OPINI
PDIP Bikin Bulunder, Indonesia Dikepung Demontransi
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (27/06). Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dicurigai oleh umat Islam. RUU ini dicurigai sebagai bentuk upaya menghadirkan kembali komunisme. Apa saja dasar kecurigaan umat Islam tersebut? Pertama, mendorong Pancasila ke Trisila. Lalu diperas lagi menjadi Ekasila. Kedua, secara sengaja menolak dan menyingkirkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dari konsideran RUU HIP. Sangat berasalan kalau umat Islam curiga ada agenda terselubung untuk menghidupkan kembali faham komunisme. Umat Islam, baik melalui Maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI), maupun semua Ormas Islam dan dan elemen umat Islam lainnya, tidak saja menuntut pembatalan. Tetapi juga meminta aparat berwajib untuk mengusut tuntas para oknum dibalik RUU HIP tersebut. Umat Islam beranggapan, oknum konseptor dan anggota DPR yang menjadi pengusul RUU ini telah sengaja melakukan makar kepada ideologi negara Pancasila. Makar terhadap dasar negara Pancasila, hasil konsensus tanggal 18 Agustus 1945. Bantahan berbagai pihak, khususnya dari kader PDIP terkait adanya unsur komunisme di dalam RUU HIP tersebut tak merubah stigma yang sudah terlanjur tertanam di otak umat. Di tengah gelombang protes terhadap RUU HIP, partai berlambang kepala banteng ini justru memunculkan narasi dan sikap yang dianggap kontra-produktif. Pertama, fraksi PDIP tetap bertekat ingin melanjutkan pembahasan RUU HIP. Sekaligus PDIP juga mengkritik sejumlah fraksi yang balik badan, dan menolak RUU HIP dilanjutkan. PDIP rupanya tetap mau arus daras penolakan dari umat Islam. Akibatnya, PDIP sendirian yang bakal dikempung demontrasi besar-besaran dari umat Islam. Untuk menunjukkan keseriusannya melanjutkan RUU HIP, PDIP membuka tawaran. Menerima TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dimasukan dalam konsideran. Namun dengan syarat, larangan terhadap radikalisme dan khilafaisme juga harus dimasukkan dalam pembahasan RUU HIP. PDIP juga menawarkan perubahan nama dari RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Namanya menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Nampaknya, PDIP mau menggeser isu RUU HIP, dari PDIP ke Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Langkah cerdik baru dari PDIP. Sayangnya, langkah untuk menyelamatkan diri ini, sudah dibaca umat Islam. Kedua, PDIP mengerahkan massa tandingan di sejumlah tempat, di saat umat Islam mengepung gedung DPR. Show the power. Sepertinya ingin memberi pesan bahwa PDIP juga punya kekuatan massa. Bahkan muncul ungkapan bahwa kader PDIP berjumlah jutaan. Untuk menunjukkan ini, ada instruksi kepada para kader untuk memasang bendera partai di rumah masing-masing. Ketiga, terhadap para pembakar bendera, PDIP menuntut adanya pengusutan oleh pihak kepolisian. Meminta kepada seluruh pengurus PDIP se-Indonesia, agar datang ke polres-polres setempat untuk melaporkan para pembakar bendera. Sudahkah ada laporan resminya ke pihak polisi? Sampai sekarang belum terkonfirmasi. Sikap dan langkah PDIP oleh banyak pengamat dianggap blunder. Akibatnya, tidak saja partai pengusung Jokowi ini ditinggalkan oleh semua fraksi di DPR. Namun PDIP juga telah dianggap memancing emosi umat Islam. PDIP seolah memberi energi tambahan kepada umat untuk kembali turun ke jalan. Faktanya, pasca PDIP mengeluarkan sejumlah pernyataan dan mengambil sikap, gelombang massa yang turun ke jalan di berbagai daerah semakin masif. Bahkan dari video yang beredar di medsos, tampak kalau pembakaran terhadap bendera PDIP masih saja terjadi di daerah. Bahkan kemungkinan saja semakin marak dan massif nantinya. PDIP itu partai besar. Sebagai partai pemenag pemilu dua kali berturut-turut. Jika tak ingin kehilangan konstituennya dari kalangan umat Islam, mesti mau melakukan evaluasi terhadap sikap dan langkah yang selama ini diambil. Ini bukan soal siapa yang kuat. Tapi ini soal nasib PDIP ke depan, dan demi menjaga keutuhan bangsa dan negara. PDIP harusnya mengevaluasi sejumlah sikap dan langkahnya . Yang oleh banyak pihak dianggap provokatif, ini justru bisa memancing terjadinya demonstrasi besar-besaran. Bahkan diprediksi jauh bisas melebihi 212 tahun 2018 lalu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
ITB Sangat Butuh Prof. Din Syamsudin
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Sabtu (27/06). Sehubungan beredarnya pernyataan Yani Panigoro, Ketua Majelis Wali Amanah (MWA) ITB, bahwa Prof. Dr. Din Syamsudin akan mengundurkan diri sebagai anggota MWA ITB. Prof. Din Mengundurkan diri karena alasan adanya desakan dari alumni ITB. Saya curiga, ini sebagai alasan yang mengada-ada. Masalahnya, tuntutan agar Prof Din Syamsudin mundur dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Alumni ITB Anti Radikalisme atau Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB. Padahal dalam kealumnian ITB hanya dikenal Ikatan Alumni ITB Pusat dan Ikatan Alumni ITB Daerah, serta Ikatan Alumni Jurusan. Semuanya dalam satu wadah resmi yang diketuai Dr. Ridwan Jamaluddin. Alasan yang ditujukan terhadap penolakan Din sebagai anggota MWA bahwa Prof. Din radikal sangat membingungkan. Pertama, Prof. Din dikaitkan radikal karena pernah menghadiri acara HTI (Hizbuttahrir Indonesia) pada tahun 2007. Padahal pada tahun 2017, sepuluh tahun kemudian, Presiden Jokowi mengangkat Prof. Din Syamsudin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Pembangunan Perdamaian serta Peradaban Dunia. Pada saat ditanya wartawan alasan pengangkatan Din setingkat menteri itu, Jokowi menyebutkan dia sudah mengetahui jejak rekam dan pondasi yang kokoh Prof. Din dibidang tersebut. Bahkan, Jokowi merayu Professor Din untuk mau menerima amanah itu demi kepentingan negara. Kedua, Prof. Din disebutkan mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) atas hasil pilpres tahun 2019 yang lalu. Alasan ini juga membingungkan. Sebab, Din Syamsudin kala itu meminta masyarakat agar menerima legalitas hasil pilpres yang diputuskan MK, namun tetap perlu menyimpan rasa curiga atas keputusan MK yang terasa ganjil tersebut. Dalam posisi