OPINI
Rakyat “Subsidi Paksa” Pertamina Puluhan Triliun
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (30/08). Belum lama berselang Pertamina mengumumkan laporan keuangan semester pertama 2020 (1H 2020). Hasilnya membuat masyarakat terkejut bukan kepalang. Pertamina rugi Rp. 11 triliun selama 1H 2020. Setara dengan U$ 761,2 juta dolar. Padahal “subsidi paksa” dari masyarakat yang menderita akibat pandemi corona telah menyelamatkan laporan keuangan Pertamina. Unit Penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri mengalami untung besar. Keuntungan itu puluhan triliun rupiah. Sayangnya, dalam laporan keuangan, Pertamina bilang mengalami kerugian. Masyarakat selalu bertanya-tanya. Kenapa Pertamina bisa rugi besar. Padahal Pertamina sudah “disubsidi” oleh rakyat, meskipun itu subsidi terpaksa. “Subsidi paksa” yang dimaksud adalah masyarakat membeli BBM di dalam negeri dengan harga yang sangat mahal sekali. Jauh di atas harga normal, atau harga pantas, atau harga konstitusi. Karena, harga jual eceran BBM di dalam negeri seharusnya sudah turun sejak lama. Baik berdasarkan kepantasan dan moral, maupun berdasarkan peraturan Menteri Enrgi dan Sumberdaya Miniral (ASDM) yang merupakan turunan dari undang-undang (UU). Dimana harga BBM seharusnya disesuaikan setiap bulan dengan formula perhitungan tertentu, yang mengacu pada harga internasional yang sudah mengalami penurunan tajam sejak awal 2020. Apa mau dikata, ternyata tidak ada penyesuaian harga penjualan BBM di dalam negeri. Rakyat harus membayar “subsidi paksa” kepada Pertamina. UU ditabrak? Tidak masalah. Negeri sudah biasa, silemah tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi keperkasaan dan kedigjayaan penguasa. Mau menuntut? Silakan. Sikuat memang kuat segalanya. Juga kuat di pengadilan. “Subsidi paksa” yang diberikan masyarakat kepada Pertamina sangat besar sekali. Mungkin mencapai Rp. 28 triliun selama empat bulan. Dari Meret sampai Juni 2020. Atau bahkan bisa juga lebih. Kita tidak tahu secara pasti karena tidak ada data yang detil. Hanya pemerintah (dan Pertamina yang tahu). Mungkin DPR juga tidak tahu, atau memang DPR tidak mau tahu. Tapi kita bisa memperkirakan berapa penurunan harga penjualan BBM yang wajar selama pandemi. Dengan memperhatikan perubahan harga BBM di negara lain. Karena BBM adalah produk universal yang mengacu pada harga internasional yang sama harganya di semua negara. Homogen. Kita bisa tengok harga penjualan BBM di Malaysia. Karena mereka mempublikasi perubahan harga BBM secara mingguan. Berbahagialah rakyat Malaysia. Berbeda antara langit dan bumi dengan yang terjadi di Indonesia. Pemerintah dan Pertamina menyembunyikan rapat-rapat kenuntungan yang diperoleh dari penjualan BBM di dalam negeri yang tinggi dan memeras rakyat tersebut. Malaysia hanya menjual 3 jenis BBM di dalam negeri, yaitu RON95 (sejenis Shell V-power), RON97 (sejenis Pertamax Turbo) dan Diesel. Harga ketiga jenis BBM tersebut semuanya diturunkan sekitar 40 persen pada periode 11 April sampai 15 May 2020. Indonesia tetap bertahan dengan harga penjualan yang mencekik leher rakyatnya sendiri. Dikonversi ke rupiah, harga BBM (RON95) di Malaysia turun rata-rata Rp 1.500 per liter pada Maret 2020, Rp 2.800 per liter pada April 2020, Rp 2.570 per liter pada Mei 2020, dan Rp 1.700 per liter pada Juni 2020. Ini bila dibandingkan dengan harga pada akhir Februari 2020. Penurunan harga di Malaysia ini bila kita adopsi untuk Indonesia, artinya kalau Pertamina seadil Petronas, yang tidak mencekik rakyatnya sendiri, maka ada lebih bayar kepada Pertamina sekitar Rp 5,4 triliun, Rp 8,6 triliun, Rp 8,9 triliun, dan Rp 5,8 triliun pada Maret, April, Mei dan Juni 2020. Totalnya sekitar Rp 28 triliun lebih. Atau hampir U$ 2 miliar dolar. Perhitungan ini diperoleh dari penjualan gasoline dan gasoil bulanan dikali selisih (potensi penurunan) harga rata-rata bulanan. Penjualan pada Maret hingga Juni masing-masing 115,79 ribu kilo liter, 102 ribu kilo liter, 111,9 ribu kilo liter dan 113,81 ribu kilo liter. Tentu saja perhitungan ini hanya perkiraan berdasarkan data dan informasi yang dimuat di berbagai media. Perhitungan rincinya ada pada Pertamina. Semoga saja Pertamina berkenan memberi koreksi. Sehingga masyarakat bisa mengetaui keuntungan sebenarnya yang di dapat Pertamina. Dengan mendapat “subsidi paksa” dari masyarakat, mustahil Pertamina mengalami kerugian. Apalagi untuk Unit Penjualan BBM di dalam negeri. Dari laporan keuangan yang dipublikasi, Pertamina memang secara operasional dapat dibilang tidak rugi selama 1H 2020. Penjualan 1H 2020 tercatat U$ 20,48 miliar dolar, dengan Laba Bruto U$ 1,61 miliar dolar. Beban Usaha dan Umum mencapai U$ 1,67 miliar dolar. Sehingga Laba Sebelum Pajak Penghasilan (PPh) hanya minus U$ 0,06 miliar dolar AS, atau tepatnya U$ 58,3 juta dolar saja. Anehnya, dalam kondisi rugi seperti ini, Pertamina harus bayar PPh U$ 702,9 juta dolar. Sehingga total Rugi Bersih setelah PPh menjadi U$ 761,2 juta dolar. Ini sangat menarik. Kok bisa, Laba Sebelum PPh hanya U$ 58,3 juta dolar, tetapi dikenakan PPh 702,9 juta dolar AS? Jumlah PPh ini setara dengan laba hampir U$ 3 miliar dolar AS. Artinya, ada unit usaha di Pertamina yang membukukan laba sangat besar sekali. Hanya ada satu kemungkinan untuk itu, yaitu Unit Penjualan BBM yang “disubsidi rakyat” U$ 2 miliar dolar, atau bahkan lebih besar lagi. Keuntungan Unit Penjualan BBM dalam negeri tersebut untuk menutupi kerugian pada unit-unit lainnya, sehingga Pertamina hanya bisa menghasilkan Laba Bruto sebesar U$ 1,61 miliar dolar. Dan Rugi Bersih sebelum PPh U$ 58,3 juta dolar. “Subsidi paksa” dari rakyat yang sedang menderita tekanan ekonomi telah menyelamatkan keuangan Pertamina. Rakyat telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian raksasa. Mohon Pertamina, DPR dan Meneg BUMN berkenan memberi koreksi atas angka “subsidi paksa” tersebut di atas. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Rezim Ini, Orang Miskin Tidak Boleh Sehat
by M Rizal Fadillah Bandung FNN- Ahad (30/08). Gila memang. Harga vaksin yang diimpor pemerintah dari China melalui Bio Farma akan bertarif Rp, 440.000, kata Erick Thohir Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Artinya, cukup mahal dengan harga setinggi itu. Kemungkinan hanya orang yang bisa membayar dengan uanga Rp. 440.000 saja yang bisa divaksin. Bagi orang-orang yang mampu, tentu saja uang sebesar itu tidak ada persoalan. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, khususnya yang dikategorikan kelompok rakyat miskin. Nilai vaksin Rp 440.000 tersebut, tentu sangat dirasakan berat. Untuk kebutuhan makan sehari-hari saja masih susah. Apalagi untuk membeli vaksin buatan China. Pemerintah negeri ini memang aneh. Ngotot memaksakan untuk dapat mengambil dan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) demi covid 19 tanpa akibat hukum melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Lalu pemerintah pun mendapatkan dukungan mudah dari DPR, sehingga jadilah UU No. 2 tahun 2020. Akan tetapi untuk vaksin, ternyata masih dibebankan juga kepada rakyat masing-masing untuk bisa mendapatkan. Rapanya orang miskin sangat susah untuk menjadi sehat di negeri ini. Covid 19 adalah penyakit mematikan. Pandemi yang menggoncangkan, dan berdampak bukan saja kepada aspek kesehatan tetapi juga sosial, ekonomi, bahkan politik. Pemerintah pun menetapkan status darurat kesehatan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai pilihan kebijakan berdasarkan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Penandatanganan "kerjasama" impor sebanyak 50 juta dosis vaksin dari China pada tanggal 20 Agustus 2020 lalu di Hainan. Penandatanganan tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengiriman mulai bulan Nopember 2020 hingga Maret 2021. Penyuntikan vaksin massal pun nantinya akan dilakukan. Masalahnya adalah biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat itu sendiri cukup mahal. Malah ada yang mencurigai jangan-jangan Pemerintah sedang berbisnis dengan rakyatnya sendiri. Pemerintah rupanya masih perlu mencari keuntungan dari penjualan vaksin buatan China tersebut dari rakyat. Susah juga ornga miskin untuk menjadi sehat di negeri ini. Akibat pandemi covid-19, rakyat telah mengalami kesulitan bertingkat. Kesulitan yang tidak pernah dirasakan rakyat sebelumnya.Kesulitan tingkat satu, tertekan oleh serangan pandemi covid 19. Sekurang-kurangnya stress dengan protokol kesehatan yang ditetapkan pemrintah. Kesulitan tingkat dua adalah dampak yang mengikutinya. Misalnya soal kerugian usaha, kesempitan mendapatkan lapangan kerja, atau silaturahmi yang terkendala diatara masyarakat. Kini masyarakat juga akan memasuki kesulitan tingkat tiga, yaitu harus membayar mahal biaya vaksin asal China. Rakyat akan semakin merasakan ketidakhadiran negara untuk melindungi dirinya, seperti perintah tujuan bernegara pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Negara yang hanya bisa menguras dan memeras rakyatnya sendiri di tengah penderitaan bertingkat. Negara pemberikan fasilitas kepada orang kaya. Sedangkan simiskin semakin menderita. Kini dengan vaksin berharga Rp. 440.000, maka akan bertambah berat beban si miskin untuk sehat di negeri ini. Orang miskin tidak boleh sehat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Menguliti KAMI
