Gde Siriana Ingatkan Bahaya Manipulasi Media dan Medsos yang Dipakai untuk Membelah Masyarakat
Bandung, FNN - Musyawarah Wilayah V IMSII (Ikatan Mahasiswa Sistem Informasi Indonesia) mengadakan Seminar Nasional dengan judul “Mahasiswa, Kampus dan Politik: Menuju Demokrasi Ideal dengan Membawa Perubahan Melalui Teknologi Informasi” di Auditorium Gedung Miracle Universitas Komputer Indonesia, di Bandung, Kamis (15/12/22).
Seminar diikuti oleh sekitar 200 mahasiswa dari 5 kampus di Jawa Barat dan dihadiri oleh Kakesbangpol Provinsi Jawa Barat mewakili Gubernur, Ridwan Kamil dan Rektor Unikom dengan pembicara Hendi Budi Satrio (Direktur Eksekutif Kedai Kopi) dan Gde Siriana Yusuf (Direktur Eksekutif INFUS, Indonesia Future Studies).
Dalam paparannya Gde menegaskan bahwa sosial media (sosmed) hari ini tidak hanya media untuk menyampaikan gagasan atau pendapat, akan tetapi juga media framing dan manipulasi untuk membelah masyarakat. Dari kasus Sambo, Tambang ilegal dan Kanjuruhan, serta kasus lainnya membuktikan bahwa setelah terjadi polarisasi yang tajam di masyarakat, itu dapat berubah menjadi solidaritas sosial.
Artinya ada isu tertentu yang dapat membatasi upaya-upaya membelah masyarakat yaitu isu kemanusiaan. “Dan ini harus diperhatikan Gen Z yang saat ini berstatus mahasiswa, terkait isu-isu yang dapat mendapat dukungan masyarakat. Oleh karena itu peran Gen Z dalam demokrasi bukan hanya terkait Pemilu 2024, namun juga demokrasi digital dalam kehidupan sehari-hari,” papar penulis buku Keserakahan di Tengah Pandemi itu.
Gde menegaskan bahwa ada empat indikator dalam demokrasi yakni: Pemilu, Kebebasan Pers dan Kebebasan Pendapat, Law Enforcement, dan upaya yang sungguh dari pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Adapun tantangan mahasiswa di era demokrasi digital, kata Gde adalah apakah mahasiswa masih berperan sebagai agent of change di era digital? Seperti apa peran mahasisws di tengah kondisi bahwa setiap orang dapat menjadi citizen journalism atau sumber berita yang dapat mempengaruhi opini publik.
Di sisi lain, lanjut Gde, mahasiswa yang adalah bagian dari digital natives, hari ini justru belum bisa memanfaatkan medsos untuk menyuarakan kebenaran secara optimal.
Gde menambahkan pemanfaatan medsos untuk melakukan kritik atau tuntutan terhadap pemerintah, dan membangun solidaritas sosial, saat ini juga belum masif.
Berbeda dengan yang terjadi pada fenomena solidaritas masyarakat di Mesir. Rezim berganti diawali oleh gerakan medsos, kemudian diakhiri dengan jatuhnya Hosni Mubarak.
Lebih lanjut Gde menegaskan bahwa yang dibutuhkan mahasiswa hari ini adalah sistem informasi untuk mengawal demokrasi, bukan hanya skill saja, tetapi kesadaran sosial dan politiknya.
“Tugas mahasiswa Zilenial hari ini, masih sama dengan tugas mahasiswa di era sebelumnya, yakni menyuarakan kebenaran dan melawan ketidakadilan,” paparnya.
Sementara terkait Pemilu 2024, Gde berpesan bahwa mahasiswa jangan terjebak dengan agenda parpol dan relawannya. “Justru mahasiswa harus mampu menjelaskan manipulasi Pemilu, sebagai kelompok yang rasional,” pintanya.
Jadi, lanjut Gde, tantangan Zilenial di era digital dalam konteks politik, apakah pengetahuan, skill dan keterlibatan zilenial dalam medsos otomatis membangun kesadaran sosial dan politik Zilenial? Karena itu Zilenial tidak cukup belajar otodidak di sosmed, akan tetapi diperlukan literasi-literasi melalui kelompok-kelompok diskusi mahasiswa lintas kampus, agar mahasiawa memahami konteks secara utuh dan ada pisau analisis teorititisnya.
Gde menegaskan bahwa peran Zilenial dalam membangun demokrasi sangat penting, mereka bertugas sebagai gerakan moral dan agen perubahan. “Karena pengawasan terhadap kekuasaan tidak dapat mengandalkan institusi negara saja, tetapi harus day to day dilakukan oleh civil society,” pungkas kandidat Doktor Ilmu Politik Unpad, Bandung itu. (sws)