OPINI

Tak Pantas Untuk Pak Presiden Marah-Marah

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (30/06). Rapat tertutup Kabinet tanggal 18 Juni 2020 disebarkan seminggu kemudian. Yang menyebarkan ke publik itu pihak Istana Negara sendiri. Mungkin menganggap arahan Presiden itu hebat dan dapat membangun dan menaikkan citra diri Presiden. Dengan menyebarkan rapat tertutup tersebut, harapannya publik menjadi berbaik hati dalam menilai Presiden. Bahwa Presiden yang peduli kepada rakyat. Presiden yang tegas dan sangat disiplin, atau entah apalagi namanya. Dengan begitu, Presiden dapat banjir pujian dari masyarakat. Sayangnya, tingkat kepercayaan kepada Presiden sekarang semakin merosot di masyarakat. Kenyataan ini menyebabkan muncul beragam reaksi dan penilaian atas pidato pengarahan Presiden di rapat kabinet yang semula tertutup tersebut. Alih alih mendapat pujian. Banyak tanggapan miring bermunculan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "dagelan istana". Memang adegan tersebut, nyata-nyata memperlihatkan kelemahan kepemimpinan Jokowi. Ada sejumlah alsan dan peetimbangan dari kelemahan tersebut. Pertama, nampak telah terjadi kepanikan. Nada putus asa atas kondisi yang ada sekarang ini sangat jelas dan terang. Terkesan pemerintah sudah gagal. Sebabnya adalah menteri-menteri yang bersikap "biasa-biasa saja". Tidak juga tampak adanya kepanikan di kalangan para menteri. Karena mereka menganggap kondisi ini “biasa-biasa saja”. Tidak ada yang hebat atau istimewa. Kedua, Presiden sangat tidak bijak. Karena sikap Presiden yang mempertontonkan kemarahan kepada pembantunya di depan rakyat. Ini model dan contoh dari bentuk kepemimpinan marah-marah, seperti kebiasaan Ahok dan Risma. Bukan contoh yang layak dan pantas untuk diperlihatkan kepada rakyat. Ketiga, sangat mempermalukan. Menkes adalah korban terberat dari adegan yang tidak layak dan pantas ini. Dana yang disediakan kata Presiden, tak sebanding dengan tingkat penyerapan. Penyataan Presiden yang asal ngomong. Sebab tanpa adanya analisis penyebab, dan solusi perbaikan yang diperintahkan Presiden. Keempat, mudah menggampangkan masalah. Aturan yang tersedia, dari Perpres hingga Perppu dianggap enteng-enteng saja. Perppu itu diadakan hanya untuk keadaan yang sangat "genting dan memaksa". Bila terjadi kekosongan. Bukan hanya sekedar untuk "mengeluarkan duit" dengan cara yang dipaksa-paksa. Kelima, mengancam dan sok kuasa. Tak ada empati dan mendalami persoalan dengan baik. Yang ada hanya ancaman untuk melakukan reshuffle kabinet. Bila ini bukan sandiwara, maka menteri harusnya tersinggung. Menteri harus segera mengundurkan diri semua. Itu baru "nyaho". Keenam, Presiden tampak otoriter. Bukan bukan lagi sebagai koordinator. Arahan yang seperti ini mungkin saja akan dijalankan. Namun secara terpaksa atau tidak bertanggungjawab. Menteri akan semakin berkerja dengan asal asalan saja. Yang penting duit keluar, karena ada perintah. Inin sangat berbahaya. Ketujuh, terlihat aneh. Karena rapat kabinet tidak seperti layaknya sebuah rapat. Akan tetapi seperti agenda ceramah. Menteri hadir hanya untuk mendengarkan ceramah dari Presiden. Bukan meja rapat yang digunakan. Yang terlihat adalah meja indoktrinasi kepada para menteri. Kedelapan, pandemi covid dimanfaatkan sebagai tameng untuk berbuat apa saja. Termasuk untuk menghambur-hamburkan uang negara. Terkesan Presiden seperti marah, karena menterinya tak mahir memainkan dana covid-19. Ujung dari semua episode ini adalah Presiden Jokowi sebagai penanggungjawab pemerintahan, sebenarnya telah malu. Karena memiliki korps menteri yang kelasnya hanya bisa diam dan termenung. Juga hanya bisanya mencatat apa yang disemburkan itu. Padahal di hadapan Presiden itu ada guru besar, pengusaha, atau jenderal tentara dan polisi. Namun demikian, sebagai dagelan, ya mungkin itu bisa-bisa saja. Orang curiga dan ragu karena Pak Presiden sering ketahuan "actingnya”. Peristiwa rapat inipun membuat orang berfikir juga. Benarkah adegan tersebut adalah marah-marah sebenarnya. Kalau pun benar iya, adakah dampak politiknya ? Akibatnya, ada juga kawan "nyeletuk" sebenarnya mana yang lebih mendesak sih? Resuffle Menteri atau Presiden ? Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak lagi percaya. Begitulah akibatnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Namanya “Gerombolan Trisila dan Ekasila”

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (30/06). Sempat kaget dengan ungkapan dan penjelasan Ustad Eddy Mulyadi. Kordinator Lapangan (Korlap) aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di depan Gedung DPR RI membuat pernyataan yang viral di media sosial. Setelah kaget, akhirnya jadi balik tersenyum juga. Ada predikat atau nama baru yang dilemparkannya Ustad Edy Mulyadi, yaitu "Gerombolan Trisila dan Ekasila". Tersenyum, karena bisa bisanya Ustad yang wartawan senior dari Portal Berita FNN.co.id ini berani dan tegas ini mengkristalisasi lawan umat Islam. Sekaligus lawan Pancasila itu sebagai gerombolan. Cukup argumentatif klarifikasi atau penegasannya. Soal bakar bendera dinyatakan sebagai sebuah insiden, karena tidak ada dalam agenda yang direncanakan oleh peserta aksi demonstrasi. Bahkan tak tertutup kemungkinan dilakukan oleh penyusup yang sengaja membawa bendera PDIP. Kalaun bendera PKI yang dibakar tidak masalah. Meskipun pembakaran bendera PKI juga juga tidak ada dalam agenda awal aski di depan DPR. Namun Ustad Edy Mulyadi menyatakan tak keberatan jika dibawa ke proses hukum. Nah, sebutan gerombolan Trisila dan Ekasila menarik, karena beberapa sebab. Pertama, Trisila dan Ekasila bukanlah Pancasila. Jadi bisa merupakan ideologi tandingan terhadap Pancasila. Kita lima sila. Dia atau mereka hanya tiga sila saja. Dengan demikian, berjuang demi Trisila dan Ekasila untuk mengubah Pancasila. Mengubah Pancasila adalah makar terhadap ideologi. Kedua, setiap perjuangan ideologi Trisila dan Ekasila agar di masa depan dapat diterima untuk menggantikan Pancasila merupakan tindak yang nyata-nyata kriminal. Diancam dengan KUHP Pasal 107. Sanksi pidananya tidak main-main. Pidana penjara selama dua puluh tahun. Ketiga, Trisila dan Ekasila hanya tawaran Bung Karno seorang diri. Tidak menjadi kesimpulan kesepakatan dari para pendiri bang. Baik itu, di Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada dua lembaga yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia ini, ada Bung Karno di dalamnya. Karenanya perjuangan Trisila dan Ekasila bukan merealisasikan semangat Bung Karno. Sebaliknya, justru mengkhianati Bung Karno sendiri. Sebab Bung Karno juga ikut menyepakati bahwa Ideologi Negara awalnya adalah Piagam Jakarta. Selanjutnya menjadi Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Tidak mungkin Trisila dan Ekasila bisa diterima. Baik itu secara politik maupun hukum perjuangan ideologi Trisila dan Ekasila tersebut. Makanya menjadi sangat wajar jika upaya untuk mewujudkannya di negara Republik Indonesia menjadi bertentangan dengan konstitusi. Dapat saja dinyatakan sebagai perjuangan yang ilegal. Melanggar hukum, karena makar terhadap konstitusi. Kelompok gerakan apapun baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, ataupun politik yang berjuang untuk Trisila dan Ekasila dengan semangat menggantikan Pancasila jelas-jelas merupakan gerombolan makar. Akhirnya dapat dimengerti mengapa Korlap aksi menyebutnya sebagai "Gerombolan Trisila dan Ekasila". Memang RUU HIP menguak banyak hal. Ada ceritra seram, namun ada juga yang lucu. Di tengah keseraman ternyata ada kelucuan. Seramnya pasukan tegap siap gerak jalan. Lucunya jalannya mundur ke belakang. Mundur ke gorong-gorong Trisila dan Ekasila. Pancasila berlaku untuk sekarang dan ke depan. Tentu Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan yang diperas-peras menjadi Trisila dan Ekasila itu. Pancasila bukan jeruk nipis yang bisa diperas. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

