OPINI
Democracy For Sale
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Jumat 04 September 2020 beredar luas berita di berbagai media kalau, “Parpol Pendukung Berbelok. Akibatnya, Pasha Ungu Terancam Gagal Maju Jadi Cawagub Sulteng”. Hari itu juga melalui WhatsApp terkirim foto Pasha Ungu bersama Adhyaksa Dault mantan Menteri Pemuda Olah Raga era SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) 2004 – 2009. “Sudah pasti bang Pasha Ungu gagal maju” kata Adhyaksa dalam percakapan tilpon dengan saya. Semalam Pasha Ungu bertandang ke rumah mantan Ketua Kwartir Nasional Pramuka itu. Tentu banyak yang dibicarakan di rumah Adhiyaksa. Mengiringi kegagalan Pasha, bermunculan meme sindiran di sosial media “Pasha Korban Begal Politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), begal artinya penyamun atau merampas di tengah jalan. Tidak mengherankan jika banyak pengamat maupun aktivis demokratis menunjuk Pasal 222 UU pemilu No. 7 Tahun 2017 sebagai biang kerok pembegalan nasional. Pasal 222 itu mensyaratkan parpol pengusung capres/cawapres kudu memenuhi perolehan kursi minimal 20 persen di parlemen yang disebut PR (Presidential Threshold) hasil Pemilu 2019. Sebuah persekongkolan jahat yang memungkin hanya dua pasangan calon presiden yang dapat maju bertarung. Dengan kata lain peluang figur yang kompeten dan bersih telah dibegal secara sistemik oleh elite politik. Ketatnya persaingan mengumpulkan suara sebanyak itu memaksa terbukanya jalan transaksional antar partai politik yang menguatkan praktik jual – beli suara. Harold Dwight Lasswell, ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat dan seorang pencetus teori komunikasi (lahir 13 Februari 1902) menyebutkan, proses politik sebagai konflik atas definisi dan distribusi nilai-nilai sosial dan sudah merumuskan kalimat terkenal "Politik adalah studi tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana" ( Politics: Who Gets What, When, How). Buku dengan nama yang sama, diterbitkan pada tahun 1936, meringkas gagasan utama dari "Politik Dunia dan Ketidakamanan Pribadi". Lasswell mendefinisikan, “politik ini telah merangkum perilaku politik di seluruh dunia. Dengan politisi didorong oleh posisi politik, distribusi sumber daya, dan bersaing dengan pesaing mereka. Kenyataan ini telah menyebabkan banyak sikap apatis politik di seluruh dunia. Bersama korporatisasi negara, dengan kepentingan terselubung yang menembus sistem politik dan memiliki suara besar atas perumusan kebijakan dan undang-undang”. Menarik membaca buku “Democracy for Sale” (Demokrasi Untuk Dijual), ditulis oleh Ward Berenschot, Peneliti Koninklijk Institiuut Vor Taal – Land en Volkenkunde (KITLV) bersama Edward Aspinall, Profesor pada Departemen Perubahan Politik dan Sosial, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University. Secara garis besar, buku ini menggambarkan politik dan demokrasi di Indonesia dalam ruang informal. Pemfokusan pada ruang informal sengaja diambil karena jarangnya studi yang menelaah kondisi politik Indonesia pada ruang informal. Dalam buku yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Yogyakarta (2019) sang peneliti menulis, “Seringkali orang kalau bicara politik Indonesia, mereka bicara soal politik formal. Yang dibicarakan adalah pidato calon atau strategi mereka di media massa. Maka, kita bicara apa yang ada di belakang politik formal, seperti jaringan calon, masalah uang, dan politik transaksional,” jelas Ward pada acara bedah buku di Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gatot Subroto, Jakarta Selatan,10 April setahun lalu. Secara terang – terangan Ward mengatakan, dirinya menemukan tiga praktik yang khas dalam politik informal Indonesia. Pertama, politik transaksional yang salah satu kategorinya adalah jual beli suara. Ward menganalisis, jual beli suara yang dilakukan pada pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia tak hanya dilakukan melalui jaringan partai, melainkan juga oleh orang-orang yang merupakan bagian dari jaringan calon. Praktik ini tak ditemukan di India dan Argentina. Sebab jual beli suara di kedua negara tersebut hanya dilakukan melalui jaringan partai politik. Kekhasan kedua, yakni adanya tim sukses. Cerita mengenai tim sukses dan broker politik tak akan ditemukan pada politik India dan Argentina, sebab kampanye calon dilakukan oleh jaringan partai politik. Kekhasan ketiga, yaitu broker politik. Para kandidat di Indonesia membentuk jaringan broker politik mulai dari tingkat nasional hingga rukun tetangga. Jaringan inilah yang dimanfaatkan oleh kandidat untuk melakukan politik uang sebagai cara menjalin hubungan dan meraup dukungan dari masyarakat. Broker politik, barang asing bagi India dan Argentina, kata Ward, “sebabnya, partai politik di India dan Argentina yang memiliki akses terhadap sumber daya negara telah menjalin hubungan dengan masyarakat setempat. Masyarakat India dan Argentina mendatangi kantor partai politik untuk mengurus berbagai hak atas pelayanan publik. “Kalau anda mengunjungi kantor partai politik di daerah (Indonesia), sepi. Tidak ada banyak orang. Kenapa sepi? Karena di Indonesia, kalau anda mau mengurus pelayanan publik, seperti mengurus kamar rumah sakit, orang tidak datang ke partai politik, tetapi ke institusi negara seperti Pak RT, Pak RW, Pak Lurah dan Pak Camat. Jadi, semua akses terhadap kekayaan negara, itu lewat aparatur negara. Tapi kalau di India dan Argentina tidak begitu. Di sana, partai politik juga menguasai kekayaaan negara sehingga masyarakat mendekati partai politik,” urai Ward. Berbicara situasi dan kondisi perpolitikan hari ini di Indonesia, sungguh banyak narasi negatif yang mengotori udara demokrasi. Demokrasi hanya menjadi pajangan dan pemanis konstitusi. Demokrasi telah dibegal kekuatan hitam kuasa politik gelap. Dalam banyak kajian, sejumlah pakar menyebutkan, sejak era reformasi, demokrasi telah diambil alih para pembegal yang sejatinya adalah para kapitalis bersekutu dengan politisi pemburu rente yang menafikan dimensi moralitas. Menonjolnya praktik begal politik menjelang Pilkada serentak akhir 2020, sejatinya itu hanya bentuk repetitif rusaknya pondasi politik yang dibalut dengan jubah sarana berbasis moralitas. Demokrasi telah terjebak di dalam lingkaran setan daerah tak bertuan (terra in cognito). Para pembegal formal dan legal itu, bebas menetukan hitam putihnya regulasi sesuai kepentingan perkuatan kekuasaan politik dan perluasan wilayah kerajaan bisnis mereka. Dalam kenyataannya jalan demokrasi yang meniscayakan kehadiran partai politik sebagai penyalur aspirasi tetap saja jauh panggang dari api. Partai politik bermutasi menjadi hantu kejahatan koruptif yang begitu perkasa. Terlegitimasi lewat sakralisasi pemilihan umum yang diagung-agungkan sebagai panggung politik tertinggi daulat rakyat. Kekacauan perundang-undangan yang diproduksi eksekutif dan legislator sejak era reformasi ditandai banyaknya langkah Judicial Review (JR) atau uji materi yang dilakukan tokoh masyarakat sipil di Mahkamah Konstitusi (MK). Konsistensi hakim MK dipertanyakan. Mereka baru saja menerima “bonus” dari wakil rakyat. DPR mengesahkan UU Mahkamah Konstitusi yang baru pada rapat paripurna, Selasa (01/09/20). Masa jabatan hakim bisa sampai 15 tahun. Ada hakim MK saat ini yang bisa menjabat hingga 2034. Ada perpanjangan masa usia menjadi 70 tahun sebagai hakim MK. Rizal Ramli ekonom papan atas Indonesia dan aktivis demokratis tak kenal lelah menjadi salah seorang yang kini melakukan JR menggugat pasal 222 UU No.7/2017 itu. Rizal Ramli menyebutnya sebagai “Demokrasi Kriminal”. Pembegalan politik nampaknya terjadi di semua lembaga publik yang seharusnya melindungi kepentingan publik. Beberapa teman aktivis senior kembali mengirim pesan lewat group WhatsApp. “Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi gangguan pandemi lain yang bernama “Begal Politik” itu. Saya hanya terdiam. Membisu. Memandangi plafond yang serasa berputar mengejek kebisuan saya. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Membedah Dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (Bagian-3)
