OPINI

Jangan Membual, Resesi Ekonomi Menghitung Hari

Optimisme yang terlalu tinggi juga akan menjadi bahan olok-olokan sebagian masyarakat. Coba kita buka video, Joko Widodo yang menyebut di kantongnya ada dana Rp 11.000 (baca : sebelas ribu triliun rupiah). Ini angka yang luar biasa. by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Senin (14/9). Besok, sudah 15 September 2020. Itu berarti, sisa bulan ini tinggal 15 hari lagi. Tidak ada bedanya, jumlah tanggal dalam bulan September tahun-tahun sebelumnya, maupun tahun-tahun mendatang. Yang membedakannya hanya pada tanggal yang jatuh berbeda dengan harinya. September 2020, tinggal hitungan hari. Banyak peristiwa yang terjadi di bulan ini. Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI terjadi di penghujung bulan ini. Tujuh jenderal diculik dan ditebas oleh PKI yang didalangi oleh Kolonel Untung dari Pasukan Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden waktu itu). Di bulan September ini juga ada peristiwa yang mengguncang dunia. Tanggal 11 September 2001, gedung WTC di New York disambar pesawat yang oleh Amerika Serikat dilakukan teroris Alqaeda. Saya tidak mau terlalu jauh ke peristiwa yang sudah lalu di bulan September ini, terutama yang terjadi di negara Pancasila yang saya cintai dan banggakan ini. Yang ingin saya sampaikan adalah bulan September 2020 ini bukan lagi September Ceria seperti lagu Vina Panduwinata. September ceria harus kita lupakan. Sebab, September 2020 ini menjadi bulan penentu bagi perekonomian Indonesia, yang sudah lama melorot, kemudian mengalami krisis, terutama akibat Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19). Kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi minus 5,30 persen. Pertumbuhan ini menjadi tanda akan terjadinya resesi ekonomi nasional, menyusul resesi ekonomi yang sudah menimpa negara-negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa. Demikian juga halnya dengan ekonomi Singapura dan Malaysia yang sudah dua di kuartal minus (kuartal I dan II/Januari sampai Juni). Merujuk pada keadaan ekonomi yang dialami negara-negara mapan, sangat sulit bagi Indonesia keluar dari jurang resesi. Sangat sulit juga perekonomian Indonesia segera pulih. Saling menyalahkan antara elit bangsa ini, terutama yang duduk di pemerintahan akan semakin mempersulit keadaan, baik secara ekonomi, politik, sosial dan keamanan. Tidak ada lagi yang akan bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia dari resesi. Walaupun diguyur dana Rp 800 triliun, ekonomi Indonesia pasti mengekor ke negara-negara yang sudah lebih awal mengumumkan resesi. Torehan ekonomi di kuartal II-2020 yang terkontraksi minus 5,3 persen menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah. Sebab jika hal serupa terjadi di kuartal III-2020 ekonomi Indonesia resmi resesi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas hal itu dalam kunjungannya ke Jawa Barat bulan Agustus lalu. Di depan pemimpin daerah di Jabar, Jokowi mengingatkan untuk berhati-hati dalam menjaga roda ekonomi. "Kita tahu kuartal I-2020 masih tumbuh 2,97 persen. Negara lain sudah banyak yang negatif kita masih tumbuh positif 2,97 persen. Tapi di kuartal kedua kita sudah masuk minus, dari 2,97 persen positif langsung minus 5,32 persen. Ini hati-hati. Tadi di Jawa Barat juga di kuartal kedua sudah berada pada posisi minus 5,9 perswn. Hati-hati, tapi saya optimistis di kuartal ketiga kita akan lebih baik dari yang kuartal kedua. Kita harapkan kita ingin tumbuh tapi ini memang perlu kerja keras," ujarnya dilansir melalui tayangan langsung dari akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (11/8/2020). Oleh sebab itu, lanjut Jokowi, dia meminta kepada para gubernur, bupati dan walikota di Jabar untuk segera merealisasikan anggaran belanjanya. Sebab dia mencatat dari seluruh belanja pemerintah daerah sekitar Rp 170 triliun masih tersimpan di bank. Tidak ada lagi yang akan bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia dari resesi. Walaupun diguyur dana Rp 800 triliun, ekonomi Indonesia pasti mengekor ke negara-negara yang sudah lebih awal mengumumkan resesi. Dalam dua kuartal 2020 (Januari sampai Juni) ekonomi Jepang, misalnya sudah minus 2,2 persen. Di saat banyak negara sudah mengumumkan resesi, Indonesia masih saja berkutat pada angka-angka optimis. Presiden Joko Widodo pada Agustus 2020 masih optimis pertumbuhan ekonomi kuartal III akan lebih baik dibandingkan dengan kuartal II. Bisa jadi pertumbuhan kuartal III lebih baik dari pertumbuhan kuartal II, walau sama-sama minus. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III ini berada pada kisaran minus 2 sampai 0 (nol) persen. Bank Indonesia juga mengaminya. Hanya Badan Pusat Statistik (BPS) yang belum mengeluarkan perkiraan. Sebab, BPS akan mengeluarkan angka pasti pertumbuhan kuartal III, awal Obtober nanti. Bahkan, seluruh lembaga-lembaga keuangan intermasional, mulai dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Dana Moneter Internasional (IMF) sudah mengeluarkan perkiraan bahwa ekonomi Indonesia tahun 2020, minus. Jika secara total tahun ini minus, itu artinya resesi panjang atau paling tidak krisis ekonomi yang sangat lama dan berat. Sri Mulyani mengatakan, pemerintah mematok angka pertumbuhan negatif 0,4 persen sampai 1,0 persen di 2020. Angka itu lebih rendah dari proyeksi awal yang negatif 0,4 persen sampai 2,3 persen. Pemerintah akan menggenjot ekonomi pada kuartal III dan IV agar sampai akhir tahun tetap tumbuh positif. Akan tetapi, apakah mudah menggerakkan ekonomi dari negatif ke positif. Apalagi memasang angka positif dengan angka yang bombastis. Sangat tidak masuk akal. Ingat, krisis ekonomi 1998 dan berlanjut hingga 1999. Bahkan, tahun 2000 pun masih berat. Padahal, pemicunya hanya karena melorotnya mata uang Thailand, Bath dan virusnya hanya menyebar ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Hanya saja, pemulihan ekonomi Indonesia lebih lama karena ditumpangi persoalan politik dan huru-hara yang menyebabkan Presiden Soeharto lengser. Cukup Rp 11.000 Triliun Joko Widodo dan jajarannya, terutama yang berada di barisan ekonomi hampir selalu menyodorkan angka dan kata-kata yang terkadang kurang masuk akal. Optimisme harus dibangun dan digerakkan oleh pemimpin di negeri ini. Akan tetapi, optimisme yang berlebihan tidak baik dan tepat, karena rakyat akan semakin tidak percaya. Optimisme yang berlebihan cenderung sebagai bualan (saya tidak mau menyebut kebohongan). Optimisme yang berlebihan adalah sebuah ilusinasi yang akan membuat arah bangsa ini semakin tidak jelas. Optimisme yang terlalu tinggi juga akan menjadi bahan olok-olokan sebagian masyarakat. Coba kita buka video, Joko Widodo yang menyebut di kantongnya ada dana Rp 11.000 (baca : sebelas ribu triliun rupiah). Ini angka yang luar biasa. Jika dana itu benar, sangat lebih dari cukup untuk pemulihan ekonomi. Katanya, agar ekonomi positif di kuartal III, cukup dengan dana Rp 186 triliun. Ada yang sebut Rp 800 triliun. Ayo dong Pak Presiden, keluarkan uang di kantong itu. Kalau tidak ada, Bapak mestinya jangan berhalusinasi, membual dan... Atau kata Bapak, racun kala jengking yang harganya mahal, Rp 145 miliar per liter. Apakah Bapak sudah mengajak rakyat beternaknya? Atau itu hanya halusinasi, menutupi ketidakbecusan dalam mengurus negara, terutama dari sisi ekonomi? Ah, sudahlah. Terlalu banyak mimpi yang ditaburkan kepada rakyat yang semakin susah. Sebagian rakyat sudah tidak berdaya menghadapi ekonomi yang semakin ruwet. Sebagian rakyat kini sudah mengalami resesi, bukan lagi krisis ekonomi. Resesi, karena mereka di PHK, resesi karena tidak ada lowongan kerja baru. Kalau awal Oktober nanti BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Kuartal III tahun 2020 minus, itu hanya penguat bahwa telah terjadi resesi ekonomi nasional. Andaikan saja pertumbuhan ekonomi nol koma sekian (0 koma sekian) saja, kita sudah resesi. Artinya beban hidup sebagian besar masyarakat semakin berat. Pengangguran semakin menggurita. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Sebagai Garda Terdepan, Keselamatan Dokter dan Nakes Harus Dijaga