RUU HIP, Monster Buatan PDIP Yang Akhirnya Mengejar Mereka

by Asyari Usman Jakarta FNN – Senin (29/06). Mungkin PDIP tidak menduga RUU HIP bisa sampai seperti sekarang ini. Ditolak keras dan dilawan di mana-mana. Partai ‘merah darah’ ini dituduh melakukan makar terhadap dasar negara, Pancasila. Tuduhan ini adalah logika dari keinginan mereka untuk mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Lalu menjadi Gotong Royong. PDIP, sebagimana diakui Sekjen Hasto Kristianto (28/6/2020), mengusulkan RUU yang menyerempet bahaya itu. Merekalah yang mengusulkan ekstraksi Pancasila menjadi Trisila-Ekasila. Singkatnya, PDIP hendak memeras Pancasila menjadi semboyan Gotong Royong. Ketuhanan Yang Maha Esa hendak diubah menjadi ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ (KYB). Tak jelas apa maksud dan tujuan KYB itu. Tanpa pakai seminar-seminaran, pastilah langkah mengekstraksikan (memeras) Pancasila menjadi Ekasila akan memancing kegaduhan. Sebab, sila yang teramat penting di Pancasila –yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa— otomatis akan tercoret akibat pemerasan itu. Ini sangat sensitif bagi rakyat. Khususnya bagi umat beragama. Lebih khusus lagi bagi umat Islam. Sangat tak masuk akal kalau PDIP tak memahami sensitivitas itu. Sekarang, RUU HIP berubah menjadi ‘home made monster’. Monster yang dibuat sendiri oleh PDIP. Monster itu akhirnya mengejar mereka. Banteng pun terbirit-birit. Sendirian pula. Parpol-parpol lain yang semula mendukung, cepat-cepat menjauhkan diri. Monster ini bisa distop, kalau PDIP berkenan. Mudah sekali. Coret saja RUU HIP dari prolegnas (program legislasi nasional). Dicabut, jangan dilanjutkan. Terus, semua dokumen berupa ‘softcopy’ dihapus. Dokumen ‘hardcopy’ (cetakan) dimusnahkan. Masukkan ke tong sampah. Sebaiknya, jangan coba-coba membuat muslihat dengan mengganti nama atau judul RUU itu. Rakyat akan tahu kalau ada pihak yang main akal-akalan untuk tetap merealisasikan RUU HIP. Dengan make-up baru. Cabut sajalah. Selesai perkara. Kalau tidak dicabut, cuma ditangguhkan, itu sama saja dengan memencet tombol hidup-mati ke posisi off. Kapan-kapan bisa dihidupkan lagi. Tapi, ingat, begitu Anda nyalakan kembali, monster itu malah akan mengejar lebih galak lagi. Jadi, harus dibatalkan. Janganlah main api lagi. RUU HIP menghina Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Ratusan juta orang yang bertuhan, beragama, berakidah, pasti akan tersulut. Mereka siap menjadi mayat jika itu diusik. Apalagi kalau diusik untuk kepentingan komunisme-PKI. Jadi, sudahlah. Tak usah berkeras untuk melanjutkan RUU ini. Kalau pun Anda katakan sudah diubah total, orang tak akan percaya. RUU HIP sudah tidak ‘credible’ lagi. Cabut dan batalkan saja. Itu jauh lebih baik. Dan, ingat juga! Jangan pernah lagi ada blok politik yang berusaha dengan segala cara untuk melenyapkan KYME. Atau menggiring ketuhanan ke dalam konsepsi sosio-kultural. Berat itu. Pasti berantakan. Sekarang, ada baiknya PDIP meminta maaf kepada seluruh rakyat atas rencana mereka untuk melenyapkan sila KYME itu. Mari kita coba membangun kembali ‘trust’ (kepercayaan) rakyat pada PDIP. Andaikata masih bisa. Tapi, tidak mudah merekonstruksi ‘trust’ itu. Kalau pun bisa, ‘cacat ideologi’ PDIP akan terbawa terus ke dalam tidur 260 juta umat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Trisila-Ekasila akan terpatri di benak publik. Satu hal lainnya. Tidak akan pernah hilang dari ingatan rakyat tentang upaya PDIP menghapus sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu. Mau tak mau, ini akan membuat rakyat senantiasa mewaspadai partai Banteng. Kewaspadaan permanen, sepanjang zaman. Penulis adalah Wartawan Senior

