Pencari Fakta Semu di Dunia Maya
by Tony Hasyim
Jakarta FNN - Kamis (03/09). Kemarin sore seorang kawan wartawan yang juga pegiat di media sosial menelpon saya bahwa telah terjadi keanehan di dunia “permedsosan”. Mereka heboh lantaran ada sebuah postingan Instagram seorang pejabat tinggi yang kebetulan berasal dari korps Polri ditandai “false information”.
Setahu saya penandaan seperti ini merupakan peringatan dari admin Instagram agar postingan tersebut dihapus oleh sang pemilik akun. Jika dalam batas waktu tertentu tidak dilakukan maka admin Instagram akan men-takedown secara sepihak. Bagi pegiat media sosial kejadian seperti ini sudah biasa. Kawan-kawan saya yang main di Facebook juga sering “disetrap” dengan hukuman penonaktifan akun selama sepekan atau harus mengisi formulir kesanggupan mentaati etika bermedso lebih dulu agar akunya diaktifkan kembali.
Menurut pemahaman banyak kalangan wartawan, lebih-lebih bagi mereka yang berseberangan dengan pemerintah, yang punya wewenang mencopot sebuah postingan atau menonatifkan sebuah akun medsos adalah pihak aparat pemerintah. Selama ini yang mereka curigai kalau bukan Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), Polri (melalui direktorat tindak pidana siber) atau Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Menariknya, kali ini yang diberi bendera “false informartion” oleh adalah akun “pongrekundharma88”. Saya terkejut. Wow! Pasalnya pemilik akun tersebut tidak lain adalah Komjen Polisi Dharma Pongrekun, seorang perwira tinggi Polri aktif yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala BSSN.
Dharma adalah seorang perwira polisi yang memiliki jam terbang tinggi di satuan reserse kepolisian. Usianya masih 54 tahun dan merupakan lulusan Akademi Kepolisian tahun 1988. Sebab itulah pada nama akun Instagramnya ada angka “88’.
Instagram saat ini sedang booming di Indonesia. Aplikasi medsos ini dulu milik segmen kaum milenial. Tapi sekarang ini banyak pejabat sipil, militer maupun polisi di Indonesia yang memiliki akun Instagram. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pun ikut main di Instagram. Akun ini ia gunakan untuk menyampaikan informasi langsung ke masyarakat dan menjadi wahana berinteraksi langsung dengan masyarakat maupun para prajuritnya di seluruh tanah air
Tapi sepengetahuan saya, baru pertama kali ini terjadi di Indonesia ada sebuah postingan seorang pejabat tinggi negara diberi peringatan keras oleh “admin” Instagram. Selain memberi peringatan “false information”, Instagram juga sering menandai sebuah postingan sebagai “sensitive content”. Saya sebut ini peringatan ringan, karena sekedar mengingatkan kepada netizen bahwa postingan tersebut memuat foto atau video yang tidak usah dilihat, karena memuat konten kekerasan secara verbal atau fisik.
Saya lalu teringat, sebulan yang lalu, sebuah postingan dari diva musik pop dunia Madonna di Instagram diberi peringatan “false information” lantaran dia mengunggah sebuah video yang menyatakan pandemiK Covid-19 sebagai sebuah “konspirasi”. Tapi bukan celebritis kelas dunia saja yang dihukum oleh admin medsos. Saya teringat postingan dari akun resmi Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dan anak tertuanya, Donald Trump Jr., pernah dicekal oleh penguasa medsos karena karena dianggap mengandung konten “kontroversial” tentang covid-19.
Dari kejadian-kejadian di dunia permedsosan itu, saya langsung berpikir siapa sebenarnya “penguasa” di dunia ini?
Saya sendiri sudah mengkonfirmasi kejadia pencekalan di medsos ini langsung ke Dharma Pongrekun. “Benar. Sebuah postingan saya di Instagram dinyatakan false information. Padahal saya berniat baik. Hanya menghimbau seluruh generasi muda untuk mewaspadai fenomena kecanduan gadget,” katanya.
Postingan seperti apa itu? Dharma kemudian mengirim screenshoot dari postingan yang diberi peringatan keras oleh Instagram berupa foto dan narasi (dalam huruf italic) seperti di bawah ini.
Di era digitalisasi saat ini, teknologi informasi dan komunikasi yang berbentuk gadget berkembang begitu cepat untuk mencari informasi dan komunikasi dalam segala urusan, bahkan sarana hiburan bagi semua kalangan mulai dari kalangan atas sampai kalangan bawah, mulai dari orang tua, remaja, bahkan sampai anak-anak kecil pun sudah dibiasakan bermain dengan gadget. Sayangnya kemajuan teknologi ini tidak didukung dengan kesiapan pemahaman yang benar dan memadai bagi para penggunanya, sehingga tidak disadari telah terjebak dalam manipulasi si pembuatnya.
Gadget merupakan jebakan candu narkoba gaya baru, tapi dilegalkan. Mereka ini sedang mengulangi keberhasilan opium, perang opium/candu terjadi pada tahun 1839-1860 M antara Inggris dan Cina yang berakhir dengan jatuhnya Cina, yang tujuannya untuk menguasai Negara dengan cara menguasai orang-orang elit, karena orang-orang elit itu lebih mementingkan gengsi dan gengsi itu terkait dengan harga mahal, jadi harga opium dibuat sangat mahal. Tidak beda dengan harga gadget yang harganya puluhan juta pada awalnya. Itu kan suatu gengsi tersendiri!
Pengguna gadget akan digempur oleh konten yang merangsang hormon kebahagiaan, sehingga mereka akan terikat dan kecanduan. Kenapa dibikin terikat? Agar tidak bisa melepaskan diri, karena gadget telah dibekali radiasi yang merusak, namun tubuh kita cerdas bukan hanya radiasi dari mesinnya saja yang merusak, tapi juga dari niatnya (motivasi) si pembuatnya. Badan kita sangat cerdas dan sangat tahu kalau kita dijauhkan dari fitrah. Segala sesuatu yang menjauhkan kita dari fitrah, sel tubuh kita akan mengantisipasinya dengan melemahkan tubuh kita supaya kita tidak bisa mengejarnya, tetapi itu pun sudah diantipasi oleh pembuatnya dengan cara menggempur sel tubuh terus-menerus dengan gelombang yang dapat melemahkan tubuh, sehingga sel-sel tubuh manusia kehilangan kemampuan untuk memproteksi dirinya. Sel akan jadi bloon dan bila sel sudah bloon, maka tubuh akan kehilangan kecerdasan tubuh (body intelligent), dan akhirnya benar-benar akan menjadi kecanduan gadget. #selamatkangenerasibangsa.