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Senin (14/09). Jangan pernah meremehkan Virus Corona atau Covid-19 lagi. Para dokter dan nakes yang sudah pakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap saja masih bisa “ditembus” Covid-19. Tidak hanya itu. Padahal, asupan beragam vitamin dan suplemen pun sudah mereka minum. Apalagi kita rakyat biasa yang bisa makan pun sudah sangat bersyukur. Karenanya tetap jaga protokol kesehatan. Pakai masker pun belum menjamin tidak terpapar Covid-19. Lihat saja di Radio Suara Surabaya. Sebagian awaknya terpapar Covid-19 meski bermasker. Begitu pula di MNC Group. Ada sebagian awaknya yang sudah terpapar Covid-19. Padahal, mereka juga telah menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini? Faktanya, Covid-19 tidak pandang bulu dalam memilih sasaran. Simak saja tulisan Okezone.com, Sabtu (12 September 2020 14:14 WIB). Jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 terus bertambah. Hingga saat ini, total sudah ada 115 dokter yang meninggal dunia akibat terpapar virus corona. “Total saat ini 115 (dokter yang meninggal dunia),” kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi saat dikonfirmasi, Sabtu (12/9/2020). Dalam diskusi Polemik MNC Trijaya, Adib Khumaidi membeberkan kondisi yang sangat memprihatinkan terhadap para dokter di Indonesia. Bahkan, bukan hanya dokter, sejumlah tenaga kesehatan ;ainnya juga kondisinya memprihatinkan. “Jadi kenaikan, lonjakan angka kesakitan dan angka kematian yang di wilayah-wilayah kemudian juga terdampak kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan ini masih dari sudut pandang dokternya,” ungkapnya. “Dan mungkin nanti di teman-teman perawat dan tenaga kesehatan yang lain juga ada data yang mungkin sama dengan kondisi yang ada di medis,” lanjut Adib. Adib menyatakan, saat ini PB IDI bersama dengan organisasi kesehatan sangat serius dalam melakukan berbagai upaya untuk membentuk pertahanan terhadap dokter dan nakes. Hal itu dilakukan agar tidak ada lagi dokter maupun nakes yang meninggal. Setidak-tidaknya ada 181 tenaga kesehatan yang meninggal dunia, dengan rincian 112 dokter dan juga 69 perawat. Dan dengan angka ini, Indonesia berada di jajaran negara dengan angka kematian tenaga kesehatan yang terbesar di dunia, Melansir Tempo.co, Minggu (6/9/2020), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut angka kematian nakes yang gugur akibat Covid-19 di Indonesia, masuk daftar salah satu yang tertinggi di dunia. Catatan Amnesty International Indonesia, setidaknya ada 181 tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal dunia selama 6 bulan pandemi. Mereka terdiri dari 112 orang dokter dan 69 orang perawat. “Setidak-tidaknya ada 181 nakes yang meninggal dunia, dengan rincian 112 dokter (terakhir mencapai 115 dokter) dan juga 69 perawat. Dan dengan angka ini, Indonesia berada di jajaran negara dengan angka kematian tenaga kesehatan yang terbesar di dunia,” kata Usman. Mantan Direktur KONTRAS tersebut menyatakan hal itu saat acara peluncuran pusara digital bagi tenaga kesehatan, Sabtu (5 September 2020). Usman menuturkan, Amnesty International mencatat setidaknya ada 7.000 nakes meninggal akibat terinfeksi Covid-19 di seluruh dunia. Negara dengan jumlah tenaga kesehatan yang wafat akibat Covid-19 tertinggi nomor wahid adalah Meksiko dengan jumlah kematian 1.320 orang. Kemudian, Amerika Serikat 1.077, India 573 orang, Brazil 324 orang, dan Afrika Selatan 240 orang. Kemudian Indonesia dengan 181 orang (plus 3 dokter). Ratusan jiwa nakes yang meninggal ini, kata Usman, bukan sekadar angka yang bisa dilewatkan begitu saja. Ia berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan keselamatan para nakes dengan mencukupi kebutuhan mereka akan alat pelindung diri atau APD dan kebutuhan akan fasilitas kesehatan lainnya. Dalam tulisan Kompas.com, Jum’at (11/09/2020, 11:40 WIB), sebelumnya PB IDI menyebut, sudah 109 dokter meninggal dunia sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air pada 2 Maret 2020. Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah dokter meninggal dunia terbanyak. Menurut Anggota Bidang Kesekretariatan, Protokoler dan Public Relations PB IDI Halik Malik, dari 109 dokter yang meninggal dunia, tujuh orang merupakan guru besar, sedangkan 53 orang lainnya merupakan dokter umum. “Sebannyak 49 orang adalah dokter spesialis,” ungkap Halik, seperti dilansir Kompas.com, Jumat (11/9/2020). Menurutnya, masih tingginya kasus penyebaran virus corona (Covid-19) di masyarakat mengakibatkan risiko yang harus dihadapi dokter di lapangan juga tinggi. Pasalnya, dokter dan tenaga medis merupakan garda terdepan dalam membantu pemerintah menangani persoalan Covid-19. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, akumulasi kasus positif Covid-19 mencapai 207.203 kasus hingga 10 September 2020, setelah bertambah 3.861 orang dalam sehari. Penambahan kasus harian yang dicatat kemarin dicatat sebagai rekor tertinggi sejak kasus pertama muncul. “Perkembangan situasi pandemi di berbagai wilayah, itu semua mempengaruhi kondisi para petugas medis di lapangan termasuk dokter yang kita ketahui masih aktif melayani sepanjang pandemi ini,” ucapnya. Berdasarkan sebaran, ia menambahkan, terdapat 29 dokter yang meninggal dunia di Jawa Timur. Provinsi pimpinan Gubernur Khofifah Indar Parawansa itu menempati urutan kedua sebagai provinsi dengan penyebaran kasus Covid-19 terbanyak di Indonesia: 37.093 kasus. Sementara, DKI Jakarta yang tercatat dengan sebaran kasus tertinggi, yakni 50.671 kasus, diketahui terdapat 13 dokter yang meninggal dunia atau ketiga terbanyak setelah Sumatera Utara (20 dokter). Sebuah resume kesimpulan dan rekomendasi Giant Webinar 6 bertema “Mengungkap Misteri Kematian Dokter Akibat Covid-19 Di Rumah Sakit” beredar di WA Group. Dengan Host: dr. Ita Roswita, MARS; Moderator: dr. Emil Ibrahim, MARS. Pembicara: Prof Meinaldi (PM) Guru besar FKUI; dr. Kuntjoro (DK) Ketua PERSI dan dr. Joni Wahyuhadi (JW) Direktur RS dr. Sutomo Surabaya. Waktu:12.45 - 03.20 Ringkasan materi: Telah dibahas aspek patogenesa Covid-19 oleh Prof Meinaldi dan Joni Wahyuhadi. Menurut Joni, perlu ditekankan, Covid-19 bukan Flu Biasa. Kata Prof Meinaldi, itu merupakan masalah klinis. “Hasil otopsi memperlihatkan kematian disebabkan oleh kerusakan paru dan vaskular,” ujar Prof Meinaldi. Di RS Persahabatan mortalitas Dokter tercatat antara 10 Maret (pertama) dan terakhir 5 Mei 2020 ada 9 orang. Menurut Prof Meinaldi, komorbid penyerta: Hipertensi, DM, CKD, Asma, Ca dan CVD serta geriatric. Mengutip Detik.com, di Jatim, sampai 21 Agustus 2020, jumlah kematian dokter di Indonesa sudah 95 orang. Ada 65% kematian dokter karena Covid-19 di Pulau Jawa. Sebanyak 30% diantaranya dari Jatim. Komposisi dokter yang meninggal terdiri dari dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Kematian yang terbanyak dialami oleh dokter umum, bedah umum, psikiater, dan dokter spesialis penyakit dalam. “Di Jatim 88% dokter yang meninggal bukan DPJP yang merawat Covid-19,” ungkap Joni. Menurut dr. Kuntjoro, dampak utama kematian nakes adalah kapasitas pelayanan menurun dengan dampak morbiditas dan mortalitas masyarakat meningkat. Adapun asumsi penyebab kematian, menurut dr. Kuntjoro dan Prof Meinaldi diantaranya: Tidak mengetahui pasien merupakan pembawa virus Covid-19; Tidak mengggunakan atau tidak adekuat penggunaan APD; Terkait dengan aktivitas sosial di luar Faskes; Kelelahan; Desain fisik Faskes; Klinik mandiri; Pemahaman diri dan disiplin diri; Kondisi tubuh: Jenis kelamin, Usia, Gemuk, Gaya hidup, Komorbid; Zonasi tak diterapkan dengan benar (bangunan zona merah); Pengaturan kerja tak dilakukan. “Sampai saat ini belum dilakukan audit kematian pada dokter, sehingga penyebab utama belum bisa dipastikan,” ungkap dokter dalam forum tersebut. Kesimpulan: 1. Menghentikan pandemi covid harus dengan memutus rantai penularan; 2. Kematian dokter dapat akibat sikap pribadi maupun sbg korban sistem; 3. Kematian Nakes akibat Covid-19 telah menjadi masalah penting. Karena posisi strategis dari nakes, efek domino yang menyertai, utamanya pada masyarakat. 4. Berbagai kebijakan yang ada dan yang telah diusulkan masih terbatas pada upaya untuk mengurangi penularan ke nakes, belum ke arah mengurangi kematian nakes akibat Covid-19. Rekomendasi: 1. Faskes: Fasilitas kesehatan dan RS harus menjadi bagian dari pemutusan rantai penularan; RS tetap harus “Balancing Act”, yaitu perawatan untuk pasien Covid-19 tetap berjalan bersamaan pelayanan pasien umum juga berjalan dengan resiko penularan seminimal mungkin; RS harus melakukan Safety Protocol yang lebih ketat. 2. Aspek Perilaku: a. Meningkatkan kepedulian Nakes terhadap kondisi dirinya sendiri; b. Waspada dan jangan mengabaikan adalah sikap kunci untuk keselamatan semua; c. Dokter harus menjadi contoh disiplin dalam penanganan covid yang benar. 3. Aspek peraturan: a. Menjadikan isu penurunan angka kesakitan dan kematian nakes karena Covid-19 menjadi salah satu prioritas nasional; b. Menyusun dan menjalankan Covid-19 Morbidity and Mortality Reduction Program (C-MMRP) untuk nakes secara nasional. 4. Aspek tenaga: a. Dokter adalah tenaga strategis dalam penanganan Covid; b. Dokter yang memilik comorbid, usia lanjut, bukan DPJP Covid dan bekerja di luar RS Rujukan Covid lebih berisiko dalam mortalitas dan morbiditas Covid-19. “Untuk itu perlu perhatian khusus,” tegas para dokter. Termasuk, apakah Pemerintah sudah melengkapi seluruh dokter dan nakes dengan APD? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