Tujuh Keajaiban dan Kejutan Dari RUU HIP

by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Endog sak petarangan netese bedo-bedo (bahasa Jawa) atau telur sesarang dierami induknya, menetasnya beda-beda” (Peribahasa). Jakarta FNN – Senin (29/06). Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menggeser isu aktual Covid 19 dan anggarannya. Juga menggeser PLN dan listrik swastanya. Pertamina dengan privatisasi sub holding migasnya. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dramatis, beban sepuluh tahun ke depan, dan lain-lain. Selain itu, menggeser pula isu actual. Memproduksi dan melahirkan banyak keajaiban dan kejutan. Tetapi disini hanya diambil tujuh. Mengapa tujuh? Penulis suka angka tujuh. Jagat raya dibentuk dalam tujuh masa. Langit dan bumi masing-masing tujuh lapis. Thawaf tujuh kali keliling Ka’bah. Sa’i juga tujuh kali Shafa-Marwah. Surat Al Fatihah tujuh ayat, warna dasar tujuh macam, dan seminggu tujuh hari. Bersifat pribadi, istri juga suka angka tujuh. Anak-cucu tanggal kelahiran ada unsur tujuhnya. Penulis dilantik sebagai Wagub DKI Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2007. Bersama kawan-kawan seperjuangan mendeklarasikan Gerakan Kebangkitan Indonesia pada 7 Januari 2018. Lalu apa saja keajaiban dan kejutan yang dimaksud ? Pertama, pemahaman Pancasila. Selama ini ada yang sinis terhadap Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (BP7). Dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di masa lalu. Namun, tiba-tiba muncul RUU HIP. Semua pada teriak Pancasila Dasar Negara, Ideologi Negara, Sumber Segala Sumber Hukum Negara, dan bla-bla Pancasila. Bahkan, pengusul RUU HIP pun teriakannya sama. Yang Lebih mengejutkan lagi, banyak yang fasih sejarah. Sejak mencari Dasar Negara hingga keputusan bagaimana narasi dan hierarkinya, (18/8/1945). Artinya, rakyat Indonesia yang Pancasilais lebih banyak dari pada yang brengsek. Suka tidak suka, itulah hasil indoktrinasi atas ‘Doktrin Pancasila’ melalui ceramah, penataran, dan diskusi yang dilakukan oleh BP7. Yang sangat dikagumi oleh negara luar, utamanya negara-negara ASEAN. Bahkan mereka datang melihat dan mengundang ke negaranya. Tidak perlu alergi mendengar indoktrinasi. Tidak ada yang keliru. Sebab, Pancasila sudah kita sepakati sebagai ‘kebenaran’. Kalau toh Penataran P-4 hasilnya masih ada yang brengsek, itu ibaratnya “telur sesarang dierami induknya, menetasnya beda-beda”. Kedua, tentang PKI. Walaupun pelajaran sejarah tidak seperti dulu, pemutaran film G.30.S/PKI diantara boleh dan tidak. Namun kewaspadaan bahaya laten komunis muncul ketika ada RUU HIP. Rakyat teriak “awas komunis bangkit dan ganyang komunis”, mengiringi tuntutan cabut RUU HIP. Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-POLRI, wadah para purnawirawan usia 80-90 tahun juga mencium gelagat itu. Meraka menyatakan “Pengangkatan RUU HIP ini dinilai sangat tendensius, karena terkait dengan upaya menciptakan kekacauan serta menghidupkan kembali PKI”. (Baca : Bukan Tiktok “You Know” Rizky Ayuba Tetapi Tahukah Siapa PKI Dengan Komunisme Importnya di mbah google) Ketiga, visi misi PDI-P. Visi misi PDI-P viral di medsos. Konon dibenarkan oleh anggota PDI-P saat debat di TV swasta. Membikin rakyat terkejut dan baru ngeh apa visi dan misi dari PDI-P. Ini suatu keajaiban dan kejutan. Tanpa RUU HIP mungkin rakyat tidak akan pernah tahu visi dan misi PDIP. Publik terhentak dan sangat kaget. Ternyata PDI-P dalam membentuk dan membangun karakter bangsa, berdasarkan pada Pancasila 1 Juni 1945. Untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Tri Sila. Sedang menentang individualisme digunakan Gotong Royong (Eka Sila). Padahal Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945, tidak mengenal Trisila dan Ekasila itu. (Ternyata Trisila dan Ekasila di RUU HIP Ada di Visi dan Misi PDI-P. Baca juga di om google) Keempat, Pancasila/Radikal/Khilafah. RUU HIP kembali membuat keajaiban dan kejutan. Terutama ketika tuntutan Tap MPRS No. XXV/1966 harus masuk sebagai konsiderans ‘mengingat’. Tuntutan ini minta imbangan. Radikalisme dan Khilafahisme juga masuk. Maka terjadilah adu argumentasi menafsir Pancasila, Radikal dan Khilafah yang mbulet, ruwet bikin mumet. Radikal hakikatnya sebagai ‘gerakan’ untuk mendukung reformasi. Menuntut hal yang mendasar. Bisa positip, namun bias juga negatip. Jadi, radikal atau radikalisme bukanlah ajaran atau ideologi. Khilafah merupakan ‘sistem kepemimpinan’ berdasarkan Al Quran, Al Hadis, Ijma dan Qiyas. Jadi, keduanya bukan ideologi. Maka tidaklah proposional Pancasila disandingkan dengan yang bukan ideologi. Beda dengan Tap MPRS No. XXV/1966, berkaitan dengan Komunisme/Marxisme dan Leninisme. Ketiga ideologi ini jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila. Sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa PKI pernah memberontak. PKI ingin mengganti Pancasila dengan komunisme. Itulah masalahnya. (Bukan “Don’t Forget” The Bee Gees, Tetapi Jangan Lupa Perilaku PKI. Baca juga di mbah dan om google) Kelima, tuntutan rakyat. Aksi massa di DPR, Rabu, 24/6/2020 bertemakan “Selamatkan NKRI dan Pancasila dari Komunisme”. Ternyata tuntutannya tidak hanya hentikan RUU HIP. Tetapi mencabut RUU HIP dari Proglenas Prioritaa DPR. Juga tangkap inisiator, fraksi dan anggota DPR pengusul RUU HIP. Tentunya ada pula yel-yel yang mengejutkan, yang tidak perlu ditulis dalam artikel ini. Keenam, sikap Fraksi. Berbagai tuduhan negatif terhadap RUU HIP, tampaknya telah membuat DPR memahami, menyadari. DPR lalu cenderung melemah. Tidak seperti biasanya. Fraksi-fraksi yang semula mendukung mencabut dukungan. Kini mereka meninggalkan Fraksi PDI-P sebagai inisiator sendirian berhadap-hadapan dengan rakyat yang menolak RUU HIP. Anggota Dewan yang menemui perwakilan aksi massa, berjanji mengusut dan menelusuri jejak sampai terjadinya RUU HIP. Bahkan akan memproses secara hukum jika ditemukan penyimpangan terhadap mekanisme yang diatur dalam Tatib Undang-undang. Janji yang akan ditagih oleh rakyat pendemo. Ketujuh, sikap Aparat. Sikap aparat keamanan pada aksi massa 24/6/2020 ada keajaiban. Bagaimana tidak? Biasanya, H-2 lingkungan DPR sudah serem. Barikade kawat berduri, ‘water cannon’ yang biasa tergelar tidak tampak. Masa bisa mendekat dan orasi di depan gerbang DPR dengan sangat bebas. Sepertinya aparat kepolisian sangat sadar dan memahasi kondisi dan emosi para pendemo. Sebab kalau sudah bicara Pancasila, itu terkait bangsa dan negara. Pancasila juga ada di Tri Brata dan Sapta Marga. Atau aparat yakin, massa kaum muslim sampai jutaan pun akan tertib. Ataukah sudah sepemahaman untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Bukan tindak pidana ataupun makar? Semoga, amin. Mungkin pembaca berpendapat ‘tujuh keajaiban dan kejutan’ di atas adalah hal yang lumrah. Monggo saja. Namun, jika ada yang menemukan keajaiban dan kejutan yang lain, juga silakan. Itulah catatan dan pendapat penulis. Semoga ada manfaatnya. Amin Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia