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Senin (07/09). Pembatasan. Untuk membedakan dan mempermudah dalam artikel berseri ini, hasil amandemen UUD 1945, kita sebut dengan UUD 2002. Baca membedah dan memetik buah amandemen UUD 1945 (2), “Generasi Muda Anton Permana cs Turun Gunung” (Google). Setelah Veteran Komisi Konstitusi Prof. Dr. Tjipta Lesmana, Prof. Dr. Maria Farida Indrati dan Dr. Laode Ida, dan dilanjutkan dengan Generasi Muda Anton Permana cs bicara dalam Webinar Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI)-Panji Masyarakat, pada 18/8/2020, tak ketinggalan senior pejuang ikut bicara. Apa kata mereka? Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, Mantan Ketua KPK. Untuk mengetahui situasi MPR waktu amandemen, sebelum Webinar, moderator minta gambaran kepada Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, yang ketika itu anggota MPR. Tersiar kabar bahwa perubahan pasal-pasal itu tidak didukung dokumen kajian dan tahapan sosialisasi. Benarkah ? Irjen Pol Ruky memberikan penjelasan, ketika perubahan pertama, dirinya masih anggota BP MPR RI. Secara diplomatis menjawab, seingat saya tidak ada seminar atau diskusi ilmiah untuk membahas dan mengkaji pasal yang diubah dengan pendekatan keilmuan. Apalagi pendekatan dengan ideologi Pancasila. Justru pada perubahan pertama, sudah muncul keinginan mengubah Pasal 29. Dengan menambah tujuh kata. Dari titik inilah amandemen “liar” bermunculan, termasuk perubahan Pasal 6, Pasal 33. Langkah ini diikuti dengan peniadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Situasi pada perubahan pertama sudah nampak. Adanya perbedaan pandang golongan nasionalis dengan golongan Islam. Golkar sepertinya tidak punya pegangan dan Fraksi ABRI membeku. Perubahan berikutnya tidak tahu persis, karena tahun 2000 sudah ke Polkam, kata Ruky menutup penjelasannya. Penjelasan Irjen Pol Taufiqurachman Ruky, dikuatkan pengakuan Dr. J. Sahetapy yang videonya viral di medsos. Dengan bangganya Sahetapy mengatakan dia satu-satunya orang yang usul dihilangkannya syarat Presiden orang Indonesia asli. Pertanyaanya, adakah kajiannya? Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Lulusan Akademi Militer Yogyakarta 1948. Sebagai lulusan terbaik Akademi Militer Yogya, di usia 93 tahun, pengabdian Letjen Sayidiman kepada negara tiada putus. Pengalaman sebagai Wakasad, Gebernur Lemhannas, Dubes di Jepang dan Dubes Keliling untuk Wilayah Afrika, jelas memberikan ketajaman pengamatan atas situasi yang berkembang saat ini. Dikatakannya, ada indikasi campur tangan asing dalam amandemen UUD 1945, yakni National Democratic Institute (NDI). Sinyalemen ini seperti di artikel “Ada Campur Tangan Asing Dalam Amandemen UUD 1945”. (google). Jenderal Sayidiman memberikan dorongan, agar Indonesia di usia 100 tahun bisa menjadi negara yang kuat, maju, adil dan makmur. Untuk itu, diperlukan sikap dan sifat kepemimpinan bangsa Indonesia yang jujur dan tidak menjadi pengkhianat. Terkait konstitusi, juga tidak kalah penting. Diperlukan kaji ulang terhadap UUD 2002. Apabila hasil kaji ulang ternyata UUD 2002 membuahkan pecahnya persatuan Indonesia dan pemiskinan rakyatnya, maka perlu kita kembali ke UUD 1945. Selanjutnya, dalam menyongsong masa depan perlu penyempurnaan UUD 1945. Harus dilakukan secara adendum, kata Jenderal Sayidiman diakhir pendapatnya. Prof. Dr. Sofian Effendi, Ketua Forum Rektor Indonesia 2006-2007, Ketua Komisi Aparat Sipil Negara (ASN). Di awal pembicaraan, Prof. Sofian menunjukkan buku yang ditulis Prof. Donald D. Horowitz : “Constitutional Change and Democracy in Indonesia”. Dikatakannya, dalam buku itu menunjukkan betapa besar keterlibatan National Democratic Institute (NDI) dalam proses amandemen atau lebih pasnya penggantian UUD 1945. NDI menyusun pasal-pasal perubahan UUD 1945, yang diserahkan ke Panitia ad Hoc MPR yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar. NDI dapat tempat di Sekretariat MPR, dan mendapat kucuran dana dari pemerintah Amerika melalui Secretary of State America, Madeleine Albright, tutur Prof. Sofian. Dalam penelusurannya di surat kabar New York Times, tahun 1998, Prof Sofian menemui lima artikel yang menguatkan isi buku Donald Horowitz. Artinya, keterlibatan NDI menjatuhkan Presiden Soeharto dan mengganti sistem pemerintahan Indonesia. Isi buku Horowitz dan lima artikel di New York Times, tahun 1998, sebagai bukti empirisnya. Pembukaan UUD 1945 berisi “philosphische grondslag” tidak diubah. Pertanyaan kritisnya, apakah pasal-pasal perubahan sesuai dengan nilai-nilai “philosopische grondslag” Pancasila? Kalau sudah menyimpang jauh dari ruhnya, maka UUD 2002 tidak layak disebut UUD 1945. Apabila saat ini sistem pemerintahan dan sistem ekonomi kacau, itu semua akibat UUD 2002. Artinya, tujuan mereka atau asing mengganti sistem pemerintahan Indonesia berhasil, kata Prof. Sofian menutup pembicaraannya. Dubes Nurrachman Oerip, Duta Besar RI untuk Kerajaan Kamboja (2004-2007). Melihat jabatannya, Dubes Nurrachman tidak bisa lepas urusan luar negeri. Sebelum Dubes di Kamboja, Kepala Bidang Politik Perutusan RI untuk Masyarakat Eropa dan Wakil Kepala Perwakilan RI di Rusia. Karena itulah, melihat proses amandemen UUD 1945, juga tidak lepas dari perspektif hubungan internasional. Tumbangnya Orde Lama, mengandaskan konsep Tri Sakti Bung Karno. Ambruknya Orde Baru, telah merombak “sistem sendiri pemerintahan Indonesia” melalui amandemen UUD 1945. Menurut Nurrachman, dalam upaya mencapai tujuan nasional, UUD 2002 lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Itu semua tidak lepas dari pertarungan kepentingan politik global. Dubes Nurrahman mencermati isi buku Donald D. Horowitz : “Constitutional Change and Democracy in Indonesia” terbitan Cambridge University Press, 2013. Dikatakannya ada indikasi intervensi kekuatan asing, yakni LSM Amerika, National Democratic Institute (NDI), yang berkolaborasi dengan LSM lokal dalam amandemen UUD 1945. Keikutcampuran asing dalam amandemen UUD 1945 dikuatkan artikel Tim Weiner pada surat kabar “New York Times, 20 Mei 1998” : “Unrest in Indonesia : The Opposition; U.S. Has Spent $ 26 Million since ’95 on Soeharto Oppenents”. Dalam artikel ini tampak keterlibatan United State Agency for International Development (USAID), kata Nurrachman menutup pendapatnya. Menyimak artikel seri-1, seri-2 dan seri-3 ini, dapat ditarik kesimpulan : (1) Pasal-pasal perubahan UUD 1945 tidak koheren dengan nilai-nilai falsafah bangsa, Pancasila. (2) Buah amandemen tidak terasa manis. UUD 2002 banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. (3) Ada indikasi kuat keterlibatan asing, berkolaborasi dengan LSM lokal. Penulis, sebagai moderator, menutup dengan menyampaikan pendapat : “Undang Undang Dasar yang buruk, jauh dari nilai-nilai falsafah bangsanya, akan menghancurkan bangsa dan negaranya”. Semoga hasil Webinar pada peringatan Hari Konstitusi Indonesia, 18/8/2020 yang diselenggarakan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) – Panji Masyarakat bermanfaat. Amin. (selesai). Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Karena Puan Setitik, Rusak Suara Se-Minang Raya
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (07/09). Nasib PDIP di Sumatera Barat sungguh tragis. Partai Moncong Putih itu bak penyakit menular yang harus dihindari. Tak cukup hanya mengenakan masker. Apapun bentuknya, hubungan, afiliasi, bahkan hanya “bau-bau” PDIP harus dijauhi. Cut off. Tak ada hubungan apapun! PKB yang semula bersama PDIP mendukung pasangan Mulyadi-Ali Mukhni mengambil langkah seribu. Mereka mencabut dukungan dan mengalihkan ke pasangan cagub yang lain. PKB tak mau tertular virus. Terkena penyakit menular bernama PDIP. Risikonya berat dan tidak sebanding. Paling dramatis justru langkah yang diambil oleh Mulyadi-Ali Mukhni. Tanpa ba-bi-bu, mereka mengembalikan mandat PDIP. Jadilah pasangan ini tinggal diusung oleh Partai Demokrat dan PAN. Meninggalkan PDIP sepi sendiri. Tak ada pilihan lain bagi PDIP. Menarik diri dari gelanggang perebutan kursi gubernur-wagub. Tak ada cagub, dan partai politik yang mau dekat, apalagi bersekutu dengan PDIP. Untuk mengusung calon sendiri, tidak mungkin. Kursi PDIP di DPRD Sumbar hanya seuprit. Tiga kursi tidak memenuhi syarat. “Melihat dinamika seperti ini, kita tidak lagi ikut Pilgub. Kita tidak mengusung siapa-siapa lagi,” kata Ketua DPD PDIP Sumbar Alex Indra Lukman. Keputusan teramat sulit yang harus diambil oleh pimpinan daerah PDIP. Semua gegara ucapan Puan Maharani. Putri Mahkota PDIP itu dinilai melecehkan karena