OPINI
Melawan Rencana IPO Anak Usaha Pertamina (Bagian-1)
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (09/07). Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir setelah Rapat Umum Pemegang Saham RUPS) Pertamina pada 12 Juni 2020 meminta Dirut Pertamina menyiapkan dua anak usaha Pertamina melantai di bursa. Menawarkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kata Erick Thohir, "jadi target dua tahun ke depan Ibu Nicke bisa go publickan satu sampai dua sub-holding Pertamina. Jadi bagian transparansi, akuntabilitas supaya jelas," usai RUPS Pertamina di Jakarta (12/6/2020). Pernyataan Erick tersebut merupakan perintah yang harus dijalankan manajemen Pertamina. Untuk maksud itu, tampaknya telah disiapkan berbagai alasan. Termasuk meminta pendapat sejumlah pakar, pengamat atau pesohor agar mendukung dan menjustifikasi. Dengan begitu, rencana tersebut dapat berjalan mulus dan sekaligus mendapat dukungan publik. Sikap IRESS terhadap rencana tersebut tetap konsisten sejak dulu, yakni menolak dengan tegas. Sebelumnya, pada Juli 2010, bersama angggota DPR Chandra Tirta Wijaya, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Sri Edi Swasono dan Jajaran Pimpinan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), IRESS telah membacakan sikap penolakan terhadap rencana Initial Public Offering (IPO) Sub Haloding Pertani. Sikap tersebut disampaikan kepada pemerintah (Kementrian BUMN) agar rencana IPO Pertamina Hulu Energy (PHE) segera dibatalkan. Rencana IPO 20% saham PHE yang saat itu dimintakan persetujuannya kepada DPR akhirnya dibatalkan pemerintah. Pada November 2019, IRESS kembali menolak rencana pemerintah melakukan “IPO terselubung” berupa akuisisi Pertagas oleh PGN. Penolakan IRESS ini hanya berbentuk tulisan terbuka. Semula sikap ini akan disampaikan pada satu seminar di Ruang GBHN Nusantara V DPR/MPR. Belakangan penyeampaian sikap tersebut batal karena wakil dari Serikat Pekerja Pertamina mengundurkan diri akibat tekanan dari manajemen. Salah seorang pengurusnya malah “dibuang” ke luar Jawa. Karena dianggap mencoba-coba mengganggu agenda “IPO terselubung” tersebut. Saat rencana IPO PHE terjadi pada 2010, sistem tata kelola pemerintahan masih berjalan normal dan konstitusional. Karena itu setiap langkah dan kebijakan strategis pemerintah dikonsultasikan dengan DPR. Namun untuk kasus akuisisi atau “IPO terselubung” Pertagas oleh PGN, situasi dan kondisi penyelenggaraan negara dan pemerintahan sudah berubah. Pemerintahan Jokowi yang telah berikrar ingin mem-buyback Indosat atau menjadikan Pertamina mengungguli Petronas ini telah berhasil “mengakali” rakyat sekaligus wakil rakyat. Akibatnya, persetujuan DPR atas akuisisi Pertagas oleh PGN berhasil di-bypass. Ini bisa saja terjadi, karena DPR tidak sadar atau sudah berubah sikap menjadi bagian dari pemerintah. Untuk rencana obral aset negara di Pertamina berikutnya, atau sebutlah itu IPO subholding seperti yang disampaikan oleh Erick dan Nicke, situasi dan kondisi tampaknya akan lancar. Berangkat dari kegagalan pelaksanaan IPO PHE 10 tahun lalu, tampaknya strategi dan peraturan untuk memuluskan rencana telah tersebut disiapkan komprehensif dan matang. Persetujuan DPR bisa saja tidak lagi dibutuhkan. Karena yang dijual hanya saham anak usaha. DPR pun bisa sengaja enggan untuk menggunakan hak pengawannya. Namun demikian, rakyat harus tetap melawan. Untuk itu perlu dipahami kenapa melawan. Alasan terpenting adalah migas merupakan sektor strategis. Migas menyangkut hajat hidup rayat banyak yang harus dikuasai Negara. Tata kelola dan melalui BUMN sesuai dengan perintah Pasal 33 UUD 1945. Hal ini bukan saja telah menjadi tekad dan amanat pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/2012 dan No.85/2013. Alasan berikutnya, para investor asing dan pengusaha liberal-kapitalis sangat berminat memperoleh manfaat besar dari sejumlah mata rantai bisnis sektor migas yang sangat menguntungkan. Untuk itu, disiapkan dan direkayasa dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga sebagian saham dari mata rantai bisnis yang menguntungkan tersebut (cream the la cream) dapat dikuasai. Pintu masuk untuk mengusai itu, melalui skema IPO. Dimana saham sebuah perusahaan dilepas ke pasar saham (bursa efek) secara umum untuk pertama kalinya. Aktivitas menjual saham ke publik melalui bursa efek selaku pasar keuangan resmi di Indonesia dikenal dengan istilah Go Public. Dengan melakukan IPO, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah perusahaan. Misalnya, bisa mendapatkan pendanaan murah, akses dana jangka panjang, memperoleh citra yang baik, meningkatkan nilai perusahaan dan memperoleh insentif pajak. Namun untuk itu, mata rantai bisnis atau anak usaha yang harus dijual adalah yang terbaik dan menguntungkan (cream the la cream). Jika prospek bisnisnya tidak menguntungkan atau tidak jelas, siapa yang akan beli? Sebaliknya, dengan melepas atau “mempreteli” satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN seperti Pertamina, sesuai skenario dari kapitalis-liberal, atau dikenal juga dengan istilah unbundling, maka BUMN hanya akan “menikmati” bisnis ampas yang kurang menguntungkan. Lambat laun, semua lini bisnis yang menguntungkan akan terjual. Maka untung yang diperoleh akan lebih banyak dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal. Padahal jika semua lini bisnisnya berjalan utuh secara “bundled”, maka BUMN Pertamina dapat melakukan fungsi-fungsi strategis negara secara optimal. Pertamina bisa melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen yang hingga saat ini mengalami kesenjangan yang lebar. Selain itu, merujuk Pasal 2 Undang-Undang No.19/2003 tentang BUMN, maka tujuan pembentukan BUMN antara lain berkontribusi terhadap ekonomi nasional. Juga melakukan tugas-tugas perintisan. Tugas-tugas tersebut, tidak akan opitimal jika oleh anak-anak usaha yang telah Go Public. Sebaliknya, kemampuan Pertamina untuk cross-subsidy akan berkurang karena sebagian keuntungan telah beralih kepada perusahaan lain. Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro asing, pro kapitalis-liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU swasta asing berbisnis di kota-kota besar di Indonesia. Sementara Pertamina diwajibkan menyediakan BBM hingga pelosok negeri. Tentu saja dengan beban biaya sangat besar. Dengan bisnis Pertamina dibiarkan untuk digerogoti asing, maka kemampuan Pertamina melakukan cross subsidy juga semakin berkurang. Sebagian malah harus ditanggung oleh APBN. Kita tidak anti modal asing. Dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana atau modal. Namun jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi, mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai “kualitatif”, maka hal tersebut harus ditolak. Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan proses IPO patutu untuk ikut diperhitungkan. Sehingga keuntungan “kuantitatif” akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO justru jangan sampai sirna begitu saja. Dalam dunia akademis dikenal adanya tools yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan penting dan strategis. Tools tersebut antara lain adalah Cos-Benefit Analysis (CBA) dan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA). Pada CBA, keputusan diambil terutama pada kriteria ekonomi-keuangan. Begitu juga dengan MCDA. Keputusan yang daimbil harus mempertimbangkan berbagai kriteria. Milsanya, ekonomi-finansial, legal-konstitusional, sosial-politik, dan lain-lain. Kriteria-kriteria tersebut pun lumrah diberi bobot bebeda-beda sesuai urgensi dan prioritas. Dalam rencana IPO subholding Pertamina, tampaknya yang dipilih adalah metode CBA. Seperti disebut di atas. Metode inipun justru bisa tidak valid, jika prilaku moral hazard yang berperan dan dominan dalam proses IPO. Dari pengalaman yang sudah-sudah, moral hazard sangat dominan dalam IPO BUMN atau anak perusahaan BUMN. Padahal, karena Pasal 33 UUD 1945 masih berlaku, maka kondisi kesenjangan sosial antar wilayah yang harus diatasi dengan cross-subsidy yang saelama ini dilakukan Pertamina. Dengan ketahanan energi nasional yang masih sangat rendah, maka seharusnya yang dipilih dalam mengambil keputusan adalah metode MCDA. Sebenarnya, kebutuhan dana dapat diperoleh melalui penerbitan obligasi. Toh pola ini sudah lama dilakukan oleh Pertamina atau PLN. Kedua BUMN ini biasa menerbitkan obligasi dengan tingkat bunga atau kupon yang justru lebih rendah dibanding kupon obligasi terbitan pemerintah. Sebaiknya pemerintah, terutama Menteri BUMN Erick Thohir untuk membatalkan rencana IPO anak-anak perusahaan Pertamina. Perintah Erick kepada Dirut Nicke bukan sesuatu yang relevan dan legal harus dijalankan. Seperti yang mungkin dan umum berlaku pada perusahaan milik swasta atau pribadi. BUMN itu milik negara. Bukan milik “seseorang” seperti pernah diungkap Erick pada 26 Februari 2020 yang lalu di Jakarta. bersambung. Penulis adalah Managing Direktor Indonesian Resoeurces Studies (IRESS)
KPU Mutilasi UUD 1945 dan UU No. 7/2017
by Radhar Tribaskoro “UUD 1945 pasal 6A menyebutkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.” Jakarta FNN – Kamis (09/07). Ketentuan konstitusional Pasal 6A UUD 1945 ini dikutip dengan sangat lengkap dalam Pasal 416 ayat 1 Undang-Undang No.7/2017 Tentang Pemilihan Umum. Tidak ada penambahan maupun pengurangan satu kalimat, kata atau hurup dari redaksi Pasal 6A UUD 1945. Dengan demikian, maka menurut konstitusi dan perundang-undangan kita, terdapat dua norma untuk keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslonpres). Pertama, norma tentang representasi pemilih individual (suara terbanyak). Kedua, norma yang berkaitan dengan representasi masyarakat provinsial. Dipilih dengan suara minimum 20% di setiap provinsi, dan kemenangan yang tersebar di lebih dari 50% provinsi). Kedua norma tersebut normal dan umum dalam praktek ketatanegaraan dunia. Beberapa negara seperti India dan Amerika Serikat misalnya, menerapkan metode electoral college dalam pemilihan presidennya. Metode tersebut memberi kesempatan rakyat memilih langsung presidennya. Namun suara rakyat itu dihitung habis di tingkat negara bagian. Paslonpres yang memperoleh suara terbanyak memperoleh semua electoral college (hak suara) yang dimiliki oleh negara bagian itu. Selanjutnya paslonpres yang memiliki jumlah electoral college terbanyak akan dipilih menjadi presiden dan wakil presiden. Dalam metode electoral college ini jumlah electoral college yang dimiliki suatu negara bagian ditentukan oleh jumlah penduduknya. Dengan ketentuan ini, pada umumnya paslonpres yang memperoleh electoral college terbanyak juga memperoleh suara pemilih terbesar. Tetapi selalu ada perkecualian. Dalam sejarah pilpres di Amerika Serikat, ada lima paslonpres yang memenangkan popular votes tetapi kalah perolehan electoral college. Contoh terdekat adalah ketika Al Gore kalah dari George Bush dalam pilpres tahun 2000. Al Gore unggul 500.000 suara, tetapi kalah lima electoral college dari Bush. Prinsip dua norma ini, juga berlaku dalam pemilihan presiden secara tidak langsung di parlemen. Misalnya, yang terjadi di Jerman, Pakistan, Italia, dan lain-lain. Dalam sistem parlemen bikameral, wakil rakyat yang dipilih secara individual (lower house) mengadakan joint session dengan wakil daerah (senat) untuk memilih presiden. Pada beberapa Negara, parlemen-parlemen daerah menunjuk wakil untuk bergabung dalam pemilihan presiden itu. Tak Perlu Sewenang-Wenang Dengan argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan konstitusi yang menghendaki adanya keterwakilan individu dan keterwakilan masyarakat tidak mengada-ada (arbitrary). Ketentuan tersebut telah dipraktekan selama ratusan tahun oleh banyak negara di dunia. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 telah memutilasi prinsip keterpilihan yang diatur dengan tegas, jelas dan dinyatakan oleh UUD 1945 pasal 6A dan UU No.7/2017 pasal 461. Peraturan KPU tersebut telah mendrop norma keterwakilan masyarakat. Sebaliknya, menjadikan keterwakilan individu (suara terbanyak) sebagai satu-satunya norma keterpilihan paslonpres. Permasalahan inilah yang saya kira yang menjadi semangat dan spirit dari keluarnya Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019. Putusan yang menyatakan bahwa Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 nyata-nyata telah bertentangan dengan perundangan-undangan di atasnya, yaitu Pasal 6A UUD 1945 dan Pasal 461 UU No.7/2017 pasal 461 Apa kata KPU? KPU selalu berdalih bahwa situasi persaingan biner hanya bisa diputuskan melalui norma suara terbanyak. Itu alasan mereka membuat peraturan di atas. Namun cara berpikir itu berdampak KPU telah memutilasi keinginan luhur dan mulia dari pembuat konstitusi yang ingin mendrive perilaku paslonpres agar tidak memusatkan perhatian kepada provinsi yang kaya suara saja dengan mengabaikan provinsi sedikit suara. Para penulis dan pembuta konstitusi sangat menyadari bahwa, kalau hanya menerapkan norma suara terbanyak, maka paslonpres hanya memusatkan perhatian di Pulau Jawa saja, sudah lebih dari cukup untuk memenangkan pilpres. Karena di Pulau Jawa terdapat lebih dari 50% suara pemilih. Namun demikian, di tengah ketidak-seimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa itulah, keinginan dari konstitusi itu sangat luhur mulia. Sayangnya, KPU telah melangkah sangan jauh. Langkah KPU melampaui kewengan dari pembuat kontitusi dan pembuat undang-undang. KPU telah memutilasi keinginan luhur tersebut. KPU misalnya, beralasan dan mengatakan bahwa Peraturan KPU Nomor/2019 itu mesti dibuat karena undang-undang tidak menjelaskan situasi dimana paslonpres hanya ada dua (biner). Menurut saya keresahan ini tidak perlu ada. Membuat aturan sendiri untuk hal yang tidak diperlukan adalah perbuatan yang sewenang-wenang. Melampaui kewenangan dari para pembuat konstitusi dan undang-undang. Undang-Undang No.7/2017 Tentang Pemilu memang tidak secara implisit menjelaskan situasi paslonpres banyak dan paslonpres biner. Namun undang-undang itu dengan tegas mengatakan bahwa, bila dalam situasi paslonpres banyak, tidak ada paslonpres memperoleh suara lebih separuh, pilpres harus dilanjutkan ke tahap dua. Di tahap kedua ini dilombakan dua paslonpres dengan bersuara terbanyak itu. Komisioner KPU Mengundurkan Diri Saja Dengan menyatakan bahwa pilpres tahap dua, yang terdiri dari dua paslonpres, maka UU No.7/2017 secara implisit sudah mengafirmasi situasi kemungkina ada dua paslonpres. Ini berarti Peraturan KPU No.5/2019 tidak lagi diperlukan. Dengan kata lain, prinsip dua norma sebagaimana tercantum dalam pasal 461 ayat 1 UU No.7/2019 berlaku utuh dan tidak perlu ditafsirkan dan dipersoalkan oleh KPU yang posisi dan kedudukannya hanya sebagai penyelenggara. Peratanyaa, apakah bila norma keterwakilan suara di setiap provinsi minimal 20% tersebut diadopsi, berarti dimungkinkan pilpres bakal tiada akhir? Tidak akan ada pemenang? Karena norma tersebut sulit dipenuhi? Tentu saja tidak. Perolehan 20% suara bukan jumlah yang unattainable. Paslonpres akan dapat memenuhi ketentuan tersebut, asalkan ketentuan tersebut masuk ke dalam elemen strateginya. Kekhawatiran yang tidak perlu, telah membuat KPU secara sewenang-wenang melucuti norma tersebut dari pemilihan presiden. KPU telah berubah dari hanya pelaksana pemilu menjadi pembuat norma baru UUD 1945 dan undang-undang. KPU periode 2017-2022 terus dilanda masalah. Pilpres tahun lalu dipenuhi protes public. Dimulai dari orang gila ikut menjadi pemilih. Situng yang dirancang tidak bisa menjumlah dengan benar. Proses yang sangat lambat. Kematian 894 petugas