OPINI
Menteri Agama Ngawur, Presiden Kok Diam?
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Ketika Menteri Agama Fachrul Razi direaksi karena ngomong tentang radikalisme melulu, Presiden diam seribu bahasa. Apakah Presiden sengaja membiarkan Menteri Agama babak belur dihajar oleh kebijakan penghapusan "ajaran radikal" dari buku pelajaran agama Islam? Begitu juga dengan omongan Menteri Fachrul Rozi soal celana cadar dan celana cingkrang. Rencana pendaftaran majelis ta'lim, serta hafidz dan mahir bahasa arab sebagai pintu radikalisme. Sehingga diduga sampai akhir jabatan Menteri Agama hanya akan berkhidmah pada "radikalisme". Dengan bekal ilmu agama Pak Menteri Fachrul sangat yang sangat minim, pas-pasan, atau nyaris kosong, tetapi berani dan bangga bicara tentang radikalisme. Hanya dengan berbekal modal dasar sebagai Menteri Agama, ngomongnya seperti orang sudah menjadi mufassir dan muhaddits. Padahal semakin banyak ngomong, Menteri Agama semakin menelajangi diri sendiri soal pengetahuan agamanya. Menteri diangkat dan diberhentikan Presiden. Oleh karenanya menteri dalam sistem ketata negaraan yang berlaku disebut menjadi pembantu Presiden. Menteri bertanggungjawab kepada Presiden, dan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan. Satu, sebagian atau seluruhnya. Reshuffle adalah kewenangan ketatanegaraan Presiden. Makanya menteri itu menjadi "wajahnya" Presiden pada tataran pelaksanaan. Ketika Menteri Agama gonjang-ganjing dengan kebijakan kontroversi, mulai celana cingkrang hingga "otak cingkrang" bahwa hafidz atau penguasaan bahasa arab menjadi pintu radikalisme, semestinya Presiden bersuara atau bersikap. Presiden seharusnya mengoreksi, meluruskan atau mungkin menegur setiap perbuatan yang menyakiti perasaan rakyatnya. Khususnya rakyat yang beragama Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Lebih tegas lagi Presiden harus menggantikannya dengan pejabat yang lain. Diganti dengan pejabat yang tidak punya hobby memproduksi kegaduhan di tenagh menguatnya dua jenis tekanan kepada masyarakat. Pertama adalah tekanan pandemi covid-19, dan kedua adalah tekanan ekonomi yang semakin meberatkan. Jika Presiden diam saja maka rakyat berhak memberikan penilaian kepada Presiden. Pertama, Presiden tidak mengerti apa yang dinyatakan oleh sang Menterinya. Ini artinya kualitas Presiden berada di bawah menteri. Kecuali Presiden bersikap lain. Misalnya, dengan mengoreksi, meluruskan atau menegur menterinya. Kedua, Presiden mengerti tetapi tak bisa mengendalikan menterinya. Maka nyatalah bahwa menteri tersebut jalan sendiri. Menteri tak lagi menjadi pembantu Presiden. Apa saja yang mau diomongin suka-suka hati pada menterinya. Tidak lagi perduli dengan apa kata Presiden. Ketiga, kebijakan menteri adalah suara dan isi hati dari Presiden. Maka tuntutan agar menteri diganti sama saja dengan meminta Presiden yang diganti. Salah sebesar apapun yang dilakukan oleh menteri, presiden bakal diam saja. Bahkan bisa saja disuruh oleh Presiden secara diam-diam. Hampir semua Menteri Jokowi tidak ada yang berprestasi. Pilihannya hanya dua, yaitu diam atau berprilaku aneh-aneh dengan membuat pernyataan yang kontroversi. Jika di era parlementer, semestinya kondisi ini menyebabkan bubarnya Kabinet. Mungkin untuk yang kelima kali. Presiden yang hanya bisa diam saja disaat menterinya salah, menggambarkan dan mengkonfirmasi kepada masyarakat bahwa Pemerintahan sudah kehilangan wibawa. Kepercayaan kepada pemerintah sudah runtuh. Pemerintah mendeklarasi dirinya tentang ketidakmampuan mengelola pemerintahan. Lalu apa yang bisa diharapkan oleh rakyat lagi? Pilihan konstitusional hanya dua, yaitu mundur atau dimundurkan. UUD 1945 mengatur cara melakukan penyegaran dalam pemerintahan, demi kebaikan besama dalam berbangsa dan bernegara. Bukan mengada-ada. Apalagi makar atau kudeta. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Berlakukan PSBB Lagi, Anies Diserang Buzzer
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Baru-baru ini, presiden menyatakan "bahwa fokus utama pemerintah adalah kesehatan". Sepertinya, pernyataan presiden ini sebagai respon atas makin meluasnya penyebaran covid-19. Perhari di atas 3.000 orang terinveksi virus corona. Presiden siuman, kata epidemiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo. Boleh jadi betul. Yang pasti, selama ini langkah pemerintah dalam menangani pandemi covid-19 zig zag. Sporadis dan tak terukur. Bahkan bisa dibilang suka-suka hati. Semula pemerintah nggak yakin covid-19 masuk ke Indonesia. Sangat meremehkan. Macam-macam guyonanya. Ternyata salah prediksi. Ini fatal sekali. Urusan nyawa rakyat diibuat jadi main-main. Setelah covid-19 masuk, pemerintah pusat panik dan gagap. Yang muncul berikutnya justru kegaduhan akibat ulah pasukan buzzer. Buzzer komersial yang makan anggaran Rp 90,45 miliar. Setelah beberapa bulan, pemerintah menemukan solusi, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini memang ide jitu. Meski semula terlihat malu-malu. Karena secara substansi, usulan ini jauh-jauh hari sudah diajukan gubernur DKI. Tetapi malah ditolak. Katrok kan? Seandainya karantina wilayah diterapkan dari awal di Jakarta seperti usulan Anies, pemerintah cukup kasih makan 3,6 juta Kepala Keuarga (KK). Dua pekan sekali habis anggaran Rp 900 miliar. Sebulan Rp 1,8 triliun . Genapkan jadi Rp 2 triliun. Karantina enam bulan, cukup anggarkan Rp 12 triliun. Mungkin corona nggak nyebar kemana-kemana. Inilah yang diterapkan di Wuhan. Juga di beberapa negara. Nasi sudah jadi bubur. Kalau sukses tangani covid-19 dari awal, mungkin Perppu dan UU Corona nggak lahir. UU Mineral dan Batubara (Minerba) juga belum tentu diketuk palu. RUU Omnibus Law bisa mangkrak. RUU HIP boleh jadi akan layu sebelum diusulkan. Sejak PSBB dilaksanakan, penyebaran covid-19 mulai terkendali. Sayangnya, hanya beberapa saat saja. Ambyar setelah pemerintah mewacanakan New Normal. Rupa-rupanya, pemerintah setengah hati juga dalam memberlakukan PSPB. Sejak muncul wacana New Normal, masyarakat hilang kedisiplinan. Aturan PSBB tidak lagi efektif. Disana sini terjadi pelanggaran. Eforia berkerumun muncul kembali. Akibatnya, penyebaran covid-19 semakin meluas. Bahkan lebih gila dari awal pandemi masuk ke Indonesia. Lalu, presiden bilang kepada para menteri di sidang kabinet “kesehatan harus diutamakan”. Apakah pernyataan presiden ini murni karena keprihatinan terhadap mengganasnya penyebaran covid-19? Sebab, prioritas dan fokus pemerintah selama ini masih pada ekonomi. Pemerintah cenderung meremehkan angka kematian. Kok mendadak banting setir. Bicara kesehatan di saat dampak ekonomi betul-betul nyata dan mulai dirasakan oleh rakyat. Saat Indonesia dihajar resesi ekonomi. Dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus, dan kehidupan rakyat makin susah. Mendadak fokus ke kesehatan. Halllooo... selama ini kemana? Wajar jika kemudian ada yang menduga pernyataan presiden hanya pengalihan isu. Dari isu ekonomi yang sudah mencapai "ngeri-ngeri sedap" ke isu kesehatan. Seolah ada kesan pemerintah pusat sayang terhadap nyawa rakyatnya. Yang bener aja boosss? Situasi menggilanya penyebaran covid-19 mau tidak mau juga harus dihadapi oleh para kepala daerah. Terutama Jakarta. Mobilitas sosial akibat tuntutan ekonomi di Ibu kota tak terkendali. Kerja keras para kepala daerah, termasuk gubernur DKI untuk menerapkan transisi PSBB, tak lagi mampu menghadang eforia New Normal yang digaungkan sendiri oleh Presiden Jokowi. Data di Ibu Kota, tentu juga sejumlah daerah lain, menyebutkan bahwa penyebaran covid-19 menghawatirkan. Kekhawatiran ini mendorong Anies, gubernur ibu kota Jakarta, mengambil sikap tegas. Anies memberlakukan kembali PSBB secara ketat. Anies meyakinkan publik bahwa kebijakannya ini berbasis pada data dan kajian. Anies konsisten pada prinsip yang selama ini dipegang. Yaitu, mengutamakan keselamatan nyawa dan kesehatan rakyat di atas segalanya, termasuk ekonomi. Kebijakan ini tentu nggak populer. Sebab, hadir di saat rakyat sudah merasa merdeka dari covid-19. Akibat kebijakan yang nggak populer, Anies harus siap hadapi kritik. Ini sudah risiko jabatan. Buat lawan politik dan para buzzer, isu ini cukup menggairahkan. Mereka seolah dapat lahan kering untuk bakar kegaduhan. Begitulah yang selama ini terjadi. Sebuah konsekuensi demokrasi di era digital. Menko perekonomian, Airlangga Hartarto teriak. Anies dianggap menjadi penyebab IHSG anjlok. Bahkan ada yang bilang bahwa keputusan Anies menerapkan PSBB membuat 59 negara mengeluarkan travel warning. Yang lebih gila lagi, ada yang minta Anies dibebastugaskan. Ngeri bro! Hebat sekali Gubernur Anies ini. Selain menteri yang selalu menjadi oposisi, kebijakan Anies mendapat respon dari 68 negara, yang membuat kebijakan lockdown terhadap Indonesia. Ini artinya, masyarakat internasional lebih percaya pada data Anies tentang Indonesia, dari pada data dari pihak yang lain. Disinilah pentingnya kejujuran bila menyangkut data. Sebab, akurasi data menjadi bagian penting dari kredibilitas sebuah bangsa ketika bicara di hadapan dunia internasional. Untuk sebuah kejujuran, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan tidak populer. Meski punya risiko politik. Itulah yang dulu dilakukan Habibi dan Gus Dur. Hanya orang yang pintar, jujur, tegas dan berani ambil risiko yang layak menjadi seorang pemimpin. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Khurafat Filsafat (Bagian-2)