pernyataannya sangat jelas terkesan mempertanyakan dukungan warga Sumbar terhadap Pancasila. Puan pasti tidak pernah mengira bila ucapannya itu berdampak begitu besar. Menjadi kado pahit ulang tahunnya yang ke 47, Ahad (6/9). Upaya para petinggi PDIP menyodorkan fakta, bahwa Puan dari sisi darah masih keturunan Minang, tidak mungkin menghina negeri para leluhurnya, tidak bisa menghapus luka. Ibarat nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi. Benarlah seperti dikatakan banyak orang, Puan tidak pernah membaca sejarah. Terlebih lagi, kalau benar dia masih merasa keturunan Minang, tidak tahu apa-apa tentang sumbangsih dan peran besar para ninik mamak dalam ikut mendirikan bangsa ini. Puan telah tercerabut dari akar budaya dan sejarah. Dia tak paham petatah petitih: Kato mandaki, kato Manurun. Kato malareang, kato mandata. Tata krama dalam tradisi Minang yang sangat ketat aturannya. Berpengaruh ke Bobby Nasution Kehebohan di Sumbar jangan hanya dipandang sebagai persoalan lokal. Dampaknya bisa menyebar cepat seperti bola salju. Di berbagai daerah lain yang banyak bermukim warga Minang, ucapan Puan bisa mengubah konstelasi politik. Calon-calon yang didukung PDIP dan tengah berlaga di Pilkada, bisa terkena dampaknya. Yang paling dekat adalah Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi tengah berlaga di Pilwakot Medan. Di Medan komunitas Minang perantauan jumlahnya cukup besar. Mereka juga memegang peran penting dalam sektor perekonomian. Bobby diusung oleh PDIP. Caranya memperoleh tiket dari partai moncong putih itu juga tak elok. Melalui lobi-lobi politik tingkat tinggi dan istana, dia menyingkirkan Plt Walikota Medan Akhyar Nasution. Akhyar dipecat dari PDIP. Dia kini menjadi calon walikota Medan diusung oleh Partai Demokrat dan PKS. Dia akan menjadi pesaing berat Bobby. Diaspora Minang di seluruh Indonesia juga tidak bisa diremehkan. Secara populasi kecil. Namun mereka sangat solid. Dampak lain dari ucapan Puan yang sangat serius adalah mempertajam pembelahan di tengah masyarakat. Sangat jelas Puan mempertontonkan sikap merasa paling Pancasilais. Di luar pendukung PDIP, dinilainya tidak Pancasilais. Sebuah cara pandang yang sangat berbahaya dan tengah dipertontonkan oleh rezim dan para pendukungnya. Ucapan Puan menunjukkan trah Soekarno dan PDIP, merasa diri mereka satu-satunya pewaris sah negeri ini. Satu-satu-satunya yang bernasab sambung kepada pencetus Pancasila. Hal itu dipertegas dengan peresmian Hari Lahir Pancasila 1 Juni oleh Presiden Jokowi. Padahal sejarah mencatat secara resmi, Pancasila lahir pada tanggal 18 Agustus 1945. Saat para perumus di BPUPKI mensahkannya sebagai dasar negara Indonesia yang merdeka. Tidak berhenti sampai disitu. Melalui Fraksi PDIP di DPR RI mereka mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Dalam RUU tersebut mereka memasukkan formula Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Persis sebagai mana usulan Soekarno pada sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Pandangan dan cara berpolitik semacam ini sangat berbahaya. Mereka mencoba menegasikan peran kekuatan politik dan kelompok yang berseberangan, dengan stigma anti Pancasila. Seakan hanya keluarga Soekarno dan para pendukungnya yang paling Pancasilais. Merekalah bangsa pilihan Tuhan di republik ini. Selain mereka, bukan penganut dan pengikut Pancasila. Dalam konteks politik semacam inilah mengapa reaksi dari warga Minang mendapat dukungan begitu luas. Bukan hanya dari mereka yang berasal dari Minang. Tapi juga mereka yang merasa disingkirkan dengan stigma: anti Pancasila, radikal, dan intoleran. Miri-mirip seperti bunyi pepatah: Karena Puan setitik, rusak suara se-Minang Raya……End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
KAMI Gerakan Moral, Dihalangi “Gerakan Tidak Bermoral”
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (07/09). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) memang fenomenal. Sambutan masyarakat luas cukup besar. Dukungan juga sangat luar biasa. Mungkin karena menaruh harapan ada gerakan moral yang diusung oleh KAMI. Situasi politik, ekonomi, budaya hingga ideologi yang sedang bergoyang-goyang mungkin sekali segara goyah. Penegakan hukum juga amburadul. Makelar Kasus (Markus) bermunculan di kantor-kantor yang menjadi simbol penegakan hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Terakhir asus Joko Tjandra sebagai contoh paling telanjang. Hukum hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Masyarakat khawatir terhadap resesi ekonomi, budaya atau politik di kalangan penyelenggara negara. Baik itu yang di Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Teta kelola negara kacau-balau, matiran dan amburadul. Baca tulisan Margarito Kamis, “Politik Setan Dalam Pembentukan UU” (FNN.co. edisi 06/09). Untuk itu, harus ada koreksi kepada penyelenggara negara. KAMI yang mau deklarasi di Jawa Barat ternyata tidak mudah. Rencana akan dilaksanakan deklarasi di Gedung Bikasoga sudah "clear". Tapi entah tekanan dari mana "ujug-ujug" melakukan pembatalan sepihak. Begitu juga dengan pemindahan ke Hotel Grand Pasundan, pada H-1 tiba tiba juga dibatalkan sepihak dengan alasan adanya Surat Satgas Covid 19 Provinsi Jawa Barat. KAMI Jawa Barat mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan hukum. Rupanya ada hambatan dan penghalangan dari pelaksanaan asas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Polanya mempersulit kegiatan yang dinilai tidak sejalan dengan pandangan dan kebijakan Pemerintah. Demo-demo murahan juga dimunculkan. Covid 19 selalu menjadi alasan bahkan tunggangan dari kepentingan. KAMI sebagai gerakan moral tidak boleh menyerah. Kebenaran dan keadilan harus terus diperjuangkan walaupun menghadapi seribu kesulitan. Tekanan politik biasa dilakukan oleh penguasa yang takut terusik akan kemapanannya. Penguasa yang mengalami sindroma berat penyakit takut diturunkan dari singgasana. Menghantui siang dan malam. KAMI sebagai Gerekan Moral dipastikan bakal dihalang-halangi oleh “Gerakan Yang Tidak Bermoral”. KAMI di daerah-daerah terus bermunculan. Tumbuh sebagai kekuatan yang ingin meluruskan arah kiblat berbangsa dan bernegara. Buzzer, influencer, maupun "covider" (mereka yang menunggangi pandemi covid) boleh berusaha untuk mengotak-atik dan melemahkan. Sayangnya, dimana dan kapanpun gerakan moral itu sulit untuk ditangkal. Karena suara langit yang ikut menggemakan. KAMI memang dipersulit, tetapi tidak akan lari terbirit-birit. Apalagi hanya didasarkan pada alasan covid. Walaupun protokol sudah dinyatakan siap dijalankan dengan tertib. Masih saja dicari-cari alasan untuk mempersempit. Makin dipersulit, makan betrsemangat KAMI. KAMI berjuang untuk agama, bangsa, dan negara bukan untuk menduduki kursi kekuasaan. Bukan pula untuk menjatuhkan siapapun. Meski kursi kekuasaan yang diduduki itu semakin lapuk atau tak terawat. Keyakinan KAMI adalah penguasa itu akan jatuh disebabkan oleh perbuatannya sendiri, oleh kebodohannya sendiri, dan oleh penghianatannya sendiri kepada rakyat. Sekali lagi KAMI memang terpisah dari KAMU. Apalagi KALIAN yang bukan saja beda nama, tetapi beda haluan perjuangan. KAMI Jawa Barat yang dizalimi tidak dendam pada siapapun. Tetapi secara ksatria mengajak untuk bertarung gagasan, konsep, maupun program dengan siapapun. Mari beradu gagasan, konsep dan program untuk menyelamatkan Indonesia. Marilah kita memulai langkah itu dengan berkoalisi dalam aksi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Narasi Islamphobia, Instrumen Pemecah Belah Bangsa