KPPS yang tidak disidik secara wajar, sampai demo protes yang menelan puluhan jiwa meninggal dan hilang entah kemana. Inkompetensi KPU terbukti dan terkonfirmasi dengan tertangkapnya komisioner Wahyu Setiawan dalam kasus suap Harus Masiku. Begitu juga dengan dipecatnya komisioner Evi Novinda Ginting karena telibat dalam manipulasi suara. Satu demi satu kebobrokan KPU terbuka dengan sendirinya kepada publik. Bukan itu saja. Ketua KUP Arief Budiman dan tiga Komisoner lainnya Viryan Azis, Ilham Saputra dan Pramono Ubaid Tanthowi sudah diberikan sanksi, berupa peringatan keras dan terakhir oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Kompas.com 25 Juni 2020). Sekarang KPU terbukti sewenang-wenang dalam membuat peraturan tentang pemilu. Semau udelnya dewe. Tragisnya, peraturan yang dibuat oleh KPU tersebut nyata-nyata telah menabrak dua perundang-undangan di atasnya, yaitu UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dampaknya sangat besar dan luar biar terhadap legitimasi Presiden dan Wakil Presiden sekarang. Maka, kebijakan terbaik yang harus dilakukan KPU di bawah pimpinan Arief Budiman adalah mengundurkan diri. Itupun kalau masih paunya rasa malu dan bersalah. Penulis adalah Pengamat Politik
Presiden Gadungan?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (09/07). Presiden gadungan adalah terjemahan dari "Fake President". Bukan Presiden sebenarnya. Ini bisa berarti Presiden tidak kompeten, baik sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan. Bisa juga sebagai boneka yang dimainkan oleh orang, kelompok, atau kekuatan lain. "Fake President" dapat juga identik dengan Presiden abal-abal. Presiden gadungan juga disebabkan delegitimasi atas jabatan. Misalnya, hilangnya kepercayaan rakyat. Keberadaan Presiden dinilai hanya merepotkan dan menyusahkan rakyat. Rakyat menderita oleh perilaku dan kebijakan politik Presiden yang dianggap "tak berkualitas" dan "tak memiliki sensitivitas" terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat. Penilain yang seperti ini adalah efek dari orientasi dan kebijakan Presiden yang hanya menguntungkan dirinya dan kroninya. Lalu rakyat pun menjadi bulan- bulanan dari slogan yang hanya bernilai pencitraan. Akibatnya, penderitaan yang dialami rakyat menjadi permanenn dan tidak berkesuadahan. Presiden gadungan atau "Fake President" adalah pemimpin dari negara yang ilegal. Keabsahan statusnya goyah. Sebagai contoh adalah kejutan kasus yang terbuka setelah "disembunyikan" sembilan bulan lamanya di Mahkamah Agung (MA). Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 yang menyatakan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 tahun 2019 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Makan rontoklah dasar hukum yang dijadiklan KPU untuk menetapkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Beberapa ahli atau loyalis Presiden menyatakan Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 tersebut, tidak berlaku surut (retroaktif). Alasan mereka, karena tak berpengaruh terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menolak gugatan Prabowo-Sandi. Terhadap hal ini tentu harus diperdalam, dan masih bisa debat lanjutan. Indikatornya antara lain : Pertama, Permohonan Uji Materil oleh Bu Racmawati cs terregister di Mahkamah Agung pada tanggal 14 Mei 2019. Artinya, sebelum Putusan MK 27 Juni 2019. Maknanya adalah permohonan Uji Materil tersebut sangat berkaitan dengan Pilpres 2019. Bukan berdiri sendiri. Dalam permohonan Pemohon pun disinggung konteks Pilpres 2019. Kedua, Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan Uji Materil Pasal 3 ayat (7) PKPU tersebut patut mengetahui dan menyadari bahwa Uji Materiel ini berkaitan dengan proses Pilpres 2019. Sehingga jika asas retroaktif tak bisa diberlakukan, Putusan MH akan tegas menyatakan bahwa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 diberlakukan untuk Pilpres yang akan datang (penafsiran argumentum a contrario). Ketiga, tafsir bahwa MK telah memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, sehingga Putusan MA tidak berpengaruh pada hasil Pilpres, bisa keliru total. Masalah yang diputuskan MA Nomor 44 P/HUM/2019 adalah tidak memiliki kekuatan hukum mengikatnya Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 tahun 2019. Sedangkan Pasal tersebut justru menjadi dasar hukum dari penetapan Pasangan Jokowi-Ma'ruf. Keempat, "disembunyikan"nya Putusan MA ini selama semabilan bulan adalah bukti bahwa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 ini sangat berpengaruh pada keabsahan hasil Pilpres 2019. Jika tidak, maka MA serta-merta akan meng-upload atau mengumumkan kepada masyarakat beberapa setelah diputuskan tanggal28 Oktober 2019. Demi kepastian hukum. Pertanyaan, siapakah pihak-pihak yang terlibat dalam "penyembunyian" atau "penggelapan" Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 ini? Siapapun mereka, harus dituntut dan dipertanggungung jawabkan kepada rakyat. Kita semua berharap pimpinan Mahkamah Agung baru, Muhammad Syaarifuddin melakukan pengusutan internal. Hasilnya diumumkan kepada rakyat, mengapa dan apa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 disembunyikan sembilan lamanya dari rakyat? Kita berharap dan berdo'a semoga tidak ada jejak dan sidik jarinya mantan Ketua MA Hatta Ali dan mantan Sekjen MA Nurhadi di skandal penyembunyian Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 ini. Sebab bila ada sidik jari, bisa memperburuk wajah dan keagungan MA di mata masyarakat. Apalagi Nurhadi sedang ditahan oleh KPK untuk kasus korupsi dan penyuapan . Sedangkan Hatta Ali baru saja pensiun dari Hakim Agung dan Ketua MA pada akhir bulan April 2020 lalu. Jadi, di sini patut diduga kuat ada skandal politik dan hukum yang sangat memalukan. Ada "gaslighting" dan ada "corruption". Sinyal dari terkuaknya skandal hukum dan politik besar. Namun yang jelas adalah, dengan Putusan MA No 44 P/HUM/2019 yang diumpetin selama sembilan bulan tersebut, akan menjadi bukti bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sebenarnya sangat bermasalah. Cacat politik dan cacat hukum. Bila DPR menangkap aspirasi rakyat yang mempermasalahkan kualitas dan legitimasi Presiden, maka Putusan MA tersebut dapat dijadikan dasar bagi proses pemakzulan Presiden. Putusan MA No. 44 P/HUM/ 2019 itu dalam kaitan keabsahan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, bukanlah "plintiran" tetapi "suara hukum" dari keadilan dan kebenaran. Sebagai hiburan, khususnya kepada para penjilat politik dan hukum, dihimbau untuk membaca, untuk yang belom pernah membaca, dan membaca ulang bagi yang pernah membaca, bukunya Mark Green & Ralph Nader yang berjudul "Fake President: Decoding Trump's Gaslighting, Corruption, and General Bullsh*t". Semoga tidak gagal faham. Dengan alasan apapun "Fake President" tidak boleh dibiarkan terjadi. Dampaknya sangat tidak baik bagiu pejalanan bangsa untuk mencapai cita-cita dan tujuan bernegara. Siapapun, kapanpun dan dimanapun itu. Karenanya harus diakhiri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pejabat Pemulihan Ekonomi Diburu Risiko Hukum
