Rocky Gerung de Plato
by Dr. Syahganda Nainggolan
Jakarta FNN – Senin (31/08). Rocky Gerung (Roger) telah memberi ceramah sepuluh menit yang menakjubkan dalam rapat perdana Majelis Deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) di Pendopo milik Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, beberapa hari lalu.
Pertama, Roger mengatakan bahwa untuk bersekutu dengan KAMI dia harus naik ke Gunung Pancar. Roger merobek bajunya serta menuliskan KAMI pada robekan itu. Setelah Roger lalu menancapkan pada sebuah pohon di puncak gunung.
Kedua, dari Gunung Pancar itu dia melihat sebuah Pendopo yang angkuh. Yang suatu saat nanti, akan dia lumpuhkan keangkuhan pendopo itu. Hanya berselang beberapa waktu ternyata dia berpidato di pendopo tersebut (acara KAMI).
Ketiga, Roger mengatakan bahwa di puncak Gunung Pancar itu, dia memikirkan dua hal, yakni a) Rolling Stone. Sebuah batu besar yang berguling dari puncak gunung itu mungkin akan berakibat pada dua hal, yakni a. 1) batu besar itu tidak menyisakan bekas apapun pada bagian luarnya. Bahkan bekas lumut sekalipun. a. 2) Namun batu besar yang berguling itu dapat membuat batu-batu di sekitarnya ikut berguling bergelinding ke bawah sehingga membuat perubahan struktur gunung itu.
Pikiran lainnya, b) Roger menemukan kekeringan pada desa-desa di Gunung Pancar. Karena sumber air disedot oleh properti-properti mewah milik orang kaya di kaki Gunung Pancar. Petani dikorbankan oleh situasi itu.
Roger memukau KAMI dalam pidato singkatnya. Karena Roger dapat menjelaskan kerangka perjuangan KAMI dengan dialektika yang baik. Roger menjelaskan arah perjuangan KAMI adalah menjadikan orang-orang miskin di puncak Gunung Pancar harus lebih mulia daripada orang-orang kaya raya di bawah gunung itu, di Sentul.
Roger menjelaskan strategi perubahan harus melihat tanda-tanda alam dan melihat bergulirnya bebatuan. KAMI sebagai "batu besar" harus mampu menggerakkan bebatuan lainnya bergulir dan merubah struktur pegunungan (perubahan sosial besar).
Roger adalah bapak filsuf Indonesia. Seperti Plato, Roger mengalami transformasi dari "pure reason" menjadi juga "empiricism". Pembahasan Roger terhadapa segala hal, sebagaimana Plato muda, harus mengutamakan akal sehat. Jika tidak bisa dicerna akal sehat, maka apa yang bisa didiskusikan?
Namun, perenungan Roger dari gunung ke gunung, seperti juga Himalaya beberapa tahun lalu, membawa Roger percaya pada kekuatan alam semesta. Dalam "pure reason", Roger juga sering menyelipkan kata-kata tentang hukum alam dan kekuatan alam.
Dari sinilah Roger berinterseksi dengan kalangan agama yang menempatkan kekuatan "beyond ratio" pada Tuhan Yang Maha Esa. Ruang interaksi itu membuat perubahan besar Roger muda dengan Roger saat ini, dimana dirinya banyak berinteraksi dengan para agamawan, khususnya kalangan ulama.
Pengamatan atau observasi Roger atas nasib petani yang kekurangan air, membawa Roger dari filsup "prepositional knowledge" ke arah sosiolog. Tesa, Anti Tesa dan Sintesa tidak lagi terjadi karena (ala hegelian) perbenturan idea, namun Roger menemukan jawaban dari observasi (pengamatan). Fakta dan tafsir atas fakta menjadi penting dalam bagian hidup Roger.
Fakta dan tafsir atas fakta pada kehidupan Plato telah pula merubah Plato, yang awalnya percaya demokrasi menjadi ragu terhadap demokrasi. Kematian gurunya, Socrates, dihukum mati, di era demokrasi Yunani, membawa Plato terguncang.