by Anton Permana Jakarta FNN – Senin (07/09). Berhentilah menuduhkan hal yang sangat tidak baik kepada ummat Islam Indonesia. Apalagi dengan narasi basi seperti isu radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Tak ada gunanya. Hasilnya pasti akan mengecewakan. Lambat laun, ummat Islam akhirnya tahu juga ada apa dibalik semua narasi itu. Semua tak lain hanyalah agenda Islamphobia. Agenda membangun kebencian dan ketakutan terhadap agama Islam. Ummat Islam semua sudah tahu, bahwa agenda Islamphobia ini adalah "pesanan" asing para globalis yang ingin secepatnya menguasai negeri ini. Stigma Islamphobia ini sudah terjadi berulang kali sejak fase zaman kolonial dulu. Hanya corak dan polanya saja yang berbeda. Kenapa pentingnya agenda Islamphobia ini semakin menjadi-jadi belakangan ini ? Jawabannya adalah : Pertama, sejak masa penjajahan, kelompok yang paling terdepan melawan dan mengusir penjajahan adalah ummat Islam. Mayoritas pejuang tangguh, pemberani, pahlawan, dan konseptor negara ini dari dari dulu adalah ummat Islam. Kedua, dari masa ke masa, dari orde ke orde, yang selalu terdepan menentang setiap penyelewengan terhadap negara ini adalah ummat Islam. Baik itu orde lama dalam melawan PKI, orde baru menentang azas tunggal dan KKN, maupun orde reformasi hari ini dalam menentang upaya mengganti Pancasila dan upaya menjadikan negeri ini berhaluan komunis. Ketiga, ummat Islam selalu sensitif terhadap nilai ketidakadilan, penjajahan, dan kesewenang-wenangan hingga menjaga kedaulatan bangsa. Ummat Islam juga sangat peduli terhadap pembangunan akhlak generasi bangsa agar jauh dari segala perbuatan maksiat yang dapat melemahkan bangsa dari dalam. Artinya, Ummat Islam sebagai mayoritas 88 persen di negeri ini mempunyai tanggung jawab moral dan peran penting secara kolektif untuk menjaga negeri tetap berjalan dengan baik menggapai tujuan bernegara. Islam adalah sejatinya benteng utama dan terakhir negeri ini. Namun ternyata, hal ini menjadi masalah besar bagi kelompok yang ingin sekali mengusai secara total negeri ini. Ternyata ada kelompok orang yang menganggap Islam adalah "benteng utama" yang menjadi penghalang untuk agenda mereka menjajah dan menjarah negeri kaya raya ini. Karena, secara ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan Hankam, kelompok ini hampir total dikuasai. Melalui kekuasaan politik yang secara halus sistematis sudah mereka ambil alih. Ini adalah fakta buruk hari ini. Sejenak, mari kita lihat secara logika jernih dan akal sehat. Yang menjadi permasalahan utama di negeri ini adalah korupsi, ketidak adilan hukum, narkoba, LGBT, penjarahan terhadap sumber kekayaan alam oleh negara asing. Juga hilangnya identitas dan karakter asli bangsa Indonesia menjadi latah tidak berjati diri. Belum lagi rusaknya tata kelola dalam pemerintahan. Betul bukan? Tak terhitung hasil kekayaan alam negeri ini disedot keluar, baik lewat udara, darat, dan lautan. Tak terhitung triliunan dolar Amerika uang negara menguap untuk kepentingan para elit oligharki, korporasi dan konglomerasi bersama cukong-cukongnya. Akibat semua itu, hari ini negara bangkrut. Hutang menggunung. Kemiskinan menjadi-jadi. Lapangan kerja sulit, harga sembako melambung, keharmonisan antar masyarakat terpecah belah. BUMN tergadai dan terancam lepas. Kedaulatan negara hilang di bawah dikte negara asing. Sarana prasarana kehidupan rakyat lebih banyak di kuasai asing dari pada negara dengan kedok investasi. Namun anehnya, semua permasalahan itu seolah diabaikan saja. Jarang dijadikan isu untuk sebuah perbaikan agar negeri ini menjadi lebih baik. Bagaimana bayar hutang yang menembus angka Rp 6.000 triliun ini? Kemana hasil sumber kekayaan alam kita yang luar biasa ini? Kemana uang hasil hutang Rp. 1.000 triliun UU Corona, karena faktanya rakyat tetap mesti bayar rapid-swab test dan beli masker? Kemana Harun Masiku? Apa penyebab terjadinya kebakaran kantor Kejagung? Siapa dalang di balik kasus memalukan Tjoko Chandra? Siapa aktor kuat di balik banjir narkoba di negeri ini? Kenapa pesta sex gay LGBT bisa leluasa? Kenapa semakin banyak TKA China masuk? Banyak lagi permasalahan kritis negeri ini kalau mau kita urai. Namun faktanya. Penguasa justru berupaya sebaliknya. Penguasa menyeret permasalahan agama seolah yang menjadi penyebab segala kerusakan bangsa hari ini. Apa hubungannya? Sangat aneh bukan? Jauh panggang dari api. Agama seolah dipaksa jadi sasaran kondikte otentik yang wajib dipersalahkan untuk menutupi semua kebusukan yang terjadi. Kenapa ini mereka melakukan? Ini jawaban dan analisanya Pertama, narasi Islamphobia sangat ampuh untuk mengalihkan perhatian publik dari "kejahatan" yang mereka lakukan terhadap negara. Sekalian membungkam duluan para kelompok agama khususnya Islam yang mau protes (melawan). Kedua, untuk menguasai negeri ini, berarti harus menaklukan Islam terlebih dahulu. Caranya? buatlah ummat Islam itu benci, takut, jijik, dan meninggalkan ajaran agamanya. Buat opini seolah Islam itu sumber segala sumber masalah di negeri ini. Bukan menjadi sumber segala nilai kebaikan lagi. Balikan semua persepsi itu dengan sihir media dan kekuasaan. Strateginya? Agenda Islamphobia dengan isu narasi radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Termasuk pembunuhan karakter terhadap para tokoh bangsa yang beragama Islam di buat seburuk-buruknya. Congkel dan publish segala keburukan tokoh Islam. Kalau tidak ada keburukan, ciptakan fitnah atau jebak dengan berbagai cara. Tujuannya apa? Agar terbentuk opini tak ada satupun tokoh bangsa yang beragama Islam yang baik di negeri ini. Semua rusak dan bermasalah. Ada saja salah dan buruknya. Hanya tokoh dari kelompok mereka saja yang baik. Dilakukan melalui bombardir media, buzze rupiah, dan influencer yang di biayai. Ketiga, kuasai politik, ekonomi dan pemerintahannya. Ketika Islam mayoritas, jual dengan indah bahasa toleransi dan buat agama itu sakral agar jauh dari politik. Agar ummat Islam terbuai dan tidak peduli akan politik dan ekonomi. Namun setelah kekuasaan di tangan, baru buat aturan untuk menghabisi setiap sendi-sendi ajaran Islam tanpa basa-basi. Keempat, angkat dan jadikan para pejabat yang lemah iman, korup dan bisa diatur. Sebagai jagal (pelayan) untuk menghabisi sesama ummat Islam sendiri. Yang patuh diberi uang, fasilitas dan jabatan. Yang tidak patuh diisolasi dan dihabisi kariernya. Kalau perlu dipenjarakan apapun alasannya. Kelima, sudah terbukti bahwa yang selalu terdepan menentang setiap kezaliman dan ketidak adilan itu adalah tipikal ummat Islam yang taat ibadah, berilmu pengetahuan dan dekat dengan Al Quran. Untuk itu, identifikasi tipikal seperti ini harus dibalik seolah ummat Islam yang taat dan sholeh ini adalah bayangan penjahat dan berbahaya. Caranya beri stigma negatif bahwa identifikasi ummat Islam yang rajin ibadah, hafiz Qur'an, berilmu pengetahuan itu punya motivasi ke-Islaman tinggi adalah para calon teroris radikal dan berbahaya. Tetapi bagi ummat Islam yang sekuler, liberal, opportunis, suka maksiat, bahkan penjahat, dipelihara dan berikan fasilitas jabatan dan uang. Agar terdepan mengisi pos-pos strategis dalam kemasyarakatan. Sebagai corong kekuasaan. Keenam, pecah belah ummat Islam dengan cara merebut jabatan penting organisasi dan lembaga-lembaga ke-Islaman. Pecahkan mereka menjadi banyak kubu, dan selalu provokasi dengan adu domba sesama Ummat Islam agar kemudian saling cakar, saling habisi, dan saling bunuh (devide at ampera). Setelah semua kelompok ini hancur dalam pertikaian, baru terakhir ketika mereka sudah lemah terpecah belah dihabisi sampai ke akar-akarnya. Agenda Islamphobia di negeri ini semakin sporadis dan sistematis. Melalui regulasi dan lembaga negara (kementrian) mereka membuat aturan regulasi yang mempreteli dan memporak-porandakan tatanan keagamaan Islam. Mulai dari pendidikan, pesantren, kurikulum, sejarah, dan politik ekonomi. Pokoknya, mereka selalu berupaya dengan gigih bagaimana membuang sejauh-jauhnya agama Islam dari kehidupan bernegara hari ini. Pengaruh Islam tidak boleh ada dalam pusaran kekuasaan. Yang ujungnya tentu kita semua sudah tahu, yaitu menjadikan negara ini menuju berhaluan komunis dan super liberalis (tanpa agama lagi). Lalu apakah semua ini akan berhasil mulus seperti Andalusia, Singapura dan Manila? Dimana dulunya negeri itu semua adalah negeri Islam. Lihatlah hari ini. Islam menjadi minoritas dan tertindas. Menjadi penonton, bahkan babu di negerinya sendiri? Apakah kondisi ini bisa terjadi di Indonesia? Jawabannya pada diri kita semua. Apakah tetap diam? Tetap jadi pengecut? Atau bangkit dan berjuang membela Negara, Pancasila, dan Agama? Semua kembali kepada diri kita masing-masing. Yang jelas negeri ini sudah sekarat dan selangkah lagi menjadi negara super otoriter berhaluan komunis. Arah dan langkahnya sudah semakin jelas dan nyata. Sudah terang benderang bak matahari di siang bolong. Dan jawaban terakhinya adalah, "Bangkit berjuang, atau punah!". Wallahu'alam. Penulis adalah Dikrektur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Republik Buzzer