Menurut Dharma beberapa saat setelah mengunggah postingan tersebut ia mendapat mendapat pemberitahuan dari Instagram bahwa postingannya adalah “False Information - Reviewed by independent fact checkers”.
Saya sendiri langsung memeriksa postingan tersebut. Sampai saat saya menulis ini, postingan tersebut masih ada dan masih ditandai dengan bendera “False Information’. Di bawah peringatan tersebut ada keterangan tambahan “False : independent fact-chekers say this information has no basic in fact”. Kemudian ada keterangan lagi ; Fact-chekers : Tirto. Conclusion : False (dengan huruf merah). More Information:
Komentar Dharma Soal Gawai, Candu & Perusakan Sel, Hoaks/Fakta? - Tirto.ID
Ada Agen Lokal Diangkat Jadi Detektif Medsos
Instagram adalah aplikasi media sosial yang dimiliki oleh grup Facebook . Selain Instagram, pengembang media sosial terbesar di dunia ini juga menjadi pemilik aplikasi messenger Whatsaap. Ketiga aplikasi jejaring sosial ini beroperasi bebas dan sangat populer di Indonesia.
Sampai sekarang masih terjadi perdebatan di kalangan pengambil kebijakan hampir di semua negara, bagaimana caranya agar otoritas lokal bisa “mengendalikan”, mengawasi dan menangkal konten-konten negatif yang disebarkan melalui aplikasi-aplikasi tersebut, termasuk tentunya bagaimana cara memungut pajak dari aktivitas kapitalisasi yang mereka lakukan. Di Indonesia sudah lama Facebook punya kantor dan punya kepada perwakilan di Jakarta yang disebut Facebook Country Director.
Sampai saat ini memang tidak ada pemerintahan di dunia ini yang bisa mengendalikan konten di medsos, kecuali dengan melarang ketiga aplikasi tersebut beroperasi di negaranya. Karena keberadaan medsos sejauh ini sifatnya masih “abu-abu’, disebut eksis tapi beroperasinya di dunia maya (virtual). Mau disebut Badan Usaha Tetap (BTU) tapi cara memungut pajaknya juga masih membingungkan aparat pajak.
Tapi dalam ranka pengawasan postingan warga negara dunia Facebook mendirikan sebuah lembaga bernama IFCN (International Fact-checking Network) yang anggotanya mereka rekrut dari kalangan apa saja, termasuk media massa, lembaga swadaya masyarakat, atau perorangan. Mereka inilah yang dilatih dan diberi sertifikat sebagai fact-chekers (pemeriksa fakta) dan kerap mengadakan workshop internasional. Sejauh ini grup Facebook mengklaim telah bekerja sama dengan 45 pemeriksa fakta di seluruh dunia yang tersertifikasi. Mereka inilah yang membantu mengidentifikasi, meninjau, dan melabeli informasi palsu. Katanya, mereka adalah “non-partisan”. Tapi menurut saya ini sekedar modus agar mereka tidak dituduh berpihak.
Oleh Facebook mereka ini disebut sebagai “third party” atau pihak ketiga. Kalau ada pihak ketiga, berarti ada pihak pertama dan kedua. Dalam hal ini pihak pertama (“penguasa”) adalah pengembang aplikasi. Lalu pihak kedua adalah pengguna atau pemilik akun yang lazim disebut warganet atau netizen. Pihak ketiga tak lain adalah fact-cherkers yaitu mereka yang diberi kewenangan untuk mereka mengawasi dan menilai postingan-postingan netizen di Facebook dan Instagram.
Jadi dalam dunia permedsosan ini ada semacam “negara dalam negara” di mana penguasa negara yang sesungguhnya atau pemerintahan di dunia yang lazim kita kenal selama ini tidak dianggap sebagai “pihak”. Praktis dalam dunia jejaring media sosial ini sebetulnya tidak ada ruang bagi sebuah pemerintahan negara di dunia untuk mengintervensi konten di media sosial.
Di negara-negara Arab, keberadaan medsos ini pernah bikin kelabakan para penguasa setempat. Waktu terjadi fenomena “Arab Spring” satu dekade lalu, para pengusasa di negeri-negeri Arab dibikin babak belur akibat postingan-postingan di medsos yang memicu pemberontakan warga negaranya. Beberapa penguasa tumbang akibat pemberontakan yang digerakan melalui medsos. Suriah terpuruk dalam perang saudara berkepanjangan akibat pemerintahnya lalai mengontrol penyebaran informasi melalui medsos.
Presiden Donald Trump sendiri pernah protes ke pengembang medsos lantaran postingannya ditake-down. Tapi sampai sekarang dia tidak kapok “main” di medsos untuk berinteraksi langsung dengan rakyatnya. Bahwa ada banyak netizen yang memaki-makinya melalui medsos, dia tidak peduli. Karena di sisi lain banyak pula follower yang menyanjungnya.
Kondisi seperti itu juga kita rasakan di Indonesia. Tapi postingan Presiden Jokowi tidak pernah diganggu oleh penguasa medsos. Setahu saya pemeritah sebetulnya tidak berdaya mengontrol konten-konten netizen bermuatan negatif yang berseliweran di media sosial. Sebab itu jangan kaget kalau pemerintah memelihara influencer dan buzzer yang ditugaskan membalas serangan dari lawan-lawan politiknya. Konsekwensinya, dunia permedosan di Indonesia sekarang ini dipenuhi oleh ujaran kebencian, penghasutan, penyesatan dan segala macam sumpah serapah yang dilakukan oleh para netizen baik dari kubu oposisi maupun incumbent.
Kondisi percakapan antar warga negara kita di medsos sebetulnya sudah sangat mengkhawatirkan. Tapi apa daya, yang memiliki kewenangan mengontrol konten di media sosial sekarang ini adalah pengembang dari media sosial itu sendiri, dengan program yang disebut fact-checkers. Pemerintah dalam hal pihak kepolisian sejauh ini hanya bisa mengambil tindakan kepada netizen yang melanggar etika bermedsos berdasarkan laporan dari masyarakat. Sudah cukup banyak warga negara kita yang dijerat pasal-pasal pidana. Tapi banyak komplain karena yang dipidana hanya dari kalangan oposisi saja. Dari sinilah lahir anggapan bahwa pemeritah mengontrol konten di medsos. Padahal sejatinya pemerintah sendiri tidak berdaya mengontrol medsos dalam arti mengantisipasi atau mencegah penyebaran konten-konten bernuansa negatif. Dan konyolnya, aplikasi medsos memungkinan orang menggunakan nama samaran.