PSBB: Obat, Madu, dan Racun di Tangan

by Hersubeno Arief Jakarta FNN – Senin (14/09). Dalam beberapa hari terakhir Presiden Jokowi dihadapkan pada pilihan yang sangat-sangat sulit. Terus meningkatnya jumlah korban pandemi. Desakan berbeda dari pendukung dan kelompok kepentingan di sekitarnya, membuatnya sangat bingung mengambil keputusan.Seperti buah simalakama: Dimakan mati bapak. Tidak dimakan mati emak. Jika dituruti, dia akan ditinggalkan pendukungnya. Tidak dituruti dia bakal ditagih dan juga ditinggalkan para cukongnya. Sebuah pilihan yang sungguh sangat sulit. Persis seperti pernah dikatakan Jokowi “Ruwet….ruwet…..ruwet……” Kebingungan Jokowi sangat terlihat pada rencana Gubernur DKI Anies Baswedan menarik rem darurat dan memberlakukan PSBB total di Jakarta. Ahad (13/9) mantan Duta Besar RI di Polandia Peter F Gontha membocorkan surat bos perusahaan rokok Djarum Budi Hartono kepada Presiden Jokowi.Dalam suratnya, orang terkaya di Indonesia itu secara tegas menolak rencana PSBB total di DKI. Budi Hartono mengutip data-data menunjukkan warga yang terinfeksi di Jakarta terus meningkat, kendati sudah dilakukan PSBB. Agaknya Budi lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa pada awal pandemi, Anies mengusulkan lockdown. Bukan PSBB. PSBB adalah keputusan pemerintah pusat. Mereka lebih khawatir harus menanggung ongkos dari kebijakan tersebut. Di luar itu pemerintah juga masih lebih mengkhawatirkan ambruknya ekonomi ketimbang jatuhnya ribuan nyawa rakyat. Pada hari yang sama, WA mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif kepada Presiden Jokowi juga bocor ke publik. Kepada Jokowi, anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP) mengkhawatirkan tingginya jumlah dokter yang tewas karena Covid-19. Salah satu pendukung utama Jokowi itu meminta agar Menkes dan jajarannya diperintahkan segera bertindak. Menghentikan angka kematian dokter dan tenaga kesehatan. Meski tidak menyebut secara spesifik agar Jokowi mengutamakan penanganan kesehatan, Syafii jelas sangat khawatir. Dia bahkan menyinggung kemungkinan negara oleng bila sikap abai itu diteruskan. Pilihan sulit Desakan Budi Hartono dan Syafii Maarif yang berbeda kepentingan, membuat Jokowi dalam dilema besar. Kepada para menterinya Jokowi sudah secara jelas —tapi bukan tegas — agar lebih mengutamakan kesehatan ketimbang ekonomi. Namun ucapan itu bisa diartikan hanya sekadar public relation, hanya lips service. Meminjam istilah anak-anak muda sekarang “utamakan kesehatan, tapi boong. ”Terbukti ketika Anies Baswedan berniat menarik rem darurat, dia diserang oleh para menteri dan beberapa kepala daerah di sekitar Jakarta. Narasi yang dibangun senada. Seperti sebuah orkestrasi besar. Kebijakan Anies menghancurkan ekonomi nasional. Konduktor orkestrasi besar itu tak tanggung-tanggung. Langsung dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Desakan untuk mengutamakan kesehatan, termasuk WA dari Syafii Maarif sesungguhnya obat. Pahit, tapi Insya Allah akan menyehatkan. Sebaliknya iming-iming pertumbuhan ekonomi seperti dinyatakan bos Pabrik rokok Budi Hartono adalah racun disalut madu. Kelihatannya manis, tapi dampaknya sangat mematikan. Bagaimana Jokowi menyikapinya? Kita bisa membacanya dari keputusan Anies Baswedan. Jelang pemberlakuan PSBB total, Anies mendapat tekanan keras dari para punggawa Jokowi di kabinet. Jalan tengahnya kompromi. Kebijakan PSBB total menjadi PSBB diperlonggar. Keputusan Anies adalah dejavu. Persis seperti tarik menarik pada awal pandemi. Anies menginginkan lockdown. Pemerintah pusat maunya PSBB. Kita sudah melihat hasilnya sekarang. Jumlah korban terus meningkat. Kita juga belum tahu kapan masa puncak dan berharap kemudian melandai. Di media, Walikota Bogor Bima Arya Sugianto, salah satu pendukung Jokowi hanya bisa meratap dan menyesali. “Kalau saja enam bulan lalu, lima bulan lalu, atau tiga bulan pertama, serempak presiden sampaikan nomor satu kesehatan, kita lockdown semua, luar biasa itu,” kata Bima dalam sebuah diskusi di Jakarta. Sudah sangat jelas, Jokowi lebih memilih tetap mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Lebih tepatnya mengakomodasi kepentingan para taipan dan korporasi besar. Bukan kesehatan rakyat. Jokowi lebih memilih racun bersalut madu, ketimbang obat pahit yang menyehatkan. Seperti Bima Arya kita tinggal bisa berandai-andai. Kalau saja, andai saja semua mulai siuman seperti Buya Syafii Maarif. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Salah Kaprah BIN & Ancaman Pidana

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (14/09). BIN adalah Badan Intelijen Negara yang bertugas mencari data, mengolah, menganalisis dan mengalokasikan info atau analisisnya kepada penyelenggara Negara seperti Presiden, Kementrian, atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian lain yang berkompeten dan berkepentingan. BIN bukan lembaga Kepolisian dan Ketentaraan yang bersandarkan pada kekuatan fisik atau persenjataan. Anehnya BIN di era Pemerintahan Jokowi justru menunjukkan pergeseran paradigma. Di masa pandemi Covid-19 ini, lucunya BIN seperti lompat ke kiri kanan, sehingga urusan penyemprotan desinfektan di Bandara juga pernah di bawah kendalinya. Yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah saat BIN pamer pasukan khusus yang bersenjata lengkap. Pasukan Rajawali sebutannya. Kemunculan tiba-tiba pasukan bersenjata lengkap seperti Brimob atau Densus, bahkan Kopasus ini tentu saja mengejutkan. Tampilannya seperti sulap saja "ujug-ujug" Abrakadabra atau Bim Salabim. Itu terjadi karena di arena BIN menjadi Bin Salabin. Pamer aksi di depan petinggi berbagai Angkatan tersebut, dalam rangka Inaugurasi peningkatan statuta Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Sentul Bogor Jawa Barat. Kontroversi tentu saja terjadi. Persoalan utama adalah apakah layak atau haruskah BIN memiliki pasukan khusus bersenjata lengkap untuk pelaksanaan tugas operasinya. Adakah dasar hukumnya? Jika tidak ada dasar hukumnya, maka apa yang menjadi konsekuensi hukum yang diakibatkannya? Semua tata kelola organisasi BIN harus mengacu pada UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Tidak bisa hanya berdasarkan kemauan dan keinginan pimpinan BIN semata. BIN sebagai institusi negara, tidak bisa diselenggaran dengan suka-suka hati pimpinannya. Harus berdasarkan undang-udang. Bisa ngawur jadinya. Dan itu berbahaya. Prinsip kerja BIN adalah kerahasiaan tingkat tinggi. Segala kekuatan yang dimiliki BIN tidak boleh diketahui umum. Asasnya adalah profesionalitas, kerahasiaan, kompartementasi, koordinasi, integritas, netralitas, akuntabilitas, dan obyektivitas (vide Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2011). Adapun tujuan intelijen negara bukan berbasis pada pengerahan kekuatan bersenjata. Melainkan untuk "mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalis, menafsirkan, dan menyajikan intelijen dalam rangka peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai ancaman terhadap negara" (vide Pasal 5). Sudah pasti setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen. Dan atas pembocor tersebut, dapat dikenakan pidana, dengan ancaman hukman sepuluh tahun penjara dan/atau denda 500 juta rupiah. Menunjukkan atau memamerkan kekuatan dapat dikualifikasi membocorkan kekuatan yang dipunyai oleh BIN. Seperti "fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan dan atau personel intelijen negara". Hal ini merupakan perbuatan melawan hukum yang dalam Pasal 46 UU No. 17 tahun 2011 terancam pidana 10 tahun penjara dan/atau denda 500 juta tersebut. Oleh karenanya keberadaan pasukan Rajawali yang dipertontonkan BIN sudah jelas perbuatan salah kaprah. BIN bukan POLRI atau TNI yang berhak memiliki pasukan keamanan atau kombatan. Orang bertanya fungsi pasukan ini apa? Asumsi ekstrim sampai pada komentar jangan-jangan ini adalah "Angkatan Kelima" atau pasukan khusus model "Cakra Birawa". Perlu ada klarifikasi. Sementara itu memamerkan kekuatan BIN dapat dikualifikasin sebagai perbuatan "pembocoran" yang dapat dikenakan delik pidana. Kepala BIN harus bertanggungjawab. Presiden selayaknya memberi sanksi pencopotan dan segera memerintahkan untuk dilakukan pengusutan. Jika Presiden adalah pihak yang memerintahkan, maka Presiden dapat ditarik sebagai turut serta dalam perbuatan pidana tersebut (doen plegen) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.

