Politik “Setan” Dalam Pembentukan UU

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum

Sejak era 1660-an industri kain wol Inggris sudah menyiapkan segala langkah untuk memproteksi bisnisnya. Sebagai contoh, mereka berhasil memengaruhi parlemen untuk meratifikasi UU yang terkenal dengan nama Sumptuary Act. UU ini pada intinya melarang rakyat Ingris memakai pakaian dari bahan tekstil ringan. Pada tahun 1666-1678 mereka melobi parlemen untuk meloloskan sebuah UU. UU yang dilobi pembentukannya ini mewajibkan semua warga Inggris yang meninggal dunia untuk dibungkus dengan kain kafan dari wool (lihat Daron Acemoglu dan James A Robinson,2014).

Jakarta FNN – Ahad (06/08). Politik oligarkis, korporasi dan konglomerasi khas abad ke-17 itu, terus menjadi model politik pembentukan hukum hingga kini. Postur politik itu membentang di sepanjang rute sejarah pembentukan hukum negara. Inggris, Prancis dan Amerika, negara tukang khutbah demokrasi ini menggungguli semua negara lain di dunia.

Di Amerika politk itu telah bekerja sejak abad 18 lalu. Tepatnya pada awal pemerintahan George Washington. Melalui Alexander Hamilton, kelompok oligarkis itu bekerja meloloskan UU American First Bank pada tahun 1791. Sesudahnya, praktik ini menjadi tipikal politik pembentukan UU di Amerika. Tangan setan oligarki bekerja pada hampir semua UU di bidang keuangan dan ekonomi (tarif).

Postur bobrok ini menyempurnakan panorama dunia hukum. Jangkauan tangan-tangan setan itu melebar hingga dunia penegakan hukum. Alhasil pembentukan dan penegakan tidak bisa lepas dari tangan-tangan setan itu. Akuntabilitas, transparansi dan responsibilitas yang menjadi kekuatan inti struktural demokrasi pun, mati konyol.

Kaum oligarkis, korporasi,konglomerasi dan cukong-cukong tahu lebih dari sarjana hukum tahu tentang hukum. Berkat bantuan ahli, kalangan oligarki, korporasi dan konglomerasi tahu hukum adalah sumber hak. Hukum juga sumber wewenang. Hak, wewenang, kewajiban dan semua tindakan pemerintahan, mengalir dari dan berdasarkan hukum.

Konsep semua tindakan manusia dan pemerintah harus berdasarkan hukum, merupakan cara demokrasi bekerja mewujudkan impian tentang kesamaan derajat. Status civilian setiap orang sama. Equality Before the Law, dalam ajaran ngara hukum demokratis hanya dapat diwujudkan dengan dan melalui aturan hukum.

Oligarki, korporasi dan korporasi dalam operasinya tak terlihat. Kekuatannya terasa mengangkangi Indonesia yang tahu cara berpikir itu. Kuncinya kuasai dunia hukum. Sesuai sejarahnya hukum adalah uang besar. Oligarki, korporasi dan konglomerasi yang memegang kunci itu. Bukan politisi. Sialnya dunia politik Indsonesia terlanjur menjadi pusat gravitasi relatifitas nilai. Dunia menegatur hukum itu menyediakan ruang kompromi tanpa ujung.

Bekerja dengan teknik tinggi, mengakibatkan tampilan praktis cara kerja oligarkis, korporasi dan konglomerasi sulit didentifikasi. Bukti telanjang tentang eksistensinya tak berceceran. Itu sebabnya sulit menerangkan lolosnya politisi ke senayan, termasuk lolosnya UU Minerba yang baru dalam konteks kerja oligarki, korporasi dan konglomerasi.

Panorama kecepatan proses pembentukan UU Minerba, UU Nomor 3 Tahun 2020, memanggil siapapun untuk mempertimbangkan sindrom oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Tetapi secepat kilatnya pembentukan UU MK yang baru saja diubah, tak cukup beralasan untuk dikerangkakan pada kekuatan kerja setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Paradoksnya saat ini UU Minerba dan Perpu Corona sedang diuji di MK. Mungkinkah kedua hal yang saling menyangkal ini menyulitkan MK menari secara mandiri? Tak ada jawaban yang otoritatif.

Bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi dan konglomerasi bekerja dibalik Perpu Nomor 1 Tahun 2020, juga tak ada. Tak ada juga bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi, konglomerasi dan cukong bekerja dibalik DPR, sehingga menerima Perpu parah itu.

Perpu ini mengalihkan hak budget DPR. Menabrak nyata-nyata dan telanjang bulat Konstitusi Negara UUD 1945. Pengalihan ini bermakna terjadi penyatuan eksistensi konstitusional DPR pada Presiden. Hebatnya soal fundamental ini tak mengusik cita rasa republikanisme DPR.