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Ahad (30/01). Kehadiran Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia(KAMI) mengejutkan Jokowi, Prabowo, Megawati dan publik secara luas. Dunia akademik juga terkejut, karena sebagian besar kelompok oposisi intelektual berkumpul dalam satu entitas koalisi untuk menyelamatkan Indonesia. KAMI muncul di banyak daerah, bahkan di sejumlah negara, terbaru saya dengar di Australia. Reaksi di luar KAMI cukup beragam dan menarik. Relawan Jokowi membentuk tandingan bernama Kerapatan Indonesia Tanah Air(KITA). Sejumlah politisi partainya Prabowo bersuara miring terhadap KAMI. Megawati juga merespon langsung bahwa KAMI kumpulan orang-orang yang ingin jadi Presiden. Publik dan media, baik mainstream maupun non mainstream berhari-hari mendiskusikan keberadaan KAMI dan sejumlah kritik-kritiknya pada pemerintah. Kelompok buzzer menyerang personal tokoh-tokoh KAMI. Bukannya mendebat gagasanya atau kritik-kritiknya. Bahkan peretasan terjadi pada akun media sosial Din Syamsudin, salah satu Deklarator KAMI. Buzzer menyebut KAMI ini kelompok orang-orang sakit hati. Rocky Gerung, salah satu Deklarator KAMI menyebut penguasa dan para buzzer sebagai kelompok sakit jiwa. Sakit hati adalah perbuatan melawan sakit jiwa. Keduanya sama-sama sakit. Entah mana yang sakitnya stadium satu, mana yang stadium empat. Bagaimana secara singkat fenomena ini dibaca dan dikuliti dengan menggunakan perspektif sosiologi politik? Sebagai akademisi, saya tidak ingin terjebak dalam tarikan analisis yang subyektif. Tentu pijakan analisisnya mesti scientifict. Berbasis data dan meminjam beberapa perspektif teori Sosiologi Politik. Cara membacanya bisa menggunakan indikator social movement yang beragam tidak tunggal. Menghindari cara menguliti dengan indikator tunggal sejenis seperti yang ditulis Zeng Wei Jian di akun facebook nya dengan judul "Tidak Ada Gerakan Moral", menguliti KAMI tetapi rujukanya political movement David S. Meyer dan Ralp W Nicholas. Ya, kesimpulanya jelas, karena paradigma analisisnya menggunakan analisis gerakan politik pasti kesimpulanya KAMI gerakan politik. Ini kutipan yang ditulis Zeng Wei Jian : A political movement is a collective attempt by a group of people to change government policy or society with mainly political goals. Jelas perspektifnya political movement, ya pasti kesimpulanya KAMI ditempatkan sebagai gerakan politik. Itu mirip ada satu gelas air putih lalu diberi setengah gelas garam. Lalu diaduk, dan buat kesimpulan itu air garam, padahal obyek asalnya adalah air putih. Coba kita kuliti KAMI dari perspektif yang berbeda. Menempatkan KAMI sebagaimana adanya. Diantaranya dengan menggunakan perspektif social movement theory, atau teori gerakan sosial. Ada banyak teori yang bisa digunakan. Tetapi dalam artikel singkat ini, cukup satu atau dua rujukan saja yang digunakan. Diantaranya perspektif Jurgen Habermas. Jurgen Habermas ketika menjelaskan fenomena gerakan sosial, mengemukakan bahwa social movement dipahami sebagai devensive relations to defend the public and private sphere of individuals againts the inroad of the state system and market economy (Gemma Edwards, Habermas and Social Movement Theory, 2009). Perspektif Habermas tersebut, menggambarkan bahwa sesuatu disebut gerakan sosial, jika terjadi relasi defensif antar anggota masyarakat yang terkonsolidasi untuk melindungi ruang publik dan private mereka. Akiabatnya, masyarakat melakukan perlawan, karena tekanan dari negara (state system) maupun ekonomi pasar (market economy). Sementara menurut Anthony Giddens ( Politics, Government and Social Movements , Sociology 7th Edition, 2013), gerakan sosial dimaknai sebagai upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama. Juga gerakan untuk mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lembaga- lembaga formal yang mapan. Dari perspektif Habermas dan Giddens diatas, sudah cukup untuk menempatkan KAMI sebagai gerakan sosial. Karena telah terpenuhinya sarat. Diantaranya sebagai upaya kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Melindungi ruang publik dan privat (hak individu sebagai pribadi dan sebagai warga negara). Adanya tindakan kolektif (bergerak bersama). Dilakukan bukan oleh lembaga-lembaga formal mapan, tetapi oleh KAMI yang baru berdiri 18 Agustus 2020 lal. Entitasnya sangat cair, dan non formalistik. Bisa juga meminjam perspektif Sidney Tarrow dalam bukunya Power in Movement : Social Movements and Contentious Politics(2011). Sidney Tarrow yang menjelaskan bahwa sebuah gerakan sosial setidaknya memiliki empat indikator empirik penting. yaitu collective challenge, common purpose, social solidarity, and sustained interaction. Perspektif tersebut menegaskan bahwa dalam gerakan sosial, ada tantangan kolektif yang diyakini bersama. Juga ada tujuan bersama yang ingin dicapai, ada solidaritas sosial, dan adanya interaksi yang berkelanjutan antar mereka. Dengan meminjam perspektif Sydney Tarrow dan membaca fakta KAMI melalui analisis media, dan pengamatan langsung, maka KAMI memenuhi indikator sebagaimana yang ditulis SidneyTarrow sebagai gerakan sosial. Dalam indikator collective challenge, common purpose, social solidarity, and sustained interaction itulah moralitas gerakanya (misi besarnya) bisa dianalisis. KAMI bisa ditempatkan sebagai gerakan sosial berbasis pada kesamaan moralitas. Baik dalam melihat tantangan yang dihadapi, tujuan bersama yang ingin dicapai, solidaritas sosial yang dibangun dan kontinuitas jaringan yang terbentuk. Hal tersebut sesungguhnya juga terlihat jelas pada naskah jati diri KAMI dan Maklumat Deklarasi KAMI. Menganalisis isi dokumen secara mendalam dari sebuah entitas yang kita teliti adalah diantara cara scientifict di bidang ilmu-ilmu sosial. Itulah sebabnya KAMI dapat dibenarkan menyebut dirinya sebagai gerakan moral, karena pengakuan identitas dirinya dalam jati diri KAMI sebagai gerakan moral. Visi besarnya dalam Maklumat Deklarasi KAMI untuk membenahi negara melalui jalur oposisi non partai politik adalah juga moralitas gerakanya yang lebih memperjelas. Posisi KAMI sebagai gerakan moral nampaknya lebih menyulitkan kelompok penguasa dalam mematikan langkah KAMI. Apalagi kemudian dengan jejaring yang semakin luas. KAMI juga sesungguhnya bisa dikuliti dari sisi aktor atau tokoh-tokoh yang terlibat. Secara umum mayoritas tokoh KAMI adalah tokoh dari kalangan terpelajar, cendekiawan, tokoh agama, purnawirawan tentara atau polisi, kelompok profesional, pebisnis, pegawai BUMN, mantan pejabat, jurnalis, buruh, petani, nelayan, mahasiswa, dan rakyat jelata. Dari sisi aktor, sulit untuk memposisikan KAMI sebagai gerakan politik. KAMI hanya tepat ditempatkam sebagai gerakan sosial yang berbasis moralitas bersama (gerakan moral). Bukan gerakan politik. Jika posisi gerakan moral ini konsisten, maka kehadiran KAMI akan terus dirindukan rakyat banyak, terutama dirindukan oleh rakyat jelata. Penulis adalah Analis Sosial Politik UNJ & Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS)
Tingkat Kematian Tertinggi, Masih Tetap “Ngotot” Mau Konser?