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/09). Dunia medsos meniscayakan tumbuh suburnya infuencer atau buzzer. Dua kata yang nggak perlu dibedakan. Karena kerja dan fungsinya sama. Jauh sebelum era medsos, influincer atau buzzer itu dipakai di dunia usaha. Untuk iklan produk. Sebagai alat pemasaran. Di era medsos, buzzer lebih banyak dimanfaatkan jasanya untuk iklan politik. Buzzer saat ini jadi lahan pekerjaan baru yang cukup menggoda. Di sini, ada anggaran besar. Baik untuk buzzer asal-asalan, hingga buzzer kelas profesional. Terutama di tengah angka pengangguran yang semakin besar jumlahnya di masa pandemi, buzzer menjadi salah satu alternatif lapangan kerja yang menggiurkan. Tak semua buzzer itu negatif dan destruktif. Banyak orang yang "secara suka rela" menjadi buzzer atas nama keprihatinan dan moral. Tentu saja, gratisan. Namanya juga relawan. Aktifitas buzzer oleh para relawan dijadikan sebagai alat perjuangan. Buzzer 212 misalnya. Motifnya adalah menuntut keadilan. Ini, tentu positif. Selama tetap menjaga obyektifitas. Kalau kelompok buzzer diklasifikasi, setidaknya ada tiga jenis buzzer. Pertama, buzzer moral. Tidak terikat kecuali pada obyektifitas moral. Pembelaannya hanya pada kebenaran yang dianggapnya rasional. Kalau harus membela dan mendukung seseorang, itu karena secara moral orang tersebut layak dan perlu dibela. Baca, cocok, lalu share. Ini buzzer moral. Pembelaan dilakukan bukan karena faktor kedekatan, juga tidak ada motif uang dan jabatan. Tidak ada ikatan sosiologis karena satu etnis atau organisasi. Tidak pula ada ikatan psikologis, karena teman atau pernah mendapat bantuan. Murni karena yang bersangkutan itu tepat dan rasional untuk dibela. Fenomena dukungan masif terhadap Anies-Sandi di pilgub DKI 2017 menggambarkan hadirnya buzzer moral. Para buzzer tidak membela Anies-Sandi, tetapi melawan ketidakadilan penguasa yang dianggap terlalu jauh intervensinya di Pilgub DKI. Bukan semata-mata faktor Ahok, tapi kekhawatiran sejumlah pihak jika Anies nyapres 2019. Secara teoritis, semakin banyak model buzzer moral, negara akan menjadi lebih baik. Sebab, proses pengelolaan negara akan secara ketat mendapatkan kontrol atau pengawasan. Disinilah terjadi check and balances. Dengan begitu, negara "relatif" bisa diselamatkan dari segala bentuk penyalahgunaan. Buzzer model seperti ini diperlukan untuk menjaga moralitas bangsa. Kedua, buzzer fanatik. Buzzer macam ini sangat militan. Faktor psikologis dan sosiologis seringkali menjadi dasar bagi lahirnya buzzer fanatik. Karena satu kampung, sesama etnis, berada dalam satu partai atau organisasi, simpati berlebihan terhadap performence tokoh, terhipnotis oleh pencitraan, karena faktor "kegantengan" membuat para buzzer itu seringkali bersikap tidak rasional. Bahkan ada yang nggak peduli benar salah. Mereka militan dan membela mati-matian. Bahkan buzzer model ini rela berkorban dan siap mati untuk para tokoh yang dibela. Para buzzer fanatik ini lahir diantaranya karena kekagumannya terhadap kharisma seorang tokoh. Seperti Habib Rizieq di kalangan FPI, Megawati di mata kader PDIP, para tokoh agama bagi para jemaatnya. Tokoh-tokoh kharismatik umumnya berlimpah dukungan buzzer fanatik. Tidak berarti bahwa para pendukung tokoh kharismatik itu hanya dari kalangan orang-orang yang abai terhadap rasionalitas. Tidak juga. Jangan salah paham. Hanya saja, secara teoritis, orang yang tingkat rasionalitasnya tinggi biasanya tidak terlalu fanatik. Ketiga, buzzer komersial. Orang menyebutnya sebagai buzzerRp. Menjadi buzzer adalah profesi. Disini, mereka numpang hidup dan cari nafkah. Sistem kerjanya bervariasi. Mulai ngoceh di medsos, bikin akun palsu, produksi video dan meme, kerahkan demo, sampai menulis artikel. Tugas mereka hanya dua. Pertama membuat iklan untuk pihak yang mensponsori. Namanya juga iklan, pasti bagus-bagus. Mana ada kecap nomor dua. Kedua, melakukan counter attack, atau serangan balik. Untuk menjalankan tugas yang kedua, mereka bersikap reaktif. Muncul hanya ketika ada yang menyerang pihak pembayar. Ciri utama mereka, menyerang orang atau kelompok. Seringkali membabi buta. Kalau ada sedikit otak, mereka menggunakan data. Data yang digunakan kadang ngawur. Dipaksakan supaya analisisnya meyakinkan. Dan di dalam narasinya sering ada kebohongan, bahkan fitnah. Pokoknya, bebas moral. Yang penting dapat bayaran. Biasanya, buzzer komersial ini tidak banyak jumlahnya. Ini berkaitan dengan keterbatasan anggaran. Tapi, mereka profesional. Ini bisa dilihat pada buzzer penguasa sebagai samplenya. Yang bicara di tv, nge-vlog, bikin video, buat tulisan, komen di medsos, ya orang-orang itu aja. Yang pakai blankon, udeng-udeng, kaca mata, nulisnya keinggris-inggrisan. Jumlahnya nggak lebih dari 10 orang. Karena gencar, masif, terlatih dan ada fasilitas, akibatnya berisik juga. Seolah isi medsos hanya mereka. Mereka hanya muncul saat ada kritik pada kebijakan pemerintah. Sekali lagi, ini hanya sekedar sample. Sample yang lain adalah munculnya para konsultan politik berbungkus survei saat pemilu. Kalangan ini lebih banyak iklan. Dan mereka dibayar untuk terus beriklan. Ngecap, maksudnya. Sesekali bikin meme. Namanya juga lagi nyari duit. Inilah buzzer komersial juga. Maraknya dunia per-buzzer-an di Indonesia ini cukup menghawatirkan. Sebab, dunia persepsi rakyat akan dikendalikan oleh iklan. Tepatnya, pencitraan. Jadi, banyak pemimpin daerah, anggota DPR, boleh jadi juga presiden yang terpilih bukan karena integritas dan kemampuannya. Bukan pula karena track record kerjanya, tapi karena iklan. Ini bahaya. Dan inilah yang terjadi selama ini. Maka muncullah istilah "petruk dadi ratu". Jika banyak Bupati, Walikota, Gubernur, anggota DPR dan presiden lahir karena iklan buzzer, maka negeri ini sudah jadi "Republik Buzzer". Sungguh ini telah jadi petaka! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Tak Perlu Diluruskan, Memang Begitulah Puan Melihat Orang Minang
by Asyari Usman Medan FNN- Senin (07/09). Nasi sudah menjadi bubur. Tak perlulah diolah-olah lagi supaya kembali menjadi nasi. Percuma saja. Toh di mata Puan, orang Minang tidak menerapkan Pancasila. Itulah thesis asli Puan Maharani tentang orang Minang yang selama ini kosisten menolak PDIP. Itulah pandangan Puan. Begitulah yang ada di pikiran dia. Jadi, tidak perlu diusahakan untuk memoles-moles ucapan asli tersebut. Biarkan saja. Puan mengatakan, “…Semoga Sumbar mendukung negara Pancasila”. Mau ditafsirkan oleh ahli bahasa mana pun, kalimat ini mengandung arti tunggal bahwa orang Minang tidak berpancasila. Untuk apalagi dilurus-luruskan. Ditafsir-tafsirkan. Memang itulah yang dimaksudkan Puan. Dan harap diingat. Puan mengucapkan itu dalam konteks yang khusus. Yaitu, ketika dia memberikan sambutan melepas para calon kepala daerah dari PDIP untuk pilkada 2020 di Sumatera Barat (Sumbar). Dari sini, sangat “valid” disimpulkan bahwa, bagi Puan, hanya orang PDIP-lah yang memahami dan menerapkan Pancasila. Orang lain tidak. Apalagi orang Sumbar. Padahal, kalau dicermati langkah-langkah PDIP untuk mengubah Pancasila menjadi Trisila dan kemudian Ekasila, jelas sekali bahwa Partai Banteng ini sudah lama ingin melenyapkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Yaitu, sila yang paling kental mewarnai sikap dan tindak-tanduk orang Minang selama ini. Sekarang, orang-orang PDIP sibuk menukangi ucapan Puan yang sangat berbisa tersebut. Mereka mencari-carikan alasan, mengklarifikasi, dan sebagainya. Sia-sia saja hasilnya. Damage has been done. Sudah terlanjur perasaan orang Minang luka parah. Semakin berusaha untuk dilurus-luruskan, bertambah meruyak nanti luka perasaan itu. Lebih baik Puan tampil ke depan. Minta maaf secara terbuka. Akui saja kesilapan. Selesai barang itu. Perkara nanti orang Minang melestarikan thesis Puan itu, apa boleh buat. Itulah risiko PDIP mencurigai orang lain. Itulah akibat keinginan pimpinan PDIP agar partai mereka itu unggul di mana-mana. Termasuk di Sumatera Barat (Sumbar). Keinginan itu menyebabkan pimpinan Banteng menganggap orang Minang yang tidak menerima PDIP sebagai musuh. Tidak hanya musuh partai, tetapi sekaligus mereka anggap sebagai musuh negara. Musuh negara itu antara lain adalah orang-orang yang tidak berpancasila. Cocok dengan ucapan Puan. Tidak ada salahnya orang PDIP ramai-ramai turun tangan untuk menyelamatkan Puan. Boleh-boleh saja barisan politisi senior PDIP mencoba meluruskan ucapan Puan itu. Silakan saja. Cuma, semakin Anda belok-belokkan peristiwa naas ini ke mana-mana, akan semakin parah. Anda terlihat arogan. Angkuh. Tidak mau meminta maaf. Merasa diri sempurna. Bisa juga nanti publik melihat PDIP sok kuasa. Mentang-mentang lagi punya kekuasaan besar. Seenaknya saja terhadap orang lain yang tidak mendukung PDIP. Kalu Anda tetap merasa tak bersalah, merasa Puan tidak melukai orang Minang, terserah saja. Tidak ada masalah. Sebab, catatan sejarah tentang peranan orang Minang cukup lengkap. Tak bisa dihapus. Mereka ikut merumuskan Pancasila, mereka mengamalkan dan merawatnya.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Politik “Setan” Dalam Pembentukan UU