Roger sepanjang hidupnya adalah pejuang demokrasi. Di masa otokrasi Orde Baru, Roger telah ikut mendirikan Fordem (Forum Demokrasi), yang melawan Suharto. Forum Demokrasi sangat terkenal didirikan antara lain oleh Gus Dur, Marsilam Simanjuntak, Rahman Toleng. Dua nama terakhir adalah bagian guru politik Roger.
Namun, Roger melihat sepanjang dua puluh tahun belakangan ini, demokrasi telah ditunggangi dan dikangkangi pemilik modal dan kaum oligarki lainnya. Oligarki yang membuat antara lain, petani-petani kehilangan air karena disedot properti mewah orang-orang kaya.
Dua puluh tahun, atas nama demokrasi, perampokan sumber daya alam kita terjadi dan tidak menyisakan bagian orang-orang miskin. Bisa jadi jalan demokrasi bagi Roger sedang dicurigainya, sebagaimana yang terjadi pada Plato, yang akhirnya menolak demokarasi. Namun, tampaknya Roger masih menyimpan demokrasi sebagai yang terbaik.
Penutup
Debat Roger dengan seorang pejabat negara dari Kementerian Kominfo , yang juga Guru Besar Universitas Airlangga, dua hari lalu di sebuah stasiun TV swasta, telah diikuti dengan hujatan sang Guru Besar bahwa Roger memberi dua manfaat di Indonesia katanya. 1) Roger telah menyatukan mereka yang dinilai kelompok intolerant. 2) Roger membantu Guru Besar tersebut memperbanyak follower tweeter-nya.
Penjelasan saya di atas sebelumnya, telah menjelaskan bahwa Roger adalah pewaris pikiran kaum liberal. Pikiran yang di jaman Belanda dan Kemerdekan, disebut orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun, paska kematian Dr. Syahrir dan kematian Rahman Toleng, gurunya, transformasi telah terjadi pada Roger. Roger telah mengasah dirinya menjadi kekuatan pencerah bagi bangsa dan perjalanan cita-cita bangsa.
Istilah intoleran, misalnya, dalam pandangan kekinian Roger bukanlah sekedar pembelahan sosiologis. Namun intolerant bagi Roger adalah kritikan kepada orang-orang kaya supermewah di kaki Gunung Pancar. Mereka yang telah merampok air dari orang-orang petani miskin di wilayah atasnya.
Kelompok intoleran bagi Roger bukan lagi mayoritas Islam yang ingin menegakkan Kalimat Tauhid. Namun adalah segelintir orang yang menguasasi 80% kekayaan bangsa kita. Mereka yang menjadikan orang-orang miskin menjadi pengemis di negerinya sendiri.
Professor atau bukan, buat Roger adalah soal kecil. Sebagaimana ejekan guru besar itu padanya. Bagi Roger, guru besar jika otaknya kecil, akan tidak bermakna apa-apa. Tidak ada manfaatnya, termasuk untuk snag guru besar. Dalam sejarah "Genocide" pada jutaan orang-orang Jahudi di Jerman di masa Hitler adalah karena hampir semua guru besar terlibat mendukung kebijakan Hitler.
Sebagai seorang filsup, kekuatan Roger adalah di "otak besar" yang melampaui batas-batas epistemologi dan methodologi. Sebab epistemologi dan methodologi seringkali menjerat kaum cendikiawan pada tanggung jawab kemanusiannya.
Sebagai filsup, Roger telah menjadi candu bagi anak-anak milenial dan emak emak untuk kembali belajar filsafat (sebuah ilmu yang rumit dan membosankan). Kemampuan Roger mencerahkan manusia dengan akal sehat dan mudah dipahami, membuat Roger mampu menghimpun banyak pebgikut, "No Rocky, No Party". Guru Besar Airlangga itu kagum kepada Roger, karena bisa menambah jumlah followers setelah debat dengan Roger.
Dalam masa tranformasi dunia saat ini karena pandemi (digitalisasi total kehidupan, deglobalisasi, dan social justice) peranan filsup sangat dibutuhkan, disamping ulama-ulama dan tokoh-tokoh agama. Mudah-mudahan Roger akan sebesar atau lebih besar dari Plato nantinya. “Bravo Roger”
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.