ini, sebenarnya Prof. Din Syamsudin memberikan kanalisasi pada emosi puluhan juta rakyat yang merasa Pemilu Pilpres diwarnai dengan berbagai kecurangan. Sehingga, harusnya sikap Prof. Din Syamsudin ini dikatagorikan sikap negarawan. Bukan orang yang radikal. Ketiga, Prof. Din Syamsudin dikatakan banyak mengkritik pemerintahan Jokowi. Hal ini melanggar Statuta ITB dan MWA ITB yang mengatakan bahwa hubungan ITB dan pihak pemerintah harus baik-baik saja. Hal ini sedikit membingungkan. Karena ITB dan jajaran professornya dari dulu tercatat sangat lumrah bersikap kritis terhadap pemerintah. Pada masa Suharto, bahkan rumah Rektor ITB Professor Iskandar Alisyahbana dihujani peluru oleh tentara pendukung rezim Suharto. Karena rektor tersebut mendukung gerakan mahasiwa ITB 77/78 yang meminta Suharto lengser. Sampai akhir hayatnya Professor Iskandar Alisyahbana tidak menyesal mendukung gerakan mahasiswa saat itu. Kebebasan ilmiah telah membuat kampus ITB terkenal menghargai sikap kritis. Dengan demikian sikap Prof. Din Syamsudin yang saat ini sering kritis terhadap pemerintah Jokowi, harus dimaklumi sebagai bagian dari hidupnya demokrasi, yang sejak dulu diperjuangkan ITB. Perlu dicatat bahwa ITB harus berkembang pesat untuk memajukan industrialisasi dan kualitas pendidikan tinggi kita. Peranan industri yang terus merosot. Jika diukur dengan kontribusinya bagi PDB, sudah mencemaskan saat ini. Kontribusi sektor industri di masa SBY, 2008, masih sebesar 27,8% terhadap PDB. Namun, di masa Jokowi, kuartal 3/2019, kontribusi sektor industri hanya 19,8% saja. ITB QS Ranking pun masih pada nomor 331. Jauh di bawah University Malaya, pada urutan 59 dunia, pada tahun 2020. Untuk memajukan ITB dan jaringan internasional, sangat dibutuhkan datangnya dari berbagai pihak. Kehadiran Prof Din Syamsudin yang mempunyai relasi kuat ke Vatikan, PBB, PKC-RRC, tokoh-tokoh politik Amerika dan lainnya, tentu sangat perlu bagi ITB. Agar konektivitas terhadap dunia global bisa semakin cepat terjadi. Konektivitas adalah kata kunci kemajuan institusi, seperti ITB, di masa datang. Dengan demikian, daripada menghujat Professor Din Syamsudin secara brutal dengan menuduh radikal, lebih baik senat akademik ITB mempertahankan keberadaan Professor Din Syamsudin di MWA ITB. Salam Hormat, Penulis adalah Alumni Geodesi ITB, dan Alumni Paskasarjana Studi Pembangunan ITB.
Usut Bakar Bendera PDIP, Kejar Pelaku Makar Pancasila
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kalau pembakaran bendera PDIP di aksi unjukrasa RUU HIP memang berdimensi pidana, tentu bisa saja diusut sesuai aturan hukum yang berlaku. Semua pihak akan mengikuti penegakan hukum. Karena negara ini adala negara hukum. Tetapi, yang lebih besar dari peristiwa pembakaran bendera itu juga wajib diusut. Bahkan, harus diselidiki dengan sangat serius. Yaitu, rencana untuk mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Rencana yang jelas-jelas ingin melenyapkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME) dari Pancasila. Ini lebih besar dari pidana bakar bendera partai. Mengubah Pancasila adalah perbuatan makar terhadap negara. Para penggagas Trisila dan Ekasila, sebagaimana tertera di dalam RUU HIP, ingin mengubah dasar negara. Motif mereka tidak samar-samar. Mereka berencana untuk menghilangkan agama dari bumi Indonesia. Rencana itu tidak saja melawan pasal-pasal pidana, tetapi juga bertentangan frontal dengan UUD 1945. Di dalam RUU HIP tersirat keinginan untuk menghidupkan kembali komunisme dan marxisme-leninisme di Indonesia. Itu terlihat dari peniadaan Tap MPRS XXV/1966 tentang larangan komunisme-PKI di deretan konsideran RUU HIP. Inilah salah satu fakta yang menyulut reaksi keras dari rakyat lewat unjukarasa 24 Juni 2020 di DPR. Pembakaran bendera partai adalah ekses dari reaksi keras itu. Silakan diusut tuntas. Boleh-boleh saja. Tetapi, pembakaran bendera dan proses pengusutannya jangan sampai mengalihkan perhatian semua pihak dari rencana makar terhadap Pancasila. Ini jauh lebih mendesak untuk diuraikan. Harus segera ditemukan dalang rencana makar. Setelah itu, harus ada tindakan hukum terhadap para perencana makar. Institusi penegak hukum tidak akan menghadapi kesulitan untuk mengusut makar Pancasila dan pembakaran bendera PDIP. Bukti-bukti sudah terdokumentasi. Ada video tentang pembakaran bendera dan ada pula video tentang rencana makar Pancasila. Bahkan, rencana makar Pancasila memiliki dokumen tertulis yang sangat lengkap. Dan tersimpan di DPR. Hanya melalui penegakan keadilan yang utuh dan tidak berat sebelah, semua kita bisa hidup dengan tenteram. Keberpihakan pasti akan tercium dan terungkap. Akumulasi keberpihakan pasti pula akan berproses menjadi bom waktu. Sebaiknya, janganlah dirakit bom waktu itu. Jadi, silakan usut bakar bendera PDIP. Tapi, wajib dikejar pelaku makar Pancasila.[] 26 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)
Kini PDIP Sendirian Hadapi Demo Umat Islam
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (26/06). Yang menjaga Pancasila, bukan hanya tugas Umat Islam. Tapi tugas semua anak bangsa. Kalau di media, terkesan hanya umat Islam yang memprotes terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP). Itu karena pertama, umat Islam mayoritas 82%-83%. Kedua, umat Islam paling banyak merasakan pedihnya pemberontakan PKI. Pembantaian dan pembunuhan para ulama, Kiyai pesantren, santri, guru ngaji, iman masjid dan tokoh agama. Prilaku biadab oleh PKI itu telah mengisi sejarah kelam bangsa ini. Terutama kaum Nahdhiyin dan para aktivis Ansor. Mereka paling merasakan kebiadaban PKI saat itu. Juga warga Muhammadiyah, kader-kader HMI serta PII. Umat Islam kaget dan sangat terkjejut ketika mengetahui RUU HIP diusulkan ke prolegnas prioritas DPR. Hampir saja semua fraksi di DPR kompak setuju. Kok bisa ya? Kecuali Demokrat dan PKS yang tak mau tanda tangan. Anehnya, Fraksi PAN, PKB dan PPP yang punya akar pemilih umat Islam juga setuju dan mendukung RUU HIP makar kepada negara ini. Setelah MUI mengeluarkan delapan maklumat yang didukung hampir seluruh ormas Islam, barulah sejumlah fraksi di DPR tarik diri. PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Nasdem