalik, seolah-olah rakyatlah yang wajib menjalankan Pancasila. Pancasila menjadi alat pemukul bagi pemerintah terhadap rakyatnya ! Ngeri, akan berapa banyak lagi korban berjatuhan ?
Memperhatikan betapa dahsyatnya kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang akan ditimbulkan oleh RUU HIP dan RUU BIP, itulah maka KAMI secara khusus menuntut yang berkenaan dengan kedua RUU ini. Tuntutannya adalah, agar pemerintah mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas pihak-pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi mengubah Dasar Negara Pancasila. Tetapi, persoalan besarnya adalah bagaimana tindak lanjut dari penyelewengan Pancasila yang dilakukan oleh pengelola negara itu?
Sebagai bandingan dan sekaligus preseden, Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) dicabut status badan hukumnya oleh Kemenkumham karena dinilai tidak sesuai dengan Pancasila. Demikian juga Front Pembela Islam (FPI), mengalami persoalan perpanjangan tanda terdaftarnya karena alasan yang lebih kurang sama. Maka, bagaimana kalau penyelenggara negara –yang memang berkewajiban mengelola negara berdasar Pancasila, melenceng dari Pancasila ?
Mengingat Pemerintah adalah penerima mandat dari rakyat, maka logikanya, rakyat berhak menarik mandat dan membubarkan pemerintahan yang melenceng dari Pancasila. Azas Contrarius actus sungguh tepat dijadikan alasan. Sebab tanpa mandat, siapa pun tak berhak memerintah rakyat. Inilah persoalan sangat serius yang mengganggu pikiranku.
Amin Rais, dalam Risalah yang disampaikannya 13 Agustus 2020, menawarkan pilihan untuk Pak Jokowi : mundur atau terus. Ada 13 persoalan besar “prestasi negatip” pemerintahan Jokowi. Ya, jika ditilik ke 13-nya, lebih kurang samalah dengan penilaian KAMI. Kalau mau terus, kata Amin Rais, “bersihkan istana dari elemen-elemen yang merusak kehidupan Bangsa Indonesia”.
Jokowi jelas berada pada posisi sangat sulit. “Membersihkan Istana” sekaligus mengusut pihak-pihak yang terkait dengan RUU HIP dan RUU BPIP serta memperbaiki keadaan seperti yang dituntut KAMI bukanlah pekerjaan gampang. Jokowi akan berhadapan keras dengan kekuatan besar yang ada dibalik layar, termasuk partai-partai pendukungnya.
Meneruskan apa yang ada sekarang, dan mengabaikan tuntutan KAMI, Jokowi akan berhadapan dengan rakyat. Harus diakaui, dengan semaraknya dukungan dari seluruh tanah air, KAMI saat ini menjadi corong suara rakyat. Tampaknya, gerakan semacam itu akan terus tumbuh dan berkembang pesat.
Dengan kondisi demikian, Jokowi akan menghadapi dua keadaan. Dimundurkan oleh pendukungnya, atau dimundurkan oleh rakyat-rakyat yang menyabut mandat dengan caranya sendiri. Dua-duanya jelas tidak mengenakkan. Maka, yang enak dan terhormat itu adalah mengundurkan diri.
Mundur dengan kesadaran. Melepaskan diri dari terlibat dalam penyelewengan dan terlepas dari berhadapan dengan rakyat. Jokowi akan dikenang sebagai negarawan, menjadi teladan bagi generasi mendatang : Jokowi penyelamat NKRI. Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis adalah Ketua Panitia Masyumi Reborn.