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Minggu (30/08). Penambahan kasus harian pada Kamis (27/8/2020) tercatat sebanyak 2.719 kasus. Angka ini memecahkan rekor penambahan kasus harian terbanyak sampai saat ini. Secara total, jumlah pasien positif Covid-19 kini bertambah menjadi 162.884 kasus. Meskipun demikian, pasien yang berhasil sembuh terus meningkat. Pada Kamis (27/8/2020) bertambah 3.166 pasien. Maka, total pasien sembuh telah mencapai 118.575 pasien. Pasien yang meninggal dunia bertambah 120 orang, sehingga secara total 7.064 orang pasien telah meninggal dunia akibat terjangkit Covid-19 di Indonesia. Dari sebanyak 1.233.486 spesimen yang diperiksa, tercatat 1.070.602 kasus negatif Corona. Sementara itu, data pada Kamis (27/8/2020) untuk jumlah Suspek sebanyak 76.201 kasus. Rekor tertinggi penambahan kasus covid-19 harian: 1) 27 Agustus 2020 = +2.719; 2) 9 Juli 2020 = +2.657; 3) 7 Agustus 2020 = +2.473; 4) 25 Agustus 2020 = +2.447; 5) 29 Juli 2020 = +2.381. Sebelumnya, Reuters menulis. Indonesia dinilai gagal mengontrol wabah Covid-19. Secara resmi Indonesia melaporkan 6.594 kematian akibat Covid-19, ini yang tertinggi di seluruh negara Asia Tenggara. Jika dihitung juga mereka yang meninggal karena gejala Covid-19 akut namun belum diuji, Reuters menduga angka kematian menjadi 3 kali lipat dari itu. Reuters menilai Indonesia tidak nampak adanya kemampuan untuk menahan laju penyebaran virus, bahkan kini penyebaran virus di Indonesia sudah menjadi yang tercepat di Asia Timur. Dari mereka yang menjalani tes dalam sepekan terakhir: Secara nasional 16,1% terbukti positif. Di Jakarta: 9,1%. Di luar Jakarta: angka tersebut bahkan mencapai 25%. Menurut WHO angka positif lebih dari 5 % berarti wabah Tidak Terkontrol. Tercatat kasus positif sebanyak 151.498. Angka ini memang jauh di bawah angka jutaan seperti yang dilaporkan AS, Brazil, dan India, dan masih lebih rendah dari Filipina, yang populasinya kurang dari setengah populasi Indonesia. Tapi angka sebenarnya dari kasus yang terinfeksi masih tanda tanya, karena jumlah penduduk yang dites per kapita di Filipina 4 kali lebih banyak, dan AS bahkan 30 kali lebih banyak dari Indonesia. Makin banyak yang dites berarti makin besar kemungkinan memperoleh angka yang positif. Seorang epidemiolog dari UI mengatakan bahwa puncak wabah mungkin akan datang pada bulan Oktober, dan wabah belum akan berlalu sampai akhir tahun. Meskipun Indonesia memiliki 269 lab dengan mesin PCR, namun lab semakin tidak mampu memenuhi permintaan tes karena infeksi terus meningkat. Juga karena kurangnya staf dan reagen untuk pengujian. Menurut salah seorang pejabat jumlah kasus suspect, memiliki gejala Covid-19 namun belum dites, mencapai angka 79.000 bulan lalu. Problem lain adalah sulitnya contact tracing, terutama di daerah atau luar Jawa. Mereka yang hendak dilacak karena melakukan kontak dengan orang yang positif seringkali namanya tidak lengkap, nomer hp tidak aktif, atau alamatnya sudah ganti. Dengan bantuan kepala desa pun sebagian kontak tersebut tidak berhasil ditemukan. Jika pun ketemu sebagian dari mereka menolak dites, karena takut akan kehilangan pekerjaan atau dikucilkan di lingkungannya. Data dari pemerintah yang diperoleh Reuters menunjukkan, hanya 53,7% dari mereka yang terkonfirmasi atau suspect yang dilakukan contact tracing. Pemerintah berusaha melacak 30 orang untuk setiap kasus positif. Angka ini masih jauh lebih rendah dibandingkan negara Asia lainnya. Korsel misalnya, pada Mei 2020 lalu mereka melacak dan mengetes hampir 8.000 orang setelah seorang pria yang terbukti positif mengunjungi sebuah night club. Pejabat WHO mengatakan, Indonesia semestinya melakukan contact tracing setidaknya 20 orang per kasus terkonfirmasi atau suspect. Tapi, kata Arie Karimah Muhammad, nyatanya Indonesia hanya melakukan rata-rata 2 orang per kasus. “Di Jakarta angkanya malah kurang dari 2 sedangkan di Jatim 2,8 kontak. Ini pun baru mulai dilakukan pertengahan Juli,” lanjut Pharma-Excellent alumni ITB itu. Seorang dokter di RSUD Soetomo mengatakan, angka mortalitas di sana antara 50-80%, dan tempat tidur yang tersedia tak mencukupi. Indonesia hanya memiliki 2,5 tempat tidur di ICU untuk setiap 100.000 orang. Sebagai perbandingan: di India angkanya mencapai 6,9. Konser Jatim Arie Karimah menyoroti rencana Konser Ari Lasso yang digelar di kawasan “Wisata Ngopi Bareng Pintu Langit”, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, pada 12 September 2020. Ini juga dalam rangka New Normal. Saifullah Yusuf alias Gus Ipul yang juga pemilik sekaligus penggagas kawasan wisata halal Ngopi Bareng Pintu Langit ini mengatakan, semuanya sudah siap. Ia mengaku juga sudah bertemu dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Gus Ipul menjelaskan, ini adalah konser pertama yang digelar di Jatim, bahkan Indonesia di era new normal ini. Menurutnya, konser ini menjadi pilot project untuk menggelar konser-konser berikutnya. “Makanya dicoba konser Ari Lasso di era new normal ini. Tentunya, dengan penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat. Ini sedang dipersiapkan semuanya,” tambah Gus Ipul, seperti dilansir Surya.co.id, Selasa (25 Agustus 2020 23:46). Gus Ipul menjelaskan, ini adalah konser uji coba yang langsung mendapatkan dukungan dari Presiden Joko Widodo, dan kebetulan Jatim ditunjuk sebagai tempat penyelenggara, yakni di Wisata Ngopi Bareng Pintu Langit. “Kami akan betul-betul tetap mematuhi protokol kesehatan agar konser ini berjalan lancar, aman dan tidak menimbulkan resiko-resiko yang tidak diinginkan,” sambungnya. “Berdasarkan data pagi ini, nggak pakai tapi dan asumsi. Dengan prestasi seperti ini, apa pantas Jatim mengadakan konser musik, yang akan mengundang kerumunan dan Risiko Penularan Covid, yang mungkin akan tidak sanggup ditangani?” tegas Arie Karimah. Jumlah kasus positif: peringkat Kedua secara nasional setelah Jakarta, yakni 31.329 kasus. Jumlah kematian terbanyak: peringkat Pertama nasional dengan angka 2.252. Persentase kematian terbanyak: peringkat Kedua nasional dengan angka 7,2% setelah Bengkulu. “Cemana Khofifah? Dengan ilmuwan kita bicara data dan statistik,” sindir Arie Karimah. Perlu dicatat, phycical distancing kini nyaris tidak berguna. Sebab, daya jangkau Covid-19 sekarang ini bisa mencapai sekitar 8 meter. Apalagi, mutasi Corona sudah mencapai angka 500 karakter atau varian. Karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor Angiotensin Converting Enzyme-2 (ACE-2) saja, tapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis. Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan pada pasien anak-anak di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Terutama mampu menyerang saluran pencernaan dan syaraf. Sekarang ini varian baru yang sudah ditemukan di Malaysia, Thailand, dan Philipina, punya kemampuan 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19? Apakah Gubernur Khofifah dan Gus Ipul sudah tahu soal itu semua? Sebaiknya rencana itu Konser Ari Lasso itu ditunda, bila perlu dibatalkan! *** Penulis wartawan senior fnn.co.id