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Janganlah engkau menjadi lampu yang membakar diri lalu menerangi orang lain. Keluarkan kecintaanmu terhadap dunia karena aku tak akan menyatukan antara cinta dunia dan cinta pada-Ku pada hati yang sama (Al-Ghazali). Jakarta FNN- Rabu (08/07). Pandemi corona masih terus menggerogoti daya tahan Indonesia. Orang sakit dan mati terus saja terjadi dari hari ke hari, sejauh ini. Akibat non klinis, terutama bidang ekonomi yang di bawanya pun luar biasa mengerikan. Sejumlah ekonom kredibel telah menemukan kenyataan bahwa perekonomian nasional terus memburuk. Orang kehilangan pekerjaan dan susah cari makan terus saja muncul. Hukum dan politik juga sama. Berantakan di sana-sini. Hukum menjadi andalan terhebat untuk mengepung orang-orang kritis. Kritik terhadap Presiden, disambut aparatur hukum dengan penangkapan dan penahanan. Hebatkah ini? Mungkin iya. Tetapi di dalamnya juga menyemburkan sisi lain yang mengerikan. Sisi itu adalah keangkuhan politik. Jebakan Perpu Administrasi negara, semenjak krisis ekonomi tahun 1929, dikenal sebagai unit terkompleks dalam organisasi negara. Dan administrasi keuangan negara, muncul sebagai sub-unit dalam administrasi pemerintahan terkompleks. Kompleksitas itu, mungkin ada yang tidak menyukainya. Itu merupakan konsekuensi langsung dari keharusan politik. Uang yang dikelola oleh kementerian dan lembaga misalnya, jelas. Uang itu bukan milik pribadi Presiden, Menteri, Sekjen, Dirjen, Direktur, dan Deputi dan lainnya. Bukan. Ini uang negara. Setidaknya bukan uang pribadi semua aparatur di dalam kementerian itu. Konsekuensinya pengeloaan dan tanggung jawab harus jelas pada semua aspeknya. Kejelasan tanggung jawab, tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Memang tatanegara dan administrasi negara kuno dan konyol, menyodorkan jalan keluar dalam mengatasi soal ini. Jalan keluarnya adalah mengaitkan tindakan yang melampaui batas hukum dengan tujuan dan manfaat besar tindakan itu. Esensi doktrin kuno itu adalah dalam keadaan darurat, aparatur negara bisa mengambil tindakan administrasi melampaui batasan hukum yang tersedia. Untuk mencapai tujuan dan manfaat yang lebih besar. Sesederhana itukah? Tidak juga. Mengapa? Manfaat itu harus dipertalikan secara ketat dengan keadaan yang nyata, dan obyektif. Keadaan nyata itu tidak bisa diperoleh dengan cara dibayangkan atau dirancang secara hipotetik. Apalagi dikarang-karang. Keadaan nyata itu harus memiliki bentuk obyektif –terlihat secara nyata. Dapat diukur dan dicek - oleh semua pihak. Pembaca FNN yang budiman, administrasi negara, setidaknya administrasi pemerintahan, dilaksanakan berdasarkan hokum. Bukan berdasarkan perasaan. Mengapa pakai hukum, bukan perasaan? Hukum dapat dicek. Sedangkan perasaan tidak bisa dicek. Hukum mengandalkan obyektifitas. Sementara perasaan mengandalkan subyektifitas. Obyektifitas disajikan oleh pikiran rasional untuk menghadirkan patokan bersama. Patokan bersama menjadi cara orang-orang rasional menyerukan agar orang memiliki harapan, atau berpengharapan. Karena hukum bekerja berdasarkan norma, yang semua orang dapat mengenal dan membacanya. Perasaan tidak dapat dikenal. Tidak menghadikan obyektifitas. Tuga tidak menghadirkan patokan bersama. Tidak. Perasaan seseorang berbeda dengan perasaan orang lain. Disebabkan tidak dapat dijadikan patokan bersama, maka orang tidak memiliki alasan untuk berpengharapan. Suka atau tidak, perasaan dapat berubah-ubah. Tergantung pada suasana hati dan keadaan. Perasaan justru menjadi pangkal lahirnya kolusi, nepotisme yang menjadi terdekat ke korupsi. Perpu No.1/2020 Jebakan Berbahaya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang judulnya panjang sekali itu, pantas dibicarakan dalam konteks di atas. Perpu ini, sepintas terlihat hebat. Tetapi sejatinya justru menyediakan begitu banyak jebakan berbahaya. Tidak tersedia kepastian yang diperlukan menurut prinsi-prinsip hukum untuk dijadikan dasar yang kokoh dan tak meragukan tindakan administrasi negara, merupakan salah satu jebakan itu. Pasal 11 ayat (3) Perpu misalnya, layak disodorkan sebagai ilustrasi adanya ketidakmemadaian kepastian hukum. Dua soal hukum muncul dari pasal ini. Pertama, apa parameter hukum untuk; a penempatan dana. b. investasi atau c. penjaminan? Kedua, siapa yang menentukan, dalam makna memutus satu di antara tiga tindakan yang dimungkinkan itu? Ketiga, sahkah satu diantara tiga hal dalam pasal di atas dilakukan oleh, misalnya Menteri Keuangan atau Menteri BUMN? Bila satu di antara dua menteri ini melakukan tindakan itu dianggap sah, apa dasarnya? Perpu ini sebagai dasarnya? Tidak. Mengapa? Terminologi pemerintah dalam pasal ini (pasdal 11) Perpu tidak menunjuk menteri. Terminologi ini menujuk Presiden. Dapatkah Menteri melakukan tindakan itu? Bisa, tetapi bersyarat. Syaratnya harus dibuat peraturan tertentu. Peraturan itu harus secara spesifik menguasakan kewenangan Presiden kepada Menteri untuk melakukan tindakan dalam pasal 11 itu. Ini menarik. Ini hanya bisa dilakukan dengan satu bentuk hukum spesifik yang menjabarkan atau mengatur kewenangan, lengkap dengan ruang lingkupnya. Sayangnya PP Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Perekonomian Nasional, sebut saja begitu mengingat judul PP kelewat panjang, juga tidak menunjuk mengatur menteri siapa yang bertanggung jawab atau diberi kuasa oleh Presiden melakukan tindakan itu. Persis Perpu, PP ini juga menggunakan terminologi umum, yakni pemerintah. Seharusnya PP ini berisi pengaturan kuasa kewenangan itu secara spesifik kepada satu atau dua menteri. Bila diberi kuasa kepada dua menteri, maka harus diatur batas kewenangan kedua menteri itu, serta hubungan kewenangan kedua menteri itu. Ini telah tidak dilakukan. Takut itu Bagus Takut atas konsekuensi hukum yang muncul dikemudian hari setelah program pemulihan ekonomi nasional dilaksanakan, hemat saya itu bagus. Bagus, karena dua hal; Pertama, tanggung jawabn administrasi negara itu bersifat individual. Kedua, baik Perpu maupun PP sama-sama punya kelemahan yang sangat fatal. Baik Perpu maupun PP sama-sama tidak menyediakan skema kewenangan dan syarat-syarat hukum yang bersifat teknis. Perpu dan PP berbicara dengan bahasa yang sangat umum. Bahasa yang umum justru menghasilkan ketidakpastian. Ketidakpastian inilah yang membahayakan setiap pejabat. Penggunaan bahasa yang umum, mungkin dipilih sebagai cara menyediakan ruang diskresi sebesar mungkin kepada menteri, dirjen, deputi dan direktur. Diskresi bukan barang terlarang dalam penyelenggaraan administrasi negara. UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan membenarkan aparatur administrasi negara mengambil diskresi. Tetapi UU ini mengatur secara spesifik syarat, tata cara dan tujuan diskresi. Disebabkan diskresi diikatkan pada syarat, tata cara dan tujuan, maka diskresi tidak bisa begitu saja digunakan. Syarat cukup jelas digariskan dalam UU, juga tujuannya. Syarat tidak menyediakan ruang tafsir. Tujuan memerlukan tafsir. Ketepatan tafsir tergantung pada ketepatan merumuskan tujuan. Ketepatan merumuskan tujuan bergantung pada ketepatan identifikasi terhadap keadaan nyata secara obyektif. Pasal 11 ayat (5) Perpu misalnya terlihat menyediakan ruang diskresi itu. Kata-kata penempatan dana dan/atau investasi dapat dilakukan langsung oleh pemerintah dan/atau lembaga keuangan, manajer investasi dan/atau lembaga lain yang ditunjuk. Soal hukum dibawah ini harus dibuat jelas. Soal-soal itu adalah: (a) bagaimana parameter untuik pemerintah memilih penempatan dana dan bagaimana parameneter pemerintah memilih investasi. (ii) Apa saja lembaga keuangan itu. Bank atau nion bank. Mengapa Bank dan mengapa non bank. (c) Apa parameter menunjuk menajer investasi. (d) Apa yang dimaksud dengan lembaga lain yang ditunjuk? Bisakah soal-sioal itu dipecahkan dengan diskresi? Bisa saja, sejauh pejabat itu tahu mendefenisikan, dalam arti memberi bentuk terhadap syarat diskresi. Juga tepat dalam mengidentifikasi keadaan, sehingga diskresi itu tidak mengaburkan tujuan diskresi. Rumit memang, dan jelas mengganggu kenyamanan kerja pejabat. Itu sebabnya logis pejabat merasa ketakutan dalam bertindak. Lain soalnya bila kriteria-kriteria atas soal-soal di atas diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2020. Sayangnya tidak. Itulah masalahnya. Suka atau tidak, soal-soal di atas itulah yang akan menajdi obyek pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab pejabat itu oleh BPK. BPK tidak mungkin