by Irawan Santoso Shiddiq Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Manusia menjadi sentral. Manusia menjadi objek yang mengamati. Bukan lagi objek yang diamati. Manusia pun mendefeniskkan Tuhan. Menteorikan segala sesuatunya. Termasuk alam. Itu yang disebut dengan saintifik. Maka yang mencuat adalah kebenaran ala metafisika. Era itu yang kemudian memunculkan modernisme. Era modern, eranya filsafat. Segala sesuatunya harus melewati rasio manusia. Immanuel Kant makin membuat akrobat. Kant meluncurkan teori empirisme. Hasil penyelidikan akal sekalipun, kata Kant, tak bisa diterima sebelum terbukti secara empiris. Maka, cara berpikir manusia pun makin terjerambab. Tapi manusia, sekali lagi, seolah-olah menjadi objek. Hingga Voltaire pun menelorkan kesombongannya, “Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan adalah diktator, karenanya tak wajib dipatuhi.” Mindset inilah yang mengundang Eropa tak lagi mematuhi “Vox Rei Vox Dei” tadi. Mereka melakukan perlawanan. Dogma seolah menjadi musuh bersama. Puncaknya berlangsung Revolusi Perancis, 1789. Ini anti klimaks dari kejadian “Masacre de Paris” abad 16 lalu. Jika dulu, kaum Huguenot yang dibantai. Revolusi Perancis berbalik. Huguenot yang membantai pengikuti Gereja Roma. Raja Louis XVI digantung didepan Bastille. Gereja Roma disingkirkan. Alhasil muncul-lah teori baru soal kekuasaan. Merujuk dari teorinya Rosseau, le contract sociale. Hukum lahir berlandaskan kesepakatan manusia. Kontrak bersama. Hukum bukan lahir dari pemaksaan Tuhan. Maka, sejak revolusi Perancis, manusia seolah berhak membuat hukum sendiri. Lahirlah konstitusi yang disebut “modern state”. Tentu merujuk pada filsafat. Bahwa seolah, manusia menjadi sentral. Dengan “akal bawaan”, manusia wajib melakukan penilaian “akal bawaan” seolah menjadi sentral “kebenaran”. Makanya memunculkan rasionalitas, sebagai ajang “pembenaran”. Masa rennaisance, aqli masih disejajarkan dengan naqli. Tapi modernitas, naqli dieliminasi. Filsafat tak lagi mengakui kebenaran ala naqli. Inilah ajaran Dercartes sampai Kant. Yang kemudian diikuti Bohr, Newton sampai Marx. Maka disitulah era “segala sesuatunya adalah materi” menjadi dogma baru. Filsafat berubah menjadi “dogma” yang wajib dipatuhi dan harus diakui. Masa mu’tazilah dulu, filsafat melahirkan dogma bahwa Al Quran adalah makhluk. Sesiapa yang tak mempercayainya, maka dihukum. Maka para Khalifah, yang terjerumus mutazilah pun melaksanakan hukuman. Modernitas melahirkan “dogma” teknikal state. Ini wajib dipatuhi. Sesiapa yang menentang, dianggap ekstrimis. Jadi ini menjadi karakteristik filsafat. Pemaksaan. Filsafat bukanlah ajang berpikir. Melainkan ajang pemaksaan kehendak. Karena filsafat memaksa, bahwa kehendak seolah berada di tangan manusia. Ini yang dulu digambarkan Imam Al Ghazali, ketika menyerang filsafat-nya kaum mu’tazilah. Imam Ghazali mengatakan, qudrah dan iradah itulah berada di area Tuhan. Bukan manusia. Sementara filsafat, dengan “akal bawaan” atau “ide bawaan”, manusia seolah yang memiliki daya dan kehendak. Disinilah, yang menurut Imam Ghazali, kesesatan dari filsafat dan filosof itu. Filsafat meyakini bahwa segala sesuatunya memiliki permulaan. Itu yang disebut teori kausalitas. Sebab akibat. Imam Ghazali memberi contoh, ketika air bertemu api, maka menjadi panas. Filsafat yang “berpikir”, bahwa yang memanaskan air menjadi uap itu adalah api. Sehingga seolah daya dan kehendak itu berada di tangan manusia. Yang memantik api dan memanaskan air. Hingga uap pun terjadi. Padahal bukan. Air, api, uap, itu merupakan ciptaan Allah Subhanahuwataala. Ghazali menggambarkan, Allah Subhanahuwataala menciptakan air, api, dan uap, berikut dengan sifat-sifatnya. Bukan sekedar materinya belaka. Sifat air, tentu mengalir dan jika bertemu dengan sifat api yang panas, akan memunculkan uap. Ini bagian dari ‘kehendak dan daya-Nya Allah Subhanahuwataala. Manusia hanya menjalankan semata. Bukan “menemukan” kehendak dan daya itu. Jadi, panasnya air karena api itu, bukan disebabkan oleh api yang membakar. Melainkan sifat air dan sifat api yang saling bertemu. Dan semua benda, Allah Subhanahuwataala yang menciptakan berikut dengan sifat-sifatnya. Dan itu tak dipisahkan dari benda tersebut. Jadi keliru jika manusia “dengan akalnya” seolah yang berhasil menciptakan air yang panas. Disebabkan oleh api yang membakar. Padahal kehendak dan daya itu tetap berada pada Qudrah dan Iradah-Nya Allah Subahanhuwataala. Dan Allah Subhanahuwataala bisa dengan mudah mengubah sifat api. Tak selamanya api panas. Ketika Ibrahim Allaihisalam dibakar, Allah memerintahkan Malaikat untuk mengubah sifat api. Alhasil api menjadi dingin. Jadi yang menjaga pengaturan alam semesta ini, tentu Malaikat yang bertugas atas perintah Allah Subhanahuwataala. Nah, “cogito ergo sum” seolah mengajarkan bahwa manusia harus memikirkan segala sesuatu dalam rasionya, baru bisa dianggap sebagai “kebenaran.” Inilah yang disebut Martin Heidegger sebagai kekeliruan. “Sains tidak berpikir,” katanya dalam “Being and Time”. Modernisme bikin manusia terjerambak pada sistem. Dengan rasionalitas tadi, seolah alam merupakan sebuah sistem. Ini yang ditampik Goethe. Dan Nietszche pun menampik Socrates. “Bagaimana mungkin bahagia itu bersumber dari berpikir,” katanya. Karena memang filosof memaksa, bahwa sumber “bahagia” bagi diri manusia, adalah memenuhi fakultas akal. Fakultas rasio. Disinilah problematikanya. Modernitas membuat manusia terjebak pada “teknikal state”, yang muncul dari saintisme kekuasaan. Manusia terjerambab pada konstitusionalisme, yang seolah menjadi panduan. Itulah modernis Islam. Yang meletakkan Al Quran sebagai konstitusi. Sebuah kegilaan tersendiri. Modernitas melahirkan manusia seolah bisa mencipta dan membuat. Graham Bell seolah sebagai “pencipta” telepon. Makanya dia layak diberi materi. James Watt dianggap “pencipta” mesin uap. Dari sinilah muncul copy right. Manusia pun terjerambab pada halusinasi qudrah dan iradah yang seolah berasal dari manusia. Bukan Tuhan. Alhasil yang muncul adalah peradaban “teknikal state”. Ini yang disebut Ernst Junger sebagai “gestalt”. Manusia berubah menjadi buruh bagi yang lainnya. Karena “pencipta” terdahulu berubah menjadi majikan. Mereka-lah pemegang copy right. Yang seolah tak boleh digeser. Inilah dogma baru yang menyesatkan. Dan puncak dari pemegang copy right teratas, itulah para bankir. Mereka mencap seolah sebagai pemegang tunggal pencetak uang. Uang kertas. Selain mereka para bankir, tidak diijinkan mencetak uang, alat tukar bagi manusia di seluruh dunia. Bahkan, Presiden suatu negara, tidak diperkenankan mencetak uangnya sendiri. Inilah sihir rasionalitas. Yang membuat manusia terjerambab pada penjara khurafat. Karena filsafat membuat manusia seolah tak lagi percaya pada fitrah. Suatu aturan yang datang dari Allah Subhanahuwataala. Filsafat mengubah manusia menjadi khurafat. “Filsafat tak bisa menemukan kebenaran,” kata Heidegger. “Ma’rifatullah itulah berpikir,” ujar Shaykh Umar Vadillo, ulama Spanyol. Disinilah kita menemukan sumber kebahagiaan sejati. Plato mengajarkan, tiga unsur dalam manusia itu akal (kepala), kehendak (dada) dan nafsu (perut). Akal itulah puncak yang mengatur. Dari situlah filsafat. Kehendak lahir dari buah pikiran akal. Itulah teori filosof illahiyyun. Shaykh Abdalqadir as sufi menggambarkan, modernitas ini telah melahirkan peradaban yang menghilangkan rasionalitas. Tak bernilainya segala sesuatu yang penting, telah mendominasi pemikiran, pengajaran dan perilaku.” Ini menggambarkan bahwa modernitas tak lagi melahirkan “kebenaran” ala akal sekalipun. Kehendak, bukan lagi datang dari akal, seperti gambaran Plato. Post modernitas, melahirkan “kehendak” yang disetir oleh nafsu. Nafsu manusia berada pada puncak. Bukan lagi akal sebagai puncak. Alhasil melahirkan perabadan syahwati. Dalam bidang hukum, Lawrence Freidmann menggambarkan, hukum masa abad 20 ke atas, tidak lagi dibuat oleh para pemikir hukum, agamawan dan lainnya. Hukum abad 20 dibuat oleh praktisi hukum. Inilah hukum demi kepentingan syahwati. Hukum yang melahirkan kepentingan nafsu belaka. Alhasil tak lagi tercipta “kebenaran materil”. Pengadilan ala rechstaat, yang teorinya merupakan wadah untuk mencari kebenaran materil, kini tak lagi terjadi. Karena pencari keadilan memiliki target baru, “mencari kemenangan materil”. Bukan lagi kebenaran materil.’ Inilah buah dari khurafatnya filsafat. Karena memang Imam Ghazali telah mengingatkan, “sesungguhnya akal tak dijamin dari kesalahan. Maka tak dibenarkan mengambil hakekat ajaran agama darinya.” Inilah yang dijawab Nietszche, “Filsafat itulah berhala.” Jalan tassawuf itulah jawaban atas kesesatan filsafat. Tubuh manusia bukan terdiri dari akal, kehendak dan nafsu. Melainkan dari qalbu, akal dan nafsu. Qalbu itulah sebagai raja. Kepala pengendali atas tubuh. Dan qalbu ini akan tersingkap dengan ma’rifatullah. Pemahaman tentang Allah Subhanahuwataala dengan benar. Inilah jalan tassawuf. Disitulah akan tersingkap syariat (jalan besar) dan tariqah (jalan kecil). Inilah jalur menuju kebenaran. Kebahagiaan, kata Imam Ghazali adalah dengan memenuhi asupan pada fakultas qalbu. Bukan fakultas nafsu. Metode itu tersimpan rapi dalam pengajaran tassawuf. Dari guru-guru yang memiliki sanad sahih, sebagaimana turun temurun dari pengajaran Rasulullah Shallahuallaihiwassalam. Inilah jalan selamat dari gerusan “teknikal state” yang melahirkan “gestalt” seperti kata Junger tadi. (habis). Penulis adalah Wartawan Senior dan Direktur Eksekutif Mahkamah Institute.