PDIP, Maju Kena Mundur Kena

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (29/06). Saat ini, memang tak mudah posisi yang dialami PDIP. Saat mengusulkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasil (RUU HIP), hampir semua fraksi mendukung. Hanya Fraksi Demokrat dan PKS yang menolak. Setelah Maklumat Mejelis Ulama Indonesia (MUI) menolak RUU HIP, fraksi-fraksi itu balik badan. Meninggalkan PDIP sendirian. Tak hanya sampai disitu. Karena dianggap menjadi inisiator RUU HIP, oleh banyak pihak PDIP dikecam telah berupaya mengusung komunisme. Melakukan makar terhadap Pancasila. Terutama ketika TAP MPRS No 25 Tahun 1966 ditolak mentah-mentah untuk menjadi konsiderannya. Justru yang muncul adalah Trisila dan Ekasila mirip visi dan misi PDIP. PDIP coba menjelaskan, tetapi tak didengar. Tidak diguris oleh umat Islam. Ratusan kader PDIP turun jalan dan teriak, “kami PDIP, kami bukan PKI”. Ternyata teriakan tersebut tak ngaruh juga. Sejumlah langkah yang dianggap berbau ancaman dari PDIP, justru kenyataannya malah menambah gelombang massa yang makin besar. Siap melakukan perlawanan. Bagi umat Islam “hidup mulia atau mati syahid”. Kalimat ini sudah keluar dari pimpinan MUI Pusat. Dalam Islam, ini mantra jihad yang dapat memengaruhi psikologi umat Islam untuk siaga mengambil segala risiko yang kemungkinan terjadi nantinya. PDIP perlu memahami dengan estrus mantra ini. Agar PDIP bisa bersikap dan bertindak lebih tepat dan bijak. Tak mudah memang. Balas gertak dan demo itu kontraproduktif. Justru membangkitkan kemarahan umat Islam, yang selama ini merasa terdzalimi dan dipojokkan. RUU HIP telah menjadi momentum konsolidasi umat yang sangat efektif. Sadar kalai lama didzalimi, umat Islam lalu mengadakan konsolidasi. Kondisi ini akan mematangkan situasi. Tidakkah ini jawaban terhadap teori dari Marx sendiri? Bapak dan sekaligus suhunya faham komunisme yang paling berpengaruh di dunia. Bagi PDIP, diam tak akan merubah apa-apa. Mundur dan batalkan RUU HIP, akan berdampak pada PDIP. Pertama, PDIP kehilangan muka di mata publik. Partai pemenang pemilu dua kali, dengan jumlah kader jutaan dan sekaligus pengusung penguasa dua periode ini, harus berbesar hati untuk menerima tekanan dari pihak luar PDIP. Tentu saja ini psikologi politik yang tidak mengenakan. Kedua, mengalah dan membatalkan RUU HIP. Itu berarti PDIP menerima proses pengusutan terhadap orang-orang yang terlibat dalam menginisiasi dan menyusun draft RUU HIP. Pengusutan adalah satu diantara tuntutan yang sangat kuat diajukan oleh MUI maupun Ormas-Ormas Islam. Boleh jadi dalam pengusutan nanti, ada kader PDIP yang tersangkut namanya. Sementara itu, PDIP dikenal paling gigih melindungi para kader dalam menghadapi berbagai masalah hukum. Ingat kasus e-KTP yang dalam persidangan menyebut sejumlah nama kader PDIP, dan gagalnya penggeledahan KPK ke kantor partai kepala banteng ini. Faktor inilah yang mambuat soliditas dan militansi para kader PDIP sangat kuat. Selain PKS, tak ada kader partai politik yang lebih solid dan militan seperti PDIP. Jika PDIP tetap melanjutkan pembahasan RUU HIP, dan melakukan perlawanan, maka situasi di negeri ini bisa menajdi nggak kondusif. Jika sampai terjadi, maka situasi ini tak hanya merugikan bangsa, tetapi bisa saja menjadi petaka. Boleh jadi, juga akan dirasakan oleh PDIP itu sendiri. Semuanya akan rugi. Menyesal kemudian tidak ada gunanya. Jauh lebih bijak PDIP legowo untuk menghentikan pembahasan RUU HIP. Sikap itu tak berarti PDIP telah kalah. Sebab kalah menang akan ditentukan pada pemilu, baik pilkada, pileg maupun pilpres. Kita akan lihat pilkada 2020 ini. Apakah calon-calon yang diusung PDIP terkena imbas RUU HIP? Mari kita semua berkomitmen untuk serahkan pada proses hukum. Sebagai partai besar, PDIP mestinya mampu memberikan keteladanan terhadap penegakan hukum di Indonesia. Biarlah pengusutan terhadap para oknum di balik RUU HIP berjalan sesuai hukum yang berlaku. Ada UU No 27 Tahun 1999 yang bisa menjadi dasar pijakan. Terutama pasal 107. Toh di dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di persidangan belum tentu ada putusan bersalah. Tetap saat ini harus mengacu pada prinsip praduga tak bersalah. Begitu juga yang terkait dengan pembakar bendera PDIP. Jika memang ada pasal-pasal KUHP yang cukup kuat untuk mengusut, biarlah proses hukum yang akan berjalan. Sebagai negara hukum, berikan kewenangan pihak yang berwajib untuk bekerja secara profesional dan independen. Jangan lagi ada intervensi politik kepada para penegak hukum. Sebab, ini justru akan jadi bumerang. Karena selama ini, kepercayaan umat kepada penegakan hukum sudah sangat rendah sekali. Kasus RUU HIP diharapkan mampu menjadi momentul untuk mengembalikan kepercayaan umat Islam terhadap penegakan hukum di Indonesia. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Kabinet Pesta dan Kabinet Krisis