Gagal Atasi Covid-19, Kenapa Cari Kambing Hitam?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (13/09). Jadi ternget kembali cerita Abu Nawas? Cincin hilang di depan rumah, dicari di ruang tamu. Alasannya, karena depan rumah gelap. Sedang ruang tamu terang. Koplak dan katro kan! Nah, pemerintah pusat sekarang mirip seperti Abu Nawas. Awalnya, ketika Covid-19 masih jadi ancaman, siapin kunyit dan empon-empon. Saat covid-19 sudah betul-betul masuk dan menyerbu, panik soal ekonomi. Ekonomi collaps dan datang resesi. Lalu bicara kesehatan. Presiden mulai siuman, sindir Windhu Purnomo, epidemiolog Universitas Airlangga. Presiden mulai menyadari betapa bahayanya pandemi covid-19. Karena itu, presiden dalam pidatonya mengungkapkan pentingnya saat ini mengutamakan kesehatan. Menyadari penyebaran covid-19 yang makin masif, Anies Baswedan, Gubernur DKI mengambil langkah cepat. Injek rem dan memberlakukan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat. Para pembantu presiden teriak, "gara-gara Anies, Index Harga Daham Gabungan (IHSG) anjlok". Para buzzer pun dikerahkan. Piye iki toh mas? Sejumlah ekonom bilang, IHSG anjlok karena fundamen ekonomi lemah. Pertumbuhan ekonomi yang sudah minus -5,3 persen. Akibatnya, nilia tukar rupiah jatuh dengan terjun bebas terhadap dollar. Investasi juga menurun dengan sendirinya. Kenapa yang dusalahin Anies? Budayawan Emha Ainun Najib, yang biasa disapa Cak Nun ngetwitt: "Catat manusia-manusia yang lupa kemanusiaannya. Mereka diam ketika angka kematian dokter terus naik (109 orang). Dan teriak ketika angka indeks saham sekali turun". Negara ini mau dibawa kemana? Mengapa setiap ada masalah bukan fokus pada obyeknya saja. Setelah itu kerahkan buzzer untuk cari kambing hitam? Dampaknya, bukan penyelesaian masalah yang didapat, tapi kegaduhan yang bertambah. Mestinya, semua unsur yang ada di pemerintahan pusat, termasuk para menteri, fokus saja bekerja. Identifikasi berbagai masalah, lalu pikirkan dengan serius penyelesaiannya. Jangan kerja, kerja, kerja, tapi nggak tahu apa yang harus dikerjakan. Disinilah perlunya gagasan, strategi dan perencanaan yang matang sebelum kerja, kerja, kerja. Covid-19, ini masalah kesehatan. Menteri kesehatan mestinya berada di garda terdepan. Kenapa justru nggak kelihatan. Sementara pimpinan Satgas bukan dari orang kesehatan. Kalau memang Menkes dianggap tak mampu, ganti saja dong. Lakukan reshuffle. Toh, Presiden punya otoritas melakukan reshuffle. Nggak usah nunggu jadual reshuffle berjama'ah. Nggak mampu, ya ganti. Supaya mesin pemerintah bisa beroperasi dengan baik. Belum lagi soal anggaran. Sudah dibuat dasar regulasinya. Perppu corona diterbitkan. Diperkuat lagi dengan UU No 2/2020. Penanganan corona dan dampaknya, juga dianggarkan khusus. Bahkan terus dinaikkan berkali-kali sesuka hati. Dari Rp 405,1 tiliun menjadi 677,2 tiliun. Setelah itu naik lagi menjadi Rp 686,2 triliun. Dan sekarang Rp 905 tiliun. Tapi, kenapa covid-19 tak juga teratasi? Pertama, dari sisi anggaran menunjukkan pemerintah nggak fokus dan nggak serius tangani pandeminya. Dari sekitar Rp 905 tiliun itu, anggaran untuk kesehatan hanya Rp 87,5 triliun. Kurang dari 10 persen. Itupun yang lewat kemenkes hanya Rp 25,7 triliun. Dengan catatan, tidak ada korupsi. Mosok sih? Kedua, karena kerja pemerintah nggak terukur. Telat dua bulan terapkan PSBB. Ketika PSBB berlaku April-Mei, angka terinveksi relatif bisa ditekan. Rata-rata per hari 445 orang. Namun, buru-buru diumumkan wacana New Normal. Di bulan Juni, angka terinveksi langsung naik jadi 1.141 rata-rata per hari. Bulan Juli 1.714 per hari. Bulan Agustus naik lagi jadi 2.380 per hari. Dan bulan september ini sudah di atas 3000 rata-rata per hari. Begitu juga angka kematian. Bulan April-Mei, ada 26 orang mati rata-rata perhari. Eh, begitu muncul wacana New Normal, angka kematian jadi naik. Rata-rata perhari di bulan Juni 49 orang. Bulan Juli 73 orang. Bulan Agustus rata-rata 80 orang. September? Pasti naik. Tingkat kematian karena covid-19 di Indonesia itu 4,1 persen. Sementara rate kematian global hanya 3,3 persen. Artinya, Indonesia lebih tinggi dari rata-rata di dunia. Sudah melampaui rate angka kematian dunia, sejak berlakunya New Normal yang dikampenyekan Presiden Jokowi. Dari data ini, wajar jika pandemi covid-19 di Indonesia dianggap menghawatirkan masyarakat internasional. Akibatnya 59 negara telah melockdown Indonesia. Kabarnya sekarang sudah naik lagi menjadi 69 negara yang tidak menerima orang Indonesia ke negaranya. Lalu salahkan orang lain sebagai kambing hitamnya? Kebijakan Anies, Gubernur Jakarta hampir selalu jadi sasaran dan tumbal atas kegagalan pemerintah pusat. Kebijakan Anies injek rem dianggap jadi sumber anjloknya IHSG. Dituduh sengaja ingin membuat ekonomi terpuruk agar Jokowi jatuh. Macam-macam khayalan imajinasinya. Jangan cari cincin di ruang tamu kalau cincinnya hilang di depan rumah bung.... Layakkah Anies menjadi kambing hitam berkaitan dengan injek rem PSBB? Perlu data untuk menjawab hal ini. Sekaligus melihatnya dengan cara membandingkan antara data Jakarta dengan data nasional dan global. Dengan melihat data, kita bisa lebih obyektif. Tidak imajinatif! Menghadapi covid-19, selain meminta warga DKI melakukan 3 M, yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan, Anies juga membuat strategi 3 T: Testing (PCR), tracing (penelusuran) dan treatmen (penanganan di rumah sakit). Pada tanggal 6 september, sebanyak 716.776 orang warga DKI yang dites. Ini berarti per 1 juta orang penduduk Jakarta, ada 76.335 yang dites. Bandingkan di tingkat nasional, per 1 juta penduduk, hanya 5.348 yang dites. Setiap pekan, warga DKI yang dites PCR berjumlah 59.146 orang. Jauh di atas batas minimal yang rekomendasi olehWorld Health Organization (WHO) untuk Jakarta yaitu 10.645 per pekan. Hasil tes menunjukkan bahwa kenaikan kasus positif di tingkat nasional secara total rata-rata 14 persen. Di Jakarta jauh lebih rendah, yaitu 7 persen. Pekan terakhir terjadi kenaikan 19,5 persen di tingkat nasional, dan 12,2 persen di DKI. Melihat trend dan lonjakan angkanya yang makin tinggi, jika Jakarta tak injak rem, maka kenaikan terinveksi dan angka kematian akan semakin menghawatirkan. Data ini juga disadari betul oleh presiden. Hanya saja, presiden belum mengambil langkah. Berdasarkan data statistik, jika kenaikan positif Covid-19 di Jakarta tidak ada treatmen khusus, (berlaku juga untuk daerah yang lain), maka tanggal 17 september, diperkirakan rumah sakit di DKI tak akan lagi mampu menampung pasien. Anies segera ambil langkah cepat. Injek rem. Berlakukan PSBB ketat. Kalau begitu, kenapa nggak hentikan atau kurangi saja jumlah tes PCR, supaya nggak semakin banyak yang ketahuan terinveksi? Itu namanya "Ngabu Nawas" . Dan Anies bukan Abu Nawas. Lebih baik jadi obyek sasaran dari pada jadi Abu Nawas. Anies pernah bilang: "saya dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, salah langkah. Kedua, melangkahi. Saya pilih yang kedua". Rupanya, Anies sudah siap ambil risiko. Asal, tidak salah langkah. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Alhamdulillaah, Syafi'i Maarif Sudah Siuman

