Menuntut Ganti Rugi BBM Mahal Rp 24 Triliun

by Dr. Marwan Batubara

Jakarta FNN - Jum'at (11/09). Tak lama setelah dilantik, Presiden Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Ecerean BBM pada 31 Desember 2014. Perpres Nomor 191/2014 direvisi dengan Perpres Nomor 43/2018 guna menambah wilayah penjualan BBM penugasan (Premium). dan kebijakan tentang penerimaan badan usaha setelah audit BPK.

Harga eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) berubah. Terutama sesuai fluktuasi harga minyak dunia dan nilai tukar dollar terhadap rupiah. Perpres Nomor 191/2014 menjadi rujukan Kementrian ESDM menetapkan formula harga eceran BBM secara rutin (bulanan) berbentuk Peraturan Menteri (Permen) dan Keputusan Menteru (Kepmen).

Permen ESDM yang pernah terbit meliputi Nomor 39/2014, No.4/2015, Nomor 39/2015, Nomor 27/2016, Nomor 21/2018, Nomor 34/2018 dan Nomor 40/2018, Nomor 19K/2019, Nomor 62K/2019, Nomor 187/2019, Nomor 62K/2020 serta Nomor 83K/2020.

Implementasi peraturan di atas tercermin pada harga BBM domestik yang berubah-ubah sesuai fluktuasi harga minyak dunia. Misalnya, harga BBM RON-92 (Pertamax) per liter pada Mei 2015 adalah Rp 9.600, turun menjadi Rp 7.550 pada April 2016. Kemudian naik ke Rp 8.400 pada Desember 2017. Naik lagi Rp 9.150 pada Februari 2018 dan Rp 9.850 pada Desember 2019. Setelah itu turun ke Rp 9.200 pada januari 2020 dan Rp 9.000 pada Februari 2020.

Harga minyak dunia yang dinamis membuat harga eceran Pertamax pernah lebih rendah dari Rp 8.000 atau lebih mahal dari Rp 9.000 per liter. Artinya, sesuai peraturan yang ada, rakyat harus membeli BBM lebih mahal dari Rp 9.000 per liter saat harga minyak dunia naik. Begitu juga pernah menikmati harga murah lebih rendah dari Rp 8.000 per liter saat harga minyak dunia turun.

Ternyata, pada saat harga minyak dunia turun signifikan menjadi sekitar U$ 32 per barel pada Maret 2020 atau sekitar U$ 21 per barel pada April 2020, harga BBM di dalam negeri tidak turun. Kondisi normal harga BBM yang berlangsung empat tahun terakhir, tidak lagi dijalankan. Padahal aturan rujukan masih berlaku efektif.

Menteri ESDM Arifin Tasrif beralasan, harga minyak masih belum stabil dan harga BBM Indonesia sudah cukup murah. Sedangkan Dirut Pertamina Nicke Widyawati, mengatakan harga BBM tidak turun karena biaya crude domestik lebih mahal dibanding impor. Pertamina harus menyerap 100% produksi domestik, menjaga bisnis migas kondusif, mencegah PHK, menjaga operasi kilang, dan mengkompensasi penurunan konsusmsi BBM akibat Covid-19.

Apapun pun alasannya, kita tetap tidak dapat menerima jika harga BBM tidak turun. Mengapa? Karena peraturan dan formula harga eceran BBM masih berlaku. Selama ini rakyat rela membayar harga BBM lebih mahal sesuai aturan. Dengan aturan yang sama, wajar rakyat menuntut harga BBM harus diturunkan saat harga minyak turun. Seperti yang terjadi saat harga Pertamax per liter hanya Rp 7.550 pada April 2016 atau Rp 8.400 pada Desember 2017.

Rakyat wajar menuntut harga BBM segera turun. Rakyat juga menuntut ganti rugi kemahalan harga BBM. Rakyat menolak kebijakan semau gue dengan melanggar peraturan yang diterbitkan sendiri oleh pemerintah. Jika pemerintah menghalangi rakyat menikmati harga BBM lebih murah, sementara aturan rujukan masih berlaku, maka dapat dinyatakan pemerintah telah bertindak “semau gue”. Pemerintah melawan hukum dan menzolimi rakyat di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi covid-19.

Sesuai Kepmen ESDM Nomor 62K/2020, formula harga bensin di bawah RON 95, Bensin RON 98, dan Minyak Solar CN 51 adalah MOPS atau Argus + Rp 1800 per liter + margin 10% dari harga dasar. Sebagai contoh, dengan formula di atas, sesuai MOPS rata-rata 25 Februari sampai dengan 24 Maret 2020 dan kurs U$ 15.300, maka diperoleh harga BBM yang berlaku 1 April 2020 jenis Pertamax RON 92 sekitar Rp 5.500 per liter dan Pertalite RON 90 sekitar Rp 5.250 per liter.

Ternyata harga resmi BBM di SPBU masing-masing adalah Rp 9.000 dan Rp 7.650. Dengan demikian, jika dibanding harga sesuai formula, maka konsumen BBM Pertamax membayar lebih mahal Rp 2.000 sampai Rp 3.500 per liter. Hal sama juga terjadi untuk BBM tertentu (Solar) dan Khusus Penugasan (Premium). Namun dengan nilai kemahalan sekitar Rp 1.250-1.500 per liter. Untuk semua jenis BBM rerata nilai kemahalan diasumsikan Rp 2.000 per liter.