balik badan. Padahal semula dengan langkah tegap mendukung. Tetapi sekarang balik menolak. Golkar setuju dengan catatan. Tinggal PDIP yang masih bertahan. Sendirian! Sebagaimana diprediksi oleh banyak pihak, PDIP tak mungkin balik badan. Posisinya sebagai pengusul utama. Umat sudah tahu itu. Apalagi, sebagian isi dari RUU HIP itu merupakan bagian dari “Visi dan Misi” PDIP. Terutama Trisila dan Ekasila yang dikristalisasi dalam konsep gotong royong. Basisnya adalah Pancasila yang 1 Juni 1945. Padahal umat Islam hanya mengai Pancasila consensus 18 Agustus 1945. Memahami masalah itu, hanya kepada PDIP semua narasi umat itu diarahkan. Hanya PDIP yang dibidik oleh umat. Dianggap paling bertanggung jawab atas RUU HIP. Bukan partai atau fraksi lain. Bergaungnya tuntutan umat untuk bubarkan PDIP di berbagai daerah, bisa dibaca sebagai arah dan target bidikan kelompok yang melawan RUU HIP. Tentu saja, tak semudah itu membubarkan PDIP. Apalagi untuk di Indonesia. Belum ada partai politik yang bubar, kecuali karena dua hal. Pertama, dibubarkan oleh penguasa. Kedua, nggak lagi punya pengikut. Sebagai protes dan tuntutan, aspirasi untuk membuabrkan PDIP itu sah-sah saja. Dijamin oleh konstitusi. Dan semua akan dikembalikan ke aturan hukum yang berlaku. Masalahnya, proses hukum seringkali jinak terhadap kekuatan politik. Dari dulu, ini jadi masalah yang sangat serius. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda untuk bisa mengatasi proses hokum yang jinak kepada kekuatan politik penguasa.. Dari sisi analisis dan kalkulasi politik, pada akhirnya akan ditentukan oleh adu kuat antara antara PDIP vs Umat. Mana yang lebih superior. PDIP punya akses kekuasaan dengan semua kelengkapan alatnya. Sementara Umat Islam hanya punya kekuatan massa. Pertarungan ke depan kemungkinan saja bakal seru dan sengit. Sebagai partai penguasa, PDIP menunjukkan sikap tegarnya. Tak bergeser, apalagi mundur. Sebaliknya, PDIP justru menyerang balik dengan mempolisikan sejumlah orang yang diduga membakar benderanya. PDIP juga instruksikan kadernya untuk siaga dan pasang bendera di rumahnya. Apa maksudnya? Boleh jadi itu pesan bahwa PDIP tidak pernah merasa gentar. Buktinya, kader PDIP justru mengadakan konvoi di Jakarta Timur dan Jogja saat umat demo di DPR. Meski umat Islam cukup matang dan berpengalaman saat demo, sebagaimana terbukti pada demo 212 dan beberapa kali reuni, tapi tak menjamin akan mampu terus menahan diri jika merasa diprovokasi. Sebab, isu komunisme jauh lebih sensitif dari apapun, termasuk penistaan agama. Langkah PDIP mempolisikan pembakar bendera, entah siapa pembakar itu sesungguhnya, juga menyiagakan kader dan adakan konvoi. Langkah PDIP ini bisa disalahpahami sebagai langkah provokatif. Langkah ini justru bisa menyulut situasi yang semakin tidak kondusif. Harus dimengerti, komunisme adalah isu yang paling sensitif bagi umat Islam. Sebab, isu ini telah mewariskan sejarah pilu. Bahkan sangat mengerikan bagi umat Islam. Jejak sejarah inilah yang mendorong umat Islam tampak kompak menghadapi isu komunisme ini. Terbukti, Maklumat MUI mendapat dukungan hampir seluruh ormas. Melihat situasi yang semakin sensitif, akan jauh lebih bijak, jika PDIP menahan diri dan tidak membuat langkah-langkah yang bisa dianggap oleh umat sebagai upaya provokatif. Meski menuntut pembakar bendera itu dibenarkan secara konstitusional, tetapi ini bisa dianggap sebagai memancing reaksi perlawanan umat Islam yang semakin masif. Instruksi untuk siaga, pasang bendera dan konvoi, ini bukan langkah tepat dalam situasi seperti sekarang. Bisa juga dibilang konyol. Bangsa ini dibesarkan dengan jiwa kepahlawanan. Hendaknya semua pihak menghindari cara-cara preman. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
PDIP dalam Pusaran Trauma Politik PKI
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Badai politik sedang menerpa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bila salah mengelola dan mengantisipasi, bukan tidak mungkin berubah menjadi tsunami politik. Mengancam basis elektoralnya. Situasinya cukup genting. Ketua Umum PDIP Megawati sudah memerintahkan para kadernya “merapatkan barisan.” Fraksi PDIP menyerukan perlawanan. Seruan itu dikeluarkan menyusul pembakaran bendera partai oleh massa pengunjukrasa penentang RUU Haluan Idiologi Pancasila (PDIP) di Gedung MPR/DPR. Bendera merah dengan simbol kepala banteng moncong putih itu dibakar bersama bendera merah dengan simbol palu arit. Pengunjukrasa tampaknya secara tegas ingin menyampaikan pesan bahwa PDIP sama berbahayanya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai terlarang itu beberapa kali melakukan pemberontakan, namun gagal. Gerakan perlawanan publik sungguh mengagetkan. Tampaknya tidak masuk dalam kalkulasi politik PDIP sebagai inisiator RUU HIP. Kemungkinan besar mereka menduga bakal suskes menyelundupkan menjadi UU mumpung publik lengah karena pandemi. Sebagai partai penguasa, PDIP tengah berlayar dalam segala kemegahannya dan eforia kemenangan. Bersama-sama partai pendukung pemerintah mereka berhasil menggolkan berbagai UU kontroversial. Mulai dari UU Minerba sampai UU Kebijakan Stabilitas Keuangan Negara. PDIP kali ini salah hitung. Tanpa mereka sadari, ambisi menghegemoni tafsir politik Pancasila ternyata membangunkan macan tidur. Isu bangkitnya kembali PKI membuat dua sekutu lama --kalangan umat beragama dan TNI-- kembali bersatu. Mata publik kini juga menjadi lebih terbuka, siapa mereka sesungguhnya dan apa agendanya? Semakin lama, pendulum politiknya semakin bergerak terlalu ke kiri. Mengulang kisah lama Posisi PDIP saat ini mengingatkan kita pada kemelut politik tahun 1965. Kemelut politik yang menjadi penyebab tumbangnya Presiden Soekarno. Menjelang kejatuhannya, bandul politik ayah Megawati itu bergeser sangat jauh. Dari tengah, ke kiri jauh (komunis). Dia mencoba menyatukan berbagai elemen kekuatan bangsa dalam sebuah ijtihad politik yang disebutnya sebagai Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunisme). Setting politiknya hampir sama. Saat itu Soekarno melalui Demokrasi Terpimpin menjadi penguasa tunggal yang otoriter. Soekarno juga berusaha menjadi