tidak mempertanyakan, misalnya mengapa anda memilih bank, bukan non bank atau sebaliknya. Ini soal prosedur. Prosedur adalah cara memastikan kebenaran mengejar tujuan besar yang hebat itu telah dicapai dengan cara yang benar. Ini penting. Lebih dari segalanya. Prosedur juga menjadi pijakan utama, satu-satunya penegak hukum membangun konstruksi hukum tentang ada atau tidak niat melakukan perbuatan melawan hukum, sekaligus menyatakan ada atau tidaknya tindakan melawan hukum. Memeriksa dasar hukum atas tindakan itu, telah menjadi pekerjaan standar BPK dalam tindakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggu jawab atas keuangan negara. BPK akan selalu begitu. Itulah BPK. Hidung dan penciumannya akan diarahkan ke soal-soal itu. Penciuman profesionalnya akan menuntun BPK untuk terus bertanya mana dasar hukum untuk tindakan ini dan itu. Mereka, seperti biasa, akan meminta semua itu –dasar hukum dan data teknis- disediakan dan disajikan layaknya sajian makanan pembesar, selengkap mungkin diletakan di atas meja pemeriksaan. Prosedur-prosedur tindakan administrasi negara dalam merealisasikan program pemulihan perekonomian nasional, tidak bisa dikarang oleh pejabat. BPK akan selalu mau mendengar suara manis pejabat yang diperiksa. Tetapi semanis dan seindah apapun suara pejabat, tetap tak mengubah apapun. BPK tak usah dibuat tersipu dengan manisnya tujuan yang didendangkan pejabat. Tidak. BPK hanya perlu dibuat tersipu, riang dan gembira dengan meletakan Perpu, PP, Perpres, Kepres dan Kepmen di atas meja pemeriksaan. Pejabat, andai bisa, sajikan saja itu sebagai nanyian terindah di musim pemeriksaan BPK. Sekjen, Dirjen dan Irjen, juga Deputi dan Direktur, tak perlu mengarang indah lalu menulis karangan tentang tujuan, keadaan nyata dan dasar hukum. Sekjen, Dirjen dan Irjen, hanya perlu dan harus memeluk erat seerat pelukan Dia yang dicintai dengan dasar hukum yang kokoh, data yang valid dan obyektif. Itu saja. Hukum telah begitu terang melarang Sekjen, Dirjen, Irjen, Deputi dan Direktur menampilkan diri sebagai pahlawan. Hukum mengharus semua orang itu berpegang teguh pada hukum dan data obyektif. Hukum akan memburu siapapun pejabat, yang teridentifikasi mengabaikan hukum dan data obyektif dalam bertindak. Mengerikan. Sekarang BPK belum akan masuk. Tahun anggaran belum berakhir. Hukum belum memungkinkannya. Itu jelas. Tidak mungkin saat ini pemerintah membuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Tetapi semua akan berubah segera setelah tahun anggaran berakhir. Sesaat setelah itu barulah hukum memungkinkan BPK masuk memeriksa. Sekjen, Irjen, Dirjen, Deputi dan Direktur hanya perlu tahu bahwa hukum terlalu buta untuk bisa mengenal kata-kata pahlawan. Bertekadlah sekuat yang bisa, dan nyatakanlah sekuat orang beriman bahwa tuan-tuan tak sudi jadi pahlawan kesiangan. Pastikanlah bahwa yang tuan-tuan besar rindukan dan inginkan hanyalah patuh pada hukum. Hindarkanlah sekuat mungkin kekeliruan-kekeliruan kecil. Sadarilah sedini mungkin kekeliruan yang mungkin terjadi. Akhir yang indah, dihasilkan oleh kemauan mengenal kekeliruan disaat ini. Esok yang indah bersama anak istri dan cucu-cucu tersayang dihasilkan dari takut pada hukum disaat ini. Bathin tak boleh tersiksa dihari esok. Tak usahlah jadi pahlawan, bila hari-hari esok terus diintai kekeliruan kecil saat ini. Takut pada hukum, sejatinya bagus untuk semua aspek untuk tuan-tuian. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Gatot Nurmantyo dan Gerakan Anti RUU HIP. Catatan Atas Wawancaran Dengan Rosi
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Selasa (07/07). Kemarin berbagai orang saling memposting potongan wawancara Rosi Kompas TV dengan Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI. Wawancana terkait kebangkitan Komunisme di Indonesia. Video itu ternyata viral bersamaan dengan laporan gelombang aksi menolak RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang dipelopori FPI dan MUI di seluruh Indonesia. Saya tertarik atas video tersebut. Meski kemudian saya check ke YouTube, ternyata video itu telah di upload disana setahun lalu. Namun, setahunpun ternyata tidak lama untuk melihat bagimana ideologi Gatot Nurmantyo (GN), yang setahun ini belum muncul lagi ke permukaan politik. Terdapat beberapa informasi yang menarik dari video ini. Pertama, GN menyatakan yakin bahwa Komunisme akan bangkit di seluruh Indonesia. Kedua, pemerintahan Jokowi meminta agar penanganan terhadap Komunisme dan orang-orang yang menggerakkannya diperlakukan dengan lunak saja. Ketiga, korban terbesar dalam sejarah pemberontakan komunis di masa lalu adalah para ulama dan umat Islam. Sedangkan pertanyaan menarik yang diajukan Rosi ada tiga. Pertama,) apakah GN yakin dengan informasi bangkitnya Komunisme di Indonesia? Kedua, apakah GN bukan bermaksud memprovokasi rakyat Indonesia terkait isu komunisme ini? Ketiga, apakah GN tidk takut dengan resiko yang mungkin dia hadapi dengan statusnya sudah purnawirawan saat ini? GN menyatakan bahwa pernyataan Rifka Tjiptaning tentang kebangkitan anak-anak PKI, yang jumlahnya 20-an juta sebagai rujukan dasar. Rujukan lainnya tentang kebangkitan Komunisme ada beberapa. Pertama, adanya kaderisasi partai politik tertentu ke PKC (Partai Komunis Cina), RRC yang secara rutin dan berkala. Jedua, adanya pelemahan ajaran agama dan Pancasila dalam sistem resmi kurikulum belajar pendidikan saat ini. Ketiga, adanya pertemuan-pertemuan politik anak-anak eks Komunis. Keempat, adanya distribusi kaos-kaos lambang Komunis Palu Arit meluas di Indonesia. Kelima, adanya razia buku-buku Komunis yang dilakukan jajaran militer. Tafsir Sejarah Sejarah tentunya bukan sebuah jalan lurus. Bukan pula rangkaian informasi berbasis tahun dan tanggal. Bukan pula sebuah gelombang se arah. Namun, sejarah adalah sebuah rangkaian peristiwa di masa lalu yang memiliki hukum sebab akibat dan mempunyai gelombang dengan arus berlawanan serta memiliki berbagai aktor dalam menentukan arahnya. Sejak Amerika merelease keterlibatan CIA dalam peristiwa G30S PKI tahun 1965, sejarah kelam tahun 1965 yang selama ini dibebankan kepada Komunis atau PKI menjadi sebuah pertanyaan baru. Bukankah CIA yang membantu tentara saat itu untuk menggulingkan Sukarno dan membantai orang-orang Komunis di Indonesia? Hak kaum Komunis atau anak-anaknya tentu adalah hak historis yang sah untuk menuntut pembersihan nama baik mereka. Juga membenarkan tafsir sejarah di masa lalu. Namun, bagi ummat Islam, Komunisme sebagai ancaman tentu juga sebuh keniscayaan sejarah. Pertama, Komunisme telah terbukti sepanjang sejarah kehadirannya sebagai ideologi anti Tuhan. Kedua, Komunisme jika berkuasa akan melakukan pemerintahan diktator proletariat, yang menihilkan pemilikan individual, menihilkan demokrasi dan kebebasan individual. Ketiga, Komunis jika berkuasa akan menjadikan agama sebagai musuh, sehingga eksistensi agama hilang sebagai ajaran kehidupan. Pandangan umat Islam atas Komunisme ini dengan demikian bersifat laten dan tidak terikat pada perubahan tafsir yang mungkin terjadi pada peristiwa G30S PKI. Sehingga, kebangkitan Komunisme di Indonesia tetap dianggap ancaman bagi Islam dan ummat Islam yang mayoritas di Indonesia. Lalu bagaimana meletakkan kepentingan anak-anak eks PKI versus kepentingan ummat Islam atas isu ini? Dendam Sejarah Gatot Nurmantyo menjelaskan pada Rosi bahwa anak-anak PKI ini mempunyai dendam sejarah. Sebaliknya, ulama ulama dan umat Islam tidak. Ulama-ulama, bahkan menurut GN, lebih besar korbannya dibanding PKI. Umat Islam selama ini menjadi korban dalam berbagai peristiwa masa lalu. Sejarah yang berdarah tentunya melahirkan dendam. Namun, dendam dalam teori konflik dan resolusi konflik tidak memberikan peluang bagi perdamaian. Perdamaian justru muncul kalau pihak-pihak yang bertikai di