Menuntut Ganti Rugi BBM Mahal Rp 24 Triliun
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Jum'at (11/09). Tak lama setelah dilantik, Presiden Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Ecerean BBM pada 31 Desember 2014. Perpres Nomor 191/2014 direvisi dengan Perpres Nomor 43/2018 guna menambah wilayah penjualan BBM penugasan (Premium). dan kebijakan tentang penerimaan badan usaha setelah audit BPK. Harga eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) berubah. Terutama sesuai fluktuasi harga minyak dunia dan nilai tukar dollar terhadap rupiah. Perpres Nomor 191/2014 menjadi rujukan Kementrian ESDM menetapkan formula harga eceran BBM secara rutin (bulanan) berbentuk Peraturan Menteri (Permen) dan Keputusan Menteru (Kepmen). Permen ESDM yang pernah terbit meliputi Nomor 39/2014, No.4/2015, Nomor 39/2015, Nomor 27/2016, Nomor 21/2018, Nomor 34/2018 dan Nomor 40/2018, Nomor 19K/2019, Nomor 62K/2019, Nomor 187/2019, Nomor 62K/2020 serta Nomor 83K/2020. Implementasi peraturan di atas tercermin pada harga BBM domestik yang berubah-ubah sesuai fluktuasi harga minyak dunia. Misalnya, harga BBM RON-92 (Pertamax) per liter pada Mei 2015 adalah Rp 9.600, turun menjadi Rp 7.550 pada April 2016. Kemudian naik ke Rp 8.400 pada Desember 2017. Naik lagi Rp 9.150 pada Februari 2018 dan Rp 9.850 pada Desember 2019. Setelah itu turun ke Rp 9.200 pada januari 2020 dan Rp 9.000 pada Februari 2020. Harga minyak dunia yang dinamis membuat harga eceran Pertamax pernah lebih rendah dari Rp 8.000 atau lebih mahal dari Rp 9.000 per liter. Artinya, sesuai peraturan yang ada, rakyat harus membeli BBM lebih mahal dari Rp 9.000 per liter saat harga minyak dunia naik. Begitu juga pernah menikmati harga murah lebih rendah dari Rp 8.000 per liter saat harga minyak dunia turun. Ternyata, pada saat harga minyak dunia turun signifikan menjadi sekitar U$ 32 per barel pada Maret 2020 atau sekitar U$ 21 per barel pada April 2020, harga BBM di dalam negeri tidak turun. Kondisi normal harga BBM yang berlangsung empat tahun terakhir, tidak lagi dijalankan. Padahal aturan rujukan masih berlaku efektif. Menteri ESDM Arifin Tasrif beralasan, harga minyak masih belum stabil dan harga BBM Indonesia sudah cukup murah. Sedangkan Dirut Pertamina Nicke Widyawati, mengatakan harga BBM tidak turun karena biaya crude domestik lebih mahal dibanding impor. Pertamina harus menyerap 100% produksi domestik, menjaga bisnis migas kondusif, mencegah PHK, menjaga operasi kilang, dan mengkompensasi penurunan konsusmsi BBM akibat Covid-19. Apapun pun alasannya, kita tetap tidak dapat menerima jika harga BBM tidak turun. Mengapa? Karena peraturan dan formula harga eceran BBM masih berlaku. Selama ini rakyat rela membayar harga BBM lebih mahal sesuai aturan. Dengan aturan yang sama, wajar rakyat menuntut harga BBM harus diturunkan saat harga minyak turun. Seperti yang terjadi saat harga Pertamax per liter hanya Rp 7.550 pada April 2016 atau Rp 8.400 pada Desember 2017. Rakyat wajar menuntut harga BBM segera turun. Rakyat juga menuntut ganti rugi kemahalan harga BBM. Rakyat menolak kebijakan semau gue dengan melanggar peraturan yang diterbitkan sendiri oleh pemerintah. Jika pemerintah menghalangi rakyat menikmati harga BBM lebih murah, sementara aturan rujukan masih berlaku, maka dapat dinyatakan pemerintah telah bertindak “semau gue”. Pemerintah melawan hukum dan menzolimi rakyat di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi covid-19. Sesuai Kepmen ESDM Nomor 62K/2020, formula harga bensin di bawah RON 95, Bensin RON 98, dan Minyak Solar CN 51 adalah MOPS atau Argus + Rp 1800 per liter + margin 10% dari harga dasar. Sebagai contoh, dengan formula di atas, sesuai MOPS rata-rata 25 Februari sampai dengan 24 Maret 2020 dan kurs U$ 15.300, maka diperoleh harga BBM yang berlaku 1 April 2020 jenis Pertamax RON 92 sekitar Rp 5.500 per liter dan Pertalite RON 90 sekitar Rp 5.250 per liter. Ternyata harga resmi BBM di SPBU masing-masing adalah Rp 9.000 dan Rp 7.650. Dengan demikian, jika dibanding harga sesuai formula, maka konsumen BBM Pertamax membayar lebih mahal Rp 2.000 sampai Rp 3.500 per liter. Hal sama juga terjadi untuk BBM tertentu (Solar) dan Khusus Penugasan (Premium). Namun dengan nilai kemahalan sekitar Rp 1.250-1.500 per liter. Untuk semua jenis BBM rerata nilai kemahalan diasumsikan Rp 2.000 per liter. Harga rerata minyak dunia bulan Februari, Maret, April, Mei, dan Juni 2020 masing-masing adalah sekitar U$ 55, U$ 32, U$ 21, U$ 29, dan U$ 39 per barel. Sedangkan nilai tukar merata U$ terhadap rupiah untuk periode yang sama adalah Februari Rp 14.340, Maret dan April Rp 16.300, Mei Rp 14.800, dan Juni Rp 14.600 per dollar. Berdasarkan asumsi-asumsi harga minyak dunia dan nilai tukar di atas, serta merujuk nilai kemahalan atau kelebihan bayar April 2020 sebesar Rp 2.000 per liter, IRESS memperkirakan kelebihan bayar konsumen BBM per liter untuk periode Maret-Juni 2020 adalah Maret Rp sekitar 1.000, April Rp 2.000, Mei Rp 2.600, dan Juni Rp 1.600. Rata-rata konsumsi BBM per hari diasumsikan Maret 120 ribu kiloliter, April 100 ribu kiloliter, Mei 111 ribu kiloliter, dan Juni113 ribu kiloliter. Maka diperoleh perkiraan kelebihan bayar konsumen untuk semester satu 2020 Maret Rp 3,3 triliun, April Rp 6,4 triliun, Mei Rp 8,9 triliun dan Juni Rp 5,5 triliun. Sehingga total kelebihan bayar konsumen semester satu 2020 sekitar Rp 24,1 triliun. Kelebihan bayar konsumen BBM Rp 24,1 triliun di atas adalah subsidi yang dipaksakan oleh pemerintah untuk dibayar oleh rakyat. Padahal saat ini rakyat hidup susah akibat Covid-19. Rakyat justru lebih butuh subsidi negara dibanding mensubsidi perusahaan negara. Merujuk artikel IRESS 2 September 2020, pemerintah telah membebani Pertamina dengan kebijakan inkonstitusional dan melanggar aturan berupa 1) Signature Bonus Blok Rokan Rp 11,3 triliun, 2) Harga Crude Domestic yang dimark-up Rp 9,25 triliun, dan 3) beban bunga bond akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp 3 tiriliun. Total beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun. Kebijakan di atas dapat dianggap kejahatan konstitusional bernuansa moral hazard yang secara tidak langsung merugikan rakyat Rp 23.55 triliun. Dampak langsung kebijakan inskosntitusional tersebut adalah rakyat gagal menikmati harga BBM mura. Karena harus mensubsidi Pertamina Rp 24,1 triliun melalui harga BBM yang tidak turun pada semester satu 2020. Karena itu wajar jika rakyat menggugat pemerintah demi tegaknya hukum dan keadilan. Gugatan di atas telah diwujudkan Koalisi Masyarakat Penggugat Harga Bahan Bakar Minyak (KOMPHAK) melalui Surat Somasi kepada Presiden Jokowi. Surat Somasi diterima Setneg sesuai bukti penerimaan No.20MM-YFRC5S 9 Juni 2020. Para anggota KOMPHAK adalah Dr. Marwan Batubara, Prof. Dr. Mukhtasor M.Eng., Dr. A. Yani SH, MH, Agung Mozin MSi, Drs. M.H. Taliwang MI.Kom., Dr. Taufan Maulamin, Djoko E. Abdurrahman, Agus M. Maksum SSi, Narliswandi, Bisman Bachtiar SH, MH, Muslim Arbi, A. Syebubakar, M.R. Kamidin, dan Darmayanto. Sampai batas waktu Somasi berkahir, Presiden tidak memberi tanggapan. Karena itu, melalui Tim Advokat, KOMPHAK mengajukan Gugatan Citizen Law Suit (CLS) kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Juli 2020, dengan Nomor Perkara 405/Pdt.G/2020. Tim Advokat KOMPHAK adalah Wirawan Adnan, SH, MH, Dr. M. Luthfie Hakim, SH, MH, M. Mahendradatta, SH, MA, MH, A. Michdan, SH, Munarman, SH, Djudju Purwantoro SH, A. Leksono, SH, Ichwan Tony, SH., C.I.L, dan Yushernita, SH. Melalui Gugatan CLS, IRESS bersama KOMPHAK menuntut agar harga BBM segera diturunkan sesuai aturan dan formula yang berlaku. Kami juga menuntut agar subsidi paksa Rp 24,1 triliun berupa kelebihan bayar harga BBM yang telah dikeluarkan para konsumen BBM Pada semester satu 2020, segera dikembalikan untuk dapat dibagikan kepada rakyat miskin korban pandemi Covid-19. IRESS mengajak rakyat yang peduli hukum, kebenaran dan keadilan untuk mendukung dan mengadvokasi gugatan supaya berhasil, dan dikabulkannya tuntutan tersebut. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).