penafsir tunggal Pancasila. “Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom. Siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” tegasnya. Soekarno bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan: “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.” Kekuatan-kekuatan yang menentang ide Nasakom dilabeli oleh Soekarno sebagai kontra revolusi. Dengan cap kontra revolusi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dibubarkan. Tuduhannya para tokohnya banyak terlibat dalam gerakan PRRI/Permesta. Melalui RUU HIP selain ingin merebut kembali hegemoni tafsir Pancasila. PDIP ingin menghidupkan kembali gagasan Soekarno. Hal itu terlihat dalam rumusan memeras Pancasila menjadi Trisila. Kemudian diperas lagi menjadi Ekasila: Gotong royong. Rumusan itu muncul dalam pidato Soekarno pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Satu hal lagi yang membuat kekuatan agama dan purnawirawan TNI meradang adalah penolakan PDIP mencantumkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam RUU HIP. Dalam Ketetapan MPRS itu PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Wajar jika langkah politik PDIP ini mengundang kecurigaan. Sikap politik PDIP terhadap TAP MPRS ini sesungguhnya cukup jelas. Sebuah kliping media yang belakangan beredar, menunjukkan pada Sidang Tahunan MPR (2003) PDIP mengagendakan dan akan memperjuangkan pencabutan TAP tersebut. Dasar pertimbangannya adalah HAM (Rakyat Merdeka 29 Juli 2003). Kini manuver politik PDIP berubah menjadi prahara. Penolakan memasukkan TAP MPRS XXV Tahun 1966 dan memeras Pancasila menjadi Ekasila —kendati sudah dicabut—menghidupkan kembali isu lama: bangkitnya PKI. Isu yang semula disebut sebagai hantu, dalam benak publik kini menjadi nyata. PDIP identik dan disamakan dengan kebangkitan PKI karena RUU HIP. Runyam khan?! End Penulis Wartawan Senior
PDIP Tak Rela Dengan Pancasila 18 Agustus 1945
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (26/06). Sebenarnya agak aneh juga. Hanya gara-gara Rancangan Undang-Undang Haluan Edeologi Pancasila (RUU HIP) muncul isu, seruan, dan desakan yang menghendaki pembubaran PDIP. Partai terbesar sebagai pemenang dua kali Pemilu terakhir, baik legislatif maupun Presiden. Partai bersimbol banteng ini tentu berbenteng kokoh. Siapa sih yang berani menyinggung keberadaannya? Disamping itu jumlah anggota dewannya terbanyak. Bukan saja terbanyak DPR RI, tetapi juga di berbagai daerah, baik yang Provinsi maupun Kabupaten/Kota. PDIP juga menempati berbagai jabatan strategis di pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah. RUU HIP ternyata mampu membuka banyak hal yang selama ini tertutup rapat. Ditolak rakyat karena beraroma dan berbau Orde Lama, PKI, dan Komunisme. Pemerintah "menunda" karena sensitivitas muatan RUU HIP. Pemerintah juga meminta Dewan menyerap aspirasi lebih dalam. Rakyat tegas dan jelas menolak. Tidak memberi ruang untuk direvisi. Selanjutnya, rakyat mendesak agar diusut siapa saja konseptor. Terutama mereka yang bisa dikualifikasikan sebagai melakukan makar kepada idelogi dan dasar Negara Pancasila. Pasal 107 KUHP diangkat sebagai ancaman pelanggarannya. Dengan Maklumat yang tajam, Mejelis Ulama Indonesia (MUI) tampil sebagai lokomotif penolakan dari kalangan umat Islam. "Bongkar-bongkaran" yang lebih dalam telah menguak platform perjuangan PDIP sebagai Partai Politik. Media sosial hari-hari ini diisi dengan uraian tentang Visi dan Misi perjuangan partai. Ternyata di sana, selain ada Pancasila, juga adaTrisila, dan Ekasila. Rakyat pun jadi terperanjat. Oooooh, seperti ini toh aslinya? Masyarakat Pancasila yang hendak dibangun oleh PDIP itu adalah masyarakat Pancasila yang 1 Juni 1945. Bukan Pancasila yang sekarang dijadikan landasan Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945. Inilah yang disorot sebagai "makar" ideologi oleh beberapa kalangan. Meskipun Pancasila 1 Juni 1945 hal itu hanya tersirat, namun narasi yang ada sudah cukup untuk membuat rakyat Indonesia "mengerutkan kening". Apalagi pada Mukadimah Anggaran Dasar PDIP, pada alinea ketiga terdapat narasi kalimat antara lain: "PDI Perjuangan memahami Partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945" Lalu : "Partai juga sebagai alat perjuangan untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ber-Ketuhanan, memiliki semangat sosio nasionalisme dan sosio demokrasi (TRI SILA). Selanjutnya : "Serta alat perjuangan untuk menentang segala bentuk individualisme dan menghidupkan jiwa dan semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (EKA SILA)" Pasal 10 tentang tugas partai, pada butir g tertuang : "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih dan berwibawa" Nah kini sudah semakin jelas. Jika Pancasila 1 Juni 1945 yang dijadikan sebagai panduan, dan dimaknai, maka bukan hanya RUU HIP yang beraroma PKI dan Komunisme yang berbahaya. Tetapi juga perlu didalami tentang kemungkinan ancaman dari misi PDIP bagi kemurnian ideologi Pancasila hasil kesepakatan 18 pendiri bangsa Agustus 1945. Masyarakat politik dan masyarakat hukum berhak untuk mengkaji lebih dalam tujuan dan arah politik PDIP seperti tertuang di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDIP. Tujuannya untuk memperjelas kasus dan posisi PDI,P baik dalam konteks RUU HIP maupun misi terselubung yang ada dibaliknya. Visi dan Misi PDIP ini menjadi wacana dan isu yang menarik. Sebab bisa saja muncul dugaan, adakah Pancasila 1 Juni 1945 tersebut yang mau diperjuangkan PDIP untuk mengganti atau melemahkan Pancasila 18 Agustus 1945 ? Itulah hanya yang terpersepsi, tetapi perlu untuk diklarifikasi lebih lanjut. Jika memang itu yang terjadi, maka keadaan bangsa dan negara Indonesia akan teryus menghadapi ancaman yang sangat serius. Rakyat, khususnya umat Islam perlu waspada menghadapi kemungkinan terburuk selama Visi dan Misi PDIP belum berubah. Atau lebih tepat, siaga. Tidak bisa berdiam diri. TNI dan Polisi jangan berdiam diri saja. TNI dan Polisi juga mesti peduli dengan perkembangan dan situasi. RUU HIP dan PDIP telah membawa masalah baru bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tahukah Siapa PKI dan Komunisme Impornya?