masa lalu mempunyai ruang intropeksi dan ruang komunikasi. Beberapa tahun lalu, Taufik Kiemas, berusaha menjembatani berbagai kelompok-kelompok yang bertikai di masa lalu. Taufik Kiemas mengajak untuk melupakan sejarah kelam itu. Setidaknya mengurangi dendam. Pertemuan periodik antara anak-anak tokoh Darul Islam, anak-anak eks PKI dan anak-anak eks Jenderal difasilitasinya berdialog secara rutin. Namun, kelihatannya, upaya almarhum Taufik Kiemas itu sirna saat ini. Ruang politik kita ternyata dipenuhi keinginan kebangkitan politik anti Islam dan "ajaran Komunisme" ,versus tentunya keinginan Islam untuk mempertahankan ajaran Islam sebagai acuan resmi berkehidupan berbangsa dan bernegara. Setahun setelah wawancara GN dengan Rosi itu, fenomena terkini, pertikaian antara orang-orang yang mendorong adanya Haluan Ideologi Pancasila vs. Ulama-ulama yang menolak RUU HIP itu merupakan fakta pertarungan ideologis yang sesungguhnya. Dapat dirujuk pada pikiran dan informasi GN setahun lalu tersebut. Ideologi Gatot Nurmantyo Meskipun wawancara GN dan Rosi di Kompas TV yang viral itu sudah berlangsung setahun lalu, namun dapat ditafsirkan bahwa GN mempunyai ideologi anti Komunisme yang tidak bisa ditawar. GN menjelaskan bahwa TNI ketika dia berkuasa ingin menghapuskan gerakan-gerakan anak-anak eks PKI tersebut. Namun pemerintahan Jokowi melarangnya. Dan menurut GN itu lah yang bisa dilakukan TNI saat itu, yakni memberikan peringatan akan bangkitnya Komunisme. Dalam video versi yang lengkap "Siapa Mau Nonton Nobar?", yang dapat dilihat di YouTube, GN mendapat argumen tantangan dari dua nara sumber yang hadir. Mereka mengatakan bahwa GN terlalu cepat menyimpulkan adanya gerakan Komunisme itu. Seorang sejarawan pada acara itu mengatakan bahwa tidak benar ada gerakan Komunis dan eks PKI saat ini. Fenomena Ribka Tjiptaning, anak eks PKI di DPR, menurutnya adalah hak seseorang yang saat ini tidak bisa dihindari. Khususnya, karena anak eks PKI bukanlah seorang Komunis. Selanjutnya, penggiat hak asasi manusia, sebagai penantang lainnya berharap GN tidak seperti jenderal orde baru, yang suka menuduh Komunis atau PKI bersalah di masa lalu. Namun, GN dalam video itu tetap berpegang teguh pada pandangannya bahwa ada kebangkitan Komunisme di Indonesia dan menilai Komunisme adalah ajaran sesat yang berbahaya. Menurutnya, dia hanya ingin kaum milenial yang minim informasi dapat mempelajari sejarah secara lengkap. Pandangan GN ini telah nenempatkan dirinya dan ketokohannya sebagai kontra kebangkitan Komunisme di Indonesia. Berbagai pernyataannya secara bersamaan, GN mengatakan bahwa ulama adalah pendiri bangsa, yang paling utama. Kedua hal ini menunjukkan posisi ideologi GN yang berhimpitan dengan ajaran Islam. Atau sering diidentikkan sebagai Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari yang utama. Penutup Setahun setelah video resmi di upload di YouTube, wawancara Rosi dan GN, yang kemudian potongannya viral saat ini, menjelaskan posisi ideologi GN yang pro Islam dan sekaligus anti Komunisme. Hal ini tentunya memberikan resonansi pada pertarungan kelompok-kelompok Islam melawan pengusung RUU HIP. Berbagai demonstrasi massa ummat Islam telah terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Sehingga ditingkat pikiranpun telah terjadi resonansi. Yang dimaksud telah terjadi antara pikiran GN, pandangan HRS, pandangan ulama-ulama, dan khususnya pandangan dua ormas Islam besar, yakni NU dan Muhammadiyah. GN tentu bukan lagi tentara aktif. Namun, sebagai mantan Panglima TNI, pikiran ideologis yang viral tersebut memberi makna adanya konsistensi TNI. Setidaknya sampai beberapa tahun lalu, di mana GN berkuasa, menolak eksistensi Komunisme. Sehingga makna ini menambah moral gerakan umat dalam melawan kebangkitan Komunisme di Indonesia. Itulah makna sumbangan ideologis Gatot Nurmantyo. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
Denny Siregar Tak Perlu Minta Maaf ke Umat Islam
by Asyari Usman Jakarta FNN – Selasa (07/07). Pegiat medsos pro-penguasa, Denny Siregar (DS), didesak untuk meminta maaf kepada seluruh santri dan kiyai. Dia dituduh menghina dan melecehkan seluruh santri dengan postingan di akun Facebook-nya. Denny membuat judul “Adek2ku Calon Teroris yg Abang Sayang”, sewaktu dia menuliskan ‘nasihat’ kepada anak-anak yang memakai ikat kepala dengan kalimat syahadat. Warga Tasikmalaya, Jawa Barat, merasa terhina oleh postingan DS. Forum Mujahid Tasikmalaya (FMT) melaporkan Denny ke Polres setempat. Nah, perlukan DS meminta maaf? Menurut hemat saya, tidak perlu. Sebab, sedramatis apapun permintaan maaf dia, DS tidak akan berubah dari watak dan sifat aslinya. Sikap asli DS adalah membenci umat Islam garis lurus. Jadi, permintaan maaf DS, kalau jadi dia sampaikan, hanya sekadar basa-basi saja. Dia akan tetap Denny Siregar yang senantiasa berpikir, berbicara, dan bertindak membenci umat Islam. Karena itu, tidak ada gunanya dia meminta maaf. DS tidak akan beranjak dari ‘stand point’ kebenciannya terhadap umat Islam yang berakidah dan bermuamalah berdasarkan Alqur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw. Saya malah menyarankan agar DS melanjutkan saja misi anti-Islamnya. Melanjutkan terus saja aktivitas pelecehannya kepada umat Islam. Mungkin itu lebih baik bagi DS yang telah terbentuk sebagai orang yang tidak suka dengan Islam. Dan juga lebih baik bagi umat Islam. Mengapa? Karena umat bisa tetap terang melihat siapa DS yang sebenarnya. Lagi pula, apakah Anda berharap polisi akan berlaku adil dalam menindaklanjuti pengaduan FMT? Kalau saya tidak. Polisi dan instansi-instansi penegak hukum lainnya tidak akan pernah menegakkan keadilan selagi Denny Siregar sebagai subjeknya. Sudah berkali-kali dia dilaporkan dengan bukti-bukti yang jelas. Tidak ada hasil apa-apa. Dia malah semakin menjadi-jadi. DS adalah orang yang sangat diperlukan oleh para penguasa. Diperlukan dalam misi menghina-hina dan melecehkan umat Islam. Dia juga diperlukan untuk menjilat-jilat penguasa. Diperlukan dalam tugas untuk memancing-mancing emosi umat Islam. DS sangat berguna untuk membalik-balikkan akal sehat menjadi akal sakit. Dia juga diperlukan dalam misi penyebaran kesesatan berpikir dan kesesatan dalam berakidah. Toh, tugas itu telah dilaksanakan dengan sangat baik dan sempurna oleh DS. Telah sukses besar. Jadi, sekali lagi, umat Islam tidak usah mendorong DS meminta maaf. Dan juga tidak usah menerima pemintaan maaf dari dia kalau itu diucapkannya. Toh, dia telah bertekad akan melaporkan balik pelapor kalau tuduhan kepada dia tidak bisa dibuktikan. Artinya, DS tidak akan pernah punya itikad baik terhadap umat yang dilecehkannya. Tidak usah lagi suruh dia meminta maaf. Yang perlu dilakukan oleh umat adalah mencarikan solusi untuk Denny agar dia berhenti menjadi penghina dan pencerca Islam dan umat Islam. Solusi yang siftanya permanen. Yaitu, solusi dekonstruktif yang memerlukan kreativitas umat. Umat harus melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran-pemikiran DS. Langkah dekonstruksi itu dapat saja dilakukan melalui dialog langsung dengan beliau dalam bahasa yang abstrak. Langkah itu jauh lebih penting, darpada mendorongnya untuk meminta maaf kepada umat Islam. Saya menduga, Denny lebih cepat memahami bahasa abstrak yang tak beraturan itu. Yang lazim disajikan tanpa kaedah atau norma yang jelas. Hanya dengan cara ini Denny Siregar akan senyap. Semoga berhasil. Penulis adalah Penulis Wartawan Senior
Skandal Politik Pilpres 2019 Dibuka Mahkamah Agung