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Ahad (13/09). Sepanjang hari Ahad (13/9) pesan WA tokoh sepuh Ahmad Syafii Maarif kepada Presiden Jokowi viral. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengaku batinnya menjerit dan goncang membaca berita kematian para dokter. Sudah mencapai 115 orang. Syafii mohon Presiden memerintahkan Menteri Kesehatan dan jajarannya untuk berupaya semaksimal mungkin menolong nyawa para dokter. Jika terus dibiarkan bangsa ini bisa oleng. Permohonan Syafii ini secara substansi, sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Malah boleh dibilang sangat terlambat. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ahli epidemi dan para pengamat kebijakan, sudah lebih dulu memperingatkan pemerintah. Bukan hanya karena kematian dokter, tetapi juga angka korban terinfeksi jumlahnya sangat besar. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara terbesar dalam jumlah korban. Bahkan sudah melampaui Cina, negara asal pandemi. Sudah lebih dari 200 ribu terinfeksi, dan meninggal 8.650 orang. Itu bila menggunakan data resmi. Para ahli virus memperkirakan jumlah sesungguhnya jauh lebih besar, baik yang positif maupun meninggal dunia. Seruan dokter, tenaga medis, ahli virus, dan pengamat kebijakan dianggap angin lalu. Disangkal, dan dibuli. Dicap sebagai seruan kelompok oposisi yang selalu mencari-cari kesalahan pemerintah, bahkan berniat menjerumuskan. Hanya suara kadal gurun (kadrun) yang tak perlu didengar. Seruan Syafii tentu saja berbeda. Sebagaimana pengakuannya, dia adalah tokoh sepuh. Salah satu yang tertua di negeri ini. Kalangan dekat memanggilnya Buya. Bukan hanya sekadar tua. Dia juga sangat berpengaruh karena pernah memimpin Muhammadiyah. Salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Di luar itu yang harus dicatat dan digaris bawah tebal, Syafii adalah salah satu pendukung utama dan pembela Jokowi. Tidak mungkin dia menyampaikan keprihatinan, karena alasan politik, atau kebencian. Sangat sulit bagai para buzzer Jokowi menyerangnya. Apalagi melabelinya sebagai Kadrun. Mudah-mudahan saja tidak. Kalau toh tetap dipaksakan memberi labeling kepada Syafii, maka kategorinya kadrun muallaf. Cebong yang insyaf, atau setidaknya siuman. Sebuah labeling yang sangat tidak layak dan tidak pantas diberikan kepada tokoh terhormat sekelas Buya Syafii Maarif. Presiden Siuman Istilah siuman ini belakangan menjadi hype. Kepada CNNIndonesia Seorang ahli epidemi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo menyambut baik arahan Presiden agar para menterinya lebih mengutamakan kesehatan. “Alhamdulillah, Jadi kalau bahasanya orang itu, Pak Presiden sudah mulai sadar. Mulai siuman,” ujar Windu. Siuman, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa makna. Sadar (dari pingsan, lupa, melamun, termenung, dan sebagainya); ingat kembali (tentang orang mabuk, orang gila, dan sebagainya). Agar tetap memuliakan Presiden, kita sebaiknya memilih makna pertama saja: Sadar. Artinya Presiden sadar bahwa kebijakannya yang selama ini lebih mementingkan pemulihan ekonomi, salah. Cuma masalahnya sebagai nahkoda, Presiden siuman, sadar saat kapal tengah oleng. Selama Presiden pingsan — lupa, melamun, termenung dan sebagainya— para menterinya, sebagai anak buah kapal seperti kehilangan arah. Mereka lebih melihat kepentingan ekonomi sebagai sebuah pulau fatamorgana. Tempat mereka akan selamat berlabuh, di tengah ombak dan badai pandemi. Apalagi sejumlah penumpang kapal kelas VVIP, kalangan pengusaha besar meyakinkan mereka, pemulihan ekonomi lebih penting. Negara bisa kolaps, kalau ekonomi tidak diselamatkan. Sebelum siuman, sebagai nahkoda Jokowi juga sangat jelas memberi instruksi agar kapal menuju pulau fatamorgana itu. Tidak terlalu salah bila Anies Baswedan tiba-tiba mau menarik rem darurat karena kapal akan menabrak karang besar, mereka sangat marah. Rame-rame menghajar Anies. Para menteri ini tetap yakin, percaya diri, mengutamakan ekonomi adalah pulau yang aman untuk berlabuh. Bukan karang berbahaya sebagaimana dilihat Anies. Setelah siuman, tampaknya perlu waktu agar Presiden sebagai nahkoda kapal besar bernama Indonesia, menyadari kondisi sepenuhnya. Perlu ngopi-ngopi dulu. Mudah-mudahan saja peringatan keras dari Syafii Maarif bisa membuat Jokowi sepenuhnya siuman. Kapal besar Indonesia sedang menghadapi bahaya besar. Crash. Menabrak karang dan tenggelam. Ngomong-ngomong dalam KBBI ada kata lain yang mirip-mirip maknanya dengan siuman, yakni mendusin. Bedanya mendusin ini sama-sama terbangun, tetapi tidak tersadar sepenuhnya. Hanya bangun sejenak, setelah itu menarik selimut dan tertidur lagi. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Bacalon Positif Covid-19 Berpeluang Diganti Bacalon Lainnya

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Minggu (13/9). Kabar tak sedap datang dari Kota Surabaya. Dilansir CNN Indonesia.com, Jumat (11/09/2020 16:52 WIB), Bakal Calon Walikota Surabaya Machfud Arifin mengakui, terkonfirmasi positif Corona (Covid-19). Kabar mengenai terpaparnya ia belakangan santer beredar. Hal itu terlihat dari ditundanya pelaksanaan tahapan tes kesehatan yang mesti ia jalani bersama Bacalon Wakil Walikota Mujiaman Sukirmo pada 8-9 September 2020. Machfud secara gentlement mengakuinya. “Tentang isu yang berkembang, memang benar [positif Covid-19],” ungkap Machfud saat menggelar konferensi pers secara daring, Jumat (11/9/2020). Machfud mengatakan hal tersebut bermula saat ada salah seorang istri dari anggota timnya terkonfirmasi positif corona. Dan tak lama orang dekatnya itu pun diketahui turut terpapar Covid-19. Usai mengetahui salah seorang timnya positif Covid-19, Machfud lantas berinisiatif untuk memeriksakan kesehatannya ke dokter, meski tak mengalami gejala apapun. Machfud hanya mengaku tenggorokannya mengalami sedikit gangguan. Suaranya hilang. Selama bertemu warga ia mengaku tak pernah berbicara, dan diwakili oleh tim suksesnya. “Yang berbicara Gus Amik, timses saya,” ucapnya. Pada 26 Agustus 2020, Machfud kembali memeriksakan diri. Kali ini ia juga menjalani swab, dan hasilnya menunjukkan bahwa dirinya terkonfirmasi positif corona. “Hari Rabu 26 Agustus saya inisiatif ke dokter. Dokter tidak menganjurkan saya swab, tetapi saya diam-diam swab ternyata saya, positif, tanpa gejala,” lanjutnya. Sejak saat itu, ia pun melakukan pembatasan diri dan isolasi mandiri di rumah. Ia tidur di tempat terpisah dengan istri dan anak-anaknya yang juga sudah menjalani swab dan menunjukkan hasil negatif. Machfud Arifin pada Pilwali Surabaya 2020 ini berpasangan dengan Bacawawali Mujiaman Sukirmo, mantan Direktur Utama BUMD Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surya Sembada, Surabaya. Machfud dan Mujiaman saat ini telah mengantongi dukungan dari delapan partai pengusung: Demokrat, PKB, PAN, PPP, NasDem, Golkar, Gerindra, dan PKS. Di Jawa Timur, selain Bacalon di Surabaya, salah satu Bacalon Wakil Bupati pada Pilbup Sidoarjo 2020 juga terindikasi terpapar