Positif Corona, Bacalon Pilkada Sidoarjo Bakal Berubah?
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Kamis (10/09). Mantan Ketua Panwaslu (Bawaslu) Kota Surabaya Machmud Suhermono mengungkap, dalam dua-tiga hari ini kabar adanya 37 bakal calon (bacalon) kepala daerah, sungguh menyentak kesadaran kita, tentang bagaimana mereka memandang pandemi Virus Corona (Covid-19). “Baik bacalon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota,” ungkap Machmud Suhermono. Sebagai calon pemimpin, seharusnya mereka berada di garda terdepan, untuk memberikan pemahaman, virus ini sangat berbahaya dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Mereka menjadi contoh, bagaimana seharusnya bersikap, ketika seseorang dinyatakan positif. Pertanyaan besarnya, mengapa ke-37 bacalon itu masih datang ke KPU untuk melakukan pendaftaran? Bahkan, sebagian besar parpol maupun bapaslon dari jalur perseorangan juga mengerahkan massa besar-besaran, yang sangat berpotensi melanggar protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, memakai masker dan menggunakan hand sanitizer sesering mungkin. Padahal ke-37 bacalon tersebut sudah mengetahui bahwa hasil tes swabnya positif, sebelum berangkat ramai-ramai ke KPU. Sebab, sebelum mendaftar, bacalon wajib melampirkan hasil tes swab. Mereka juga telah mengetahui jika akan kontak dengan banyak orang, mulai dari tim sukses, partai pengusung, partai pendukung, tim hore, simpatisan dan masyarakat yang kebetulan berada di jalan yang dilalui. Serta, tentunya penyelenggara baik pegawai dan komisioner KPU maupun Bawaslu, kawan-kawan media yang meliput, tim keamanan dari Kepolisian dan TNI. Mereka juga sadar bahwa kalau kontak dengan orang lain, otomatis statusnya menjadi carier. Ratusan atau bahkan ribuan orang rawan tertular, ini akibat sikap Bacalon yang sembrono tersebut. Peraturan KPU Nomer 6 Tahun 2020, Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Walikota Serentak Lanjutan telah disebutkan ketentuannya. Dalam Kondisi Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), tegas disebutkan, bahwa setiap pelaksanaan Tahapan Pilkada tersebut harus melaksanakan protokol kesehatan Pencegahan Covid-19. Artinya, meskipun ke-37 Bacalon tidak hadir ketika pendaftaran, status pencalonan tetap Sah, sepanjang syarat dan persyaratan lainnya memenuhi syarat (MS). Lalu pertanyaannya adalah mengapa mereka memaksa hadir? Padahal bila mereka mengaku sejak awal, dirinya positif Covid-19, kemudian menggelar jumpa pers, dan menyatakan tidak akan hadir di KPU, dengan alasan menjaga keselamatan rakyat, justru akan memunculkan simpati masyarakat. Popularitasnya berpotensi naik. Statement tersebut yang akan diingat rakyat hingga pencoblosan 9 Desember 2020 nanti. Tentunya rakyat berharap, dalam tahapan berikutnya, baik saat penetapan paslon, penentuan nomor urut dan tentunya kampanye, dibutuhkan kejujuran dari paslon, untuk memberi tahu status kesehatannya, terutama terkait dengan Covid-19. Petugas penyelenggara dan pengawas, KPU dan Bawaslu diharapkan lebih ketat dan tegas menerapkan protokol kesehatan. Keselamatan rakyat adalah yang utama. Bila semua itu sudah dilakukan, Insya Allah Pilkada lanjutan tidak akan tertunda lagi. Dan sekarang, kita tunggu bersama, siapa sebenarnya 37 bacalon yang positif tersebut. Kita berharap mereka mengaku sendiri dan menyatakan ke publik. Sebab, kabarnya di Jawa Timur juga ada yang terpapar Covid-19. Paslon Corona Ketua KPU Sidoarjo Mukhamad Iskak mengakatan, hasil pemeriksaan kesehatan terhadap seluruh pasangan Bacalon kepala daerah Sidoarjo, di RSUD dr Soetomo Surabaya pada Senin malam (7/9/2020) sudah keluar. Dari tiga pasangan bacalon yang turut pemeriksaan kesehatan diantaranya swab, satu bacalon wakil bupati dinyatakan positif covid-19. Sayangnya Iskak tidak mengungkap siapa bacalon wakil bupati tersebut. “Hasil swab yang dikeluarkan pihak dr. Soetomo, memang satu Cawabup dinyatakan positif covid-19,” ujar Iskak tanpa menyebut siapa nama Bacawabup itu, Selasa (8/9/2020). Menurut Iskak, karena sudah dinyatakan positif, maka baik bacawabup maupun cabupnya harus mengisolasi diri selama 14 hari. Meski hari itu masih tahapan pemeriksaan kesehatan, “Namun tetap satu paslon ini tidak boleh ikut pemeriksaan kesehatan tahap 2,” tegas Iskak. Dari informasi yang beredar, bacalon yang dinyatakan positif Covid-19 ini, mendaftarkan diri pada Jum’at (4/9/2020). Bahkan, saat mendaftar hari Jum’at itu, hasil swab dengan amplop tersegel itu juga sudah berisi hasil positif. “Kita sama-sama tidak tahu, karena hasil swab diberikan bersamaan dengan berkas lain dan amplop tertutup,” ujar Iskak lagi. Jika merunut ke belakang, sangat mudah diketaui siapa bacalon yang terpapar Covid-19 itu. Bacalon pertama yang mendaftar adalah Bambang Haryo Soekartono-Taufiqulbar. Paslon ini diusung 7 partai politik, yakni Gerindra, PKS, Golkar, PPP, dan Demokrat dengan jumlah 18 kursi di DPRD Sidoarjo. Bacalon kedua yang mendaftar adalah Kelana Aprilianto-Dwi Astutik. Mereka diusung oleh PDIP dan PAN dengan jumlah 14 kursi. Selain itu, Kelana-Dwi juga didukung oleh 7 Parpol nonparlemen, yakni Hanura, Berkarya, Perindo, PSI, PBB, Gelora Indonesia, dan PKPI. Kedua pasangan bacalon tersebut mendaftar pada Jum’at (4/9/2020). Ahmad Muhdlor Ali-Subandi sebagai pasangan bacalon Bupati-Wakil Bupati Sidoarjo. Gus Muhdlor-Subandi adalah pasangan yang terakhir mendaftar di KPU Sidoarjo, Minggu (6/9/2020). Melansir Detik.com, Minggu (06 Sep 2020 21:55 WIB), Ketua KPU Sidoarjo Mukhamad Iskak, mengatakan bahwa sampai di hari terakhir masa pendaftaran, sudah ada tiga paslon yang secara resmi sudah mendaftarkan diri ke KPU. “Sampai saat ini sudah tiga paslon yang secara resmi mendaftarkan ke KPU Sidoarjo. Yang terakhir ini paslon Ahmad Muhdlor Ali-Subandi dari PKB,” kata Iskak kepada wartawan di kantor KPU Jalan Raya Cengkareng Sidoarjo, Minggu (6/9/2020). Salah satu dari enam orang bacalon bupati dan wakil bupati yang akan berlaga pada Pilkada Sidoarjo 2020 dipastikan positif terinfeksi Covid-19 berdasarkan hasil swab yang dilakukan di RSUD dr. Soetomo Surabaya. Informasi tersebut disampaikan Ketua KPU Sidoarjo Mukhamad Iskak saat memberikan keterangan pers di kantornya, Selasa (08/09/2020). Ia menolak menyebutkan nama paslon yang dimaksudnya tadi namun menyebutkan beberapa clue. Di antaranya adalah, calon tersebut berposisi sebagai wakil bupati. Clue kedua, calon tersebut mendaftar pada Jumat (04/09/2020). Di mana pada hari itu ada dua paslon yang datang, yakni Bambang Haryo Sukartono -Taufiqulbar serta Kelana Aprilinto-Dwi Astutik. Dan yang terakhir, paslon yang mengidap virus corona itu dipastikan tidak akan mengikuti tes kesehatan yang dilakukan di RSUD dr. Soetomo Surabaya. “Yang bersangkutan kami minta istirahat dulu, isolasi mandiri selama 10-12 hari,” katanya lagi. Yang menarik, Iskak menyebutkan bahwa calon wakil bupati tersebut sudah terinfeksi virus mematikan tersebut pada saat datang bersama seluruh timnya untuk mendaftar berdasarkan hasil tes swab mandiri yang ia lakukan sebelumnya. “Jadi pada saat itu yang bersangkutan memang sudah terinfeksi. Namun ia mengaku belum tahu hal tersebut karena surat hasil uji lab itu datang belakangan, sehingga tidak sempat membacanya,” imbuh Iskak. Padahal saat itu kantor KPU Sidoarjo dipenuhi ratusan orang, baik dari unsur staf internal, aparat kepolisian dan Satpol PP, tim pemenangan parpol,wartawan dan unsur masyarakat lainnya yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Iskak sendiri berharap kejadian ini tidak membuat KPU Sidoarjo menjadi klaster baru dalam penularan virus corona di kota delta. Untuk itu ia berjanji akan segera berkoordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19 Sidoarjo. “Kalau memang perlu, kita siap koq di-swab, baik komisioner maupun semua staf sekretariat KPU,” pungkasnya. Yang jelas, Bacalon Bambang Haryo Sukartono-Taufiqulbar menjalani tes kesehatan di Surabaya pada Selasa, 8 September 2020. Jadi, siapa Bacawabup yang terpapar Covid-19 itu? “Bukan pasangan Masa Bambang,” tegas seorang Ustadz pendukung Bambang Haryo Sukartono-Taufiqulbar. Jika benar yang terpapar itu Dwi Astutik, bukan tidak mungkin, Dwi bakal digantikan kader parpol pengusung lainnya seperti Agus Prastowo dari PAN. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Rekam Jejak Bambang Haryo: Ternyata Sudah Berbuat untuk Sidoarjo!