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Kamis (25/06). Pernyataan Sikap Purnawirawan TNI-POLRI bahwa, “Pengangkatan RUU HIP ini dinilai sangat tendensius. Karena terkait dengan upaya menciptakan kekacauan serta menghidupkan kembali PKI”. (Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-POLRI, 9/6/2020) Awal Juni 2020, bangsa Indonesia dihebohkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Isu ini mengalahkan persoalan Covid-19, PLN, Pertamina, anggaran Covid-19, dan devisit APBN yang dramatis, sehingga menjadi beban negara 10 tahun ke depan. Bahkan, sampai membangkitkan purnawirawan TNI-POLRI membuat pernyataan sikap. Kecurigaan tidak saja para purnawirawan. Tetapi juga MUI se-Indonesia, NU, Muhamadiyah, pesantren, dan masyarakat dari Jember, Kediri, Madura, Solo, Yogya, Banten dan lain-lain. Kesemuanya menolak RUU HIP. Artinya, bangsa Indonesia tidak memerlukan itu UU HIP. Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) bersama Panji Masyarakat pun menyelenggarakan Webinar dengan tema “RUU HIP dalam berbagai perspektif, perlukah UU HIP?”. Kegiatan ini untuk menyoroti lebih dalam RUU HIP pada 19/6/2020. Ada penekanan dari para peserta baha, jangan sampai terjadi degradasi terhadap Pancasila. Kita perlu menguji pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen dengan nilai-nilai Pancasila. Sebab, menurut Prof. Dr. Kaelan, Guru Besar UGM dalam acara Webinar, Undang-Undang Dasar hasil amandemen bukanlah UUD 1945. Mencermati RUU HIP, dan berbagai kejadian, memunculkan firasat adanya upaya menghidupkan komunisme dengan mendegradasi Pancasila. Pasti generasi muda heran, mengapa gambar palu-arit dilarang tidak boleh menjadi ‘trend’ ? Mengapa rakyat alergi atau benci terhadap PKI dengan komunismenya? Generasi tua tidak boleh amnesia. Sedangkan generasi muda harus tahu, siapa PKI dengan faham komunismenya itu. PKI memiliki catatan buruk dalam sejarah Indonesia. Komunisme, dibawa ke Hindia-Belada (Indonesia) oleh J.F Marie Sneevliet (orang Belanda) tahun 1913. Mulanya Sneevliet orang sosialis-demokrat. Tetapi lebih condong ke komunis. Jadinya komunisme itu adalah faham import. Sedangkan Pancasila, merupakan nilai-nilai dari bumi pertiwi. Dengan demikian tidaklah mungkin dalam satu negara menganut dua macam ideologi. Sneevliet mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), 23/5/1914. Awalnya berisi hanya 85 orang Belanda totok. Ingin mengganti tatanan lama pemerintahan Belanda di Nederlands Indie (Indonesia) dengan propaganda komunisme. Jadi, bukan untuk kepentingan pribumi agar merdeka dari jajahan Belanda. Dua tahun berdirinya ISDV, tiga orang pribumi, yaitu Semaun, Darsono dan Alimin masih menjadi anggota ISDV. Padahal ketiganya anggota Sarikat Islam masuk. Pada 23 Mei 1920, ISDV berubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) dengan Ketua Semaun dan Darsono sebagai Wakil. Kongres Sarekat Islam (SI), tahun 1921, anggota SI yang masuk PKH dipecat oleh Agus Salim. Inilah awal konflik golongan Islam dengan Komunis. PKH berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1924. Pemberontakan PKI kepada kolonial Belanda tahun 1926/1927 bukan untuk mewujudkan Indonesia Merdeka, tetapi hakikatnya terkait dengan konsep perjuangan Komunisme Internasional. Setelah Indonesia merdeka, PKI masih melakukan pemberontakan. Peristiwa Madiun, 18 September 1948 adalah Pemberontakan PKI yang dapat digagalkan. Peristiwa ini merupakan konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dengan kelompok oposisi kiri, pimpinan Muso, tokoh PKI lama di Uni Soviet. Muso menghendaki satu kelas buruh beraliran Marxisme-Leninisme dan mendirikan pemerintahan “Komite Front Nasional” dan bekerjasama dengan Uni Soviet. Pikiran Bung Karno tentang Nasakom membikin PKI besar kepala. Aapalagi kemenangan PKI pada Pemilu 1955, urutan keempat setelah PNI, Masyumi, dan NU. Sejarah mencatat, adanya kedekatan Bung Karno dengan Presiden Mao Zedong dan PM Chou Enlai tahun 1960-an. Terbentuklah poros Jakarta-Peking dengan pernik-pernik alas an. Hubungan PKI pimpinan DN. Aidit dengan Partai Komunis China, menambah deret catatan menjelang pemberontakan G.30.S/PKI. Dasar kelakuan komunis. PKI meniupkan isu adanya Dewan Jenderal yang akan menculik Bung Karno. Tetapi didahului Komandan G.30.S/PKI Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden. Pasukan Letkol Untung lalu menculik dan membunuh 7 (tujuh) Perwira AD, pada 30 September 1965. Anak buah Letkol Untung lalu membuang mayatnya ke dalam sumur secara biadab, di Lubang Buaya Halim. Korban penculikan itu kita kenal sebagai 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi. Baca : https://www.centerofrisk-sia.com/bukan -dont-forget-the-bee-gees-tetapi-jangan-lupa-perilaku-pki/ Pemberontakan PKI tahun 1965, sangat jelas. Dokumen sebagai alat bukti, dan saksi, muncul dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili pentolan G.30.S/PKI. Sidang Mahmilub sangat terbuka. Bisa didengar dengan radio transistor di pelosok negeri dan luar negeri. Membuktikan bahwa PKI adalah dalang uatama pemberontakan G.30.S/PKI. Dokumen yang tersimpan di Arsip asional, Perpustakaan Nasional, Museum dan Monumen, bukanlah hasil rekayasa. PKI bukan korban, tetapi dalang pemberontakan yang ingin mengganti Pancasila dengan komunisme adalah fakta sejarah. Atas adasar itu Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Walau PKI sudah dibubarkan. Sebagai organisasi terlarang, serta adanya larangan penyebaran ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme, tetapi harus tetap diwaspada. Pasalnya, ada kelompok yang bangga dengan PKI. Selain itu, ada juga jaringan komunis internasional. Tuntutan rakyat bukan ditunda, karena masih sibuk dengan pekerjaan memutus mata rantai Covid-19. Tetapi rakyat menolak RUU HIP. Bangsa Indonesia tidak butuh dengan RUU HIP. Apalagi UU HIP, karena akan mendegradasi Pancasila. Semoga penyelenggara negara mendengarkan. Amin Penulis adalah Aster KASAD Tahun 2006-2007 dan Mantan Wakil Gubernur DKI