Sensasi Bersepeda di Tol Layang Bersama Anies Baswedan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (29/08). Bank BTN pernah melakukan survei usia pegawai di tiga wilayah, yaitu Jakarta, Bandung dan Jogja. Hasilnya, pegawai di Jakarta usia rata-ratanya lebih pendek dari pegawai di Bandung. Pegawai di Bandung usia rata-ratanya lebih pendek dari pegawai di Jogja. Apa penyebab utamanya? Polusi dan stres. Jakarta padat kendaraan. Itu sudah dari jaman dulu. Namanya juga kota metropolitan. Polusi, itu juga pasti. Macet, nggak dapat dihindari. Inilah yang membuat penduduk Jakarta stres. Ditambah pandemi dan sulitnya ekonomi. Nggak perlu dicari siapa yang salah. Yang diperlukan adalah solusi. Polusi dan macet di Jakarta hanya bisa diminimalisir dengan mengurangi jumlah kendaraan. Caranya? Batasi penjualan kendaraan, nggak mungkin. Naikin pajak progresif, gagal. Terus? Setidaknya tiga hal yang dilakukan Pemprov DKI. Pertama, beralih ke transportasi umum. Ada LRT/ MRT dan bus way. Fasilitasnya makin baik dan kapasitas makin memadai. Kedua, memberlakukan ganjil genap. Wacananya akan diberlakukan 24 jam. Sedang dalam penelitian. Ketiga, ganti kendaraan bermotor dengan sepeda. Poin ketiga ini jadi terobosan baru gubernur DKI. Butuh waktu dan strategi jitu untuk mengajak masyarakat Jakarta bersepeda. Sebab, tak mudah merubah maindset dan perilaku masyarakat yang selama ini sangat bergantung pada kendaraan bermotor. Masyarakat Jakarta khususnya, dan masyarakat perkotaan pada umumnya, terbiasa punya pola hidup berkendara. Jarak 50 meter saja pakai motor. Ogah jalan kaki, apalagi naik sepeda. Nah, program bersepeda dihadapkan pada masyarakat yang maniak berkendara motor seperti itu. Perlu terus melakukan penyadaran akan pentingnya mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor. Beralih ke kendaraan umum, sepeda atau jalan kaki. Untuk itu, Pemprov DKI telah memperlebar trotoar untuk kenyamanan pejalan kaki. Juga jalur sepeda agar masyarakat beralih menggunakan sepeda. Sepeda dalam konteks ini sebagai alat transportasi. Bukan sebagai life style. Jadi, nggak perlu sepeda balap atau sepeda yang mahal. Semua sepeda bisa jadi alat transportasi. Yang penting bisa jalan normal dan dilengkapi tempat untuk menaruh keperluan kerja, semacam tas atau sejenisnya. Termasuk jas hujan. Bersepeda bukan saja kepentingan personal, tetapi juga kebutuhan sosial. Secara personal, bersepeda itu sehat dan ekonomis. Secara sosial, semakin banyak orang bersepeda maka Jakarta akan berkurang polusi dan tingkat kemacetannya. Tidakkah kakek kita zaman dulu dan orang tua kita di kampung masih mengandalkan sepeda sebagai alat transportasinya. Mereka nggak perlu stres karena terjebak macet atau kena polusi. Rata-rata usia mereka lebih panjang dari kita yang hidup di perkotaan. Ini adalah warisan nenek moyang dan kearifan nasional. Kenapa tidak kita jaga? Bukan berarti gak boleh berkendara motor. Jangan berpikir naif dan pura-pura begolah. Nggak baik untuk kesehatan otak anda. Di tengah masyarakat yang sudah sangat tergantung pada kendaraan pribadi, terutama motor, maka kampanye bersepeda perlu lebih dimasifkan. Gagasan Anies Baswedan, Gubernur DKI untuk membuat event bersepeda di jalan tol layang Kebun Nanas (Cawang)-Tanjung Priok layak diapresiasi sebagai upaya sosialisasi bersepeda. Secara tidak langsung, ini pesan, ajakan dan iklan bersepeda. Pada Minggu pagi jam 06.00-09.00 tidak pernah ada kemacaten di jalur bawah tol Cawang-Tanjung Priok. Mobil bisa lewat bawah tol. Biarkan ribuan, bahkan puluhan hingga ratusan ribu anak Jakarta bersepeda di atas tol, sambil manyaksikan kotanya dari ketinggian dengan sinar matahari terang yang baru terbit dari arah timur. Apakah aman? Sepeda tidak bercampur dengan mobil. Tol pada jam dan hari itu hanya untuk sepeda. Tidak ada mobil di jalur tol tersebut. Mobil lewat jalur bawah tanpa risiko kemacetan Itu cari sensasi! Pasti. Bersepeda di jalan layang tol dengan view dan panorama kota Jakarta, ini sensasional. Bagi pribadi yang tidak punya mobil, menyaksikan kota Jakarta dari atas jalan layang sepanjang tol adalah kemustahilan. Kita sering tak sadar bahwa ada banyak warga yang tak pernah mampu berada di atas jalan layang tol. Sesekali mereka diberi kesempatan, apa salahnya? Anda perlu paham, bahwa iklan itu memang perlu sensasi. Kalau nggak sensasional, cenderung nggak dapat perhatian masyarakat. Ini penting untuk menyentuh alam sadar masyarakat betapa beralih transportasi ke sepeda di Jakarta sudah sangat dibutuhkan. Ini bukan hanya kepentingan personal, tapi sudah menjadi kebutuhan sosial. Makin banyak yang beralih transportasi ke sepeda, ini akan mengurangi polusi dan macet, yang secara otomatis akan mengurangi stres masyarakat Jakarta. Masyarakat yang stres usia rata-ratanya lebih pendek. Mau usia panjang? Mulailah memikirkan untuk beralih transportasi ke sepeda. Inilah pesan yang perlu anda tangkap dari setiap event bersepeda. Termasuk bersepeda di jalan tol layang Cawang-Tanjung Priok. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Catatan Buat Pak Jokowi, "Bangsa Indonesia Dibelah"
by Prof. Dr. M. Amien Rais Jakarta FNN – Sabtu (29/08). Sudah seharusnya kita bangsa Indonesia melakukan kritik dan koreksi atas perjalanan bangsa yang telah kita lewati. Koreksi yang jujur, berani dan seobjektif mungkin. Agar kita mampu melihat apa saja masalah-masalah nasional yang perlu kita angkat ke permukaan, secara apa adanya. Namun segera harus kita catat, bahwa tulisan singkat ini hanyalah mengemukakan puncak- puncak masalah. Tentu diperlukan sebuah tulisan tebal bila kita ingin menyajikan telaah yang relatif lengkap tentang kondisi bangsa Indonesia dewasa InI. Saya sadar, tidak ada satu analisis atau gagasan mengenai apa saja, yang tidak menimbulkan sikap pro dan kontra. Saya tentu siap menerima kritik, koreksi dan bantahan serta masukan lain.Bahkan dengan senang hati saya ingin melakukan diskusi terbuka dengan siapa pun tentang apa yang saya kemukakan secara terbuka ini. Demokrasi sejati selalu membuka lebar kran pertukaran gagasan supaya muncul pilihan-pilihan alternatif bagi seluruh anak bangsa. Pilihan yang bersifat pro bono pub/ico. Pilihan yang menguntungkan kepentingan orang banyak, sepantasnya menjadi pilihan kita.Sedangkan pilihan yang bersifat eksklusif untuk sekelompok kecilyang cenderung memangsa (predatorik) kepentingan bangsa atau kepentingan nasional, biarlah terlempar ke sampah sejarah. Saya lihat dan cermati bahwa dalam pergaulan antar bangsa, dewasa ini Indonesia yang kita cintai bersama semakin tidak bersinar. Malahan semakin meredup. Kekuatan-kekuatan anti ke-Tuhanan nampak semakin beringas dan berani. Kemanusiaan kita bisa dikatakan cenderung menjadi kemanusiaan agak zalim dan tidak lagi beradab. Persatuan