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Kamis (10/09). Akhirnya pilihan PKB dalam Pilbup Sidoarjo 2020 jatuh pada Ahmad Muhdlor Ali-Subandi sebagai pasangan bakal calon Bupati-Wakil Bupati Sidoarjo. Gus Muhdlor-Subandi adalah pasangan yang terakhir mendaftar di KPUD Sidoarjo. Paslon pertama yang mendaftar adalah Bambang Haryo Soekartono-Taufiqulbar. Paslon ini diusung 7 partai politik, yakni Gerindra, PKS, Golkar, PPP, dan Demokrat dengan jumlah 18 kursi di DPRD Sidoarjo. Paslon kedua yang mendaftar adalah Kelana Aprilianto-Dwi Astutik. Mereka diusung oleh PDIP dan PAN dengan jumlah 14 kursi. Selain itu, Kelana-Dwi juga didukung oleh 7 Parpol nonparlemen, yakni Hanura, Berkarya, Perindo, PSI, PBB, Gelora Indonesia, dan PKPI. Melansir Detik.com, Minggu (06 Sep 2020 21:55 WIB), Ketua KPUD Sidoarjo Mukhamad Iskak, mengatakan bahwa sampai di hari terakhir masa pendaftaran, sudah ada tiga paslon yang secara resmi sudah mendaftarkan diri ke KPU. “Sampai saat ini sudah tiga paslon yang secara resmi mendaftarkan ke KPU Sidoarjo. Yang terakhir ini paslon Ahmad Muhdlor Ali-Subandi dari PKB,” kata Iskak kepada wartawan di kantor KPU Jalan Raya Cengkareng Sidoarjo, Minggu (6/9/2020). Ahmad Muhdlor Ali adalah putra KH Ali Masyhuri alias Gus Ali yang lahir di Sidoarjo pada 11 Februari 1991. Akademisi pendidikan Sidoarjo yang akrab dipanggil Gus Muhdlor itu kini menjabat Direktur Pendidikan Yayasan Bumi Shalawat Progresif (2012 – sekarang). Selain itu, ia menjabat sebagai Sekretaris GP Anshor Sidoarjo sejak tahun 2015 – sekarang. Dari jejak digital sulit ditemukan track record aktivitasnya. Bacabup Kelana Aprilianto agak berbeda. Jejak digital mudah ditemukan track record-nya. Kelana dikenal sebagai seorang pengusaha asal Pasuruan. Pria kelahiran April 1971 ini memang dikenal sebagai salah satu pebisnis sukses di Jatim. Melalui Koperasi Bangun Jaya, usahanya terus berkembang. Mengutip TimesIndonesia.co.id, Selasa (28 Januari 2020 - 16:29 | 164.83k), bisnisnya mulai dari transportasi (PO Bus Pandawa 87), bisnis properti, perhotelan, agribisnis, peternakan, perkebunan, dan ekspor-impor di bawah bendera PT Bangun Jaya Group. Ia ingin berkontribusi dalam mendorong roda perekonomian daerah, khususnya di kawasan Pasuruan. Usaha yang dikembangkannya menyerap banyak peluang lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Ada ribuan orang yang bekerja di bawah bendera perusahaannya. Mayoritas mereka berasal kaum pinggiran dan pengangguran. Kelana memang selalu tertarik pada bidang usaha yang berbasis ekonomi kerakyatan. Kini, Kelana berencana membangun sebuah peternakan modern dan memadukannya menjadi Wisata Edukasi. Lahan peternakan mulai disiapkan di Lebakrejo. Berbagai persiapan sudah dilakukannya, termasuk infrastruktur pendukung dan SDM dari masyarakat sekitar. Pengalamannya di Pasuruan itulah yang oleh Kelana bakal dikembangkan di Sidoarjo nanti jika terpilih menjadi Bupati Sidoarjo. Figur Dwi Astutik yang pengurus Muslimat NU Jawa Timur itu akan sangat membantu perolehan suara nanti. Bagaimana dengan paslon Bambang Haryo Soekartono-Taufiqulbar? Sidoarjo harus berubah. Kota Udang ini butuh pemimpin yang berani menjemput perubahan. Menyaksikan perkembangan tetangga daerah, seperti Surabaya, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, kondisi Sidoarjo paling ‘melas’. Padahal kekayaan daerah ini tak kalah moncer. “Dalam Pilkada kali ini sangat menentukan masa depan Sidoarjo. Selama ini, pembangunan di Sidoarjo sangat minim. Misal, infrastruktur jalan, masih kacau balau. Padahal ini sangat menentukan roda perekonomian,” ungka HM Nur Hadi ST. Mengutip Duta.co, Sabtu (5/9/2020), pangusaha otomotif yang dikenal sebagai tokoh NU di Kecamatan Taman, Sidoarjo, itu menjelaskan, Sidoarjo juga tidak boleh lepas dari karakter Islam moderat, Islam toleran. Dan itu lazimnya kader nahdliyin. “Karena daerah ini juga sering menjadi barometer nasional, sering menjadi pecontohan. Dan, kader nahdliyin itu bisa dari partai apa pun, karena NU sudah kembali ke khittah 1926,” tegas Ketua Umum Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyin (PPKN) ini. Hebatnya, lanjut Cak Nur, panggilan akrabnya, Pilkada Sidoarjo yang akan berlangsung Rabu Wage, 9 Desember 2020 nanti, juga bertabur Bintang Sembilan. Hampir semua pasangan ada kader NU-nya. Itu yang membuat nahdliyin (khususnya) dan, warga Sidoarjo (umumnya) tidak perlu repot memilih. “Tinggal adu gagasan, adu program, siapa yang mampu mengubah Sidoarjo mejadi lebih baik, dia akan terpilih. Itu kuncinya,” tambahnya. Dan kebijakan Bambang Haryo Soekartono (BHS) menggandeng HM Taufiqulbar atau Cak Taufiq sebagai Bacawabup Sidoarjo, mendapat apresiasi tinggi dari nahdliyin. Setidaknya, itu terlihat saat silatuhrahim ke pengurus PCNU Sidoarjo, Kamis (6/8/2020) lalu. Cak Taufiq yang datang bersama rombongan pengasuh Ponpes Al Khoziny Buduran, H Ali Mudjib (Gus Ali), diterima langsung jajaran pengurus teras PCNU Sidoarjo. Tampak Ketua PCNU Sidoarjo KH Maskun, sekretaris PCNU H Suwarno, H Zainal Abidin Wk ketua PCNU, H Kirom serta beberapa pengurus PCNU yang lain. Dalam pertemuan di Kantor PCNU itu, banyak wejangan yang disampaikan Ketua PCNU. Salah satunya, KH Maskun yang berharap siapapun kader NU yang masuk di dunia politik, haruslah mengedepankan akhlaqul karimah. “Berpolitik santun dengan akhlaqul karimah harus tetap dipegang kader NU yang ikut dalam Pilkada Sidoarjo,” jelas KH Maskun. Bagi nahdliyin, Cak Taufiq bukan orang lain. Restu untuknya juga datang dari sesepuh atau tokoh tertua NU Sidoarjo seperti KH Maskur. “Saya mendukung anak saya Taufiq, untuk maju sebagai calon kepala daerah Sidoarjo dan berharap bisa memajukan dan memakmurkan Sidoarjo,” ujar KH Maskur yang juga pendiri RSI Siti Hajar Sidoarjo. Menurut Cak Taufiq, tujuan utama silatuhrahim ini adalah meminta izin dan doa restu dari NU untuk menghadapi Pilkada Sidoarjo 2020. “Alhamdulillah, para kiai menerima dengan baik. Mendoakan secara khusus agar niat baik untuk memperbaiki Sidoarjo terkabul, mendapat ridho Allah SWT,” ujarnya. Akan halnya Bacabup Bambang Haryo Soekartono yang akrab dipanggil BHS, rekam jejak aktivitasnya sangat banyak bila dibanding Bacabup lainnya. Pria kelahiran Balikpapan, 16 Januari 1963, ini jabatan terakhirnya adalah Anggota Komisi V DPR-RI dan MPR-RI (2014-2019). Sebelumnya (2014-2018), Anggota Komisi VI DPR-RI Fraksi Gerindra. BHS adalah alumni Fakultas Teknik Perkapalan ITS, Surabaya. Setidaknya, sudah tujuh jabatan dalam kariernya yang sudah pernah dipegangnya. Pada 2007-2014, BHS merangkap jabatan sebagai Dirut PT Dharma Lautan Utama dan PT Adiluhung Saranasegara Indonesia. Realisasi Sidoarjo Sebagai anggota DPR-RI (2014-2019), ternyata BHS sudah banyak berperan untuk Sidoarjo. Simak saja 10 aktivitasnya selama itu. Pertama, Penyaluran program bedah rumah ke 460 rumah wilayah Sidoarjo; Kedua, Penyaluran 600 CSR BUMN; Ketiga, Realisasi program pengembangan infrastruktur sosial ekonomi wilayah (PISEW) ke 5 titik daerah Sidoarjo; Keempat, Pengembangan pertanian wilayah Sidoarjo dengan menyalurkan program P3-TGAI ke 19 titik daerah Sidoarjo; Kelima, Inisiasi pembangunan pasar Wonoayu, rehabilitasi pasar Sukodono dan mendorong realisasi renovasi pasar Porong Sidoarjo; Keenam, Penyaluran program BUMDES sebesar Rp 50 juta ke 30 Desa di Sidoarjo dan Dana Desa Wisata sebesar Rp 150 juta kedua; Ketujuh, Pengembangan sektor pertanian dengan penyaluran 40 pompa ukuran 6 dim dan 20 hand traktor dibeberapa wilayah Sidoarjo; Kedelapan, Mendorong bantuan untuk korban bencana puting beliung di Desa Tambakrejo Waru dari BUMN maupun BNPB; Kesembilan, Inisiasi pembangunan Overpass Toll di Keloposepuluh dan Wage Sidoarjo dan di lanjutkan di Sepande Sidoarjo; Kesepuluh, Pendidikan Karakter dengan melalukan Sosialisasi 4 Pilar RI di 25 titik Wilayah Sidoarjo. Itulah rekam jejak aktivitas BHS di Sidoarjo yang sudah dilakukan selama menjabat sebagai anggota DPR-RI. Bagaimana dengan Bacabup lainnya? *** Penulis wartawan senior FNN.co.id
BJ. Habibie & Kesinambungan Industri Dirgantara
by Ricky Rachmadi SH. MH. Jakarta FNN – Kamis (10/09). Tulisan ini dipersiapkan guna mengenang satu tahun wafatnya almarhum Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie yang telah pergi meninggalkan bangsa ini kurang lebih setahun lalu. Tapatnya pada 11 September 2019. Bangsa ini tentu sangat berduka atas kepergian alm akibat jasa-jasanya yang besar dan luar biasa besar. Semasa hidupnya Habibie telah meletakkan kiprah industri dirgantara di tanah air. Utamanya dalam membangun serta meletakkan mimpi bangsa ini untuk memiliki pesawat sendiri. Pesawat yang diciptakan sebagai karya putra-putri bangsa ini dengan perencanaan teknologi mutakhir di bawah cita-cita, kemampuan, dan kepemimpinan alm yang tergolong gigih untuk mewujudkannya. Dalam mengenang almarhum Habibie, menurut UU No. 20 Th 2009 bahwa Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan dengan tujuan untuk menghargai jasa setiap orang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi yang telah mendarmabaktikan diri termasuk berjasa besar dalam berbagai bidang kehidupan berbanga dan bernegara. Tanda Kehormatan dan Tanda Jasa tersebut diberikan untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan, kepatriotan, dan kejuangan seseorang. Diberikan sebagai bentuk penghargaan untuk setiap orang untuk mengembangkan kemajuan dan kejayaan bangsa atau negara. Menurut Pasal 1 UU tersebut, bintang adalah tanda kehormatan tertinggi. Sementara dalam Pasal 25, disebutkan syarat umum yang harus dipenuhi bila orang ingin mendapatkannya, maka orang yang bersangkutan haruslah Warga Negara Indonesia (WNI) atau seseorang yang berjuang di wilayah NKRI. Orang tersebut memiliki integritas moral dan keteladanan. Berjasa terhadap bangsa dan negara, dan berkelakuan baik. Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara. Juga tidak pernah dipenjara berdasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara singkat lima tahun. Berkaitan dengan UU tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan itu, maka Almarhum BJ. Habibie adalah orang yang mendapatkan semua tanda kehormatan bintang (sipil maupun militer) kelas tertinggi. Habibie mendapatkan Bintang Republik Indonesia Adipurna, Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Mahaputra Adipradana, Bintang Jasa Utama, Bintang Budaya Parama Dharma, Bintang Bhayangkara Utama, Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama. Bintang-bintang di atas diberikan negara dalam kiprah almarhum di Indonesia. Namun demikian, dunia internasional pun mengakui kontribusi Presiden Indonesia ketiga ini. Dalam kapasitasnya sebagai pakar pesawat, negara-negara maju yang mempunyai perhatian sangat besar pada dunia dirgantara seperti Amerika, Prancis, Inggris, Jerman untuk mendudukkan Habibie. Negara-negara tersebut memberikan anggota Kehormatan kepada BJ Habibie di berbagai komunitas akademik dan profesional Aeuronautika. Bahkan Jepang dan Malaysia mencantumkannya sebagai anggota kehormatan di Persatuan Insinyur Malaysia dan Japanese Academy of Engineering. Penghargaan nasional dan internasional itu hanyalah bagian dari penghargaan formal dan penghargaan yang bisa diungkapkan. Selain itu banyak penghargaan yang tidak bisa diungkap di sini. Habibie adalah figur yang mendapat penghargaan di hampir benak setiap orang tua di Indonesia. Bagi banyak orang tua di Indonesia, nama Habibie selalu berkorelasi erat dengan kecerdasan. Bagi banyak orang tua di Indonesia, penyebutan nama Habibie bukan hanya sekadar penyebutan sebuah nama, tapi juga doa. Mereka selalu berharap bahwa anak-anaknya kelak akan seperti Habibie yang pintar dan sukses. Karena itu tidak heran banyak anak yang bermimpi ingin menjadi hebat dan pintar dengan mengatakan mereka ingin seperti Habibie. Riwayat Habibie pun memang berkaitan erat dengan kepintaran dan kecerdasan. Gelar doktor aeronatika di RWTH Aachen Jerman Barat, diraih dengan predikat Summa Cum Laude. Habibie adalah Menteri Riset dan Teknologi terlama di negara ini. Selama 20 tahun. Tidak terlupakan juga julukannya sebagai Mr Crack, setelah dunia Aeronatika buntu menghadapi problem retakan pesawat yang mengancam keselamatan penerbangan. Maka Habibie datang dengan kemampuan rumusan menghitung rambatan. Rumusan Habibie itu yang sangat detail tentang “Crack”, yaitu penghitungan sampai tingkat atom. Habibie bukan hanya bisa memprediksi pergerakan retakan pesawat, dan menghindarkannya dari kecelakaan penerbangan. Tetapi juga bisa merumuskan langkah-langkah untuk memperpanjang umur pesawat tersebut. Namun dibalik sinonimnya nama besar Habibie dengan kecerdasan, dan telah menginspirasi banyak orang tua di Indonesia, justru disini juga letak permasalahannya. Banyak orang dan pengambil kebijakan pemerintah seolah menganggap segala hal yang diraih Habibie murni berkaitan dengan kecerdasan. Mereka lupa melihat bahwa Habibie muncul dan menjadi ikon pengembangan Iptek di Indonesia itu berkaitan dengan adanya komitmen, dedikasi, dan political will para pengambil kebijakan negara. Bila kita kembali ke masa-masa awal pengembangan dunia dirgantara di Indonesia, maka kita akan melihat Habibie sebagai figur yang tidak diperhatikan. Bila titik tolak dunia dirgantara Indonesia ditandai dengan peristiwa gotong royongnya masyarakat Aceh untuk membeli pesawat. Masyarakat Aceh mengumpulkan emas untuk membeli Dakota RI-001 Seulawah pada 16 Juni 1948. Maka pada tahun yang sama orang yang dikirim Soekarno ke Far Eastern Air Transport Incorporated (FEATI) Filipina untuk mempelajari dunia dirgantara adalah Nurtanio Pringgoadisuryo. Tujuh tahun berikutnya, 1955, ketika Presiden Soekarno membiayai banyak anak bangsa untuk bersekolah ke luar negeri, Habibie adalah rombongan kedua yang khusus di kirim ke Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule untuk belajar di jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang. Namun, Habibie belajar ke Jerman atas biaya sendiri. Bukan melalui beasiswa penuh dari pemerintah sebagaimana pelajar Indonesia lainnya. Karenanya Habibie mesti menyandingkan kecerdasan yang dimilikinya dengan kerja keras untuk membiayai studinya. Karena kecerdasan dan kerja keras inilah Habibie sanggup meraih predikat Summa Cum Laude dengan nilai rata-rata 9,5 dari Aachen. Begitu juga ketika memutuskan kembali ke Indonesia. Habibie kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto pada tahun 1973. Sebelum lima tahun kemudian didudukkan menjadi Menristek. Sementara pada saat bersamaan, Habibie di Jerman sedang menduduki dua jabatan prestisius sekaligus, Director of Applied Technology dan Vice Presiden di perusahaan kedirgantaraa Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB) Jerman Barat. Posisi ini adalah capaian tertinggi yang pernah diduduki orang asing di perusahaan tersebut. Jadi bila kita review saat penarikan Habibie dari Jerman oleh Presiden Soeharto, kita akan menemukan situasi yang kontras antara Habibie dengan Jerman dan Habibie dengan Indonesianya. Masa penarikan Habibie dari Jerman adalah masa ketika Habibie mempunyai masa depan karier yang cerah di negara maju. Sedangkan saat bersamaan, Indonesia pada tahun 1973 adalah masa-masa awal Orde Baru yang jalannya masih tertatih-tatih. Indonesia masa itu masih berjibaku dengan akhir Orde Lama. Orde yang meninggalkan krisis ekonomi dan kemelut politik akut. Sebaliknya, justru pada masa-masa keemasan di Jerman dan masa-masa Indonesia yang tidak menentu lah Habibie kembali ke Indonesia. Tindakan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang cerdas yang juga memiliki dedikasi, komitmen, dan kemauan untuk bekerja keras. Akhir-akhir ini kita ingat problem yang dihadapi Lembaga Pengembangan Dana Pendidikan (LPDP). Sebuah lembaga yang dibentuk masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Tuganya mengumpulkan dan mengelola dana untuk mengirim ribuan siswa terbaik Indonesia belajar di Luar Negeri. LPDP menghadapi problem pelik banyaknya pelajar yang sudah diberi beasiswa belajar di Luar Negeri. Namun pada akhirnya tidak ingin kembali lagi ke Indonesia. Setelah mendapatkan pendidikan terbaik yang dibiayai uang masyarakat (negara), mereka memilih meneruskan kariernya di luar negeri. Karena mereka melihat masa depan yang lebih cerah ketimbang kembali ke Indonesia. Lantaran melihat Habibie sebagai figur yang pintar, kita juga abai melihat bahwa kemunculan figur seperti Habibie berkaitan dengan political will pemerintah dalam memajukan industri dirgantara nasional. Sekaligus memanfaatkan potensi terbaik anak bangsa yang memang unggul. Almarhum Presiden Soeharto tidak hanya memanggil Habibie untuk pulang ke Indonesia. Tetapi diikuti dengan memberikan posisi yang tepat dan signifikan untuk figur sebesar Habibie. Namun saat ini, kita menghadapi problem pelik political will pemerintah dalam memanfaatkan potensi terbaik anak bangsa. Banyak anak bangsa terbaik yang enggan kembali ke Indonesia. Bukan karena tidak ingin mengabdi ke bangsa dan negerinya. Tetapi mereka tidak mendapatkan kejelasan peran dan posisi, apa