Buzzer Rupiah Dan Potensi Konflik Bangsa
by Tony Rosyid
Jakarta FNN - Ahad (23/08). Sepekan ini ramai pembicaraan soal buzzer rupiah. Yang disoal adalah anggaran negara. Dana puluhan miliaran rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipakai untuk biayai operasi buzzer. Sejumlah institusi negara terlibat.
Infonya dana untuk buzzer dan infulencer itu senilai Rp 90.45 miliar . Sangat kecil jika diukur dari prosentase besaran APBN 2020 atau 2019. Tapi, cukup besar jika melihat keadaan pertumbuhan ekonomi minus -5,32 persen.
Di saat rakyat sedang sulit karena efek pandemi covid-19 dan defisit APBN yang mencapai 3,38 persen, bahkan lebih dan tidak terbatas defisit APBN. Suka-suka pemerintah menetapkan defisit APBN, buzzer mendapatkan suntikan dana senilai Rp 90.45 muliar. Luar biasa kan?
Sebenarnya bukan soal besar atau kecil dana yang dikeluarkan pemerintah itu. Ada persoalan yang lebih mendasar. Pertama, apa manfaat buzzer buat bangsa atau rakyat negeri ini? Kedua, ini lebih serius, ada dampak yang cukup menghawatirkan akibat operasi buzzer.
Menjawab pertanyaan pertama, kalau ada manfaat dari operasi buzzer, itu manfaat buat siapa? Yang pasti bukan untuk negara. Bukan untuk rakyat. Bukan pula untuk bangsa. Sesuai dengan design operasinya, buzzer dipakai untuk menghadapi lawan politik penguasa dan orang atau kelompok civil society yang kritis kepada penguasa.
Buzzer bekerja untuk kepentingan penguasa, lebih dari kepentingan untuk negara. Karenanya, tak memiliki institusi dan kelembagaan khusus. Maka, anggarannya pun nempel ke program-program di berbagai kementerian dan institusi lainnya.
Fokus buzzer adalah mengcounter segala bentuk kritik terhadap program dan kebijakan pemerintah. Stigmatisasi makar, bahaya khilafah, Islam garis keras, ekstremisme dan radikalisme adalah bagian narasi yang terus dikelola oleh para buzzer untuk membunuh karakter dan gerakan kelompok civil society yang diidentifikasi sangat kritis kepada pemerintah.
Swiping, intimidasi dan persekusi oleh kelompok swasta berseragam juga seringkali menjadi bagian dari operasi buzzer. Tentu, ada anggarannya sendiri. Kalau nggak ada anggaran, ya nggak akan jalan. Nggak ada kerjaan juga
Operasi buzzer diduga menjadi salah satu sebab utama kegaduhan sosial dan politik selama ini. Sejumlah aktor yang selalu muncul ketika datang kritik kepada pemerintah adalah bagian dari salah satu model operasi buzzer yang selalu membuat kegaduhan situasi politik di negeri ini. Lu lagi… Lu lagi... Lu lalgi… Orang-orang itu aja.
Kalau dilihat aktornya, macam-macam jenis buzzer. Dari yang ecek-ecek, buzzer kelas kampung yang hanya cukup diprovokasi, hingga yang paling canggih dan profesional. Kalau sudah berurusan dengan IT, maka buzzer yang diterjunkan dan beroperasi adalah dari kalangan profesional.
Sebagaimana yang dialami oleh sejumlah deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) beberapa waktu lalu. Ada sejumlah akun deklarator KAMI diretas, rapat wibinar diganggu, nomor WA dicloning, dan seterusnya.
Anggaran senilai Rp 90.45 miliar, sesungguhnya terlalu kecil jika dibandingkan dengan dampak dan potensi social-destruction yang diakibatkan oleh operasi para buzzer. Yaitu potensi konflik sosial-horisontal di masyarakat. Hubungan antar kelompok dan agama dirusak. Kehidupan sosial dan berbangsa menjadi tak nyaman.
Kegaduhan selama ini sumbernya bukan ada tidaknya kaum radikal dan makar. Tetapi problem utamanya adalah adanya kelompok-kelompok bayaran yang bekerja secara sistemik menggaungkan isu radikalisme dan makar. Dari sinilah potensi konflik yang sangat menghawatirkan itu.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.