Covid-19, seperti yang disampaikan Ketua KPUD Sidoarjo Mukhamad Iskak. Menurutnya, hasil pemeriksaan kesehatan terhadap seluruh pasangan Bacalon kepala daerah Sidoarjo, di RSUD dr Soetomo Surabaya pada Senin malam (7/9/2020) sudah keluar. Dari tiga pasangan bacalon yang turut pemeriksaan kesehatan diantaranya swab, satu bacalon wakil bupati dinyatakan positif covid-19. Sayangnya Iskak tidak mengungkap siapa bacalon wakil bupati tersebut. “Hasil swab yang dikeluarkan pihak dr. Soetomo, memang satu Cawabup dinyatakan positif covid-19,” ujar Iskak tanpa memyebut siapa nama Bacawabup itu, Selasa (8/9/2020). Menurut Iskak, karena sudah dinyatakan positif, maka baik bacawabup maupun cabupnya harus mengisolasi diri selama 14 hari. Meski hari itu masih tahapan pemeriksaan kesehatan, “Namun tetap satu paslon ini tidak boleh ikut pemeriksaan kesehatan tahap 2,” tegas Iskak. Dari informasi yang beredar, bacalon yang dinyatakan positif Covid-19 ini, mendaftarkan diri pada Jum’at (4/9/2020). Bahkan, saat mendaftar hari Jum’at itu, hasil swab dengan amplop tersegel itu juga sudah berisi hasil positif. “Kita sama-sama tidak tahu, karena hasil swab diberikan bersamaan dengan berkas lain dan amplop tertutup,” ujar Iskak lagi. Jika merunut ke belakang, sangat mudah diketaui siapa bacalon yang terpapar Covid-19 itu. Peluang Diganti Terkait bacalon kontestan Pilkada Sidoarjo 2020 yang terdiagnosa positif Covid-19, KPUD Sidoarjo harus cepat mengambil langkah antisipasi dengan mengumumkan nama siapa calon yang terpapar tersebut dan melakukan swab terhadap seluruh pegawai KPUD Sidoarjo, para pendukung calon yang terpapar dan keluarganya. Hal tersebut disampaikan oleh Baihaki Siradj, pengamat politik dari Accurate Research and Consulting Indonesia (ARC Indonesia). “Harus disampaikan ke publik siapa calon yang terpapar covid sebagai langkah antisipasi dari KPU yang mempunyai tanggung jawab dalam pencegahan covid-19,” ungkap Baihaki Siradj, seperti dilansir SidoarjoTerkini.com, Jumat (11/9/2020). Menurut Baihaki, hal tersebut dilakukan untuk memastikan tidak ada yang tertular dari pihak penyelenggara, pendukung ataupun orang yang berhubungan saat pendaftaran itu, sebagai jaminan tidak akan terganggu semua tahapan-tahapan pilkada. “Karena kita semua tidak tahu baik dari penyelenggara dalam hal ini KPUD dan pendukung tak tertular, dan apabila itu terjadi pada pihak penyelenggara, berarti kantor KPUD sementara harus ditutup,” ucapnya. Baihaki menilai, pihak KPU belum siap dengan aturan pilkada di tengah pandemi. Dirinya mencontohkan, apabila saat tahapan pilkada ditemukan ada calon yang terkonfirmasi maka tahapan berikutnya akan terhenti. “Dan itu tidak diatur dalam regulasi apakah calon yang dinyatakan positif itu harus gugur,” ujar Baihaki. Untuk itu, pihak KPU RI harus segera membuat regulasi baru untuk sebuah ketegasan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Artinya, KPU tidak bisa serta merta mendiskualifikasi calon karena positif Covid-19 sebelum membuat aturan PKPU baru di tengah pandemi Covid-19. “Dengan PKPU yang baru dibentuk itulah akan menjadi pijakan hukum bagi penyelenggara pilkada selanjutnya” tegasnya. Melansir Megas-online.com, Jum’at (11/9/2020), semua bacalon yang sudah direkomendasi parpol atau gabungan parpol untuk berkontestasi dalam Pilkada masih bisa diganti jika tidak memenuhi syarat yang ditentukan UU Nomor 10 Tahun 2016. “Ada tiga kondisi yang memungkinkan terjadinya penggantian itu. Yakni berhalangan tetap (meninggal dunia), tersangkut kasus pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap, dan tidak memenuhi syarat kesehatan,” ujar pengamat politik dan pemerintahan Nanang Haromain. Presidium Forum Muda Sidoarjo itu menegaskan, kewenangan penggantian bacalon itu ada di tangan parpol pengusung. “Kuncinya itu tadi, harus memenuhi minimal salah satu dari ketiga unsur tersebut,” ungkap Nanang Haromain. Pernyataan itu disampaikannya saat ditanya tentang fenomena cukup banyaknya paslon yang terinfeksi Covid-19 menjelang pelaksanaan Pilkada yang rencananya akan digelar serentak di seluruh Indonesia pada 9 Desember 2020 mendatang. Sebagaimana informasi yang disampaikan Menko Polkam, Mahfud MD beberapa waktu lalu, ada 59 paslon di 21 Propinsi yang dikabarkan terpapar Virus Corona, termasuk di Kabupatan Sidoarjo dan belakangan, Kota Surabaya. Akibatnya mereka diwajibkan untuk melakukan isolasi mandiri dan belum bisa melakukan tes kesehatan yang menjadi syarat utama agar bisa berkontestasi pada suksesi kepemimpinan daerah sebagaimana disyaratkan KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu. “Ini yang baru, karena piranti hukum yang mengatur perihal Pemilu termasuk Pilkada tidak mencantumkan masalah ini karena fenomenanya memang masih muncul di awal 2020 ini,” jelas mantan anggota KPUD Sidoarjo itu. Yang jelas, tanpa adanya hasil tes kesehatan yang dikeluarkan Rumah Sakit Rujukan yang ditunjuk KPU, maka tahapan berikutnya seperti penetapan paslon, undian nomer urut, dan juga kampanye pasti akan ikut mundur. Tidak mungkin tahapan-tahapan itu dilakukan kalau bacalonnya tidak lengkap. Tapi, “Bagaimana kemudian regulasinya saat ini menyangkut Covid-19 sebaiknya langsung ke Ketua atau komisioner KPU saja, karena bisa saja ada kebijakan yang dimunculkan karena ini,” tambah Nanang. Mundurnya tahapan ini sangat mungkin karena untuk bisa mengikuti tes kesehatan, bacalon tersebut harus lebih dulu dipastikan terbebas dari Covid-19. Dan, sampai saat ini bacalon itu yang salah satu diantaranya terinfeksi corona belum melewati tahapan tersebut. “Termasuk duet Kelana Aprilianto-Dwi Astutik yang berlaga di Sidoarjo,” ungkap Nanang. Persoalannya, tiga bulan menjelang pelaksanaan KPU sudah menyusun dengan rapi setiap tahapan yang harus dilakukan. Misalnya penetapan paslon yang akan digelar 23 September, besoknya dilakukan pengundian nomer urut dan kemudian kampanye yang dimulai 26 September hingga 5 Desember 2020. “Tentu ini menjadi rumit. Tapi saya yakin KPU pasti sudah punya formulasi yang pas untuk mengatasi masalah ini, misalnya soal pembatasan sampai berapa kali tes swab itu dilakukan. Karena kalau tidak akan mengganggu tahapan berikutnya,” pungkasnya. Kasus penggantian bacalon ini pernah terjadi saat Pilwali Surabaya 2015. Bacalon Walikota Dhimam Abror Djuraid tiba-tiba ditinggal Bacawali Haries Purwoko yang menghilang saat pendaftaran tersebut. Yang mundur bukan saya. Saya tetap tanda tangan. Itu wakil saya yang mundur,” ujarnya saat berbincang dengan Detikcom, Senin (3/8/2015) malam. Akibat ulah Haries ini, peluang Abror ikut bertarung melawan Tri Rismaharini kandas. Abror pun tersisih lagi saat parpol pengusung menggantinya dengan Rasiyo, sehingga pisisi Abror menjadi Bacawawali, bukan Bacawali lagi. Ia kembali tersisih setelah KPUD Surabaya menyatakan berkasnya Tidak Memenuhi Syarat (SMS). Akhirnya, Abror benar-benar tersingkir setelah digantikan Lucy Kurniasari yang disodorkan Partai Demokrat dan PAN. Kasis ini bisa menjadi semacam “yurisprudensi” landasan hukum pergantian bacalon. *** Penulis wartawan senior fnn.co.id.