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Sejak era 1660-an industri kain wol Inggris sudah menyiapkan segala langkah untuk memproteksi bisnisnya. Sebagai contoh, mereka berhasil memengaruhi parlemen untuk meratifikasi UU yang terkenal dengan nama Sumptuary Act. UU ini pada intinya melarang rakyat Ingris memakai pakaian dari bahan tekstil ringan. Pada tahun 1666-1678 mereka melobi parlemen untuk meloloskan sebuah UU. UU yang dilobi pembentukannya ini mewajibkan semua warga Inggris yang meninggal dunia untuk dibungkus dengan kain kafan dari wool (lihat Daron Acemoglu dan James A Robinson,2014). Jakarta FNN – Ahad (06/08). Politik oligarkis, korporasi dan konglomerasi khas abad ke-17 itu, terus menjadi model politik pembentukan hukum hingga kini. Postur politik itu membentang di sepanjang rute sejarah pembentukan hukum negara. Inggris, Prancis dan Amerika, negara tukang khutbah demokrasi ini menggungguli semua negara lain di dunia. Di Amerika politk itu telah bekerja sejak abad 18 lalu. Tepatnya pada awal pemerintahan George Washington. Melalui Alexander Hamilton, kelompok oligarkis itu bekerja meloloskan UU American First Bank pada tahun 1791. Sesudahnya, praktik ini menjadi tipikal politik pembentukan UU di Amerika. Tangan setan oligarki bekerja pada hampir semua UU di bidang keuangan dan ekonomi (tarif). Postur bobrok ini menyempurnakan panorama dunia hukum. Jangkauan tangan-tangan setan itu melebar hingga dunia penegakan hukum. Alhasil pembentukan dan penegakan tidak bisa lepas dari tangan-tangan setan itu. Akuntabilitas, transparansi dan responsibilitas yang menjadi kekuatan inti struktural demokrasi pun, mati konyol. Kaum oligarkis, korporasi,konglomerasi dan cukong-cukong tahu lebih dari sarjana hukum tahu tentang hukum. Berkat bantuan ahli, kalangan oligarki, korporasi dan konglomerasi tahu hukum adalah sumber hak. Hukum juga sumber wewenang. Hak, wewenang, kewajiban dan semua tindakan pemerintahan, mengalir dari dan berdasarkan hukum. Konsep semua tindakan manusia dan pemerintah harus berdasarkan hukum, merupakan cara demokrasi bekerja mewujudkan impian tentang kesamaan derajat. Status civilian setiap orang sama. Equality Before the Law, dalam ajaran ngara hukum demokratis hanya dapat diwujudkan dengan dan melalui aturan hukum. Oligarki, korporasi dan korporasi dalam operasinya tak terlihat. Kekuatannya terasa mengangkangi Indonesia yang tahu cara berpikir itu. Kuncinya kuasai dunia hukum. Sesuai sejarahnya hukum adalah uang besar. Oligarki, korporasi dan konglomerasi yang memegang kunci itu. Bukan politisi. Sialnya dunia politik Indsonesia terlanjur menjadi pusat gravitasi relatifitas nilai. Dunia menegatur hukum itu menyediakan ruang kompromi tanpa ujung. Bekerja dengan teknik tinggi, mengakibatkan tampilan praktis cara kerja oligarkis, korporasi dan konglomerasi sulit didentifikasi. Bukti telanjang tentang eksistensinya tak berceceran. Itu sebabnya sulit menerangkan lolosnya politisi ke senayan, termasuk lolosnya UU Minerba yang baru dalam konteks kerja oligarki, korporasi dan konglomerasi. Panorama kecepatan proses pembentukan UU Minerba, UU Nomor 3 Tahun 2020, memanggil siapapun untuk mempertimbangkan sindrom oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Tetapi secepat kilatnya pembentukan UU MK yang baru saja diubah, tak cukup beralasan untuk dikerangkakan pada kekuatan kerja setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Paradoksnya saat ini UU Minerba dan Perpu Corona sedang diuji di MK. Mungkinkah kedua hal yang saling menyangkal ini menyulitkan MK menari secara mandiri? Tak ada jawaban yang otoritatif. Bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi dan konglomerasi bekerja dibalik Perpu Nomor 1 Tahun 2020, juga tak ada. Tak ada juga bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi, konglomerasi dan cukong bekerja dibalik DPR, sehingga menerima Perpu parah itu. Perpu ini mengalihkan hak budget DPR. Menabrak nyata-nyata dan telanjang bulat Konstitusi Negara UUD 1945. Pengalihan ini bermakna terjadi penyatuan eksistensi konstitusional DPR pada Presiden. Hebatnya soal fundamental ini tak mengusik cita rasa republikanisme DPR. Entah bagaimana rasionya, DPR malah mengonstitusionalitas imunitas hukum khas abad ke-17 tersebut kepada aparatur pemerintah. Legalisasi itu diatur dengan sangat jelas dalam pasal 27 Perpu Corona. Celakanya DPR mlah setuju saja. Tragis konstitusi bangsa ini. Hanya dengan satu pukulan kecil yang bernama “keadaan genting” konstitusi terpelanting. Konstitusi tersudut lalu jatuh tersungkur dalam keangkuhan interpretasi urakan tentang keadaan genting. Konsep konstitusi tentang “keadaan genting” diterima begitu saja. Ini disajikan sebagai mahkota konyol untuk dipakaikan kepada aparatur pelaksana APBN. Menariknya aparatur pemerintah yang diberi imunitas konyol itu, tidak percaya. Mereka tetap takut untuk dipenjara setelah kekuasaan ini berganti kelak. Kenyataan itu jelas menunjukan bahwa proses pemahkotaannya tak berkerangka pemetaan masalah primer. Padahal itu telah menjadi prosedur kerja standar dalam ilmu pembentukan UU. Menyedihkan sekali. Para pejabat Pengguna Anggaran (PPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak mau masuk penjara. Mereka tak tergoda dengan pandangan fungsional ala Robert K. Merton, sosiolog kenamaan tentang hukum itu. Pandangan fungsional ala Merton ini, khas oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Kekhasan itu telah menjadi energi terbesar bekerjanya mesin politik pembentukan UU. Energi ini terlihat samar-samar dibalik kampanye konyol, yang cenderung manipulatif habis-habisan agar RUU Omnibus Cipta Kerja disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Padahal RUU ini begitu membahayakan petani dan rakyat kecil disatu sisi. Disisi lain RUU ini terlalu jelas memihak oligarki, korporasi dan konglomerasi. Itu terlihat menajdi alasan meyakinkan Profesor Din Sjamsudin, Presidium KAMI, meminta Presiden dan DPR mencabutnya. Pembaca FNN yang budiman. Apakah Presiden dan DPR akan mengapresiasi permintaan Prof Din Syamsudin dan teman-temanya? Atau malah sebaliknya menyepelekan? Apakah Presiden dan DPR akan mengidentifikasi permintaan itu sebagai hal yang beralasan? Permintaan ini, hemat saya, begitu bening. Esensi permintaan itu, hemat saya, mencegah petani Indonesia semakin jauh terjatuh ke dalam penderitaan. Juga agar sumberdaya ekonomi semakin tak terakumulasi dan terkonsentrasi pada kaum oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Presiden dan DPR, idealnya dapat segera mereorientasi energi politik pembentukan hukumnya. Energinya harus direorientasi mengikuti pandangan Profesor Din. Sekali lagi pandangan itu sejalan pengetahuan akademik tentang demokrasi yang telah begitu canggih memapipulasi hukum. Dengan cara yang rumit, demokrasi menyodorkan mahkotanya yang bernama Equality Before the Law, sebagai justifikasi folosofis UU diskriminatif. Justifikasi ini dibalut dengan justifikasi sosiologis acak kadut. Semuanya hanya bermuara pada satu hal, membenarkan produk hukum-hukum yang memihak pada oligarki, korporasdi dan konglomerasi. Bukan hukum yang memihak kepada rakyat. Balutan sosiologis khas Robert K. Merton, sosiolog kenamaan Amerika itu, membuat Syed Husen Alatas, profesor dan sosiolog kawakan, tak bisa mengerti. Dalam penilaian berkelas Syed Husen Alatas, perspektif sosiologis khas Merton itu korup pada semua aspeknya. Malah merupakan korupsi dalam watak aslinya yang sangat sangat dan sangat sempurna. Korupsi jenis ini memang tidak berakhir di penjara. Itu tidak. Tetapi tetap saja korupsi. Memang korupsi jenis itu tidak dapat dikualifikasi sebagai korupsi tipikal UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 199 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi, sekali lagi, tetap saja korupsi. Malah korupsi jenis ini jauh lebih berbahaya. Mengapa? Korupsi ini dilegalisasi, dibenarkan oleh hukum. Hukum yang dipakai untuk melegalkan struktur korup dalam bernegara. Malah melestarikan penyebab institusional timbulnya korupsi. Menyenangkan bila Presiden dan DPR memiliki energinya republik ini untuk mencegah hukum berfungsi di luar fungsi asasinya. Energi Presiden dan DPR harusnya dipakai untuk menghasilkan hukum yang tak jadi alat perusak negara. Jelas itulah yang dirindukan. Republik punya alaram untuk hukum yang digunakan sebagai instrumen ketidakadilan. Mesin dan energi politik republik Presiden, harus memastikan proses pembentukan UU berjarak sejauh mungkin dari cara-cara setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Mudah-mudahan saja dapat diwujudkan. Sebab Presiden hanya perlu memiliki keberanian bertindak mandiri. Itu saja. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Khurafat Filsafat (Bagian-1)