PDIP Diserang, PDIP Juga Melawan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (25/06). Kalau di masa Orda Lama ada Tritura. Sedangkan di era Jokowi ada "Tiga Tuntutan Umat”. Boleh disingkat "Trituma". Pertama, batalkan RUU HIP. Kedua, usut para oknum dibalik RUU HIP. Dua tuntutan ini dimaklumatkan oleh MUI. Ketiga, tinjau kembali semua UU dan RUU yang dianggap telah merugikan kepentingan rakyat. Apa undang-undang dan RUU yang merugikan kepentingan rakyat itu? Diantaranya UU KPK, UU Minerba, UU Corona, RUU Omnibus Law, dan undang-undang lainnya. Undang-undang yang sudah dibuat Pemerintah dengan DPR tersebut, hanya untuk menampung kepentingan pemerintah, DPR dan pengusaha licik, culas dan tamak. Bukan untuk kepentingan rakyat. Maklumat MUI Pusat, selain didukung oleh semua pengurus MUI di seluruh Indonesia, juga dikawal oleh hampir semua ormas dan elemen Umat Islam. NU, dan Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, PUI, Matlaul Anwar, Alwashiliyah dan dua ratus lebih oramas berada dan berdiri di garda terdepan. Pernyataan K. H. Said Aqil Siroj, K.H. Mashudi dan Hilmy Faeshal Zaini dari PBNU sangat keras dan tegas. Begitu juga pernyataan Din Syamsudin dan Buya Anwar Abbas dari Muhammadiyah. Nggak kalah kerasnya. Ormas Islam ini sudah mewakili sekitar dua ratus juta lebih umat Islam. Jangan coba-coba dan jangan main-main dengan umat Islam. Ingat itu. Demo perdana telah dimulai rabu kemarin, 24/6/2020. Puluhan hingga ratusan ribu massa umat Islam kepung gedung DPR. Atas desakan massa, DPR berjanji akan pertama, menghentikan pembahasan RUU HIP. Kedua, mengusut para oknum dan konseptor dibalik RUU HIP. Para pendemo bersumpah akan terus mengawal janji DPR tersebut. Dalam demo, terjadi insiden. Ada pembakaran bendera PDIP. Partai berlambang banteng ini berang. Marah, dan akan melaporkan orang-orang yang membakar bendera partainya ke polisi. Langkah yang ditempuh PDIP ini juga konstitusional. Masih di dalam koridor hukum positif yang berlaku. Beberapa pekan terakhir memang telah beredar kampanye anti PDIP. Kampanyenya sangat massif. Bergaung di sejumlah medsos. Baik dalam bentuk meme, tulisan maupun video. PDIP dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas lahirnya RUU HIP ini. Umat sangat marah. Dan klimaks kemarahan itu terjadi di depan gedung DPR. Sejumlah orang kemudian membakar bendera partai banteng itu. Lalu apa respon PDIP terhadap semua bentuk serangan ke partai itu? Hadapi. Tak ada tanda-tanda PDIP kendor. Saat didesak untuk membatalkan RUU HIP, Hasto, sekjen PDIP siap memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam RUU HIP. Asal saja larangan radikalisme dan khilafaisme juga dimasukkan. Tampak Hasto dan PDIP coba untuk bernegosiasi dengan umat Islam. Sementara Ahmad Basarah, salah satu kader militan PDIP justru memberi sinyal fraksi-fraksi lain akan mendukung kembali pembahasan RUU HIP. Pada saat demonstrasi perdana digelar dan bendera PDIP dibakar, partai pemenang pemilu ini akan membawa para oknum pembakar bendera itu ke polisi. Dalam konteks ini, PDIP tampak nggak pernah kehilangan langkah. PDIP melawan setiap upaya untuk memojokannya terkait RUU HPI ini. Rupanya masih merasa kuat untuk malakukan perlawanan. Melihat pernyataan dan sikap sejumlah kader PDIP, nampak bahwa partai yang berhasil dua kali menjadikan Jokowi presiden ini tak mundur. Walau satu langkah sekalipun tidak. Dalam hal ini, keteguhan dan militansi kader PDIP tak diragukan. Berdiri tegak bagai karang. Tetap tegar meski dihantam gelombang demonstran. Patut untuk diberi pujian. Wajar saja. Sebab PDIP partai pemenang pemilu. Bahkan hingga dua kali menang. Saat ini paling dekat dengan kekuasaan. Punya kekuatan untuk bisa menekan penguasa. Mental pemenang dan mental berkuasa, tentu tak mudah digertak. Apalagi cuma puluhan atau ratusan ribu massa. Jika massa umat Islam membidik PDIP dengan menuntut pengusutan terhadap para oknum dibalik RUU HIP, maka PDIP membidik balik dengan mempolisikan oknum yang membakar bendera PDIP. Makin seru saja pertarungan hari-hari ke depan. Bagaimana kira-kira ujung dari saling bidik ini? Di negara +62 ini, hukum kadang tak berdiri sendiri. Ada saja kekuatan, terutama kekuatan politik yang seringkali ikut masuk ke ranah hokum. Kadang-kadang ikut menyusup ke dalam pasal-pasal dakwaan. Dakwaan berdarkan pesanan dari penguasa politik. Usut oknum dibalik RUU HIP. Meski DPR sudah janjikan, jangan anggap itu mudah untuk dilakukan. Sebab Fraksi-fraksi di DPR selama ini tak pernah sanggup berhadapan dengan PDIP. Kalau penegak hukum? Apalagi yang itu. Anda pasti masih ingat kasus e-KTP, dan hilangnya Harun Masiku masih sampai sekarang. Entah dimana dia berada. Mudah-mudahan saja masih hidup. Amin amin amin. Kecuali jika umat Islam mampu menciptakan gelombang demo yang menghadirkan jumlah massa yang sangat besar. Mesti berjumlah jutaan. Gelombang massa berjumlah jutaan hanya akan terjadi jika MUI turun langsung dan memimpin demo. Atau ada pernyataan kontra, entah dari pemerintah, parlemen, atau terutama dari kader PDIP yang bisa menjadi trigger massa dalam jumlah besar itu turun. Jika tidak, maka serangan balik PDIP justru akan lebih efektif. Para oknum pembakar bendera partai banteng ini akan menjadi tersangka dan diproses secara hukum. Bidikan PDIP akan mengenai sasaran. Bahkan bisa tepat di jantung pertahanan lawan. Situasi kedepan, tak ada yang tahu. Yang pasti, genderang sudah ditabuh. Bidikan sudah saling diarahkan. Karena itu, dibutuhkan sikap politik yang dewasa dan matang dari para elit politik. Terutama di pemerintahan dan DPR. Jika tidak, situasi bisa jadi tak kondusif. Bahkan bisa juga di luar kendali. Sampai disini, entah apa yang akan terjadi? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Arief Poyuono: “Pak Joko Widodo Lawannya PKI!”