Sikap Tegas Jenderal Gatot

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (13/09). Salah satu Presidium Nasional Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menghadiri Deklarasi KAMI Jawa Barat bersama Presidium lainnya Prof. Dr. Din Syamsuddin dan Prof. Dr. Rochmat Wahhab. "Triumvirate" ini menyampaikan pidato "Menyelamatkan Indonesia" dalam acara tersebut. Yang menarik dari pidato Jend. TNI (Purn) Gatot Nurmantyo adalah sikap tegasnya terhadap gejala terjadinya perongrongan ideologi Pancasila serta pembelaan terhadap "penistaan" hafidz Qur'an. Dua dimensi yang terintegrasi antara aspek kebangsaan dan keumatan. Meski tidak menunjuk siapa perongrong Pancasila itu. Tetapi arahnya jelas kepada pihak-pihak yang meragukan Pancasila dengan rumusan yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Tentu sebagaimana selalu diingatkan Gatot saat menjadi Panglima TNI, maka pergerakan anasir PKI atau kelompok Komunis patut untuk semakin diwaspadai. Dengan merujuk pada peristiwa perlawanan TNI terhadap perintah dari Komandan Pengawal Presiden Soekarno Cakrabirawa (PKI) Kolonel Untung, maka bawahan boleh saja melawan atasan. Apalagi atasan yang berniat mengganggu, bahkan mengganti dasar negara Pancasila. Bahasanya adalah "membunuh atasan" yang berkaitan dengan pembelaan terhadap ideologi negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Sikap itu sebagai wujud dari Sumpah Prajurit. Meskipun resikonya adalah harus dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aspek keumatan yang disentuh Jenderal Gatot adalah bentuk kekesalannya terhadap ungkapan Menteri Agama (Menag) Fachrul Rozi yang dinilai menistakan para hafidz Qur'an. Menurut Menag, ciri dari radikalisme diawali dengan penampilan yang "good looking". Apakah itu mereka yang hafidz atau menguasai penggunaan Bahasa Arab. Kecurigaan yang berlebihan dari Menag Fachrul Rozi ini yang mengingatkan Gatot pada saat menjadi Panglima TNI dulu. Ketika itu Gaot pernah mengadakan muroja'ah 1.000 hafidz Qur’an di Markas Besar (Mabes) TNI Cilangkap. Gatot sangat Menghormati dan memuliakan para hafridz tersebut. Untuk ini Gatot siap membela para hafidz Qur’an itu. Di tengah krisis kepemimpinan yang tidak berkarakter, kemunculan dan ketegasan sikap Jendral TNI Purnawirawan benaran (bukan jenderal kehormatan) Gatot Nurmantyo menjadi fenomena. Tanpa harus dicurigai punya keinginan untuk menjadi pemimpin, Jenderal Gatot memang seorang pemimpin sejati. Pemimpin khas militer yang memahami masalah krusial bangsa secara komperhensip dan menyeluruh. Pemahaman yang tidak asal ngomong. Juga pemahaman yang tidak hanya sepoting-sepotong. Jendral yang sangat faham dengan apa itu “proxy war”. Faham dengan hakekat ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ke depan. Juga sangat faham bagaimana cara menghadapi dan mensikapi semua ancaman, tantangan dan hambatan tersebut. Menjadi barisan KAMI, Gatot mengajak anak bangsa untuk menyelamatkan Indonesia. Jendral Gatot didaulat untuk memimpin KAMI bersama Prof. Din Syamsuddin dari Muhammadiyah dan Prof. Rochmat Wahhab dari Nahdlatul Ulama menjadi Presidium. Jika konsistensi untuk "menyelamatkan" bangsa dapat terjaga, maka gelindingan KAMI akan menjadi gumpalan bola salju. KAMI menjadi yang sangat efektif bagi perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan secara moral hal ini adalah suatu keniscayaan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Melawan Anies, Itu Malapetaka

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Ahad 913/09). Lockdown itu apa sih? Karena (pemahamannya) harus sama," kata Presiden Jokowi setelah meninjau rumah sakit darurat di Pulau Galang, Kepulauan Riau, Rabu (01/04). Jokowi menjelaskan bahwa istilah lockdown dipakai apabila semua warga benar-benar tidak boleh keluar rumah. Hanya beraktivitas di rumah. Kebijakan lockdown juga otomatis membuat seluruh layanan transportasi seperti bus, kereta api, dan pesawat pun berhenti. "Nah, ini yang kita tidak ambil jalan yang itu. Kita tetap aktivitas ekonomi ada. Tetapi semua masyarakat harus menjaga jarak. Jaga jarak aman yang paling penting kita sampaikan sejak awal. Social physicial distancing, itu terpenting," katanya (lihat Republika.co.id 1/4/2020). Postur Inkonsistensi Diberitakan oleh CNBC Indonesia, Presiden Jokowi pada akhir Maret, menyatakan "kita harus belajar dari pengalaman negara lain. Kita tidak bisa menirunya begitu saja," kata Jokowi usai Ratas Kabinet. Jokowi juga mengatakan setiap negara memiliki ciri khas masing-masing. Baik itu luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, hingga kondisi geografis. Presiden lebih jauh menyatakan kita juga harus memperhatikan kemampuan fiskal. Oleh karena itu, kata Jokowi kita tidak boleh gegabah dalam merumuskan strategi. Semua harus dihitung dikalkulasi dengan cermat. Dan inti kebijakan kita sangat jelas. yakni pertama adalah kesehatan masyarakat (lihat CNBC Indonesia, 31/03/2020). Tiga bulan yang hebat selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun menemui akhir. Jokowi muncul dengan gagasan pelonggaran PSBB. Gagasan itu dilukiskan oleh Wata Ekonomi dalam judul berita “Jokowi Mau Terapkan New Normal.” Kata Jokowi "Yang penting, masyarakat produktif dan aman dari Covid-19. Berdampingan itu justru tidak menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan Covid-19 dengan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat” (lihat Warta Ekonomi.co.id, 1/6/2020). PSBB dipilih dan dilaksanakan. Tiga bulan yang menjanjikan itu, akhirnya tersingikir.Takanan pada ekonomi yang berlebihan menjadi trade mark pemerintahan Jokowi. Menariknya segera terbukti kebijakan new normal, sebuah istilah yang akrab dilidah Jokowi, merangsang membesarnya bara corona. Entah bara ini teridentifikasi dapat membakar pemerintahannya, atau hal lainnya, Presiden memberi respon. Dalam rapat paripurna kabinetnya pada tanggal 7 September 2020, Presiden menyatakan fokus utama pemerintah yaitu mengutamakan kesehatan. Pernyataan itu disambut Windhu Purnomo, epidemoplog Universitas Airlangga. Kata Windhu, sekarang ini pemerintah bilang fokus pada kesehatan. Dan itu Alhamdulillah. “Jadi, kalau bahasanya orang itu, Pak Presiden mulai siuman. Mulai sadar," kata Windhu Purnomo, epidemolog Universitas Airlangga saat dihubungi CNN Indonesia.com, Selasa (8/9). Siuman? Tunggu dulu. Akhir Maret yang lalu Presiden juga menyatakan hal yang sama. Fokus pada kesehatan, kata Presiden kala itu. Tetapi dalam kenyataannya tekanan kebijakannya terletak pada ekonomi. Ada inkonsistensi yang nyata. Akankah inkonsistensi ini berlanjut lagi? Inkonsistensi itu terlihat dari data realisasi anggaran yang dikemukakan Kementerian Keuangan. Pemerintah, begitu data Kemenkeu bicara, telah menganggarkan total biaya Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp. 695,20 triliun yang dialokasikan untuk enam sektor, dimana total realisasi hingga minggu pertama Agustus adalah Rp. 151,25 triliun sudah dilaksanakan atau 21,8% dari pagu program Pemulihan Ekonomi Nasional. Lebih rinci, realisasi di sektor kesehatan Rp7,1 triliun, sektor perlindungan sosial Rp86,5 triliun, sektoral Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemda Rp8,6 triliun, sektor dukungan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) Rp. 32,5 triliun, dan sektor insentif usaha sudah mencapai Rp. 16,6 triliun dan sektor pembiayaan korporasi masih belum terdapat realisasi. Dari total anggaran Rp. 695,20 triliun, realisasi untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi dari DIPA sudah dikeluarkan sebesar Rp. 313,2 trilliun dan yang belum dimasukkan ke DIPA sebanyak Rp. 226,1 triliun dan anggaran yang tanpa DIPA sebesar Rp. 155,9 triliun dalam bentuk berbagai insentif pajak (http://www.kemenkeu.go.id. 10/08/2020). Realisasi anggaran, bukan pernyataan Presiden. Suka atau tidak menjadi parameter politik dan tata negara tentang postur pemerintahan. Apalagi data itu disajikan oleh Kemenkeu. Tidak ada kementerian, bahkan Presiden yang tahu detail realisasi anggaran, selain Kemenkeu, suka