by Irawan Santoso Shiddiq Jakarta FNN – Ahad (06/09). Frederich Nietzsche berkata, “saya sejak lama ingin hidup di kalangan kaum Muslim, khususnya ketika iman mereka kuat. Dengan ini saya berharap bisa mengasah penilaian saya dan pandangan saya untuk menilai hal-hal kebaratan.” Nietszche memberi pesan tentang indahnya kehidupan berada dalam lingkupan kaum muslimin. Tapi ketika masa keimanan kaum muslimin sangat kuat. Bukan di era modernis Islam kini. Karena kini aqidah muslimin, jamak dikooptasi kaum modernis dan wahabbi. Mereka menggelontorkan aqidah, yang menurut Shaykh Abdalqadir as sufi, “Tauhid yang mengerikan”. Tentu dengan dalih pemurnian Tauhid. Nietszche terkagum dengan Goethe. Pujangg Jerman, yang lebih dulu menyatakan ke-Islamannya. Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar dari Eropa, berfatwa, Goethe meninggal sebagai muslim. Karena Goethe jamak terkagum dengan Muhammad Shallahu Allaihi Wassalam. Ian Dallas menyebut, pandangan spiritualitas Nietszche, jamak dipengaruhi oleh Goethe. Dan satu kalimat Goethe yang sangat penting untuk manusia modern. Goethe berkata, “mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem, karena alam adalah kehidupan”. Dari Goethe menuju Nietszche. Kita akan mendapati Martin Heidegger. Filosof Jerman pada abad 21. Heidegger menggambarkan kesesatan cara berpikir ala filsafat. “Filsafat tidak menemukan Kebenaran”, katanya. Karena Nietszche sebelumnya telah berkata, “Filsafat itulah berhala”. Gambaran mereka menarik. Hingga kemudian kita mendapati ulama kesohor dari Eropa, Ian Dallas. Darinya kaum barat bisa menemukan jawaban. Dallas menggambarkan tentang Islam-nya Goethe, sampai pentingnya Heidegger bagi kaum muslimin. Terutama kaum modernis Islam, yang jamak sibuk membebek pada barat. Karena mereka telah membuat “Filsafat telah mati”. Karena Nietszche lebih dulu mengatakan, “Tuhan telah mati”. Yang membunuh Tuhan, sejatinya adalah “filsafat”. Karena buah pikiran manusia itu. Dari Dallas, “Filsafat telah mati” menemukan jawaban, yaitu kembalinya “tassawuf”. Ini pertanda matinya filsafat, kembalinya Islam. Ini pula yang disebut Nieszche sebagai “ketika keimanan muslimin menguat”. Karena dalam tassawuf itulah terjamin tentang aqidah Islam yang mumpuni. Bukan “Tauhid yang mengerikan” ala modernis Islam dan kaum wahabbi. Dari kalimat Goethe, “mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem...” menunjuk bantahan akan filsafat. Goethe hidup kala filsafat tengah menggeliat di Eropa. Kala barat keranjingan filsafat. Goethe hidup seabad setelah Rene Descartes menebar virus “cogito ergo sum” di barat. Jaman ketika Eropa berada dalam kungkungan dogma Gereja Roma. Adagium berkembang kala itu menggeliat “vox Rei vox Dei” (suara Raja suara Tuhan). Eropa terperangah dengan aqidah “jabarriya”-nya Gereja Roma. Gereja Roma tampil menjadi penafsir tunggal ajaran Nasrani, yang wajib dipatuhi. Gereja dan Raja menjadi seperti “ulama dan umara” yang memangku Eropa. Disitulah mencuat perlawanan akan kondisi kekuasaan. Karena pemaksaan “Vox Rei Vox Dei” tadi. Karena satu sisi, Raja jamak menyalahgunakan kekuasaan. Seolah memang itu segala-galanya datang dari Tuhan. Peristiwa pembantaian 2000 orang Huguenot di istana Raja Charles IX, Raja Perancis abad 16, makin memantik perlawanan terhadap “Vox Rei Vox Dei”. Christopher Marlowe, dramawan Perancis, menggambarkan apik kejadian “genosida” karena perang agama masa itu. Dallas mengutipnya dalam kitabnya kesohor, “The Entire City” (telah terbit dalam bahasa Indonesia oleh penerbit MAHKAMAH). Peristiwa “Massacre de Paris”, pembantaian 2000 orang lebih pengikut Protestan, yang dituduh bid’ah. Memunculkan semangat filsafat. Karena beragam pertanyaan mencuat, “benarkah raja tak pernah salah? Benarkah raja itu wakil Tuhan? Apakah perbuatan raja itu dianggap ‘perbuatan Tuhan? Nah, tragedi itulah yang memantik kaum Eropa untuk “berpikir” ala filsafat. Copernicus memberikan bukti. Betapa dogma seolah tak boleh digeser. Pertarungan kebenaran ala Gereja, dan kebenaran sains pun terjadi. Galileo memberikan lagi. Dan Bruno makin memantiknya. Tapi pembakaran dirinya di depan umum, makin membuat kaum Eropa jengah akan dogma. Ini terjadi ketika masa “Eropa Springs”. Ketika kaum Eropa sibuk berperang internal. Sementara jaman itulah muslimin tengah dalam “keimanan yang kuat”, seperti kata Nietszche tadi. Itulah masa Daulah Utsmaniyya tengah dalam kejayaan. Tassawuf langgeng pesat di sana. Francis Bacon lebih dulu mendobrak. Dia menteorikan dengan “being”. “Aku Ada (being), maka aku berpikir (thingking)”. Segala sesuatu, harus bertitik tolak pada manusia. Dan inilah memang filsafat. Karena memang Socrates, Plato, Aristoteles mewariskannya. Masa rennaisance itulah, filsafat di-Kristen-kan. Sementara masa mu’tazilah, filsafat seolah di-Islam-kan. Rennaisance meluncurkan karena ekspor filsafat dari kaum mu’tazilah. Masa ketika Islam dirundung kejayaan sains sebagai anak kandung filsafat. Tapi runtuh secara kekuasaan. Karena jaman mu’tazilah itulah muslimin kehilangan A- Quds sampai runtuhnya Andalusia. Di tengahnya, masa itu pula Khalifah Al Mu’tashim Billah ditangkap oleh Hulagu Khan. Itulah periode muslimin tanpa Khalifah. Masa interagnum pertama. Tapi untungnya aqidah berhasil terselamatkan. Karena ulama-ulama kembali bersuara. Paham filsafat dicegat mutakallimun, Imam Asy’ari, Imam Mathuridi dan ulama besar lainnya. Mereka membantai kesesatan filsafat dalam memahami Tuhan. Dan Imam Ghazali menyerang habis filsafat, “Tahafut al Falasifah”. Serangan Imam Ghazali itu, hingga kemudian memunculkan Shaykh Abdalqadir Al-Jilani, yang membawa kembali muslimin pada tassawuf. Inilah jalan aman untuk memahami Tuhan dan kehidupan dengan benar. Dari situlah lahir Sultan Salahuddin al Ayyubi sampai Daulah Utsmaniyya. Buah dari pengajaran tassawuf, dan menyingkirkan filsafat. Tapi filsafat kemudian menyeberang ke Eropa. Dikutip rennaisance. Thomas Aquinas memulainya. Dia mengutip ajaran Ibnu Rusyd. Aquinas menelorkan perlawanan atas dogma. Kitabnya, “Tweez Warden Theorie” (teori dua belah pedang). Dia mengutip kebenaran ganda. Dulu masa Mu’tazilah, Al Farabi, guru kedua setelah Aristoteles, menelorkan tentang teori emanasi. Kebenaran ganda. Kebenaran ala filsafat dan kebenaran ala Wahyu. Aquinas mengenalkan teori emanasi itu pada Eropa. Maka seolah filsafat juga bisa menemukan “kebenaran”. Dengan teori ala Plato, “ide bawaan” atau ala Aristoteles, “akal bawaan”. Itulah seolah-olah yang kemudian dianggap sebagai “kebenaran”. Padahal Plato mengajarkan, segalanya tak bisa diterima begitu saja, sebelum diteorikan oleh akal manusia. Itu yang disebut dengan “teori”. Masa rennaisance, sama seperti era mu’tazilah. Aqli didudukkan sejajar dengan naqli. Tapi Descartes kemudian mengubahnya. Dia mengajar teori filsafat murni. Cartesius memaksa bahwa segala sesuatunya bisa dianggap kebenaran, jika telah melewati dengan proses saringan akal manusia. “Filsafat adalah dimana manusia, Tuhan, dan alam semesta menjadi ajang penyelidikan manusia,” kata Descartes. Disinilah racun itu kemudian mewabah. (Bersambung) Penulis adalah Wartawab Senior dan Direktur Eksekutif Mahkamah Institute.