Saya pernah dengar wacana dari seorang pejabat agar pemerintah menerapkan kebijakan “one gate system” untuk pengendalian lalu lintas informasi di medsos maupun di internet secara keseluruhan. Kalau tak salah ingin meniru kebijakan di Tiongkok, Iran, dan Korea Utara. Tapi wacana ini dikesampingkan dengan alasan “demi demokrasi”.
Alhasil, satu-satunya cara efektif mengendalikan penyebaran konten negatif di medsos memang hanya admin medsos itu sendiri. Itu pun mereka harus menggunakan bantuan tenaga dari pihak ketiga yang disebut fact-checkers.
Nah, salah satu pihak di Indonesia yang diangkat menjadi fact-chekers oleh grup Facebook adalah portal berita online bernama Tirto.ID. Media yang dimiliki oleh bekas awak detik.com bernama Sapto Anggoro ini dalam sebuah artikelnya menyatakan telah diangkat menjadi fact-chekers oleh Facebook. “Facebook Gandeng Tirto.id untuk Program Third Party Fact Checking”. Demikian sebuah judul artikel di Tirto.ID yang ditayangkan pada 2 April 2018.
Selain Tirto.ID sebetulnya ada beberapa media massa dan LSM di Indonesia yang sudah diangkat menjadi third party oleh Facebook dalam beberapa tahun terakhir. Kita bisa googling mereka dengan kata kunci facebook-indonesia-fact chekers. Tapi kali ini yang saya bahas hanya Tirto.ID. Karena Tirto.ID inilah yang menjadi penilai postingan Dharma di Instagram dan berakibat dinyatakan “false information”.
Masalahnya sekarang apakah benar postingan Dharma Pongrekun yang notabene adalah seorang petinggi negara di sebuah lembaga yang memiliki fungsi mengamankan jagat siber nasional, berisi informasi palsu? Di sisi lain, apakah Tirto.ID sudah melakukan pengecekan fakta secara benar hingga mengambil kesimpulan postingan tersebut berisi informasi palsu?
Review Tirto.id Terhadap Postingan Waka BSSN
Pada 26 Agustus 2020, Tirto.ID menurunkan artikel berjudul “Periksa Fakta : Komentar Dharma Soal Gawai, Candu & Perusakan Sel, Hoaks/Fakta?” Isi artikel tersebut secara saya copy paste dalam format italic di bawah ini.
Pada 12 Agustus 2020, akun Instagram @pongrekundharma88 (arsip) mengunggah sebuah foto Wakil Kepala BSSN Komjen Pol. Dharma Pongrekun dengan tulisan: DHARMA SAYS,
Gawai adalah alat (gadget) yang disiapkan oleh “mereka” untuk menjerat kita bekerja (network) melalui jaring “mereka” (internet), dengan cara merusak sel-sel tubuh (cellular phone) melalui gelombangnya (bad vibes) yang menggempur (attack) sel biologi terus-menerus (automation) menjadi bloon (slow response), agar “mereka” mudah dan cepat (smartphone) memperdaya pikiran (mindset manipulation) kita, sehingga melemahkan (malware) kecerdasan tubuh (body intelligence) yang membuat kita tidak sadar telah kehilangan jati diri (refocusing) sebagai insan NUSWANTARA (Makhluk mandiri menuju Tuhan).
Kemudian, pada deskripsi foto, akun Dharma menuliskan deskripsi panjang yang, jika disimpulkan, menyatakan bahwa gawai menyebabkan candu. Ia mengaitkan candu yang disebabkan gawai dengan Perang Candu/Opium yang terjadi pada 1839-1860 M antara Inggris dan Cina yang berakhir dengan jatuhnya Cina.
Menurut akun Dharma, perang tersebut bertujuan menguasai orang-orang elit karena orang-orang elit lebih mementingkan gengsi, dan gengsi itu terkait dengan harga mahal, jadi harga opium dibuat sangat mahal. Tidak beda dengan harga gadget yang harganya puluhan juta pada awalnya. Menurut akun Dharma pula, gadget telah dibekali radiasi yang merusak. Selain itu, pembuat gawai juga memasukkan gelombang yang dapat melemahkan sel-sel tubuh sehingga kita benar-benar kecanduan.
Unggahan akun Dharma ini mendapat sekitar 4.700 Likes di Instagram. Selain itu, unggahan ini mengundang orang-orang mengomentari kaitan antara menara Base Transceiver Station (BTS), jaringan 5G, dan bahayanya terhadap tubuh, salah satunya akun @kesadaranmimpi.
Penelusuran Fakta : Tirto melakukan penelusuran terhadap sejumlah istilah yang digunakan oleh akun Dharma dalam unggahannya untuk menemukan koherensi antara sejumlah istilah tersebut dengan narasi dalam unggahan di akun Dharma. Berikut pengertian sejumlah istilah yang digunakan oleh akun tersebut:
Cellular phone atau smartphone adalah telepon yang dapat digunakan di mana saja karena beroperasi melalui signal radio.
Gadget atau gawai merupakan peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis.
Network atau jaringan adalah sebuah sistem besar yang terdiri dari banyak bagian serupa yang dihubungkan untuk memungkinkan pergerakan atau komunikasi antara, atau sepanjang bagian, atau antara bagian dan pusat kendali.
Bad vibes adalah semua perasaan tidak nyaman, gelisah, dan tidak aman.
Attack adalah mencoba menyakiti atau mengalahkan menggunakan kekerasan.
Automation adalah penggunaan mesin dan komputer yang dapat beroperasi tanpa memerlukan kendali manusia.
Slow response berarti lamban.
Mindset manipulation bisa disebut juga mental manipulation yang berarti mengerahkan pengaruh yang cerdik atau licik terutama untuk keuntungan diri sendiri.
Malware adalah perangkat lunak komputer yang dirancang untuk merusak cara kerja komputer.