Oleh Hersubeno Arief When the music’s over. Turn out the lights. Turn out the lights. Turn out the lights.—The Doors 1967— Jakarta, FNN - Musik sudah berakhir. Presiden Jokowi juga sudah memadamkan lampu. Para pembantunya di kabinet harusnya tahu. Itu isyarat tegas bahwa pesta sudah berakhir. Waktunya untuk kembali dalam kehidupan nyata. Sayangnya mereka sepertinya tak menyadari. Seperti vocalis The Doors Jim Morrison yang mati muda karena overdosis, tampaknya banyak diantara pembantu Jokowi yang juga sedang fly. Overdosis kekuasaan. Mereka masih tenggelam dalam mabuk dan pesta kemenangan. “Suasana dalam tiga bulan ke belakang ini dan ke depan mesti yang ada suasana krisis,” ujar Jokowi ketika membuka Rapat Parpurna Kabinet Kamis 18 Juni. Rapat itu dihadiri Wapres Ma’ruf Amin, para menteri kabinet dan pemimpin lembaga-lembaga negara. Tak seperti biasanya wajah Jokowi terlihat gundah dan lelah. Kalimat pembukanya to the point, tak ada basa-basi. Bernada retoris liris. Sebuah pertanyaan emosional yang tak memerlukan jawaban, sekaligus menyiratkan keputusasaan. Mestinya kita semua yang hadir di sini. Sebagai pimpinan. Sebagai penanggung jawab, lanjutnya. “Bertanggung jawab kepada 260 juta penduduk Indonesia. Tolong digaris bawahi!!. Dan perasaan itu sama. Tolong kita sama. Sense of cricis yang sama!” Suara Jokowi meninggi ketika mengucapkan hal itu. Dia tak berusaha menyembunyikan kegeramannya. Kegeraman yang setelah ditahan sekian lama, akhirnya dibagikan ke publik. Hal itu terlihat dari jeda waktu yang cukup lama antara pidatonya dan kemudian di-uploud ke situs video berbagai Youtube. Pidato Jokowi itu berlangsung pada hari Kamis (18/6). Sementara akun Youtube Sekretariat Presiden baru meng-uploud-nya pada Ahad sore (28/6). Ada jeda selama 10 hari. Cukup lama kegeraman itu coba diendapkan. Akhirnya diledakkan juga ke publik. Timing yang dipilih juga cukup menarik. Hari Ahad di kalangan wartawan dikenal sebagai hari sepi berita. Waktu yang tepat untuk merilis dan meledakkan sebuah isu. Berita apapun akan dimakan media. Karena keesokan harinya adalah hari Senin. Setelah berlibur, warga butuh informasi. Media juga butuh berita yang nendang. Psikologi media dan psikologi pembaca pemberita ini tampaknya sangat dipahami oleh tim komunikasi Presiden. Mereka ingin agar pesan dari puncak kekuasaan itu benar-benar sampai ke publik. Menyimak pidato sepanjang 10 menit, 20 detik itu kita dapat menangkap suasana batin Jokowi. Dia sangat geram, jengkel, marah kepada para menterinya tidak punya sense of crisis, menganggap situasi normal dan biasa-biasa saja. Jokowi dengan lugas menyatakan akan bertindak apapun yang diperlukan. Termasuk membubarkan lembaga dan mencopot mereka yang dinilainya tak becus bekerja. Tak punya perasaan dan pemahaman bahwa krisis tengah berlangsung. Benar saja. Pidato Jokowi langsung meledak. Menjadi santapan media. Hanya dalam waktu 12 jam, video di akun Sekretariat Presiden sudah ditonton lebih dari 200 ribu orang. Belum lagi yang menyebar di media-media online dan platform medsos. Beritanya menjadi trending, karena konten dan timingnya. Sangat terlambat Upaya Jokowi membangunkan kesadaran para menteri dan pejabat tinggi itu, sesungguhnya sangat terlambat. Seperti diakuinya, harusnya sense of crisis itu sudah muncul setidaknya sejak tiga bulan lalu. Sejak muncul pandemi Corona di Wuhan, Cina akhir tahun lalu. Atau setidaknya awal Maret ketika Jokowi mengumumkan kasus positiv Covid-19 pertama di Indonesia. Kita tak perlu mengulang-ulang lagi lagi bagaimana reaksi para petinggi negara menyikapi bencana Corona. Menyepelekan, menganggap remeh. Mengerahkan buzzer untuk membungkam suara kritis, serta berbagai lakulajak dan lancung lainnya. Sikap yang mengundang kecaman tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari komunitas internasional. Dampaknya bisa kita rasakan saat ini. Darurat kesehatan yang berkepanjangan. Krisis ekonomi yang kian dalam. Dan yang lebih mengkhawatirkan, krisis kepercayaan terhadap pemerintah semakin meluas. Jokowi bahkan mulai kehilangan dukungan dan kepercayaan di basis-basis pendukungnya. Beberapa seleb medsos yang selama ini dikenal sebagai pendukung dan buzzer pemerintah sudah menyuarakan ketidakpuasan dan perlawanannya. Publik cenderung skeptis dan apatis terhadap para petinggi negara. Apapun kebijakan pemerintah hanya dianggap lucu-lucuan. Meme bertebaran membuat kita tersenyum kecut dan getir. Yang paling mutakhir adalah kebijakan Mendagri memberi hadiah lomba video new normal ke beberapa pemerintah daerah. Kredibilitas Jokowi dipertaruhkan. Komunitas Internasional mempertanyakan keseriusan pemerintah. Jokowi menghadapi krisis kepercayaan dari dalam dan luar negeri. Semua terjadi seperti kata Jokowi, karena para pembantunya “bekerja biasa-biasa saja.” Bersikap seakan “tidak ada apa-apa.” Jokowi tampaknya mulai menyadari kabinet pesta. Kabinet bagi-bagi kekuasaan di antara para pendukungnya, tidak kompatibel dengan kabinet krisis. Kini saatnya dia menilai, memilah siapa yang cocoknya hanya diajak berpesta, dan siapa yang bisa diajak menangani krisis. Dia sudah menyadari tidak ada “perasaan yang sama” antara dia dengan para pembantunya. Kata itu bahkan sampai dia ulang sebanyak 4 (empat) kali. Jokowi menyadari bahaya yang mengancam kekuasaannya akibat penanganan krisis biasa-biasa saja. Kata “berbahaya sekali,” juga diulangnya selama 4 (empat) kali sepanjang pidatonya. Kekhawatiran Jokowi sangat bisa dimaklumi. Jika tak segera bertindak cepat, drastis, dan tegas masa depan politiknya jadi pertaruhannya. Bagi Jokowi pesta kemenangan periode kedua sudah berakhir dengan cepat. Namun para penggila pesta, tampaknya sudah mencari dan menyiapkan pesta lainnya. Melalui lembaga survei, mereka sudah mulai mengelus-elus pengganti Jokowi, justru ketika Jokowi harus berjibaku berjuang menghadapi pandemi. Dia mati muda di tengah puncak karirnya. Ditemukan mati di kamar mandi di sebuah apartemen di Paris dalam usia 27 tahun. Diduga overdosis. Jika tak waspada dan berhati-hati, pemerintahan Jokowi bisa mati muda (dying young) seperti nasib vocalis The Doors Jim Morrison. Kekuasaan seperti juga narkoba, sangat memabukkan. Jika lupa diri. Menggunakan secara berlebihan dan tak bertanggung jawab, bakal mati overdosis juga. End. Penulis Wartawan Senior.