Indonesia semakin goyah. Ini karena politik rezim tidak memiliki kesadaran bahwa politik adu domba atar kekuatan sosial-politik dengan harapan rezim penguasa semakin kuat dan stabil, justru dapat menghancurkan bangsa seluruhnya. Kerakyatan kita kini cenderung membuang hikmah serta keunggulan prinsip permufakatan, permusyawaratan dan perwakilan. Mayoritas rakyat kecil kita belum merasakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa. Tetapi lebih sering menderita dan menikmati kezaliman sosial dari mereka yang berkuasa dan berharta. Saya membaca perkembangan kehidupan politik, sosial, ekonomi, penegakan hukum serta kehidupan moral bangsa terus mengalami kemerosotan. Kehidupan yang tidak memiliki pijakan yang kokoh diatas akhlaq, moralitas atau etika dapat dipastikan akan meluncur ke bawah.Tidak mustahil pula proses kemerosotan multidimensional itu membuat semakin redup kehidupan bangsa kita. Menjadikan bangsa Indonesia seolah tanpa masa depan. Sejak Jokowi menjadi presiden pada periode pertama ( 2014-2019), dan diteruskan pada periode kedua sampai sekarang, perkembangan politik nasional bukan semakin demokratis. Malahan kian jauh dari spirit demokrasi. Tidak berlebihan bila dikatakan hasil pembangunan politik dimasa Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kecurigaan dan ketakutan Jokowi terhadap umat Islam yang bersikap kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas kita rasakan. Kriminalisasi, demonisasi, dan persekusiterhadap para ulama yang beramar ma'ruf dan bernahi-munkar telah menjadi rahasia umum. Sebagai Presiden, seharusnya Jokowi berpikir, bekerja dan terus berusaha supaya tidak jadi pemimpin partisan. Membela sekitar separuh anak bangsa. Menjauhi, bahkan kelihatan memusuhi sekitar separuh anak bangsa lainnya. Politik partisan semacam ini tidak bisa tidak, cepat atau lambat membelah bangsa Indonesia. Tidak boleh seorang Presiden terjebak pada mentalitas "koncoisme”. Sekeping contoh bisa dikemukakan. Tatkala jutaan umat Islam berunjuk rasa secara damai, tertib, bersih dan bertanggung-jawab pada tanggal 4 November 2016, tiga orang utusan mereka ingin bertemu dengan Jokowi.Tetapi ditunggu dari pagi sampai larut senja, Jokowi pada hari itu seharian meninggalkan istana.Alasannya, ada satu urusan teknis harus diselesaikan di bandara Sukarno-Hatta. Sampai sekarang penyakit politik bernama partisanship itu tetap menjadi pegangan rezim Jokowi dalam menghadapi umat Islam yang kritis terhadap kekuasaannya. Para buzzers bayaran dan juga para jubir istana di berbagai diskusi atau acara di banyak stasiun televisi, semakin menambah kecurigaan banyak kalangan terhadap politik Jokowi yang beresensi politik belah bambu. Menginjak sebagian dan mengangkat sebagian yang lain. Penulis adalah Ketua MPR Periode 1999-2004.
Pertamina Peras Rakyat Rp. 60 Triliun, Bisa Rugi 11 Triliun?
by M. Rizal Fadillah Bandang FNN – Sabtu (29/08). Sejak awal pengangkatan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Suara sumbang mengaitkan Menteri BUMN Erick Tohir Menteri yang mengangkatnya dan Presiden Jokowi sebagai penanggungjawab tertinggi tata kelola penyelenggara negara. Masyarakat sudah mengingatkan bahwa menunjuk Ahok, yang mantan narapidana dan mantan pejabat yang "emosional" dan "mulut ngebacot seenaknya, karena kurang dicuci" sebagai penentu kebijakan di Pertamina adalah menyakiti rakyat dan tak sangat pantas. Kasus penistaan agama yang membawanya ke penjara bukan masalah kecil. Tetapi masalah serius untuk umat Islam. Ahok bukan seorang ahli di bidang perminyakan dan gas alam (migas). Sekaligus juga pemimpin yang buruk. Bukan pula orang yang mampu untuk melakukan "bersih bersih". Kebersihan dirinya selama ini diragukan. Banyak kasus yang disorot seperti suap reklamasi, kosupsi Rumah Sakit Sumber Waras, lahan Cengkareng, serta kasus-kasus di Bangka Belitung. Kini di bawah Komisaris Utama teman dekat Jokowi tersebut, Pertamina merugi Rp. 11 trilyun. Fakta dan kenyataan ini menjadi sesuatu hal yang aneh. Di tengah harga minyak dunia yang turun, Pertamina tidak menurunkan harga penjualan dalam negeri. “Keuntungan yang didapat Pertamina dari hasil pemerasan terhadap rakyat selama pandemi corona Rp. 7,5 triliun setiap bulan”, kata Direktur Eksekutif Indonesian Resouces Studies (IRESS) Marwan Batubara. Semua negara di dunia telah menurunkan penjulan konsumsi minyak di dalam negerinya. Hanya Pertamina, perusahaan penjualann minyak di dunia ini yang tidak menurunkan penjualan Bahan Bakar Minya (BBM)di dalam negari. Untuk periode Januari sampai- dengan Agutuss 2020, Partamina diperkirakan telah meraup keuntungan Rp. 60 triliun, hasil dari memeras rakyat melalui penjualan di BBM di dalam negeri. Pertanyaannya, ko Pertamina bisa rugi sampai Rp. 11 triliun? Lalu, kemana dana dan kuntungan dari hasil memeras rakyat melalui penjualana BBM di dalam negeri selama pandemi corona ini mengalir? Inilah yang menjadi tandatanya besar di masyarakat. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seharusnya sudah mulai melakukan audit terhahadap kerugian yang tidak masuk akal ini. Erick Thohir sudah didesak untuk mencopot Ahok dan Direksi Pertamina, akan tetapi keberaniannya diragukan. Alih-alih bisa mencopot, jangan-janagan Erick yang dicopot oleh "big boss". Karenanya, kasus orang yang sesumbar bahwa “bubar saja Pertamina jika tidak untung “ ini, sebaiknya dibawa ke ranah hukum. Adili segera Ahok dan Direksi Pertamina. Sudah meras rakyat Rp. 60 triliun dalam delapan bulan, ko masih rugi jaga? Ada tiga alasan utama Ahok dan Direksi Pertamina diadili. Pertama, Ahok tidak kapok kapok. Kedua, menjadikan Pertamina menjadi sapi perahan. Ketiga, bebal karena tidak merasa bersalah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidusus) Kejaksaan Agung harus mulai mengusut skandal kerugian Pertamina ini. Bersimultan dengan pemeriksaan atau audit yang dilakukan oleh BPK. Kasus Pertamina menjadi kasus berat dari tumpukan kasus Ahok yang ada selama ini. Ahok tidak boleh diberi nafas bergerak bebas untuk "petantang petenteng". Merasa sukses dengan dipidana salam dua tahun, dengan fasilitasi "menginap" di Rutan Mako Brimob. Tidak ada sejarah seorangpun seperti Ahok ini. Ahok telah menjadi pejabat yang istimewa untuk Presiden Jokowi. Dunia melihat betapa lucu dan amburadul keadaan hukum di Indonesia. Ahok adalah wajah Jokowi di arena kehidupan politik. Tak mungkin menjadi Komisaris Utama Pertamina tanpa "kebaikan" sang Presiden. Sulit difahami lolosnya Ahok berkali-kali dari banyak kasus yang membelitnya. Kekuasaan negeri ini masih menjadi panglima untuk menyelematkan Ahok. Saatnya untuk merubah dan "bersih bersih" dengan membuktikan adanya itikad baik untuk membenahi negara dengan serius. Pertamina bukan perusahaan ecek ecek. Kini diterpa masalah yang tak bisa dilepaskan dari peran Komisaris Utama. Karenanya rakyat dan bangsa Indonesia kini ingin melihat Ahok dan Direksi Pertamina bertanggungjawab. Adili segera Ahok dan Direksi Pertamina. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Rencana IPO Anak Usaha Pertamina “Inkonstitusional”