Body intelligence adalah kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan tantangan baru dari lingkungan dalam / luar dengan memahami dan menyadari sinyal tubuh dan dengan modalitas respons khusus.
Refocusing adalah mengembalikan fokus.
Jika ditelisik satu-persatu, istilah-istilah yang digunakan akun Dharma tampak kurang tepat penggunaannya. Sel-sel tubuh, misalnya, tidak sama dengan cellular phone, gelombang tidak sama dengan bad vibes, sementara sel biologi bukanlah automation, dan melemahkan tidak sama dengan malware. Lebih lanjut, efek yang ditimbulkan candu/opium memiliki efek berbeda dengan efek "candu" yang ditimbulkan gawai.
Dharma juga tidak menyebutkan referensi tertentu dalam unggahannya terkait efek "candu" pada gawai ini sehingga sulit membuktikan kebenaran unggahan akun Dharma tersebut.
Selain itu, kami juga menemukan komentar (maksudnya komentar dari follower akun Dharma) terkait isu konspirasi mengenai menara 5G yang dianggap membahayakan dalam kolom komentar di unggahan akun Dharma tersebut. Di tengah pandemi COVID-19 ini, memang muncul isu mengenai teknologi 5G yang dianggap dapat menyebarkan virus corona baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, radiasi 5G yang melemahkan imunitas seseorang, hingga tuduhan 5G yang secara langsung menularkan virus.
Padahal, virus corona baru ini tidak dapat disebarkan oleh benda mati, apalagi radiasi 5G. Teori konspirasi terkait menara 5G ini telah menyebabkan sejumlah insiden berbahaya, seperti terbakarnya menara 5G di Britania Raya, tepatnya di Birmingham, Liverpool, dan Melling di Merseyside. Awal mula kejadian ini, seperti dilansir BBC, disebabkan oleh video yang mengaitkan antara teknologi mobile dengan COVID-19. Kementerian Digital, Kebudayaan, Media, dan Olahraga (DCMS) Britania Raya telah menyanggah disinformasi ini melalui akun Twitter mereka.
Pakar teknologi informasi Onno W. Purbo mengatakan bahwa secara umum, penggunaan sebuah teknologi secara berlebihan memang bisa membahayakan. "Contoh microwave oven menggunakan frekuensi yang tidak jauh beda dengan 4G, 5G, dan di microwave oven, daging bisa matang karena microwave oven menggunakan daya ratusan Watt," kata Onno kepada Tirto lewat email, Selasa (18/08/2020).
Namun, lanjut Onno, peralatan 3G, 4G, 5G menggunakan daya yang jauh lebih kecil dibandingkan oven microwave. "BTS biasanya menggunakan daya pancar sekitar 1-5 Watt. Handphone biasanya menggunakan daya 0.1-0.5 watt," jelasnya. "Jadi, peralatan ini jauh lebih aman daripada microwave oven." Terlepas dari isu disinformasi 5G dan virus corona, Onno memberikan sejumlah saran yang dapat dilakukan terkait bahaya radiasi pemancar.
Pertama, bagi orang yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap gelombang pancaran radio, disarankan untuk tidak terlalu dekat dengan ponsel dan terlalu lama menggunakan ponsel yang ditempelkan ke kepala. Kedua, akan lebih aman menggunakan headset agar letak ponsel lebih jauh dari tubuh. Ketiga, jika berada pada lokasi yang cukup jauh dari sinyal pemancara atau BTS, seperti di kereta api, disarankan agar tidak melakukan sambungan telepon terlebih dahulu karena ponsel cenderung menaikkan daya pancar agar dapat tersambung dengan lokasi BTS yang jauh tersebut.
Sejumlah informasi salah yang berbahaya terkait COVID-19 memang banyak menyebar. Salah satu informasi ini, misalnya, pernah disampaikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 24 April 2020. Ia mengatakan bahwa virus corona dapat dicegah dengan menyuntikkan disinfektan ke tubuh. Namun, Trump menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap orang-orang yang benar-benar menggunakan disinfektan untuk tubuh. Ia menyatakan bahwa pernyataan sebelumnya hanyalah sarkasme.
Kesimpulan: Narasi yang disebarkan oleh akun Instagram @pongrekundharma88 tidak memiliki bukti yang kuat terkait hubungan antara gawai yang dapat menyebabkan candu dan kerusakan sel. Informasi tersebut bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading). Sementara itu, teori-teori konspirasi yang melibatkan tower BTS sama sekali tidak memiliki bukti ilmiah yang jelas.
Tirto Tidak Melakukan Klarifikasi Fakta Ke Dharma
Di luar perannya sebagai fact-chekers dari Facebook, Tirto.ID sejatinya adalah portal berita online yang seharusnya tunduk kepada etika jurnalistik. Salah satu prinsip mendasar dalam dunia kewartawanan, sebelum menurunkan sebuah berita seharusnya sudah melakukan cek dan ricek kepada pihak-pihak terkait dalam pemberitaan tersebut. Semua wartawan pasti paham dengan prinsip cover bothside.
Hal itulah yang tidak dilakukan oleh Tirto.ID dalam artikel yang mereview postingan Dharma. Dalam artikel itu juga tidak ada kesan si penulisnya sudah berupaya melakukan konfirmasi kepada Dharma. Padahal dalam artikel tersebut jelas si penulis penyembut postingan Dharma tayang di Instagram tanggal 12 Agustus 2020. Kemudian si penulis meminta tanggapan atas postingan tersebut kepada seorang pakar bernama Onno S Purbo dan mendapat jawaban via email tanggal 18 Agustus 2020. Sedangkan Tirto.ID menurunkan artikel tersebut tanggal 26 Agustus 2020.
Artinya, si penulis sebetulnya memiliki waktu cukup panjang untuk melakukan pemeriksaan fakta dan meminta referensi yang dimaksud dalam artikel itu langsung kepada Dharma. Tapi hal ini tidak dilakukan. Dharma sendiri mengaku tidak pernah dihubungi awak Tirto.ID. “Padahal saya dengan senang hati jika diundang mereka untuk membuktikan apa yang saya sampaikan dalam postingan tersebut,” kata Dharma.
Selain itu artikel Tirto.ID nampaknya dibuat berdasarkan metode investigasi yang sangat dangkal dan sudah diframing sedemikian rupa. Si penulis memberi penilaian bahwa pernyataan dan istilah-istilah yang dipakai Dharma dengan kategori “tidak tepat”, “tidak ada referensi” dan atau “tidak ada bukti ilmiahnya”.