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN + Melansir Detik.com, Rabu (17 Jun 2020 11:19 WIB), Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono terancam sanksi dari Majelis Kehormatan DPP Gerindra karena pernyataan dia soal “PKI dimainkan kadrun” belakangan ini. Perihal sanksi untuk Poyuono itu disampaikan juru bicara Gerindra Habiburokhman dalam Twitter-nya. Tapi, Poyuono tetap merasa benar dengan pernyataannya. Poyuono tetap pada pendiriannya bahwa isu kebangkitan PKI hoax dan dibuat “kadrun”. Sanksi itu tengah diproses internal Majelis Kehormatan DPP Gerindra. “Kadrun itu siapa? Saya tanya dulu kan. Kadrun-kadrun itu istilah, nggak ada orang yang mau disebut kadrun. Memang si Habib (Habiburokhman) mau saya sebut kadrun?” sindir Poyuono. “Memang Gerindra kadrun? Kan bukan,” lanjut Poyuono saat dimintai tanggapannya, Rabu (17/6/2020). “Saya akan tetap pada statement saya bahwa PKI itu cuma hoax dan yang buat saya sebut kadrun. Kenapa? PKI itu partai terlarang kan? Ideologi terlarang kan. Ada nggak yang udah ditangkap polisi? Tunjukkan di mana orang-orang PKI itu,” imbuh Poyuono. Poyuono menilai isu bangkitnya PKI diembuskan cuma untuk mengacaukan negara. Dia menegaskan pemerintah saat ini juga menentang PKI. “Pak Joko Widodo bukan PKI, Pak Joko Widodo lawannya PKI,” tegas Poyuono. Pernyataan Poyuono tersebut menjadi sorotan warganet. Seperti ditulis dalam Fajar.co.id, pernyataan di salah satu video wawancara membuat Poyuono dan partainya menjadi bahan pembicaraan. Dalam video wawancara yang beredar luas di media sosial itu, legislator Senayan ini ditanya siapa yang memunculkan isu-isu PKI? “Yang pasti ini adalah kadrun!” tegas Poyuono dari akun twitter @Tjeloup, Selasa malam (16/6/2020). “Itu kadrun-kadrun dan yang ke-2 mungkin orang-orang yang tidak ingin adanya perdamaian di Indonesia yang mengkacau suasana, yang ingin mendiskreditkan pemerintahan yang sah secara konstitusional,” lanjut Poyuono. Kadrun (Kadal Gurun) digunakan oleh pendukung garis keras Jokowi. Istilah ini diindetikan dengan keturunan Arab atau yang berpakaian kearab-araban. Biasanya digunakan untuk para pengkritik Jokowi dan partai oposisi. Menurutnya, santernya isu PKI tak ayal hanyalah kabar hoaks yang mencuat di era Presiden Jokowi yang dalam hal ini menjadi korban, selalu dikait-kaitkan dengan PKI, partai terlarang. Poyuono menyebut pada era Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), isu PKI tidak gencar dimainkan untuk menjatuhkan kewibawaan lawan politik. “Enggak ada cuma isu-isu bohong saja (PKI),” katanya. “Isu-isu itu sebenarnya hanya untuk mendelegitimasi Kangmas Jokowi yang selalu dituduh apa pun. Dia seakan-akan ada hubungannya sama PKI, seperti itu. Kan aneh munculnya itu cuman di era-nya Pak Jokowi saja, dulu di era SBY tidak ada, era Mega tidak ada, ya kan, ini kan aneh,” ucapnya.Akibat pernyataan ini, warganet rame-rame membuat tagar #TenggelamkanGerindra. Bahkan hingga Rabu (17/6/2020) pagi, tagar ini sudah ditulis 6.391 kali (pukul 09.38 Wita). Pihak partai besutan Prabowo Subianto pun langsung memberikan klarifikasi. Lewat juru bicara Partai Gerindra, Habiburokhman memberikan klarifikasi atas pernyataan keras yang dilontarkan oleh Arief Poyouno. “Sebagai Jubir Partai Gerindra saya tegaskan bahwa pernyataan dari Arief Poyuono tidak mewakili Partai @Gerindra, apapun dia bilang jangan kaitkan dengan kami (Gerindra),” tulis Habiburokhman di akun Twitter miliknya, Selasa (16/6/2020). “Saya seh ingatkan Arief Poyuono bahwa garis partai jelas anti PKI dan kita sangat waspada terhadap kebangkitan PKI,” ungkap Habiburokhman. Melansir Detik.com, Rabu (17/6/2020), Poyuono melontarkan pernyataan “PKI dimunculkan kadrun” dalam wawancara di kanal YouTube “Kanal Anak Bangsa”. Dia ketika itu menjadi narasumber yang diwawancari. Poyuono menjawab sejumlah pertanyaan. Tentang kebangkitan PKI. Ini benar ada atau nggak? Nggak ada, itu cuma isu-isu bohong aja. Isu-isu itu sebenarnya hanya untuk mendelegitimasi Kangmas Jokowi, yang selalu dituduh apapun dia seakan-akan dia ada hubungannya sama PKI. Seperti itu kan aneh, munculnya itu di eranya Pak Jokowi aja. Dulu era SBY nggak ada, era Mega nggak ada, ini kan aneh. Siapa yang atau kelompok orang yang memunculkan itu? Yang pasti ini adalah kadrun, kadrun-kadrun ya yang pasti. Yang ke-2 mungkin orang-orang yang tidak menginginkan adanya perdamaian di Indonesia, yang selalu ingin mengacau yang selalu ingin mendiskreditkan pemerintah yang sah dan konstitusional dengan isu-isu PKI. Tapi kebangkitan PKI tidak ada? Tidak ada. Siapa yang PKI? Sangat dijamin. Di mana? Nanti gerakan buruh lebih kenceng disebut PKI. Kan kacau. Nggak ada PKI. Jadi kita bisa memastikan isu PKI itu tidak ada, hanya rekayasa kelompok tertentu? Tidak ada. Men-delegitimate pemerintahan Pak Jokowi. Yang disarankan ke Pak Jokowi untuk merespons dinamika sekarang ini? Diem aja. Diem aja ngapain direspons. Kebangkitan PKI hanya hoax… Hoax dan mau mengacaukan Indonesia. Dan sayangnya nggak laku. Tiap tahun nggak laku. Rakyat nggak butuh itu. Bicara tentang komunisme, masih laku? Tidak, udah nggak laku. Potensi PKI bangkit lagi ada peluang nggak? Saya rasa nggak ada karena PKI itu sekarang sudah bukan ajaran yang lama dari komunisme terus