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Pemerintah segera menjual saham. Biasa dikenal dengan Initial Public Offering (IPO) anak-anak usaha (sub-holding) Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengkondisian dan kajian pelaksanaan IPO sedang disusun. Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, IPO antara lain bertujuan untuk mencari dana murah dan memperbaiki Good Corporate Governance (GCG), transparansi dan akuntabilitas. IPO atau privatisasi perusahaan di BEI guna memperoleh dana dan meningkatkan GCG merupakan hal lumrah. Masalahnya, karena perusahaan yang akan di-IPO anak usaha BUMN, maka persoalan menjadi lain. Apa pun alasannya, IRESS menilai rencana tersebut harus dibatalkan. Karena berlawanan dengan konstitusi. Apalagi, ternyata dana yang murah dan peningkatan GCG justru dapat diraih tanpa harus IPO. Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2020 total obligasi Pertamina mencapai US$ 12,5 miliar dengan tingkat bunga (kupon), tergantung tenor dan kondisi pasar, antara 3,1% hingga 6,5% (weighted average kupon sekitar 4,3%). Nilai kupon itu ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014). Kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,30%) yang tidak go public, tidak lebih tinggi (atau hampir sama) dengan kupon obligasi sejumlah BUMN go public. Kupon obligasi Bank Mandiri 4,7% (US$ 2,4 miliar, 4/2020), BTN 4,25% (US$ 300 juta, 1/2020), BNI 8% (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8% (US$ 300 juta, 12/2017). Ini menujukkan meski tidak go public/IPO, Pertamina mampu memperoleh “dana murah” dengan tingkat kupon lebih rendah atau setara dengan kupon BUMN yang sudah IPO. Peringkat utang Pertamina malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi yang diterbitkan mendapat jaminan pemerintah. Karena saham negara di Pertamina masih 100%. Jaminan pemerintah terhadap Pertamina otomatis juga melekat. Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO Pertamina justru dapat mengkases dana lebih murah dibanding BUMN yang sudah IPO. Terkait GCG, masalah justru timbul dari para pejabat pemerintah, hingga level Presiden. Intervensi pemerintah telah merusak kinerja BUMN, sehingga peringkat utang bisa turun. GCG Pertamina akan otomatis meningkat, jika pejabat pemerintah mampu menahan dan tidak menjadikan BUMN sebagai sapi perah. Selain itu, Pertamina pun harus dijadikan sebagai non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham meski hanya 1% pun. Dengan begitu, GCG-nya menigkat lebih baik. Jelas terlihat tanpa IPO, target dana murah dan perbaikan GCG dapat tercapai. Kuncinya ada pada pemerintah yang sering melanggar GCG. Kebijakan pencitraan Pilpres 2019 membuat Pertamina menanggung beban subsidi 2017-2019 sekitar Rp 96,5 triliun. Jika tidak segera dilunasi, Pertamina berpotensi gagal bayar. Karena itu, kita ingatkan agar pemerintah dan manajemen Pertamina, untuk berhenti memanipulasi informasi dengan mengatakan, “IPO anak usaha Pertamina diperlukan agar dapat mengakses dana murah dan meningkatkan GCG”. Menurut Pasal 33 UUD 1945, Pertamina adalah BUMN yang mendapat mandat negara memenuhi hajat hidup orang banyak dan mengelola sumber daya alam (SDA) migas, guna bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ada tiga aspek penting Ayat 2 dan Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yaitu, 1) pemenuhan hajat hidup publik, 2) pengelolaan SDA, dan 3) pencapaian target sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dominasi BUMN mengelola SDA ini telah diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.36/2012 dan No.85/2013. Pada prinsipnya MK menyatakan penguasaan negara terhadap SDA dijalankan dalam bentuk pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. Kekuasaan negara dalam pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan dan pengawasan ada di tangan Pemerintah dan DPR. Sedangkan penguasaan negara dalam pengelolaan SDA berada di tangan BUMN. Amanat Pasal 33 UUD 1945 itu diimplementasikan dalam peraturan operasional, yang termuat dalam UU BUMN Nomor 19/2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004. Pasal 77 huruf (c) dan (d) UU BUMN No.19/2003 menyatakan, “Persero tidak dapat diprivatisasi karena: (c), oleh pemerintah ditugasi melaksanakan kegiatan berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dan (d), bergerak di bidang SDA yang diatur UU tidak boleh diprivatisasi. Sedangkan Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 berbunyi sbb: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki Negara. Gabungan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya hanyalah BUMN/Pertamina. Hak istimewa pengelolaan SDA hanya diberikan negara kepada Pertamina jika saham pemerintah di Pertamina masih utuh 100%. Jika saham pemerintah kurang dari 100%, maka privilege akan hilang. Artinya, anak usaha yang sudah IPO tidak berhak mendapat privilege mengelola SDA. Sebagai contoh, karena 100% sahamnya milik negara, Pertamina berhak mengelola Blok Rokan. Jika anak usaha Pertamina yang berfungsi mengelola Blok Rokan kelak di-IPO, maka terjadilah privatisasi. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 yang melarang privatisasi BUMN pengelola SDA sesuai konstitusi. Jika anak usaha tersebut tetap di-IPO maka telah terjadi pelanggaran konstitusi dan UU. IPO Tidak Berkeadilan Jika IPO anak usaha Pertamina tetap dijalankan, maka publik pembeli saham anak usaha tersebut otomatis menikmati hak istimewa penguasaan SDA negara. Sedang mayoritas rakyat yang miskin atau tidak punya dana, tidak berkesempatan menikmati hak istimewa tersebut. Apalagi jika pembeli saham adalah warga negara atau negara asing. Kondisi ini tentu tidak adil dan bertentangan dengan sila kelima Pancasila. Selain itu, penguasaan SDA migas oleh BUMN 100% milik negara akan menjamin 100% keuntungan BUMN dinikmati seluruh rakyat melalui mekanisme APBN. Jika sebagian saham BUMN dijual, maka keuntungan BUMN akan terbagi kepada para pemegang saham publik/asing. Kondisi ini juga tentu tidak adil. Artinya terjadi pelanggaran terhadap mekanisme distribusi manfaat SDA yang berkeadilan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Sebagai kesimpulan, IPO anak usaha melalui skema unbundling harus segera dihentikan. Karena selain inkonstitusional dan bertentangan dengan aturan berlaku, juga melanggar prinsip persamaan dan keadilan sesama anak bangsa. Sesuai konstitusi, larangan privatisasi sektor SDA berlaku bukan hanya terhadap induk usaha, tetapi juga terhadap anak usaha BUMN. Untuk itu, rekayasa licik pembentukan sub-holding Pertamina untuk tujuan IPO anak usaha, yang lebih ditujukan untuk kepentingan oligarki dan kapitalis liberal, juga harus segera dihentikan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).