Dahsyat Keberanian PDIP Mengacak-acak Sila Ketuhanan

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Sekjen PPP Arsul Sani dengan tegas dan jelas mengukuhkan bahwa RUU HIP dengan segala elemen makar di dalamnya adalah usulan fraksi PDIP di DPR. Itu yang dikatakan Sekjen di acara Dua-Sisi tvOne. Terima kasih atas penjelasan Pak Arsul. Jadi, tidak ada keraguan lagi tentang asal-usul RUU HIP. Artinya, tidak ada lagi teka-teki tentang siapa yang ingin menukangi Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Tidak ada lagi buang badan PDIP perihal upaya mereka untuk mengeliminasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak juga diragukan tentang siapa yang mengusulkan peniadaan Tap MPRS/XXV/1966 yang melarang komunisme-PKI dari deretan konsideran RUU yang sangat berbahaya itu. Blok politik yang mengusulkan itu adalah PDIP, PDIP, dan PDIP. Para elit partai penggemar warna merah ini tidak perlu berkilah lagi. Tidak usah berkelit dan berbelit-belit. Silakan cek langsung ke Pak Arsul dan redaksi tvOne. Nah, salah satu kesimpulan ‘post mortem’ prahara RUU HIP adalah keberanian PDIP mengacak-acak sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Di luar dugaan. Luar biasa berani mereka menunjukkan misi untuk menghilangkan KYME dari Pancasila. Tak mungkin mereka tidak paham reaksi umat Islam. Dahsyat keberanian mereka. Patut diacungkan jempol untuk PDIP. Meskipun mereka sekarang ‘malu hati’. Sekaligus babak-belur. Keberanian itu mirip dengan misi John Rambo (dalam film “Rambo” First Blood, 1982) ketika dia masuk ke jantung pertahanan Vietkong untuk membebaskan tentara Amerika Serikat (AS) yang ditawan Vietnam. Bedanya, Rambo sukses dalam ‘lone impossible mission’ itu. (Amerika pasti selalu sukses dalam cerita film Hollywood. Mana pernah kalah). Sedangkan PDIP ‘kepergok’ dalam upaya menyusupkan agenda anti-ketuhanan. Meskipun ‘kepergok’, keberanian PDIP itu memperlihatkan kesiapan mereka menghadapi konsekuensi apa saja demi pelecehan sila KYME. Dari posisi sila pertama ke posisi nol. Posisi lenyap. Dari tempat yang mulia sebagai pilar utama Pancasila ke posisi ‘ketuhanan yang berkebudayaan’. Yaitu, posisi yang hanya memaknai ketuhanan sebagai produk kebudayaan. Atau setara dengan produk kebudayaan. Untuk kemudian, ujungnya, menghapuskan ketuhanan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa kemungkinan mengapa PDIP sangat berani. Pertama, karena percaya diri sebagai partai terbesar di DPR. Mereka yakin bisa menggiring parpol-parpol lain untuk menerima Trisila dan Ekasila. Dan pada mulanya, enam parpol berhasil digiring. Mereka mendukung RUU HIP. Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasdem, PKB dan PPP setuju. Tapi, mereka sekarang menolak setelah komponen-komponen besar umat melancarkan perlawanan. Kedua, PDIP mungkin merasa sudah menyiapkan ‘perangkat keras’ untuk melunakkan umat Islam sebagai pihak yang paling lantang menentang. Ketiga, keberanian itu diperlihatkan untuk sekadar ‘mengukur dalamnya air’. Ternyata, air itu masih sangat dalam. Bahkan lebih dalam dari waktu-waktu sebelumnya. Memang selama puluhan tahun ada upaya pendangkalan air umat. Tapi, proyek pendangkalan itu gagal. Keberanian PDIP mengusulkan pelenyapan sila KYME hendaknya disertai tanggung jawab ketika usulan itu menciptakan instabilitas sosial-politik. Rasanya, tidak perlulah diajarkan apa yang harus dilakukan pimpinan partai. Yang jelas, perlawanan keras dilancarkan di mana-mana. Rakyat meminta agar para penggung jawab Trisila-Ekasila dan peniadaan Tap MPRS/XXV/1966 di deretan konsideran RUU HIP, segera ditindak sesuai hukum yang berlaku. Jangan biarkan berlarut-larut. Jangan pula disepelekan. Aparat penegak hukum, cq Kepolisian RI, tidak perlu menunggu laporan. Sebab, upaya untuk menghapus sila Ketuhanan adalah percobaan makar terhadap dasar negara. 28 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)

Hancur Dunia Kampus di Eranya Jokowi

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (28/06). Sungguh parah negara ini. Kooptasi terhadap kampus sudah masif. Negara rasa zaman penjajahan. Pada eranya Orda Baru saja, mulai dari pagar bagian dalamm kampus, masih tetap diberikan kebebasan untuk mengkritik penguasa. Kebebasan mimbar akademik sangat dijaga oleh Soeharto. Asal jangan di luar pagar kampus. Sebab pasti ditangkap. Sekarang, di eranya Jokowi ini, kenyataannya berbalik antara langit dan bumi dengan Soeharto. Suara kritis dibungkam atas nama radikalisme, intoleran, atau sejenisnya. Setelah acara diskusi di Universitas Gajah Mada (UGM) dirusak, dan pembicara diteror habis, kini giliran Majelis Wali Amanat Institut Terknologi Bandung (ITB) yang diganggu. Gangguan di ITB tersebut, datang dari permintaan Gerakan Anti Radikalime Alumni ITB. Prof. Din Syamsuddin merasa harus mempertimbangkan untuk mengundurkan diri sebagai anggota Majelis Wali Amanat ITB. Petimbangan Prof. Din itu demi "harmonia in progressio". Korban radikalisme kampus. Permainan politik murahan dari penguasa. ITB yang telah menghasilkan pejuang dan proklamator bangsa sekelas Ir. Soekarno haruskah mencoreng diri di masa rezim Jokowi? Tangan-tangan anti demokrasi, anti kritik, berbau kolonialis bisa mengobrak-abrik kampus? Bandung kota perjuangan. Kampus sekelas ITB seharusnya memperlihatkan citra yang membanggakan, otonom, progresif dan tetap kritis kepada penguasa. Prof. Din Syamsuddin mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sekarang Ketua Dewan Pertimbangan MUI, dan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tokoh yang malang melintang dalam berbagai organisasi perdamaian dunia. Suka menyatukan komunitas lintas agama dan etnis. Selainn itu, Prof. Din menjadi pengurus di lembaga-lembaga yang menyerukan pentingnya toleransi antar umat agama. Tak ada sedikitpun bawaan atau watak pada dirinya untuk berbuat makar atau yang para sampah sebut radikal itu. Namun Prof. Din tidak pernah berhenti mengkritis penguasa, terlepas dari siapapun presidennya. Aneh bin ajaib jika Ketua MWA ITB Yani Panigoro "ngotot" untuk menyingkirkan Prof. Din. Apakah karena ia adalah tokoh Islam yang kritis ? Apakah karena punya jaringan yang luas itu sangat membantu untuk merealisikan semangat ITB sebagai a world class university? Sayangnya keluasan itu dengan berbalas kesempitan pandangan di internal ITB sendiri. Memasung kebebasan akademik. Secara pribadi, bagi seorang Din Syamsuddin, diyakini tidak terlalu penting amat untuk tetap menjadi anggota Majelis Wali Amanat ITB. Prof. Din dengan mudah untuk mengundurkan diri dari ITB. Akan tetapi budaya intoleran, menekan, dan radikal oleh gerakan palsu anti radikalisme adalah merendahkan martabat alumni perguruan tinggi ternama di kota Bandung itu. Sungguh sangat prihatin dan miris dengan kehancuran dunia kampus di Indonesia. Para akademisi yang semestinya berfikir obyektif, analitis, logis. Sikap yang kritis nampaknya telah dirusak oleh kekuatan kolonialis, pragmatis, dan mungkin agen kapitalis atau komunis. Para pencercah berhati kusam, licik dan picik. Sebenarnya tak ingin mencampuri urusan yang bukan almamater sendiri. Tetapi hati ini teriris dan harus berteriak kepada kekuatan para penjajah. Anda telah berhasil menghancurkan kampus-kampus kami. Mungkin saja anda berhasil untuk saat ini.Tetapi yakinlah tidak untuk selamanya. Kami segera merdekakan kampus! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Her Suganda, Wartawan Idealis dan Penulis Soekarno