Jaksa Agung ST. Burhanuddin Sebaiknya Mundur (Bagian-1)
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Ahad (06/09). Skandal pengurusan Fatwa Mahkamah Agung senilia U$ 100 juta dollar untuk menunda eksekusi Joko Tjandra telah sangat merusak wajah penegakan hukum Indonesia. Kondisi ini ditambah lagi dengan rencana pengajuan Peninjuan Kembali (PK) untuk membebaskan Tjoko Tjandra dari hukuman dua tahun penjara, entah berapa besar nilainya proposalnya? Joko Tjandra pasti ingin diperlakukan sama adilnya dengan kasus Sudjiono Timan (Yujin) yang bisa mendapatkan pembebasan murni melalui pengajuan PK. Padahal dalam putusan kasasi dan PK sebelumnya menghukum Sudjiono Timan 15 tahun dalam kasus BLBI di PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia senilai U$ 120 juta, setara Rp 1,2 triliun. Skandal Joko Tjandra melibatkan tiga kementrian, dan dua institusi negara setingkat kementerian. Kabarnya, Presiden Jokowi sudah menyampaikan sikapnya. Presiden marah berat atas kasus yang memalukan penegakan wajah hukum di era Jokowi ini. Tiga kemeneterian yang terlibat itu adalah Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Sedangkan dua institusi nergara adalah Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung. Korban pun sudah berjatuhan. Tiga jendral polisi dicopot dari jabatannya, yaitu Irjen Pol. Napoleon Bonaparte dari Kepala NCB Interpol, Brigjen Pol. Nugroho Prabowo dari Sekretaris NCB Interpol dan Brigjen Pol. Prasetyo Oetomo dari Kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri. Bahkan Napoleon Bonaparte dan Prasetyo Oetomo telah ditetapkan oleh Bareskrim Polri sebagai tersangka dugaan gratifikasi, dan terima suap. Selama kenal dengan tiga jendral polisi tersbut, sejak Perwira Menengah (pamen) sampai menjadi Perwira Tinggi (Pati) polisi, tidak ditemukan hal-hal yang aneh dari ketiganya. Mereka bertiga juga bukan masuk katagori polisi lingkangan utama yang bisa dipromisikan dengan cepat. Jalur yang dilalui mereka bertiga normal-normal saja. Bisa mendapatkan jendral, karena pengabdian dan profesional dalam tugas dan jabatan. Keterlibatan tiga jendral polisi itu dalam skandal Joko Tjandara hanya akibat Kejaksaan tidak memperpanjang Red Notice atas terhukum Joko Tjandra. Padahal yang punya kewenangan untuk memantau dan mengawasi sepak terjang Joko Tjandra adalah Kejaksaan selaku ekosekutor. Begitu juga yang punya kewenangan untuk memperpanjang atau tidaknya Red Notice adalah Kejaksaan. Bukan Polisi. Begitulah aturannya. Polisi hanya melaksanakan permintaan dari Kejaksaan. Kalau diperpanjang Red Notice, maka Polisi tidak dapat mencabut nama Joko Tjandra dari daftar buruan Interpol. Namun kalau tidak diperpanjang oleh Kejaksaan, maka tidak ada alasan hukum bagi Polisi memperpanjang Red Notice di Interpol. Pinangki Dekat Petinggi Nasdem Dari jajajaran Kejaksaan, Jan Maringka yang dicopit dari Jaksa Agung Muda Intelejen (Jemdatun), dan Pingaki Sirna Malasari yang ditetapkan sebagai tersangka. Pinangki adalah oknum jaksa yang berkali-kali menemui terhukum Joko Tjandra di Kualalumpur Malaysia. Duagaan sementara Pinangki memberikan jaminan kepada Tjoko Tjandra, kalau semua urusan hukumya di Indonesia bakal aman dan beres di bawah kerja timnya. Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas (Ratas) Bidang Polhukam belum lama ini, yang di dihadiri Menkopolhukam Mahfuz MD, Kapolri Jendral Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Mendagri Tito Karnavian, Menkumham Yasona Laoly, Kepala BIN Budi Gunawan telah menyatakan sikapnya. Presiden memerintahkan agar kasus Joko Tjandra ini diusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Siapa saja yang terlibat, harus diproses secara hukum. Sikap Presiden Jokowi yang keras dan tegas atas kasus yang sangat memalukan ini kemungkinan bakal menemui hambatan. Apalagi kalau Jaksa Agung masih dijabat Sanitiar Burhanuddin, atau yang biasa disapa dengan ST. Burhanuddin. Untuk itu, Presiden Jokowi sebaiknya memberhentikan dulu Jaksa Agung ST Burhanuddin. Atau paling kurang ST. Burhanudin yang mengundurkan diri atas kemaun atau kesadaran sendiri. Untuk melaksanakan tugas pengamanan segala urusan hukum Joko Tjandra ini, Pinangki tidak bekerja sendirian. Pinangki melibatkan Anita Kolopaking, teman kuliah di Bandung sebagai Pengacara Joko Tjandra. Dalam tim dengan proposal senilai U$ 100 juta ini, ada juga nama Rahmat dan Andi Irfan Jaya. Nama terakhir ini adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Sulawesi Selatan. Andi Irfan Jaya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Pidsus Kejaksaan. Hubungan Pinangki dengan Andi Irfan Jaya sudah terjalin sejak Jaksa Agung masih dijabat mantan politisi Partai Nasdem HM. Prasetyo. Dari sinilah awal mula Pinangki menjalin komunikasi, dan punya hubungan erat dengan sejumlah petinggi DPP Partai Nasdem yang berasal dari Pulau Sulawesi. Meskipun belom dibuktikan secara otoritatif, namun dugaan sementara, yang mempertemukan Pinangki dengan Joko Tjandra adalah petinggi DPP Nasdem dari Pulau Sulawesi. Kader Partai Nasdem yang ditugaskan sebagai pelaksana lapangan di dalam tim dengan proposal senilai U$ 100 adalah Andi Irfan Jaya. Rencananya sekitar U$ 10 juta dari dana U$ 100 juta itu, bakal dialokasikan untuk pembangunan pengbangkit listrik (Power Pland) di Kalimantan Barat. Dari proyek Power Pland di Kalimantan Barat inilah muncul juga nama baru “Pujianto Gondokusumo”. Nama yang terakhir ini belom pernah diungkap ke publik. Tidak jelas juga institusi mana yang belum mau untuk menungkapkan keterlibatan Pujianto Gondokusumo. Apakah dari Polri atau Kejaksaan? Yang jelas, Pujianto Gondokusumo mempunyai kaitan dengan prosposal U$ 100 untuk minta Fatwa Mahkamah Agung. (bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.