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (07/07). Tayangan video youtube dari konsultan media dan politik, yang juga penulis wartawan senior dari Forum News Network (FNN.co.id) Hersubeno Arief, cukup mengejutkan. Bahwa pada tanggal 28 Oktober 2019, Majelis Hakim Mahkamah Agung telah memutuskan, dengan mengabulkan permohonan uji materiel Bu Rachmawati Soekarnoputri cs. terhadap Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang penetapan pemenang Pilpres 2019. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 inilah yang digunakan oleh KPU sebagai alasan hukum untuk menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Anehnya, Putusan Mejelis Hakim Agung Nomor 44 P/HUM/2019 yang diputus tanggal 28 Oktober 2019 tersebut baru diumumkan ke publik Jum’at tanggal 3 Juli 2020. Bertindak sebagai Majelis Hakim Agung adalah Dr. H. Supandi SH. M.Hum sebagai Ketua Majelis, dan Dr. Irfan Fachruddin SH. CN. dan Is Sudaryono SH. MH. sebagai anggota majelis. Putusan ini baru diupload di website Mahkamah Agung pada Jum’at 3 Juli 2019. Dampaknya, selain mengakibatkan kejutan di masyarakat, termasuk luar negara, jugamembawa dampak politik dan hukum. Putusan ini menjadi dugaan telah terjadinya skandal besar, berupa penutupan informasi punlik yang sangat penting. Adapun diktum penting dari Putusan Majelis Hakim Agung tersebut, antara lain pada butir 2 dan 3, yaitu : “2. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No 5 tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum”. “3. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No 5 tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi dan Penetapan Calon dalam Pemilihan Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ". Nah sangat jelas bahwa Penetapan Pasangan Jokowi Ma'ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden itu ditetapkan KPU berdasarkan Pasal 3 ayat (7) yang telah dinyatakan Mahkamah Agung "bertentangan dengan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum" dan "tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat". Oleh karena itu status Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai Presiden/Wakil Presiden tersebut menjadi "batal demi hukum" (nietigheid van rechtswege) atau sekurang-kurangnya "dapat dibatalkan" (vernietigbaar). Aada tiga skandal yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 ini, yaitu : Pertama, pengendapan sampai 9sembilan bulan putusan penting adalah suatu kejahatan yang sangat luar biasa. Diduga melibatkan banyak pihak. Mereka terdiri dari penyuruh (medeplichtige), pelaku (dader), dan turut serta (mededader). Mesti segera diusut oleh aparat hukum. Kedua, skandal korupsi. Bahwa iklim politik yang kapitalistik dan transaksional membuat dugaan kuat terjadinya korupsi suap atau gratifikasi pada pejabat di lingkungan Mahkamah Agung. KPK seharusnya mulai bergerak melacak skandal ini. Ketiga, ini adalah skandal politik. Presiden Jokowi bekerja dengan tingkat keabsahan yang diragukan. Paling kurang tanpa tanpa keabsahan hukum sebagai Presiden. Ini dapat "sudden death". Berhentikan dengan cepat. KPU mesti mencabut keputusan pemenang. Informasi penting yang nanti yang sangat signifikan juga bakal didapat dari pihak pemohon, yaitu Bu Rachmawati cs. Info penting itu untuk memulai pembongkaran skandal besar dalam proses politik di negeri ini. Keraguan sejak dini tentang kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin akan segera terjawab. Kebenaran akan terkuak. Putusan Mahkamah Agung menjadi sinyal bahwa kemenangan memang didapat dengan curang dan tidak legal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Pasar Modal Indonesia Diambang Kiamat
by Hersubeno Arief Jakarta FNN – Senin (06/07). Mantan Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio membuat postingan (unggahan) mengerikan. Ekonomi Indonesia sedang dalam bahaya besar. Pasar modal Indonesia terancam ambruk (crash). Postingan (feed) Tito di Akun instagramnya Ahad (5/7) langsung viral. Bagaimanapun Tito bukan orang sembarangan. Kelasnya bukan netizen alay yang sedang galau. Curcol (curhat colongan) di medsos. Dia pelaku sekaligus pernah menjadi pemegang otoritas tertinggi di PT BEI (2015-2018). Jauh sebelum menjadi Dirut PT BEI Tito adalah pelaku di pasar saham. Setelah lengser, dia kembali menjadi salah satu pemain besar. Boleh dibilang hidupnya dari pasar saham. Dia bahkan dikenal sebagai maestro pasar modal Indonesia. Tito juga punya program membantu para pebisnis pemula yang tengah membangun perusahaan rintisan (start-up). Melalui IDX Incubator dia membantu sejumlah start-up masuk ke bursa saham, dan mendapatkan permodalan. Jadi feed Tito di akun Instagramnya harus disikapi sangat serius. Bursa saham Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Bismilahirohmanirohim, tulis Tito memulai feed-nya.“Ya Allah, ya Tuhan kami. Saat ini pasar modal Indonesia sedang dalam cobaan berat. Engkau nyalakan api membara meluluh lantakan harga saham. Angin kencang Engkau tiupkan mengkocar-kacirkan para pemodal. Gempa menggoyang, menghancurkan dan menjatuhkan para pelaku. Bahkan hawa dingin Engkau hembuskan, membekukan langkah para regulator dan otoritas,” tulisnya. Dari unggahan itu kita dapat menangkap apa yang membuat risau Tito. Bursa saham sedang hancur-hancuran. Para pelakunya kocar-kacir. Sementara regulator dan otoritas (pemerintah) kebingungan. Tak melakukan apa-apa. Feed berikutnya memberi signal kondisi eknomi Indonesia yang menggiriskan (menakutkan). Orang Jawa menyebutnya nggegirisi! Menakutkan, mengerikan! “Ya Allah Yang Maha Kuasa. Industri pasar modal selalu menjadi signal perekonomian nasional. Saat ini panasnya api, dingin es, goyangnya gempa membuat industri pasar modal Indonesia penuh ketidak-pastian.” “Ya Allah ketidakpastian ini berdampak sistemik ke tata kelola Industri finansial lainnya, baik perbankan maupun asuransi, pada akhirnya bisa melemahkan daya beli masyarakat,” tulisnya. Bila kita cermati Tito menulis dengan penuh nada ketakutan. Harap-harap cemas, dan karena merasa mentok, akhirnya hanya bisa menyerahkan semuanya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Rontoknya bursa saham memang sudah terbukti bersifat sistemik. Tahun 1929 bursa saham Wall Street di New York rontok. Peristiwa yang dikenal sebagai Black Tuesday ini mendorong hancurnya perekonomian negeri Paman Sam. Krisis besar melanda. Amerika Serikat mengalami Great Depression (1930). Kemudian menyebar ke seluruh dunia. Hancurnya pasar saham Indonesia dampaknya pasti tidak sebesar kejatuhan bursa saham Wall Street. Namun dipastikan akan sangat serius bagi Indonesia. Ekonomi hancur-hancuran akibat salah kelola, dihajar lagi dengan pandemi Corona. Wabah global juga menghancurkan ekonomi semua negara. Dunia diambang Great Depression Part 2. Sulit bagi pemerintah untuk membayangkan akan mendapat bantuan dari negara-negara lain, atau otoritas perekonomian dunia. Semua negara sedang butuh bantuan. Wajar bila Tito terkesan ketakutan. Kalkulasi manusia sudah tak mampu lagi menjawabnya. Tidak ada jalan lain kecuali mengadu kepada Allah Yang Maha Kuasa. Bagi yang kenal Tito sikap ini mengejutkan. Seorang teman yang mengaku kenal dekat secara bercanda menyatakan “luar biasa kalau Tito sudah mengadu ke Tuhan.” Pasti sudah sangat-sangat serius. Dia bukan pribadi yang anti Tuhan. Bahkan ke media dia selalu mengaku kesuksesannya berkat doa Ibunya yang rajin salat tahajud. Tapi dia pribadi yang rasional dan tidak relijius-relijius amat. Dengan meminjam sudut pandang Tito, kita memahami apa yang tengah terjadi. Kegalauan dan ketakutannya memperkuat kekhawatiran sejumlah kalangan. Ekonomi Indonesia sedang dalam bahaya. Tidak seindah seperti digambarkan oleh Menko Marinvest Luhut Panjaitan. Bank Dunia status Indonesia dinaikan dari negara dengan penghasilan menengah ke bawah ( middle lower income), menjadi menengah atas (upper middle income). Apa artinya status itu, kalau masyarakat tak punya daya beli? Ya Allah Yang Maha Pengasih, ampunilah kami. Ampunilah para pemimpin kami. Selamatkan bangsa kami. Amin…end. Penulis adalah Wartawan Sernior.