Padahal, dalam dunia kewartawanan, apalagi bagi mereka yang memiliki kualifikasi wartawan investigasi, sebuah penilaian terhadap fakta harus dicari sebanyak-banyaknya. Saya sendiri dulu sering meminta kelonggaran waktu deadline kepada atasan saya agar reportase saya bisa menjadi fakta yang lebih utuh terhadap suatu peristiwa.
Nah, sekarang setelah jadi atasan, saya sekarang sering marah kepada reporter saya karena kerap laporannya lebih banyak hasil googling dari pada hasil liputan di lapangan. Inilah kondisi yang dihadapi dunia jurnalistik sekarang. Akibat ada internet, ada google dan mesin pencarian informasi lain, wartawan muda kita sekarang jadi malas berangkat lapangan karena menganggap faktanya sama dengan yang sudah ada di internet.
Saya tidak tahu persis apakah wartawan Tirto.ID yang menulis artikel tersebut mengalami kondisi ketergantungan mencari informasi dari internet atau tidak.
Sebagai wartawan idealnya kita hanya bisa menurunkan berita atau artikel berdasarkan apa yang kita lihat, kita alami atau kita rasakan sendiri di lapangan. Bahwa hasil reportase kita berbeda “tone” atau “angle” dengan media lain, itu masalah persepsi yang memang sulit dihindari. Tapi kalau kita ikut hadir, melihat, dan membuktikan sendiri suatu keadaan dalam sebuah peristiwa, hasil reportase kita sulit disanggah oleh yang tidak hadir dalam peristiwa tersebut.
Dalam banyak peristiwa, karena keterbatasan awak redaksi atau jaringan, sebuah media massa memang dibenarkan mengutip informasi atau keterangan dari media lain, termasuk mengutip jurnal atau kajian dari berbagai pakar atau pengamat. Tapi dengan syarat kita harus menyebut dengan jelas nama media, jurnal, kajian, pakar dan pengamat tersebut. Ini menyangkut masalah kejujuran dan kredibilitas jurnalistik.
Di sisi lain, tidak semua referensi atau jurnal-jurnal ilmiah yang ditulis berbagai kalangan pakar di dunia ini bisa ditemukan melalui mesin pencari di internet.
Kalau pun ada mungkin tidak dijadikan referensi oleh para fact-chekers yang ditunjuk oleh pihak Facebook dengan berbagai alasan. Ini yang jadi pertanyaan saya, apakah sudah melakukan riset referensi atau kajian ilmiah dengan cara selain googling?
Dalam dua dekade terakhir sudah banyak kalangan cendekiawan atau pakar menulis jurnal atau buku tentang bahaya dari ‘globalisasi” - di mana teknologi informasi dan komunikasi, internet, medsos, gadget dan smartphone sebagai produk turunan dari globalisasi - dinilai sebagai ancaman bagi kehidupan manusia. Tapi jurnal-jurnal yang skeptis terhadap globalisasi ini memang sulit ditemukan via googling. Karena selain kajian mereka diproduksi dalam bentuk barang cetakan berupa buku atau kajian ilmiah, bisa jadi apa yang mereka unggah sudah dihilangkan dari internet.
Siapa Penguasa Informasi di Dunia Maya?
Meskipun internet beroperasi dunia maya, sudah pasti penguasanya hidup di dunia nyata. Mereka inilah yang berwenang mengontrol segala informasi yang diposting warga dunia melalui jaringan internet yang sudah menjangkau hampir seluruh permukaan bumi.
Siapa penguasa internet? Memang tidak tunggal. Pasti ada beberapa dan mereka inilah yang membangun oligarki lintas negara melalui dunia maya sehingga lahir kesepakatan global bahwa pembatasan-pembatasan di dunia harus ditembus oleh internet. Bahasa keren mereka, internet bertujuan membentuk dunia tanpa batas alias borderless.
Sekarang coba kita googling satu kalimat “who owns internet?” Paling-paling kita menemukan jawaban diplomatis dari mereka, “Its owner is humanity itself.” Memang ada beberapa media yang menyebut di A, B, C dan seterusnya sebagai pemilik internet di berbagai negara. Tapi umumnya mereka menyebut dengan kata konon atau kabarnya. Karena penguasa internet di dunia ini memang misterius. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa penguasa di internet adalah elite global, di mana pemilik Facebook adalah salah satu anggota dari oligarki tersebut.
Secara kasat mata, mereka hanyalah pebisnis. Tapi apakah mereka cuma punya kepentingan bisnis? Kalau cuma mau berbisnis, mengapa mereka membiarkan konten-konten tentang kekerasan, pornografi, hedonisme, materialime dan semua konten-konten yang bertentangan dengan moral kehidupan begitu masih berserakan di dunia maya, termasuk di medsos?
Memahami Cara Berfikir Dharma
Dharma Pongrekun sendiri sebenarnya sudah menulis buku berjudil “Indonesa Dalam Rekayasa Kehidupan - Sebuah Perenungan Anak Bangsa Dalam Menghadapi Globalisasi”. Buku ini diterbitkan pada Oktober 2019 melalui jaringan Gramedia dan sekarang sudah sulit ditemukan di pasaran. Dalam buku tersebut ia menulis paniang lebar tentang globaliasi dari asal usulnya, ancaman-ancaman yang ditimbulkan sampai pada solusi bahwa rakyat Indonesia harus mendekatkan diri kepada rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam buku tersebut, Dharma menyatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi - yang mana gadget dan smartphone sebagai produk turunannya - adalah alat yang didesain oleh dari elite global untuk memanipulasi pola pikir manusia agar menjadi atheis. Makna atheis dalam konteks ini adalah ketika manusia lebih mendewakan teknologi dan informasi sebagai sumber kebenaran dan di sisi lain meninggalkan wahyu-wahyu Tuhan sebagai sumber kebenaran.
Dalam buku tersebut Dharma mengatakan akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang didorong oleh para globalis itulah menusia sekarang cenderung mencari kebenaran dan mencari eksistensi diri di dunia maya. Keadaan ini mengakibatkan munculnya Tuhan baru di dunia maya. Padahal, sejatinya Tuhan hanya ada satu. Kalau ada Tuhan di dunia maya, menurut pandangan Dharma berarti dia adalah iblis yang sejak diturunkan ke dunia ini kerjanya memang memanipulasi pola pikir manusia agar menjauh dari rasa keimanan kepada Tuhan.