Anomali Pilkada 2020 Versus Penanggulangan Corona
by Apriliska Lattu Titahena Ambon FNN – Jum’at (28/08). Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur, Bupati dan Walikota. Ini tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Pilkada merupakan sarana kedaulatan politik rakyat. Begitulah sebuatan bahasa kerennya untuk pegiat demokrasi. Pilkada pertama kali diselenggarakan pertengahan tahun 2005 lalu. Sehingga pembiacaraan terkait penyelenggaraan hajatan demokrasi yang bernama pilkada ini sudah hangat-hangatnya sejak 15 tahun lalu. Apalagi menjelang hari penetuannya. Para pendukung dan pengamat politik ramai memprediksi kemenangan mereka yang bertarung di Pilkada. Dalam tahun 2020 ini juga akan diselenggarakan pilkada serentak. Sesuai Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Nomor 258/PL.02-kpt/01/KPU/VI/2020 Tentang Penetapan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota serentak lanjutan tahun 2020. Pelaksanaan Pilkada 2020 didasarkan pada ketentuan Pasal 122A ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014. Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 diperkirakan menimbulkan berbagai polemik. Apalagi Negara masih diperhadapkan dengan pandemi corona yang cenderung meningkat. Bukankah pelaksanaan pilkada ini untuk menjaga elektabilitas negar? Padahal ancaman pandemi corona masih terus menghantui kehidupan berneraga sampai hari ini. Bayangkan saja, ada 106 juta pemilih di 207 daerah yang akan melakukan pesta demokrasi tersebut. Kemungkinan besar untuk penyebaran virus corona dapat terjadi secara masal. Tentunya peningkatan korban terpapar corona justru semakin tinggi. Sehingga, penanggulangan corona akan semakin sulit dikendalikan. Malah bisa makin bertambah. Jika masih bersikukuh Pilkada tetap diselenggarakan. Maka harus ada jaminan dalam menekan segala kemungkinan penyebaran corona yang akan terjadi. Kita hanya berandai-andai saja, bahwa solusi yang ditawarkan penyelenggara adalah pilkada dilakukan secara daring dalam bentuk vote. Sudah tentu ini tidaklah efektif dan efesien. Dana Pilkada Untuk Pendidikan Dalam melaksanakan pilkada, tentunya negara harus mengeluarkan fundi-fundi rupiah yang tidak sedikit. Terhitung uang negara Rp 9 triliun lebih yang harus dikeluarkan untuk membiayai pilkada 2020. Anggaran sudah dibekukkan dan dipastikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan secara nyata pada masa pandemi corona, negara mengalami krisis ekonomi akibat anjloknya perekonomian. Negara terlihat kesulitan keuangan. Untuk membayar Alat Pelindung Diri (APD) kepada perusaahan tekstil yang memproduksi saja, banyak yang belum dibayat oleh pemerintah. Negara kesulitan keuangan itu terjadi pada saat Pilkada 2020 Desember nanti. Hal ini dijelaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam town hall meeting tahun 2020 pada tanggal 19 juni lalu. Beliau Menkeu mengajak seluruh jajaran Kementrian Keuangan untuk membicarakan peran penting kementeriannya dalam menjaga pemulihan ekonomi saat terjadinya pandemi corona. Terkait dengan alokasi dana pilkada Rp. 9 triliun yang sudah dibekukan tersebut, ada baiknya dialihkan untuk penanganan corona. Memang sudah terlalu banyak kebijakan yang dibuat dalam upaya penanggulan virus yang menjadi masalah global ini. Namun sampai hari ini, masalah pendemi corona masih tetap menjadi momok yang menakutkan serta mengancam kestabilan negara. Menghadapi kenyataan ini, tentu pengalokasian dana pun harus untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pastinya, harus mendukung tujuan bernegara. Tujuan bernegara itu dapat kita baca di pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Salah satu tujuan yang wajib mendapat perhatian khusus saat ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, negara memang masih dihadapkan pada berbagai tantangan serius terutama dalam upaya peningkatan kinerja yang mencakup pemeratan dan perluasan akses. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing. Penataan tata kelolah akuntabilitas dan citra publik, serta peningkatan pembiayaan. Kawal Tujuan Bernegara Dihadapkan lagi dengan masalah corona yang mempengaruhi dunia pendidikan. Bahkan dampak itu membuat kegiatan belajar dirumahkan. Padahal disruftif inovasi juga terjadi dan mempengaruhi wajah dunia pendidikan. Mau tidak mau justru mengubah paradigma pendidikan yang ada. Sistem lama seperti tatap muka diganti dengan sistem siber (cyber system) seperti belajar daring yang memanfaatkan teknologi digital dalam mengelolah dunia pendidikan saat ini. Lalu maraklah penerapan pembelajaran online (online learning). Hari ini sekitar 45 juta peserta didik serta 7,5 juta mahasiswa harus dituntut untuk melaksanakan kegiatan online learning tersebut. Banyak kendala yang ditemui. Dimulai dari tidak memadainya sarana dan prasarana penunjang kegiatan belajar. Mengajar yang tidak menjamin kesehatan serta keselamatan siswa dan guru. Soal konektivitas dan aksesibilitas flatform pembelajaran online yang tidak maksimal, serta kendala lainnya. Semua kendala tersebut paling banyak ditemui terkhususnya didaerah 3T. Padahal sudah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa negara telah menjamin setiap warganya agar bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Lalu bagaimana nasib masa depan puluhan juta anak Indonesia? Jika untuk belajar saja mendapatkan sejumlah kesulitan seperti ini. Negara harus menyelamatkan mereka. Pilkada masih bisa ditunda sampai tahun depan. Sampai pandemi corona benar-benar telah berhenti. Sampai dinyatakan aman bagi masyareakat untuk datang ke tempat-tempat pemilihan. Kalau masyarakat berkumpul, dipastikan tidak lagi ada gangguan penyebaran corona. Akan lebih bermanfaat jika anggaran Pilkada sebesar Rp. 9 triliun tersebut dipakai untuk menjawab kebutuhan pendidikan anak Indonesia. Dingatkan sekali lagi, bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan berbangsa dan bernegara. Tujuan mulia ini harus dikawal dengan ketat. Dipastikan kegiatan mencerdaskan kehidupan bangsa itu terlaksana sesuai cita-cita dan keinginan para pendiri bangsa. Menjadi kewajiban semua anak bangsa untuk mengawalnya. Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan.
Firaun Dan Komunis China
by Anton Permana Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Kalau berbicara kemajuan, Firaun adalah raja yang terkenal dengan pembangunan megah di zamannya. Kalau berbicara keperkasaan, Firaun juga dikenal sebagai ahli militer, dan punya pasukan kuat. Firaun tak pernah sakit semasa hidupnya. Namun, apakah itu semua menjadi tolak ukur kemajuan dan kehebatan seorang pemimpin ? Yaitu, prestasi bermahzab material, fisik, plus bumbu-bumbu mistis para tukang sihir dalam memanipulasi rakyat yang awam dengan pengaruh sihirnya? Tapi tahukah kita, bagaimana Firaun membunuhi setiap anak lelaki yang lahir hidup-hidup. Tak peduli anak siapa. Bayangkan kalau yang dibunuh itu adalah anak atau ponakan cucu kita. Bayi mungil tak berdosa harus disembelih sesuai titah sang Firaun. Tapi tahukah kita, bagaimana Firaun menjustifikasi dirinya adalah Tuhan yang wajib disembah dan dipatuhi? Siapa yang menentang, akan di bunuh berserta keluarganya, atau minimal di penjara sebagai pekerja paksa. Artinya, apa guna sebuah kemajuan, dan kemegahan yang dibangun dari puing tulang belulang rakyatnya. Kemegahan tanpa kemanusian, tanpa belas kasih. Mengorbankan darah dan air mata rakyatnya. Bagi para pemuja kehidupan matrealistis dan bermental budak, tentu hal ini tidak masalah. Karena dalam otak dan pikirannya hanyalah kehidupan fisik dan bangga menjadi budak hasil cuci otak para tukang sihir. Begitu juga dengan fenomena China komunis hari ini. Ada seorang pejabat negeri ini yang begitu mengelu-elukan kemajuan China secara berbusa-busa. Ibarat seorang "marketing brand ambassador" yang meng-endorse sebuah produk shampo. Yang menyatakan bahwa komunisme dapat menekan kemiskinan. Komunisne dapat menyatukan 1,4 milyar penduduk China komunis ? Tapi sayangnya, pernyataan tersebut hanya berupa sensasional yang menjustifikasi sebuah pendapat dari satu sudut "fisik" semata. Tanpa