itu melakukan apa namanya teorinya tuh sudah diperbarui, teori lamanya udah nggak lagi. Kalau teori barunya ya kita lihat sekarang China. China (itu) sendiri sudah mengarah ke kapitalis. Nggak komunis murni cuma dalam hal-hal kepentingan negara mereka menganut ajaran-ajaran komunis itu artinya untuk melindungi negara dan rakyatnya dia gunakan ideologi komunis itu. “Tapi kalau untuk kegiatan ekonominya lebih liberal daripada kita,” ungkap Poyuono dalam wawancara itu. Pernyataan Poyuono dan klarifikasi Gerindra tentu saja menimbulkan polemik. Isu sensitif PKI diyakini akan semakin membesar seperti bola salju. Patut dicermati, apakah pernyataan Poyuono ini merupakan satu mata rantai dengan polemik RUU HIP? Atau berdiri sendiri dan Poyuono memiliki hidden agenda atau motif lain? Penulis Wartawan Senior
DPR Sebaiknya Kibarkan Saja Bendera Putih
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (25/06). DPR sudah terlalu berat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Haliuan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Atmosfer politik yang ada tidak lagi mendukung DPR dan Pemerintah untuk menjadikan RUU ini sukses menjadi undang-undang. Jika penundaan Pemerintah yang tidak jelas dasarnya tersebut berujung pada pembahasan juga, maka diprediksi sulit untuk DPR bisa bekerja dengan tenang, jernih dan lancar. Sebab aksi-aksi protes dan penolakan akan terus membarengi dan mengganggu kerja-kerja DPR di pembahsan RUU HIP ini. Karena RUU telah menjadi "bencana nasional" bagi masyarakat Indonesai, khsusnya umat Islam. Jika dilanjuutkan, apapun resikonya, umat dipastikan akan berhadap-hadapan dengan DPR. Termasuk juga siap untuk beradu kuat dengan pemerintah. Masalah ini sudah menyangkut keyaninan mayoritas umat Islam dalam bernegara. Pancasila dan UUD konsensus tanggal 18 Agustus 1945 itulah yang paling top, paling pas dan paling cocok bagi bangsa Indonesia. Jangan aneh-aneh lagi. Tutup dan kunci rapat-rapat segalan bentuk pembicaraan lanjutan mengenai Pancasila dan UUD 1945. Meski membahasakan kepada rakyat dengan kata "menunda", pemerintah juga nampaknya masih bingung. Sebab di satu sisi, desakan rakyat khususnya umat Islam untuk menghentikan segala proses lanjutan terhadap RUU HIP sangatlah kuat. Sementara di sisi lain, usulan dan gagasan awal RUU ini datang dari PDIP. Yang tak lain merupakan partainya pemerintah sendiri. Sikap tegas pemerintah akan menyinggung "marwah" PDIP dan juga DPR. Untuk itu, sebaiknya DPR tak perlu ngotot dan melawan kemauan rakyat. Sinyal datri pemerintah ini agar dibaca dan diantisipasi oleh DPR, dengan segera menarik atau menghentikan RUU inisiatif. Opsi yang ditawarkan berupa revisi atau perbaikan, “sangat tidak sesuai aspirasi" rakyat. Bahkan cenderung DPR anggap tidak aspiratif. Keinginan dan aspirasi publik hanya tiga, yaitu tolak, tarik lagi, dan hentikan pembahasan segala bentuk selanjutnya RUU HIP ini. Jangan sampai telah terpatri di hati rakyat bahwa RUU HIP yang beraroma Orde Lama, bahkan berbau amis komunisme tersebut dilajutkan lagi pembahsannya. Tuduhan terkuat adalah tanda kebangkitan PKI. Neo-PKI. Pahami pesan itu baik-baik. Ada pembakaran bendera PKI pada aksi unjuk rasa tanggal 24 Juni di depan Gedung DPR-RI. Pengunjuk rasa bernyanyi dengan semangat "bakar, bakar, bakar PKI, bakar PKI sekarang juga". Aspirasi ini yang mesti didengar oleh para wakil rakyat di DPR. Tak juga perlu menuduh masyarakat yang anti PKI itu sebagai "kadrun". Kenyataan ini adalah realita dari perasaan politik rakyat yang mereaksi cara elit politik bermain dengan sangat licik, culas , busuk dan bau amis. Uniknya, entah karena kecewa atas sikap pemerintah yang "lembek" dan cenderung "mengeles". Dampak dari seikap pemerintah yang hanya menyatakan "menunda pembahsan" atau karena ada akumulasi rasa jengkel dan tidak percaya kepada pemerintah, khususnya Presiden selama ini. Akibatnya, pada momen demonstrasi di DPR Rabu kemarin, lagu "perjuangan" dinyanyikan pula oleh pengunjuk rasa dengan antusias "turun, turun, turun Jokowi, turun Jokowi sekarang juga". Meski bola RUU secara yuridis formal masih berada di tangan Pemerintah, karena belum ada yang "Surpres" yang dilayangkan kepada DPR, tetapi pidato Menko Polhukam Mahfud MD yang didampingi Menkumham Yasonna Laoly baru-baru ini telah memberi indikasi sikap Pemerintah. Oleh karenanya DPR sebenarnya sudah dapat mengambil sikap atau kebijakan strategis untuk menjawab aspirasi rakyat tersebut. DPR jangan lewatkan momentum ini untuk memulihkan kepercayaan rakyat DPR sebaiknya mulai melakukan rapat Baleg maupun Fraksi-Fraksi untuk segera menentukan sikap. Hentikan RUU HIP dan tarik dari daftar program legislasi. Kembali perhatian pada agenda lain seperti pandemi covid 19 dan pemulihan keadaan. Jangan mengambangkan persoalan RUU HIP yang membuat gaduh dan resah rakyat tersebut. Jika ini dianggap sebagai "pertempuran" untuk menggoalkan RUU HIP menjadi undang-undang, maka gempuran akan terus menguat. Sebaiknya DPR mundur saja. Mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Apalagi menyerah kepada rakyat itu lebih terhormat. Tidak bagus untuk memaksakan kehendak. Situasi berkaitan RUU HIP ini semakin rentan dan rawan. DPR menyerahlah. Penulis adalah Penerhati Politik dan Kebangsaan