atau tidak. Ini Berbagaya Corona membara di Jakarta. Bisa sangat mengkhwatirkan. Kapasitas rumah sakit, kata Gubernur Anies Baswedan bakal tak mampu menampung orang terinfeksi corona. Hebatnya, Anies mengerti tanggung konstitusional yang disandangnya dan tanggung jawab moral sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak berwacana seperti Presiden. Tetapi lebih banyak bertindak. Itulah Anies, dan itulah pemimpin. Begitulah pemerintahan yang efektif. Rakyat tidak bisa dibiarkan terjatuh semakin dalam pada keadaan yang lebih parah. Mereka tidak bisa dibiarkan sakit dan mati konyol akibat salah kelola pemerintahan. Anies memperlihatkan pemerintahan yang dipimpinnya tidak berwatak korporatis yang selalu totaliter. Bergairah menyepelekan aspirasi. Setelah mengidentifikasi masalah dan memproyeksinya secara ternalar, Anies bertindak. PSBB total hasilnya. Pasar saham terguncang seketika. Airlangga Hartarto, Menko Ekonomi segera mengarahkan rasio kejatuhan pasar saham itu pada putusan Anies. Kejatuhan pasar saham memang acap berakibat fatal. Tetapi para ilmuan tahu kejatuhan pasar saham tidak pernah jadi faktor tunggal kekacauan ekonomi. Itu ditunjukan pada depresi ekonomi tahun 1929-1933. Kejatuhan pasar saham itu hanya melengkapi resesi ekonomi yang telah terjadi setahun sebelumnya. Presiden Herbert Hoveer yang ogah-ogahan mengambil tindakan radikal menangani ekonomi adalah penyebab utamanya. Apakah Jokowi akan mengirim menteri lagi untuk menekan Anies? Itu urusan Presiden. Apakah Presiden akan memaksa Anies melakukan PSBB Komunitas, mikro, sebuah gagasan yang muncul tiba-tiba? Itu juga urusan Presiden. Tetapi secara tata negara status Jakarta sebagai daerah yang diberlakukan PSBB, sampai sekarang belum dicabut. Presiden harus tahu itu. Pelonggaran PSBB, tidak sama hukumnya dengan mencabut PSBB. Pelonggaran tidak lebih dari sekadar menurunkan level PSBB. Bukan pencabutan PSBB. Itu hukumnya. Anies dengan demikian sah mengambil tindakan menghidupkan lagi PSBB seperti sedia kala. Presiden boleh punya mesin kekuasaan. Boleh dihidupkan mesin itu untuk melawan Anies. Tetapi Anies terlalu pintar untuk dipukul. Anies tahu bara corona saat ini merupakan buah pelonggaran PSBB. Anies juga pasti memiliki imajinasi politik tak terlihat. Dia tahu pelonggaran PSBB itu kebijaan Presiden. Sekarang Anies mencegah membesarnya bara itu. Lalu Prersiden mau melarang? Presiden jangan panggil bara politik dan tata negara. Presiden jangan terus-terusan memperlihatkan kekeliruan dalam mengelola negara. Sebab bisa menimbulkan masalah yang belum sempat diperkirakan sebelumnya. Mengutamakan kesehatan, melarang orang berkerumun, menunjuk Pilkada sebagai klaster corona, tetapi membiarkannya tetap berlangsung Pilkada, juga jelas tidak masuk akal sehat Pak Presiden. Tidakkah tabiat pilkada adalah orang berkerumun? Itu inkonsisten yang nya-nyata inkonsistensi. Melawan Anies itu akan terlihat masuk akal, kalau Presiden membungkus pemerintahannya dengan konsistensi. Sayangnya itu tidak terlihat Pak Presiden. Pada saat yang sama faksin anti coronanya tidak oke. Obat yang efektif juga tidak oke. Sekalipun telah berpartner dengan China, vaksinnya belum jelas. Vaksin merah putih, vaksin nasionalisme ini juga baru 50%. Tes Swap juga mahal. Itu karena watak korporatis yang menonjol pada pemerintahan ini. Dalam Raker dengan DPR, Pelaksana Tugas Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB) menyatakan mahalnya biaya Test Swap karena rumah sakit swasta terlalu mencari untung. Ada yang mengenakan tarif sampai Rp. 2,2 juta, bahkan ada juga yang Rp. 5 juta (CNN Insdonesia, 9/9/2020). Awan panas RUU HIP belum mereda. Pemerintah sedang memanaskan langit politik dengan sertifikasi penceramah Agama Islam. Harga jual minyak pertamina di dalam negeri juga sama. Masih tidak bisa dimengerti orang. UU Corona dan RUU Omnibus, masih terus menyimpang antipati ke pemerintah. Kombinasi tampak tak beraturan. Semua faktor diatas menjadi alasan mendekatnya malapetaka bila Presiden memindahkan gigi kekuasaan menghentikan kebijakan Anies. Semua inkonsistensi Presiden akan silih berganti disajikan. Dan itu sama dengan memanggil malapetaka politik dan tata negara atas pemerintahan Presiden Jokowi. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Ruhut Situmpul Kelilipan Lagi

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (12/09). Ruhut Sitompul dengan "gagah" menyalahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Penyebabnya adalah tertolaknya warga Indonesia untuk memasuki ke 59 negara di dunia. Sebagai akibat dari masih naiknya angka penularan Covid 19 di Indonesia. Jakarta menjadi kambing hitam. Begilah model kelilipan nyata dari mantan anggota Partai Golkar dan Partai Demokrat yang sekarang sudah pindah lagi ke PDIP Ruhut Sitompul. Masa sih Gubernur yang harus disalahkan? Kalau itu urusan negara, ya Presiden dong. Kalau yang dilarang masuk ke 59 negara itu berasal dari warga Jakarta saja, bolehlah Gubernur Anies disalahkan. Ruhut Situmpul ini selalu saja sinis kepada Gubernur Anies. Apa saja yang dilakukan Anies pasti salah di mata Ruhut. Padahal Anies adalah Gubernur yang super serius menangani pandemi Covid 19. Jika kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang jadi alasan, maka Gubernur Jawa Barat juga memperpanjang PSBB untuk wilayah Bogor, Depok, dan Bekasi tuh. Tetapi kenapa Gubenur Jawa Barat tidak dikritisi oleh Ruhut Sitompul? Jawabnya mudah sekali, ya lagi kelilipan itu Ruhut Sitompul. Apalagi kepada bossnya, Jokowi tentu saja lebih tidak kelihatan lagi. Nah yang begini namanya "blind spot". Pukulan telak atas karut-marutnya penanganan Covid 19 oleh Pemerintahan Jokowi adalah larangan masuk ke 59 Negara di dunia. Di medsos ada sindiran, “Indonesia ini negara hebat. Karena sekarang menjadi negara yang disegani eh ditakuti oleh dunia. Ini memprihatinkan sekali. Padahal soal pendanaan sudah menggunakan Perppu, yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. UU ini dapat dikategorikan "merampok" APBN. Karena aturan tentang kebebasan memakai dana APBN tanpa harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Ditambah lag dengan kontroversi "percobaan" vaksin Cina yang ada kegagalan tersebut. Sudah mahal harga vaksinnya, sehingga kemungkinan susah untuk dijangkau oleh masyarakat lapisan bahwa. Vaksinya bermasalah pula. Jika Ruhut bersikeras bahwa Anies adalah penyebab 59 negara di dunia menolak masuk warga negara Indonesia, maka baiknya dilakukan saja pengusutan secara terbuka. Siapa yang menjadi penyebab, maka dialah penanggungjawab yang sesungguhnya. Apakah Anies, Menteri Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19 atau memang Presiden Jokowi sendiri? Untuk itu Komisi "fact finding" harus segera dibentuk. Ini penting, supaya hasilnya juga akurat. Dapat dijadikan sebagai alasan pembenaran untuk mendesak mundur kepada pejabat yang dinilai gagal untuk bertanggungjawab. Sehingga tidak perlu saling tuduh sana-sini. Ruhut Sitompul sepertinya sangat tendensius dalam mengemukakan tuduhannya kepada Gubernur Anies. Meskipun tidak berpengaruh kepada kedudukan Anies saat ini sebagai Gubernur DKI, namun “sikap pandangan kebencian" Ruhut Sitompul ini dinilai tidaklah patut. Adalah hak Ruhut Sitompul untuk berpendapat tentang Gubernur Anies. Tetapi hak orang lain juga untuk menilai mengenai siapa Ruhut Sitompul? Politisi yang hanya bisa menyandar kepada kekuasaan. Tanpa sandar kepada partai yang sedang berkuasa, Ruhut Sitompul bukan siapa. Mudah-mudahan saja tidak ada yang melabel Ruhut Sitompul “politisi kutu loncat kepada yang sedang berkuasa”. Jika Ruhut mendesak Mendagri untuk mem-Plt kan Gubernur Anies, maka boleh juga orang lain mendesak agar Presiden juga di "Plt" kan. Artinya dimundurkan. Toh, itu sah-sah saja. Namanya juga usulan. Bisa diterima, namun bisa juga tidak. Mari kita kuat-kuatan argumen. Bukan kuat-kuatan kekuasaan atau kekayaan. Siapa yang lebih patut mundur, Gubernur DKI atau Presiden RI? Sebaiknya jawab sendiri saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.