RUU HIP Itu Bukti Menghianati Bung Karno
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (06/07). Bahwa Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 menawarkan rumusan ideologi negara apakah Pancasila, Trisila, atau Ekasila tak bisa dibantah sebagai fakta sejarah. Pidato "perasan" ini disampaikan di depan peserta sidang BPUPKI yang dipimpin dr. Radjiman Wedyodiningrat. Masalahnya adalah Ir. Soekarno sama sekali tidak menetapkan atau bersepakat dengan Pancasila rumusan 1 Juni tersebut. Masih mengambang, dan itu adalah sebatas tawaran pilihan dari Soekarno saja. Usulan dan pidato-pidato berikut dari para peserta sidang tidak menyepakati tawaran Bung Karno tersebut. Dalam rangka menggodok semua masukan peserta siding, maka dibentuklah Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno sendiri. Panitia Sembilan sepakat rumusan Pancasila sebagaimana yang dikenal dengan nama “Piagam Jakarta”. Sila pertama adalah "Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja". Bung Karno tentu menandatangani rumusan Pancasila 22 Juni 1945 tersebut. Maka lahirlah Pancasila. Inilah Pancasila yang dilahirkan oleh BPUPKI. Oleh Ir. Soekarno. Makanya keliru jika menyatakan 1 Juni 1945 sebagai kelahiran Pancasila. Belum ada kesepakatan apa-apa saat itu. Masih penggodokan, adu konsep atau adu tawaran gagasan. Soekarno sendiri masih ragu soal Pancasila, sehingga merasa perlu menawarkan untuk dipertimbangkan alternatif Trisila dan Ekasila. Tawaran ini pun tidak mendapat sambutan apa-apa. Apalagi sampai persetujuan. Sama sekali tidak ada. Soekarno telah men"drop" tawarannya, dan tidak lagi mencoba untuk memperjuangkan pasca pidato. Tidak ada lobi-lobi yang "ngotot" untuk menggoalkan Trisila dan Ekasila. Fakta terakhir yang disetujui oleh Soekarno adalah Pancasila dengan rumusan sebagaimana tercantum dalam "Piagam Jakarta". Soekarno tidak menyesal atas tidak diterima tawaran "peras perasan" sila-sila pada Trisila dan Ekasila. Rumusan"Piagam Jakarta" adalah keyakinan dan kebenaran ideologi yang diterima Ir. Soekarno. Ini adalah rumusan ideal ideology Soekarno. Sekurangnya untuk saat itu 22 Juni 1945. Kini Soekarnois mencoba memasukan Pancasila (1 Juni 1945), Trisila, dan Ekasila dalam Pasal RUU HIP. Tidak disadari bahwa perjuangan ini adalah penghianatan pada diri Soekarno sendiri. Presiden pertama ini sudah men"drop" gagasan itu. Bahkan secara formiel dan materiel Soekarno sudah menerima. Soekarno sudah sepakat pada rumusan Pancasila 22 Juni 1945. Kemudiannya menjadi Rumusan Pancasila 18 Agustus 1945. Saat Dekrit 5 Juli 1959 Soekarno menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, dan merupakan satu kesatuan dengan UUD tersebut. Tidak terlintas dalam fikiran Soekano bahwa ada Pancasila 1 Juni 1945 atau Trisila dan Ekasila itu menjadi jiwa dari UUD 1945. Menghidupkan sesuatu yang sudah dikubur oleh Soekarno sendiri merupakan upaya, yang bukan saja menghianati bangsa Indonesia. Tetapi juga menghianati pribadi proklamator bangsa Indonesia yang bernama Ir. Soekarno itu. Bilangnya sih menghormati Soekarno. Namun yang tidak disadari bahwa sebenarnya telah menghianati Soekarno. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Yang Bermasalah Itu Kalian, Bukan Pancasila
by Asyari Usman Jakarta FNN – Senin (06/07). Setelah gagal dengan RUU HIP yang bertujuan untuk memeras (ekstraksi) Pancasila menjadi Trisila-Ekasila, PDIP masih ingin ‘melanjutkan’ konstroversi soal Pancasila. Mereka mencoba mengajukan revisi. Sekarang, Banteng maju dengan perubahan judul RUU. Bukan lagi Haluan Ideologi Pancasila (HIP), tetapi Penguatan Ideologi Pancasila (PIP). Yang menjadi pertanyaan, apakah memang perlu ada UU untuk melindungi Pancasila sebagaimana diinginkan oleh PDIP? Mengapa partai ini bingung sekali menjaga agar Pancasila kuat dan menjadi ‘manual’ setiap manusia Indonesia? Sangat mengherankan. Untuk apa PDIP bingung? Untuk apa Bu Mega dan para elit politik, elit eksekutif, merasa resah? Mengapa Anda cemas, seakan rakyat tidak akan berpancasila? Sehingga, harus ada UU PIP atau sejenisnya? Bu Mega dan bapak-ibu sekalian yang sedang berkuasa, baik yang memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif, dan kekuasaan ekonomi-keuangan! Yang harus Anda lakukan itu adalah melihat diri Anda sendiri. Berkaca, kata orang. Bapak-Ibu sekalian. Ada tiga kelompok manusia yang paling banyak merusak negara ini. Mereka merusak keadilan politik dan ekonomi. Merusak tatanan dan keadilan sosial. Merusak nilai-nilai moralitas. Dan juga merusak alam lingkungan hidup. Semua itu terjadi karena kerakusan. Rakus kekuasaan. Rakus kekayaan. Rakus syahwat hedonisme dan birahi. Siapakah ketiga kelompok yang merusak itu? Yang pertama, politisi. Yang kedua, penguasa eksekutif. Yang ketiga penguasa ekonomi-bisnis. Hebatnya, ada sekian banyak orang yang sekaligus memiliki ketiga macam kerakusan itu. Jadi, kalau Anda masuk ke dalam salah satu kategori di atas, itu berarti Anda berpotensi menjadi orang yang merusak negara ini. Atau, Anda malah sudah menjadi pelaku kerusakan itu. Hari ini, kalianlah yang sibuk dengan Pancasila. Sibuk mau memperkuat Pancasila. Seolah-olah kalianlah yang pantas menyandang predikat pancasilais sejati. Orang lain tidak. Seolah-olah kalianlah yang telah menerapkan nilai-nilai Pancasila itu. Orang lain tidak. Tapi, cobalah Anda berkaca. Lihatlah diri Anda sendiri. Bercerminlah. Apakah Anda sudah berpancasila? Apakah Anda tidak korupsi? Apakah Anda tidak menipu rakyat? Apakah Anda menang tanpa kecurangan dalam pemilihan umum? Apakah Anda tidak menggunakan cara sogok-menyogok untuk mendapatkan kekuasaan? Apakah Anda tidak menyalahgunakan kekuasaan? Apakah Anda tidak menumpuk kekayaan? Apakah Anda memperoleh kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi-keuangan, dengan cara yang jujur? Apakah Anda memberikan atau mendapatkan hak pengelolaan sumber alam dengan cara yang jujur, tanpa sogok-menyogok? Apakah Anda tidak pernah menerima upeti (sogok) dari para penghisap kekayaan negara ini? Apakah Anda tidak ikut berlomba-lomba mengoleksi rumah mewah, mobil mewah, barang-barang mewah? Apakah rekening bank Anda isinya pernah tak sampai satu juta rupiah? Wahai para politisi, para penguasa ekeskutif, dan penguasa ekonomi-bisnis yang rakus-rakus! Banyak lagi pertanyaan yang perlu kalian jawab. Banyak lagi cermin yang harus kalian tatap. Dan banyak introspeksi yang harus kalian lakukan. Kalian perlu duduk tenang sambil merenungkan perilaku kalian. Kalian perlu mewaraskan diri agar bisa melihat apa yang kalian kerjakan, dan apa yang dikerjakan oleh rakyat. Supaya kalian sadar bahwa yang bermasalah itu kalian, bukan rakyat. Yang bermasalah itu kalian, bukan Pancasila. Pancasila tidak perlu diutak-atik. Pancasila tidak perlu diperkuat dengan undang-undang. Yang perlu direhabilitasi itu adalah isi kepala kalian. Yang harus disempurnakan adalah otak-otak kalian. Bukan Pancasila. Jadi, berhentilah mencari kesalahan di luar diri kalian. Sebab, semua persoalan bangsa dan negara ini ada di dalam diri Anda. Penulis adalah Penulis Wartawan Senior.