Entah bagaimana rasionya, DPR malah mengonstitusionalitas imunitas hukum khas abad ke-17 tersebut kepada aparatur pemerintah. Legalisasi itu diatur dengan sangat jelas dalam pasal 27 Perpu Corona. Celakanya DPR mlah setuju saja. Tragis konstitusi bangsa ini.

Hanya dengan satu pukulan kecil yang bernama “keadaan genting” konstitusi terpelanting. Konstitusi tersudut lalu jatuh tersungkur dalam keangkuhan interpretasi urakan tentang keadaan genting. Konsep konstitusi tentang “keadaan genting” diterima begitu saja. Ini disajikan sebagai mahkota konyol untuk dipakaikan kepada aparatur pelaksana APBN.

Menariknya aparatur pemerintah yang diberi imunitas konyol itu, tidak percaya. Mereka tetap takut untuk dipenjara setelah kekuasaan ini berganti kelak. Kenyataan itu jelas menunjukan bahwa proses pemahkotaannya tak berkerangka pemetaan masalah primer. Padahal itu telah menjadi prosedur kerja standar dalam ilmu pembentukan UU. Menyedihkan sekali.

Para pejabat Pengguna Anggaran (PPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak mau masuk penjara. Mereka tak tergoda dengan pandangan fungsional ala Robert K. Merton, sosiolog kenamaan tentang hukum itu.

Pandangan fungsional ala Merton ini, khas oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Kekhasan itu telah menjadi energi terbesar bekerjanya mesin politik pembentukan UU. Energi ini terlihat samar-samar dibalik kampanye konyol, yang cenderung manipulatif habis-habisan agar RUU Omnibus Cipta Kerja disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat.

Padahal RUU ini begitu membahayakan petani dan rakyat kecil disatu sisi. Disisi lain RUU ini terlalu jelas memihak oligarki, korporasi dan konglomerasi. Itu terlihat menajdi alasan meyakinkan Profesor Din Sjamsudin, Presidium KAMI, meminta Presiden dan DPR mencabutnya.

Pembaca FNN yang budiman. Apakah Presiden dan DPR akan mengapresiasi permintaan Prof Din Syamsudin dan teman-temanya? Atau malah sebaliknya menyepelekan? Apakah Presiden dan DPR akan mengidentifikasi permintaan itu sebagai hal yang beralasan?

Permintaan ini, hemat saya, begitu bening. Esensi permintaan itu, hemat saya, mencegah petani Indonesia semakin jauh terjatuh ke dalam penderitaan. Juga agar sumberdaya ekonomi semakin tak terakumulasi dan terkonsentrasi pada kaum oligarkis, korporasi dan konglomerasi.

Presiden dan DPR, idealnya dapat segera mereorientasi energi politik pembentukan hukumnya. Energinya harus direorientasi mengikuti pandangan Profesor Din. Sekali lagi pandangan itu sejalan pengetahuan akademik tentang demokrasi yang telah begitu canggih memapipulasi hukum.

Dengan cara yang rumit, demokrasi menyodorkan mahkotanya yang bernama Equality Before the Law, sebagai justifikasi folosofis UU diskriminatif. Justifikasi ini dibalut dengan justifikasi sosiologis acak kadut. Semuanya hanya bermuara pada satu hal, membenarkan produk hukum-hukum yang memihak pada oligarki, korporasdi dan konglomerasi. Bukan hukum yang memihak kepada rakyat.

Balutan sosiologis khas Robert K. Merton, sosiolog kenamaan Amerika itu, membuat Syed Husen Alatas, profesor dan sosiolog kawakan, tak bisa mengerti. Dalam penilaian berkelas Syed Husen Alatas, perspektif sosiologis khas Merton itu korup pada semua aspeknya. Malah merupakan korupsi dalam watak aslinya yang sangat sangat dan sangat sempurna.

Korupsi jenis ini memang tidak berakhir di penjara. Itu tidak. Tetapi tetap saja korupsi. Memang korupsi jenis itu tidak dapat dikualifikasi sebagai korupsi tipikal UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 199 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tetapi, sekali lagi, tetap saja korupsi. Malah korupsi jenis ini jauh lebih berbahaya. Mengapa? Korupsi ini dilegalisasi, dibenarkan oleh hukum. Hukum yang dipakai untuk melegalkan struktur korup dalam bernegara. Malah melestarikan penyebab institusional timbulnya korupsi.

Menyenangkan bila Presiden dan DPR memiliki energinya republik ini untuk mencegah hukum berfungsi di luar fungsi asasinya. Energi Presiden dan DPR harusnya dipakai untuk menghasilkan hukum yang tak jadi alat perusak negara. Jelas itulah yang dirindukan. Republik punya alaram untuk hukum yang digunakan sebagai instrumen ketidakadilan.

Mesin dan energi politik republik Presiden, harus memastikan proses pembentukan UU berjarak sejauh mungkin dari cara-cara setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Mudah-mudahan saja dapat diwujudkan. Sebab Presiden hanya perlu memiliki keberanian bertindak mandiri. Itu saja.

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

487

Related Post