Khurafat Filsafat (Bagian-1)
by Irawan Santoso Shiddiq
Jakarta FNN – Ahad (06/09). Frederich Nietzsche berkata, “saya sejak lama ingin hidup di kalangan kaum Muslim, khususnya ketika iman mereka kuat. Dengan ini saya berharap bisa mengasah penilaian saya dan pandangan saya untuk menilai hal-hal kebaratan.”
Nietszche memberi pesan tentang indahnya kehidupan berada dalam lingkupan kaum muslimin. Tapi ketika masa keimanan kaum muslimin sangat kuat. Bukan di era modernis Islam kini. Karena kini aqidah muslimin, jamak dikooptasi kaum modernis dan wahabbi. Mereka menggelontorkan aqidah, yang menurut Shaykh Abdalqadir as sufi, “Tauhid yang mengerikan”. Tentu dengan dalih pemurnian Tauhid.
Nietszche terkagum dengan Goethe. Pujangg Jerman, yang lebih dulu menyatakan ke-Islamannya. Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar dari Eropa, berfatwa, Goethe meninggal sebagai muslim. Karena Goethe jamak terkagum dengan Muhammad Shallahu Allaihi Wassalam.
Ian Dallas menyebut, pandangan spiritualitas Nietszche, jamak dipengaruhi oleh Goethe. Dan satu kalimat Goethe yang sangat penting untuk manusia modern. Goethe berkata, “mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem, karena alam adalah kehidupan”.
Dari Goethe menuju Nietszche. Kita akan mendapati Martin Heidegger. Filosof Jerman pada abad 21. Heidegger menggambarkan kesesatan cara berpikir ala filsafat. “Filsafat tidak menemukan Kebenaran”, katanya. Karena Nietszche sebelumnya telah berkata, “Filsafat itulah berhala”.
Gambaran mereka menarik. Hingga kemudian kita mendapati ulama kesohor dari Eropa, Ian Dallas. Darinya kaum barat bisa menemukan jawaban. Dallas menggambarkan tentang Islam-nya Goethe, sampai pentingnya Heidegger bagi kaum muslimin. Terutama kaum modernis Islam, yang jamak sibuk membebek pada barat. Karena mereka telah membuat “Filsafat telah mati”.
Karena Nietszche lebih dulu mengatakan, “Tuhan telah mati”. Yang membunuh Tuhan, sejatinya adalah “filsafat”. Karena buah pikiran manusia itu. Dari Dallas, “Filsafat telah mati” menemukan jawaban, yaitu kembalinya “tassawuf”. Ini pertanda matinya filsafat, kembalinya Islam. Ini pula yang disebut Nieszche sebagai “ketika keimanan muslimin menguat”. Karena dalam tassawuf itulah terjamin tentang aqidah Islam yang mumpuni. Bukan “Tauhid yang mengerikan” ala modernis Islam dan kaum wahabbi.
Dari kalimat Goethe, “mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem...” menunjuk bantahan akan filsafat. Goethe hidup kala filsafat tengah menggeliat di Eropa. Kala barat keranjingan filsafat. Goethe hidup seabad setelah Rene Descartes menebar virus “cogito ergo sum” di barat. Jaman ketika Eropa berada dalam kungkungan dogma Gereja Roma. Adagium berkembang kala itu menggeliat “vox Rei vox Dei” (suara Raja suara Tuhan). Eropa terperangah dengan aqidah “jabarriya”-nya Gereja Roma.
Gereja Roma tampil menjadi penafsir tunggal ajaran Nasrani, yang wajib dipatuhi. Gereja dan Raja menjadi seperti “ulama dan umara” yang memangku Eropa. Disitulah mencuat perlawanan akan kondisi kekuasaan. Karena pemaksaan “Vox Rei Vox Dei” tadi. Karena satu sisi, Raja jamak menyalahgunakan kekuasaan. Seolah memang itu segala-galanya datang dari Tuhan.
Peristiwa pembantaian 2000 orang Huguenot di istana Raja Charles IX, Raja Perancis abad 16, makin memantik perlawanan terhadap “Vox Rei Vox Dei”. Christopher Marlowe, dramawan Perancis, menggambarkan apik kejadian “genosida” karena perang agama masa itu. Dallas mengutipnya dalam kitabnya kesohor, “The Entire City” (telah terbit dalam bahasa Indonesia oleh penerbit MAHKAMAH).
