Rakyat “Subsidi Paksa” Pertamina Puluhan Triliun
by Anthony Budiawan
Jakarta FNN – Ahad (30/08). Belum lama berselang Pertamina mengumumkan laporan keuangan semester pertama 2020 (1H 2020). Hasilnya membuat masyarakat terkejut bukan kepalang. Pertamina rugi Rp. 11 triliun selama 1H 2020. Setara dengan U$ 761,2 juta dolar.
Padahal “subsidi paksa” dari masyarakat yang menderita akibat pandemi corona telah menyelamatkan laporan keuangan Pertamina. Unit Penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri mengalami untung besar. Keuntungan itu puluhan triliun rupiah. Sayangnya, dalam laporan keuangan, Pertamina bilang mengalami kerugian.
Masyarakat selalu bertanya-tanya. Kenapa Pertamina bisa rugi besar. Padahal Pertamina sudah “disubsidi” oleh rakyat, meskipun itu subsidi terpaksa. “Subsidi paksa” yang dimaksud adalah masyarakat membeli BBM di dalam negeri dengan harga yang sangat mahal sekali. Jauh di atas harga normal, atau harga pantas, atau harga konstitusi.
Karena, harga jual eceran BBM di dalam negeri seharusnya sudah turun sejak lama. Baik berdasarkan kepantasan dan moral, maupun berdasarkan peraturan Menteri Enrgi dan Sumberdaya Miniral (ASDM) yang merupakan turunan dari undang-undang (UU). Dimana harga BBM seharusnya disesuaikan setiap bulan dengan formula perhitungan tertentu, yang mengacu pada harga internasional yang sudah mengalami penurunan tajam sejak awal 2020.
Apa mau dikata, ternyata tidak ada penyesuaian harga penjualan BBM di dalam negeri. Rakyat harus membayar “subsidi paksa” kepada Pertamina. UU ditabrak? Tidak masalah. Negeri sudah biasa, silemah tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi keperkasaan dan kedigjayaan penguasa. Mau menuntut? Silakan. Sikuat memang kuat segalanya. Juga kuat di pengadilan.
“Subsidi paksa” yang diberikan masyarakat kepada Pertamina sangat besar sekali. Mungkin mencapai Rp. 28 triliun selama empat bulan. Dari Meret sampai Juni 2020. Atau bahkan bisa juga lebih. Kita tidak tahu secara pasti karena tidak ada data yang detil. Hanya pemerintah (dan Pertamina yang tahu). Mungkin DPR juga tidak tahu, atau memang DPR tidak mau tahu.
Tapi kita bisa memperkirakan berapa penurunan harga penjualan BBM yang wajar selama pandemi. Dengan memperhatikan perubahan harga BBM di negara lain. Karena BBM adalah produk universal yang mengacu pada harga internasional yang sama harganya di semua negara. Homogen.
Kita bisa tengok harga penjualan BBM di Malaysia. Karena mereka mempublikasi perubahan harga BBM secara mingguan. Berbahagialah rakyat Malaysia. Berbeda antara langit dan bumi dengan yang terjadi di Indonesia. Pemerintah dan Pertamina menyembunyikan rapat-rapat kenuntungan yang diperoleh dari penjualan BBM di dalam negeri yang tinggi dan memeras rakyat tersebut.
Malaysia hanya menjual 3 jenis BBM di dalam negeri, yaitu RON95 (sejenis Shell V-power), RON97 (sejenis Pertamax Turbo) dan Diesel. Harga ketiga jenis BBM tersebut semuanya diturunkan sekitar 40 persen pada periode 11 April sampai 15 May 2020. Indonesia tetap bertahan dengan harga penjualan yang mencekik leher rakyatnya sendiri.
Dikonversi ke rupiah, harga BBM (RON95) di Malaysia turun rata-rata Rp 1.500 per liter pada Maret 2020, Rp 2.800 per liter pada April 2020, Rp 2.570 per liter pada Mei 2020, dan Rp 1.700 per liter pada Juni 2020. Ini bila dibandingkan dengan harga pada akhir Februari 2020.
Penurunan harga di Malaysia ini bila kita adopsi untuk Indonesia, artinya kalau Pertamina seadil Petronas, yang tidak mencekik rakyatnya sendiri, maka ada lebih bayar kepada Pertamina sekitar Rp 5,4 triliun, Rp 8,6 triliun, Rp 8,9 triliun, dan Rp 5,8 triliun pada Maret, April, Mei dan Juni 2020. Totalnya sekitar Rp 28 triliun lebih. Atau hampir U$ 2 miliar dolar.
Perhitungan ini diperoleh dari penjualan gasoline dan gasoil bulanan dikali selisih (potensi penurunan) harga rata-rata bulanan. Penjualan pada Maret hingga Juni masing-masing 115,79 ribu kilo liter, 102 ribu kilo liter, 111,9 ribu kilo liter dan 113,81 ribu kilo liter.
Tentu saja perhitungan ini hanya perkiraan berdasarkan data dan informasi yang dimuat di berbagai media. Perhitungan rincinya ada pada Pertamina. Semoga saja Pertamina berkenan memberi koreksi. Sehingga masyarakat bisa mengetaui keuntungan sebenarnya yang di dapat Pertamina.
Dengan mendapat “subsidi paksa” dari masyarakat, mustahil Pertamina mengalami kerugian. Apalagi untuk Unit Penjualan BBM di dalam negeri. Dari laporan keuangan yang dipublikasi, Pertamina memang secara operasional dapat dibilang tidak rugi selama 1H 2020.
Penjualan 1H 2020 tercatat U$ 20,48 miliar dolar, dengan Laba Bruto U$ 1,61 miliar dolar. Beban Usaha dan Umum mencapai U$ 1,67 miliar dolar. Sehingga Laba Sebelum Pajak Penghasilan (PPh) hanya minus U$ 0,06 miliar dolar AS, atau tepatnya U$ 58,3 juta dolar saja. Anehnya, dalam kondisi rugi seperti ini, Pertamina harus bayar PPh U$ 702,9 juta dolar. Sehingga total Rugi Bersih setelah PPh menjadi U$ 761,2 juta dolar.
Ini sangat menarik. Kok bisa, Laba Sebelum PPh hanya U$ 58,3 juta dolar, tetapi dikenakan PPh 702,9 juta dolar AS? Jumlah PPh ini setara dengan laba hampir U$ 3 miliar dolar AS. Artinya, ada unit usaha di Pertamina yang membukukan laba sangat besar sekali. Hanya ada satu kemungkinan untuk itu, yaitu Unit Penjualan BBM yang “disubsidi rakyat” U$ 2 miliar dolar, atau bahkan lebih besar lagi.
Keuntungan Unit Penjualan BBM dalam negeri tersebut untuk menutupi kerugian pada unit-unit lainnya, sehingga Pertamina hanya bisa menghasilkan Laba Bruto sebesar U$ 1,61 miliar dolar. Dan Rugi Bersih sebelum PPh U$ 58,3 juta dolar.
“Subsidi paksa” dari rakyat yang sedang menderita tekanan ekonomi telah menyelamatkan keuangan Pertamina. Rakyat telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian raksasa. Mohon Pertamina, DPR dan Meneg BUMN berkenan memberi koreksi atas angka “subsidi paksa” tersebut di atas.
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).