Harga rerata minyak dunia bulan Februari, Maret, April, Mei, dan Juni 2020 masing-masing adalah sekitar U$ 55, U$ 32, U$ 21, U$ 29, dan U$ 39 per barel. Sedangkan nilai tukar merata U$ terhadap rupiah untuk periode yang sama adalah Februari Rp 14.340, Maret dan April Rp 16.300, Mei Rp 14.800, dan Juni Rp 14.600 per dollar.

Berdasarkan asumsi-asumsi harga minyak dunia dan nilai tukar di atas, serta merujuk nilai kemahalan atau kelebihan bayar April 2020 sebesar Rp 2.000 per liter, IRESS memperkirakan kelebihan bayar konsumen BBM per liter untuk periode Maret-Juni 2020 adalah Maret Rp sekitar 1.000, April Rp 2.000, Mei Rp 2.600, dan Juni Rp 1.600.

Rata-rata konsumsi BBM per hari diasumsikan Maret 120 ribu kiloliter, April 100 ribu kiloliter, Mei 111 ribu kiloliter, dan Juni113 ribu kiloliter. Maka diperoleh perkiraan kelebihan bayar konsumen untuk semester satu 2020 Maret Rp 3,3 triliun, April Rp 6,4 triliun, Mei Rp 8,9 triliun dan Juni Rp 5,5 triliun. Sehingga total kelebihan bayar konsumen semester satu 2020 sekitar Rp 24,1 triliun.

Kelebihan bayar konsumen BBM Rp 24,1 triliun di atas adalah subsidi yang dipaksakan oleh pemerintah untuk dibayar oleh rakyat. Padahal saat ini rakyat hidup susah akibat Covid-19. Rakyat justru lebih butuh subsidi negara dibanding mensubsidi perusahaan negara.

Merujuk artikel IRESS 2 September 2020, pemerintah telah membebani Pertamina dengan kebijakan inkonstitusional dan melanggar aturan berupa 1) Signature Bonus Blok Rokan Rp 11,3 triliun, 2) Harga Crude Domestic yang dimark-up Rp 9,25 triliun, dan 3) beban bunga bond akibat kebijakan populis Pilpres 2019 Rp 3 tiriliun. Total beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun.

Kebijakan di atas dapat dianggap kejahatan konstitusional bernuansa moral hazard yang secara tidak langsung merugikan rakyat Rp 23.55 triliun. Dampak langsung kebijakan inskosntitusional tersebut adalah rakyat gagal menikmati harga BBM mura. Karena harus mensubsidi Pertamina Rp 24,1 triliun melalui harga BBM yang tidak turun pada semester satu 2020. Karena itu wajar jika rakyat menggugat pemerintah demi tegaknya hukum dan keadilan.

Gugatan di atas telah diwujudkan Koalisi Masyarakat Penggugat Harga Bahan Bakar Minyak (KOMPHAK) melalui Surat Somasi kepada Presiden Jokowi. Surat Somasi diterima Setneg sesuai bukti penerimaan No.20MM-YFRC5S 9 Juni 2020. Para anggota KOMPHAK adalah Dr. Marwan Batubara, Prof. Dr. Mukhtasor M.Eng., Dr. A. Yani SH, MH, Agung Mozin MSi, Drs. M.H. Taliwang MI.Kom., Dr. Taufan Maulamin, Djoko E. Abdurrahman, Agus M. Maksum SSi, Narliswandi, Bisman Bachtiar SH, MH, Muslim Arbi, A. Syebubakar, M.R. Kamidin, dan Darmayanto.

Sampai batas waktu Somasi berkahir, Presiden tidak memberi tanggapan. Karena itu, melalui Tim Advokat, KOMPHAK mengajukan Gugatan Citizen Law Suit (CLS) kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Juli 2020, dengan Nomor Perkara 405/Pdt.G/2020. Tim Advokat KOMPHAK adalah Wirawan Adnan, SH, MH, Dr. M. Luthfie Hakim, SH, MH, M. Mahendradatta, SH, MA, MH, A. Michdan, SH, Munarman, SH, Djudju Purwantoro SH, A. Leksono, SH, Ichwan Tony, SH., C.I.L, dan Yushernita, SH.

Melalui Gugatan CLS, IRESS bersama KOMPHAK menuntut agar harga BBM segera diturunkan sesuai aturan dan formula yang berlaku. Kami juga menuntut agar subsidi paksa Rp 24,1 triliun berupa kelebihan bayar harga BBM yang telah dikeluarkan para konsumen BBM

Pada semester satu 2020, segera dikembalikan untuk dapat dibagikan kepada rakyat miskin korban pandemi Covid-19. IRESS mengajak rakyat yang peduli hukum, kebenaran dan keadilan untuk mendukung dan mengadvokasi gugatan supaya berhasil, dan dikabulkannya tuntutan tersebut.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).

396

Related Post