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Beberapa hari lalu, saat Shalat Tahajud, tiba-tiba saya teringat Her Suganda, guru saya di dunia kewartawanan. Usai shalat, tidak lama kemudian, ingatan masa lalu pun muncul saat bekerja bersama Pa Her (panggilan teman-teman yang pernah bertugas di Jabar) di Harian Kompas Biro Jawa Barat. Orangnya teguh dengan prinsip sehingga orang lain pun segan dengan beliau. Meski sebagian rekan kerjanya ada yang menilai sosok Her Suganda sebagai orang yang “keras” tetapi dia sebenarnya orang yang supel dalam bergaul terutama dengan para nara sumber. Nara sumber dan jaringan informasinya bukan hanya para pejabat formal tetapi juga orang-orang biasa, terutama para petani dan nelayan di Jawa Barat. Her Suganda dikenal sebagai wartawan lapangan yang lebih banyak menggali dan menulis berita dari bawah. Dia juga sosok wartawan yang cerdas dan cerdik dalam mengangkat dan menulis berbagai persoalan serius maupun masalah keseharian masyarakat di Jabar. Banyak isu-isu lokal di Jabar, namun begitu diliput dan ditulis oleh Her Suganda menjadi isu nasional. Pa Her bukan tipe “wartawan salon” atau “wartawan talking news”, yang hanya menulis berita berdasarkan omongan para pejabat pemerintah atau aparat. Dia bukan termasuk golongan wartawan yang hanya bermodalkan (waktu itu) tape recorder yang kerjanya cuma mendatangi acara-acara seremonial kemudian ditulis menjadi berita di koran. Her Suganda adalah wartawan yang bekerja dengan hati, kemudian turun ke bawah menggali data dan informasi langsung dari masyarakat lalu dia tulis menjadi berita atau tulisan khusus (feature). Dia menjalani kerja di dunia kewartawanan sekaligus sebagai salah satu upaya untuk menunjukkan kebenaran dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dulu dia juga dikenal sebagai wartawan bidang pertanian yang tangguh. Wartawan rendah hati Pernah suatu waktu dia memberitakan kemiskinan parah yang diderita petani di Karawang sehingga ketika itu para petani terpaksa makan eceng gondok. Lalu dia menuliskan peristiwanya secara faktual, langsung dari lapangan. Setelah beritanya menghiasi halaman utama Harian Kompas, pemerintah waktu itu akhirnya bereaksi dan berita kemiskinan rakyat Karawang waktu itu menjadi isu nasional. Dalam kasus-kasus seperti inilah, kepuasan kerja seorang wartawan seperti Her Suganda terpenuhi. Kepuasan batin seorang wartawan adalah manakala berita yang dibuatnya telah mempengaruhi para pengambil kebijakan maupun masyarakat. Itulah berita yang bernilai tinggi. Namun demikian, Her Suganda tidak pernah menceritakan kehebatan dirinya sendiri. Itulah sifat rendah hatinya. Kalau ditanya tentang berita eceng gondok yang menggegerkan itu, selalu dia bilang, “Ah itu dulu gun,” katanya mengelak. Sebagai wartawan yang menguasai masalah pertanian, Her Suganda sudah sangat paham siklus pertanian yang berlangsung di daerah Jabar. Mulai dari masa tanam padi, musim panen, musim paceklik hingga masalah kemiskinan yang dialami para petani dan nelayan di Jabar. Dia mampu memetakan wilayah Jabar baik dalam angka maupun menjelaskan secara aspek sosial kultural masyarakat Jawa Barat. Her Suganda mampu mengangkat berbagai persoalan dan keunikan di wilayah Parahyangan dengan gaya tulisan yang mengalir sehingga enak dibaca. Meskipun saya menjadi anak buahnya Her Suganda tapi hubungan kami tidak kaku seperti atasan bawahan. Rekan-rekan di Kompas yang pernah menjadi anak buahnya di Bandung, selalu berdiskusi dengan Pa Her tentang isu-isu aktual yang terjadi di Jabar. Meskipun secara struktural, Her Suganda atasan tapi pola kerjanya tidak selalu bersifat instruksional. Kami para wartawan muda selalu didorong beliau untuk banyak berinisiatif dalam melakukan kegiatan liputan sehari-hari. Jadi wartawan sejak 1965 Saya mulai masuk dunia wartawan tahun 1990, sementara Her Suganda sudah menjadi wartawan sejak tahun 1965 di Jakarta. Kemudian atas ajakan wartawan senior Jakob Oetama, kemudian Her Suganda bergabung dengan Harian Kompas sejak tahun 1980 hingga tahun 2002. Meskipun dia masih energik dan produktif menulis, namun pada tahun 2002 Her Suganda sudah berusia 60 tahun. Sehingga dia terpaksa harus menjalani masa pensiun dari Kompas. Sebenarnya dalam dunia wartawan tidak mengenal istilah pensiun. The Old Journalist Never Die. Her Suganda hanya pensiun secara administratif dari Kompas namun kegiatan menulisnya terus berlanjut.Justru di usia pensiun, Her Suganda semakin produktif menulis tentang sejarah Kota Bandung dan Jawa Barat. Setelah pensiun dari Kompas, beliau menulis tujuh buku. Buku terakhir yang ditulis Her Suganda adalah “Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934) yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 27 April 2015. Namun tidak sampai sebulan setelah itu, hari Senin 18 Mei 2015, Pak Her Suganda meninggal pukul 23.40 WIB di RS Immanuel Bandung. Beliau wafat di usia 73 tahun dan dimakamkan di daerah Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jabar. Alhamdulillah, waktu itu saya sempat takziah ke rumah Pak Her di Jl Karasak Bandung sesaat sebelum dibawa ke Karawang, Jabar. Selama bekerja di Kompas, komitmen dan loyalitas Her Suganda lebih kepada profesinya sebagai wartawan, bukan semata kepada institusi tempatnya bekerja. Oleh karena itu, meskipun dia sudah dibujuk dan diminta berkali-kali agar mau dipindah ke Kantor Kompas di Jakarta, tentu dengan peluang karir dan “kehidupan yang lebih baik”, namun Her Suganda tetap menolak. Tidak ada satupun pimpinan Kompas termasuk Jakob Oetama yang bisa memaksa dia untuk meninggalkan Kota Bandung dan Jawa Barat. Ibaratnya Her Suganda Itu Jawa Barat, dan Jawa Barat adalah Her Suganda. Ini bukan slogan kosong. Dia memang betul-betul sudah menjelajahi setiap daerah di Jawa Barat, sehingga wajar kalau dia sangat mengenal dan memahami berbagai aspek kehidupan masyarakat Jabar khususnya sejarah Kota Bandung. Ketika masih di Kompas, Pak Her pernah menyampaikan kepada saya bahwa selama dirinya menjalankan tugas sebagai wartawan dia juga sekaligus melakukan penelitian tentang sejarah Kota Bandung dan Jabar. Dia kumpulkan bukti-bukti sejarah sehingga begitu pensiun dari Kompas, Her Suganda mampu menulis hingga tujuh buku soal sejarah Bandung dan Jabar. Selain menulis tetang Presiden Soekarno, Her Suganda juga menulis buku Kampung Naga: Memperkenalkan Tradisi. Buku lainnya,Wisata Parijs Van Java. Ketika masih bekerja bersama-sama, beliau banyak mendorong saya agar bisa berkembang secara optimal sebagi wartawan. Selama di Jabar, Her Suganda terus menerus mendorong saya untuk bisa mendatangani setiap pelosok daerah di Jabar. Tujuannya, agar minimal saya sebagai wartawan bisa mengenal daerah liputannya. Ketika Her Suganda menjalani masa pensiun tahun 2002, saya seolah merasa kehilangan sosok yang selama ini telah ikut mempengaruhi perjalanan saya sebagai wartawan. Pandangan saya ini mungkin bisa dianggap berlebihan tapi memang demikianlah adanya.Semoga di hari ulang tahun Kompas ke 55 pada 28 Juni 2020, sosok wartawan idealis seperti Her Suganda bisa dijadikan cermin bagi generasi baru para wartawan muda. Wallohualam Bhisawab. Penulis Wartawan Senior.

