Terobosan Brilian Bahlil Jual 5000 Sumur Minyak Idle Well ke Kontraktor Asing

Oleh Faisal Sallatalohy | Mahasiswa Hukum Trisakti 

BARU lebih seminggu dilantik jadi menteri ESDM, Bahlil Lahadalia memberi terobosan fenomenal demi menggenjot produksi minyak nasional dalam rangka mengurangi impor dan beban keuangan negara. 

Berkaca pada target produksi minyak dalam asumsi dasar makro ekonomi APBN 2024, memang sangat tragis, hanya 630.000 barel/hari. 

Bahkan lebih tragis lagi ketika melihat kenyataan realisasi produksi lapangan. SKK Migas menyebut, produksi harian (crude + oil) hanya bergerak di angka 610.000-613.000 barel/hari, lebih rendah dari target yg ditetapkan. 

Rendahnya target produksi minyak ini sejalan dengan laporan SKK Migas di Akhir tahun 2023 lalu. Dalam setahun produksi lapangan minyak nasional hanya mencapai 221 juta barel/tahun : 360 hari = 613.000 barel/hari. 

Rendahnya produksi minyak nasional tidak sebanding dengan tingginya angka konsumsi. SKK Migas mencatat, konsumsi minyak nasional 505 juta barel/tahun. Paling banyak terserap ke sektor transportasi 248 juta, industri 171 juta barel dan ketanagalistrikan 38,5 jita barel. 

Kalau total produksi dalam setahun 221 juta barel secara aple to aple dipakai untuk membayar konsumsi 505 juta barel, maka ada selisih kurang sebesar 284 juta barel. 

Satu-satunya cara yg dipakai pemerintah untuk menambal kekurangan tersebut adalah IMPOR. 

Kementrian ESDM mencatat, impor indonesia sepanjang 2013 capai 297 juta barel. Terdiri 129 juta barel untuk crude dan 124 juta barel untuk oil atau produk. 

Bayangkan seberapa buruk status net importer oil Indonesia. Impor 297 juta/tahun barel, jauh lebih tinggi dari produksi yg hanya 221 juta barel/tahun 

Untuk mendatangkan minyak impor, pemerintah harus melepaskan cadangan devisa sebesar Rp 396 triliun dalam setahun. 

Maka menurut Bahlil ini adalah bentuk pemborosan yg nyata. Harus ada upaya alternatif tingkatkan produksi nasional untuk mengeluarkan Indonesia dari jurang net importir oil dengan tanggungan biaya yg sangat besar. 

Bahlil mengusung terobosan fenomenal untuk menjual 5.000 sumur minyak kategori "idle well" (nganggur-tidak lagi produksi) kepada swasta, terutama asing untuk reaktivasi kembali produktifitasnya untuk genjot produksi. 

Saat ini, secara nasional ada sekitar 44.985 sumur minyak. Hanya 16.990 yg produksi. Sementara 16.250 sumur masuk kategori menganggur atau berhenti produksi. 

Tidak semua sumur nganggur bisa direaktivasi kembali mengingat tidak adanya potensi subsurface, keekonomian yg tidak terpenuhi karena high cost rectivation, serta faktor HSE dan non teknikal lainnya. 

Setelah diverifikasi kementrian ESDM, Bahlil menyatakan ada sekitar 5.000 sumur yg bisa direaktivasi kembali, dilepas ke sawsta. 

Jadi untuk genjot produksi, cara Bahlil adalah reaktivasi kembali produktifitas sumur nganggur dengan cara dijual-dilepas kepada swasat, mayoritasnya asing. 

Otak dangkal, malas dan tidak kreatif. Enjoy the power. Power an Glory !!! 

Ada seribu satu cara yg bisa dilakukan tanpa harus melepas sumur-sumur idle well kepada kontraktor swasta asing. 

Saya kasih contoh salah satu cara yg bisa dipakai. Kalau memang masalah pemerintah adalah soal teknologi yg butuh banyak anggaran di luar kesanggupan produksi, cara mengatasinya sederhana sekali: Bahlil harus berani melenyapkan inefisiensi dan korupsi di sektor hulu migas yg marak dilakukan para elit dan kontraktor swasta. 

Salah satunya adalah indikasi inefisiensi, murk-up, perampokan cost recovery atau biaya pengganti produksi dari pemerintah ke kontraktor swasta. 

Contohnya sederhana: 

Pada 2018 lalu, biaya produksi atau cost recovery ditetapkan US$ 10,1 miliar. Naik jadi US$ 13,9 miliar di 2024. Artinya kenaikannya hampir mencapai 38% ((US$ 13,9 miliar - US$ 10,1 miliar) / US$ 10,1 miliar x 100 = 37,6%, dibulatkan jadi 38%) 

Di saat yg sama produksi nasional justru menurun tajam dari dari 808.000 barel/hari di 2018 jadi 610.000-615.000 per/hari di 2024. Artinya penurunannya mencapai 24% ((615.000 barel - 808.000 barel)/808.000 barel x 100 = 23,8%, dibulatkan jadi 24%. 

Bayangkan biaya produksi pada APBN naik ugal-ugalan capai 38% tapi produksinya justru justru turun 24%. 

Kenyataan ini sesungguhnga membuktikan, tingginya inefiesni sektor hulu migas, menjadi "benalu" utama turunnya produksi dan Indonesia harus bergantung tinggi terhadap minyak impor. 

Pertanyaannya, kenapa bisa, biaya produksi naik sangat tinggi tapi produskinya malah turun tajam ? 

Salah satu penyebabnya adalah maraknya praktik korupsi dan murk-up yg antara pejabat pemerintahan, komisi VII DPR RI, pihak SKK Migas dan kontraktor swasta. Tidak perlu saya bicara panjang lebar untuk buktikan, lihat saja kasus OTT nya Rudy Rubiandini, Kepala SKK Migas, Jero Wacik Mantan Men ESDM dan Sutan Batogana fraksi Demokrat di komisi VII. 

Bagaimana praktik korupsi dan murk-up itu bisa terjadi. Peluangnya muncul di SKK Migas mulai dari perancangan, pengajuan hingga pelaksanaan Work Program and Budget (WP&B). Katakanlah di 2024 ini, biaya produksi diajukan dan realisasinya berpotensi lebih dari US$ 13,9 miliar. 

Anggaran sebesar itu, sepenuhnya dikelolah oleh SKK Migas tanpa ada pengawasan majelis wali amanat. 

Status SKK Migas selaku BHMN itu derajatnya seperti kampus-kampus negeri milik negara. Diatas rektor ada majelis wali amanat yg mengontrol rektor kelolah uang kampus. Setahun kampus kelola uang tidak lebih besar dibandingka  tanggungan APBN untuk biaya pengganti produksi minyak ke kontraktor. 

Sementara SKK Migas, kelola uang negara US$ 13,9 miliar, tidak ada yg mengontrol, mengawasi. Ini keadaan nyaman yg memberi peluang bagi pejabat pemerintahan, politisi dan kontraktor murk-up, bergerombol merampok uang negara. 

Perkara kotor ini, masih berlangsung subur sampai saat ini !!! 

Seandainya perkara kotor inefisiensi ini di lenyapkan, maka negara bisa menghemat sekitar Rp 60,8 triliun/ tahun (CR 2024 US$ 13,9 miliar - CR 2018 US$ 10,1 miliar = US$ 3,8 miliar x kurs 16.000 = 60,8 triliun. Hasil pengematan tentu saja bisa digunakan pemerintah menghidupkan kembali beberapa sumur idle well untuk mengurangi ketergantungan teehadap kontraktor asing. 

Penghematan ini juga lebih dari cukup untuk menggenjot produksi dengan cara membangun kilang. Cukup dengan biaya US$ 50 juta sampai US$150 juta, pemerintah bisa bangun kilang kapasitas 6.000 sampai 18.000 barel per hari. Dengan membangun 10 kilang mini misalnya, bisa mendapatkan kapasitas hampir 100.000 sampai 200.000 barrel per hari. 

Ingat, ini baru salah satu model penghematan inefisiensi di sektor migas. Masih banyak celah inefisiensi yg perlu dilenyapkan. Jika semua berjalan baik, maka kebocoran anggaran negara bisa teratasi. Indonesia pelan-pelan bisa membangun ketahanan migas tanpa perlu bergantung terhadap modal asing. 

Tapi apa punya niat dan berani bahlil lenyapkan perkara kotor yg jadi ladang perampokan uang negara para elit dan kolega oligarkinya ? 

Boro-boro. Ini malah usung terobosan jual, lepas 16.250 sumur minyak idle well keapa swasta, terutama asing. Otak dangkal, mental penjajah. Maka mampuslah rakyat Indonesia. (*)

4720

Related Post