Karena sudah membaca buku ini saya sendiri memahami apa latar belakang Dharma memposting gambar dan narasi yang dinyatakan “false information” oleh onwner Instagram itu.
Buku itu memang tidak memakai referensi dari apa pun melainkan dari hasil perenungan pribadi ia tulis sendiri dan kemudian dibukukan. Jadi memang banyak istilah dan argumentasi dalam buku tersebut yang tidak bisa kita temukan via googling. Dharma sendiri menyebut dunia maya adalah dunia manipulasi. Jadi dia tidak mau mencari istilah atau referensi dari internet untuk bukunya tersebut.
Tapi jangan lupa, Dharma bukan orang tidak berpendidikan. Dia master di bidang hukum dan punya jam terbang tinggi dalam reserse kriminal. Anggota reserse yang sering melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) sudah terlatih membangun instingnya untuk mengambil kesimpulan cepat terhadap suatu keadaan yang dia lihat dan dengar dengan mata dan telinganya sendiri. Mereka tahu apakah seseorang berbohong hanya dengan melihat sorot mata atau kerutan di dahi seseorang.
Seorang Dharma berpikiran kristis dan sering berbeda pandangan dengan kebanyakan orang awam tentang sesuatu keadaan, harusnya menjadi satu pertimbangan bagi Tirto.Id untuk memberi penilaian terhadap postingannya. Tapi hal ini ternyata tidak dilakukan sama sekali.
Fact-Chekers Yang Ideal
Apa itu review? Review adalah suatu penilaian terhadap suatu fakta yang memungkinkan untuk dinilai kembali jika ditemukan fakta baru. Sedangkan fakta adalah sesuatu yang tertangkap oleh indera manusia atau suatu keadaan yang sudah terbukti kebenarannya secara umum.
Jadi penilaian dari seorang atau lembaga pemeriksa fakta, adalah sebuah laporan berdasarkan pengamatan langsung atau berdasarkan pembuktian yang sudah teruji kebenarannya dan memungkinkan dilakukan penilaian baru jika ditemukan fakta baru. Artinya seseorang fact-checkers sejati tidak boleh berhenti pada suatu fakta yang baru pertama kali dia temukan. Dia harus menggali dan terus menggali sedalam-dalamnya hingga menemukan fakta-fakta baru. Dalam dunia jurnalistik kita harus melakukan updating news. Ini memang melelahkan tapi ini adalah bentuk pertanggungjawaban kita dalam peran penyebaran informasi publik.
Dalam sebuah kolom di iNews.id yang terbit 31 Agustus 2020, seorang staf pengajar dan peneliti dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Bob Hardian, PhD., menulis sebuah artikel menarik berjudul “Beyond Scientific” yang menggugah bagaimana kita seharusnya mencari kebenaran yang hakiki. Berikut artikelnya yang saya copy paste di bawah ini dalam huruf italic.
Kemanusiaan secara fundamental dan tidak sengaja telah memengaruhi pergeseran alam. Tetapi para ilmuwan yang paling memahami pergeseran ini biasanya hanya menggunakan bahasa sains dan penalaran (reasoning) dengan menggunakan data serta model untuk menjelaskannya.
Kadang ketergantungan yang berlebihan pada sains dan penalaran membuat sulit untuk berkomunikasi dengan masyarakat umum. Hal itu juga membutakan kita terhadap cakupan penuh masalah yang kita hadapi sekarang, yang hanya dapat dipahami sepenuhnya melalui perspektif emosional, budaya, etika, dan spiritual di dunia.
Menyisakan Ruang untuk yang Misterius dan Tidak Bisa Dijelaskan
Fisikawan teoretis terkenal Albert Einstein pernah berkata, “Logika akan membawa Anda dari A ke Z; imajinasi akan membawamu kemana-mana." Memang, misteri memberi kita kesempatan untuk membayangkan hal-hal yang tidak realistis atau konyol dalam kehidupan kita sehari-hari. Seringkali, anak-anak suka mendengar cerita imajinatif dan bermain pura-pura dalam rangka melatih imajinasi mereka.
Manusia dan alam merupakan hal yang banyak mengandung misteri yang belum bisa semuanya dibahas secara scientific. Banyak hal yang susah untuk dijelaskan secara sains dan textbook. Penalaran ilmiah bergantung pada data dan analisis, namun ada banyak hal di dunia ini yang tidak dapat diukur.
Misalnya, seseorang tidak dapat memberikan data yang membuktikan besaran cinta terhadap manusia lain, hubungan spiritual dengan alam, rasa panggilan atau kehadiran Tuhan itu ada. Namun, banyak sekali orang yang percaya atau bahkan tahu bahwa itu ada.
Seringkali pembahasan melalui sudut pandang spiritual dan supranatural sepertinya kelihatan bertentangan dengan padangan scienctific dan textbook. Orang sering melakukan pembahasan dalam ranah misteri menggunakan istilah-istilah teknikal atau istilah yang sudah dipahami dalam sains sebelumnya.
Penggunaan istilah-istilah teknikal ini sering membuat rancu yang kelihatannya seperti berusaha meredefinisi istilah-istilah yang sudah terdefinisi dengan baik. Seringkali penggunaan istilah tersebut hanya sebatas analogi dalam menjelaskan konteks spiritual dan supranatural. Terkadang sulit untuk mencari padanan teknikal di ruang bahas spritual dan supranatural. Ruang bahas spiritual dan supranatural seringkali kelihatannya tidak nyambung (disconnected) dengan ruang bahas sains.
Penalaran ilmiah berusaha menjelaskan semua fenomena melalui kata-kata dan angka-angka. Namun ada banyak pengalaman yang menentang artikulasi, sebagai contoh, pianis klasik atau atlet profesional sering kali mengalami kesulitan besar untuk mengungkapkan esensi pengalaman mereka saat menyempurnakan keahlian mereka.
Jadi, sementara sains dapat terus maju dalam mengeksplorasi yang rasional di manusia dan alam, dengan menganalisis sistem alam melalui model "big data" menggunakan feedback loop, dan ketidak-linier-an yang beroperasi di dalamnya, ia juga harus menyisakan ruang untuk hal-hal yang misterius dan tidak dapat dijelaskan. Kita juga melatih kerendahan hati terhadap yang tidak dan mungkin tidak pernah tahu kerumitan (complexity) penuh dari semuanya itu.