Piagam Jakarta dan Pancasila Itu 22 Juni (Bag. Kedua)

by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Kamis (27/06). Ternyata peta politik dan kekuatan militer dunia berubah di bulan agustus 1945. Amerika dan Sekutu membom bardir kota Herosima dan Nagasaki. Pemboman terhadap dua kota Induk Jepang ini membuat Jepang tidak berdaya dan menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Pada saat yang sama Soekarno dan Hatta bertemu Jenderal Terauchi di Dalat. Dalam perjalanan pulang dari Dalat, keduanya belum mengetahui akan kondisi jepang yang dibom sekutu. Sampai di Indonesia, keduanya mendapatkan desakan untuk segera membacakan proklamasi kemerdekaan. Desakan itu datang dari tokoh-tokoh muda. Namun Soekarno belum bisa menerima desakan itu. Akhirnya mereka menemui Laksamana Muda Maeda untuk mengetahui kejelasan kalahnya Jepang kepada sekutu. Dan Maeda membenarkan bahwa Jepang sudah kalah perang. Maeda mengatakan kepada Soekarno dan Hatta bahwa janji kemerdekaan dari Jepang tidak bisa di harapkan lagi. Saatnya Indonesia menentukan sendiri nasibnya. Jepang lepas tangan. Bangsa Indonesia menentukan sendiri nasibnya untuk menjadi negara merdeka. Jadi, kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari negara manapun, melainkan ikhtiar dan usaha Bangsa Indonesia sendiri. Malam hari sebelum pembacaan Proklamasi, hiruk-pikuk tentang kemerdekaan menggema. Dalam keadaan demikian, maka disusunlah naskah prokamasi yang singkat, yang akan dibacakan hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan Proklamasi disekapakati pukul 10 WIB pagi di jalan Pengangasan Timur, sekarang Tugu Proklamasi. Nakah Proklamasi dibacakanlah oleh Soekarno di dampingi Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dua peristiwa penting terjadi hari itu. Proklamasi dan polemik ideologi. Sebab, sore hari setelah pembacaan Proklamasi itu, menurut cerita dari Bung Hatta, bahwa dia di datangi oleh Opsir Kaigun (Pembantu Laksamana) menyampaikan keberatan orang-orang dati Indonesia Timur tentang tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Menurut Bung Hatta, opsir itu membawa pesan dari orang-orang Indonesia Timur, bahwa umat Kristen tidak menerima Naskah Piagam Jakarta. Bahkan mengancam tidak akan ikut menggabungkan diri ke dalam Negara Indonesia yang sudah sehari sebelumnya merdeka. Sampai disini perlu dicatat, bahwa Opsir Kaigun yang menemui Bung Hatta itu ternyata membantah pengakuan tersebut. Dalam sebuah kesempatan Prof. Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Opsir itu mengaku tidak pernah menyampaikan apa yang dikatakan oleh Bung Hatta. Opsir tersebut kalau nggak salah namanya adalah Letnan Kolonel Angkatan Laut Segetada Nasijema. Sementara dalam Panitia 9 ada seorang perwakilan Kristen, yaitu Mr. A Maramis. Bahkan A. Maramis dengan setuju Piagam Jakarta itu menjadi Filosofiche Groundslaag Indonesia merdeka. Karena itu informasi yang disampaikan oleh Bung Hatta tentang opsir Kaigun yang menyampaikan keberatan orang-orang yang beragama Kristen di Indonesia Timur terbantahkan. Dengan demikian, Cerita Bung Hatta itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya dan sampai hari ini. Perubahan Piagam Jakarta menjadi Pancasila, serta penghapusan tujuh anak kalimat itu menjadi polemik ideologi yang tak kunjung selesai. Besoknya tanggal 18 Agustus adalah rapat pemilihan Presiden dan Wakil Presidn pertama Indonesia. Pada hari yang sama, juga penetapan UUD 1945 menjadi konstitusi negara. Falsafah dasarnya adalah Piagam Jakarta yg ditetapkan lebih dulu sebelum Indonesia Merdeka. Sidang yang rencananya di mulai pukul 9 WIB pagi, diundur sampai pukul 11 WIB. Lobby pun tak bisa dihindarkan. Saling bertahan dalam kesepakatan, dan penetapan tanggal 22 Juni itu. Sementara sebagian besar tokoh-tokoh Islam yang masuk dalam panitia kecil sedang tidak berada di Jakarta ketika perubahan itu terjadi. Namun tokoh Islam dengan pemegang kuncinya adalah Ki Bagus Hadikusumo, waktu itu menjabat sebagai Hoofbestur atau Ketua umum PP Muhammadiyah, dengan mediasi Kasman Singodimedjo (Salah satu pengurus pusat muhammadiyah) Kiyai Wahid Hasyim (Ulama NU) dan tokoh Islam lainnya merelakan tujuh kata itu dihapus demi Kautuhan bangsa dan negara. Maka tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta yg ditetapkan tanggal 22 Juni itu diubah menjadi Pancasila Tanggal 18 Agustus 1945, dengan rumusan berlaku sekarang. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaran Perwakilan, serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Akhirnya Umat Islam merelakan tujuh anak Kalimat itu hilang. Hanya demi persatuan dan keutuhan negara Indonesia yang baru saja mendeka sehari sebelumnya. Pengorbanan besar itu menjadi peristiwa sejarah yang paling penting dalam sejarah Indonesia. Pengorbanan terbesar umat Islam setelah berkorban dan berjuang melawan penjajah Belanda selama tiga abad lebih. Meski demikian, umat Islam telah memantapkan hati menjadikan Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari sikap Muhammadiyah yang telah menetapkan Pancasila sebagai “Darul Ahdi wa Syahadah”. Sementara NU menyebutnya Mitsaqan Ghalidza atau Perjanjian Agung Bangsa Indonesia. Artinya, Pancasila sudah final dalam kehidupan berbangsa dan Bernegara. Jangan lagi ada yang menggores luka lama sejarah, dengan mengungkit masalah ideologi Pancasila dan lain sebagainya. Sebab itu bisa memicu perpecahan di kalangan rakyat Indonesia. Sebagai sebuah falsafah, tentu saja Pancasila sangat terbuka. Pancasila juga sangat berpeluang untuk ditafsirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi Pancasila jangan sampai dijadikan sebaga alat politik untuk membungkam lawan politik. Bisa kualat, dan terhina di akhir kekuasaan nanti. Tetapi disini saya perlu ingatkan bahwa, siapapun yang berkuasa selalu mengalami kehinaan ketika menjadikan Pancasila sebagai temeng untuk melindungi kekuasaanya. Menjadikan Pancasila untuk membunuh lawan-lawan politiknya. Kalau penguasa bersikap seperti itu, maka tunggulah bahwa Pancasila akan menghinakan kekuasaan dari penguasa seperti itu. Maka, Pancasila disebut sebagai Pancasila Sakti. Karena Pancasila telah mampu melakukan oposisi terhadap kekuasaan. Maka tugas kita sebagai generasi yang tidak berjuang memerdekakan bangsa ini adalah menjaga rumah besar Pancasila. Menjaga Pancasila dari rongrongan yang dating dari luar maupun dalam negeri. Terutama dari mereka yang mencoba memanfaatkan situasi tertentu dengan memonopoli Pancasila untuk merusak persatuan dan NKRI. (habis) Penulis adalah Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM