Pembujuk Tersembunyi Yang Merusak Demokrasi
by Zainal Bintang
Jakarta FNN –Rabu (16/09). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Rata-rata setelah terpilih para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan, “melahirkan korupsi kebijakan”, “kata Mahfud, Jumat (11/09/20).
Pada hari yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, “berdasarkan kajian KPK, lebih dari 80 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor”. Dari sumber mata air yang keruh inilah lahir kebijakan “jual beli” lisensi SDA potensial di sebuah daerah. Sebagai kompensasi atas “bridging finance” sang cukong kepada pejabat daerah yang terpilih.
Kejadian yang tidak menyenangkan itu, mengingatkan pada karya Vance Packard, jurnalis dan kritikus sosial Amerika yang berjudul “Pembujuk-Pembujuk Tersembunyi” (The Hidden Persuaders). Karyanya itu pertama kali diterbitkan tahun 1957.
Vackard mengeksplorasi penggunaan riset motivasi konsumen dan teknik psikologis lainnya oleh pengiklan. Termasuk psikologi mendalam dan taktik subliminal. Bertujuan memanipulasi ekspektasi dan mendorong keinginan akan produk, terutama di era paska perang Amerika.
Menurut Packard, kebutuhan ini begitu kuat sehingga orang terpaksa membeli produk hanya untuk memuaskannya. Buku ini juga membahas teknik manipulatif dalam mempromosikan politisi ke pemilih. Selain itu, buku ini mempertanyakan moralitas penggunaan teknik-teknik ini.
Meskipun buku itu laris manis diantara khalayak kelas menengah, buku itu secara luas dikritik oleh peneliti pemasaran dan eksekutif periklanan karena membawa nada sensasional dan dianggap mengundang pernyataan yang tidak berdasar.
Berbicara adanya keterlibatan cukong yang melancarkan praktik “money politics” (politik uang) tentu tidak berdiri sendiri. Publik punya banyak bukti adanya dukungan dari unit lain yang, termasuk lembaga survei. Bergabung menjadi sebuah konspirasi untuk memaksakan perubahan pandangan dan nilai moralitas masyarakat.
Konspirasi itu leluasa beroperasi melumpuhkan nalar masyarakat. Memunculkan unit baru, “tim relawan” yang powerfull. Tapi, kesemuanya itu, yaa diperoleh tentu saja dengan doktrin “tidak ada makan siang gratis” (there is no free lunch).
Secara umum banyak dibicarakan keberadaan kebijakan Otda (Otonomi Daerah) sejak 2004, yang ditengarai menjadi mesin penggerak “penyimpangan” kebijakan di daerah. Meskipun pemerintah telah beberapa kali merevisi UU No 22 Tahun 1999, menjadi UU No 32 Tahun 2004.
Tapi UU itu telah kadung menjadi mesin provokator bangkitnya semangat berkuasa elite yang mau menempuh jalan pintas memanipulasi sentimen masyarakat lokal. Memaksakan pemekaran wilyah. Menjadi pintu masuk lahirnya aktor baru korupsi yang berselancar di atas kompensasi lisensi-lisensi potensi daerah.
Didalam berbagai kajian ditemukan, kontestasi politik Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) menjadi bursa pemasaran hasil survei lembaga survei yang merangkap sebagai tim pemenangan. Mereka bekerja sistematis menawarkan hasil polesan “mantra” politik trisakti : popularitas (keterkenalan), elektabilitas (keterpilihan) dan akseptabiltas (keterterimaan) dari publik kepada publik.
Metode survei pendapat masyarakat dikampanyekan sebagai cabang ilmu pengetahuan masyarakat moderen Dipaksakan melalui kampanye masif menggedor syaraf publik. Diboncengi ideologi baru “money politics” (politik uang).
Sejak melembaganya kontestasi politik perebutan kekuasaan setiap ada Pilkada dan Pemilu era reformasi, telah terjadi peralihan lokasi aliran uang dari dunia ekonomi ke dunia politik. Jabatan politik laris manis dan diburu karena menjadi semacam kunci Inggris membuka pintu kemudahan mengalirnya upeti-upeti tak bernama.
Efek lain yang muncul sebagai ekses produk “pembujuk-pembujuk tersembunyi” dapat dilihat merujuk tulisan Sarah Perucci yang disiarkan oleh Freedom House 2020 berjudul “Democracy And pluralism Are Under Assault” (Demokrasi Dan Keberagaman Sedang Diserang). Nampaknya apa yang terjadi di Indonesia, sepertinya terdapat benang merah dengan apa yang terjadi di negara lain.
Menurut Perucci, “diktator bekerja keras untuk membasmi sisa-sisa perbedaan pendapat domestik, dan menyebarkan pengaruhnya yang berbahaya ke penjuru dunia yang baru”. Perucci yang juga Direktur Senior Riset dan Analisis Freedom House. Pada saat yang sama, banyak pemimpin yang dipilih secara bebas dan dramatis, mempersempit perhatian mereka ke interpretasi kepentingan nasional.
Faktanya, para pemimpin seperti itu, termasuk kepala eksekutif Amerika Serikat dan India, dua negara demokrasi terbesar di dunia-semakin bersedia untuk mendobrak perlindungan institusional dan mengabaikan hak-hak kritik dan minoritas saat mereka mengejar agenda populis mereka.
Kebrutalan rezim otokratis yang tidak terkendali dan kerusakan etika dari kekuatan demokrasi bergabung untuk membuat dunia semakin memusuhi tuntutan baru untuk pemerintahan yang lebih baik," ujar Perucci sambil menyebut , "bidang kemunduran yang paling umum, terjadi dalam fungsi pemerintahan, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, dan aturan negara hukum."
“Sejumlah gerakan protes warga baru yang mencolok telah muncul selama setahun terakhir. Yang mencerminkan keinginan universal yang tidak ada habisnya untuk hak-hak fundamental. Namun, gerakan-gerakan ini dalam banyak kasus menghadapi kepentingan yang mengakar kuat yang mampu menanggung tekanan yang cukup besar dan bersedia menggunakan kekuatan mematikan untuk mempertahankan kekuasaan," ujar Perucci.
Protes tahun 2019 sejauh ini gagal menghentikan penurunan kebebasan global secara keseluruhan. Tanpa dukungan dan solidaritas yang lebih besar dari negara-negara demokrasi mapan, mereka cenderung menyerah pada pembalasan otoriter," sebut Perucci menutup tulisannya.
Mau tidak mau apa yang disampaikan Mahfud MD dan Ghufron itu, mengingatkan publik pada pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang pernah menyebut “Pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia”.
Menurut Bamsoet panggilan akrab mantan Ketua DPR RI itu, nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia. “Semahal-mahalnya Rp1 Triliun sudah bisa menguasai partai politik, ini pengalaman. Boleh dibantah atau tidak, tapi inilah kenyataan sistem yang masih dipertahankan," ungkapnya pada pertengahan Februari yang lalu di Jakarta.
Kasus pembegalan politik yang dialami penyanyi Pasha Ungu di Palu, Sulawesi Tengah dan keributan dalam proses Pilwalikota Makassar yang menyeruakan pemberitaan pengusiran pimpinan lembaga survei Polmark Eep Saifulloh oleh kliennya, Erwin Aksa ketua tim calon walikota Appi- Rahman menunjukkan bagaimana elemen “manipulasi” ikut menjadi sumber sengketa.
Tidak jelas siapa yang memanipulasi siapa. Meskipun kasus ini masih gelap dan masih memerlukan klarifikasi dan tranparansi kedua belah pihak. Yang menjadi pertanyaan publik adalah, mengapa pernyataan Bamsoet serta Menko Polhukam dan pimpinan KPK hanya berhenti menjadi cerita belaka.
Tapi hanya sebatas menjadi trending topik dalam forum seminar. Tidak terlihat adanya langkah konkret preventif berbentuk regulasi penindakan, untuk menghentikan operasi kriminal dan penjahat demokrasi yang bernama cukong.
Kebaikan macam apa yang diperoleh rakyat dari negara yang dikelola melalui budaya percukongan? Sebuah sistem politik yang mematikan harapan. Rakyat hanya menjadi angka-angka elektoral pemimpin politik dari pemilu ke pemilu. Akan tahankah mereka, Rakyat itu? Ataukah pemerintah lebih memilih membiarkan topik itu menjadi bagian dari skenario pengalihan isu belaka.
Lalu menyerahkan urusan ini ditangani gerakan masyarakat sipil yang dikenal dengan sebutan “parlemen jalanan” : yang selalu memenuhi panggilan sejarahnya ketika tuntutan perubahan sudah tak tertahankan? Wallahualam bishawab!
Penulis dalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.