Artikel dari Bob Hardian tersebut dalam sekali maknanya. Intinya manusia dan alam merupakan hal yang banyak mengandung misteri yang belum bisa semuanya dijelaskan secara sains dan textbook. Padahal banyak kebenaran yang justru kita dapatkan dari sumber yang bersifat non-fisik, yaitu dari perspektif emosional, budaya, etika, dan spiritual.
Saya sendiri melihat metode pemeriksaan fakta yang dilakukan Tirto.ID terhadap istilah dan penyataan yang digunakan Dharma dalam postingannya itu semata-mata masih mengantungkan pencarian kebenaran berdasarkan kajian sains, textbook, dan sepertinya melalui mesin pencarian informasi di internet. Ada memang seorang pakar yang dimintai keterangan oleh Tirto.ID. Tapi bukankah pakar lain belum tentu berpendapat sama dengan pakar tersebut. Apakah Dharma dengan track-recordnya di dunia kepolisian dan jabatannya sekarang ini bukan tergolong pakar?
Saya amati Tirto.ID melulu mempertanyakan bukti ilmiah dan referensi yang digunakan Dharma. Tapi di sisi lain saya melihat Dharma adalah pemikir yang yang tidak suka mengutip referensi dari sumber manapun bahkan saya tidak menemukan catatan-catata kaki (footnote) dalam bukunya itu.
Menurut Dharma apa yang ia tulis dalam bukunya maupun narasi yang dia sampaikan dalam postingan-postingan di akun instagramnya itu merujuk pada wahyu-wahyu Ilahi dalam kitab suci dan berdasarkan hikmat yang ia peroleh sebagai mahluk yang berinteraksi langsung dengan Tuhan. Dari situlah Dharma mengenal “ilmu melihat udang di balik batu”. Yaitu bagaimana mencari kebenaran secara out of the box atau melihat kebenaran dengan mata rohani, bukan mata jasmani.
Dari situlah menjadi jelas pangkalnya mengapa Tirto.ID sampai memberi penilaian bahwa postingan Dharma berisi konten Informasi Palsu dan Dharma bersikukuh bahwa informasinya adalah yang benar. Tirto mencari kebenaran secara fisik, sedangkan Dharma mencari kebenaran secara non-fisik. Dua metode menemukan fakta yang berbeda ini sudah tentu bisa menemukan hasil yang kontradiktif.
Sekarang tergantung kita mau menganut metode yang mana. Menurut saya kebenaran berdasarkan sains atau text book adalah suatu kebenaran semu karena hanya mengandalkan kecerdasan manusia. Padahal kita tahu pikiran setiap setiap manusia bisa ter-framing oleh kondisi-kondisi lingkungan atau latar belakang primordialnya.
Dalam kenyataannya banyak kita temukan sebuah kajian ilmiah dibuat oleh sebuah kelompok atas rezim dengan niat menutupi suatu fakta yang sebenarnya alias berbohong agar dapat menyesatkan pikiran orang banyak. Salah satunya yang paling kontroversial saat ini adalah sebuah kajian ilmiah yang melahirkan suatu teori yang masih kontroversial hingga saat ini yang menyatakan manusia berasal dari simpanse (kera).
Secara fisik memang betul manusia mirip dengan kera. Bahkan berdasarkan berbagai kajian ilmiah paling terbaru manusia memiliki kesamaan DNA antara 98 hingga 99,6 dengan beberapa jenis kera. Tapi menurut Al-Quran dan Alkitab, manusia adalah keturuan Adam dan Hawa, yaitu dua manusia yang diciptakan Tuhan di surga dan kemudian diturunan ke bumi hingga baranak cucu hingga sekarang. Sekarang tergantung manusianya sendiri, mau mempercayai hasil olah pikir manusia atau wahyu dari Tuhan?
Penjelasan Istilah-Istilah
Dalam kolom komentar di postingan Dharma itu saya melihat ada komentar dari seorang followernya.”Postingan ini dikasih label palsu oleh tirto.id pak jenderal.” Dharma menjawab,”Tenang saja menghadapi hal ini seperti itu. Kan semua aplikasi yang ada hanya digunakan memaksakan, bahwa kebenaran absolut hanya monopoli pemiliknya. Kita semua hanya menjadi objek saja untuk kepentingan agendanya kok. Salam hormat untuk anak bangsa yang cinta bangsa. Tetaplah berjalan dalam kebenaran walau sendiri! Kita bangsa mandiri kok!’
Artinya Dharma bersikukuh postingannya itu tidak salah dan dia tidak akan menghapus postingannya tersebut. Sekarang saya mencoba membikin perbandingan tentang istilah teknis yang dipersoalkan Tirto.ID dengan penjelasan langsung Dharma kepada saya.
Menurut Tirto.ID, cellular phone atau smartphone adalah telepon yang dapat digunakan di mana saja karena beroperasi melalui signal radio. Sedangkan menurut Dharma, cellular phone adalah alat yang tanpa disadari akan meruskan sel-sel tubuh manusia. Sedangkan smartphone artinya bukan alat yang membuat manusia pintar tetapi justru mengendalikan manusia dengan mudah dan cepat.
Menurut Tirto.ID, gadget atau gawai merupakan peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis. Menurut Dharma, gawai berasal dari bahasa Melayu yang artinya alat dan orang yang menggunakannya disebut pegawai.
Menurut Tirto.ID, network atau jaringan adalah sebuah sistem besar yang terdiri dari banyak bagian serupa yang dihubungkan untuk memungkinkan pergerakan atau komunikasi antara, atau sepanjang bagian, atau antara bagian dan pusat kendali. Menurut Dharma, network adalah jaringan untuk menjerat manusia yang menggunakannya. Dalam hal ini ia mengingatkan istilah “www’ atau world wide web yang membawa kita berimajinasi kepada struktur jaringan yang dibuat laba-laba untuk menjerat mangsanya.
Menurut Tirto.ID, bad vibes adalah semua perasaan tidak nyaman, gelisah, dan tidak aman. Menurut Dharma, bad vibes ada gelombang yang memancarkan efek buruk kepada sel tubuh manusia.
Menurut Tirto.ID, attack adalah mencoba menyakiti atau mengalahkan menggunakan kekerasan. Menurut Dharma, attack adalah serangan yang diprogram untuk menggempur sel-sel tubuh manusia.