Peristiwa “Massacre de Paris”, pembantaian 2000 orang lebih pengikut Protestan, yang dituduh bid’ah. Memunculkan semangat filsafat. Karena beragam pertanyaan mencuat, “benarkah raja tak pernah salah? Benarkah raja itu wakil Tuhan? Apakah perbuatan raja itu dianggap ‘perbuatan Tuhan? Nah, tragedi itulah yang memantik kaum Eropa untuk “berpikir” ala filsafat. Copernicus memberikan bukti. Betapa dogma seolah tak boleh digeser.
Pertarungan kebenaran ala Gereja, dan kebenaran sains pun terjadi. Galileo memberikan lagi. Dan Bruno makin memantiknya. Tapi pembakaran dirinya di depan umum, makin membuat kaum Eropa jengah akan dogma. Ini terjadi ketika masa “Eropa Springs”. Ketika kaum Eropa sibuk berperang internal. Sementara jaman itulah muslimin tengah dalam “keimanan yang kuat”, seperti kata Nietszche tadi. Itulah masa Daulah Utsmaniyya tengah dalam kejayaan. Tassawuf langgeng pesat di sana.
Francis Bacon lebih dulu mendobrak. Dia menteorikan dengan “being”. “Aku Ada (being), maka aku berpikir (thingking)”. Segala sesuatu, harus bertitik tolak pada manusia. Dan inilah memang filsafat. Karena memang Socrates, Plato, Aristoteles mewariskannya. Masa rennaisance itulah, filsafat di-Kristen-kan. Sementara masa mu’tazilah, filsafat seolah di-Islam-kan.
Rennaisance meluncurkan karena ekspor filsafat dari kaum mu’tazilah. Masa ketika Islam dirundung kejayaan sains sebagai anak kandung filsafat. Tapi runtuh secara kekuasaan. Karena jaman mu’tazilah itulah muslimin kehilangan A- Quds sampai runtuhnya Andalusia. Di tengahnya, masa itu pula Khalifah Al Mu’tashim Billah ditangkap oleh Hulagu Khan.
Itulah periode muslimin tanpa Khalifah. Masa interagnum pertama. Tapi untungnya aqidah berhasil terselamatkan. Karena ulama-ulama kembali bersuara. Paham filsafat dicegat mutakallimun, Imam Asy’ari, Imam Mathuridi dan ulama besar lainnya. Mereka membantai kesesatan filsafat dalam memahami Tuhan. Dan Imam Ghazali menyerang habis filsafat, “Tahafut al Falasifah”.
Serangan Imam Ghazali itu, hingga kemudian memunculkan Shaykh Abdalqadir Al-Jilani, yang membawa kembali muslimin pada tassawuf. Inilah jalan aman untuk memahami Tuhan dan kehidupan dengan benar. Dari situlah lahir Sultan Salahuddin al Ayyubi sampai Daulah Utsmaniyya. Buah dari pengajaran tassawuf, dan menyingkirkan filsafat.
Tapi filsafat kemudian menyeberang ke Eropa. Dikutip rennaisance. Thomas Aquinas memulainya. Dia mengutip ajaran Ibnu Rusyd. Aquinas menelorkan perlawanan atas dogma. Kitabnya, “Tweez Warden Theorie” (teori dua belah pedang). Dia mengutip kebenaran ganda. Dulu masa Mu’tazilah, Al Farabi, guru kedua setelah Aristoteles, menelorkan tentang teori emanasi. Kebenaran ganda. Kebenaran ala filsafat dan kebenaran ala Wahyu.
Aquinas mengenalkan teori emanasi itu pada Eropa. Maka seolah filsafat juga bisa menemukan “kebenaran”. Dengan teori ala Plato, “ide bawaan” atau ala Aristoteles, “akal bawaan”. Itulah seolah-olah yang kemudian dianggap sebagai “kebenaran”.
Padahal Plato mengajarkan, segalanya tak bisa diterima begitu saja, sebelum diteorikan oleh akal manusia. Itu yang disebut dengan “teori”. Masa rennaisance, sama seperti era mu’tazilah. Aqli didudukkan sejajar dengan naqli.
Tapi Descartes kemudian mengubahnya. Dia mengajar teori filsafat murni. Cartesius memaksa bahwa segala sesuatunya bisa dianggap kebenaran, jika telah melewati dengan proses saringan akal manusia. “Filsafat adalah dimana manusia, Tuhan, dan alam semesta menjadi ajang penyelidikan manusia,” kata Descartes. Disinilah racun itu kemudian mewabah. (Bersambung)
Penulis adalah Wartawab Senior dan Direktur Eksekutif Mahkamah Institute.