yang akan mereka lakukan bila harus kembali ke Indonesia? Bagaimanapun, tempat terbaik mereka adalah di luar negeri. Karena disanalah mereka mempunyai lahan untuk mengeksplorasi bakat yang mereka miliki. Pada titik inilah kemudian kita melihat bahwa harapan kemunculan “The New Habibie” bukan pada ada dan tidaknya anak bangsa yang sejenius seperti Habibie. Tetapi karena memang kita tidak memberikan lahan bagi munculnya orang-orang seperti Habibie untuk berkarya. Apa kurang pintarnya Ilham Habibie? Ilham Habibie bukan hanya anak Habibie. Ilham juga pun memiliki kepintaran yang luar biasa dibarengi motivasi terkait dedikasi yang tinggi sebagaimana Bapaknya. Bahkan, Ilham mempunyai ide turunan langsung dari ayahnya tentang pengembangan industri dirgantara nasional . Ilhma pun sudah menjalankan idenya tersebut. Namun ketika ide dan langkah yang sudah dimulainya untuk memajukan dunia dirgantara dengan memunculkan pesawat R-80. Tetapi rupanya mengalami naas karena langkah mewujudkan R-80 telah dikeluarkan oleh pemerintah dari program/proyek strategis nasional. Itu berarti bukan hanya tidak ada political will untuk memajukan industri nasional dirgantara, tetapi juga tidak ada political will untuk memunculkan Habibie baru. Pemerintah seperti kehilangan hasrat untuk memfasilitasi anak-anak terbaik bangsa dalam mengeksplorasi kemampuannya di negeri sendiri. Jadi, pertanyaannya bukan siapakah penerus Habibie? Tetapi maukah kita memunculkan Habibie-Habibie yang baru? Karena jangan-jangan Habibie baru itulah yang sudah ada, tetapi tidak pernah difasilitasi oleh pemerintah untuk maju dan berkembang. Semoga tulisan dalam rangka mengenang satu tahun meninggalnya almarhum BJ. Habibie ini akan terus relevan. Semoga kerap menemukan momentum bagi kebangkitan Indonesia. Kebangkitan untuk membangun potensi anak bangsa yang dapat melanjutkan warisan Habibie. Warisan dalam rangka mengembangkan potensi kedirgantaraan di tanah air. Sekaligus juga untuk melanjutkan cita-cita almarhum BJ. Habibie. Ataupun yang sengaja mempersiapkan negara Indonesia menjadi juara di bidang kedirgantaraan secara internasional. Penulis adalah Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi DPP Partai Golkar.
"Radikalisme" Upaya Pengalihan Kegagalan Penguasa
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (10/09). Tuduhan radikalisme telah menyasar kepada umat beragama, khususnya umat Islam. Radikal selalu dikonotasikan buruk, destruktif dan main labrak. Radikalisme menjadi stigma baru setelah tetorisme yang "life time"nya sudah usai. Stigma buruk yang disandangkan pada umat Islam, bahkan berpintu pada "good looking" hafidz dan "menguasai" bahasa arab. Inilah stigma yang sangat konyol, ngawur menyakitkan perasaan umat Islam. Stigma ini keluar setelah pemerintah terlihat gagal dan amburadul dalam tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah gagal mengelola persoalan ekonomi, politik, hukum dan sosoal budaya. Yang paling terakhir adalah penaggulangan pendemi Covid-19 gagal dan buruk. Indonesia berhasil naik ranking empat terburuk penaggulangan Covid-19. Akkibatnya, Indonesia sekarang dilockdown oleh 68 negara di dunia. Juga sebagai upaya pengalihan isu Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasilan (RUU HIP), yang sekarang menajdi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia (KBBI) radikal mengandung makna 1) secara mendasar (sampai kepada yang prinsip). 2) amat keras menuntut perubahan. 3) maju dalam berfikir atau bertindak. Dari ketiga makna tersebut tidak ada yang mengarah pada tindakan destruktif. Butir dua "amat keras" tersebut pun dapat mengacu pada aspek jiwa atau semangat. Secara etimologi radikal berasal dari kata latin radix atau radici yang artinya "akar". Jadi tidak perlu produksi persoalan baru di tengah banyak masalah bangsa yang sudah menumpuk. Saking banyak masalah, pemerintah sepertinya bingung keluar dari berbagai masalah tersebut. Beragama kalau harus radikal, artinya harus kokoh dan berprinsip. Berakar kuat pada kebenaran yang diyakininya. Menjalankan segala ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Konsisten dan konsekuen. Nabi Ibrahim As dan para Nabi lain mencontohkan sikap berprinsip dalam beragama. Doktrin dan kalamnya dikenal dengan "kalimah thoyyibah". "Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan “kalimah yang baik” (kalimah thoyyibah) seperti “pohon yang baik”. Akarnya kokoh terhujam (ashluhaa tsaabit) dan cabangnya menjulang ke langit (far'uhaa fis samaa-i) "berbuah" setiap musim dengan izin Allah. Perumpamaan tersebut Allah buat bagi manusia, agar mereka ingat" (QS Ibrahim 24-25). Kalimah dzikrullah, taushiyah, amar ma'ruf nahi munkar adalah "kalimah thoyyibah". Begitu pula dengan konsep arau program ekonomi, budaya, dan politik yang sehat dan halal. Meluruskan penyimpangan adalah kalimah baik yang berakar kokoh. Menegur Imam salah, instruksi meluruskan barisan atau meminta keluar yang mengganggu ibadah itu semua kalimah thoyyibah. Jadi ucapan atau sikap yang berbasis nilai kebenaran adalah kalimah yang dapat dikategorikan radikal dalam beragama. Maka tak ada yang salah jika kita harus radikal dalam beragama. Fanatik dan berprinsip, tentu tanpa mesti mengganggu keyakinan orang lain. Jika sikap radikal beragama dinafikan, bahkan menjadi agenda yang harus ditiadakan, maka itu sama saja dengan membiarkan kemaksiatan berkembang apakah judi, zina, hasud, dengki hingga korupsi merajalela. Kezaliman yang ditoleransi. Mereka yang toleran pada kemaksiatan, kesesatan, atau kesewenang-wenangan adalah orang yang tercabut dari akar (radix) keyakinan kebenarannya. Tak berpendirian dan goyah keimanannya. Buzzer dan influencer dari kepemimpinan yang kriminal. Dan perumpamaan dari “kalimah yang buruk” (kalimah khobiitsah) adalah bagaikan "pohon yang buruk” yang tercabut akarnya dari tanah (ijtutsat min fauqil ardli) dan tidak memiliki ketetapan (maa lahaa min qaraar)-- QS Ibrahim 26. Doktrin kalimah buruk (kalimah khobiitsah) dalam konteks agama dan politik adalah bid'ah-bid'ah, mistisisme, sekularisme, liberalisme dan komunisme. Narasi perjuangan yang anti moral dan kebenaran. Menuduh agama candu, agama steril dari politik, atau hafidz sebagai pintu radikalisme adalah kalimah buruk yang menunjukkan sikap mengambang dan jahat. Menteri Agama yang tak memiliki sikap radikal dalam beragama bukanlah Menteri Agama. Dia bisa menjadi Menteri Mistisisme, Menteri Sekularisme, Menteri Liberalisme ataupun Menteri Komunisme. Buang saja agama untuk suatu perjuangan yang selalu anti dan menista agama... Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Waspada, Banyak Komunis Berbaju Agama
by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Rabu (09/09/. Kakek politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan bernama Bakaruddin merupakan pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatera Barat (Sumbar). Ini Arteria Dahlan, kakeknya Bakarudin itu pendiri PKI Sumatera Barat dan anggota Konstituante 1955,” kata Hasril Chaniago di acara ILC tvOne, Selasa (8/9/2020). Acara Indonesia Lawyers Club (ILC) asuhan Karni Ilyas yang tayang Selasa (8/9/2020) malam ramai diperbincangkan. Ramai bukan semata-mata karena membahas tentang tuduhan Puan Maharani yang menyebut orang Sumbar tidak Pancasialis. Akan tetapi, semakin membuka mata masyarakat bahwa di PDI Perjuangan itu banyak bersembunyi turunan PKI atau orang yang berpaham komunis. Saya sendiri tidak menonton acara ILC yang selalu ditunggu pemirsa di seluruh tanah air. Tidak menonton, bukan karena tidak suka, tetapi karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan. Adalah wartawan senior Hasril Chaniago yang membuka tabir tentang anggota DPR RI dari PDI P, Arteria Dahlan. Kakek politikus PDIP yang sering membuat kontroversi atau kegaduhan itu ternyata turunan Partai Komunis Indonesia (PKI). Artirea Dahlan menurut Hasril Chaniago adalah cucu Bakaruddin, pendiri PKI di Sumbar. “Ini Arteria Dahlan, kakeknya Bakarudin itu pendiri PKI Sumatera Barat dan anggota Konstituante 1955,” kata Hasril Chaniago di acara ILC tvOne, Selasa (8/9/2020). Selain itu, Hasril mengatakan, PRRI bukan memberontak tetapi mengoreksi pemerintah Soekarno yang dekat PKI. Setelah kemerdekaan, ada sembilan kali pergantian kekuasaan, biasa saja dalam demokrasi. “Yang tidak boleh runtuh itu negara. Dalam negara demokrasi setiap minggu itu boleh runtuh (pergsntian kekuasaan). Ini sejarah yang harus diluruskan dari bangku sekolah,” katanya. Pernyataan Hasril Chaniago itu sontak membuat banyak