Menurut Tirto.ID, automation adalah penggunaan mesin dan komputer yang dapat beroperasi tanpa memerlukan kendali manusia. Menurut Dharma, automation adalah bagi yang menggunakan gawai terus menerus akan menjadi blo’on sel-sel tubuhnya.
Menurut Tirto.ID, slow response berarti lamban. Menurut Dharma, slow response artinya akibat dari gempuran terus menerus dari gelombang pada cellular phone terhadap tubuh manusia, sel-sel tersebut menjadi blo’on.
Menurut Tirto.ID, mindset manipulation bisa disebut juga mental manipulation yang berarti mengerahkan pengaruh yang cerdik atau licik terutama untuk keuntungan diri sendiri. Menurut Dharma, mindset manipulation adalah aplikasi dan konten di dalam gadget yang didesain untuk mempermudah memanipulasi pola pikir manusia.
Menurut Tirto.ID, malware adalah perangkat lunak komputer yang dirancang untuk merusak cara kerja komputer. Menurut Dharma, malware adalah virus yang digunakan untuk melemahkan.
Menurut Tirto.ID, body intelligence adalah kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan tantangan baru dari lingkungan dalam/luar dengan memahami dan menyadari sinyal tubuh dan dengan modalitas respons khusus. Menurut Dharma, body intelligence adalah kecerdasan tubuh.
Menurut Tirto refocusing adalah mengembalikan fokus. Menurut Dharma, refocusing adalah manusia seharusnya fokus kepada Tuhan, tapi akibat adanya gadget atau smartphone, fokus manusia terpusat kepada alat tersebut yang menyibukan kehidupan sehari-hari manusia.
Jadi memang ada perbedaan definisi sangat mendasar antara Tirto.ID dan Dharma terhadap istilah-istilah teknis tersebut. Dalam hal ini Tirto.ID menilai alat yang disebut gagdet atau cellular phone atau smartphone tidak berbahaya atau berdampak terhadap tubuh manusia. Sedangkan Dharma menilai sebaliknya. Untuk mengatasi perbedaan ini menurut saya Tirto.ID dan Dharma bertemu langsung untuk saling membuktikan argumentasi masing-masing.
Ada kesan kuat Tirto.ID dalam memberi penilaian terhadap pernyataan dan istilah yang dipakai Dharma hanya berdasarkan referensi via googling. Sebagai contoh, Tirto.ID menyatakan “jika ditelisik satu-persatu, istilah-istilah yang digunakan akun Dharma tampak kurang tepat penggunaannya. Sel-sel tubuh, misalnya, tidak sama dengan cellular phone.”
Nah, pertanyaan saya, apakah Tirto.ID sudah menelisik asal usul mengapa alat tersebut dinamakan cellular phone? Istilah celluler sudah jelas asal-usulnya dari kata cell (sel) yang terminiloginya bersumber dari ilmu biologi yang menjelaskan tentang sistem satuan-satuan terkecil pada tubuh mahluk hidup. Pada tubuh manusia ada sel-sel berupa hormon atau zat yang dibentuk oleh bagian tubuh tertentu serta memiliki pengaruh terhadap aktivitas sel-sel tubuh yang lain. Hormon-hormon ini dihasilkan baik oleh otak maupun di luar otak (pankreas, kelenjar tiroid, adrenal, dan organ reproduksi).
Kajian ilmiah yang membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara gelombang electromagnetik yang dipancarkan oleh cellular phone terhadap tubuh manusia sebetulnya sudah banyak dibuat oleh para pakar di seluruh dunia. Tapi sebetulnya kita juga bisa melakukan pembuktikan sendiri.
Sebagai contoh, anak balita yang sedang menangis bisa langsung tenang begitu diberikan mainan smartphone oleh orang tuanya. Tapi begitu smartphone tersebut diambil, anak tersebut menangis lagi. Bagaimana kita menjelaskan fenomena ajaib ini kalau bukan mencurigai adanya gelombang tertentu yang memiliki efek mirip candu di dalam smarphone tersebut?
Menurut hemat saya, pencipta cellular phone siapa pun dia, sejak awal sengaja memberi nama alat itu dengan istilah cellular dengan maksud mengingatkan para penggunanya bahwa alat ini berpengaruh terhadap sel-sel pada tubuh manusia. Tapi kita abai dan langsung menerima kehadiran alat ini dengan suka cita tanpa memperhitungkan dampaknya.
Lalu istilah smartphone. Mengapa disebut telepon cerdas? Menurut saya, alat ini sengaja didesain dan diberi nama begitu oleh penciptanya untuk dapat mengantikan kecerdasan manusia. Dalam kenyataannya sekarang kita begitu bergantung dengan alat ini. Mau tidak mau dalam beraktivitas apa saja kita begitu mengandalkan alat ini. Buktinya kalau alat ini hilang kita mencar-carinya setengah mati. Kalau ketinggalan di rumah, kita pasti pulang untuk mengambilnya. Kita seperti mahluk yang merasa tidak punya kemampuan apa apa lagi tanpa memiliki alat ini.
Hal-hal diluar nalar itulah yang tidak dijadikan bahan referensi oleh Tirto.ID. Dengan kata lain, Tirto.ID hanya melihat batunya saja, sementara Dharma berusaha melihat udang di balik batu tersebut. Saya bisa memahami mengapa dia sampai pada kesimpulan gadget atau cellular phone atau smarphone, berbahaya bagi tubuh manusia tak lain karena dia menggunakan ilmu melihat udang di balik batu itu.
Coba saja googling asal usul penggunaan kata cellular phone, pasti kita tidak akan menemukan satupun referensi yang mengaitkannya alat ini dengan sistem sel pada tubuh manusia. Karena memang banyak fakta yang disembunyikan di dunia maya.
Pada akhirnya kita sesungguhnya bisa mencari kebenaran sejati dengan mengandalkan kecerdasan spiritual. Saya sendiri sekarang sedang berlatih berhikmat agar bisa memahami “perkara-perkara” misterius yang semakin banyak terjadi di dunia sekarang ini. Tentang pandemi covid-19 misalnya. Banyak orang ketakutan setengah mati karena termakan propaganda bahwa virus ini sangat mematikan. Menurut pemahaman saya sebagai mahluk ciptaan Tuhan, tanpa kehadiran virus ini pun semua orang akan mati sesuai takdirnya.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi FNN.co.id