argumentasi dan indikator ilmiah lainnya. Misalnya, bagaimana perasaan dan tanggapan masyarakatnya terhadap negara? Karena rakyatlah yang paling berhak menyatakan baik atau buruknya perlakuan negara. Kita tentu semua tidak menafikkan atas pencapaian komunis Tiongkok hari ini. Dari sebuah negara miskin yang raksasa, tiba-tiba muncul dengan berbagai capaian prestasi. Sampai akhirnya menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia. Tetapi apakah cukup dengan pencapaian fisik itu semata lalu kita "latah" berdecak kagum terpesona? Seperti tulisan pembuka sebelumnya, Firaun juga punya prestasi kemajuan yang fantastis di eranya. Tetapi kemajuan itu dicapai tanpa memandang rasa kemanusian? Bahkan sangat berlebihan dengan menyatakan dirinya adalah Tuhan ! Apa Bedanya Dengan Tiongkok? Perlu dicatat. Kemajuan Tiongkok hari ini bukan karena komunisme. Tetapi oleh kapitalisme yang diadopsi Tiongkok melalui perselingkuhan ekonomi dan politik dengan kelompok elit globalis dunia. Baik itu yang bersama Israel maupun elit Amerika. Ini sudah rahasia umum. Cuma kelebihan Tiongkok adalah berani menerapkan strategi "one state two system" dalam negerinya. Bila ke dalam, Tiongkok menerapkan komunis (Naga). Sedangkan keluar Tiongkok menerapkan kapitalisme (Panda). Dengan strategi dua mata uang (Remimbee dan Yuan), Tiongkok memacu pembangunan industri dan explorasi alam murah-meriah. Kenapa bisa murah ? Sejatinya dengan strategi dua mata uang, China membangun industri dan infrastruktur negaranya "nol". Hanya cetak uang untuk biaya pembangunan. Setelah itu, sistem komunis ampuh memaksa rakyatnya untuk rela menjadi kuli negara berbiaya murah. Kombinasi inilah yang akhirnya segala produk-produk China berbiaya murah dan memukul produk negara lain. Uangnya dari cetak sendiri, tenaga kerjanya dari "perbudakan" rakyatnya sendiri. Lambat laun, kondisi ini akhirnya membuat Amerika dan sekutunya berinvestasi di China untuk menekan Cost produksi dan mendapatkan keuntungan berlipat. Saat inilah, baru Amerika dan sekutunya sadar, bahwasanya ada "hidden agenda" China dalam ambisinya menjadi penguasa baru dunia dengan memanfaatkan tenaga dan keunggulan energi lawan ibarat jurus Taichi dalam serial film kungfu. Barat yang sebelumnya fokus menjadikan Islam sebagai musuh utama, akhirnya lalai dan lengah terhadap China komunis yang sekarang tiba-tiba sudah menjadi naga raksasa. Hanya saja kemajuan China itu bukan karena komunisme, tapi karena kapitalisme. Persatuan China atas nama komunis pun adalah persatuan semu dan sepihak hasil propaganda opini agen komunis melalui media. Bagaimana kita percaya terhadap informasi sebuah negara yang semua lini komunikasinya dikontrol negara? Tidak ada kebebasan pers? Tidak ada HAM? Dan tidak ada perimbangan informasi independen, baik secara kanal berita maupun perangkat IT-nya. Itulah negara komunis. Kita tentu melihat Hongkong, Taiwan, dan Shenzen hari ini yang gemerlap sebagai kota metropolis dengan gedung pencakar langitnya yang megah. Tahukah kita bahwa tiga kota tersebut bukan China yang bangun, tetapi Barat yang bangun dari awal. Tahukah kita bahwasanya saat ini ada 55 kota hantu di China? Kenapa dinamakan kota hantu? Karena sudah mulai ditinggal para penghuninya atas sewanya yang mahal. Padahal kota ini dibuat dari program "printing money" renimbi. Bahan bakunya dari industri murah serta upah ala komunis yang murah. Mana ada UMK (Upah Minimum Kota) atau standar KHL seperti di Indonesia. Padahal kota hantu ini adalah juga basis kolateral China kepada pemodal. Coba kalau di negara demokrasi seperti ini? Pasti sudah ribut dan di penjara para pejabatnya. Di China, yang penting bagi pekerjanya ada tempat tidur, dapat makan, rakyat yang bekerja dapat upah seadanya dan wajib patuh pada aturan negara. Melawan ? Langsung hilang tengah malam. Lalu komunisme dapat menyatukan China. Ini jelas pernyataan berlebihan dengan aura menjilat yang kentara sekali untuk cari muka terhadap China. Mana ada persatuan kalau di Uyghur saja rakyatnya ditindas sedemikian rupa. Lihat pula penanganan terhadap demonstrasi besar-besaran saat di Hongkong. Belum lagi kalau kita ingat tragedi Tianamen di Taiwan. Entah sudah berapa puluh dan ratus juta China membunuhi rakyatnya tanpa rasa kemanusiaan. Namun itulah ideologi komunis. Tak mengenal Tuhan, tak mengenal HAM, apalagi hanya belas kasih. Yang penting bagi mereka tujuan politiknya tercapai. Lalu adakah sama rasa itu terjadi ? Itu hanya kamuflase semata bahwa negara akan menanggung hajad hidup rakyatnya. Yang benar adalah, negara hanya dinikmati oleh elit partai politik semata dan militer. Rakyatnya hidup dalam sebuah doktrin komunisme yang sangat kuat dan ketat. Dimana rakyat wajib tunduk, patuh kepada negara. Mulai dari lahir, sekolah, cara hidup, cara makan, sampai untuk cita-cita pun semua hanya untuk negara. Tuhan mereka adalah negara. Lalu kondisi seperti inikah yang mau diadopsi Indonesia ? Itukah yang dimaksud oleh pejabat endorser komunis tersebut ? China hari ini adalah hasil revolusi tentara komunis dari kelompok china demokratik yang akhirnya lari dan mendirikan Taiwan. Jadi negara Tiongkok hari ini adalah hasil revolusi komunis. Jadi wajar jadi negara komunis. Berbeda dengan Indonesia. Negara ini lahir dari perjuangan para ulama pejuang kemerdekaan. Dari penjajahan Belanda dan Jepang. Bangsa Indonesia lahir dari kesepakatan anak bangsa yang di abadikan dalam Sumpah Pemuda 1928. Lalu diproklamirkan 17 Agustus 1945, dan pada tanggal 18 Agustus dibacakanlah UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar dan konstitusi negara bernama Indonesia. Bangsa Indonesia sangat kaya akan kultur budaya dan khasanah tradisi daerah yang beragam. Dimana nilai KeTuhanan Yang Maha Esa sebagai nilai utama kita dalam bernegara. Dan komunisme sudah meninggalkan sejarah kelam bagi bangsa ini. Sama dengan China, komunisme di Indonesia juga telah bermandikan darah dan memakan korban nyawa ketika PKI masih ada. Memaksakan kembali ajaran komunisme ke Indonesia sama saja memantik perang saudara di Indonesia. Karena sudah pasti ummat Islam dan kaum nasionalis yang masih setia pada Pancasila akan melakukan perlawanan keras. Karena kerusakan yang terjadi di Indonesia hari ini adalah salah satu hasil infiltrasi dan hegemoni China terhadap pemerintah kita. Mana ada lagi kedaulatan negara kita hari ini? Hampir semua lini di dikte dan manut pada perintah China. Ibarat negeri ini bagaikan provinsi dari China. Sebagai bangsa yang beradab serta berKeTuhanan Yang Maha Esa, seharusnya kita tidak mudah terpesona dengan kemajuan sebuah negara seperti China. Karena kemajuan dalam konsepsi negara Indonesia itu tidak kemajuan fisik semata. Tapi bagaimana memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut aktif dalam perdamaian dunia. Dimana tujuannya itu adalah mewujudkan masyarakat yang berdaulat, adil dan makmur. Buat apa gedung megah, jalan tol pangjang, bandara besar? Tetapi kalau semua dibuat dari hutang berbunga besar dan juga tidak punya bangsa kita. Buat apa kata maju, tapi dibaliknya ada penindasan, pelanggaran HAM, ketidakadilan hukum, serta tanpa ada kebebasan dalam kehidupan. Jadi hanya mereka yang bermental budak dan jongos saja yang terpesona oleh kemajuan komunis China. Mereka yang mengabaikan nilai moralitas, nilai keTuhanan, dan nilai spritualitas, nasionalisme patriotisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Firauan dan komunis China hampir sama saja. Yaitu mengejar kemajuan dunia dengan mengabaikan nilai Illahiah, serta menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Kemajuan pun hanyalah tipu daya hasil "sulap" para tukang sihir. Kalau zaman Firaun ada tukang sihir untuk menakuti dan mengelabui rakyatnya. China hari ini menggunakan sihir media massa untuk mengelabui masyarakat dunia. Tapi yakinlah, seperti Firaun, kemegahan China hari ini akan hancur lebur. Karena mereka telah melampaui batas. Mau buktinya ? Semoga kita sama-sama punya masa dan waktunya sebagai saksi dari kehancuran China. Salam Indonesia Jaya ! Penulis adalah Pemerhati Politik, Militer dan Sosil Budaya.