orang menjadi tahu Artirea Dahlan, anggota DPR dari PDIP yang juga sempat membentak-bentak ekonom senior Prof. Emil Salim. Selain itu, semakin membuka tabir, PDIP adalah tempat penampungan keturunan PKI, orang yang berpaham komunis, dan bahkan ateis. Ini bisa dimaklumi karena partai ini menurut petingginya sangat plural, sangat terbuka dan demokratis. Oleh karena itu, di partai ini juga ada penulis buku, "Saya Bangga Jadi Anak PKI, Menyusuri Jalan Perubahan, " Ribka Tjiptaning. Kita salut kepada Ribka Tjiptaning yang secara terang-terangan mengakui anak PKI. Bagaimana dengan yang lainnya yang bercokol di PDIP maupun partai lainnya? Mereka malu-malu kucing mengakui sebagai turunan PKI. Kita berharap semakin banyak yang mengikuti jejak Ribka Tiptaning, sehingga semakin jelas siapa yang komunis anti Pancasila, dan siapa yang Pancasilais sejati. Menjadi tidak wajar jika penganut paham komunis berkumpul di partai yang selalu mendengungkan paling Pancasilais itu, karena sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Kok bisa orang PKI atau orang yang berpaham komunis berada di PDIP? Padahal, jelas komunis itu anti Tuhan atau tidak mengakui adanya Tuhan, sedangkan PDIP itu, katanya sangat Pancasilais. Arteria Dahlan telah membantah pernyataan Hasril Chaniago. Menurut Arteria, ia tidak ada hubungan dengan pendiri PKI Sumbar. Bahkan, ia menyebut berasal dari keturunan Masyumi, keluarga taat beragama dan guru ngaji pula. Bantahannya itu sah-sah saja. Siapa pun yang dituduh atau disebut macam-macam, berhak membantahnya. Apalagi PKI dan komunis di Indonesia merupakan isu sensitif. Bisa jadi bantahannya itu benar, bisa salah. Ia hanya berusaha melindungi diri dari cacian dan cercaan banyak orang. Akan tetapi, bantahan itu ibarat pepatah, "Nasi sudah menjadi bubur." Dalam ingatan banyak orang, dan juga tulisan yang berseliweran di media sosial, yang keluar adalah, "Ternyata masih turunan PKI. Pantas kalau bicara tidak punya adab." Masih banyak kalimat lain yang muncul. Nah, jika benar Aetirea Dahlan adalah turunan PKI, tidak salah juga ia menjadi bagian dari PDI Perjuangan. Sebab, setiap orang - apalagi turunan - berhak untuk hidup layak, baik secara ekonomi, politik, sosial, keamanan dan budaya. Kalaupun di PDIP banyak turunan PKI atau penganut paham komunis, itu juga sesuatu yang wajar. Sebab, di FPI (Front Pembel Islam ) juga ada turunan PKI. Bahkan, turunan PKI dan penganut paham komunis itu ada di berbagai lini kehidupan masyarakat. Komunis di berbagai lini Yang membedakan turunan PKI yang ada di FPI dan PDIP adalah dalam hal menyadarkannya. Jika yang di FPI turunan PKI disadarkan agar kembali ke ajaran agama Islam yang benar, di PDIP tidak. Di FPI diajarkan lebih sopan dan santun terhadap yang lebih tua, sebagian turunan PKI di PDIP tidak. Contohnya, Arteria Dahlan yang menggertak-gertak Emil Salim, yang sudah sepuh. Jika turunan PKI atau penganut paham komunis dan bahkan ateis masuk ke lingkup FPI, mereka diminta bertaubat. Sedangkan di PDIP dibiarkan dengan tabiat politik kasar, dan jika perlu menghalalkan segala cara. Penganut paham komunis berkedok agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha harus diwaspadai. Mereka menyusup ke tengah umat beragama, khususnya agama Islam dengan cara halus. Kini mereka sedang mengkapanyekan bahwa Ketua CC PKI DN Aidit sewaktu remaja adalah muazin masjid di kampungnya, Pulau Belitung. Bisa jadi itu benar semua. Akan tetapi, nafsu politik dan birahi kekuasaan bisa mengubah jalan hidup seseorang. Saya mengatakan, "DN Aidit itu murtad menjadi kafir komunis." Masih tidak percaya DN Aidit komunis? Baca saja sejarah secara benar. PKI lah yang menghantarkannya menjadi Wakik Ketua MPRS periode 1960-1966. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pilkada Kota Makassar, Pertarungan “Kubu Kalla VS Kubu Paloh”
by Ambo Upe Makasar FNN – Rabu (09/09). Panggung Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Makassar akan menjadi “neraka” pertarungan, antara kubu Jusuf Kalla(JK) duet dengan Aksa Mahmud (AM). Kubu ini akan berhadapan dengan kubu Surya Paloh. Calon Walikota Makasar Munafri Arifuddin atau APPI kembali berhadapan dengan “musuh” lamanya Dani Pomanto pada Pilwalikota 2018. Kalau pada Polwalkot Makasar dulu, pasangan APPI berhadapan dengan Kotak Kosong. Dan hasilnya adalah kotak Kosong yang menang. Maka, sekang yang berdiri di belakang APPI masih tetap AM dan JK. Sedangkan yang di belakang Dani Pomanto adalah Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem. Kasus tertangkapnya Andi Irfan Jaya, Ketua Bappilu Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Sulawesi Selatan oleh Kejaksaan Agung, mau tidak mau membuka peluang calon Nasdem akan menjadi “bulan- bulanan”. Kampanye negatif diperkriakan akan merebak di Makassar khusnya, dan Sulawesi Selatan pada umunya. Pesan tegas adalah, “Jangan Pilih Walikota Dukungan Partai Koruptor”. Sebaga partai yang mengusung tagline restorasi (Gerakan Pembaruan) yang menjanjikan anti terhadap penyakit korupsi, Nasdem sekarang menjadi bahan olok-olokan masyarkat. Akan menjadi amunisi di seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada untuk memanfaatkan tagline “tolak parpol koruptor”. Inilah peluang yang terbuka bagi kubu AM-JK untuk memenangkan pasangan APPI. Setidaknya ada dua tempat yang menarik banyak perhatian terkait penyelenggaraan Pilkada serentak 2020. Yaitu Kota Tangerang Selatan (Tangsel), di Provinsi Banten dan Makassar di Sulawesi Selatan. Di kedua kota tersebut, dipastikan bertaburan calon -calon mega bintang kerabat tokoh nasional. Di Tangerang Selatan, juga ada Nur Azisah putri Wapres Marif Amin. Ada juga Saraswati, kemenakan Menhan dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Selain itu, dan Pilar Saga Ikhsan dari dinasti Kerajaan Banten, putra Ratu Tatu. Bakal ramai dan seru. Sedangkan di Makassar, ada Munafri Arifuddin APPI, menantu pengusaha Grup Bosowa Aksa Mahmud, yang juga kemenakan dari Jusuf Kalla. Pasangan APPI akan berhadapan melawan Dani Pomanto, mantan Walikota menggandeng Fatma Rusdi Masse, intri mantan Bupati Sidrap Rudi Masse. Pasangan dani Pomanto ini yang tampil dengan tagline “ADAMA”. Pasangan ADAMA ini bakal didukung Surya Paloh, dari dinasti Nasdem. Pada kubu pasangan ADAMA ini, ada juga dukungan dari Irman (None), adik kandung dari mantan Gubernur Sulawesi Selatan dua priode, Syahrul Yasin Limpo yang sekarang menjabat sebagai Menteri Pertanian. Masyarakat Makassar dan Sulawesi Selatan umumnya, maupun keluarga besar Sulawesi Selatan tentu saja bakal memusatkan perhatiannya kepada pertarungan hidup mati pasangan APPI melawan ADAMA tersebut. Pertarungan mempertaruhkan kehormatan dan harga diri antara pasangan menantu Aksa Mahmud (AM), Munafri Arifuddin yang berpasangan dengan Rahman. Pasangan APPI ini diusung oleh Partai Demokrat, PPP, Perindo, dan PSI. Pasangan APPI bakal berhadap dengan pasangan ADAMA, mantan Walikota Makassar periode 2014 – 2018), Dani Pomanto yang menggandeng Fatmawati, isteri Rusdi Masse, yang adalah Ketua Nasdem Sulawesi Selatan. Pasangan ini diusung oleh Partai Nasdem, Gerindra, Gelora dan PBB. Pada Pilkada Walikota 2018, APPI kalah melawan “kotak kosong”, karena Dani Pomanto sebagai calon independen tersandung ketentuan tidak memenuhi persyaratan. Sementara pasangan APPI memborong hampir semua kursi Partai Politik (Parpol) di Kota Makasar untuk mengusung APPI. ”Tragedi” kekalahan politik pasangan APPI melawan kotak kosong ini sangat memalukan. Karena peristiwa ini justru di kampung sendiri. Ketika itu keluarga Grup Bosowa (Aksa Mahmud) dan Grup Bukaka (Jusuf Kalla), dalam pandangan adat dan budaya Bugis-Makassar dianggap sebagai “penghinaan” atau ini sudah soal “siri” (kehormatan) bagi keluarga AM dan JK. Itulah sebabnya mengapa keputusan APPI untuk maju kembali bertarung pada Pilkada Walikota Makassar 2020 saat ini sangat menarik perhatian masyarakat Sulawesi Selatan. Boleh dikata, menarik juga di seluruh Indonesia. Bahkan di seluruh dunia. Keputusan yang diambil APPI untuk maju bertarung mengandung pesan “pembalasan” atas kekalahannya yang memalukan dulu. Keseriusan keluarga Grup Bosowa dan Grup Bukaka itu terlihat dari susunan Tim Sukses (Timses ) APPI yang dipimpin langsung oleh Erwin Aksa, putra sulung Aksa Mahmud. Erwin didampingi oleh Solihin Kalla, putra sulung Jusuf Kalla. Tim ini juga didukung oleh Sadikin Aksa, pembalap nasional yang juga Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia. (bersambung). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Budaya.